Efek Sitoprotektif Daun Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) terhadap Sel Vero yang Diinduksi dengan Hidrogen Peroksida (H2O2) Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang meliputi identifikasi
tumbuhan, pengumpulan dan pengolahan bahan tumbuhan, pemeriksaan
karakterisasi simplisia dan ekstrak, pembuatan ekstrak, kultur sel, analisis
viabilitas sel, analisis apoptosis secara flowsitometri dan analisis ekspresi ROS
secara imuositokimia. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
3.1 Alat dan Bahan
3.3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas
laboratorium, alumunium foli, autoclave (Hirayama), blender (Philips), cawan
porselen alas rata, conical tube, coverslip, cover glass, deksikator, elisa reader
(BenMark Biorad), FACScan flowcytometer, hemositometer, hand counter,
inkubator CO2 (Heraceus), inverted microscope (Olympus), krus porselin
bertutup, laminar air flow (Labconco), mikropipet, neraca kasar (Home Line),
neraca listrik (Vibra AJ), oven (Memmert), penangas air (Yenaco), rotary
evaporator (Haake D1), sentrifugator, seperangkat alat penetapan kadar
air,seperangkat alat destilasi, vortex, dan 6-well plate, 24-well plate,96-well plate.
3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini dalah daun bangunbangun (Plectranthus amboinicus, (Lour.) Spreng.), dan bahan kimia yang

33
Universitas Sumatera Utara

digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas pro analsis, yaitu; α-naftol,
3,3’-diaminobenzidin (Sigma), air suling, annexin V, antibodi ROS, amonium
hidroksida, asam asetat anhidrida, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, asam
sulfat pekat, besi (III) klorida, biotinilated universal secondary antibody, bismut
(III) nitrat, dimethyl sulfoxide (DMSO) (Sigma), entellan, etanol, etilasetat, Fetal
Bovine Serum (FBS) 10% (v/v) (Gibco), formaldehid 3,7%, Fungizone
(amfoterisin B) 0,5 % (Gibco), hepes (Sigma), hidrogen peroksida 30%, iodium,
isopropanol, kalium iodida, kloroform, M199, mayer-haematoksilin, metanol,
natrium bikarbonat (Macalai tesque), natrium dodesil sulfat dalam 0,01 N HCl,
natrium hidroksida, n-heksana, PBS (Gibco), raksa (II) klorida, serbuk
magnesium, serbuk zinkum, sodium hidrogen karbonat (Macalai tesque),
streptavidin enzim horse radish peroxidase, dan toluena. Sel vero merupakan
koleksi Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM.
3.2 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel
3.2.1 Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif tanpa membandingkan
dengan daun bangun-bangun dari daerah lain. Sampel diambil dari desa Kubuan,
Tanjung Pura, Langkat, Provinsi Sumatera Utara.
3.2.2 Identifikasi tanaman daun bangun bangun
Identifikasi tanaman daun bangun-bangun dilakukan di Herbarium
Medanense, Medan, Sumatera Utara.
3.2.3 Pembuatan simplisia
Daun bangun-bangun dibersihkan dari pengotoran dengan cara mencuci di
bawah air mengalir hingga bersih, ditiriskan lalu ditimbang sebagai berat basah,

34
Universitas Sumatera Utara

selanjutnya dikeringkan dilemari pengering (± 50oC). Setelah kering, daun
bangun-bangun ditimbang kembali lalu diserbuk hingga halus. Serbuk simplisia
dimasukkan ke dalam wadah plastik bertutup, dan disimpan pada suhu kamar.
3.3 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Pemeriksaan karakterisasi simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan
penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak
larut asam, (Depkes RI, 1986; WHO, 1998).

3.3.1 Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada simplisia meliputi pemeriksaan
bentuk, warna, diameter dan ketebalan.
3.3.2 Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan
cara meneteskan larutan kloralhidrat di atas kaca objek, ditaburkan serbuk
simplisia, kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dibawah mikroskop.
3.3.3 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).
Alat terdiri dari alas bulat 500 mL, alat penampung, pendingin, tabung
penyambung, dan tabung penerima 10 mL. Langkah pertama dilakukan
penjenuhan toluen. Sebanyak 200 mL toluen dan 2 mL air suling dimasukkan ke
dalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin kemudian
didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30
menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05
mL.Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah
ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen

35
Universitas Sumatera Utara


mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar
air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik.
Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.
Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan
mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume
air dibaca dengan ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai
dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air
dihitung dalam persen dengan rumus sebagai berikut: (WHO, 1992).
% Kadar air simplisia/ekstrak =

volume air (mL)
x 100%
berat sampel (g)

3.3.4 Penetapan kadar sari larut dalam air
Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan dimaserasi selama 24 jam
dengan 100 mL air-kloroform (2,5 mL kloroform dalam air sampai 1 liter)
menggunakan labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,
kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, 20 mL filtrat dipipet, diuapkan sampai

kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah ditara dan dipanaskan pada
suhu 105ºC sampai bobot tetap.Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam
persen (Depkes RI, 2008).
3.3.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol
Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan dimaserasi selama 24 jam
dengan 100 mL etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil sesekali
dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, 20 mL
filtrat dipipet, diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata
(Depkes RI, 2008).

36
Universitas Sumatera Utara

3.3.6 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama
dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian
diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan
pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai
diperoleh bobot tetap. Kadar abu total dihitung dalam persen (Depkes RI, 1995).
3.3.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25
mL asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu kemudian dicuci denganair
panas dalam kurs porselen. Residu dan kertas saring dipijarkan pada suhu 60oC
sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang.Kadar abu tidak larut
dalam asam d ihitung terhadap bahan yang dikeringkan di udara (Depkes RI,
1995).
3.4 Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak dilakukan secara maserasi bertingkat (re-maserasi),
yaitu serbuk simplisia dengan perbandingan tertentu direndam dengan cairan
penyari berturut-turut n-heksan, etil asetat dan etanol (Rosidah dan Hasibuan,
2014).
Sebanyak 10 bagian serbuk simplisia dengan derajat halus yang cocok
dimasukkan ke dalam sebuah bejana, dituangi dengan 75 bagian penyari yaitu nheksan, ditutup, dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil berulangulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, residu diperas. Residu dicuci dengan
cairan penyari secukupnya, diaduk dan diserkai hingga diperoleh seluruh sari

37
Universitas Sumatera Utara

sebanyak 100 bagian. Maserasi selanjutnya dilakukan dengan pelarut etil asetat

dan etanol. Maserat dipindahkan ke dalam bejana bertutup, diiarkan di tempat
sejuk terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan atau disaring.
Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat rotary evaporator pada suhu 40o C
(Depkes RI, 1979). Kemudian ekstrak dikeringkan di atas water bath hingga
diperoleh ekstrak kental. Maserasi dilanjutkan dengan pelarut etilasetat dan etanol
3.5 Pembuatan Pereaksi
Pereaksi yang digunakan adalah FeCl3, HCl, Mayer, Molish, Dragendorff,
kloralhidrat, H2SO4, Bouchardat, dan Liebermann-Burchard. Cara pembuatan
pereaksi berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi Ketiga dan Materia Medika
Indonesia Jilid IV, kecuali pereaksi Liebermann-Burchard berdasarkan buku
Dyeing Reagents for Thin Layer and Paper Chromatography (Merck, 1978).
Larutan besi (III) klorida 1% b/v (FeCl3) dibuat dengan melarutkan 1 g
besi (III) klorida dalam air suling sampai 100 mL. Larutan asam klorida 2 N
dibuat dengan mengencerkan 17 mL asam klorida pekat dengan air suling sampai
100 mL. Larutan Molish dibuat dengan melarutkan 3 g α-naftol dalam asam nitrat
0,5 N hingga 100 mL. Larutan kloralhidrat dibuat dengan melarutkan 70 g kristal
kloralhidrat dalam 30 mL air suling. Larutan asam sulfat 2 N dibuat dengan
mengencerkan 5,5 mL asam sulfat pekat dengan air suling hingga diperoleh 100
mL.
Larutan Bouchardat dibuat dengan melarutkan 4 g kalium iodida dalam air

suling secukupnya kemudian ditambahkan 2 g iodida sedikit demi sedikit,
cukupkan dengan air suling sampai 100 mL (Depkes RI, 1995). Larutan

38
Universitas Sumatera Utara

Liebermann-Burchard dibuat dengan mencampur secara perlahan 5 mL asam
asetat anhidrida dengan 5 mL asam sulfat pekat tambahkan etanol hingga 50 mL.
Larutan Mayer dibuat dengan melarutkan 1,36 g raksa (II) klorida dalam
air suling hingga 60 mL. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida
lalu dilarutkan dalam 20 mL air suling. Kedua larutan dicampurkan dan
ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 mL.
Larutan Dragendorff dibuat dengan melarutkan 0,8 g bismut (III) nitrat
dalam asam nitrat pekat 20 mL kemudian dicampurkan dengan larutan kalium
iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 mL air suling. Campuran didiamkan sampai
memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air suling
secukupnya hingga 100 mL.
3.6 Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak
Penentuan golongan senyawa kimia skrining fitokimia dilakukan
pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida (Depkes RI, 1995),

saponin, tanin (Farnsworth, 1966), dan steroid/triterpenoid (Harborne, 1987).
3.6.1 Pemeriksaan alkaloid
Simplisia dan masing-masing ekstrak ditimbang kemudian ditambahkan 1
mL asam klorida 2 N dan 9 mL air suling, dipanaskan di atas penangas air selama
2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji
alkaloid: diambil 3 tabung reaksi, lalu kedalamnya dimasukkan 0,5 mL filtrat.
Pada masing-masing tabung reaksi:
a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer
b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat
c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendroff

39
Universitas Sumatera Utara

Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit dua dari
tiga percobaan di atas (Depkes RI, 1995).
3.6.2 Pemeriksaan flavonoida
Simplisia dan masing-masing ekstrak ditimbang lalu ditambahkan 10 mL
air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam
5 mL filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 mL asam klorida pekat

dan 2 mL amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika
terjadi warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth,
1966).
3.6.3 Pemeriksaan glikosida
Simplisia dan masing-masing ekstrak ditimbang lalu disari dengan 30 mL
campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 mL asam klorida 2 N, direfluks
selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 mL filtrat ditambahkan 25
mL air suling dan 25 mL timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu
disaring. Filtrat disari dengan 20 mL campuran isopropanol dan kloroform (2:3),
dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkam dan diuapkan pada
temperatur tidak lebih dari 50o C. Sisanya dilarutkan dalam 2 mL metanol.
Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut: 0,1 mL larutan percobaan
dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan di atas penangas air. Pada sisa
ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahanlahan ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya
cincin berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan glikosida (Depkes
RI, 1995).

40
Universitas Sumatera Utara


3.6.4 Pemeriksaan saponin
Simplisia dan masing-masing ekstrak ditimbang dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 mL air panas, dinginkan kemudian dikocok
kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak
kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2
N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).
3.6.5 Pemeriksaan tanin
Simplisia dan masing-masing ekstrak ditimbang kemudian dididihkan
selama 3 menit dalam 100 mL air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat
ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru
kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Fransworth, 1966).
3.6.6 Pemeriksaan triterpenoida/steroida
Simplisia dan masing-masing ekstrak ditimbang, dimaserasi dengan 20 mL
n-heksana selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan
pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard. Timbulnya warna biru
atau biru hijau menunjukan adanya steroid, sedangkan warna merah, merah muda
atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1996).
3.7 Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas sitoprotektif ini, disterilkan
terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas dan plastik yang akan digunakan
disterilkan didalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit (Lay, 1994).

41
Universitas Sumatera Utara

3.8 Pembuatan Media
3.8.1 Pembuatan media M199
Komposisi:M199 sachet, spesifikasi:Gibco Lot No. 819942, dengan Earle’s salt,
dengan L-glutamine, tanpa NaHCO3, netto 9,5 gram
Akuabidest
NaHCO3
Hepes
HCl 1 N
NaOH 1 N

1 liter
2,2 gram
2 gram

Cara pembuatan: Sebanyak 1 sachet M199 sachet, 2,2 gram NaHCO3, 2 gram
Hepes dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer. Ditambahkan 800 mL aquabidest
steril dan dihomogenkan menggunakan stirer magnet. Diatur pH 7,2 – 7,4 dengan
menggunakan pH meter. Penyesuaikan pH dilakukan dengan menambahkan HCL
1 N (bila larutan basa) atau NaOH 1 N (bila larutan asam). Ditambahkan
aquabidest hingga volume 1 L dan dilakukan sterilisasi dengan filter vaccum di
dalam LAF (Laminar Air Flow). Dipasang filter aparatus steril pada botol duran 1
L steril. Lakukan proses penyaringan dengan menggunakan filter, aliquot media
ditampung dalam botol duran 500 mL, diberi identitas pada botol media (nama
media, tanggal pembuatan, expire date, nama pembuat). Media disimpan pada
suhu 2-8oC (Handayani, et al., 2001).
3.8.2 Pembuatan media MK-M199
Komposisi :

Foetal BovineSerum (FBS) 10 %
Penisilin-streptomisin
3%
Fungison
1%
M199
ad 100 mL

Cara pembuatan: Campur semua bahan di atas, dan dilakukan di dalam LAF
(Laminar Air Flow), beri identitas pada botol MK (nama media, tanggal

42
Universitas Sumatera Utara

pembuatan, expire date, dan nama pembuat), simpan pada suhu 2-8oC
(Handayani, et al., 2001).
3.9 Penumbuhan Sel Vero
Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, ambil 10 mL
media M199 pada tabung konikel, ambil ampul dari freezer -80oC (sel Vero) atau
tangki nitrogen dan cairkan pada suhu kamar, ambil suspensi sel dalam ampul,
masukkan tetes demi tetes ke dalam media M199 yang telah disiapkan, sentrifuge
pada 600 rpm selama 5 menit, buang supernatan dan tambahkan 4 mL MK-M199
dan resuspensi hingga homogen. Transfer masing-masing 2 mL ke dalam flask
kultur baru. Tambahkan 5 mL MK-M199 ke dalam masing-masing flask kultur,
dan homogenkan. Amati kondisi sel dengan menggunakan inverted microscope.
Pastikan sel homogen pada seluruh permukaan flask kultur (tidak menggerombol
pada bagian tertentu). Beri identitas pada flask kultur, kemudian simpan dalam
inkubator CO2 (Handayani, et al., 2001).
3.9.1 Subkultur selVero
Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, lakukan
pengerjaan pada LAF. Lakukan proses panen selVero dengan cara mengambil 500
µL panenan selVero dan masukkan ke dalam flask kultur. Tambahkan 6 mL MKM199, homogenkan. Inkubasi sel pada inkubator CO2, amati kondisi sel pada
keesokan harinya (Handayani, et al., 2001).
3.9.2 Panen selVero
Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, amati kondisi
sel Vero. Panen dilakukan apabila sel telah dalam kondisi 80% konfluen, semua
pekerjaan dilakukan pada LAF. Buang MK-M199 (sel Vero) dariflask dengan

43
Universitas Sumatera Utara

mikropipet atau pipet pasteur, cuci sel 2 kali dengan 5 mL PBS (Phosphate Buffer
Saline), tambahkan 400 µL Tripsin-EDTA 0,25% secara merata, kemudian
inkubasi di dalam inkubator CO2 selama ± 5 menit, dan tambahkan 4 mL MK
untuk menginaktifkan tripsin. Resuspensi sel dengan mikropipet agar sel terlepas
satu-satu (tidak menggerombol). Amati keadaan sel di inverted microscope.
Resuspensi sel kembali jika masih ada sel yang menggerombol. Transfer sel ke
dalam tabung konikel (Handayani, et al., 2001).
3.9.3 Penghitungan sel Vero
Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, ambil 10 µL
panenan sel dan pipetkan ke dalam hemositometer. Hitung jumlah sel di bawah
mikroskop dengan menggunakan counter. Hemositometer terdiri dari 4 kamar
hitung (A, B, C, dan D), setiap kamar hitung terdiri dari 16 kotak (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Hemositometer
Hitung sel pada 4 kamar hemositometer, sel yang gelap (mati) dan sel yang berada
di batas luar di sebelah kiri dan atas tidak ikut dihitung. Sel di batas kanan dan
bawah ikut dihitung. Hitung jumlah sel per mL dengan rumus:

∑ sel ml =

∑ selA + ∑ selB + ∑ selC + ∑ selD x10

4

4

Hitung jumlah total sel yang diperlukan. Misalnya untuk menanam sel pada tiap
sumuran 96-well plate, maka jumlah total sel yang diperlukan adalah

44
Universitas Sumatera Utara

1x104/sumuran x 100 sumuran (dibuat lebih) = 1x106 sel. Hitung volume panenan
sel yang diperlukan (dalam mL) dengan rumus:
Jumlah total sel yang diperlukan
Volume panenan sel =
Jumlah sel terhitung /mL
Ambil volume panenan sel, transfer ke tabung konikel baru kemudian tambahkan
MK sampai total volume yang diperlukan (CCRC a, 2009).
3.10 Pembuatan Larutan Uji
Masing-masing

ekstrak

n-heksana

(ENDBB),

ekstrak

etil

asetat

(EEADBB), ekstrak etanol (EEDBB) ditimbang sebanyak 50 mg dalam
mikrotube, kemudian dilarutkan dalam dimetilsulfoksida (DMSO) sebanyak 1000
µL, divortex agar sampel terlarut sempurna kemudian dicukupkan dengan MKM199, kemudian dibuat pengenceran selanjutnya sampai diperoleh larutan uji
konsentrasi 200 µg/mL, 100 µg/mL, 50 µg/mL, 25 µg/mL dan 12,5 µg/mL, semua
pengenceran dilakukan dengan menggunakan MK-M199 (CCRCe, 2008).
3.11 Analisis Viabilitas Sel dengan Metode MTT
Sel vero ditanam pada microplate 96 sumuran sehingga diperoleh
kepadatan 1 x 104 sel/sumuran dan diinkubasi selama 24 jam untuk mendapatkan
pertumbuhan yang baik. Setelah itu medium diganti dengan yang baru kemudian
ditambahkan ENDBB, EEADBB, dan EEDBB dengan konsentrasi yang berbeda
dengan cosolvent DMSO (Sigma) dan diinkubasi pada 37oC dalam inkubator CO2
5% selama 24 jam. Pada akhir inkubasi, media dan ekstrak dibuang kemudian sel
dicuci dengan PBS (Sigma). Pada masing-masing sumuran diikuti dengan atau
tanpa penambahan 100 µL 0,8 mM H2O2, setelah 3 jam ditambahkan 100 µL
MTT (Sigma) 5 mg/mL. Sel diinkubasi kembali selama 4-6 jam dalam inkubator

45
Universitas Sumatera Utara

CO2 5%, 37 oC. Reaksi MTT dihentikan dengan reagen stopper (SDS 10% dalam
HCl 0,01 N), plate dibungkus agar tidak tembus cahaya dan dibiarkan selama satu
malam. Serapan dibaca dengan ELISA reader (Benchmark Bio Rad) pada panjang
gelombang 595 nm (Ueda, et al., 2002, Park, et al., 2014).
Data absorbansi yang diperoleh dikonversi kedalam persen sel hidup.
Persen sel hidup dihitung menggunakan rumus (Merloo, et al., 2011):
%viabilitas =

absorbansi sel dengan perlakuan − absorbansi kontrol media
x 100%
absorbansi kontrol media sel − absorbansi kontrol media

Perbedaan viabilitas sel pada perlakuan ekstrak uji dengan berbagai seri
konsentrasi terhadap kontrol sel dianalisis menggunakan program SPSS 17
dengan uji ANOVA satu arah, taraf kepercayaan 95% kemudian dilanjutkan
dengan uji Duncan. Perbedaan yang signifikan ditunjukkan dengan nilai
signifikansi < 0,05.
3.12 Pengujian Apoptosis dengan Flow Sitometri
Jumlah sel yang dibutuhkan untuk uji apoptosis adalah sebanyak 5x105
sel/sumuran yang kemudian ditanam pada microplate 6 sumuran, lalu diinkubasi
selama 24 jam. Keesokan harinya sel ditambahkan sampel uji kemudian
diinkubasi kembali selama 24 jam. Pada masing-masing sumuran, diikuti dengan
atau tanpa penambahan 2000 µL H2O2 0,8 mM, setelah 3 jam kemudian diambil
media pada masing-masing sumuran pada tiap konsentrasi lalu dimasukkan dalam
tabung konikel 15 mL lalu media dicuci 1x dengan PBS dan dibuang.
Ditambahkan tripsin 250 µL pada tiap sumuran lalu diinkubasi selama 3 menit
pada suhu 37oC (pastikan di bawah mikroskop sel tidak menggerombol satu sama
lain untuk mendapatkan hasil yang maksimal). Setelah itu, ditambahkan 1 mL

46
Universitas Sumatera Utara

media kultur lalu media ditampung pada tabung konikel 15 mL. Disentrifugasi
dengan kecepatan 600 rpm selama 5 menit dan supernatannya dibuang. Kemudian
ditambahkan sebanyak 1 mL PBS kemudian media dipindahkan ke dalam
mikrotube dan disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit,
supernatannya dibuang. Ditambahkan Annexin V dan propidium iodida. Lalu
diukur dengan alat flow sitometer (Hostanska, et al., 2004).
3.13 Analisis Ekspresi ROS dengan Imunositokimia
Sel sebanyak 5x104/sumuran ditanamkan ke dalam plat 24 sumuran yang
telah dilapisi dengan coverslip pada bagian dasarnya, kemudian diinkubasi selama
24 jam. Sel diberi perlakuan dengan sampel uji kemudian diinkubasi selama 24
jam. Pada masing-masing sumuran diikuti dengan atau tanpa penambahan 1000
µL 0,8 mM H2O2 diinkubasi selama 3 jam. Pada akhir waktu inkubasi, sel dicuci
dengan PBS kemudian ditambahkan metanol dingin, diinkubasi dalam lemari
pendingin dengan suhu 4oC selama 10 menit. Setelah itu, metanol dibuang dan
coverslip yang memuat sel diletakkan pada dish bersih. Sel yang telah difiksasi
dengan metanol kemudian dicuci dengan PBS dan akuades 3 kali dan diinkubasi
dengan larutan hidrogen peroksida selama 10 menit pada temperatur kamar
kemudian dibuang dan dicuci dengan PBS. Sel tersebut kemudian diinkubasi
dengan prediluted blocking serum selama 10 menit pada suhu kamar, kemudian
dibuang. Setelah inkubasi, antibodi monoklonal ROS ditambahkan pada sel
kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu kamar. Coverslip kemudian dicuci
dengan PBS dan ditetesi antibodi sekunder (biotinylated universal secondary
antibody) dan kemudian diinkubasi selama 10 menit. Sel dicuci kembali
menggunakan PBS dan ditetesi dengan streptavidin enzim horse radish

47
Universitas Sumatera Utara

peroxidase dan diinkubasi selama 10 menit. Sel dicuci kemudian ditambahkan
3,3’-diaminobenzidin serta diinkubasi selama 5 menit (sampai warna coklat). Sel
dicuci lagi dengan PBS dan akuades kemudian dengan larutan MayerHaematoksilin dan diinkubasi selama 5 menit, selanjutnya sel dicuci kembali
menggunakan akuades sampai bersih, ditambahkan etanol 70% inkubasi selama 2
menit, bersihkan, diteteskan larutan xylol dan keringkan. Setelah kering, coverslip
diletakkan diatas kaca obyek dan ditetesi mounting media serta ditutup dengan
cover glass. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop yang dilengkapi dengan
optilab dan memakai Software Image Raster perbesaran 10x40 (Satria, 2015; Cho,
et al., 2009).

48
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense, Fakultas MIPA
Universitas Sumatera Utara.Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sampel
termasuk keluarga Lamiaceace, jenis Coleus amboinicus Lour.Hasil identifikasi
tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 79.
4.2 Karakteristik Simplisia
4.2.1 Pemeriksaan makroskopik
Hasil pemeriksaan makroskopik daun Bangun-bangun segar menunjukkan
daun berwarna hijau, helaian daun berbentuk bundar telur, kadang-kadang agak
membundar, panjang helaian daun 3,5-7 cm, lebar 4-7 cm, pinggir daun agak
bergerigi atau berombak. Pada keadaan segar helaian daun tebal, sangat berdaging
dan berair, tulang daun bercabang-cabang, permukaan atas dan bawah berambut
halus berwarna putih, bila dimakan berasa getir. Pada keadaan kering helaian daun
tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat sampai coklat tua,
permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, pada kedua
permukaan terdapat rambut halus berwarna putih. Gambar makroskopik dapat
dilihat pada Lampiran 3 halaman 81.
4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik
Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun Bangun-bangun
terlihat fragmen rambut penutup, rambut kelenjar, pembuluh kayu dengan
penebalan xylem bentuk spiral, stomata tipe diasitik, dan kristal kalsium oksalat

49
Universitas Sumatera Utara

berbentuk prisma. Gambar mikroskopik serbuk simplisia daun Bangun-bangun
dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 82.
4.2.3 Karakterisasi Simplisia
Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia daun Bangun-bangun terlihat
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil karakteristik simplisia daun Bangun-bangun
No.
1
2
3
4
5

Pemeriksaan
Kadar air
Kadar sari larut air
Kadar sari larut etanol
Kadar abu total
Kadar abu tidak larut asam

Hasil (%)
7, 84
30,97
5,27
15,11
0,45

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia daun Bangun-bangun diperoleh
kadar air 7,84%, kadar ini memenuhi persyaratan secara umum maupun
persyaratan simplisia daun Bangun-bangun yaitu kadar air daun jika tidak
dinyatakan lain adalah kurang dari 10% (Depkes RI, 1995). Tingginya kadar air
dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme dan hidrolisis senyawa
kimia.Perubahan senyawa kimia berkhasiat dan aktivitas enzim karena enzim
tertentu dalam sel masih dapat bekerja dalam menguraikan senyawa aktif setelah
sel mati dan selama bahan simplisia masih mengandung jumlah air tertentu
(Depkes RI, 1989).Kadar sari larut air 30,97% dan larut etanol 5,27%. Makin
tinggi kadar sari larut dalam etanol menunjukkan bahwa kandungan seyawa
bioaktif makin tinggi. Jumlah kadar sari larut air dan larut etanol memenuhi
persyaratan simplisia daun Bangun-bangun yang tertera di Materia Medika
Indonesia. Kadar abu total diperoleh sebesar 15,11% tidak dapat dibandingkan
dengan persyaratan untuk simplisia karena tidak terdapat monografi pada Materia

50
Universitas Sumatera Utara

Medika Indonesia. Tingginya kadar abu total menunjukkan bahwa kandungan
senyawa anorganik semakin tinggi. Kadar abu tidak larut asam diperoleh 0,45%,
kadar ini memenuhi persyaratan simplisia daun Bangun-bangun yang tertera di
Materia Medika Indonesia yaitu tidak lebih dari 1%. Perhitungan karakteristik
simplisia dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 85.
4.3 Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Daun Bangun-bangun
Penentuan golongan senyawa kimia terhadap simplisia dilakukan untuk
mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di
dalamnya.Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia menunjukkan adanya
kandungan

saponin,

flavonoid,

glikosida

dan

steroid/triterpenoid.Hasil

pemeriksaan skrining fitokimia dapat dilihat dari Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak
No. Pemeriksaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Alkaloid
Flavonoid
Glikosida
Saponin
Tanin
Steroid/triterpenoid

Simplisia Daun
ENDBB
Bangun-bangun
+
+
+
+
+
+

EEADBB EEDBB
+
+
+
+
-

+
+
+
+
-

Keterangan: + = mengandung golongan senyawa
- = tidak mengandung golongan senyawa
Hasil skrining fitokimia yang dilakukan terhadap simplisia daun Bangunbangun memberikan informasi bahwa daun Bangun-bangun mengandung
flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.
Flavonoid dapat bersifat sebagai antioksidan dengan cara menangkap
radikal bebas, sehingga sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan

51
Universitas Sumatera Utara

antara oksidan dengan antioksidan di dalam tubuh (Koncazak, et al., 2004).
Senyawa-senyawa seperti flavonoid dan galat dapat meghambat reaksi oksidasi
dengan

mekanisme

penangkapan

radikal

(radical

scavenging)

dengan

menyumbangkan satu elektron pada elektron yang tidak berpasangan pada radikal
bebas sehingga dapat mengurangi jumlah radikal bebas (Rohman dan Riyanto,
2005).
Ekstraksi serbuk simplisia dilakukan secara maserasi bertingkat dimulai
dari pelarut nonpolar hingga pelarut polar (n-heksana-etilasetat-etanol). Penyarian
500 gram simplisia daun Bangun-bangun menggunakann-heksana, etilasetat dan
etanol 96% menghasilkan ekstrak berturut-turut 19,796 g, 6,326 g, dan 36,307 g,
dengan persentase rendemen masing-masing sebesar 3,96%, 1,26 %, 7,26%.
Pelarut n-heksana digunakan untuk menarik senyawa kimia non polar seperti
triteterpenoid dan steroid bebas. Pelarut etilasetat digunakan agar senyawa kimia
yang bersifat semipolar dan agak polar seperti alkaloid, flavonoid, glikosida,
saponin, dan tanin dapat tersari di dalamnya. Pelarut etanol digunakan untuk
menarik sempurna senyawa yang bersifat polar seperti glikosida, flavonoid, tanin,
dan alkaloid (Syamsuni, 2006).
n-Heksana merupakan pelarut yang bersifat nonpolar diantara pelarut lain
yang digunakan dalam penelitian, sehingga ekstrak yang diperoleh bersifat non
polar (steroid/triterpenoid). Ketidakefektifan ekstrak n-heksana dalam meproteksi
sel diduga berkaitan dengan senyawa yang terlarut di dalamnya. Aktivitas
sitoprotektif etilasetat terkait dengan sifat etilasetat yang merupakan pelarut semi
polar yang dapat melarutkan komponen senyawa antioksidan yang bersifat polar
dan non-polar sehingga menghasilkan beragam senyawa antioksidan yang

52
Universitas Sumatera Utara

memiliki aktivitas sangat kuat (Dia, et al., 2015). Etanol merupakan pelarut yang
bersifat polar. Komponen yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan
bersifat polar antara lain senyawa dari golongan fenolik (Nuraini, 2007). Pelarut
etanol dapat mengekstrak lebih banyak senyawa biokatif yang bersifat polar dari
daun Bangun-bangun dibandingkan dengan pelarut n-heksan maupun etilasetat
(Dia, et al., 2015)
4.4 Aktivitas Sitoprotektif
Pengujian sitoprotektif dilakukan untuk mengetahui proteksi terhadap sel
yang telah diinduksi dengan hidrogen peroksida (H2O2).
4.4.1 Analisis viabilitas sel dengan metode MTT
Sel vero diberi perlakuan dengan ENDBB, EEADBB, dan EEDBB dengan
seri konsentrasi 200 µg/mL, 100 µg/mL, 50 µg/mL, 25 µg/mL, 12,5 µg/mL
menunjukkan adanya aktivitas sitoprotektif pada sel vero yang diinduksi dengan
H2O2 0,8 mM.
Pada penelitian ini, kadar H2O2 dalam sel Vero meningkat, namun setelah
pemberian ENDBB, EEADBB dan EEDBB pada sel vero dengan variasi
konsentrasi 12,5-200 µg/mL, nilai viabilitas sel meningkat dibandingkan dengan
nilai viabilitas sel Vero yang diberikan H2O2. Sel Vero yang diberi EEADBB
pada konsentrasi 50 µg/mL menunjukkan nilai viabilitas yang tinggi yaitu sebesar
74,42 ± 0,28% dibandingkan dengan seri konsentrasi yang lainnya. Hal ini
berhubungan dengan penelitian sebelumnya oleh Rosidah dan Hasibuan., (2014)
yang melakukan penelitian tentang aktivitas sitotoksik terhadap sel vero dengan
nilai IC50 55,972 µg/mL. Konsentrasi larutan uji lebih kecil dari nilai IC50
sitotoksik mempunyai nilai aktivitas perlindungan sel yang lebih besar, sedangkan

53
Universitas Sumatera Utara

dengan konsentrasi larutan uji lebih besar dari nilai IC50 sitotoksik menunjukkan
penurunan jumlah sel hidup. EEDBB memiliki aktiivitas sitoprotektif yang lebih
besar pada konsentrasi larutan uji 100 µg/mL dengan persen viabilitas mencapai
76,08 ± 0,91 %. Konsentrasi larutan uji lebih besar dari 100 µg/mL dan lebih kecil
dari nilai tersebut maka terjadi penurunan nilai viabilitas sel. ENDBB memiliki
aktivitas sitoprotektif yang paling kecil, karena memiliki nilai antioksidannya
yang kecil (Hasibuan, et al., 2013). Hasil analisis viabilitas sel dengan metode
MTT dapat dilihat pada Gambar 4.1 .
120

Jumlah Sel Hidup (%)

100

80
Etilasetat

60

Etanol
n-heksana

40

Kontrol Sel
Kontrol Sel+ H2O2

20

0
200
µg/mL

100
µg/mL

50
µg/mL

25
µg/mL

12,5
µg/mL

Kontrol Kontrol
Sel
Sel+
H2O2

Konsentrasi (µg/mL)

Gambar 4.1 Hasil analisis viabilitas sel pada masing- masing perlakuan
Berdasarkan Gambar 4.1 menunjukkan bahwa H2O2 sebagai

sumber

oksidan dalam penelitian ini, pada konsentrasi 0,8 mM telah menginduksi
kerusakan sel, dan penurunan jumlah sel hidup hingga 5% dibandingkan dengan
kontrol sel Vero tanpa perlakuan H2O2.

54
Universitas Sumatera Utara

Radikal bebas di dalam tubuh merupakan bahan yang sangat berbahaya,
karena merupakan senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan pada bagian orbital luarnya. Elektron yang tidak
berpasangan inilah yang dapat mengakibatkan senyawa tersebut sangat reaktif
untuk mencari pasangannya dengan cara mengikat atau menyerang elektron
molekul yang berada disekitarnya. Yang dapat diikat oleh radikal bebas pada
umumnya adalah molekul besar seperti lipid, protein, maupun DNA (pembawa
sifat). Jika terjadi maka akan mengakibatkan kerusakan sel atau pertumbuhan sel
yang tidak bisa dikendalikan (Sayuti dan Yenrina, 2015).
Daun Bangun-bangun memiliki kandungan flavonoid, baik pada simplisia
maupun ekstrak. Flavonoid adalah antioksidan eksogen yang telah dibuktikan
bermanfaat dalam mencegah kerusakan sel akibat stres oksidatif. Mekanisme
kerja dari flavonoid sebagai antioksidan bisa secara langsung maupun secara tidak
langsung. Flavonoid sebagai antioksidan secara langsung adalah dengan
mendonorkan ion hidrogen sehingga dapat menetralisir efek toksik dari radikal
bebas. Flavonoid sebagai antioksidan secara tidak langsung yaitu dengan
meningkatkan ekspresi gen antioksidan endogen melalui beberapa mekanisme.
Salah satu mekanisme peningkatan ekspresi gen antioksidan adalah melalui
aktivasi nuclear factor erythoid 2 related factor 2 (Nrf2) sehingga terjadi
peningkatangen yang berperan dalam sintesisenzim antioksidan endogen
sepertimisalnya gen SOD (superoxide dismutase) (Sumardika dan Jawi, 2012).
Flavonoid memberikan kontribusi pada aktivitas antioksidannya secara in
vitro dengan cara flovonoid mengikat (kelasi) ion-ion metal seperti Fe2+ dan Cu2+.
(Sayuti dan Yenrina, 2015). Hidrogen peroksida dapat membentuk radikal bebas

55
Universitas Sumatera Utara

apabila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe2+ dan Cu2+ dalam reaksi Fenton,
oleh karena itu dengan adanya flavonoid dapat mengikat Fe2+ dan Cu2+ sehingga
tidak terbentuk radikal bebas. Kebanyakan efek protektif dalam sistem biologis
berasal dari kemampuannya sebagai antioksidan, kemampuan untuk mentransfer
elektron, menangkap radikal bebas, mengkhelat logam, mengaktifkan enzimenzim antioksidan, mereduksi radikal α-tokoferol, dan menghambat enzim-enzim
oksidase (Rohman, 2016).
Aktivitas antioksidan pada EEADBB, dan EEDBB dengan nilai IC50
sebesar 281,26 µg/mL, 350,74 µg/mL sedangkan ENDBB tidak menunjukkan
adanya aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Hasibuan, et al., 2013).
Antioksidan sangat diperlukan tubuh untuk mencegah stress oksidatif.
Antioksidan bersifat sangat mudah dioksidasi, sehingga radikal bebas akan
mengoksidasi antioksidan dan melindungi molekul lain dalam sel dari kerusakan
akibat oksidasi oleh radikal bebas atau oksigen reaktif (Werdhasari, 2014).
4.4.2 Pengujian apotosis dengan flow sitometri
Pengujian apoptosis dengan metode flow sitometri dilakukan pada
EEADBB dan EEDBB dengan persen viabilitas yang paling besar. Terlihat
persebaran sel dan hubungan antara diameter sel pada sumbu X atau bagian FSC
(forward-angle light scatter) dan konformasi struktur sel pada sumbu Y atau
bagian SSC (side-single light scatter). Persebaran sel apoptosis pada FSC akan
meurun dan pada SSC akan menaik, sedangkan persebaran sel nekrosis pada FSC
akan menaik dan pada SSC akan menurun. Dari gambar persebaran sel tersebut
memudahkan analisis, maka warna-warna yang terbentuk dipisahkan dengan
metode cell quest. Diperoleh 4 macam warna, seperti hijau menunjukkan sel

56
Universitas Sumatera Utara

hidup, kuning menunjukkan apoptosis awal, merah muda menunjukkan apoptosis
akhir, dan merah menunjukkan nekrosis. Warna-warna itu dapat terbentuk oleh sel
yang memancarkan epi-fluoresensi oleh ikatan Annexin V atau PI kemudian
ditangkap oleh sinar UV. Panjang gelombang untuk warna hijau pada 488-525nm,
absorbansi maksimal berada pada 490 nm. Pada apoptosis awal akan
berfluoresensi kuning dengan intensitas yang lemah pada panjang gelombang
536-617nm. Sel yang mengalami nekrosis atau apoptosis akhir akan
berfluoresensi merah pada panjang gelombang 650-700nm (Azizah, 2015). Hasil
pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.2 a, b, c, dan d.

Gambar 4.2 a Apoptosis sel Vero kontrol

57
Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.2 b Apoptosis sel Vero + H2O2

Gambar 4.2 c Apoptosis EEADBB

58
Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.2 d Apoptosis EEDBB
Prinsip dari Annexin V-FITC adalah menggunakan Annexin V yang
berkonjugasi dengan FITC untuk mengikat fosfatidilserinpada permukaan sel
yang mengalami apoptosis. Dari hasil flow sitometri diperoleh persentase
kematian sel secara apoptosis maupun nekrosis, serta jumlah sel yang tetap hidup.
Pada sel hidup yang normal fosfatidilserin(PS) terletak pada permukaan
sitoplasmik pada membran sel (Wikanta, et al., 2012).
Berdasarkan fenomena fosfatidilserin dikeluarkan selama apoptosis dan
kemampuan annexin V untuk berikatan dengan fosfatidilserin dengan afinitas
yang tinggi. Annexin tidak dapat berikatan dengan sel normal karena molekul
tersebut tidak dapat berpenetrasi ke dalam lapisan fosfolipid bilayer. Pada sel
mati, lapisan dalam membran dapat terikat secara ekstrinsik dengan annexin V
karena integritas membran plasma yang sudah hilang, sehingga annexin V juga

59
Universitas Sumatera Utara

dapat berikatan dengan sel yang mengalami nekrosis. Kombinasi Annexin VFITC dan PI telah digunakan secara umum untuk membedakan sel hidup,
apoptosis, dan nekrosis berdasarkan permeabilitas membran. Propium Iodida tidak
dapat menembus membran sel yang hidup. Namun ketika sel mengalami
apoptosis akhir dan nekrosis, terjadi perubahan permeabilitas membran sehingga
propium iodida dapat masuk ke dalam sel dan berikatan dengan DNA sehingga
menyebabkan fluoresensi merah pada sel tersebut (Chantika, 2012). Data hasil
pengujian flowsitometri ekstrak daun Bangun-bangun dapat dilihat pada Tabel
4.3.
Tabel 4.3 Hasil pengujian flow sitometri EEDBB dan EEADBB
Perlakuan
LL
LR
UR
(%)
(%)
(%)
Kontrol Sel
80,56
9,42
2,97
Kontrol Sel +H2O2
10,32
10,93
45,72
EEDBB
49,59
30,23
3,91
EEADBB
32,14
52,89
9,83
Keterangan:
LL (Lower Left)
LR (Lower Right)
UR (Upper Right)
UL (Upper Left)

UL
(%)
7,04
33,03
16,27
5,16

: menunjukkan persentase sel yang hidup
: menunjukkan persentase sel yang mengalami apoptosis
awal
: menunjukkan persentase sel yang mengalami apoptosis
akhir/necrosis awal
: menunjukkan persentase sel yang mengalami necrosis

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa persentase jumlah sel hidup untuk kontrol
sebesar 80,56%, kontrol sel + H2O2 sebesar 10,32%, EEDBB sebesar 49,59%, dan
EEADBB sebesar 32,14%. Hal ini menunjukkan bahwa EEDBB dan EEADBB
dapat meningkatkan jumlah sel hidup atau memiliki aktifitas sitoprotektif
dibandingkan dengan pemberian H2O2..Jumlah sel hidup pada kontrol sel+H2O2
sangat sedikit karena sel banyak yang mengalami kematian akibat apoptosis dan

60
Universitas Sumatera Utara

nekrosis. Apoptosis dan nekrosis akan meningkat seiring dengan menurunnya
persentase jumlah sel hidup.
Persentase jumlah sel yang mengalami apoptosis awal (LR) untuk kontrol
sel sebesar 9,42%, kontrol sel+ H2O2 sebesar 10,93%, EEDBB sebesar 30,23%,
EEADBB sebesar 52,89%. Persentase jumlah sel yang mengalami apoptosis akhir
atau nekrosis awal (UL) untuk kontrol sebesar 2, 97%, kontrol sel+ H2O2 sebesar
45,72%, EEDBB sebesar 3,91%, EEADBB sebesar 9,83%. Apoptosis akhir
menandakan sel telah mengalami fragmentasi DNA dan mengalami proses
fagositosis. Persentase jumlah sel yang mengalami nekrosis akhir (UR) untuk
kontrol sel sebesar 7,04%, kontrol sel+ H2O2 sebesar 33,03%, EEDBB sebesar
16,27%, EEADBB sebesar 5,16%. Penurunan sel nekrosis menunjukkan bahwa
EEADBB dan EEDBB tidak mempunyai kemampuan sitotoksik.
H2O2 adalah ROS non radikal yang terkenal yang dapat terbentuk selama
metabolisme normal tubuh dan mudah dikonversi ke radikal hidroksil yang
menyebabkan banyak kerusakan pada komponene seluler atau bahkan kematian
sel (Wang, et al., 2015). Apoptosis dan nekrosis ditentukan secara morfologi oleh
flow sitometri dengan pewarnaan Annexin V-FITC/PI. Efek dari EEDBB dan
EEADBB pada awal dan akhir apoptosis/nekrosis yang disebabkan oleh H2O2
yang terdeteksi menggunakan pewarnaan Annexin V/PI. 0,8 mM H2O2 dapat
menyebabkan peningkatan yang signfikan pada tingkat ROS intraseluler
dibandingkan dengan kontrol sel. EEADBB dan EEDBB dapat meningkatkan
jumlah sel hidup dibandingkan dengan perlakuan kontrol sel+ H2O2. Ini
menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat dan etanol potensial sebagai sitoprotektif.

61
Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sel Vero yang diberi perlakuan
dengan prekursor ROS yaitu H2O2 yang menghasilkan radikal hidroksil yang
sangat reaktif dan menyebabkan kematian sel melalui proses apoptosis. Agen
yang dapat menghambat produksi ROS atau meningkatkan pertahanan antioksidan
seluler dapat mencegah apoptosis dan melindungi sel dari kerusakan akibat
radikal oksigen. Choi, et al., 2002 melakukan penelitian menggunakan flavonol
khususnya epigallocatechin gallate dan quercetin, yang memiliki aktivitas
antiapoptosis pada sel endotel vaskular manusia yang diberi perlakuan dengan
H2O2. Flavonoid jenis flavon, luteolin dan apigenin tidak memiliki efek
antiapoptosis. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa flavonoid
memiliki aktivitas antiapoptosis yang berbeda. Aktivitas antiapoptosis dapat
dimediasi Bcl-2 dan Bax di mitokondria. Bcl-2 yang merupakan antiapoptosis
memiliki kapasitas antooksidan yang dapat menekan sinyal stress oksidatif. H2O2
dapat mengaktifkan kaspase 3 dan aktivitas itu sebagian diblokir oleh
epigallocatechin gallate dan quercetin. Epigallocatechin gallate dan quercetin,
menonaktifkan kaskade kematian apoptosis dengan menghambat aktivasi kaspase
3. Mekanisme perlindungan sel dari apoptosis yang disebabkan induksi oksidan
mungkin dimediasi setidaknya oleh mekanisme terkait dengan blokade
proapoptosis Bax dan aktivasi antiapoptosis Bcl-2 (Choi, et al., 2002).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa flavonoid bekerja sebagai
antioksidan, dengan cara meningkatkan aktivitas SOD. Flavonoid menekan kerja
peroksidase, sehingga menghambat pembentukan ROS. Sebagai antioksidan
potensial, flavonoid mengkelat logam dan menstabilkannya sehingga logam
tersebut tidak dapat mengkatalisis reaksi oksidasi radikal bebas.Flavonoid

62
Universitas Sumatera Utara

meredam reaktivitas radikal bebas, sehingga mengarahkan molekul tersebut
menjadi lebih stabil.Flavonoid juga bekerja mendonorkan ion hidrogen atau
elektron kepada anion superoksida sehingga melindungi lipoprotein, protein, dan
DNA dari oksidasi (Rahmawati, et al., 2014).
4.4.3 Analisis ekspresi ROS dengan imunositokimia
Analisis
imunositokima

ekspresi

ROS

dengan

prinsip

dilakukan

dengan

pengikatan

menggunakan

antibodi

spesifik.

metode
Metode

imunositokimia menggunakan kromogen DAB yang akan berikatan dengan
streptavidin enzim horse radish peroksidase (HRP) - biotinilated universal
antibodi-(antibodi sekunder) - antibodi ROS (antibodi primer) terhadap sel vero.
Terbentuk kompleks antara streptavidin enzim horse radish peroksidase dengan
antibodi sekunder. Substrat DAB membentuk kompleks denngan peroksidase
pada streptavidin enzim horse radish peroksidase membentuk kromogen yang
tervisualisasi sebagai warna coklat.
Pada

pengerjaan

imunositokimia,

penambahan

antibodi

sekunder

berfungsi sebagai penghubung antara antibodi primer dengan konjugat
streptavidin-peroxidase. Konjugat streptavidin-peroxidase ditambahkan untuk
mengikat residu antibodi sekunder. Keberadaan enzim dapat diperlihatkan dengan
penambahan suatu campuran dari larutan substrat-kromogen. Enzim peroksidase
akan mengkatalisa substrat hidrogen peroksida dan mengubah kromogen menjadi
deposit warna coklat yang menunjukkan adanya lokasi antigen (menunjukkan
hasil positif).

Intensitas warna coklat yang terbentuk tergantung dari jumlah

kromogen yang bereaksi dengan enzim peroksidase (Marbawati et al., 2015).

63
Universitas Sumatera Utara

Ekspresi ROS pada sel vero dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar
4.3.

Kontrol sel (perbesaran 10x40)

Kontrol sel+H2O2 (perbesaran 10x40)

EEDBB 100 µg/mL (perbesaran 10x40) EEADBB 50 µg/mL (perbesaran 10x40)
Gambar 4.3 Imunositokimia ekstrak daun Bangun-bangun
Keterangan:
= ekspresi negatif
= ekspresi positif
Berdasarkan Gambar 4.6 terlihat reaksi positif kuat warna coklat sangat
jelas pada sitoplasma sel, banyak giant cell, bentuk sel tidak beraturan dan inti sel
mengecil, seperti terlihat pada gambar kontrol sel+ H2O2 . Reaksi negatif
menunjukkan warna biru pada bagian sitoplasma, seperti yang ditunjukkan pada
gambar kontrol sel, EEADBB, dan EEDBB.. Dari hasil yang diperoleh, sel dapat
diproteksi oleh ekstrak daun Bangun-bangun, sehingga terdapat sedikit sel yang
mengekspresikan ROS. Hal ini menunjukkan bahwa daun Bangun-bangun
memiliki aktivitas perlindungan terhadap sel yang telah diinduksi dengan
hidrogen peroksida (H2O2) karena dapat menurunkan ekspresi ROS.

64
Universitas Sumatera Utara

Flavonoid menghambat enzim yang bertanggung jawab pada produksi
anion superoksida, seperti xantin oksidase dan protein kinase C. Flavonoid juga
terbukti

menghambat

siklooksogenase,

lipooxigenase,

mikrosomal

monooxigenase, glutathion S-transferase, mitokondria suksinoxidase, dan NADH
oksidase, semua yang terlibat dalam ROS. Sejumlah flavonoid efisien mengkhelat
logam yang memainkan peran penting dalam metabolisme oksigen. Besi dan
tembaga bebas dapat meningkatkan potensi pembentukan ROS, seperti yang
ditunjukkan pada reaksi dibawah ini.
H2O2 + Fe2+(Cu+) •OH + OH- + Fe3+(Cu2+)
Namun demikian perlu diingat bahwa ion logam ini sangat penting pada fungsi
fisiologis, seperti konstituen dari hemoprotein dan kofaktor dari berbagai enzim,
termasuk yang terlibat pada antioksidan pertahanan seperti besi untuk katalase,
tembaga untuk ceruloplasmin dan Cu-Zn-superoxide dismutase (Pietta, et al.,
2000).
Tapak yang diusulkan bertindak sebagai pengkhelat logam pada flavonoid
adalah bagian katekol, 3-hidroksil, 4-okso yang merupakan bagian dari cincin
heterosiklik pada cincin B, dan 4-okso, 5-hidroksil pada kelompok cincin
heterosiklik antara cincin A dan C seperti yang terlihat pada Gambar 4.7 (Pietta,
et al., 2000).

Gambar 4.4 Tapak ikat pengkhelat logam

65
Universitas Sumatera Utara

Menurut Nijveldt, et al., 2001 bahwa flavonoid bertindak sebagai
antioksidan untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas
dengan penangkapan oksidan secara langsung (direct scavenging). Mekanismenya
menurut Korkina dan Afanas’ev., 1997 sebagai berikut, yaitu flavonoid dioksidasi
oleh radikal menghasilkan bentuk radikal yang lebih stabil dan kurang reaktif.
Dengan kata lain, flavonoid menstabilkan ROS dengan bereaksi bersama
komponen reaktif radikal. Reaktivitas flavonoid bergantung pada gugus hidroksil
flavonoid tersebut, yang menyebabkan radikal menjadi inaktif. Pernyataan ini
dapat menjelaskan bahwa cara kerja antioksidan flavonoid tidak mengaktivasi
antioksidan endogen, namunflavonoid bekerja sinergis dengan antioksidan
endogen (SOD) dalam menangkap radikal bebas.

66
Universitas Sumatera Utara

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan selama penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa:
a. EEADBB, EEDBB dan ENDBB memiliki efek sitoprotektif terhadap sel
vero yang diinduksi dengan hidrogen peroksida. Dengan variasi
konsentrasi 12,5-200 µg/mL menunjukkan nilai viabilitas sel yang
meningkat dibandingkan dengan nilai viabilitas sel vero yang diberikan
H2O2. EEADBB dan EEDBB pada uji MTT menunjukkan persen
viabilitas masing-masing sebesar 74,42 ± 0,28% dan 76,08 ± 0,91
%dengan konsentrasi 50 µg/mL untuk EEADBB dan 100 µg/mL EEDBB.
ENDBB tidak menunjukkan hasil yang baik dibandingkan dengan
EEADBB dan EEDBB.
b. EEADBB dan EEDBB menurunkan apoptosis pada sel vero, hal ini
terlihat pada uji apoptosis dengan flowsitometri. Terjadi peningkatan
jumlah sel hidup setelah perlakuan dengan EEADBB dan EEDBB sebesar
32,14% dan 49,59% dibandingkan dengan H2O2 sebesar 10,32%.
c. EEADBB dan EEDBB dapat mereduksi ROS

pada sel vero yang

diinduksi dengan hidrogen peroksida, hal ini ditunjukkan pada uji
imunositokimia, berkurangnya warna coklat pada sel yang diberi
perlakuan dengan EEADBB dan EEDBB dibandingkan dengan sel yang
diberi perlakuan dengan H2O2.

67
Universitas Sumatera Utara

5.2 Saran
Berdasarkan hasil pengamatan dan kesimpulan, disarankan kepada peneliti
selanjutnya untuk melakukan isolasi senyawa flavonoid dari daun bangun-bangun
yang berperan dalam perlindungan sel (sitoprotektif) dari radikal bebas dengan
induksi yang berbeda.

68
Universitas Sumatera Utara