Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi makhluk manusia,
artinya hanya dengan hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya.
Hal ini berarti manusia tidak mungkin hidup secara atomistis dan soliter seperti yang
diduga oleh teori-teori spekulatif1. Tidak dapat disangkal bahwa secara kodrati
manusia memang makhluk bermasyarakat.2 Manusia selalu membutuhkan manusia
lain untuk saling memenuhi kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup antar manusia
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup inilah yang dalam Islam disebut
dengan muamalah.3
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, perilaku-perilaku ekonomi4
manusia muncul dengan sendirinya. Kegiatan ekonomi pada awalnya berhubungan
dengan ihwal kerumahtanggaan yang sangat sederhana sifatnya. Seiring dengan
perkembangan komunitas manusia, semakin beragam pula kebutuhan hidup yang

1

Teori spekulatif adalah teori2 yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, John Locke dan

Rousseau yang mengandaikan adanya keadaan pra negara dengan individu2 yang hidup secara
atomistis dan perlu mengadakan perjanjian masyarakat atau kontrak sosial untuk hidup bermasyarakat.
2
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
Cet. 3, 2009, hlm. 43.
3
HZ Syarafuddin dkk, Studi Islam 2, Surakarta, Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar
Bidang Studi Islam dan Kemuhammadiyahan UMS, 1996, hlm. 137.
4
Perkataan “ekonomi” berasal dari bahasa Latin, Oikonomia. Oikonomia terdiri atas kata
“oikos” yang berarti “rumah tangga” dan dan “nomos” yang berarti “mengatur”. Secara literal,
oikonomia atau ekonomi berarti “mengatur rumah tangga”. Suherman Rosyidi, Pengantar Teori
Ekonomi Pendekatan okn Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro, Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2000, hlm. 5.

1

Universitas Sumatera Utara

2


ingin dipenuhi. Oleh sebab itu kegiatan ekonomi berkembang pula menjadi kegiatan
yang semakin kompleks dan rumit.5
Cara manusia untuk memenuhi kebutuhan dan mendistribusikan kebutuhan
hidupnya, didasari oleh filosofi yang berbeda antara seorang manusia yang satu
dengan manusia lain, antara

satu kelompok masyarakat dengan kelompok

masyarakat lain, antara suatu negara dengan negara yang lain. Hal ini terjadi sebagai
akibat perbedaan keyakinan, agama, ideologi, budaya hukum (legal culture), serta
kepentingan politik yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas
masyarakat.6
Pengaruh agama juga turut mewarnai sistem hukum dan sistem perekonomian
Indonesia. Prinsip-prinsip dalam Islam, sebagai agama yang dianut mayoritas
masyarakat Indonesia, telah diakomodasi ke dalam hukum positif di Indonesia. Salah
satu bentuk penerapan prinsip-prinsip Islam ke dalam sistem hukum Indonesia adalah
diterapkannya sistem hukum ekonomi syariah di Indonesia di samping sistem hukum
ekonomi konvensional. Meskipun institusi ekonomi keuangan itu selalu berevolusi,


5

Kegiatan ekonomi yang semakin kompleks kemudian melahirkan ilmu ekonomi. Paul A.
Samuelson menyatakan: “Economics is a study of how people choose to use scarce or limitid
productive resource to produce various commodities and distribute these goods to variuos member of
society for their consumption” (Ilmu ekonomi adalah kajian tentang perilaku manusia dalam
hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barangbarang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi). Dari definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa ekonomi adalah perilaku manusia yang berhubungan dengan bagaimana proses dan
cara memperoleh dan mendayagunakan produksi, distribusi, dan konsumsi atas barang dan jasa. Paul
A. Samuelson, Economics, New York, McGraw-Hill Book Co, 1973, hlm. 2.
6
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta, Sinar Grafika, Edisi I, 2008, hlm. 1.
Mengenai pengaruh ideologi, agama, budaya dan politik terhadap ekonomi, selengkapnya lihat M.
Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Cet. I, Jakarta: Kholam
Publishing, 2008, hlm. 138-139. Lihat pula Lawrence M Friedman, American Law, W.W. Norton &
Co. London, 1984, hlm. 5–6.

Universitas Sumatera Utara

3


kebangkitan perbankan Islam tidak dapat dikatakan sebagai semata-mata proses
evolusi dari industri keuangan yang ada. Harus dipahami bahwa pandangan hidup
muslim (worldview) yang melihat Islam sebagai sebuah perangkat aturan dari
perilaku untuk seluruh area kehidupan termasuk aspek ekonomi, merupakan sebuah
kekuatan pendorong (driving force) atas kelahiran perbankan Islam.7
Dalam konteks inilah keberadaan maupun kehadiran lembaga keuangan
mutlak adanya. Karena lembaga keuangan bertindak sebagai perantara antara unit
supply dan unit demand.8 Sebagai lembaga intermediary keuangan, bank syariah
memiliki kegiatan utama berupa penghimpunan dana dari masyarakat melalui
simpanan dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito yang menggunakan prinsip
wadi’ah yad dlamanah (titipan), dan mudharabah (investasi bagi hasil). Bank
kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat umum dalam
berbagai bentuk skim, seperti skim jual beli/al-ba’i (murabahah, salam, dan
istishna), sewa (ijarah), dan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah), serta produk
pelengkap, yakni fee based service, seperti hiwalah (alih utang piutang), rahn (gadai),
qard (utang piutang), wakalah (perwakilan, agency), dan kafalah (garansi bank).9
Dalam hal ini masyarakat menyerahkan dananya pada bank syariah pada dasarnya
7


Hukum bukan sesuatu yang steril. Hukum bukan sesuatu yang bebas nilai. Hukum dapat
dipengaruhi oleh berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Hukum dipengaruhi oleh budaya hukum
masyarakat tertentu. Sikap atau persepsi masyarakat hukum antara lain dipengaruhi oleh nilai-nilai
agama, filosofi, pendidikan, kepentingan, dan kebudayaan.7 Hukum, sebagaimana halnya dengan
ekonomi, merupakan sesuatu yang lahir dari kehidupan sosial manusia, oleh sebab itu hukum dan
ekonomi tidak mungkin terlepas dari pengaruh nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Lawrence M
Friedman, American Law, W.W. Norton & Co. London, 1984, hal. 5-6.Lihat pula Ridwan Khairandy,
“Landasan Filosofis Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum, Edisi Khusus 18 Oktober 2011, hlm. 38.
8
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait, Jakarta, RajaGrafindo
Persada,1996, hlm. 16.
9
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti,
2003, edisi IV, hal.59-61, Tim Bank Syari’ah Mandiri, Apa dan Bagaimana Bank Syari’ah, Jakarta:
BSM Cab. Meruya, 2005, hlm. 14-15.

Universitas Sumatera Utara

4


tanpa jaminan yang bersifat kebendaan dan semata-mata hanya dilandasi oleh
kepercayaan bahwa pada waktunya dana tersebut akan kembali ditambah dengan
sejumlah keuntungan (return). Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan
masyarakat tersebut, bank harus melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential).
Prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas
landasan ideologis saja, melainkan juga merupakan landasan operasionalnya. Bank
syariah dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan nilai-nilai ekonomi
Islam secara utuh. Tidak hanya kegiatan usaha atau produknya saja yang harus sesuai
dengan prinsip syariah, tetapi juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat
hukum yang timbul dalam operasionalnya. Sengketa antara bank dan nasabah, semua
juga harus didasarkan dan diselesaikan sesuai dengan prinsip syariah tersebut. Pada
ayat 2 dan 3 Pasal Undang-Undang Perbankan Syariah dijelaskan bahwa pemenuhan
prinsip syariah harus dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam
antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun)10, kemaslahatan
(maslahah)11 dan universalisme (alamiyah)12 serta tidak mengandung gharar13,
maysir14, riba15, zhalim16 dan objek haram17.

10
‘Adl yaitu menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya
pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Tawazun adalah keseimbangan yang

meliputi aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis
dan sosial serta keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian. Asas keseimbangan merupakan asas
yang pada dasarnya tidak diatur dalam hukum perjanjian dalam KUHPerdata. Asas-asas fundamental
yang diatur dalam KUHPerdata adalah asas kebebasan berkontrak, asas konsesnsualisme, asas pacta
sunt servanda, asas itikad baik dan asas kepribadian. Asas keseimbangan ditetapkan salah satu dari
delapan Asas Hukum Perikatan Nasional pada Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 17-19 Desember 1985. Asas-asas
lainnya adalah asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum,
asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.
11
Maslahah adalah segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material
dan spiritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi 3 (tiga) unsur yaitu kepathan syariah
(halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak
menimbulkan kemudharatan.

Universitas Sumatera Utara

5

Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai

bentuknya, dan menggunakan sistem keuangan bebas bunga antara lain berdasarkan
prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, bank syariah18 dapat menciptakan iklim
investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik
keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi
yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan
mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya
dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.19 Mudharabah
merupakan salah satu bentuk akad pembiayaan pada bank syariah yang berlandaskan
prinsip bagi hasil. Mudharabah ini merupakan akad kerja sama usaha antara dua
pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak.20
12

Alamiyah adalah sesuatu yang dapat dilakukan dan diterima oleh, dengan dan untuk semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai
dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).
13
Gharar adalah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam

syariah.
14
Maysir yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti untung
dan ruginya.
15
Riba adalah pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil) antara lain dalam
transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl),
atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu ( nasiah).
16
Zhalim adalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya
17
Objek haram adalah suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah.
18
Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008: “Bank syariah adalah bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”. Bank yang tidak beroperasi berdasarkan
prinsip syariah disebut bank konvensional. Dengan demikian Indonesia menerapkan dual system
banking dalam kegiatan perekonomian saat ini.
19

Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
20
Menurut Afzalur Rahman, mudharabah adalah suatu kontrak atau perjanjian kemitraan
(partnership) yang berlandaskan pada prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang memberikan

Universitas Sumatera Utara

6

Dalam pembiayaan mudharabah, hubungan antara pihak bank dengan dengan
pihak nasabah pengelola dana didasarkan pada prinsip kepercayaan (amanah),
maksudnya pengelola dana (mudharib) dipercaya untuk mengelola modal
mudharabah. Mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan modal 100% sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan dimuka
dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal sepanjang kerugian tersebut tidak
disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengelola, dalam hal ini harus dilakukan
investigasi terhadap sebab-sebab kerugian.

Apabila kerugian diakibatkan karena


kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas
kerugian tersebut.21 Karena kepercayaan merupakan prinsip terpenting dalam
transaksi pembiayaan mudharabah, maka mudharabah dalam istilah bahasa Inggris
disebut trust financing atau trust investment. Prinsip inilah yang membedakan
pembiayaan yang menggunakan akad mudharabah dengan akad-akad lainnya.
Berdasarkan prinsip trust financing tersebut, pihak pemilik modal (shahibul
mal) pada prinsipnya tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk
mengembalikan modal atau modal dengan keuntungan. Jika pihak shahibul mal
mempersyaratkan pemberian jaminan dari nasabah pengelola (mudharib) dan
menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah tersebut
modalnya kepada pihak lain untuk melakukan bisnis dan kedua pihak membagi keuntungan atau
memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama. Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam
Jilid 4, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 32.
21
Produk dan prinsip pembiayaan Mudharabah PT Bank Syariah Mandiri No. PP.M.I.II.3
tanggal 28 Desember 2007 hlm 1.

Universitas Sumatera Utara

7

menurut mayoritas ulama (jumhur ulama) tidak sah (ghair shahih) karena
bertentangan dengan prinsip dasar kontrak “amanah” dalam mudharabah.22
Meskipun fiqih tidak mengizinkan pemilik modal/investor untuk menuntut
jaminan dari mudharib, dalam kenyataannya, bank syariah umumnya benar-benar
meminta beragam bentuk jaminan, baik dari mudharib sendiri maupun dari pihak
ketiga. Bank syariah menegaskan bahwa jaminan tidak dibuat untuk memastikan
kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan
syarat-syarat kontrak. International Islamic Bank for Investment and Development,
misalnya,

mempersyaratkan

bagi

pemohon

pendanaan

mudharabah

untuk

menyatakan jenis jaminan yang dapat mereka berikan kepada bank. Demikian juga,
salah satu klausul dalam kontrak mudharabah pada Faisal Islamic Bank of Egypt
menyatakan, “jika terbukti bahwa mudharib menyalahgunakan atau tidak sungguhsungguh melindungi barang-barang atau dana-dana, atau bertindak bertentangan
dengan syarat-syarat investor, maka mudharib harus menanggung kerugian, dan harus
memberikan jaminan sebagai pengganti kerugian semacam ini.”23
Di Indonesia, penerapan jaminan untuk pembiayaan mudharabah adalah sah
(legal) adanya, baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah maupun berdasarkan peraturan Bank Indonesia. Majelis Ulama
melalui lembaga Dewan Syariah Nasional (DSN) juga membolehkan praktik jaminan
22

Pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali sebagaimana dikutip oleh Ah.
Azharuddin Latif, ”Penerapan Hukum Jaminan dalam Pembiayaan di Perbankan Syariah”,
http/www.uin-jakarta.ac.id dan http://azharuddinlathif.com, diakses tanggal 07 April 2015.
23
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: a Study of Riba And Its Contemporary
Interpretation, Arif Maftuhin (penerjemah), Menyoal Bank Syari’ah, Jakarta, Paramadina, 2004, hlm.
86.

Universitas Sumatera Utara

8

tersebut.24 Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Perbankan Syariah menyatakan,
“Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau Unit
Usaha Syariah, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas”.
Pemilik modal tidak dibenarkan ikut dalam pengelolaan usaha, tetapi diperbolehkan
membuat usulan dan melakukan pengawasan.25 Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila mengalami kerugian ditanggung pemilik modal selama kerugian tidak
dikarenakan kelalaian pengelola, jika kerugian itu diakibatkan kecurangan atau
kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.26 Hal ini dipertegas dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
07/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah pada bagian ketiga angka 3
yang menyatakan, “pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena
pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari
kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”. Oleh karena itu,
agunan dalam mudharabah hanya dapat dipergunakan dengan batasan-batasan
tertentu dan tidak semua kerugian dapat ditutupi dengan agunan.
Fungsi jaminan pada akad mudharabah berbeda dengan fungsi jaminan pada
perbankan konvensional. Fungsi jaminan pada perbankan konvensional adalah
24

Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000. Ichwan Syam dkk, Himpunan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional, Jakarta, DSN-MUI dan BI, 2003, Cet. 2, hlm. 45 Lihat pula ketentuan dalam Pasal
23 dan Pasal 40 Undang-Undang Perbankan Syariah.
25
Warkum Sumitro, Op.Cit.,hlm 32.
26
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta, Ekonisia, 2004, hlm 70.

Universitas Sumatera Utara

9

sebagai penjamin atas utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur,
karena pada dasarnya perjanjian yang telah disepakati oleh kreditur dengan debitur
adalah perjanjian utang piutang. Jaminan pada akad mudharabah pada hakikatnya
hanya untuk menjamin mudharib agar tidak melakukan suatu penyimpangan ataupun
melalaikan kewajibannya (moral hazard).
Kewajiban menyerahkan jaminan ini sesuai dengan Fatwa DSN MUI No.
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah pada angka 7 bagian 1
tentang Ketentuan Pembiayaan, yang berbunyi:
“Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun
agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS (Lembaga Keuangan
Syariah) dapat meminta agunan dari mudharib atau pihak ketiga. Agunan ini
hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran
terhadap hal-hal yang disepakati dalam akad.
Berdasarkan ketentuan ini, jika mudharib menderita kerugian yang murni
bukan karena kesalahan, kelalaian dan pelanggaran kesepakatan, maka jaminan tidak
dapat disita.
Aturan mengenai jaminan juga dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasar Prinsip Syariah yaitu pasal 6 huruf O
yang menyatakan, “Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi
resiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam
akad karena kelalaian dan atau kecurangan”.

Universitas Sumatera Utara

10

Salah satu bank yang melakukan pembiayaan mudharabah adalah PT Bank
Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada. Calon nasabah yang ingin mengajukan
permohonan mudharabah disyaratkan memberikan jaminan kepada pihak bank. Nilai
jaminan tersebut harus melebihi dari peminjaman dana, sebagai jaminan dalam
melunasi hutangnya. Hal ini ditegaskan Pasal 1 angka 1 Akad Pembiayaan
Mudharabah PT Bank Syariah Mandiri

yang mengatakan bahwa jaminan atau

agunan dalam pembiayaan mudharabah, baik itu benda bergerak atau tidak bergerak
guna menjamin pelunasan hutang nasabah kepada bank. Dalam Pasal 10 selanjutnya
dinyatakan bahwa apabila barang jaminan telah menurun nilai harganya (nilai harga
jaminan kurang dari peminjaman dana) dari perjanjian semula, pihak bank akan
melakukan pembaharuan kontrak dengan pihak nasabah.
Adanya persyaratan bagi nasabah untuk menyediakan jaminan dalam
pengajuan pembiayaan mudharabah, pada prinsipnya tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan bidang perbankan di Indonesia dan tidak pula
bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional sebagaimana telah dibicarakan.
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana batasan untuk menyatakan
seorang mudharib melakukan kelalaian dalam mudharabah? Berbagai aturan yang
ada tidak memberi batasan yang jelas mengenai kelalaian dan sejauh mana kelalaian
mudharib dapat berakibat pada terjadinya eksekusi jaminan. Persoalan selanjutnya
adalah bagaimana implementasi prinsip syariah dalam pelaksanaan eksekusi terhadap
agunan tersebut? Berdasarkan hal tersebut, menarik untuk dilakukan penelitian lebih

Universitas Sumatera Utara

11

mendalam mengenai “implementasi prinsip syariah dalam eksekusi jaminan terhadap
kerugian yang diakibatkan kelalaian mudharib dalam pembiayaan mudharabah pada
PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada”.
B. Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk kelalaian mudharib yang mengakibatkan
timbulnya kerugian dalam pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh PT
Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada?
2. Bagaimanakah penyelesaian pembiayaan mudharabah bermasalah akibat
kelalaian mudharib di PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada?
3. Bagaimanakah implementasi

prinsip syariah dalam pelaksanaan eksekusi

jaminan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian mudharib di PT
Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan
tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bentuk-bentuk kelalaian mudharib yang yang mengakibatkan
timbulnya kerugian dalam pembiayaan mudharabah Bank Syariah Mandiri
Cabang Medan Gajahmada.

Universitas Sumatera Utara

12

2. Memahami penyelesaian pembiayaan mudharabah bermasalah akibat
kelalaian mudharib di PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada.
3. Menganalisis implementasi prinsip syariah dalam pelaksanaan eksekusi
jaminan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian mudharib di PT
Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, untuk memperluas pengetahuan di bidang hukum, khususnya
hukum perbankan syariah, terutama kaitannya dengan pelaksanaan eksekusi
jaminan dalam pembiayaan mudharabah di Indonesia dalam upaya
mewujudkan sistem pembiayaan pada perbankan syariah yang sesuai prinsip
syariah.
2. Secara praktis:
a) Bagi pemerintah, sebagai suatu kajian ilmiah yang dapat dipakai dalam
menentukan politik hukum perekonomian nasional yang berkaitan dengan
regulasi, khususnya di bidang hukum perjanjian yang lebih menjamin
keadilan bagi para pihak dalam perjanjian berdasarkan prinsip syariah.
b) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
kalangan akademisi, praktisi serta para pelaku usaha yang bergerak di
bidang usaha berdasarkan prinsip syariah, khususnya pada perbankan
syariah, agar dapat memahami eksistensi jaminan dalam perjanjian
berdasarkan prinsip syariah.

Universitas Sumatera Utara

13

E. Keaslian Penelitian
Hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara,
khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul yang sama dengan
judul tesis yang

direncanakan, belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan

beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini yaitu antara lain :
1. Saraswati Jaya, NIM 087011111, judul Perlindungan Hukum terhadap Bank
sebagai Kreditur Pemegang Hak Tanggungan dalam Penangguhan Eksekusi
Jaminan Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dengan
rumusan masalah:
a.

Bagaimana proses eksekusi hak tanggungan oleh bank sebagai kreditur
separatis dan perlindungan hukum yang didapat oleh kreditur tersebut.

b.

Bagaimanakah kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dengan
adanya lembaga penangguhan eksekusi.

c.

Bila penangguhan eksekusi yang diakhiri oleh debitur insolven (tidak
mampu membayar utang-utangnya), bagaimana hak eksekusi kreditur
pemegang tanggungan dilaksanakan.

2. Muhammad

Nur,

NIM

067011057,

judul

Pelaksanaan

Pemberian

Mudharabah kepada Koperasi (Studi pada Bank Muamalat Cabang Medan)
dengan rumusan masalah:
a.

Bagaimana tata cara pemberian mudharabah kepada Koperasi pada Bank
Muamalat Cabang Medan.

Universitas Sumatera Utara

14

b.

Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan
pemberian pembiayaan mudharabah kepada Koperasi.

c.

Bagaimanakah penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi dalam
pembiayaan secara mudharabah kepada Koperasi pada Bank Muamalat
Cabang Medan.

Dari judul-judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian
yang akan dilakukan, sebab penelitian yang akan dilakukan adalah mengenai kriteria
untuk menentukan adanya kelalaian yang dilakukan mudharib dalam pembiayaan
mudharabah. Dengan demikian penelitian dengan judul

"Implementasi

Prinsip

Syariah dalam Eksekusi Jaminan terhadap Kerugian yang diakibatkan oleh Kelalaian
Mudharib dalam Pembiayaan Mudharabah pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang
Medan Gajahmada" belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga penelitian ini
dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau
pegangan teoritis dalam penelitian.27 Sebuah penelitian membutuhkan kerangka teori
untuk dapat menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut, apalagi di
dalam penelitian-penelitian yang berhubungan dengan disiplin ilmu hukum yang

27

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Madju, 1994, hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara

15

membutuhkan teori guna menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian
tersebut.
Sudikno Mertokusumo menyatakan, teori hukum adalah cabang ilmu hukum
yang menganalisis secara kritis dalam perpektif interdisipliner, dari pelbagai aspek
perwujudan (fenomena) hukum secara tersendiri atau menyeluruh baik dalam
konsepsi teoritis maupun dalam pelaksanaan praktis dengan tujuan memperoleh
pengetahuan yang lebih baik dan uraian yang lebih jelas tentang bahan-bahan yuridis
ini.28 Perkembangan ilmu hukum tidak lepas dari teori hukum sebagai landasannya
dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulatpostulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini
tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem
pemikiran para ahli hukum sendiri.29
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi30, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada
fakta-fakta

yang

dapat

menunjukkan

ketidakbenarannya.31

M.Solly

Lubis

menyatakan konsep teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca
menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak

28

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka,
2012, hlm. 87.
29
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Hukum dan Masalah-Masalah Kontemporer,
Susunan III), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 2.
30
J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial-Asas-asas, (Penyunting: M.Hisyam),
Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hlm. 203.
31
M. Solly Lubis, Op.Cit, hlm. 27.

Universitas Sumatera Utara

16

disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti.
Teori mempunyai kegunaan yang paling sedikit mencakup hal-hal sebagai
berikut:32
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi;
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan peneliti.
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori
Maqashid Syariah. Maqashid syariah berarti tujuan syariah. Menurut Ash-Shatibi,
tujuan utama syariat Islam yang disebut dengan istilah maqashid syariah adalah
mencapai kesejahteraan hakiki manusia yang terletak pada perlindungan terhadap
lima elemen, yaitu keimanan (ad-dien), ilmu (al-‘ilm), kehidupan (an-nafs), harta (almaal) dan kelangsungan keturunan (an-nasl). Kelima elemen tersebut pada dasarnya
merupakan sarana yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan kehidupan yang baik
dan terhormat. Jika salah satu dari lima elemen ini tidak tercukupi, niscaya manusia
tidak akan mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya.33 Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa teori ini bertujuan mewujudkan kemaslahatan.

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1984, hlm. 121.
Ash-Shatibi sebagaimana dikutip oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
(P3EI) Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 54.
Kesejahteraan harus diwujudkan melalui cara-cara yang sesuai dengan syariah Islam sehingga akan
33

Universitas Sumatera Utara

17

Sistem ekonomi Islam secara umum dapat dikatakan merupakan sistem
ekonomi yang menekankan pada konsep manfaat kegiatan ekonomi yang luas, sejak
proses transaksi sampai hasil akhirnya. Setiap kegiatan, termasuk proses transaksi,
harus mengacu kepada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas keadilan. Prinsip
ini juga menekankan para pelaku ekonomi untuk selalu menjunjung tinggi etika dan
norma hukum dalam kegiatan ekonomi.34 Islam memiliki konsep-konsep pemikiran
ekonomi yang filosofis, nilai-nilai etika ekonomi yang moralis, dan norma-norma
hukum ekonomi yang tegas dan jelas. Ekonomi Islam berakarkan akidah Islamiyah
yang ajeg (kokoh) dan dibingkai dengan tiga pilar utama, yaitu konsep yang filosofis,
nilai etika yang moralis dan hukum yang normatif aplikatif.35
Di kalangan ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa hukum mempunyai
tiga nilai dasar yang juga merupakan tujuan hukum yaitu: keadilan (justice),
kepastian (certainty/zakerheid), dan kegunaan (utility).36 Keadilan sepadan dengan
keseimbangan

(balance,

mizan)

dan

kepatutan

(equity)

serta

kewajaran

(proporsionality). Kepastian hukum terkait dengan ketertiban (order) dan keteraturan,
yang berkaitan dengan keamanan dan ketenteraman. Sedangkan kegunaan diharapkan
terbentuk suatu peradaban yang luhur. Peradaban Islam adalah peradaban yang mengedepankan aspek
budi pekerti atau akhlak, baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia maupun hubungannya
dengan Tuhan. Kesejahteraan hanya dapat dicapai jika manusia hidup dalam keseimbangan
(equilibrium), sebab keseimbangan merupakan sunnatullah (hukum alam). Lihat QS 67:3-4 dan QS
36:40.
34
Fathurrahman Djamil, “Prinsip Ekonomi Syariah dan Implementasinya dalam Lembaga
Keuangan Syariah”, Makalah disampaikan pada Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan
Profesionalisme Bagi Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama Peradilan Agama Wilayah Hukum
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Semarang, DI Yogyakarta, Bandung, Banten dan DKI Jakarta di
Batu - Malang, 1-4 Mei 2006, hlm. 1.
35
Muhammad Amin Suma, Op.cit., hlm. 51.
36
Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006, hlm. 19

Universitas Sumatera Utara

18

dapat menjamin bahwa semua nilai tersebut akan mewujudkan kebahagiaan dan
kedamaian hidup bersama.37
Sistem ekonomi dan perbankan syariah dalam konteks tujuan negara
kesejahteraan (welfare state) merupakan salah satu sistem ekonomi yang hidup dan
telah memainkan peran signifikan di dunia. Sistem ekonomi syariah juga merupakan
sistem alternatif bagi dunia usaha untuk menciptakan tatanan ekonomi nasional yang
menjanjikan keadilan dan mendukung kesejahteraan masyarakat. Untuk itu
pembahasan mengenai ekonomi syariah termasuk perbankan syariah terus menerus
dikembangkan di tengah masyarakat di berbagai forum agar selaras dengan
perkembangan zaman. Sistem ekonomi syariah memiliki nilai-nilai unggul yang
membedakannya dengan sistem ekonomi konvensional. Nilai-nilai itu antara lain
adalah: prinsip keadilan, prinsip kemitraan, prinsip

keseimbangan, prinsip

kemaslahatan, larangan praktik bunga (riba), larangan kegiatan spekulatif (maysir),
larangan kegiatan yang bersifat eksploitatif dan sebagainya, sehingga konsep
ekonomi syariah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan moralitas.38
Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan
perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhkan dan menghendaki
pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistem bunga, melainkan atas dasar
prinsip bagi hasil39

atau jual beli sebagaimana digariskan syariat Islam.40 Bank

37

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 9.
Setiawan Budi Utomo, “Kajian Hukum atas Keabsahan Produk Perbankan Syariah
dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Tujuan Negara Kesejahteraan”, Disertasi,
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2011, hlm. 19.
39
Bunga dan bagi hasil dapat digambarkan sebagai berikut, yaitu:1). Penentuan keuntungan
untuk bunga pada waktu perjanjian dengan asumsi selalu untung, sedangkan pada bagi hasil pada
waktu akad dengan pedoman kemungkinan untung rugi. 2). Besarnya presentasi untuk bunga
38

Universitas Sumatera Utara

19

berdasarkan prinsip bagi hasil juga diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan
lembaga-lembaga keuangan lainnya yang telah terlebih dahulu dikenal dalam sistem
perbankan Indonesia. Disamping itu pendirian jenis bank bagi hasil ini akan dapat
memberi pelayanan kepada bagian masyarakat yang karena prinsip agama atau
kepercayaan tidak bersedia menggunakan jasa perbankan konvensional.
Istilah bank bagi hasil kemudian dirumuskan secara lebih tegas dengan istilah
“bank berdasarkan prinsip syariah” dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.41
Dalam pasal 1 angka 3 undang-undang tersebut dinyatakan: “Bank Umum adalah
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan
Prinsip Syariah42 yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

didasarkan pada jumlah uang/modal yang dipinjamkan,sedangkan untuk bagi hasil didasarkan pada
jumlah keuntungan yang diperoleh. 3). Pembayaran bunga sebagaimana yang diperjanjikan tanpa
pertimbangan untung rugi, sedangkan bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek, bila rugi
ditanggung bersama. 4). Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat walaupun keuntungan berlipat,
sedangkan bagi hasil sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. 5). Eksistensi bunga diragukan
oleh agama, sedangkan bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya. Wirdaningsih, dkk, Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hlm. 41.
40
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa dalam masyarakat banyak kelompok yang
memiliki prinsip bahwa sistem bunga yang dianut oleh perbankan merupakan pelanggaran terhadap
syariat agama dan merupakan riba yang di dalam hukum Islam merupakan perbuatan dosa atau haram.
Sejalan dengan itu bank dengan prinsip bagi hasil ini dimaksudkan untuk melayani segmen pasar
tersebut. Lihat Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta, Intermedia, 1995, hlm. 121.
41
Meskipun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah mengakomodir peraturan bank
syariah, namun belum mengatur ketentuan perbankan syariah pada pasal-pasal khusus. Dalam undangundang tersebut, ketentuan bank syariah baru sebatas mendefinisikan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan. UU tersebut juga mengubah
masing-masing satu ayat pada pasal 6 dan 7 yang berkaitan dengan pembiayaan bagi hasil, serta pasal
13 yang berkaitan dengan usaha bank perkreditan rakyat. Dengan demikian, sebelum disahkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, lembaga dan operasional bank
syariah di Indonesia belum memiliki payung hukum tersendiri.
42
Pasal 1 angka 13 UU No. 10 Tahun 1998 menyatakan: “Prinsip Syariah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan

Universitas Sumatera Utara

20

pembayaran”. Sejak keluarnya undang-undang tersebut maka bank syariah
merupakan lembaga yang telah diakui secara yuridis sebagai bagian dari sistem
perbankan Indonesia. Bank syariah semakin mendapat kepastian setelah Pemerintah
Indonesia mensahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Undang-undang ini merupakan jaminan bagi kepastian usaha dan jaminan
perlindungan hukum yang sangat diperlukan bagi semua kalangan yang berhubungan
dengan bank syariah untuk memastikan bahwa pelaksanaan dan operasional
perbankan syariah tetap berjalan secara konsisten dengan prinsip syariah.
Terdapat empat perbedaan mendasar antara bank konvensional dengan bank
syariah.43 Pertama, dari segi akad dan legalitas. Akad yang dilakukan bank syariah
memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam. Kedua, mengenai struktur organisasi. Bank Syariah dapat memiliki
struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional, tetapi unsur yang
membedakan adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas
mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis syariah.
Ketiga, mengenai bisnis dan usaha yang dibiayai. Pada Bank Syariah, bisnis dan
usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Keempat, mengenai

modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya
pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina). Sedangkan dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2008 dinyatakan: “Prinsip Syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Lihat juga Peraturan
Bank Indonesia No. 10/16/PBI/2008 pada pasal 1 ayat 6.
43
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani
Pres, 2001, hlm.32.

Universitas Sumatera Utara

21

lingkungan kerja dan corporate culture. Sifat amanah dan shidiq harus melandasi
setiap karyawan sehingga tercipta profesionalisme yang berdasarkan Islam, dan
dalam hal reward dan punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan
syariah.44
Di antara keempat perbedaan mendasar antara lembaga keuangan syariah
dengan lembaga keuangan konvensional, akad45 atau transaksi pada bank syariah
merupakan bagian yang sangat penting karena akad merupakan landasan keterikatan
antara bank dan nasabah yang menimbulkan hak dan kewajiban. Kegiatan bisnis
pada bank syariah harus ada transaksi pendukung (underlying transaction) yang jelas,
sehingga uang tidak boleh mendatangkan keuntungan dengan sendirinya, tanpa ada
alas transaksi, seperti jual beli yang akan menimbulkan margin, sewa-menyewa yang
akan menimbulkan fee dan penyertaan modal yang akan memperoleh bagi hasil.46
Mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2006 tentang
Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dinyatakan bahwa kegiatan penyaluran dana
dapat dilakukan melalui prinsip bagi hasil, jual beli, sewa menyewa, dan prinsip
pinjam meminjam.47

44

Ibid.
Akad sebagaimana didefiniskan dalam pasal 20 KHES, adalah “kesepakatan dalam suatu
perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum
tertentu”.
46
Fathurrahman Djamil, Op.Cit., hlm.5.
47
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta, UII Press,
2008, hlm.262.
45

Universitas Sumatera Utara

22

Salah satu kegiatan usaha penyaluran dana perbankan dengan menggunakan
prinsip bagi hasil adalah pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah
merupakan akad pembiayaan antara bank syariah sebagai shahibul-mal dan nasabah
sebagai mudharib untuk melaksanakan kegiatan usaha, dimana bank syariah
memberikan modal usaha sepenuhnya (100 persen) dan nasabah menjalankan
usahanya. Hasil usaha atas pembiayaan mudharabah akan dibagi antara bank syariah
dan nasabah dengan nisbah yang telah disepakati pada saat terbentuknya perjanjian
(akad).48
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh bank
syariah kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini
bank sebagai shahibul-mal

(pemilik dana) membiayai 100% (seratus persen)

kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan nasabah (pengusaha) bertindak sebagai
mudharib atau pengelola dana. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan
pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan
sesuai dengan syariah dan bank tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau
proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.49

48

Dalam Pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan: “Akad adalah
kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah”. Secara bahasa, akad adalah
ikatan antara dua hal, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun
dua segi. Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, Dar al-Fikr, Damaskus, 1996, hal. 80.
Para ahli Hukum Islam mendefinisikan akad sebagai hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan
kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh/ akibat hukum pada objek perikatan. Rumusan
akad ini menunjukkan bahwa akad terdiri dari adanya para pihak untuk mengikatkan diri tentang
perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal tertentu. Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum
Perjanjian dalam Transakasi di Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal. 6.
Akad adalah istilah yang mempunyai pengertian sama dengan kontrak.
49
Warkum Sumitro, Op.Cit., hlm 32.

Universitas Sumatera Utara

23

Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad
berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh
muamalah juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta
adanya keadaan memaksa.50 Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung
oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada
akad bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau arrahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan ke
rumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak
tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak
sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah
ganti rugi dari pihak yang lalai.51 Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia
harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian
berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan
perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus
membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja
atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati
maka barang tersebut harus diganti. Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal
dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama
mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.

50
51

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 120-121.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

24

Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah
disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi
sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang
menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak
menghukum orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan
lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maksimal untuk memenuhi
prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam
pembayaran hutang.52
Dalam praktik pembiayaan, keberadaan agunan sebagai jaminan tambahan
ternyata menjadi hal yang lebih diutamakan oleh bank dibandingkan dengan sekedar
jaminan berupa keyakinan bahwa debitur akan mampu mengembalikan kredit atau
pembiayaan yang diterimanya. Di samping itu, untuk lebih meyakinkan bahwa
agunan yang diberikan akan mampu menjamin pengembalian kredit atau pembiayaan
bila terjadi wanprestasi, maka agunan yang diserahkan oleh debitur harus dilakukan
pengikatan.53
Pengikatan jaminan/agunan merupakan perjanjian accessoir (perjanjian buntut
atau perjanjian turutan), sedangkan perjanjian pokoknya dalam konteks perbankan
berupa pemberian kredit atau pembiayaan. Oleh karena itu, berdasarkan doktrin
hukum maka perjanjian accessoir dibuat berdasarkan suatu perjanjian pokok. Bila
perjanjian pokok hapus maka perjanjian accessoir juga harus dihapuskan. Perjanjian
52

Ibid., hlm.123
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2000, hlm. 400.
53

Universitas Sumatera Utara

25

kredit atau pembiayaan adalah perjanjian pokok dan perjanjian pengikatan
jaminan/agunan adalah perjanjian accessoir. Dengan demikian untuk pengamanan
pemberian kredit atau pembiayaan seharusnya setelah perjanjian ditandatangani
segera dilakukan perjanjian pengikatan jaminan kredit atau pembiayaan. 54
Kelalaian mudharib merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
kegagalan dan kerugian dalam pembiayaan mudharabah. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, kelalaian termasuk salah satu bentuk wanprestasi atau
cedera janji. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi
buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang
dibuat antara kreditur dan debitur.55
Menurut Rutten, “lalai adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi
janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat
dipersalahkan kepadanya”.56 Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kelalaian merupakan faktor yang menyebabkan seorang debitur (mudharib) dapat
dipersalahkan dan dituntut untuk melakukan ganti rugi atas kelalaiannya.
Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, debitur tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus
54

M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta, Rejeki Agung, 2002,

hlm. 110.
55

Abdul R Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 15.
Rutten dalam J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan pada Umumnya, Bandung, Alumni,
1999, hlm. 100.
56

Universitas Sumatera Utara

26

diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. 57 Yang
dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur
melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti
oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M. Yahya Harahap,
kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi
baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa
belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” atau ”in morastelling”.
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah

sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada
dalam pikiran. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia
teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.58 Konsep diartikan sebagai kata
yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang
disebut dengan defenisi operasional.59
Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas
masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu
masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Tan Kamello, pentingnya defenisi
operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.60

57

R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. Ke-34, Jakarta, AKA, 2004,

hlm.324.
58

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, 1999, hlm. 34.
Sumandi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 3.
60
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung,
Alumni, 2004, hlm. 31.
59

Universitas Sumatera Utara

27

Konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian.
Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini perlu dirumuskan serangkaian defenisi
operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak
akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang
dibahas

Dokumen yang terkait

Analisis Perbandingan Bank Konvensional Dan Bank Syariah Dengan Menggunakan Rasio Keuangan

1 89 69

Analisis Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Dengan Prinsip Mudharabah Pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan

4 77 167

PELAKSANAAN AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA PT BANK SYARIAH MANDIRI CABANG METRO

2 7 44

Penyelesaian kewajiban atas kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian mudharib di bank danamon syariah kantor cabang solo berdasarkan fatwa dewan syariah nasional no. 07 dsn mui iv 2000

0 3 76

IMPLEMENTASI PEMBEBANAN JAMINAN KEPADA MUDHARIB DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH (STUDI DI BANK MUAMALAT CABANG SURAKARTA).

0 0 15

Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

0 0 14

Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

0 0 2

Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

0 2 36

Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada Chapter III VI

0 0 63

Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

0 0 8