Efek Sitoprotektif Ekstrak Daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.) terhadap Sel Vero yang diinduksi Hidrogen Peroksida (H2O2) Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan adalah penilitian eksperimental.
Penelitian meliputi identifikasi tumbuhan, pengumpulan dan pengolahan bahan
tumbuhan, pemeriksaan karakterisasi simplisia dan ekstrak, pembuatan ekstrak,
pengukuran viabilitas sel, analisis apoptosis secara flow sitometri dan analisis
ekspresi ROS secara imunositokimia. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas
laboratorium, autoclave (Hirayama), blender (Philips), conical tube, eksikator,
ELISA reader (BenMark Biorad), inkubator CO2 (Heraceus), FACScan flow
cytometer, inverted microscope (Olympus), laminar air flow (Labconco),
mikropipet, neraca kasar (Home Line), neraca listrik (Vibra AJ), oven (Memmert),
penangas air (Yenaco), rotary evaporator (Haake D1), sentrifugator, seperangkat
alat penetapan kadar air, seperangkat alat destilasi, cawan porselen alas rata,
vortex, 6-well microplate, 24-well microplate dan 96-well microplate.
3.1.2 Bahan
Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini dalah daun Afrika

(Vernonia amygdalina Del.). Bahan kimia yang digunakan kecuali dinyatakan
lain adalah berkualitas pro analisis adalah 3,3’-diaminobenzidin (Sigma), air

43
Universitas Sumatera Utara

suling, annexin V, dimetilsulfoxida (DMSO) (Sigma), entellan, etanol, etilasetat,
Fetal Bovine Serum (FBS) 10% (v/v) (Gibco), Fungizone (amfoterisin B) 0,5 %,
hepes (Sigma), hidrogen peroksida 3%, kloroform, M199, natrium bikarbonat
(Macalai tesque), Sodium dodesil sulfat dalam 0,01 N HCl, n-heksana, PBS
(Gibco), dan sel Vero merupakan koleksi Laboratotium Parasitologi Fakultas
Kedokteran UGM.
3.2 Pengambilan dan Pengolahan Sampel
3.2.1 Pengambilan sampel
Sampel yang digunakan adalah daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.)
yang masih segar dan tua. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif tanpa
membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel diambil
dari Jalan Tangkul, Kelurahan Sidorejo Hilir, Kecamatan Medan Tembung,
Medan, Sumatera Utara.
3.2.2 Identifikasi daun Afrika

Identifikasi daun Afrika dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia Pusat Penelitian Biologi – LIPI Bogor.
3.2.3 Pembuatan simplisia
Bahan tanaman daun Afrika dikumpulkan, sortasi basah dilakukan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan asing, dicuci bersih di bawah air
mengalir, ditiriskan, dan ditimbang beratnya. Daun Afrika selanjutnya
dikeringkan di lemari pengering hingga kering, sortasi kering untuk memisahkan
benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan
pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering,

44
Universitas Sumatera Utara

kemudian ditimbang beratnya dan disimpan dalam wadah plastik yang tertutup
rapat (Depkes RI, 1985).
3.3 Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada daun segar dan simplisia
meliputi pemeriksaan bentuk, warna, dan rasa.
3.4 Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia daun

Afrika. Serbuk simplisisa daun Afrika diletakkan di atas kaca objek yang telah
ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, selanjutnya
diamati di bawah mikroskop.
3.5 Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi
toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin,
tabung penyambung dan tabung penerima.
Cara kerja:
Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat,
lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30
menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml.
Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah
ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena
mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian
besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap
detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan

45
Universitas Sumatera Utara


toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima
dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah
sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air
yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang
diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).
3.6 Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak dilakukan secara maserasi bertingkat (re-maserasi)
(Depkes RI, 1986), yaitu serbuk simplisia dengan perbandingan tertentu direndam
dengan cairan penyari berturut-turut n-heksana, etilasetat dan etanol.
Sebanyak 10 bagian serbuk simplisia daun Afrika dimasukkan ke dalam
bejana tertutup, ditambahkan 75 bagian penyari yaitu n-heksana lalu bejana
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk.
Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas dicuci dengan cairan penyari
secukupnya, diaduk dan diserkai hingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100
bagian. Maserat dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan ditempat sejuk
terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan atau saring. Pemekatan
ekstrak dilakukan dengan menggunakan rotary evaporator pada 40ºC (Depkes RI,
1979). Kemudian ekstrak dikeringkan di atas penangas air hingga diperoleh
ekstrak kental. Maserasi selanjutnya dilakukan menggunakan pelarut etilasetat
dan etanol dengan cara yang sama.

3.7 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia ekstrak daun Afrika meliputi pemeriksaan senyawa
golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.

46
Universitas Sumatera Utara

3.7.1 Pemeriksaan flavonoid
Serbuk simplisia dan masing-masing ekstrak ditimbang dan ditambahkan
10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke
dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida
pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif
jika terjadi warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol
(Farnsworth, 1966).
3.7.2 Pemeriksaan alkaloid
Serbuk simplisia dan masing-masing ekstrak sebanyak 0,5 g disari dengan
1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama
2 menit, didinginkan dan disaring.Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:
a. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer
b.Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

c. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff
Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari
tiga percobaan di atas (Depkes RI, 1995).
3.7.3 Pemeriksaan saponin
Serbuk simplisia dan masing-masing ekstrak sebanyak 0,5 g dimasukkan
dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian
dikocok kuat-kuat selama 10 detik, jika terbentuk buih yang stabil selama tidak
kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm dan dengan penambahan 1 tetes asam
klorida 2 N buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

47
Universitas Sumatera Utara

3.7.4 Pemeriksaan tanin
Serbuk simplisia dan masing-masing ekstrak sebanyak 0,5 g disari dengan
10 ml air suling selama 15 menit lalu disaring. Filtratnya diencerkan dengan air
suling sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 12 tetes larutan pereaksi besi (III) klorida 1 %. Warna biru atau hijau kehitaman
menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).).
3.7.5 Pemeriksaan glikosida
Serbuk simplisia dan masing-masing ekstrak sebanyak 3 g disari dengan

30 ml campuran dari 7 bagian etanol 95% dengan 3 bagian air suling,
ditambahkan asam klorida 2 N hingga pH larutan 2, direfluks selama 10 menit,
dinginkan dan disaring. Filtrat sebanyak 20 ml diambil, ditambahkan 25 ml air
suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkam selama 5 menit,
disaring. Filtrat diekstraksi dengan 20 ml campuran kloroform dengan isopropanol
(3:2) dan dilakukan sebanyak tiga kali. Kumpulan sari air diuapkan pada
temperatur tidak lebih dari 50oC, sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan
ini dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air, sisanya
ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch, kemudian ditambahkan 2 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Cincin ungu pada batas kedua cairan
menunjukkan adanya ikatan gula pada glikosida (Depkes RI, 1995).
3.7.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid
Serbuk simplisia dan masing-masing ekstrak sebanyak 1 g dimaserasi
dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan
penguap. Sisanya ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam
sulfat pekat (pereaksi Liebermann-Burchard), terbentuk warna biru atau biru hijau

48
Universitas Sumatera Utara


menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu
menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1996).
3.8 Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas sitoprotektif ini, disterilkan
terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas dan plastik yang akan digunakan
disterilkan didalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit (Lay, 1994).
3.9 Pembuatan Media
3.9.1 Pembuatan media M199
Komposisi: M199 sachet, spesifikasi: GIBCO Lot No. 819942, dengan Earle’s
salt, dengan L-glutamine, tanpa NaHCO3, netto 9,5 g
Akuabidest
NaHCO3
Hepes
HCl 1 N
NaOH 1 N

1 L
2,2 g
2 g


Cara pembuatan: Sebanyak 1 sachet M199 sachet, 2,2 g NaHCO3, 2 g Hepes
dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ditambahkan 800 mL aquabidest steril dan
dihomogenkan menggunakan magnet stirer. Diatur pH 7,2 – 7,4 dengan
menggunakan pH meter. Penyesuaikan pH dilakukan dengan menambahkan HCL
1 N (bila larutan basa) atau NaOH 1 N (bila larutan asam). Ditambahkan
aquabidest hingga volume 1 L dan dilakukan sterilisasi dengan filter vaccum di
dalam LAF (Laminar Air Flow). Dipasang filter aparatus steril pada botol duran 1
L steril. Lakukan proses penyaringan dengan menggunakan filter, aliquot media
ditampung dalam botol duran 500 mL, diberi identitas pada botol media (nama

49
Universitas Sumatera Utara

media, tanggal pembuatan, expire date, nama pembuat). Media disimpan pada
suhu 2-8oC.
3.9.2 Pembuatan media MK-M199
Komposisi :

Foetal Bovine Serum (FBS) 10 %
Penisilin-streptomisin

3%
Fungison
1%
M199
ad 100 mL

Cara pembuatan: Campur semua bahan di atas, dan dilakukan di dalam LAF
(Laminar Air Flow), beri identitas pada botol MK (nama media, tanggal
pembuatan, expire date, dan nama pembuat), simpan pada suhu 2-8oC.
3.10 Penumbuhan Sel Vero
Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, ambil 10 mL
media M199 pada tabung konikel, ambil ampul dari freezer -80oC (sel Vero) atau
tangki nitrogen dan cairkan pada suhu kamar, ambil suspensi sel dalam ampul,
masukkan tetes demi tetes ke dalam media M199 yang telah disiapkan, sentrifuge
pada 600 rpm selama 5 menit, buang supernatan dan tambahkan 4 mL MK-M199
dan resuspensi hingga homogen. Transfer masing-masing 2 mL ke dalam flask
kultur baru. Tambahkan 5 mL MK-M199 ke dalam masing-masing flask kultur,
dan homogenkan. Amati kondisi sel dengan menggunakan inverted microscope.
Pastikan sel homogen pada seluruh permukaan flask kultur (tidak menggerombol
pada bagian tertentu). Beri identitas pada flask kultur, kemudian simpan dalam

inkubator CO2.
3.10.1 Subkultur sel Vero
Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, lakukan
pengerjaan pada LAF. Lakukan proses panen sel Vero dengan cara mengambil

50
Universitas Sumatera Utara

500 µL panenan sel Vero dan masukkan ke dalam flask kultur. Tambahkan 6 mL
MK-M199, homogenkan. Inkubasi sel pada inkubator CO2, amati kondisi sel pada
keesokan harinya.
3.10.2 Panen sel Vero
Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, amati kondisi
sel Vero. Panen dilakukan apabila sel telah dalam kondisi 80% konfluen, semua
pekerjaan dilakukan pada LAF. Buang MK-M199 (sel Vero) dari flask dengan
mikropipet atau pipet pasteur, cuci sel 2 kali dengan 5 mL PBS (Phosphate Buffer
Saline), tambahkan 400 µL Tripsin-EDTA 0,25% secara merata, kemudian
inkubasi di dalam inkubator CO2 selama ± 5 menit, dan tambahkan 4 mL MK
untuk menginaktifkan tripsin. Resuspensi sel dengan mikropipet agar sel terlepas
satu-satu (tidak menggerombol). Amati keadaan sel di inverted microscope.
Resuspensi sel kembali jika masih ada sel yang menggerombol. Transfer sel ke
dalam tabung konikel.
3.10.3 Perhitungan sel Vero
Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, ambil 10 µL
panenan sel dan pipetkan ke dalam hemositometer. Hitung jumlah sel di bawah
mikroskop dengan menggunakan counter. Hemositometer terdiri dari 4 kamar
hitung (A, B, C, dan D), setiap kamar hitung terdiri dari 16 kotak (Gambar 3.1).
Hitung sel pada 4 kamar hemositometer, sel yang gelap (mati) dan sel yang berada
di batas luar di sebelah kiri dan atas tidak ikut dihitung. Sel di batas kanan dan
bawah ikut dihitung. Hitung jumlah sel per mL dengan rumus:

∑ sel ml =

∑ selA + ∑ selB + ∑ selC + ∑ selD x10

4

4

51
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.1 Hemositometer
Hitung jumlah total sel yang diperlukan. Misalnya untuk menanam sel pada tiap
sumuran 96-well plate, maka jumlah total sel yang diperlukan adalah
1x104/sumuran x 100 sumuran (dibuat lebih) = 1x106 sel
Hitung volume panenan sel yang diperlukan (dalam mL) dengan rumus:
Jumlah total sel yang diperlukan
Volume panenan sel =
Jumlah sel terhitung /mL
Ambil volume panenan sel, transfer ke tabung konikel baru kemudian tambahkan
MK sampai total volume yang diperlukan (CCRC , 2009).
3.11 Pembuatan Larutan Uji
Masing-masing ekstrak (n-heksana, etil asetat dan etanol) ditimbang
sebanyak 50 mg dalam mikrotube, kemudian dilarutkan dalam dimetilsulfoksida
(DMSO) sebanyak 100 µL, divortex agar sampel terlarut sempurna kemudian
dicukupkan dengan MK-M199, kemudian dibuat pengenceran selanjutnya sampai
diperoleh larutan uji dengan konsentrasi 100 µg/mL, 50 µg/mL, 25 µg/mL, 12,5
µg/mL, dan 6,25 µg/mL semua pengenceran dilakukan dengan menggunakan
MK-M199 (CCRC, 2009).

52
Universitas Sumatera Utara

3.12 Analisis Viabilitas Sel
Sel Vero ditanam pada microplate 96 sumuran sehingga diperoleh
kepadatan 1 x 104 sel/sumuran dan diinkubasi selama 24 jam untuk mendapatkan
pertumbuhan yang baik. Setelah itu medium diganti dengan yang baru kemudian
ditambahkan ekstrak sampel uji pada berbagai konsentrasi dengan cosolvent
DMSO (Sigma) dan diinkubasi pada 37 oC dalam inkubator CO2 5% selama 24
jam. Pada akhir inkubasi, media dan ekstrak dibuang kemudian sel dicuci dengan
PBS (Sigma). Pada masing-masing sumuran, ditambahkan dengan atau tanpa 100
µL H2O2 0,8 mM dan setelah 3 jam ditambahkan 100 µL MTT (Sigma) 5 mg/mL.
Sel diinkubasi kembali selama 4-6 jam dalam inkubator CO2 5%, 37 oC. Reaksi
MTT dihentikan dengan reagen stopper (SDS 10% dalam HCl 0,01 N), plate
dibungkus agar tidak tembus cahaya dan dibiarkan selama satu malam. Serapan
dibaca dengan ELISA reader (Benchmark Bio Rad) pada panjang gelombang 595
nm (Park, et al., 2014; Ueda, et al., 2002).Persen sel hidup dihitung menggunakan
rumus (Merloo, et al., 2011).
%viabilitas =

absorbansi sel dengan perlakuan − absorbansi kontrol media
x 100%
absorbansi kontrol media sel − absorbansi kontrol media

Perbedaan viabilitas sel pada tiap-tiap waktu inkubasi akibat perlakuan
ekstrak uji dengan berbagai seri konsentrasi terhadap kontrol sel dianalisis
menggunakan program SPSS 17 dengan uji ANAVA satu arah, taraf kepercayaan
95% kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey. Perbedaan yang signifikan
ditunjukkan dengan nilai signifikansi < 0,05.

53
Universitas Sumatera Utara

3.13 Pengujian Apoptosis
Pengujian apoptosis menggunakan metodeflow sitometri. Jumlah sel yang
dibutuhkan untuk uji apoptosis adalah sebanyak 5x105 sel/sumuran yang
kemudian ditanam pada microplate 6 sumuran, lalu diinkubasi selama 24 jam.
Keesokan harinya sel ditambahkan sampel uji lalu diinkubasi kembali selama 24
jam. Pada masing-masing sumuran, ditambahkan dengan atau tanpa 2000 µL
H2O2 0,8 mM, setelah 3 jam kemudian diambil media pada masing-masing
sumuran pada tiap konsentrasi lalu dimasukkan dalam tabung konikel 15 mL lalu
media dicuci 1 x dengan PBS dan dibuang. Ditambahkan tripsin 250 µL pada tiap
sumuran lalu diinkubasi selama 3 menit pada suhu 37oC (pastikan di bawah
mikroskop sel tidak menggerombol satu sama lain untuk mendapatkan hasil yang
maksimal). Setelah itu, ditambahkan 1 mL media kultur lalu media ditampung
pada tabung konikel 15 mL. Disentrifugasi dengan kecepatan 600 rpm selama 5
menit dan supernatannya dibuang. Lalu ditambahkan sebanyak 1 mL PBS
kemudian media dimasukkan ke dalam mikrotube 1,5 mL dan disentrifugasi lagi
dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit, setelah itu supernatannya dibuang.
Ditambahkan Annexin V dan propidium iodida. Lalu diukur dengan alat flow
sitometer (Hostanska, et al., 2004).
3.14 Analisis Ekspresi ROS
Analisis

ekspresi

ROS

diukur

dengan

menggunakan

metode

imunositokimia. Sel sebanyak 5x104/sumuran ditanamkan ke dalam plat 24
sumuran yang telah dilapisi dengan coverslip pada bagian dasarnya, kemudian
diinkubasi selama 24 jam. Keesokan harinya sel ditambahkan sampel uji lalu
diinkubasi kembali selama 24 jam. Pada masing-masing sumuran, ditambahkan

54
Universitas Sumatera Utara

dengan atau tanpa 1000 µL H2O2 0,8 mM, diinkubasi selama 3 jam. Pada akhir
waktu inkubasi, sel dicuci dengan PBS kemudian ditambahkan metanol dingin,
dilanjutkan inkubasi dalam pendingin 4oC selama 10 menit. Setelah itu, metanol
dibuang dan coverslip yang memuat sel diletakkan pada dish bersih. Sel yang
telah difiksasi dengan metanol kemudian dicuci dengan akuades 3 kali dan
diinkubasi dengan larutan hidrogen peroksidaselama 10 menit pada temperatur
kamar kemudian dibuang. Sel tersebut kemudian diinkubasi dengan prediluted
blocking serum selama 10 menit pada suhu kamar, kemudian dibuang. Setelah
inkubasi, antibodi monoklonal ROS ditambahkan pada sel kemudian diinkubasi
selama 1 jam pada suhu kamar. Coverslip kemudian dicuci dengan PBS dan
ditetesi antibodi sekunder (biotinylated universal secondary antibody) dan
kemudian diinkubasi selama 10 menit. Sel dicuci kembali menggunakan PBS dan
ditetesi dengan streptavidin enzim horse radish peroxidase dan diinkubasi selama
10 menit. Sel dicuci kemudian ditambahkan 3,3’-diaminobenzidin serta diinkubasi
selama 5 menit (sampai warna coklat). Sel dicuci lagi dengan PBS dan akuades
kemudian dengan larutan Mayer-Haematoksilin dan diinkubasi selama 5 menit,
selanjutnya sel dicuci kembali menggunakan akuades sampai bersih, ditambahkan
etanol 70% inkubasi selama 2 menit, bersihkan, kemudian diteteskan larutan xylol
dan keringkan. Setelah kering, coverslip diletakkan diatas kaca obyek dan ditetesi
mounting media serta ditutup dengan cover glass. Pengamatan dilakukan dengan
mikroskop yang dilengkapi dengan optilab dan memakai Software Image Raster
perbesaran 10x40 (Cho, et al., 2009).

55
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Pusat Penelitian Biologi (Research Center for Biology) Bogor yang
menunjukkan bahwa tumbuhan termasuk suku Asteraceae, spesies Vernonia
amygdalina Del. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1.
4.2 Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik terdiri dari pemeriksaan bentuk, warna dan
rasa. Hasil pemeriksaan makroskopik daun Afrika adalah daun tunggal berbentuk
seperti ujung tombak, tulang daun menyirip, tepi daun bergerigi dan kasar,
permukaan berambut sangat halus, panjang 15-19 cm, lebar 5-8 cm, berwarna
hijau, dan rasanya pahit, sedangkan hasil pemeriksaan makroskopik terhadap
simplisia daun afrika berwarna hijau kecoklatan dan mempunyai bentuk yang
mengerut.
4.3 Pemeriksaan Mikroskopik
Hasil

pemeriksaan

mikroskopik

serbuk

simplisia

daun

Afrika

menunjukkan adanya rambut penutup multiseluler, kristal kalsium oksalat
berbentuk prisma dan rosette, pembuluh kayu (xylem) bentuk spiral dan stomata
tipe anomositik.
4.4 Penetapan Kadar Air
Hasil pemeriksaan kadar air serbuk simplisia daun Afrika sebesar 7,97%.
Hasil penetapan kadar air simplisia dari daun afrika secara umum memenuhi

56
Universitas Sumatera Utara

syarat yaitu≤ 10% (Depkes RI, 1985). Penetapan kadar air dilakukan untuk
memberikan batasan minimal kandungan air yang masih dapat ditolerir di dalam
simplisia.
4.5 Skrining Fitokimia
Tujuan dilakukannya skrining fitokimia adalah untuk mengetahui senyawa
metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia dan ekstrak. Hasil skrining
fitokimia dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Skrining Fitokimia Daun Afrika
No
Skrining
Simplisia ENDA
EEADA
1.



Alkaloid
2.
+

+
Flavonoid
3.
+

+
Glikosida
4.
+

+
Saponin
5.
+


Tanin
6.
+
+
+
Steroid/terpenoid
Keterangan: ( + ) Positif : mengandung golongan senyawa
( − ) Negatif: tidak mengandung golongan senyawa

EEDA

+
+
+
+
+

Hasil pemeriksaan skrining fitokimia menunjukkan bahwa flavonoid,
glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid terdapat pada serbuk simplisia
dan ekstrak etanol daun Afrika (EEDA), sedangkan pada ekstrak n-heksana daun
Afrika (ENDA) hanya mengandung golongan senyawa steroid/terpenoid dan pada
ekstrak etilasetat daun Afrika (EEADA) mengandung golongan senyawa
flavonoid, glikosida, saponin dan steroid/triterpenoid.
Ekstraksi simplisia daun Afrika dilakukan dengan cara maserasi bertingkat
yang dimulai dari pelarut non polar hingga pelarut polar secara berturut yaitu nheksana, etilasetat dan etanol. Pemisahan ini bertujuan untuk memisahkan
senyawa kimia yang terdapat pada daun Afrika berdasarkan tingkat kepolarannya.

57
Universitas Sumatera Utara

Senyawa polar akan larut di dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan larut
dalam pelarut non polar.
Hasil ekstraksi dari 500 g serbuk simplisia daun afrika diperoleh ENDA
sebanyak 14,08 g, EEADA sebanyak 22,96 g dan EEDA sebanyak 19,79 g.
4.6 Aktivitas Sitoprotektif Ekstrak Daun Afrika
4.6.1 Analisis viabilitas sel dengan metode MTT
Salah satu uji sitoprotektif yang bersifat kuantitatif adalah MTT Assay [3(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]. Pada uji ini digunakan
garam MTT yang akan direduksi menjadi kristal formazan oleh suatu sistem
reduktase suksinat tetrazolium yang terdapat dalam mitokondria dari sel hidup.
Prinsip pengukurannya berdasarkan aktivitas mitokondria dari sel hidup. Bila
terjadi penurunan atau peningkatan jumlah sel hidup akan menyebabkan
perubahan pada aktivitas mitokondria, hal ini akan terlihat pada banyaknya kristal
formazan yang terbentuk (Merloo, et al., 2011). Uji ini dilakukan dengan
pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme
suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna.
Kristal formazan setelah pemberian MTT berwarna gelap dan berserabut.
Kristal-kristal formazan tersebut dapat menembus membran sel dan terakumulasi
di dalam sel sehat. Jumlah produk formazan secara langsung proposional dengan
jumlah sel hidup. Semakin banyak sel hidup maka semakin banyak sel yang aktif
melakukan metabolisme sehingga jumlah produk formazan yang terbentuk juga
semakin banyak. Semakin banyak produk formazan yang terakumulasi ini
menyebabkan intensitas warna ungu meningkat dalam plate. Sel yang mati tidak
dapat terwarnai oleh garam MTT sehingga tidak membentuk warna ungu seperti

58
Universitas Sumatera Utara

pada sel hidup. Akibatnya pada sel mati tidak terbentuk formazan yang berwarna
ungu, tetapi warnanya tetap kuning seperti warna media (Freshney, 2000).
Hasil pengukuran dengan menggunakan ELISA reader menunjukkan
bahwa persentase sel Vero yang hidup terus menurun berbanding terbalik dengan
kenaikan konsentrasi ekstrak yang diberikan. Dimana artinya semakin besar
konsentrasi ekstrak yang diberikan maka persentase kematian sel Vero semakin
meningkat. Persentase sel Vero hidup terbesar terdapat pada pemberian ekstrak
etanol dengan konsentrasi 50 μg/mL yaitu sebesar 78,75±2,51%, sedangkan pada
pemberian ekstrak etilasetat dengan konsentrasi 12,5 μg/mL persentase sel hidup
hanya sebesar 68,99±0,91% dan sel Vero pada pemberian ekstrak n-heksana
dengan konsentrasi 12,5 μg/mL persentase sel hidup hanya sebesar 42,70±2,63%.
Hasil pengujian sitoprotektif ditunjukkan dengan nilai absorbansi,
kemudian dihitung persentasi sel yang hidup. Efek sitoprotektif ENDA, EEADA
dan EEDA dengan seri kadar 100 μg/mL, 50 μg/mL, 25 μg/mL, 12,5 μg/mL dan
6,25 μg/mL terhadap sel Vero berbanding terbalik dengan konsentrasi senyawa
uji. Semakin besar konsentrasi senyawa uji, semakin kecil persentasi sel Vero
yang hidup. Korelasi antara konsentrasi larutan uji dengan persen viabilitas yang
ditimbulkan terhadap sel Vero dapat dilihat pada Gambar 4.1. Hal ini
menunjukkan bahwa efek sitoprotektif ekstrak daun Afrika bersifat dose
dependent. Data persentase viabilitas sel setelah pemberian ENDA, EEADA dan
EEDA pada sel Vero dapat dilihat pada Gambar 4.1.

59
Universitas Sumatera Utara

120

Viabilitas Sel (%)

100
80
ENDA
60

EEADA

40

EEDA

20

Kontrol Sel
Kontrol Sel + H2O2

0
100
50
25
12,5
6,25 Kontrol Kontrol
µg/mL µg/mL µg/mL µg/mL µg/mL
Sel
Sel +
H2O2

Konsentrasi

Gambar 4.1 Grafik Konsentrasi Larutan Uji terhadap Persen Viabilitas Sel
Berdasarkan Gambar 4.1 di atas dapat dilihat bahwa H2O2 yang
merupakan sumber oksidan dalam penelitian ini, konsentrasi 0,8 mM digunakan
untuk menginduksi kerusakan sel, pada konsentrasi tersebut terjadi penurunan
jumlah sel hidup hingga 5% dibandingkan dengan kontrol sel Vero tanpa
perlakuan H2O2. Pada penelitian ini, tingkat intraseluler H2O2 dalam sel Vero
sangat meningkat, namun setelah pemberian ENDA, EEADA dan EEDA pada sel
Vero dengan variasi konsentrasi 100 µg/mL; 50 µg/mL; 25 µg/mL; 12,5 µg/mL
dan 6,25 µg/mL menunjukkan nilai viabilitas sel yang meningkat dibandingkan
dengan nilai viabilitas sel Vero yang diberikan H2O2.
Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa EEDA memiliki aktivitas
sitoprotektif yang lebih tinggi dibandingkan ENDA dan EEADA. Hal ini terlihat
dari persentase sel hidup yang lebih besar. Pada perlakuan dengan sampel uji
ENDA menunjukkan persen viabilitas pada konsentrasi 100 µg/mL sebesar
20,82±2,01%; 50 µg/mL sebesar 23,97±1,24%; 25 µg/mL sebesar 33,33±2,00%;
12,5 µg/mL sebesar 42,70±2,63% dan 6,25 µg/mL sebesar 37,23±3,02%. Oleh

60
Universitas Sumatera Utara

karena itu, pada ENDA terlihat persentase sel hidup tertinggi adalah pada
konsentrasi 12,5 µg/mL.
Pada perlakuan dengan sampel uji EEADA menunjukkan persen viabilitas
pada konsentrasi 100 µg/mL sebesar 34,81±0,99%; 50 µg/mL sebesar
42,37±0,87%; 25 µg/mL

sebesar 48,60±1,19%; 12,5 µg/mL sebesar

68,99±0,91% dan 6,25 µg/mL sebesar 65,90±0,38%. Oleh karena itu, pada
EEADA terlihat persentase sel hidup tertinggi adalah pada konsentrasi 12,5
µg/mL.
Pada perlakuan dengan sampel uji EEDA menunjukkan persen viabilitas
pada konsentrasi 100 µg/mL sebesar 63,72±1,36%; 50 µg/mL sebesar
78,75±2,51%; 25 µg/mL

sebesar 75,51±1,79%; 12,5 µg/mL sebesar

71,61±0,93% dan 6,25 µg/mL sebesar 66,72±1,53%. Oleh karena itu, pada EEDA
terlihat persentase sel hidup tertinggi adalah pada konsentrasi 50 µg/mL.
Sel Vero yang diberi perlakuan dengan EEDA konsentrasi 50 µg/mL
menunjukkan nilai viabilitas yang tinggi sebesar 78,75±2,51% dibandingkan
dengan seri konsentrasi yang lainnya. Hal ini berhubungan dengan penelitian
sebelumnya oleh Hartati, 2015 yang melakukan penelitian tentang aktivitas
sitotoksik terhadap sel Vero dengan nilai IC50 79,561 µg/mL. Konsentrasi larutan
uji lebih kecil dari nilai IC50 sitotoksik mempunyai nilai aktivitas perlindungan sel
yang lebih besar, sedangkan dengan konsentrasi larutan uji lebih besar dari nilai
IC50 menunjukkan penurunan jumlah sel hidup.
EEDA memiliki aktivitas sitoprotektif yang lebih tinggi dibandingkan
ENDA dan EEADA karena lebih banyak metabolit sekunder yang terkandung
didalamnya, seperti kandungan senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan

61
Universitas Sumatera Utara

antioksidan yang bermanfaat dalam mencegah kerusakan sel akibat stres oksidatif.
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antioksidan bisa secara langsung maupun
secara tidak langsung. Flavonoid sebagai antioksidan secara langsung adalah
dengan menghambat reaksi oksidasi melaluimekanisme penangkal radikal bebas
dengan cara menyumbangkan satu elektron padaelektron yang tidak berpasangan
sehingga dapat menetralisir efek toksik dari radikal bebas. Flavonoid sebagai
antioksidan secara tidak langsung yaitu dengan meningkatkan ekspresi gen
antioksidan melalui beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme peningkatan
ekspresi gen antioksidan adalah melalui aktivasi nuclear factor (erythoid-derived
2) atau Nrf2 sehingga terjadi peningkatan gen yang berperan dalam sintesis enzim
antioksidan endogen seperti SOD (superoxide dismutase) (Sumardika dan Jawi,
2012).
Flavonoid memberikan kontribusi pada aktivitas antioksidannya secara in
vitro dengan cara mengikat ion-ion metal seperti Fe2+ dan Cu2+. Hidrogen
peroksida dapat membentuk radikal bebas apabila bereaksi dengan logam transisi
seperti Fe2+ dan Cu2+ dalam reaksi Fenton, maka dengan adanya flavonoid dapat
mengikat Fe2+ dan Cu2+ sehingga tidak terbentuk radikal bebas. Antioksidan
sangat diperlukan tubuh untuk mencegah stres oksidatif (Werdhasari, 2014).
Antioksidan

mampumenginaktivasiberkembangnya

reaksioksidasi

dengancaramencegahterbentuknyaradikal.Antioksidanjuga
merupakansenyawayangdapatmenghambatreaksioksidasidenganmengikat
radikal.Akibatnyakerusakanseldapat dihambat (Winarsi,2007).
Golongan senyawa lain yang terkandung pada EEDA dan EEADA yang
diduga juga mempunyai aktivitas sitoprotektif adalah saponin. Saponin dapat

62
Universitas Sumatera Utara

mengenali sel kanker, karena sel kanker memiliki membran sel dan struktur yang
berbeda dari sel normal. Membran sel kanker mengandung lebih banyak senyawa
seperti kolesterol. Saponin dapat mengikat kolesterol yang terdapat pada membran
sel kanker, sehingga mengganggu permeabilitas membran (Rao dan Sung, 1995).
Saponin dan flavonoid sangat potensial sebagai kemoprotektif dan mampu
menghambat peroksida lipid secara nonenzimatik (Chalid, 2003).
Berdasarkan alur dan metode penelitian maka EEDA 50 µg/mL dan
EEADA 12,5 µg/mL dijadikan sebagai sampel uji pada pengujian sitoprotektif
selanjutnya.
4.6.2 Pengamatan apoptosis dengan flow sitometri
Pengamatan apoptosis dilakukan dengan metode flow sitometri untuk
menghitung sel hidup, sel nekrosis dan apoptosis secara cepat. Pada uji ini
digunakan suatu protein yaitu Annexin V yang dapat berikatan secara spesifik
pada fosfatidilserin yang terdapat pada membran plasma sel selama proses
apoptosis. DNA pada sel yang rusak baik nekrosis maupun apoptosis akan
diwarnai oleh propidium iodida (PI) yang menghasilkan fluoresensi oranye hingga
merah. Saat melewati sinar laser, sel akan tereksitasi dan menghamburkan
cahayanya menghasilkan cahaya fluoresensi. Pengujian flow sitometri dilakukan
dengan pancaran cahaya 488 nm dan dengan kecepatan medium (500 sel/detik)
(Brussaard, et al., 2000; Demo, et al., 1999).
Hasil pengujian apoptosis dengan metode flow sitometri terhadap sel Vero
dapat dilihat pada Gambar 4.2 (a), (b), (c) dan (d).

63
Universitas Sumatera Utara

File: KSVERO.001
Gate: NoGate
Total Events: 20000
Quad %Gated
UL
7.04
UR
2.97
LL
80.56
LR
9.42

%Total
7.04
2.97
80.56
9.42

(a)

File: KS VERO.2.007
Gate: NoGate
Total Events: 20000
Quad %Gated
UL
33.03
UR
45.72
LL
10.32
LR
10.93

%Total
33.03
45.72
10.32
10.93

(b)

64
Universitas Sumatera Utara

(c)

(d)
Gambar 4.2 Pengamatan Apoptosis terhadap Sel Vero
(a) Sel Vero Kontrol
(b) Sel Vero + H2O2
(c) Sel Vero + EEDA
(d) Sel Vero + EEADA

65
Universitas Sumatera Utara

Persentase dari pengujian apoptosis dengan metode flow sitometri
terhadap sel Vero dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Persentase Pengujian Apoptosis
Perlakuan
LL (%)
LR (%)
UL (%)
UR (%)
Kontrol Sel
80,56
9,42
7,04
2,97
Kontrol Sel + H2O2
10,32
10,93
33,03
45,72
EEDA
59,56
16,66
15,85
7,94
EEADA
40,88
25,91
14,24
18,98
Keterangan:
LL = Lower Left (kiri bawah): menunjukkan persentase sel yang hidup
LR = Lower Right (kanan bawah): menunjukkan persentase sel yang mengalami
apoptosis awal
UL = Upper Left (kiri atas): menunjukkan persentase sel yang mengalami
nekrosis akhir (late necrosis)
UR = Upper Right (kanan atas): menunjukkan persentase sel yang mengalami
apoptosis akhir dan nekrosis awal
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa persentase jumlah sel hidup pada kontrol
sel sebesar 80,56%, kontrol sel+ H2O2 sebesar 10,32%, EEDA sebesar 59,56%
dan EEADA sebesar 40,88%. Hal ini menunjukkan bahwa EEDA dan EEADA
dapat meningkatkan jumlah sel hidup atau memiliki aktivitas sitoprotektif
dibandingkan dengan jumlah sel hidup pada pemberian H2O2. Hal ini juga
menunjukkan bahwa mekanisme viabilitas sel dengan pemberian EEDA dan
EEADA cukup baik dan juga mampu menghambat kematian pada sel. Rendahnya
persentase jumlah sel hidup pada EEDA dan EEADA dibandingkan

dengan

kontrol sel disebabkan paparan sel terlalu lama yang menyebabkan jumlah sel
mati akan semakin banyak.
Persentase jumlah sel yang mengalami apoptosis awal (LR) pada kontrol
sel sebesar 9,42%, kontrol sel + H2O2 sebesar 10,93%, EEDA sebesar 16,66% dan
EEADA sebesar 25,91%. Persentase jumlah sel yang mengalami apoptosis akhir
atau nekrosis awal (UR) pada kontrol sel sebesar 2,97%, kontrol sel + H2O2
sebesar 45,72%, EEDA sebesar 7,94% dan EEADA sebesar 18,98%. Persentase

66
Universitas Sumatera Utara

jumlah sel yang mengalami nekrosis akhir (UL) pada kontrol sel sebesar 7,04%,
kontrol sel + H2O2 sebesar 33,03%, EEDA sebesar 15,85% dan EEADA sebesar
14,24%.
Apoptosis dan nekrosis ditentukan secara morfologi oleh flow sitometri
dengan pewarnaan Annexin V/PI. Efek dari EEDA dan EEADA pada awal dan
akhir apoptosis/nekrosis disebabkan oleh H2O2 yang terdeteksi. H2O2 0,8 mM
dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan pada tingkat ROS intraseluler
dibandingkan dengan kontrol sel. EEDA dan EEADA dapat meningkatkan jumlah
sel hidup dibandingkan dengan perlakuan sel+H2O2. Pada perlakuan menunjukkan
bahwa EEDA dan EEADA memiliki aktivitas sitoprotektif melalui mekanisme
apoptosis.
4.6.3 Analisis ekspresi ROS secara imunositokimia
Analisis

ekspresi

ROS

dilakukan

dengan

menggunakan

metode

imunositokimia dengan prinsip pengikatan antibodi spesifik. Imunositokimia
adalah metode yang menggunakan antibodi untuk mengidentifikasi protein atau
molekul dalam sel yang dapat dilihat dengan mikroskop (Burry, 2010).
Imunositokimia juga diartikan sebagai suatu metode yang digunakan untuk
mendeteksi adanya ekspresi protein spesifik atau antigen dalam sel dengan
menggunakan antibodi primer spesifik yang akan berikatan dengan protein atau
antigen. Antibodi primer spesifik ini mampu memvisualisasi protein di bawah
mikroskop fluorescence, ketika dia berikatan dengan antibodi sekunder yang telah
dikonjugasi dengan fluorophore (sejenis kromofor/fluorocence).
Metode imunositokimia menggunakan kromogen 3,3’-diaminobenzidin
yang akan berikatan dengan enzim streptavidin horse radish peroxidase (HRP),

67
Universitas Sumatera Utara

biotinylated universal antibody sebagai antibodi sekunder berikatan dengan ROS
sebagai antibodi primer terhadap sel Vero. Terbentuk kompleks antara enzim
streptavidin horse radish peroxidase dengan antibodi sekunder. Substrat 3,3’diaminobenzidin membentuk kompleks dengan peroksidase, pada enzim
streptavidin horse radish peroxidase membentuk kromogen yang tervisualisasi
sebagai warna coklat.
Pada uji ini, penambahan antibodi sekunder berfungsi sebagai penghubung
antara antibodi primer dengan streptavidin-peroxidase. Streptavidin-peroxidase
ditambahkan untuk mengikat residu antibodi sekunder. Enzim streptavidin horse
radish peroxidase dapat dilihat dengan penambahan 3,3’-diaminobenzidin sebagai
larutan kromogen. Enzim peroksidase akan mengkatalisa substrat hidrogen
peroksidase dan mengubah kromogen, yaitu 3,3’-diaminobenzidin menjadi
berwarna coklat. Hal ini menunjukkan adanya ROS atau menunjukkan hasil
positif. Intensitas warna coklat yang terbentuk tergantung dari jumlah kromogen
yang bereaksi dengan enzim peroksidase (Marbawati dan Umniyati, 2015).
Ekspresi ROS pada sel Vero dapat dilihat pada Gambar 4.3.

(a)

(b)

68
Universitas Sumatera Utara

(c)
Keterangan:

(d)
= ekspresi negatif

= ekspresi positif
Gambar 4.3 Imunositokimia pada Sel Vero
(a) Kontrol Sel (Perbesaran 10x40)
(b) Kontrol Sel+H2O2 (Perbesaran 10x40)
(c) EEDA 50 µg/mL (Perbesaran 10x40)
(d) EEADA 12,5 50 µg/mL (Perbesaran 10x40)
Berdasarkan pengamatan, terlihat reaksi positif kuat warna coklat sangat
jelas pada sitoplasma sel yang diinduksi H2O2, bentuk sel tidak beraturan dan inti
sel mengecil seperti terlihat pada Gambar 4.3 (b). Reaksi negatif menunjukkan
warna biru pada bagian sitoplasma seperti terlihat pada Gambar 4.3 (a), (c) dan
(d). EEDA dan EEADA dapat menurunkan ekspresi ROS yang ditunjukkan
dengan berkurangnya warna coklat pada sel dibandingkan dengan kontrol sel yang
diberi H2O2 yang dominan berwarna coklat. Hal ini menunjukkan bahwa EEDA
pada konsentrasi 50 µg/mL dan EEADA pada konsentrasi 12,5 µg/mL memiliki
aktivitas sitoprotektif, sehingga terdapat sedikit sel yang mengekspresikan ROS.
Oleh karena itu, daun Afrika memiliki aktivitas perlindungan terhadap sel yang
telah diinduksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) karena dapat menurunkan
ekspresi ROS.
Secara fisiologis tubuh memang menghasilkan ROS. Namun, bila radikal
bebas atau oksidan dihasilkan oleh tubuh secara berlebihan, maka akan

69
Universitas Sumatera Utara

dinetralisasi oleh anti radikal bebas atau antioksidan, yang dikenal dengan
scavenger enzyme, seperti superoksida dismutase (SOD), katalase atau glutation
peroksidase. Apabila rasio antara radikal bebas atau oksidan lebih besar daripada
antioksidan maka akan terjadi stres oksidatif(Sudiana, 2011).
Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menunda,
memperlambat atau menghambat reaksi oksidasi (Javanmardi, et al., 2003).
Antioksidan merupakan zat yang mampu melindungi sel melawan kerusakan yang
ditimbulkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species). Salah satu contoh dari
antioksidan adalah senyawa flavonoid. Flavonoid bertindak sebagai antioksidan
untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dengan
penangkapan oksidan secara langsung (direct scavenging) (Nijveldt, et al., 2001).
Mekanismenya sebagai berikut, yaitu flavonoid dioksidasi oleh radikal
menghasilkan bentuk radikal yang lebih stabil dan kurang reaktif. Dengan kata
lain, flavonoid menstabilkan ROS dengan bereaksi bersama komponen reaktif
radikal. Reaktivitas flavonoid bergantung pada gugus hidroksil flavonoid tersebut,
yang menyebabkan radikal menjadi inaktif (Korkina dan Afanas’ev, 1997).
Pernyataan ini dapat menjelaskan bahwa cara kerja antioksidan flavonoid tidak
mengaktivasi antioksidan endogen, namun flavonoid bekerja sinergis dengan
antioksidan endogen seperti SOD dalam menangkap radikal bebas. Flavanoid
memiliki kemampuan untuk mencegah radikal bebas dan juga dapat menstabilkan
ROS yang berikatan dengan radikal bebas penyebab penyakit degeneratif dengan
cara menonaktifkan radikal bebas (Danusantoso, 2003). Mekanisme penangkalan
ROS oleh antioksidan adalah antioksidan akan berikatan dengan elektron-elektron
bebas dari ROS sehingga menetralkan ke bentuk yang stabil (Ren, et al., 2003).

70
Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini yang telah dilakukan terhadap ekstrak nheksan daun Afrika (ENDA), ekstrak etil asetat daun Afrika (EEADA) dan
ekstrak etanol daun Afrika (EEDA) terhadap sel Vero diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
a. ENDA, EEADA dan EEDA dapat meningkatkan viabilitas sel Vero yang
diinduksi dengan hidrogen peroksida (H2O2). Dengan variasi konsentrasi
6,25-100 µg/mL menunjukkan nilai viabilitas sel yang meningkat
dibandingkan dengan nilai viabilitas sel Vero yang diberikan H2O2.
EEADA dan EEDA pada uji MTT menunjukkan persen viabilitas masingmasing sebesar 68,99±0,91% dan 78,75±2,51% dengan konsentrasi 12,5
µg/mL untuk EEADA dan 50 µg/mL EEDA. ENDA tidak menunjukkan
hasil yang baik dibandingkan dengan EEADA dan EEDA.
b. EEADA dan EEDA menurunkan apoptosis pada sel Vero, hal ini terlihat
pada uji apoptosis dengan flow sitometri. Terjadi peningkatan jumlah sel
hidup setelah diberikan perlakuan dengan EEADA dan EEDA sebesar
59,56% dan 40,88% dibandingkan dengan H2O2 sebesar 10,32%.
c. EEADA dan EEDA dapat mengurangi ROS pada sel Vero yang diinduksi
dengan H2O2, hal ini ditunjukkan pada uji imunositokimia, berkurangnya
warna coklat pada sel yang diberi perlakuan dengan EEADA dan EEDA
dibandingkan dengan sel yang diberi perlakuan dengan H2O2.

71
Universitas Sumatera Utara

5.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka disarankan kepada
peneliti selanjutnya untuk melakukan uji toksisitas pada ekstrak etilasetat dan
ekstrak n-heksana dari daun Afrika serta melakukan pengujian sitoprotektif
menggunakan isolat dari fraksi daun Afrika baik terhadap sel Vero atau sel normal
lain guna mendukung penelitian yang telah ada.

72
Universitas Sumatera Utara