Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia Amygdalina Del.) Terhadap Sel Hela Dan Sel Vero

(1)

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA

(Vernonia amygdalina Del.) TERHADAP

SEL HELA DAN VERO

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Fatera Utar

OLEH:

EMMY HARTATY

NIM 091501140

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA

(Vernonia amygdalina Del.) TERHADAP

SEL HELA DAN VERO

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

EMMY HARTATY

NIM 091501140

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia amygdalina Del.) TERHADAP

SEL HELA DAN SEL VERO OLEH:

EMMY HARTATY NIM 091501140

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 5 Agustus 2015

Pembimbing I,

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, M.Si., Apt. NIP 197506102005012003

Pembimbing II,

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195103261978022001

Panitia Penguji,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, M.Si., Apt. NIP 197506102005012003

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt NIP 195208241983031001

Medan, 5 Agustus 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang

berjudul Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.)

Terhadap Sel HeLa dan Vero. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku

Wakil Dekan I Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis

selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada Ibu Dr. Poppy Anjelisa Zaitun Hasibuan, M.Si., Apt. dan Ibu Prof. Dr.

Rosidah, M.Si., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran,

memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi

ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Urip

Harahap, Apt., selaku ketua penguji juga kepada Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt.

dan Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., selaku anggota penguji yang telah

memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan Ibu Dr. Marline

Nainggolan, M.S., Apt., selaku dosen penasehat akademik yang telah banyak

membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai. Bapak dan Ibu staff

pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.

Bapak Prof. dr. Supargiyono, DTM&H, SU., PhD., S.Park., selaku pengajar dan


(5)

v

UGM Yogyakarta yang telah menyediakam fasilitas, memberi ilmu dan

membimbing penulis selama penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga

tercinta, Ayahanda Drs. Surya Darma dan Ibunda Masyuni Nasution, S.Sos, serta

Abang dan Adik tercinta Wendy Daud Armas, SE., Mahady Trijaya, Masrany

Pratiwi dan Mutia Ayu Siregar yang senantiasa memberikan doa, dukungan,

semangat dan kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada Letda Laut (P) Rizky Haris Perdana Pasaribu,

S.T.Han, serta Abang Denny Satria, S.Farm, M.Si., Apt. dan teman-teman Yusda,

Irma, Grace, Elisya, Yesica, Awit, Nova, Mirna, Dwi, Fauzi yang telah

mendoakan, membantu dan memberi semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum

sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga Allah membalas segala budi

baik dan penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan

khususnya di bidang farmasi.

Medan, 5 Agustus 2015 Penulis,

Emmy Hartaty NIM 091501140


(6)

vi

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia amygdalina Del.) TERHADAP SEL HELA DAN VERO

ABSTRAK

Kanker serviks merupakan salah satu kanker penyebab kedua kematian wanita di Indonesia setelah kanker payudara. Kanker adalah pertumbuhan sel-sel tubuh yang tidak terkendali atau abnormal. Daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.) banyak digunakan sebagai antioksidan, antidiabetes, antimutagenik dan belum ada data mengenai efek sitotoksiknya. Oleh karena itu dilakukan penelitian efek sitotoksik daun Afrika terhadap sel HeLa dan Vero untuk mengetahui potensinya sebagai antikanker. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan nilai IC50 ekstrak etanol daun Afrika terhadap sel HeLa dan Vero dan untuk

mengetahui tingkat keselektifan ekstrak etanol daun Afrika.

Uji aktivitas sitotoksik dilakukan dengan metode MTT [3-(4,5-dimetil- tiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]. Sel HeLa dan Vero dibiakkan dalam media kultur RPMI pada 96-well plate kemudian diberi ekstrak etanol daun Afrika dengan seri konsentrasi 500 µg/ml, 250 µg/ml, 125 µg/ml, 62,5 µg/ml, 31,25 µg/ml, 15,625 µg/ml. Hasil pengujian dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 595 nm.

Hasil pengujian aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun Afrika terhadap sel kanker HeLa menunjukkan nilai IC50 sebesar 61,357 µg/ml dan Vero sebesar

79,561 µg/ml. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak etanol daun Afrika memiliki efek sitotoksik yang poten terhadap sel kanker serviks HeLa.


(7)

vii

CYTOTOXIC EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF LEAVES AFRICAN (Vernonia amygdalina Del.) ON HELA AND VERO CELLS

ABSTRACT

Cervical cancer is the second leading cause of cancer death in Indonesian after breast cancer. Cancer is cells uncontrolled or abnormal. Africa leaves (Vernonia amygdalina Del.) are widely used as an antioxidant, antidiabetic, antimutagenic and there are no data regarding the cytotoxic effects. It have to do study the cytotoxic effects of African leaf on HeLa and Vero cells to determine its potential as an anticancer. The purpose of this study was to determine the IC50

value of ethanol extract of leaves African against HeLa cell and Vero cells and to determine the degree of selectivity of ethanol extract of leaves of African.

Cytotoxic activity test was conducted using the MTT [3-(4,5- dimetil- tiazol-2-yl)-2,5 difeniltetrazolium bromide]. HeLa and Vero cells cultured in RPMI culture medium in 96-well plate and then given the ethanol extract of leaves Africa with a series of concentration 500 µg/ml, 250 µg/ml, 125 µg/ml, 62.5 µg/ml, 31.25 µ g/ml, 15.625 µg/ml. The test result is read with an ELISA reader at a wavelength of 595 nm .

Test results cytotoxic activity of ethanol extract of leaves African against HeLa cancer cells showed IC50 value of 61.357 µg/ml and Vero at

79.561 µg/ml. This proves that the ethanol extract of the leaves of Africa has potent cytotoxic effects against cervical cancer HeLa cells .

Keywords: cytotoxic, Vernonia amygdalina Del., HeLa and Vero cells, IC50,


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tumbuhan Daun Afrika ... 6

2.1.1 Morfologi Tumbuhan Daun Afrika ... 6

2.1.2 SistematikaTumbuhan ... 6

2.1.3 Nama Daerah ... 7


(9)

ix

2.1.5 Khasiat Tumbuhan ... 7

2.2 Kanker ... 8

2.2.1 Kanker Serviks ... 8

2.2.2 Pencegahan Kanker Serviks ... 13

2.2.3 Pengobatan Kanker ... 14

2.3 Kultur Sel ... 16

2.3.1 Sel HeLa ... 16

2.3.1 Sel Vero ... 17

2.4 Uji Anti Proliferatif ... 18

2.5 Sitotoksik ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Alat dan Bahan ... 22

3.1.1 Alat ... 22

3.1.2 Bahan ... 22

3.2 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel ... 23

3.2.1 Pengambilan sampel ... 23

3.2.2 Identifikasi tumbuhan ... 23

3.2.3 Pembuatan simplisia ... 24

3.3 Karakterisasi Simplisia ... 24

3.3.1 Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik ... 24

3.3.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 24

3.3.3 Penetapan kadar air ... 25

3.3.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air ... 25


(10)

x

3.3.6 Penetapan kadar abu total ... 26

3.3.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam ... 26

3.4 Skrining Fitokimia ... 27

3.4.1 Pemeriksaan flavanoid ... 27

3.4.2 Pemeriksaan alkaloid ... 28

3.4.3 Pemeriksaan saponin ... 28

3.4.4 Pemeriksaan tanin ... 28

3.4.5 Pemeriksaan glikosida ... 29

3.4.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 29

3.5 Pembuatan ekstrak etanol daun Afrika (EEDA) ... 29

3.6 Uji sitotoksik ekstrak etanol daun Afrika (EEDA) ... 30

3.7 Pembuatan Media ... 30

3.7.1 Pembuatan media RPMI ... 30

3.7.2 Pembuatan media kultur lengkap (MK-RPMI) ... 31

3.7.3 Pembuatan media M199 ... 31

3.7.4 Pembuatan media kultur lenkap (MK-M199) ... 32

3.8 Penumbuhan sel ... 33

3.8.1 Penumbuhan sel HeLa ... 33

3.8.2 Penumbuhan sel Vero ... 33

3.9 Subkultur sel ... 34

3.9.1 Subkultur sel HeLa ... 34

3.9.2 Subkultur sel Vero ... 34

3.10 Panen sel ... 34


(11)

xi

3.10.2 Panen sel Vero ... 35

3.11 Perhitungan sel HeLa dan sel Vero ... 35

3.12 Pembuatan larutan uji ... 36

3.13 Uji sitotoksik EEDA menggunakan metode MTT ... 37

3.13.1 Uji sitotoksik EEDA terhadap sel HeLa menggunakan metode MTT ... 37

3.13.2 Uji sitotoksik EEDA terhadap sel Vero menggunakan metode MTT ... 37

3.14 Analisis hasil ... 38

3.15 Analisis indeks selektivitas ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 40

4.2 Hasil karakteristik simplisia ... 40

4.2.1 Pemeriksaan makroskopis ... 40

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopis ... 40

4.2.3 Pemeriksaan karakterisasi simplisia ... 40

4.3 Hasil skrining fitokimia ... 41

4.4 Hasil ekstraksi serbuk daun Afrika ... 41

4.5 Hasil uji sitotoksik ekstrak etanol daun Afrika (EEDA) terhadap sel HeLa dan Vero menggunakan metode MTT ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil karakterisasi simplisia ... 41

4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia daun Afrika ... 41

4.3 Persentase sel HeLa dan Vero hidup dengan perlakuan

EEDA ... 45

4.4 Persentase sel hidup EEDA terhadap sel HeLa ... 47


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Diagram kerangka pikir penelitian ... 5

2.1 Morfologi serviks yang terserang HPV ... 12

2.2 Morfologi HVP dan genome HPV ... 13

2.3 Reaksi reduksi MTT menjadi Formazan ... 20

3.1 Hemositometer (kamar hitung) ... 36

4.1 Kontrol sel HeLa dan sel Vero ... 42

4.2 Sel HeLa dan sel Vero setelah pemberian ekstrak ... 43

4.3 Kristal formazan ... 44

4.4 Perbedaan warna media berisi sel HeLa, Vero dan larutan uji setelah pemberian MTT ... 44

4.5 Grafik hubungan konsentrasi larutan uji terhadap persentasi sel HeLa hidup ... 46

4.6 Grafik hubungan konsentrasi larutan uji terhadap persentasi sel Vero hidup ... 48


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil identifikasi tumbuhan ... 58

2. Ethical clearance ... 59

3. Karakteristik tumbuhan daun Afrika ... 60

4. Gambar sel HeLa yang telah konfluen

(perbesaran 10x10) ... 61

5. Gambar sel Vero yang telah konfluen

(perbesaran 10x10) ... 62

6. Gambar sel HeLa dalam kamar hitung

(perbesaran 10x10) ... 63

7. Gambar sel Vero dalam kamar hitung

(perbesaran 10x10) ... 64

8. Gambar morfologi sel kanker serviks HeLa

(perbesaran 10x10) setelah pemberian ekstrak ... 65

9. Gambar morfologi sel normal Vero (perbesaran 10x10)

setelah pemberian ekstrak ... 66

10. Gambar ELISA reader, mikroskop inverted ... 67

11. Perhitungan jumlah sel pada hemositometer ... 68

12. Perhitungan persen sel hidup dari berbagai konsentrasi larutan uji ektrak etanol daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.) terhadap sel HeLa ... 70

13. Perhitungan persen sel hidup dari berbagai konsentrasi larutan uji ektrak etanol daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.) terhadap sel Vero ... 71

14. Perhitungan nilai IC50 ekstrak etanol daun Afrika

(Vernonia amygdalina Del.) sel HeLa menggunakan analisa probit SPSS 22.0 ... 72

15. Perhitungan nilai IC50 ekstrak etanol daun Afrika

(Vernonia amygdalina Del.) sel Vero menggunakan analisa probit SPSS 22.0 ... 73


(15)

xv

16. Perhitungan nilai indeks selektivitas ... 74

17. Uji statistik ANOVA pada sel HeLa ... 75

18. Uji statistik ANOVA pada sel Vero ... 78

19. Bagan pembuatan media RPMI ... 81

20. Bagan pembuatan media M199 ... 82

21. Bagan pembuatan media kultur lengkap (MK RPMI) ... 83

22. Bagan pembuatan media kultur lengkap (MK M199) ... 84

23. Bagan penumbuhan sel HeLa dan Vero ... 85

24. Bagan panen sel HeLa dan Vero ... 86

25. Bagan penghitungan sel HeLa dan Vero ... 87

26. Bagan pembuatan larutan uji ... 88


(16)

vi

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia amygdalina Del.) TERHADAP SEL HELA DAN VERO

ABSTRAK

Kanker serviks merupakan salah satu kanker penyebab kedua kematian wanita di Indonesia setelah kanker payudara. Kanker adalah pertumbuhan sel-sel tubuh yang tidak terkendali atau abnormal. Daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.) banyak digunakan sebagai antioksidan, antidiabetes, antimutagenik dan belum ada data mengenai efek sitotoksiknya. Oleh karena itu dilakukan penelitian efek sitotoksik daun Afrika terhadap sel HeLa dan Vero untuk mengetahui potensinya sebagai antikanker. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan nilai IC50 ekstrak etanol daun Afrika terhadap sel HeLa dan Vero dan untuk

mengetahui tingkat keselektifan ekstrak etanol daun Afrika.

Uji aktivitas sitotoksik dilakukan dengan metode MTT [3-(4,5-dimetil- tiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]. Sel HeLa dan Vero dibiakkan dalam media kultur RPMI pada 96-well plate kemudian diberi ekstrak etanol daun Afrika dengan seri konsentrasi 500 µg/ml, 250 µg/ml, 125 µg/ml, 62,5 µg/ml, 31,25 µg/ml, 15,625 µg/ml. Hasil pengujian dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 595 nm.

Hasil pengujian aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun Afrika terhadap sel kanker HeLa menunjukkan nilai IC50 sebesar 61,357 µg/ml dan Vero sebesar

79,561 µg/ml. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak etanol daun Afrika memiliki efek sitotoksik yang poten terhadap sel kanker serviks HeLa.


(17)

vii

CYTOTOXIC EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF LEAVES AFRICAN (Vernonia amygdalina Del.) ON HELA AND VERO CELLS

ABSTRACT

Cervical cancer is the second leading cause of cancer death in Indonesian after breast cancer. Cancer is cells uncontrolled or abnormal. Africa leaves (Vernonia amygdalina Del.) are widely used as an antioxidant, antidiabetic, antimutagenic and there are no data regarding the cytotoxic effects. It have to do study the cytotoxic effects of African leaf on HeLa and Vero cells to determine its potential as an anticancer. The purpose of this study was to determine the IC50

value of ethanol extract of leaves African against HeLa cell and Vero cells and to determine the degree of selectivity of ethanol extract of leaves of African.

Cytotoxic activity test was conducted using the MTT [3-(4,5- dimetil- tiazol-2-yl)-2,5 difeniltetrazolium bromide]. HeLa and Vero cells cultured in RPMI culture medium in 96-well plate and then given the ethanol extract of leaves Africa with a series of concentration 500 µg/ml, 250 µg/ml, 125 µg/ml, 62.5 µg/ml, 31.25 µ g/ml, 15.625 µg/ml. The test result is read with an ELISA reader at a wavelength of 595 nm .

Test results cytotoxic activity of ethanol extract of leaves African against HeLa cancer cells showed IC50 value of 61.357 µg/ml and Vero at

79.561 µg/ml. This proves that the ethanol extract of the leaves of Africa has potent cytotoxic effects against cervical cancer HeLa cells .

Keywords: cytotoxic, Vernonia amygdalina Del., HeLa and Vero cells, IC50,


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kanker termasuk penyakit yang ditakuti oleh manusia seiring

berkembangnya pola hidup masyarakat. Tahun 2000, insiden penyakit ini

mencapai 10,3 juta dengan mortalitas 7,1 juta. Pada tahun 2020

pertumbuhan penduduk dunia mencapai 8 miliar, insiden kanker

diperkirakan mencapai 20 juta jiwa, mortalitas 12 juta jiwa, dan terbesar

terjadi di negara berkembang (Densen, 2008). Di Indonesia, penelitian

mengenai kanker kelamin wanita (ginekologi) di RS Dharmais tahun

1993-1997 menyebutkan kanker serviks menempati peringkat paling atas (Tapan,

2005). Insiden kanker serviks, menurut perkiraan Departemen Kesehatan,

100 per 100.000 penduduk per tahun (Yatim, 2005).

Kanker serviks merupakan jenis kanker yang terjadi pada sel rahim

bagian bawah yang menghubungkan antara rahim dan vagina. Kanker ini

timbul karena adanya infeksi Human Papiloma Virus (HPV) (Piersma, et

al., 2007). Berdasarkan hasil survei kesehatan oleh World Health

Organization (WHO) tahun 2010, dilaporkan bahwa kejadian kanker serviks

sebesar 500.000 kasus baru di dunia dan 250.000 kematian setiap tahunnya

yang ± 80% terjadi di negara yang sedang berkembang, salah satunya di

Indonesia. Di Indonesia, dilaporkan sebesar 20-24 kasus kanker serviks baru


(19)

2

yang tidak terdeteksi keberadaannya pada fase awal, sehingga penderita

secara tidak sadar telah mengalami fase lanjut.

Penanganan kanker pada umumnya masih bergantung pada

kemoterapi yang berasal dari bahan kimia sintesis. Namun, senyawa kimia

tersebut dapat menimbulkan efek multidrug resistance, suatu fenomena

dimana sel kanker yang diterapi dengan obat tertentu akan menjadi resisten

terhadap obat-obatan lain yang memiliki struktur dan mekanisme kerja yang

hampir sama (Baguley, 2010). Selain itu antikanker dengan senyawa kimia

sintetis tidak hanya akan mempengaruhi sel target (sel kanker) tetapi juga

mempengaruhi sel sehat yang ada disekitarnya.

Pengobatan terhadap kanker dapat dilakukan melalui operasi, radiasi

atau dengan memberikan kemoterapi. Penggunaan antikanker yang ideal

adalah antikanker yang memliliki toksisitas selektif artinya menghancurkan

sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal. Antikanker yang ada

sekarang pada umumnya menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dan

menimbulkan toksisitas karena menghambat pembelahan sel normal yang

proliferasinya cepat antara lain sumsum tulang, mukosa saluran cerna,

folikel rambut dan jaringan limfosit (Kurnijasanti, 2008).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 80%

populasi dunia saat ini memanfaatkan obat tradisional yang bahan bakunya

berasal dari tanaman. Di Amerika Serikat sekitar 25% ramuan obat modern

mengandung komponen bioaktif yang berasal dari tanaman obat. Indonesia


(20)

3

antara lain berupa tumbuhan tropis dan biota laut, sehingga sangat potensial

untuk pengembangan obat baru dan fitofarmaka (Qomariyah, 2003).

Minat terhadap penggunaan obat tradisional khususnya untuk

penyakit kanker akhir-akhir ini cenderung meningkat. Kecenderungan

tersebut kemungkinan disebabkan adanya kekhawatiran akan efek samping

yang ditimbulkan oleh obat-obat modern dan juga dengan alasan obat

tradisional mudah didapat dan murah harganya (Kurnijasanti, 2008).

Kultur sel HeLa atau HeLa cell line merupakan continuous cell line

yang diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cervix) seorang wanita

penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang meninggal

akibat kanker pada tahun 1951. Kultur sel ini memiliki sifat semi melekat

dan digunakan sebagai model sel kanker dan untuk mempelajari sinyal

transduksi seluler. Sel HeLa ini cukup aman dan merupakan sel manusia

yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel. HeLa bersifat imortal

yang tidak dapat mati karena tua dan dapat membelah secara tidak terbatas

selama memenuhi kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup masih ada

(Sujuliyani, 2012).

Penggunaan teknologi kultur sel yang dikembangkan memanfaatkan

sel Vero sebagai sel yang digunakan untuk memperbanyak virus. Sel vero

diperoleh dari ginjal kera Afrika hijau (Cercopithecus) oleh Y.Yasumura

dan Y.Kawakita di Chiba University Jepang. Sel ini digunakan karena

sensitif terhadap infeksi beberapa jenis virus seperti SV-40, SV-5,

poliovirus, arbovirus, influenza virus. Sel ini tidak memproduksi interferon


(21)

4

dalam sel ketika terinfeksi virus (Sheets, 2000).Oleh karena belum adanya

penelitian untuk membuktikan efek sitotoksik dari ekstrak etanol daun

Afrika (Vernonia amygdalina Del.) pada sel kanker serviks (HeLa), maka

peneliti tertarik untuk menguji efek sitotoksiknya. Selain itu ekstrak juga di

uji pada sel normal (Vero) untuk mengetahui selektivitas ekstrak tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dari penelitian

ini adalah:

a. apakah ekstrak etanol daun Afrika memiliki efek sitotoksik pada sel HeLa

dan Vero?

b. apakah ekstrak etanol daun Afrika memiliki nilai IC50 yang poten?

c. apakah ekstrak etanol daun Afrika selektif terhadap sel kanker serviks

(HeLa)?

1.3Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka hipotesis dari penelitian ini

adalah:

a. ekstrak etanol daun Afrika memiliki efek sitotoksik pada sel HeLa dan

Vero.

b. ekstrak etanol daun Afrika memiliki nilai IC50 yang poten.

c. ekstrak etanol daun Afrika selektif terhadap sel kanker serviks (HeLa).

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:


(22)

5

dan Vero.

b. mengetahui potensi ekstrak etanol daun Afrika berdasarkan nilai IC50.

c. Mengetahui indeks selektivitas ekstrak etanol daun Afrika terhadap sel

kanker serviks ( HeLa).

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek

antikanker ekstrak etanol daun Afrika

b. menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai antikanker.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini secara sistematis dapat digambarkan pada Gambar 1.1

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian Ekstrak Etanol

Daun Afrika (EEDA)

Nilai IC50

% Sel Hidup pada Sel HeLa

% Sel Hidup pada Sel Vero

Indeks Selektivitas

Nilai IC50

EEDA konsentrasi 15,625; 31,25; 62,5; 125; 250 dan 500 µg/ml


(23)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Daun Afrika

2.1.1 Morfologi Tumbuhan Daun Afrika

Vernonia amygdalina Del. atau yang biasa disebut Daun Afrika

adalah tumbuhan semak yang berasal dari benua Afrika dan bagian lain dari

Afrika, khususnya Nigeria, Kamerun dan Zimbabwe dan negara yang

beriklim tropis salah satunya adalah Indonesia. Tumbuhan ini dapat

ditemukan di halaman rumah, sepanjang sungai dan danau, ditepi hutan, dan

di padang rumput (Yeap et.al., 2010).

Daun Afrika mempunyai batang tegak, tinggi 1-3 m, bulat, berkayu,

berwarna coklat; daun majemuk, anak daun berhadapan, panjang 15-25 cm,

lebar 5-8 cm, berbentuk seperti ujung tombak, tepi bergerigi, ujung runcing,

pangkal membulat, pertulangan menyirip, berwarna hijau tua; akar

tunggang, berwarna coklat kotor (Ibrahim, et al., 2004; Ijeh, 2010).

2.1.2 Sistematika Tumbuhan

Berikut adalah sistematika tumbuhan (Ibrahim, et al., 2004):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Asterales


(24)

7

Marga : Vernonia

Spesies : Vernonia amygdalina Del.

2.1.3 Nama Daerah

Daun Afrika memiliki nama lain seperti bitter leaf (daun pahit) di

Nigeria,Shiwaka di Nigeria bagian Utara, Grawa di Amharic, Ewuro di Yoruba,

Etidot di Ibibio, Onugbu di Igbo, Ityuna di Tiv, Oriwo di Edo, Chusar-doki di

Hausa Shiwaka (Ijeh, 2010), Nan Fei Shu (Cina), dan daun Kupu-kupu

(Malaysia). Daun Afrika juga memiliki nama daerah di Indonesia seperti daun

pahit di pulau Jawa dan daun insulin di kota Padang.

2.1.4 Kandungan Tumbuhan

Hasil penelitian (Ejoh, et al., 2007; Ijeh, 2010) menunjukkan bahwa

tanaman daun Afrika banyak mengandung nutrisi dan senyawa kimia, antara lain

sebagai berikut: protein 19,2%, serat 19,2%, karbohidrat 68,4%, lemak 4,7%;,

asam askorbat 166,5 mg/100 g, karotenoid 30 mg/100 g, kalsium 0,97 g/ 100 g,

besi 7,5 mg/100 g, fosfor, kalium, sulfur, natrium, mangan, tembaga, zink,

magnesium dan selenium. Senyawa kimia yang terkandung dalam daun Afrika

antara lain: saponin (vernoniosida dan steroid saponin), seskuiterpen lakton

(vernolida, vernoladol, vernolepin, vernodalin dan vernomygdin), flavonoid,

koumarin, asam fenolat, lignan, xanton, terpen, peptida dan luteolin. Hasil

penelitian (Setiawan, 2012) menunjukkan bahwa daun Afrika mengandung

flavonoid, glikosida, saponin, tannin, dan triterpenoid/steroid.

2.1.5 Khasiat Tumbuhan

Daun Afrika banyak digunakan untuk obat-obatan dan banyak penelitian


(25)

8

antimalaria (Njan, et al., 2008), antikanker (Oyugi, 2009), antioksidan (Igile, et

al., 1994; Nwanjo, 2005), antidiabetes (Nwawnjo dan Nwokoro, 2004;

Atangwho, et al., 2007; Setiawan, 2012; Yusrina, 2014), analgetik (Njan, et al.,

2008), inotropik dan kronotropik (Sembiring, 2013) dan antimutagenik (Ginting,

2012).

2.2. Kanker

Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel dengan terjadinya gangguan

atau hilangnya mekanisme pengontrol pertumbuhan dan pembelahan. Adanya

gangguan tersebut menghasilkan pertumbuhan baru dan menghasilkan masa

jaringan yang abnormal yang disebut tumor (Sukardja, 2000).

Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel

jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Dalam perkembangannya,

sel-sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat

menyebabbkan kematian. Kanker sering dikenal oleh masyarakat sebagai tumor,

padahal tidak semua tumor adalah kanker. Tumor adalah segala benjolan tidak

normal atau abnormal (Hanahan, et al., 2000).

Tumor dibagi dalam 2 golongan, yaitu tumor jinak dan tumor ganas.

Kanker adalah istilah umum untuk semua jenis tumor ganas. Sebagian besar

tumor jinak tidak menyebabkan masalah serius dan dapat di buang dengan

proses pembedahan. Tumor ganas dapat menyebar dan merusak fungsi suatu

organ. Suatu individu dengan tumor ganas dikatakan mengidap kanker. Selama

masa perkembangan sel kanker mampu menghasilkan dan melepas sel pioner


(26)

9

ketempat lain, membentuk koloni dan tumbuh di tempat itu. Penyebaran sel

kanker diluar tempat asalnya disebut dengan metastasis (Hanahan, et al., 2000).

Berdasarkan lokasinya kanker atau yang merupakan tumor ganas dapat

dibedakan sebagai berikut: karsinoma (pada jaringan kelenjar), sarkoma (pada

jaringan penghubung), limfoma (pada ganglia limfatik) dan leukimia (pada sel

darah) (Siswandono, et al., 2000).

Bentuk-bentuk tumor menurut jaringan tempat neoplasma berasal

yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007) :

a. Adenoma: benjolan malignan pada kelenjar, misalnya pada prostat dan

mamma.

b. Limfoma: kanker pada kelenjar limfe, misalnya penyakit (non) Hodgkin

dan P. Burkitt yang beciri benjolan rahang.

c. Sarkoma: neoplasma ganas yang berasal pembuluh darah, jaringan ikat, otot

atau tulang, misalnya sarkoma Kaposi, suatu tumor pembuluh di bawah

kulit tungkai bawah dengan bercak-bercak merah.

d. Leukemia: kanker darah yang berhubungan dengan produksi leukosit

yang abnormal yang sangat tinggi dan eritrosit yan g sangat berkurang.

f. Myeloma: kanker pada sumsum tulang, misalnya penyakit Kahler

(multiple myeloma) dengan pertumbuhan liar sel-sel plasma di sumsum.

g. Melanoma: neoplasma kulit yang luar biasa ganasnya, terdiri dari sel-sel

pigmen, yang dapat menyebar dengan pesat.

Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu:


(27)

10

Zat-zat inisiator ini mengganggu proses reparasi normal, sehingga terjadi

mutasi DNA dengan kelainan kromosomnya. Kerusakan DNA diturunkan

kepada anak-anak sel dan seterusnya.

b. fase promosi: zat karsinogen tambahan (co-carsinogens) diperlukan sebagai

promotor untuk mencetuskan proliferasi sel. Dengan demikian, sel-sel rusak

menjadi ganas.

c. fase progesi: gen-gen pertumbuhan yang disktivasi oleh kerusakan DNA

mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas.

Tumor menjadi manifes (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.1 Kanker Serviks

Kanker merupakan istilah umum yang digunakan untuk mendiskripsikan

suatu rangkaian penyakit mematikan yang dapat mempengaruhi bagian tubuh

yang berbeda. Penyakit ini ditandai dengan pembelahan sel abnormal yang cepat

dan tidak terkendali. Semakin lama sel abnormal tersebut akan membentuk suatu

massa, tumbuh menjadi tumor. Pembelahan tak terkendali bukanlah hal utama

yang menyebabkan bahayanya kanker. Disamping pembelahan yang tak

terkendali, sel abnormal ini dapat berlanjut ke tahap invasi jaringan lain dan

menginisiasi pertumbuhan abnormal di situs lain, yang disebut dengan proses

metastasis (Sarkarar, et al., 2011).

Penyakit ini berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan

perilaku sel epitel serviks. Sel kanker serviks pada awalnya berasal dari epitel

serviks yang mengalami mutasi genetik sehingga mengubah perilakunya. Sel

yang bermutasi ini melakukan pembelahan sel yang tidak terkendali, immortal


(28)

11

mutasi genetika yang tidak dapat diperbaiki akan menyebabkan terjadinya

pertumbuhan kanker ini (Densen, 2008).

Pencetus kanker tidaklah sedikit, salah satunya adalah abnormalitas

struktur dan jumlah kromosom yang menyebabkan beberapa gen penting akan

hilang. Disamping hilangnya gen, abnormalitas kromosom juga dapat

menyebabkan over activation gen lain dan produksi protein abnormal. Mutasi

kromosom sulit diperbaiki oleh sel itu sendiri, sehingga seharusnya (pada sel

normal) sel akan melakukan “bunuh diri”. Namun pada kanker, gen yang

mengkode mekanisme self suicide terganggu, sehingga sel yang mengalami

abnormalitas kromosom akan tetap membelah tak terkendali (Kleinsmith, 2006).

Faktor resiko yang merupakan pencetus kanker serviks, antara lain

(Rasjidi, 2007):

a. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV), yang termasuk golongan papovavirus

yaitu virus DNA bersifat mutagen memiliki ukuran 55 nm. Tipe HPV antara

lain 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, diperkirakan masih

banyak beberapa tipe lain. Di Indonesia tipe virus risiko tinggi penyebab

kanker adalah 16, 18 dan 52. Tipe ini menimbulkan lesi rata dan tidak

terlihat sedangkan tipe resiko rendah menimbulkan pertumbuhan seperti

jengger ayam pada tipe HPV 6 dan 11.

b. Berganti-ganti mitra seks

c. Merokok, asap rokok bersifat karsinogen dan mutagen.

d. Defisiensi terhadap asam folat, vitamin C, E, beta karoten dihubungkan


(29)

12

Kanker leher rahim atau yang biasa disebut kanker serviks merupakan

jenis kanker yang terjadi pada sel rahim dan vagina. Menurut World Cance

Report (2008) kanker ini berasal dari epitel metaplasi di daerah scuacolumner

junction, yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis.

Kanker ini timbul karena adanya infeksi persisten Human Papiloma Virus

(HPV). Morfologi serviks dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Morfologi serviks yang terserang HPV (Anonim, 2013)

Human Papiloma Virus termasuk virus yang sederhana, non-eveloped,

dengan materi genetikanya berupa double stranded DNA (dsDNA). HPV

memiliki oncoge E6 dan E7 yang memproduksi protein pengganggu aktivitas

p53 dan protein Rb. Protein p53 merupakan komponen sentral dalam

penghentian proliferasi sel melalui siklus sel dan kematian sel (apoptosis). Pada

kanker serviks, protein E6 akan meningkatkan p53 dan merusaknya.

Oncoprotein E7 menyerang protein Rb yang bertanggung jawab dalam

menghambat proliferasi melalui G1 retriction point pada siklus sel. Jika Rb

terfosforilasi, maka siklus sel akan berlanjut dar G1 ke S. Pada sel terjadi

inaktivasiprotein Rb yang dapat menghentikan siklus sel pada checkpoint G1


(30)

13

mengikat Rb, proses checking oleh Rb tidak lagi terjadi, sehingga sel akan

melanjutkan siklus selnya dan membelah. Gangguan pada p53 dan Rb inilah

yang dapat memicu terjadinya kanker serviks (Kleinsmith, 2006). Morfologi

HPV dan genome HPV dapat dilihat pada Gambar 2.2.

a b

Gambar 2.2 (a) morfologi HPV, (b) genome HPV (Borutto dan Comperetto, 2012).

Sel kanker serviks tumbuh bertahap, dimulai dari adanya lesi prakanker

yang disebut intraepithelial neoplasi (Cervical Intraepithelial Neoplasia = CIN).

CIN terbagi menjadi 3 tingkatan, CIN 1 menandakan adanya replikasi HPV

yang aktif dan jarang menjadi kanker, sebagian besar dapat sembuh dan spontan.

Sebaliknya CIN 2 dan 3 merupakan prekursor kanker yang potensial. CIN dapat

berkembang menjadi kanker serviks invasif (Kobayashi, et al., 2004).

2.2.2 Pencegahan Kanker Serviks

Sel-sel yang abnormal dari kanker serviks dapat dideteksi dengan suatu

test yang disebut pap smear test. Pap smear merupakan metode pemeriksaan

sel-sel yang diambil dari serviks dan kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk


(31)

14

2.2.3 Pengobatan Kanker

Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara pembedahan, radiasi,

kemoterapi, endokrinoterapi atau imunoterapi. Cara pembedahan, terutama

dilakukan untuk tumor padat yang terokalisasi. Cara radiasi digunakan sebagai

pengobatan penunjang sesudah pembedahan. Pemberian kemoterapi terutama

untuk pengobatan tumor tidak terlokalisasi seperti leukimia. Endokrinoterapi

merupakan bagian dari kemoterapi, yaitu penggunaan hormon tertentu untuk

pengobatan tumor pada organ yang poliferasinya tergantung hormon, seperti

pada karsinoma payudara dan prostat. Sedangkan cara imunoterapi masih dalam

penelitian, dan masa mendatang kemungkinan berperan dalam pencegahan

mikrometastasis (Siswandono, et al., 2000).

Obat antikanker mempengaruhi proses kehidupan sel yang terdiri dari

beberapa fase sebagai berikut (Siswandono,et al., 2000):

a. Fase mitotik (M), fase terjadinya pembelahan aktif . Replikasi kromosom

terpisah menjadi dua inti anak sel yang berlangsung selama 1 jam. Setelah

fase ini terdapat dua alternatif yaitu:

a. Menuju fase G1 dan memulai proses proliferasi.

b. Menuju fase istirahat (G0). Pada fase istirahat (G0) kemampuan sel

berpoliferasi hilang dan sel meninggalkan siklus secara tidak terpulihkan.

b. Fase post mitotik (G1), terjadi sintesis RNA dan protein. Pada akhir fase G1

terjadi sintesis RNA yang optimum. Fase ini umumnya terjadi kurang lebih 5

jam.

c. Fase sintetik (S), terjadi replikasi DNA dengan bantuan DNA-polimerase yang


(32)

15

Fase ini terjadi selama 7 jam.

d. Fase post sintetik (G2), fase ini dimulai apabila sel sudah menjadi tetraploid

dan x mengandung dua DNA, kemudian sintesis RNA dan protein dilanjutkan.

Fase ini terjadi selama 3 jam. Selanjutnya kembali ke fase mitotik.

Obat antikanker digolongkan menjadi lima kelompok yaitu senyawa

pengalkilasi, antimetabolit, antikanker produk alam, hormon dan golongan

lain-lain (Siswandono, et al., 2000).

a. Senyawa pengalkilasi merupakan senyawa reaktif yang dapat mengalkilasi

DNA, RNA dan enzim-enzim tertentu.

b. Antimetabolit yaitu senyawa yang dapat menghambat jalur metabolik untuk

kehidupan dan reproduksi sel kanker. Berdasarkan sifat antagonismenya

dibagi menjadi antagonis pirimidin, antagonis purin, antagonis asam folat dan

antagonis asam amino.

c. Antikanker produk alam adalah senyawa yang dihasilkan dari produk alam

dan memiliki khasiat sebagai antikanker. Antikanker produk alam terbagi

menjadi antibiotika antikanker, antikanker produk tanaman dan produk

hewan.

d. Hormon biasanya digunakan sebagai pengobatan tambahan setelah

pembedahan, dikombinasikan dengan antikanker lainnya. Beberapa

neoplasma dapat dikontrol oleh hormon androgenmprogestin dan estrogen

serta hormon adrenokortikoid.

e. Golongan lain-lain contohnya mitotan, 1-asparaginase, sisplatinum,


(33)

16

2.3 Kultur Sel

Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan

yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi

sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan

(monolayer) di atas permukaan yang keras (botol, tabung dan cawan) atau

menjadi suspensi sel dalam media penumbuh. Monolayer tersebut dapat

diperbanyak lagi, disebut subkultur atau pasase. Apabila dipasase terus menerus

maka dihasilkan sel lestari (cell line).

Sel lestari memiliki beberapa sifat yaitu:

a. Terjadi peningkatan jumlah sel

b. Sel-sel tersebut memiliki daya tumbuh yang tinggi

c. Sel-sel tersebut seragam

d. Biasanya sel-sel tersebut mengalami perubahan fenotipe atau transformasi

(Malole, 1990).

2.3.1 Sel HeLa

HeLa cell line diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (serviks)

manusia. Sel ini di diisolasi tahun 1915 dari rahim wanita penderita kanker leher

rahim bernama Henrietta Lacks yang berusia 31 tahun. HeLa cell line tumbuh

sebagai sel yang semi melekat (ATTC, 2011). HeLa cell line dapat digunakan

untuk test antitumor, transformasi, uji tumorgenesis, biologi sel dan invasi

bakteri. Sel ini secara morfologi merupakan sel eptelial yang sudah dimasuki

oleh Human Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini bersifat immortal dan sangat

angresif sehingga mudah untuk dikultivasi tetapi sel ini mudah menginvasi


(34)

17

Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi Human Papiloma

Virus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher rahim

normal. Sel kanker leher rahim yang di infeksi HPV diketahui mengekspresikan

2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan

sifat imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi.

Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan

tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya menyebabkan

sifat kanker (Goodwin dan DiMaio, 2000).

2.3.2 Sel Vero

Sel Vero merupakan sel yang didapatkan dari ginjal African Green

Monkey oleh peneliti Jepang pada tahun 1962. Sel Vero berfungsi sebagai

kontrol positif yang mewakili sel normal pada tubuh manusia. Sel Vero dipakai

juga pada penelitian bidang virus, bakteri intraseluler dan parasit. Pada

pengembangan vaksin, sel Vero digunakan untuk mengembangkan vaksin virus

influenza. Hingga kini telah dikenal beberapa tipe sel Vero, yaitu Vero 76 dan

Vero E6 (Witsqa, 2014).

Tipe-tipe sel Vero memiliki karakteristik dan sifat tertentu. Vero 76

memiliki karakteristik pertumbuhan yang lebih lambat daripada sel Vero awal.

Vero 76 biasa digunakan pada deteksi dan perhitungan virus demam hemoragi

dengan uji plaque. Vero E6 menunjukkan efek penghambatan kontak sehingga

sesuai untuk propagasi virus yang bereplikasi lambat (Witsqa, 2014).

Sel Vero dapat disimpan dalam nitrogen cair atau pada suhu 800C dalam

waktu lama. Stok beku ini memerlukan pengembangbiakan terlebih dahulu


(35)

18

berkembang apabila berada dalam suspensi. Kondisi percobaan juga harus

dipertahankan sterilisasinya agar terhindar dari kontaminasi (Witsqa, 2014).

Sel Vero bukan merupakan sel kanker. Mekanisme pertumbuhan dan

penghambatannya sama dengan sel normal, oleh karena itu terdapat pula

mekanisme penghentian pertumbuhan. Sel Vero yang terus berkembang semakin

lama akan memenuhi luas area media yang digunakan. Kemudian terjadi kontak

antar sel mengakibatkan sel menerima sinyal untuk menghentikan pertumbuhan

(Sheets, 2000).

2.4 Uji Anti Proliferatif

Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan tidak hilangnya

kemampuan metabolik atau proliferasi dan dapat diukur dari bertambahnya

jumlah sel, meningkatnya jumlah protein atau DNA yang disintesis.

Kemampuan sel untuk bertahan hidup inilah yang menjadi dasar uji antikanker

(Kusumadewi, 2011).

Metode kuantifikasi sel yang banyak digunakan dalam penelitian

antipoliferatif adalah metode haemocytometer dan metode MTT.

a. Perhitungan secara langsung (metode haemocytometer)

Haemocytometer merupakan perangkat gelas bersama coverslip tipis, terbagi

dalam sembilan area dengan empat area pojok sebagai area menghitung

jumlah sel. Ketebalan chamber adalah 0,1 mm dengan kapasitas 10 µl cairan

berisi sel dalam area 0,9 mm3. Beberapa hal perlu diperhatikan saat

menghitung sel dengan haemocytometer adalah harus tersuspensi rata dan


(36)

19

Sel yang melekat perlu ditripsinasi untuk mensuspensikan sel dalam larutan.

Tripan blue biasa digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel mati. Sel

hidup tidak terwanai, bulat dan relatif kecil dibandingkan dengan sel mati.

Sedangkan sel mati membengkak dan berwarna biru (Doyle, et al., 2000).

b. Perhitungan secara tidak langsung dengan metode MTT

MTT assay dapat digunakan untuk mengukur proliferasi sel secara

kolorimetri. Metode ini berdasarkan pada perubahan garam tetrazolium

(3-(4,5-dimetitiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) (MTT) menjadi

formazan dalam mitokondria yang aktif pada sel hidup. MTT diabsorbsi ke

dalam sel hidup dan pecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase

dalam rantai respirasi mitokondria menjadi formazan yang terlarut dalam

SDS 10% berwarna ungu (Doyle, et al., 2000).

Warna ungu formazan dapat dibaca absorbansinya secara

spektofotometri dengan ELISA reader pada panjang gelombang 552-554 nm.

Absorbansi tersebut menggambarkan jumlah sel hidup. Semakin kuat intensitas

warna ungu yang terbentuk, absorbansi akan semakin tinggi, hal ini

menunjukkan bahwa semakin banyak MTT yang diabsorbsi ke dalam sel hidup

dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi

mitokondria sehingga formazan yang terbentuk juga semakin banyak,

absorbansi ini yang akan digunakan untuk menghitung persentase sel hidup


(37)

20

Berikut ini reaksi reduksi MTT menjadi Formazan dapat dilihat pada Gambar

2.2:

Gambar 2.3 Reaksi reduksi MTT menjadi Formazan (Stockert, et al., 2012).

2.5 Sitotoksik

Pada industri obat, kosmetik maupun zat tambahan makanan perlu

dilakukan penelitian praklinis sebelum produk tersebut dirilis ke pasaran. Salah

satu uji praklinis yang dilakukan adalah uji sitotoksisitas. Toksisitas dapat

diartikan dengan suatu mekanisme kompleks terjadi secara in vivo yang dapat

menyebabkan kerusakan tingkat se luler. Sifat sitotoksisitas inilah yang menjadi

prinsip pengobatan kanker, namun obat antikanker juga dapat menimbulkan efek

alergi dan inflamasi (Freshney, 2000).

Efek sitotoksisitas dari suatu senyawa yang menyebabkan kematian sel

dapat dipelajari dengan teknik kultur sel. Teknik kultur sel hewan merupakan

metode untuk mempelajari karakter suatu sel hewan dalam variasi sistemik yang

muncul selama keadaan normal (homoestatis) dan ketika diberi stress pada suatu

penelitian. Salah satu jenis kultur sel yang biasanya digunakan adalah cell line.


(38)

21

beberapa garis anakan sel yang sama maupun berbeda fenotip. Cell line dengan

lifespan terbatas disebut dengan finite cell line, tumbuh dengan jumlah generasi

yang terbatas sekitar 20-80 population doubling sebelum akhirnya mati. Jumlah

doubling tergantung pada garis anakan, variasi klonal dan kondisi kultur, akan

tetapi hal tersebut berlaku untuk suatu sel yang ditumbuhkan dibawah kondisi


(39)

22

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan

penelitian sebagai berikut: pengumpulan dan pengolahan sampel, karakterisasi

simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol daun afrika (EEDA),

pembuatan media, penumbuhan sel, subkultur sel, panen sel, perhitungan sel,

pembuatan larutan uji, pengujian efek sitotoksik ekstrak etanol daun Afrika

(Vernonia amygdalina Del.) terhadap sel HeLa dan Vero dengan menggunakan

metode MTT. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program

SPSS 22.0, setelah diketahui nilai IC50 sel Vero dan sel HeLa dianalisis indeks

selektivitasnya.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas,

autoclave (Hirayama), conical tube, eksikator, ELISA reader (BenMark Biorad),

inkubator CO2 5% (Heraceus), inverted microscope (Olympus), laminar air flow

(Labconco), mikropipet, tissue culture flask, hemositometer, hand counter, neraca listrik (Vibra AJ), oven (Memmert), sentrifugator, tanur, vortex, 96-well

plate, dan pH meter.

3.1.2 Bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun Afrika


(40)

23

lain adalah berkualitas pro analisis, yaitu : air suling, etanol, hepes (Sigma),

natrium bikarbonat (NaHCO3), dimethyl sulfoxide (DMSO) (Sigma). Sel HeLa

dan Vero yang merupakan koleksi Laboratorium Parasitologi Fakultas

Kedokteran UGM, Media penumbuh Roswell Park Memorial Institute (RPMI),

Media M199, Fetal Bovine Serum (FBS) 10% (v/v) (Gibco),

penisillin-streptomisin 2% (v/v) (Gibco), dan Fungizone (Amphoterisin B) 0,5%. Selain

bahan-bahan di atas juga digunakan 0,25% trypsin-EDTA (Gibco), Phospate

Buffer Saline (PBS), MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5 difeniltetrazolium

bromida] (Sigma), dengan konsentrasi 5 mg/mL, sodium deodesil sulfat (SDS)

dalam HCl 0,1 N.

3.2 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel 3.2.1 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan adalah daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.).

Pengambilan dan pengolahan sampel telah dilakukan oleh Yusrina (2014). Pada

penelitian ini digunakan tumbuhan yang sama sehingga pengambilan dan

pengolahan sampel tidak dilakukan lagi. Pengambilan sampel dilakukan Yusrina

(2014) secara purposif tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari

daerah lain. Sampel diambil dari Taman Tanaman Obat di Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara, Pintu 4 Jl. Tridharma Universitas Sumatera Utara.

3.2.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan telah ditentukan pada penelitian Ribka Apriana

Ginting (2012) yang dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat


(41)

24

3.2.3 Pembuatan Simplisia

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Yusrina (2014), tumbuhan

yang digunakan pada penelitian ini adalah daun segar. Daun dipisahkan dari

pengotor lain lalu dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang

(diperoleh berat basah sebesar 4.284 g). Selanjutnya dikeringkan dalam lemari

pengering sampai daun kering (ditandai bila diremas rapuh). Simplisia yang

telah kering diblender menjadi serbuk, lalu ditimbang sebagai berat serbuk

simplisia (875 g), dimasukkan ke dalam wadah plastik bertutup, dan disimpan

pada suhu kamar.

3.3 Karakterisasi Simplisia

Informasi karakterisasi simplisia diperoleh dari penelitian Yusrina

(2014). Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik,

mikrokskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air,

penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan

penetapan kadar abu tidak larut dalam asam (WHO, 1992; Ditjen POM, 1995).

3.3.1 Pemeriksaan Makroskopik dan Organoleptik

Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan

mengamati bentuk, bau, dan rasa dari daun Afrika segar dan serbuk simplisia

daun Afrika.

3.3.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap daun Afrika segar dan

serbuk simplisia daun Afrika. Daun Afrika dipotong melintang lalu diletakkan di


(42)

25

dengan kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop. Begitu juga

halnya dengan pemeriksaan pada serbuk simplisia.

3.3.3 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi

toluena).

Cara kerja:

Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat,

lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30

menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml.

Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah

ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena

mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai

sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4

tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas

dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung

penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena

memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua

volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan

yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992; Ditjen POM,

1995).

3.3.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama

24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1


(43)

26

kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama

diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah

ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam

persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan

(WHO, 1992; Ditjen POM, 1995).

3.3.5 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama

24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali

selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring

cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan

sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan

dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam

persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah

dikeringkan (WHO, 1992; Ditjen POM, 1995).

3.3.6 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama

dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian

diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan

pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai

diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah

dikeringkan (WHO, 1992; Ditjen POM, 1995).


(44)

27

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml

asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan, kemudian didinginkan

dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam

dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; Ditjen POM,

1995).

3.4 Skrining Fitokimia

Informasi skrining fitokimia diperoleh dari penelitian Yusrina (2014).

Skrining fitokimia simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavanoid,

alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.

3.4.1 Pemeriksaan Flavonoid

Serbuk simplisia ditimbang 0,5 g, lalu ditambahkan 10 ml metanol

direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring. Filtrat

diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml petroleum

eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanol diambil

diuapkan pada temperatur 40⁰C, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etilasetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut :

a. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 2 ml

etanol 96%, lalu ditambah 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml asam klorida 2 N.

Didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida

pekat. Jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif


(45)

28

b. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 1-2 ml

etanol 96% lalu ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes asam klorida pekat.

Jika terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya

flavanoid.Jika terjadi warna kuning jingga menunjukkan adanya flavon,

kalkon dan auron (Ditjen POM, 1995).

3.4.2 Pemeriksaan Alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml

asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2

menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes

alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat.

Pada masing-masing tabung reaksi:

a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer

b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff.

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga

percobaan di atas (Ditjen POM, 1995).

3.4.3 Pemeriksaan saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok

kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil

tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam

klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995).


(46)

29

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu

disaring, filtratnya diencerkan dengan air suling samapai tidak berwarna.

Diambil 2 ml larutan dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1% .

Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya

tanin (Ditjen POM, 1995).

3.4.5 Pemeriksaan Glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml

campuran etanol 96%-air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2

jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air

suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit,

lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform-isopropanol (3:2)

sebanyak 3 kali. Pada kumpulan sari ditambahkan natrium sulfat anhidrat,

disaring, dan diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan

dengan 2 ml metanol untuk larutan percobaan. 0,1 ml larutan percobaan

diuapkan di atas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes

Molish, kemudian ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat, terbentuk cincin

berwarna ungu pada batas cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (Ditjen

POM, 1995).

3.4.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml

n-heksan selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan

pada sisanya ditambahkan pereaksi asam sulfat pekat melalui dinding cawan.

Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau


(47)

30

3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Afrika (EEDA)

Pembuatan ekstrak etanol daun Afrika dilakukan oleh Yusrina (2014).

Serbuk simplisia diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut

etanol. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, (1979) caranya adalah sebagai

berikut:

Sebanyak 400 g (10 bagian) serbuk simplisia dimasukkan ke dalam sebuah

bejana, dituangi dengan 3 L (75 bagian) etanol, ditutup, dibiarkan selama 5 hari

terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, diserkai, diperas. Ampas

diremaserasi dengan etanol secukupnya hingga diperoleh 4 L (100 bagian).

Pindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat terlindung dari cahaya

selama 2 hari. Enap tuangkan atau saring. Maserat dikumpulkan dan diuapkan

dengan rotary evaporator pada suhu 40°C sampai diperoleh ekstrak kental.

3.6 Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Afrika (EEDA)

Pengujian efek sitotoksik EEDA (Vernonia amygdalina Del) terhadap sel

kanker serviks (HeLa) dan normal (Vero) dilakukan di Laboratorium

Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pengujian efek sitotoksik ini meliputi pembuatan media RPMI, pembuatan

media M199, pembuatan media kultur lengkap (MK) RPMI dan M199,

penumbuhan sel HeLa dan Vero, pembuatan larutan uji EEDA, dan uji

sitotoksik EEDA terhadap sel HeLa dan Vero dengan menggunakan metode

MTT.

3.7. Pembuatan Media


(48)

31

Komposisi: RPMI sachet, spesifikasi: GIBCO Lot No. 921956, dengan

L-glutamine tanpa NaHCO3, netto 10,4 gram

Hepes 2 gram

NaHCO3 2 gram

Aquabidest steril ad 1 liter

Sebanyak 1 sachet RPMI, 2 gram Hepes, dan 2 gram NaHCO3

dimasukkan kedalam erlenmeyer, ditambahkan 800 ml aquabidest steril,

dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirer. Ukur pH 7,2 – 7,4

dengan pH meter, untuk menyesuaikan pH dapat digunakan HCl 1N (bila

larutan basa) atau NaOH 1N (bila larutan asam), kemudian ditambahkan

aquabidest steril sampai 1 L, sterilisasi dilakukan dengan filter vaccum di

dalam LAF (Laminar air Flow), dipasang filter aparatus steril pada botol

duran 1 L steril, proses penyaringan dilakukan dengan filter, aliquot media

ditampung dalam botol duran 500 ml, diberi identitas pada botol media

(nama media, tanggal pembuatan, expire date, dan nama pembuat), dan

disimpan pada suhu 2-8o C (Sambrook, et al., 1989).

3.7.2 Pembuatan Media Kultur Lengkap (MK RPMI) Komposisi:

Fetal Bovine Serum (FBS) 10%

Penisilin-Streptomisin 2%

Fungizone (Amphotericin B) 0,5%

RPMI ad 100 ml

Semua bahan di atas dicampur, dan dilakukan di dalam LAF (Laminar Air


(49)

32

date, dan nama pembuat), kemudian disimpan pada suhu 2-80C (Sambrook, et

al., 1989).

3.7.3 Pembuatan Media M199

Komposisi: M199 sachet, spesifikasi: GIBCO Lot No. 819942, dengan

Earle’s salt, dengan L-glutamine tanpa NaHCO3, netto 9,5 gram

Hepes 2 gram

NaHCO3 2 gram

Aquabidest steril ad 1 liter

Sebanyak 1 sachet M199, 2 gram Hepes, dan 2 gram NaHCO3

dimasukkan kedalam erlenmeyer, ditambahkan 800 ml aquabidest steril,

dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirer. Ukur pH 7,2 – 7,4

dengan pH meter, untuk menyesuaikan pH dapat digunakan HCl 1N (bila

larutan basa) atau NaOH 1N (bila larutan asam), kemudian ditambahkan

aquabidest steril sampai 1 L, sterilisasi dilakukan dengan filter vaccum di

dalam LAF (Laminar air Flow), dipasang filter aparatus steril pada botol

duran 1 L steril, proses penyaringan dilakukan dengan filter, aliquot media

ditampung dalam botol duran 500 ml, diberi identitas pada botol media

(nama media, tanggal pembuatan, expire date, dan nama pembuat), dan

disimpan pada suhu 2-8o C (Handayani, et al., 2001).

3.7.4 Pembuatan Media Kultur Lengkap (MK M199) Komposisi: Fetal Bovine Serum (FBS) 10%

Penisilin-Streptomisin 2%

Fungizone (Amphotericin B) 0,5%


(50)

33

Semua bahan di atas dicampur, dan di lakukan di dalam LAF (Laminar Air

Flow), diberi identitas pada botol MK (nama media, tanggal pembuatan, expire

date, dan nama pembuat), kemudian disimpan pada suhu 2-80C (Handayani, et

al., 2001).

3.8 Penumbuhan Sel

3.8.1 Penumbuhan Sel HeLa

Alat dan bahan dipersiapkan dan dikondisikan pada suhu ruangan, aliquot

10 ml media RPMI dimasukkan ke dalam tabung konikel, diambil ampul yang

berisi sel biakan dari freezer -800 C atau tangki nitrogen cair dan dicairkan pada

suhu kamar, suspensi sel dalam ampul diambil, dan dimasukkan tetes demi tetes

ke dalam media RPMI yang telah disiapkan, lalu disentrifuse pada 600 rpm

selama 5 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan 4 ml MK RPMI

kemudian diresuspensi hingga homogen. Suspensi sel ditransfer masing-masing

2 ml ke dalam flask kultur baru. 5 ml MK ditambahkan ke dalam masing-masing

flask kultur, dan dihomogenkan. Kondisi sel diamati dengan menggunakan

mikroskop inverted. Sel homogen dipastikan tersebar pada seluruh permukaan

flask kultur (tidak menggerombol pada bagian tertentu). Pada flask kultur diberi

identitas, dan kemudian disimpan dalam inkubator CO2 5% (Doyle, et al., 2000).

3.8.2 Penumbuhan Sel Vero

Alat dan bahan dipersiapkan dan dikondisikan pada suhu ruangan, aliquot

10 ml media M199 dimasukkan ke dalam tabung konikel, diambil ampul yang

berisi sel biakan dari freezer -800 C atau tangki nitrogen cair dan dicairkan pada


(51)

34

ke dalam media M199 yang telah disiapkan, lalu disentrifuse pada 600 rpm

selama 5 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan 4 ml MK M199 kemudian

diresuspensi hingga homogen. Suspensi sel ditransfer masing-masing 2 ml ke

dalam flask kultur baru. 5 ml MK ditambahkan ke dalam masing-masing flask

kultur, dan dihomogenkan. Kondisi sel diamati dengan menggunakan mikroskop

inverted. Sel homogen dipastikan tersebar pada seluruh permukaan flask kultur

(tidak menggerombol pada bagian tertentu). Pada flask kultur diberi identitas,

dan kemudian disimpan dalam inkubator CO2 5% (Doyle, et al., 2000).

3.9 Subkultur Sel

3.9.1 Subkultur Sel HeLa

Alat dan bahan dipersiapkan dan dikondisikan pada suhu ruangan,

pengerjaan dilakukan pada LAF. Proses panen sel HeLa dilakukan dengan cara

mengambil 500 µl panenan sel dan dimasukkan ke dalam flask kultur.

ditambahkan 6 ml MK RPMI, dan dihomogenkan. Sel diinkubasi pada inkubator

CO2 5%, kondisi sel diamati pada keesokan harinya (Doyle, et al., 2000).

3.9.2 Subkultur Sel Vero

Alat dan bahan dipersiapkan dan dikondisikan pada suhu ruangan,

pengerjaan dilakukan pada LAF. Proses panen sel Vero dilakukan dengan cara

mengambil 500 µl panenan sel dan dimasukkan ke dalam flask kultur.

ditambahkan 6 ml MK M199, dan dihomogenkan. Sel diinkubasi pada inkubator

CO2 5%, kondisi sel diamati pada keesokan harinya (Doyle, et al., 2000).

3.10 Panen Sel


(52)

35

Panen dilakukan apabila sel HeLa telah dalam kondisi 80% konfluen (sel

sudah menempel dan berkembang memenuhi wadah kultur), semua pekerjaan

dilakukan pada LAF. MK RPMI dibuang dari flask dengan mikropipet atau pipet

pasteur, sel dicuci 2 kali dengan 5 ml PBS (Phosphate Buffer Saline),

ditambahkan 400 µl Tripsin-EDTA 0,25% secara merata, kemudian diinkubasi

di dalam inkubator CO2 5% selama ± 5 menit, dan ditambahkan 4 ml MK untuk

menginaktifkan tripsin. Sel diresuspensi dengan mikropipet agar sel terlepas

satu-satu (tidak menggerombol). Keadaan sel diamati di mikroskop inverted. Sel

diresuspensi kembali jika masih ada sel yang menggerombol. Sel ditransfer ke

dalam tabung konikel (Doyle, et al., 2000).

3.10.2 Panen Sel Vero

Panen dilakukan apabila sel Vero telah dalam kondisi 80% konfluen (sel

sudah menempel dan berkembang memenuhi wadah kultur), semua pekerjaan

dilakukan pada LAF. MK M199 dibuang dari flask dengan mikropipet atau pipet

pasteur, sel dicuci 2 kali dengan 5 ml PBS (Phosphate Buffer Saline),

ditambahkan 400 µl Tripsin-EDTA 0,25% secara merata, kemudian diinkubasi

di dalam inkubator CO2 5% selama ± 5 menit, dan ditambahkan 4 ml MK untuk

menginaktifkan tripsin. Sel diresuspensi dengan mikropipet agar sel terlepas

satu-satu (tidak menggerombol). Keadaan sel diamati di mikroskop inverted. Sel

diresuspensi kembali jika masih ada sel yang menggerombol. Sel ditransfer ke

dalam tabung konikel (Doyle, et al., 2000)


(53)

36

Diambil 10 µl panenan sel dan dipipetkan ke dalam hemositometer (kamar

hitung). Jumlah sel dihitung dibawah mikroskop inverted dengan perbesaran

10x10 menggunakan counter.

Gambar 3.1 Hemositometer (kamar hitung A, B, C dan D)

Hemositometer terdiri dari 4 kamar hitung (A, B, C, dan D), setiap kamar hitung

terdiri dari 16 kotak. Sel pada 4 kamar hemositometer dihitung, sel yang gelap

(mati) dan sel yang berada di batas luar di sebelah kiri dan atas tidak ikut

dihitung. Sel di batas kanan dan bawah ikut dihitung. Jumlah sel per ml dihitung

dengan rumus :

∑sel/mL =∑ sel A + ∑ sel B +∑ sel C + ∑ sel D

4 × 10

4

Jumlah total sel yang diperlukan dihitung.

Untuk menanam sel pada tiap sumuran 96-well plate maka jumlah total sel yang

diperlukan adalah 1x104/sumuran x 100 sumuran (dibuat lebih) = 1x 106

volume panenan sel yang diperlukan (dalam mL) dihitung dengan rumus :

Volume panenan sel = Jumlah total sel yang diperlukan

Jumlah sel terhitung/ml

volume panenan sel dimbil, ditransfer ke tabung konikel baru kemudian


(54)

37

3.12 Pembuatan Larutan Uji

Ekstrak etanol ditimbang sebanyak 50 mg dalam polytube, lalu dilakukan

pengenceran hingga 5 mg, kemudian dilarutkan dalam dimetilsulfoksida

(DMSO) sebanyak 50 µl, divortex agar sampel terlarut sempurna kemudian di

cukupkan dengan MK, kemudian dibuat pengenceran selanjutnya sampai

diperoleh larutan uji dengan konsentrasi 500 µg/ml, 250 µg/ml, 125 µg/ml, 62,5

µg/ml, dan 31,25 µ g/ml semua pengenceran dilakukan dengan menggunakan

MK.

3.13 Uji Sitotoksik EEDA Menggunakan Metode MTT

3.13.1 Uji Sitotoksik EEDA Terhadap Sel HeLa Menggunakan Metode MTT

Sel HeLa ditanam pada microplate 96 sumuran sehingga diperoleh

kepadatan 10.000 sel/sumuran dan diinkubasi selama 24 jam untuk mendapatkan

pertumbuhan yang baik. Setelah 24 jam medium diganti dengan yang baru

kemudian ditambahkan larutan uji dengan berbagai konsentrasi menggunakan

cosolvent DMSO dan diinkubasi pada suhu 37ºC dalam inkubator CO2 5%

selama 24 jam. Pada akhir inkubasi, media dan larutan uji dibuang kemudian sel

dicuci dengan PBS. Pada masing-masing sumuran, ditambahkan 100 μL media

kultur dan 10 μL MTT 5 mg/mL. Untuk mengamati viabilitasnya, sel diinkubasi

kembali selama 4-6 jam dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37oC. Reaksi MTT

dihentikan dengan reagen stopper (SDS 10% dalam HCl 0,1 N), lalu plate

dibungkus dengan alumunium foil agar tidak tembus cahaya pada suhu kamar


(55)

38

membentuk warna ungu. Hasil pengujian dibaca dengan ELISA reader pada

panjang gelombang 595 nm (Doyle, et al., 2000)

3.13.2 Uji Sitotoksik EEDA Terhadap Sel Vero Menggunakan Metode MTT Sel Vero ditanam pada microplate 96 sumuran sehingga diperoleh

kepadatan 10.000 sel/sumuran dan diinkubasi selama 24 jam untuk mendapatkan

pertumbuhan yang baik. Setelah 24 jam medium diganti dengan yang baru

kemudian ditambahkan larutan uji dengan berbagai konsentrasi menggunakan

cosolvent DMSO dan diinkubasi pada suhu 37ºC dalam inkubator CO2 5%

selama 24 jam. Pada akhir inkubasi, media dan larutan uji dibuang kemudian sel

dicuci dengan PBS. Pada masing-masing sumuran, ditambahkan 100 μL media

kultur dan 10 μL MTT 5 mg/mL. Untuk mengamati viabilitasnya, sel diinkubasi kembali selama 4-6 jam dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37oC. Reaksi MTT

dihentikan dengan reagen stopper (SDS 10% dalam HCl 0,1 N), lalu plate

dibungkus dengan alumunium foil agar tidak tembus cahaya pada suhu kamar

dan dibiarkan selama satu malam. Sel yang hidup bereaksi dengan MTT

membentuk warna ungu. Hasil pengujian dibaca dengan ELISA reader pada

panjang gelombang 595 nm (Doyle, et al., 2010).

3.14 Analisis Hasil

Data absorbansi yang diperoleh dari uji sitotoksik sel dikonversi ke

dalam persen sel hidup. Persen sel hidup dihitung menggunakan rumus:

% Hidup = Absorbansi sel dengan perlakuan - Absorbansi kontrol media


(56)

39

Aktivitas sitotoksik dinyatakan dalam IC50 (konsentrasi yang

menyebabkan kematian 50% populasi sel) yang dianalisis dengan analisis probit

menggunakan SPSS 22 (Doyle, et al, 2000).

3.15 Analisis Indeks Selektivitas

Untuk mengetahui nilai indeks selektivitas (IS), perlu diketahui IC50 sel

Vero dan IC50 sel HeLa dengan menggunakan metode MTT. Selektivitas obat

antikanker dapat diukur dengan cara menghitung indeks selektivitas

menggunakan persamaan di bawah ini: (Dewi, et al., 2015)

Indeks Selektivitas = IC50Sel Vero


(57)

40

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Tumbuhan yang telah diidentifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (Indonesian Institute of Science) Pusat Penelitian Biologi (Research

Center for Biology), Bogor adalah Vernonia amygdalina Del. suku Asteraceae.

Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1 (Ginting, 2012).

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia 4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik terdiri dari pemeriksaan bentuk, warna dan

rasa. Hasil makroskopis daun Afrika segar memiliki bentuk daun oval-elips,

ujung dan pangkal daun meruncing, susunan tulang menyirip, tepi daun

bergerigi dan kasar, permukaan berambut sangat halus, panjang 15-19 cm, lebar

8-9 cm, berwarna hijau muda, dan rasanya pahit.

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik

Hasil mikroskopik simplisia daun Afrika adalah rambut penutup

multiseluler, kristal kalsium oksalat berbentuk prisma dan rosette, amilium dalam

media air, stomata anomositik, dan jaringan palidase.

4.2.3 Pemeriksaan karakteristik simplisia

Hasil penetapan kadar abu total simplisia daun Afrika cukup tinggi yakni


(58)

41

dalam daun Afrika seperti besi, zink, mangan, dsb. Hasil penetapan kadar dapat

dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Simplisia

No Parameter Hasil

1. Penetapan kadar air 7,99%

2. Penetapan kadar sari larut air 25,88%

3. Penetapan kadar sari larut etanol 14,89%

4. Penetapan kadar abu total 9,74%

5. Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam 0,70%

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia untuk mengetahui

senyawa kimia yang terkandung dalam daun Afrika. Hasil skrining fitokimia

dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia Daun Afrika

No Skrining Hasil

1. Alkaloid -

2. Flavanoid +

3. Glikosida +

4. Saponin +

5. Tanin +

6. Triterpenoid/ Steroid +

Keterangan: + = memberikan hasil; - = tidak memberikan hasil

4.4 Hasil Ekstraksi Serbuk Daun Afrika

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode maserasi menggunakan

pelarut etanol 96%. Hasil maserasi dari 400 g serbuk simplisia diperoleh ekstrak

kental 37,81 g (rendemen 9,45%).

4.5 Hasil Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Afrika (EEDA) Terhadap Sel HeLa dan Vero Menggunakan Metode MTT


(59)

42

Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]

adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan

pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil

metabolisme suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna. Pada uji ini

digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase.

MTT akan direduksi menjadi kristal formazan oleh sistem reduktase suksinat

tetrazolium, yang terdapat di mitokondria pada sel hidup (Cree, 2011).

Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop inverted dengan

perbesaran 10x10 menunjukkan adanya perbedaan morfologi antara sel HeLa

dan Vero kontrol dan sel HeLa dan Vero yang diberi perlakuan ekstrak. Sel

HeLa dan Vero kontrol yang hidup tampak lonjong, saling berdempet dengan sel

lain yang berada disekitarnya dan menempel di dasar sumuran dapat dilihat pada

Gambar 4.1 (a, b).

Gambar 4.1 Kontrol Sel HeLa (a) Kontrol Sel Vero (b)

Hasil pengamatan sel HeLa dan Vero yang mati karena perlakuan

pemberian ekstrak tampak berubah dari bentuk semula dan bagian tengah

berwarna hitam, cenderung tersebar dan mengapung dapat dilihat pada Gambar


(60)

43

Gambar 4.2 Sel HeLa setelah Sel Vero setelah

pemberian ekstrak (a) pemberian ekstrak (b)

Warna gelap dan berserabut yang nampak pada pengamatan Gambar 4.3

merupakan kristal formazan setelah pemberian MTT. Kristal-kristal formazan

tersebut dapat menembus membran sel dan terakumulasi di dalam sel sehat.

Jumlah produk formazan secara langsung proposional dengan jumlah sel hidup.

Semakin banyak sel hidup maka semakin banyak sel yang aktif melakukan

metabolisme sehingga jumlah produk formazan yang terbentuk juga semakin

banyak. Semakin banyak produk formazan yang terakumulasi ini menyebabkan

intensitas warna ungu meningkat dalam plate. Sel yang mati tidak dapat

terwarnai oleh garam MTT sehingga tidak membentuk warna ungu seperti pada

sel hidup. Akibatnya pada sel mati tidak terbentuk formazan yang berwarna


(61)

44

Gambar 4.3 Kristal Formazan

Perbedaan warna pada media kultur sel HeLa dan sel Vero setelah pemberi

an ekstrak dari konsentrasi tertinggi hingga terendah dapat dilihat pada

Gambar 4.4 (a, b)

Sel HeLa (a) Sel Vero (b)

Gambar 4.4 Perbedaan warna media berisi sel HeLa, Vero dan larutan uji setelah pemberian MTT (3 x pengulangan).

Keterangan : A (1, 2, 3) = konsentrasi larutan uji 500 µg/ml B (1, 2, 3) = konsentrasi larutan uji 250 µg/ml C (1, 2, 3) = konsentrasi larutan uji 125 µg/ml D (1, 2, 3) = konsentrasi larutan uji 62,5 µg/ml E (1, 2, 3) = konsentrasi larutan uji 31,25 µg/ml F (1, 2, 3) = konsentrasi larutan uji 15,625 µg/ml A

B

C

D

E

F

1 2 3

A

B

C

D

E

F


(62)

45

Hasil pengukuran dengan menggunakan ELISA reader menunjukkan

bahwa persentase sel Hela dan Vero yang hidup terus menurun berbanding

terbalik dengan kenaikan konsentrasi ekstrak yang diberikan. Dimana artinya

semakin besar konsentrasi ekstrak yang diberikan maka persentase kematian sel

HeLa dan Vero semakin meningkat. Persentase sel HeLa hidup terbesar terdapat

pada pemberian konsentrasi 62,5 µg/ml yaitu sebesar 77% dan sel Vero hidup

terbesar terdapat pada pemberian konsentrasi 31,25 µg/ml yaitu sebesar 73% ,

sedangkan sel HeLa pada pada pemberian konsentrasi 500 µ g/ml persentase sel

hidup hanya sebesar 11% dan sel Vero pada pemberian konsentrasi 500 µg/ml

persentase sel hidup hanya sebesar 8% (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Persentase sel HeLa dan Vero hidup dengan perlakuan EEDA

Bahan Uji

Konsentrasi EEDA

(µg/ml)

% sel HeLa

hidup

% sel Vero

hidup

Ekstrak Etanol

Daun

Afrika

(EEDA)

500 11 8

250 11 8

125 32 58

62,5 77 71

31,25 58 73

15,625 71 70

Kontrol SelHela - - -


(63)

46

Data lengkap absorbansi sel HeLa kontrol media, dan sel setelah pemberian

ekstrak dapat dilihat pada lampiran 12 halaman 69. Grafik hubungan konsentrasi

larutan uji terhadap jumlah persentase sel HeLa hidup dapat lihat pada Gambar

4.5.

Gambar 4.5 Grafik Hubungan Konsentrasi Larutan Uji Terhadap Persentasi Sel HeLa Hidup

Berdasarkan hasil uji sitotoksik dengan metode MTT assay, ekstrak etanol

daun Afrika terhadap sel HeLa memiliki persen sel hidup yang cenderung

mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya konsentrasi sedangkan

pada konsentrasi 62,5 µg/ml persen sel hidup mengalami kenaikan. Dengan

rentang konsentrasi 15,625 µg/ml sampai 500 µg/ml. Sehingga dapat dilihat

hasil uji statistik ANOVA pada Tabel 4.4 persentasi sel hidup ekstrak etanol

daun Afrika terhadap sel HeLa. 71 58 77 32 11 11 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

15,625 31,25 62,5 125 250 500

15,625 31,25 62,5 125 250 500 Hubungan konsentrasi larutan uji terhadap jumlah persentase

sel HeLa hidup

Konsentrasi (µg/ml)

%

se

l hi


(64)

47

Tabel 4.4 Persentase Sel Hidup Ekstrak Etanol Daun Afrika terhadap Sel HeLa Konsentrasi

(µg/ml)

Sel HeLa (%) MEAN±SEM

500 0,15±0,009

250 0,15±0,032

125 0,28±0,021

62,5 0,54±0,033

31,25 0,43±0,064

15,625 0,51±0,001

Keterangan: terdapat perbedaan statistik yang signifikan pada p< 0,05

Berdasarkan hasil uji ANOVA (Lampiran 17.) pada sel HeLa

menunjukkan pada konsentrasi 500 µg/ml terhadap konsentrasi 250 µg/ml dan

125 µg/ml tidak terdapat perbedaan yang signifikan, sedangkan konsentrasi 62,5

µg/ml, 31,25 µg/ml dan 15,625 µ g/ml terdapat perbedaan yang signifikan.

Konsentrasi 250 µg/ml terhadap konsentrasi 500 µg/ml dan 125 µg/ml tidak

terdapat perbedaan yang signifikan, sedangkan pada konsentrasi 62,5 µg/ml,

31,25 µg/ml dan 15,625 µg/ml terdapat perbedaan yang signifikan. Konsentrasi

125 µg/ml terhadapkonsentrasi 500 µg/ml dan 250 µg/ml tidak terdapat

perbedaan yang signifikan, sedangkan pada konsentrasi 62,5 µg/ml, 31,25 µg/ml

dan 15,625 µ g/ml terdapat perbedaan yang signifikan. Konsentrasi 62,5 µ g/ml

terhadap konsentrasi 500 µg/ml, 250 µg/ml dan 125 µg/ml terdapat perbedaan

yang signifikan, sedangkan terhadap konsentrasi 31,25 µg/ml dan 15,626 µg/ml

tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Konsentrasi 31,25 µ g/ml terhadap

konsentrasi 500 µg/ml, 250 µg/ml dan 125 µg/ml terdapat perbedaan yang

signifikan, sedangkan terhadap konsentrasi 62,5 µg/ml dan 15,625 µg/ml tidak


(1)

84

Lampiran 22. Bagan Pembuatan Media Kultur Lengkap (MK M199)

Dicampur

Diberi identitas pada botol MK M199

Disimpan pada suhu 2 – 80C

Fetal Bovine Serum (FBS)

(10%)

Penisilin- Streptomis in (1%)

Fungizone (amphoterici

n B) (0,5%)

M199 ad 100%

Media Kultur Lengkap (MK M199)


(2)

85

Lampiran 23. Bagan Penumbuhan Sel HeLa dan Vero

Diambil dari tangki nitrogen atau freezer Diambil beberapa tetes

Dimasukkan kedalam konikel yg berisi RPMI/M199

Disentrifuge 6000 rpm selama 5 menit

Dibuang supernatan

Ditambahkan 4 ml MK RPMI

Di resuspensi hingga homogen Dimasukkan ke dalam flask

Ditambahkan 5 ml MK kedalam setiap flask Dihomogenkan

Diamati kondisi sel dengan mikroskop inverted Diberi identitas pada flask

Disimpan dalam inkubator CO2 5% Sel HeLa dan


(3)

86 Lampiran 24. Bagan Panen Sel HeLa dan Vero

Dipersiapkan dan dikondisikan

Diamati apakah sel telah konfluen 80% Dibuang MK dari flask dengan mikropipet Dicuci sel 2x dengan PBS

Ditambahkan 400 µl trypsine-EDTA 0,25%

Diinkubasi dalam inkubator CO2 5% selama 5 menit Ditambahkan 4 ml MK

Di resuspensi dengan mikropipet

Diamati sel dibawah mikroskop inverted

Di resuspensi kembali jika masih ada sel yang menggerombol Ditransfer sel kedalam tabung konikel

Sel HeLa dan Vero, alat, dan bahan

Sel Panen HeLa dan Vero


(4)

87

Lampiran 25. Bagan Penghitungan Sel HeLa dan Vero

Diambil 10µl panenan sel

Dipipetkan kedalam hemositometer Dihitung jumlah sel dibawah mikroskop Kultur Sel

HeLa dan V

Jumlah Sel HeLa dan


(5)

88 Lampiran 26. Bagan Pembuatan Larutan Uji

Ditimbang sebanyak 5 mg Dimasukkan kedalam polytube Dilarutkan dalam 50 µl DMSO Di vortex

Dibuat pengenceran sampai diperoleh konsentrasi 500 µg/ml, 250 µg/ml,

125 µg/ml, 62,5 µg/ml, 31,25 µg/ml, 15,625 µg/ml Ekstrak etanol


(6)

89 Lampiran 27. Bagan Pengujian Sitotoksik

Ditanam pada microplate 96 sumuran dengan kepadatan 1 x 104

Diinkubasi selama 24 jam Dibuang medium

Ditambahkan medium baru Ditambahkan larutan uji Diinkubasi selama 24 jam

Dibuang media dan larutan uji setelah 24 jam Dicuci dengan PBS

Ditambahkan 100 µl MK dan 10 µl MTT (5 mg/ml) Diinkubasi selama 4-6 jam

Ditambahkan SDS (sebagai stopper) Dibungkus dengan aluminium foil Dibiarkan selama 1 malam

Dibaca serapan dengan ELISA reader pada λ 595 nm

Dihitung % sel hidup

Dihitung IC50 dengan analisa probit menggunakan

SPSS

Sel HeLa dan Vero

Absorban