Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Watmuri Diaspora: Kajian terhadap Penolakan Masyarakat Watmuri Diaspora Ambon atas Pengrusakan Hutan Sakral di Watmuri T2 752015003 BAB IV

Bab IV
Resistensi Watmuri Diaspora Ambon Terhadap Pengelolaan Sumber Daya
Alam Yang Merusak Hutan
Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan yang
dikelompokkan berdasarkan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya
demi memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.
Sedangkan Pemanfaatan hutan adalah bentuk kegiatan pemanfaatan kawasan hutan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal, berkeadilan agar
tercipta kesejahteraan bagi masyarakat 1 Paradigma ini memberikan kontribusi
suburnya pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia oleh para pemilik modal.
Berbagai perlawanan masyarakat menentang pemanfaatan hutan untuk lending sector
pertumbuhan ekonomi sejak rezim orde baru di Indonesia tidaklah efektif untuk
meniadakan pembangunan-pembangunan kehutanan sampai sekarang baik berupa
HPH (hak pengusahaan hutan), pertambangan maupun perkebunan skala besar.
Tatkala pemerintah sering mengambil alih hutan ulayat masyarakat lokal dengan
asumsi kekayaan sumber daya alam harus dimanfaatkan secara bijaksana demi
kesejahteraan, masyarakat sekitar hutan kadangkala statis dalam memanfaatkan
potensi yang terkandung di dalamnya sehingga pembangunan kehutanan model HPH
adalah cara efektif untuk mengelola sumber daya hutan tersebut. Kendati demikian,
                                                            

1

file:///C:/Users/ACER/AppData/Local/Temp/PP_NO_34_2002.HTM 
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/19756/node/545/pp‐no‐34‐tahun‐2002‐tata‐hutan‐
dan‐penyusunan‐rencana‐pengelolaan‐hutan,‐pemanfaatan‐hutan‐dan‐penggunaan‐kawasan‐hutan 

74 
 

masyarakat sering mengeluh dengan sistem pengelolaan itu karena cenderung
mengabaikan peran masyarakat lokal baik dalam proses-proses produksi maupun
pengembangan sosial ekonomi warga yang menjadi kewajiban perusahaan ijin HPH.
Desa Watmuri merupakan salah satu desa yang merasakan dampak dari pengelolaan
hutan model HPH. PT Karya Jaya Berdikari telah beroperasi sejak tahun 2012 dan
menuai banyak keluhan dari penduduk desa karena pihak pengelola tidak
menjalankan kewajiban secara maksimal sementara pohon-pohon terus ditebang dan
dipasarkan. Ketidakseimbangan dalam pemanfaatan hasil hutan dan kewajiban
pengelola yang tidak terpenuhi kepada masyarakat lokal yang mendorong bangkitnya
resistensi.


4.1. Pentingnya Hutan dan Dorongan Resistensi Watmuri Diaspora Ambon

4.1.1. Pentingnya Hutan Bagi Orang Watmuri
Hutan secara sederhana diartikan sebagai ekosistem yang didominasi oleh
pohon, di dalamnya terdapat berbagai jenis spesies baik tumbuhan maupun hewan
yang hidup dan berkembang biak. Menurut Undang-undang Kehutanan Republik
Indonesia nomor 41 tahun 1999 hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. 2 Hutan menjadi aset yang rentan terhadap hadirnya pembangunan
kehutanan akan tetapi, penggunaan hutan secara berlebihan baik perladangan,
                                                            
2

http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu‐41‐1999.pdf  

75 
 

industrialisasi, pertambangan dan perkebunan skala besar akan mempengaruhi

makluk hidup yang berinteraksi dan bergantung pada alam. Pentingnya hutan bagi
orang Watmuri dalam penggunaan dan peruntukannya tergolong dua aspek:
a. Sumber Mata Pencaharian Warga
Bercocok tanam adalah pekerjaan utama orang Watmuri, tidak heran
ketergantungan masyarakat pada hutan sangatlah tinggi. Hutan menjadi salah satu
tempat bagi masyarakat untuk mencari nafkah baik perladangan, berburu maupun
mengambil kayu bakar. Walaupun demikian, kecenderungan masyarakat melestarikan
hutan sangatlah efektif sehingga tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan pada hutan.
Upaya kelestarian diwujudkan melalui pengetahuan lokal warga yang menghindari
penebangan liar agar hutan tetap pada fungsinya. Hutan yang gundul akan
menyebabkan tanah menjadi tandus sehingga menghindari penebangan liar yang
merusak hutan menjadi salah satu local knowledge masyarakat di Watmuri. Apalagi
jenis pohon turing (kayu besi merah) merupakan tanaman langka di Watmuri semakin
memperkuat larangan terhadap penebangan tanpa keputusan bersama masyarakat.
Scott menggambarkan kaum tani di negara-negara Asia Tenggara merupakan
petani subsisten, pekerjaannya hanya untuk tujuan memenuhi kebutuhan sehari-hari
dalam keluarga karenanya tanah akan dilihat sebagai unsur penting bagi kaum tani. 3
Latarbelakang pentingnya hutan bagi orang Watmuri tentu berhubungan dengan
dominasi pekerjaan sebagai petani. Hasil-hasil pertanian diproduksi demi memenuhi
                                                            

3

Scott, The Moral Economy, 15. 

76 
 

kebutuhan sandang pangan keluarga. Mengancam pola yang terstruktur sejak dahulu
akan menimbulkan keresahan yang berujung pada pemberontakan. PT Karya Jaya
Berdikari adalah perusahaan yang mendapatkan ijin pengelolaan hutan dengan bentuk
HPH di Maluku Tenggara Barat. Desa Watmuri menjadi lokasi kedua beroperasinya
perusahaan mengelola sumber daya kayu akan tetapi berbagai keluhan dan keresahan
warga bermunculan. Perusahaan tampak eksploitatif dalam memanfaatkan hutan
ulayat warga desa, penebangan dilakukan sebebas-bebasnya oleh perusahaan tanpa
batasan area HPH sehingga menimbulkan berbagai keresahan di kalangan
masyarakat. Selain itu, masyarakat lokal tidak terlibat dalam proses-proses produksi
akibatnya tindakan penyimpangan di lokasi eksploitasi semakin meluas. Keluhan itu
yang membangkitkan aksi-aksi protes kolektif karena kebijakan pengelolaan hutan
dinilai mengancam masyarakat lokal yang bergantung pada hutan sebagai sumber
mata pencaharian. Bagi Sidney Tarrow bangkitnya gerakan protes bentuk kesadaran

sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama untuk melawan
kelompok elite, penguasa atas ketidakadilan yang membelenggu. 4 Resistensi
Watmuri diaspora mencerminkan kepedulian bagi masyarakat desa yang ditindas oleh
para pemilik modal dan kekuasaan pemerintah yang tidak mempertimbangkan sosialekonomi warga. Bercocok tanam di tempat yang sama berulang kali tentu
menyebabkan tanah menjadi tandus sementara area hutan dibatasi oleh perusahaan
untuk dikelola warga bagi perladangan, dapat dibayangkan kesulitan-kesulitan yang
akan dialami masyarakat Watmuri dikemudian hari. Mestinya pengelolaan hutan
                                                            
4

 Tarrow, Power in Movement: Social Movemet, 4.    

77 
 

yang bijaksana memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi masyarakat sekitar
hutan sehingga sama-sama menikmati hasil demi kepentingan bersama.
 

b. Hutan Sakral Sebagai Situs Budaya Masyarakat

Selain tempat pencari nafkah, pada tempat-tempat tertentu di hutan desa
Watmuri masih dikelilingi oleh adat masyarakat setempat terkait hutan sakral yang
menyimpan peninggalan masa lalu dari para leluhur. Setiap Soa memiliki petuanan
yang merupakan area tempat tinggal yang disebut negeri lama. Suatu kehidupan
pernah terbentuk di sana dan melekat dalam memori sepanjang generasi akan
pentingnya menjaga hutan dari penebangan-penebangan yang menghancurkan situs
budaya masyarakat. Keberadaan pohon-pohon besar masih diakui memiliki
penunggunya disertai berbagai kejadian aneh yang dialami warga semakin
menunjukan adanya kekuatan di balik pohon dan tempat-tempat sakral tersebut. Oleh
karena itu, barangsiapa hendak beraktivitas di area yang mengandung unsur sakral
maka patut melakukan ritual adat agar menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa
membahayakan. Bagi Durkheim, orang-orang religius umumnya membagi dunia
mereka dalam dua bagian yakni sakral dan profan. Sakral dapat berupa simbol, nilainilai dan kepercayaan yang berhubungan dengan hal-hal mistik yang sangat
mengagumkan maupun menakutkan. Sedangkan profan sifatnya biasa, tidak menarik,
mencerminkan urusan sehari-hari dan tidak berarti. 5 Perantara untuk mendekatkan
diri terhadap yang sakral yakni melakukan ritual. Walaupun demikian, hutan sakral
                                                            
5

Durkheim, The Elementary Forms, 169.  


78 
 

bagi orang Watmuri tidak hanya tentang berdiamnya arwa leluhur tetapi lebih dari itu,
yakni tentang tradisi hidup berbagi yang membudaya dalam masyarakat. sejak dulu
hutan ulayat tidak hanya dimanfaatkan oleh pemilik petuanan dari satu soa yang sama
namun dapat digunakan oleh orang lain pada soa yang berbeda. Pemahaman atas
hutan sakral bahkan mengantarkan warga memelihara alam sehingga minim dari
degradasi (kerusakan). Sulistyaningsih mengemukakan pengetahuan kebudayaan
yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang didasarkan pada sistem religi akan
memandang manusia sebagai bagian dari alam di mana terdapat roh-roh yang
bertugas menjaga keseimbangannya. Untuk menghindarkan bencana atau malapetaka
manusia wajib menjaga hubungan dengan alam semesta, termasuk pemanfaatannya
harus bijaksana dan bertanggung jawab. 6 Budaya orang Watmuri yang melindungi
hutan sakral sebab di dalamnya mengandung makna sosial-budaya bagi mereka.
Pemanfaatan hutan demi pembangunan yang mengabaikan sosial budaya masyarakat
lokal justru memicu pemberontakan dan perlawanan.
Pentingnya hutan bagi masyarakat di desa Watmuri seperti yang telah
diuraikan tersebut membangkitkan perlawanan dari masyarakat diaspora untuk

memperjuangkan nasib hidup orang-orang desa baik sekarang maupun akan datang.
Kecintaan dan kepedulian mereka terhadap masyarakat di desa Watmuri menjadi
dasar resistensi. PT Karya Jaya Berdikari cenderung monopolistik dan mengabaikan
keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengelolaan dan produksi. Minimnya
                                                            
6

Sulistyaningsih, Perlawanan Petani Hutan: Studi Atas Resistensi Berbasis Pengetahuan Lokal 
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), 19. 

79 
 

evaluasi

secara

transparan

bagi


warga

meningkatkan

terjadinya

berbagai

penyimpangan. Paradigma “mengambil dan memberi” mestinya menjadi dasar
pengelolaan hutan ulayat bahwa perusahaan mengambil hasil alam untuk diproduksi
beriringan dengan memberikan jaminan hidup berupa kompensasi, mengembalikan
fungsi hutan dengan adanya rehabilitasi serta tindakan sosial kemasyarakatan yang
berimplikasi menghadirkan kesejahteraan sebab yang dikelola merupakan hutan
ulayat masyarakat Watmuri. Menurut Imam Hidayat, hutan ulayat adalah hak
kepunyaan bersama masyarakat adat meliputi tanah, hutan, air dan udara yang pada
asasnya tidak dapat dikurangi atau dipindahtangankan. Wewenang dan tugas
diberikan kepada masyarakat adat untuk mengelola demi kepentingan dan
kebahagiaan bersama. 7 Sekarang hutan ulayat sudah dikuasai oleh perusahaan untuk
mengelola potensi kayunya dengan model HPH (hak pengusahaan hutan) akan tetapi

pihak pengelola harus menunjukan eksistensinya yakni memberikan kesejahteraan
bukan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Nampaknya sejak perlawanan
Watmuri diaspora berhembus ke permukaan fakta-fakta terkait penyimpangan yang
dilakukan perusahaan semakin mencuat. Aksi-aksi protes kolektif dimobilisasikan
demi mengungkapkan tindakan penyimpanan yang dilakukan selama eksploitasi.
Sudah sepatutnya pemerintah lebih mengontrol kinerja perusahaan HPH untuk
menilai layak dan tidaknya kinerja suatu perusahaan.

                                                            
7

Imam Sudiyat, Peta Hukum Waris Di Indonesia (Jakarta: Simposium Hukum Waris Nasional, 
1983) 26.  

80 
 

4.1.2. Kurangnya Kepedulian Pemerintah Dalam Mengontrol Kinerja Pengelola
Ancaman terbesar dari kebijakan pengelolaan hutan ulayat masyarakat adat
yakni lemahnya kontrol pemerintah sehingga menimbulkan berbagai penyimpangan

dalam proses-proses pengelolaan. Sebagai cabang usaha sektor kehutanan,
pengawasan dan evaluasi mesti beriringan agar mencegah degradasi, ketidakadilan
dan dampak-dampak buruk bagi masyarakat sekitar hutan. Dengan begitu, perusahaan
pemegang ijin HPH akan beroperasi dengan berpedoman pada undang-undang dan
berjalan sesuai prosedur yang berlaku. Akan tetapi sistem pembangunan bangsa ini,
ketidakadilan semakin prioritas. Masyarakat menjadi korban dari kebijakan penguasa
yang otoriter. Pasalnya, jika pembangunan fisik maupun pembangunan kehutanan
baik HPH, perkebunan berskala besar, pertambangan memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat di sekitar area proyek tentu perlawanan masyarakat tidak akan
bangkit dan melawan kebijakan pemerintah.
HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau yang sekarang disebut IUPHHK-Ha (ijin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam) merupakan pembangunan
kehutanan di Indonesia yang telah berlangsung sejak rezim orde baru. Disahkan
dalam peraturan pemerintah no 21 tahun 1970 pada masa orde Baru di addendum
tahun 2002 sebagai Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang melegalkan pembangunan
kehutanan dalam bentuk HPH/IUPHHK-Ha. Cara kerjanya meliputi pemanenan atau
penebangan, penanaman, pemeliharaan dan pemasaran. Sejak dikeluarkan peraturan
ini, sudah banyak perlawanan yang dilakukan masyarakat Indonesia karena hasil
81 
 

pengelolaan hutan tidak dirasakan masyarakat lokal. Perusahaan cenderung
menebang dan memasarkan hasil kayu sementara aspek penanaman dan pemeliharaan
terabaikan sudah begitu masyarakat tidak terlibat dalam kerja HPH. Selama
perusahaan beroperasi hak masyarakat atas hutan dibekukan dan area hutan menjadi
tanggung jawab pihak pengelola. Berbagai perlawanan masyarakat sejak rezim orde
baru sampai sekarang tidak berimplikasi menghapuskan pembangunan berbasis
kehutanan ini.
Paradigma UUD 1945 pasal 33 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” semakin memperkuat pembangunan kehutanan bertahan dan berkembang di
Indonesia. Asas dari suatu pembangunan tentu berimplikasi untuk mensejahterakan
masyarakat di sekitarnya, akan tetapi yang membuatnya bernilai buruk adalah para
pemilik modal (pengusaha/investor) yang bekerja di luar kesepakatan dan aturan yang
berlaku. Kewenangan yang diberikan sepenuhnya kepada investor menimbulkan
berbagai penyimpangan sehingga meresahkan warga dengan pembangunan yang
berlangsung di sekitar mereka. PT Karya Jaya Berdikari menjanjikan bahwa
pembangunan kehutanan akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
warga desa namun faktanya justru penderitaan. Bagi Scott munculnya perlawanan
petani salah satunya karena lemahnya kontrol pemerintah, sementara kaum tani hanya
sekelompok pencocok tanam yang mengolah dan berkebun demi memenuhi
kebutuhan subsisten. Jika elit modal mengabaikan etika subsistensi kaum tani maka

82 
 

akan

menimbulkan

memobilisasikan

aksi

bangkitnya
protes

resistensi. 8

karena

Watmuri

perusahaan

telah

diaspora
gagal

Ambon

mewujudkan

kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Pengelolaan yang demokratis adalah
pemanfaatan hutan yang mampu mengakomodasi pembagian kekuasaan dan
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah serta melibatkan masyarakat secara
transparan dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Namun
orientasi pemerintah kadangkala melindungi para investor sehingga terus melegalkan
suatu proyek dan mengabaikan keluhan masyarakat yang mengalami penyelewengan.
Karena itu, bagi Situmorang munculnya suatu gerakan perlawanan oleh masyarakat
dipengaruhi oleh tinggi tidaknya mereka merasakan dampak negatif dari aktifitas
perusahaan atau pengelola. 9 Masyarakat di desa Watmuri telah merasakan dampak
dari kebijakan pengelolaan hutan, untuk mewujudkan keresahan masyarakat lokal
maka orang Watmuri diaspora di Ambon menjadi representasi mereka untuk
melawan pembangunan yang tidak efektif itu. Hal ini yang bagi Scott tujuan dari
pemberontakan petani maupun atas nama petani salah satunya yakni meruntuhkan
sistem dominasi elit modal dan elit politik yang menindas kaum marginal untuk
menuju perubahan tata ekonomi baru yang lebih memberikan jaminan sosial dan
keadilan. 10

Kebijakan-kebijakan elit politik cenderung otoritarian sehingga

mengandalkan sistem dominasi dalam cara-cara pengelolaan sumber daya alam dan
merugikan kaum tani. PT Karya Jaya Berdikari merupakan representasi dari negara
                                                            
8

Scott, The Moral Economy, 165‐167 
Situmorang, Gerakan Sosial: Studi Beberapa, 104. 
10
 Scott, Perlawanan Kaum Tani, 274. 
9

83 
 

untuk mengelola sumber daya alam namun pengontrolan secara berkala oleh
pemerintah akan meminimalisir berbagai tindakan di luar ketentuan yang berlaku
dalam surat keputusan. Oleh karena itu, masyarakat sangat membutuhkan kepekaan
dari pemerintah untuk mengontrol proyek-proyek pembangunan agar tidak
menyimpang dalam proses-proses pelaksanaannya.
  

4.1.3. Masyarakat Watmuri Kehilangan Hutan Ulayat
Scott menggambarkan perilaku ekonomi petani yang berorientasi subsistensi
menampakan kenyataan bahwa keluarga petani merupakan gabungan unit konsumsi
dan produksi. Untuk tetap bertahan hidup yang didahulukan yakni memenuhi
kebutuhannya sebagai konsumen sesuai jumlah anggota keluarga. Mereka akan
merasa bahagia ketika kebutuhan subsisten telah terpenuhi oleh sebab itu,
mencukupkan kebutuhan ekonomi dan rasa aman akan jauh bermakna dibandingkan
mencari keuntungan jangka panjang. 11 Sejak perubahan pasar yang dikuasai
kapitalistik kaum tani mulai merasakan ketidakstabilan dalam proses produksi. Petani
mengalami banyak kendala untuk memenuhi kebutuhannya sehingga memutuskan
untuk menjual tanah dan bekerja pada tuan tanah kaya. Pengharapan petani yakni
hubungan patron-klien adalah hubungan yang fungsinya untuk melindungi kaum
marginal namun, kenyataannya petani semakin ditindas oleh para elit sehingga
menyebabkan munculnya pemberontakan. 12

                                                            
11

12

Scott, The Moral Ekonomi, 36  
Scott, Perlawanan Kaum, 53.  

84 
 

Di Watmuri, PT Karya Jaya Berdikari adalah representasi negara untuk
mengelola sumber daya hutan di sana, tentu saja mereka mempunyai hegemoni yang
sulit dibantah oleh masyarakat. Dalam konteks ini, PT KJB menempati posisi sebagai
superordinat (penguasa/pengontrol) sementara masyarakat Watmuri sebagai pihak
subordinat (pihak yang terkontrol). Hutan ulayat yang dulunya adalah hutan milik
bersama masyarakat telah dikuasai oleh perusahaan sekaligus menjadi pengontrol
terhadap aktivitas pengelolaannya sedangkan masyarakat Watmuri termasuk dalam
pihak terkontrol yang dibatasi dalam penggunaan hutan untuk perlandangan dan
berbagai aktivitas lainnya. Jika studi Scott lebih mengungkapkan bangkitnya
perlawanan petani karena merusak “moral ekonomi” maka resistensi Watmuri
diaspora tidak sebatas kesulitan-kesulitan ekonomi keluarga lebih dari itu yakni aspek
budaya. Merusak hutan sakral sebagai simbol dan nilai budaya masyarakat Watmuri
sama dengan menggeserkan adat-istiadat mereka. Selama ini, masyarakat sangat
menghargai warisan leluhur baik berupa aturan-aturan adat maupun pelestarian pada
tempat-tempat sakral namun atas persetujuan segilintir orang kepada PT Karya Jaya
Berdikari tahun 2012 silam, hutan sakral yang di kelilingi pohon-pohon besar dan
berkualitas ditebang dan diproduksi. Menurut Sulistyaningsih local knowledge
masyarakat yang bersifat religi (budaya) selalu ternihilkan dalam pengelolaan hutan
atas nama pembangunan. 13 Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh masyarakat yang
mendasarkan aturan adat dalam proses pemanfaatan hutan akan terlihat lebih asri
dibanding mereka yang mengutamakan keutungan. Selama ini hutan Watmuri
                                                            
13

Sulistyaningsih, Perlawanan Kaum, 15. 

85 
 

dibungkusi oleh pohon-pohon besar yang terpelihara secara baik namun, atas
kepentingan pembangunan yang berdiri sekarang hanya sisa-sisa batang pohon kering
hasil penebangan.
Respon Watmuri diaspora Ambon yang diwujudkan melalui aksi-aksi
penolakan pada perusahaan menunjukan sikap ketidakpuasan pada kinerja pengelola
yang mengabaikan pentingnya keterlibatan masyarakat serta perlindungan pada areaarea yang menjadi hutan sakral masyarakat. Sing mengemukakan gerakan protes pada
umumnya memobilisasi para partisipan untuk memperoleh perbaikan dari
ketidakpuasan yang didapatkan. 14 Mobilisasi Watmuri diaspora Ambon untuk
membangun aksi-aksi protes tentu dipengaruhi oleh sikap perusahaan yang cenderung
eksploitatif selama pengelolaan hutan di Watmuri. Eksploitatif tersebut nampak dari
sikap pengelola yang menebang pohon sebebas-bebasnya tanpa peta batas area HPH
sekaligus penebangan yang telah mengabaikan hutan-hutan terlarang warga terkait
hutan sakral yang sarat makna budaya bagi masyarakat lokal. Berdasrkan
ketidakpusasn atas kinerja perusahaan tersebut maka munculah resistensi diaspora
watmuri-Ambon. Sikap penolakan yang mereka lakukan hanya bertujuan
memperjuangkan hak masyarakat lokal yang tidak terpenuhi selama jalannya
pembangunan kehutanan di area hutan ulayat orang Watmuri.
4.1.4. Kepedulian Dan Mencintai Tanah Asal
Selain berbagai alasan yang telah diuraikan sebelumnya ada salah satu aspek
yang ingin ditunjukan masyarakat diaspora Ambon sebagai alasan bangkitnya
                                                            
14

 Sing, Social Movement Old And New: A Post, 36. 

86 
 

resistensi yakni mencintai tanah asal. Umumnya semakin jauh seseorang keluar dari
tanah asal dan menikmati kenyamanan di tempat yang baru akan cenderung
melupakan tempat asalnya. Namun sikap yang ditampilkan Watmuri diaspora Ambon
telah menunjukan wajah baru terhadap orang-orang perantau. Prinsip yang mereka
bangun ialah menyusahkan masyarakat desa sama dengan menyusahkan orang-orang
Watmuri di tanah rantau. Resintensi yang mereka lakukan bukan untuk mendapatkan
pengakuan dari orang-orang desa bahwa mereka memiliki kemampuan intelektual
atau mampu menyusun strategi-strategi perlawanan tetapi mengenai kecintaan
mereka pada tanah asal dan kepedulian pada orang-orang yang ada di dalamnya.
Hidup laeng lia laeng, satu rasa sama-sama rasa menjadi cara hidup bersama yang
membudaya bagi orang Watmuri dan terbawa sepanjang masa. Ketika perjuangan
Watmuri diaspora mengalami berbagai intimidasi dan ancaman-ancaman, mereka
tidak berhenti karena yang diperjuangkan adalah orang-orang Watmuri sebagai
keluarga mereka. Sikap masyarakat Watmuri diaspora telah menampilkan betapa
pentingnya menghargai tanah asal sebagai identitas mereka. PT Karya Jaya Berdikari
dengan sikap ekploitatif dalam menjalankan pembangunan kehutanan di desa
Watmuri telah meresahkan orang-orang Watmuri yang berada di desa maupun
diperantauan maka perlu adanya resistensi. Sebab, negosiasi antara masyarakat dan
perusahaan tidak cukup untuk mengatur kinerja perusahaan agar bekerja sesuai
peraturan kecuali pemerintah sebagai pemberi ijin yang melakukannya. Oleh karena
itu, resistensi Watmuri diaspora-Ambon cenderung mengkritisi kelalaian pemerintah

87 
 

yang diam di atas setiap penyimpangan yang dilakukan perusahaan pada masyarakat
lokal.  
4.2. Strategi Perlawanan Dalam Menolak Kebijakan Pengelolaan Hutan
Pelaksanaan pembangunan kehutanan di Watmuri menuai kontroversi di
kalangan masyarakat. Masyarakat Watmuri menuntut haknya sebagai pemilik hutan
ulayat yang telah diekploitasi agar tercipta kemerataan baik di pihak PT KJB maupun
di pihak masyarakat lokal. Akan tetapi, sikap pengelola tidak progresif terhadap
harapan warga. Pihak perusahaan memberikan beasiswa bagi beberapa keluarga akan
tetapi, diwacanakan telah menjalankan tanggung jawab bagi seluruh masyarakat di
Watmuri. Penyediaan air bersih sebagaimana yang pernah dijanjikan oleh perusahaan
tidak terealisasi begitupula dengan listrik yang ternihilkan. Itu pertanda pengelolaan
hutan tidak berdasarkan pada kepentingan bersama karena tindakan nyata sebagai
bukti kesejahteraan tidak nampak dalam masyarakat. Mendiamkan situasi seperti ini
sama halnya menyiksa masyarakat lokal secara berkelanjutan oleh sebab itu,
dibutuhkan protes-protes kolektif. Menurut Tarrow 15 hadirnya suatu perlawanan tidak
lepas dari faktor-faktor pendukungnya yakni pertama, solidaritas dan perasaan
bersama, senasib dan rasa memiliki. Keberadaan perusahaan mengelola hutan ulayat
orang Watmuri telah mengakibatkan berbagai kesulitan terjadi dalam masyarakat oleh
karena itu, memperjuangkan keberlangsungan hidup warga desa di masa yang akan
datang menjadi panggilan bersama Watmuri diaspora. Termotivasi pada satu prinsip,
menyusahkan warga desa sama saja menyiksa orang Watmuri di mana saja. Kedua,
                                                            
15

Tarrow, Power in Movement, 76‐77. 

88 
 

konflik sebagai fokus aksi kolektif. Munculnya konflik dilatarbelakangi oleh dua
kubu yang berusaha mempertahankan objek yang sama. Di satu sisi kelompok
superordinat (elit modal dan elit politik) sebagai barisan kapitalis membutuhkan
sumber daya hutan untuk diproduksi dan menghasilkan devisa serta keuntungan di
sisi lain masyarakat sebagai pemilik hutan berusaha mempertahankan hutan yang
diakui secara turun temurun. Adapun dua wajah kapitalis yang coba digambarkan
antara lain pengusaha adalah kapitalis yang memiliki modal (uang) sedangkan
masyarakat Watmuri termasuk kapitalis yang modalnya yakni hutan dan potensipotensi kayunya. Kendati demikian, pengusaha sebagai pemilik modal (uang) tentu
berpotensi besar untuk menguasai ketika negara memberikan kewenangan dan
dukungan. Apabila masyarakat lokal mudah terpengaruh oleh berbagai bujukan serta
janji-janji elit modal maka konflik maupun perlawanan manapun tidak dapat
menghentikan beroperasinya perusahaan di wilayah tersebut. Orang Watmuri
mengalami kondisi itu, berbagai cara telah diupayakan untuk menghentikan
eksploitasi hutan di sana namun hasilnya tetap nihil sampai pada munculnya
perlawanan dan konflik.
Selain itu sifat-sifat perlawanan Scott 16 yang sekaligus menjadi strategi
perlawanan meliputi Pertama bersifat organik, sistematis, dan kooperatif yakni
perlawanan yang terencana dan strategis serta membangun jejaring dengan segala
pihak untuk mencapai tujuannya. Orang-orang Watmuri diaspora Ambon melihat
ancaman eksploitasi dan kerusakan hutan semakin nyata dan memprihatinkan di
                                                            
16

 Scott, The Moral Economy Of The, 52‐55. 

89 
 

Watmuri. Adapun degradasi hutan terus meningkat di Watmuri sementara PT Karya
Jaya Berdikari sebagai pihak pengelola tidak pernah melakukan kebun bibit maupun
kebun pangkas dalam upaya rehabilitasi hutan yang telah dieksploitasi. Perusahaan
menebang pohon-pohon berkualitas hanya hitungan menit telah roboh namun untuk
mengembalikannya membutuhkan waktu dua bahkan tiga generasi kehidupan. Jika
kepedulian untuk melakukan rehabilitasi demi mengembalikan fungsi hutan seperti
sediakala tidak terpenuhi maka masyarakat sekitar hutan akan merasa terancam baik
dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga maupun aset bagi anak cucu di
kemudian hari. Oleh sebab itu, secara sistematis Watmuri diaspora berkonsolidasi
dengan pihak-pihak yang dapat mendukung upaya penolakan. Dukunganpun datang
dari berbagai pihak, pada sidang MPL sinode GPM wacana perlawanan masyarakat
menolak HPH disuarakan dan dibahas dalam forum sidang. Partisipasi anggota
DPRD provinsi Maluku yang bersama-sama dengan warga untuk mengadakan
pertemuan dengan menteri kehutanan. Dukungan tidak kalahnya dari masyarakat di
desa yang tetap pada prinsip menolak HPH tanpa terkontaminasi dengan isu-isu yang
membelokan niat penolakan.
Kedua berprinsip dan tidak mementingkan diri sendiri. Perlawanan yang
dilakukan Watmuri diaspora semata-mata untuk kepentingan masyarakat Watmuri
kini dan di masa yang akan datang. Kepentingan bersama didahulukan dalam
perlawanan karena hutan yang dikelola adalah hutan ulayat orang Watmuri. berbagai
dampak yang dirasakan antara lain, keterbatasan menggunakan area hutan;

90 
 

meningkatnya kerusakan hutan; serta banjir yang mengalirkan ranting-ranting pohon
ke laut sehingga mencemarkan biota laut dan terumbu karang merupakan sederetan
dampak dari pengelolaan hutan yang mengabaikan masalah ekologi jangka panjang.
Bagi Arif Budiman, pembangunan yang dianggap berhasil adakalanya tidak memiliki
daya kelestarian yang memadai sehingga rentan terhadap berbagai kerusakan. 17
Kejadian-kejadian yang dialami orang Watmuri ketika terjadi pencemaran yang
merusak terumbu karang telah membuktikan kinerja perusahaan yang mengabaikan
kelestarian lingkungan. Atas dasar kepentingan bersama maka resistensi yang
dilakukan Watmuri diaspora Ambon bertujuan untuk menyuarakan keluhan dan
keresahan pengelola yang tidak representatif bagi masyarakat lokal.
Ketiga, berkonsekuensi revolusioner. Aksi-aksi protes kolektif sampai saat ini
belum mencapai hasil yang signifikan yakni pencabutan ijin pengelolaan hutan di
Watmuri. Oleh karena itu, strategi perlawanan yang dilakukan oleh Watmuri diaspora
sekarang yakni bersifat tertutup. Selama proses pengambilan data melalui wawancara,
perlawanan itu tidak lagi berkoar-koar seperti dilakukan sebelumnya karena kuatnya
perlawanan tidak akan meruntuhkan kebijakan pemerintah. Namun perlawanan itu
tidak berhenti, mereka bergerak lebih tertutup dan dilakukan secara diam-diam
dengan cara mendukung kepala daerah maupun legislatif yang dapat berpihak pada
persoalan riil masyarakat di Maluku Tenggara Barat secara umum dan Watmuri
secara khusus. Pemimpin yang concern pada lingkungan, jujur dan berpihak pada
suara rakyat tidak mudah untuk menggunakan kewenangan jabatan demi melegalkan
                                                            
17

Arief Budiman, Teori Pembangunan, 6‐7.  

91 
 

ijin pembangunan kehutanan yang menghancurkan tatanan budaya masyarakat lokal.
Harapan ini masih diupayakan oleh seluruh masyarakat baik diaspora maupun yang
berada di Maluku Tenggara Barat. Saat ini yang menjadi harapan bersama
masyarakat Watmuri yaitu elit modal dapat memanfaatkan hutan ulayat masyarakat
lokal dengan pertimbangan aspek budaya serta ekologi dan mematuhi aturan-aturan
hukum yang mengatur proses-proses produksi. Jika pihak pengelola melanggar
aturan-aturan yang berlaku maka pemerintah mesti menindaklanjuti agar tidak
memperluas tindakan ketidakadilan.
 

4.3. Kesimpulan
 

Latarbelakang munculnya perlawanan tidak lain tentang hak masyarakat lokal
yang terabaikan. Perusahaan cenderung eksploitatif dan melihat masyarakat sebagai
aspek yang tidak penting dalam proses-proses pengelolaan sehingga hutan dikuasai
sepenuhnya oleh perusahaan. Pertimbangan masyarakat bahwa hutan yang dikelola
ialah hutan ulayat, sejak dulu penggunaannya demi kepentingan bersama warga
karenanya, pengelolaannyapun harus merata. Mengabaikan keterlibatan masyarakat
lokal serta sosial-ekonomi sebagai kewajiban pengelola tidak nampak dalam
masyarakat akan menimbulkan protes-protes kolektif. Sisi lain dari teori James Scott
yang ditemukan penulis dalam penelitian ini, jika Scott melihat perlawanan petani
Asia Tenggara disebabkan oleh hilangnya “moral ekonomi petani” maka perlawanan
Watmuri diaspora sebagai representasi petani desa terkait rusaknya hutan yang sarat
makna budaya (hutan sakral). Masyarakat Watmuri sampai sekarang masih kuat

92 
 

berpedoman pada aturan adat yang mengatur relasi mereka dengan sesama dan alam
lingkungannya. Bagi mereka memelihara dan menjalankan aturan-aturan adat tidak
bertentangan dengan ajaran agama yang diyakini sejauh menghasilkan makna positif
untuk kehidupan bersama. Oleh karena itu, segala sesuatu yang pernah bersentuhan
dengan peninggalan leluhur akan dikhususkan oleh warga agar warisan adat istiadat
tidak hilang karena perubahan dunia yang semakin cepat. Lihat saja Natirdas yang
masih dijaga kesakralannya begitu pula di tempat-tempat lain. Apabila ada yang
mengacaukan kebiasaan ini maka sama dengan membangkitkan resistensi warga.
Kehadiran PT Karya Jaya Berdikari memberi kesan buruk dalam sistem kerjanya.
Pasalnya, di area hutan tertentu masih mengandung unsur kesakralan bagi masyarakat
Watmuri terutama di area negeri lama dari masing-masing soa. Di sana terdapat
pohon-pohon besar yang dipercayai sebagai tempat tinggal arwah leluhur sehingga
warga dilarang untuk melakukan penebangan yang merusak lokasi-lokasi itu. Ketika
PT Karya Jaya berdikari mendapatkan ijin pengelolaan di hutan Watmuri, pohonpohon besar dan berkualitas diberangus sampai habis tanpa mempedulikan makna
budaya dari masyarakat lokal terkait tempat-tempat sakral mereka.
Sekarang masyarakat watmuri telah teralienasi dari hutan milik mereka
sendiri. Upaya-upaya penolakan bahkan tidak efektif untuk mencabut ijin usaha di
desa Watmuri. menyikapi berbagai keluhan dan dampak eksploitasi hutan bagi
masyarakat di Watmuri, apakah pemerintah hanya sebatas diam dan menutup mata?
Diharapkan pemerintah lebih objektif dalam menilai kinerja perusahaan agar tidak

93 
 

merambah makin jauh dari aturan-aturan pengelolaan yang berlaku. Proses
pengelolaan mesti mengedepankan masyarakat lokal dengan meninjau adat-istiadat
serta fungsi hutan yang selama ini mereka bangun, dengan begitu pengelolaan hutan
akan jauh dari berbagai keluhan masyarakat.

94 
 

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Oma Panggel Pulang: identitas sosial bagi masyarakat Diaspora di Negeri Oma, Pulau Haruku, Maluku Tengah T2 752014021 BAB IV

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB IV

0 1 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Watmuri Diaspora: Kajian terhadap Penolakan Masyarakat Watmuri Diaspora Ambon atas Pengrusakan Hutan Sakral di Watmuri

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Watmuri Diaspora: Kajian terhadap Penolakan Masyarakat Watmuri Diaspora Ambon atas Pengrusakan Hutan Sakral di Watmuri T2 752015003 BAB V

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Watmuri Diaspora: Kajian terhadap Penolakan Masyarakat Watmuri Diaspora Ambon atas Pengrusakan Hutan Sakral di Watmuri T2 752015003 BAB II

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Watmuri Diaspora: Kajian terhadap Penolakan Masyarakat Watmuri Diaspora Ambon atas Pengrusakan Hutan Sakral di Watmuri T2 752015003 BAB I

0 2 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB IV

0 1 9

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB IV

0 0 4

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Guru SMP Negeri 9 Ambon T2 BAB IV

0 1 40

AGRARIAN CONFLICT IN WATMURI VILLAGE NIRUNMAS DISTRICT SOUTH EAST WEST OF MALUKU REGENCY

0 0 13