Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif Pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kabupaten Nias

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Good governance
2. 1. 1. Konsep Good Governance
Sebelum lebih jauh membahas tentang good governance, perlu dicermati
bahwa governance memiliki pemahaman yang berbeda dengan government.
Banyak anggapan yang melihat bahwa kedua istilah tersebut memiliki kesamaan
makna, yakni ketika good governance tercapai maka good goverment pun akan
terwujud. Warsito Utomo10 menjelaskan bahwa perbedaannya adalah dalam
nuansa politik yang monolitik sentralistik maka government merupakan
pemerintahan yang bertumpu pada otoritas yang menunjukkan pengelolaan
dengan kewenangan tertinggi. Pemerintah atau pemerintahan atau negara menjadi
agen tunggal yang mendominir segala aktivitas pemerintahan dan pembangunan.
Sedangkan pada governance, pemerintahan bertumpu pada kompatibilitas atau
keharmonisan di antara berbagai komponen atau kelompok atau kekuatan yang
ada di dalam Negara. Di dalam pemerintahan yang governance maka terjadilah
atau dituntut adanya sinergi di antara ketiga aktor yang ada ialah pemerintah itu
sendiri (public), masyarakat (community atau civil society atau masyarakat
madani) dan pihak swasta (private). Masing-masing aktor mengetahui dengan
jelas dan tepat tujuannya (purpose), perannya (role) dan arahannya (direction).


10

Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia; Perubahan Paradigma dari Administrasi
Negara ke Administrasi Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 184-185

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Dengan kata lain governance lebih mengarah kepada pengertian bahwa
kekuasaan tidak lagi menjadi semata-mata menjadi urusan pemerintah tetapi lebih
ditekankan kepada mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga
mengatur sumberdaya serta mencari dan merumuskan problem solving terhadap
permasalahan publik. Dalam konteks governance ini, pemerintah diposisikan
sebagai salah satu aktor yang bukan selalu menjadi penentu. Bahkan institusi non
pemerintah dimungkinkan untuk berperan dominan dalam governance tersebut.
Menurut United Nation Development Program (UNDP)11, istilah
governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur

ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya
sekedar dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi,
integrasi, serta untuk kesejahteraan rakyatnya.
Good governance yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
pengelolaan pemerintahan yang baik merupakan impian banyak negara di dunia
tak terkecuali Indonesia. Namun untuk mewujudkannya bukanlah sebuah hal yang
mudah. Pengembangan good governance memiliki kompleksitas dan kendala
tersendiri yang menuntut perlunya langkah-langkah strategis dalam prakteknya
sebagai jawaban terhadap tuntutan perubahan terhadap berbagai aspek sistem
penyelenggaraan pemerintahaan yang ada dan bahkan cenderung patologis.
Defenisi

good

governance

menurut

World


Bank

ialah

suatu

penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab

Agus Sutiono dan Ambar TS, “Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemerintah Dalam
Birokrasi Publik Di Indonesia,” dalam Ambar Teguh Sulistiyani (ed.), Memahami Good
Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2011,
hlm. 22.
11

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran

terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik
yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.12
Pendapat

Taschereau

dan

Campos

sebagaimana

dikutip

Thoha

mengemukakan bahwa tata pemerintahan baik (good governance) merupakan
suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan
keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh

komponen yakni pemerintahan (government), rakyat (citizen) atau civil society,
dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu
mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat.13 Rumusan tersebut secara
gamblang menyebutkan adanya tiga aktor utama yang apabila berada dalam
kedudukan tidak sebanding maka akan memunculkan pembiasan terhadap tata
pemerintahan yang baik.
Thoha berpandangan bahwa tata kepemerintahan yang baik merupakan
suatu paradigma yang menekankan pada peranan manajer publik agar
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong
meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan
kontrol yang dilakukan pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan
diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi.14

12

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Andi Offset, 2002, hlm.
23
13
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003,
hlm.63.

14
Ibid, hlm. 61
“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Dari pemahaman di atas dapat ditarik benang merah yang menjelaskan
bahwa konsep governance merupakan tata pemerintahan dimana tercipta
keharmonisan sistem, prosedur dan fungsi diantara ketiga unsur yaitu pemerintah,
masyarakat dan swasta yang pada akhirnya bermuara pada wujud pemerintahan
yang baik (good governance). Salah satu bentuk perwujudan pelaksanaan tata
pemerintahan yang baik adalah melalui pemberian pelayanan yang berkualitas
kepada masyarakat.

2. 1. 2. Karakteristik Good Governance
Secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam
praktik good governance. Pertama, praktik good governance harus memberi ruang
kepada aktor lembaga non-pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam
kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara aktor

dan lembaga pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat sipil dan
mekanisme pasar. Kedua, dalam praktik good governance terkandung nilai-nilai
yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan dan daya tanggap
menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktik good governance adalah praktik
pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu, praktik

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan
hukum dan akuntabilitas publik.15
Terdapat pula karakteristik good governance yang diuraikan spesifik oleh
United Nation Development Program (UNDP) sebagaimana ditulis Djokosantoso
Moeljono16, yakni:
1.


Participation; merupakan bentuk keikutsertaan semua pihak dalam upaya
meningkatkan kinerja organisasi publik. Partisipasi dibangun atas dasar
kebebasan menyampaikan pendapat secara konstruktif. Semua pendapat
selanjutnya dipilah untuk ditentukan mana yang sesuai dengan tujuan
organisasi publik. Dengan kata lain, setiap warga negara mempunyai suara
dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga
yang mewakili kepentingan masyarakat. Partisipasi seperti ini dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.

2.

Rule of Law, ditunjukkan melalui penentuan dan pelaksanaan kebijakan
yang tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan merupakan alat yang efektif untuk
mengendalikan perilaku agar tidak menyimpang dari tujuan organisasi
publik. Hal ini berarti kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu, terutama hukum tentang hak asasi manusia.

Agus Dwiyanto, “Mengapa Pelayanan Publik?,” dalam Agus Dwiyanto (ed.), Mewujudkan

Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005,
hlm. 18-19.
16
Djokosantoso Moeljono, Good Corporate Culture Sebagai Inti Dari Good Corporate
Governance, Jakarta: PT. Elex Media Computindo, 2006, hlm. 113

15

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

3.

Transparancy, merupakan bentuk kebebasan untuk mengakses informasi
yang dimiliki organisasi publik. Informasi yang diberikan oleh organisasi
publik harus up to date, relevan, dan mudah dipahami oleh masyarakat yang
membutuhkan. Dengan kata lain, transparansi dibangun atas dasar
kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga, dan informasi

secara langsung dapat diterima oleh pihak-pihak yang membutuhkan.
Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

4.

Responsiveness, ditunjukkan oleh perilaku organisasi publik sebagai
pelayan masyarakat. Eksistensi organisasi publik adalah melayani
kebutuhan masyarakat, sehingga setiap permasalahan di masyarakat harus
segera ditangani sesuai dengan kapasitasnya. Hal ini dapat dijelaskan juga
bahwa lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani
setiap stakeholders.

5.

Consensus oriented, menunjukkan kepedulian organisasi publik terhadap
kepentingan yang lebih luas dibandingkan kepentingan organisasi semata.
Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi publik.
Dengan kata lain, good governance menjadi perantara kepentingankepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.


6.

Equity, merupakan harapan masyarakat bahwa eksistensi organisasi publik
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Pengelolaan sumber daya oleh
organisasi publik memiliki tujuan untuk menciptakan keadilan yang merata
terhadap konsumsi sumber daya tersebut oleh masyarakat. Hal ini berarti

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

bahwa semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan
mereka.
7.

Effectiveness dan efficiency, merupakan upaya pengelolaan sumber daya
yang efisien dalam mencapai tujuan organisasi publik. Organisasi publik
harus memperhitungkan cost benefit analysis dalam mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan publik. Dengan kata lain, proses-proses dan lembagalembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik-baiknya.

8.

Accountability, merupakan pertanggungjawaban organisasi publik kepada
stakeholders. Bentuk pertanggunjawaban dapat berupa laporan kinerja
organisasi publik dalam kurun waktu tertentu baik kinerja keuangan maupun
kinerja non keuangan, kinerja jangka pendek dan jangka panjang.
Tentunya karakteristik dan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu tata

pemerintahan yang baik harus mampu diwujudkan dalam setiap tingkatan
pemerintahan yang ada. Namun, luasnya cakupan persoalan yang dihadapi, juga
kompleksitas dari setiap persoalan yang ada, serta keterbatasan sumberdaya dan
kapasitas pemerintah dan juga non-pemerintah untuk melakukan pembaharuan
praktik governance, mengharuskan pemerintah mengambil pilihan yang strategis
dalam memulai pengembangan praktik good governance yang dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil dan mekanisme
pasar, sejauh perubahan tersebut secara konsisten mengarah pada perwujudan
ketiga karakter pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Salah satu

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

pilihan strategis untuk mengembangkan good governance di Indonesia adalah
melalui pengembangan penyelenggaraan pelayanan publik yang mencirikan nilainilai yang selama ini melekat pada good governance.17

2. 2. Kebijakan Publik
2. 2. 1. Pengertian Kebijakan
Menurut Charles O. Jones18, istilah kebijakan (policy term) digunakan
dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau
keputusan yang sangat berbeda. Sedangkan James Anderson19 melihat bahwa
secara umum istilah „kebijakan‟ atau „policy‟ digunakan untuk menunjuk perilaku
seorang aktor (misalnya pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga
pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Kebijakan oleh Graycar20 dapat dipandang dari perspektif filosofis,
produk, proses, dan kerangka kerja. Sebagai suatu konsep „filosofis‟, kebijakan
dipandang sebagai serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan; sebagai
suatu „produk‟, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau
rekomendasi; sebagai suatu „proses‟ kebijakan menunjuk pada cara dimana
melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya; dan sebagai

17

Agus Dwiyanto, op.cit, hlm. 19-20
Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori, Proses dan Studi Kasus, Yogyakarta: CAPS (Centre of
Academic Publishing Service), 2014, hlm. 19.
19
Ibid, hlm. 19
20
Yeremias T. Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu,
Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2008, hlm. 59
18

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

suatu „kerangka kerja‟, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan
negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.
Sehingga dapat dirumuskan bahwa kebijakan merupakan hasil dari reaksi
terhadap suatu masalah yang setelah di analisa dan melalui proses maka akan
dihasilkan keputusan-keputusan yang substansinya berupa alternatif terbaik
pemecahan masalah.

2. 2. 2. Konsep Kebijakan Publik
Menurut buku The Public Administration Dictionary karya R.C.
Chandler dan J.C. Plano, public policy adalah pemanfaatan yang strategis
terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah
publik dan pemerintah. Chandler dan Plano juga beranggapan bahwa kebijakan
publik merupakan suatu bentuk intervensi yang kontinum oleh pemerintah demi
kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat
hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.21
Pemahaman lainnya tentang kebijakan publik dikemukakan oleh Thomas
R. Dye22 yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih
oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Terkait dengan kebijakan
publik, Anderson23 menawarkan definisi kebijakan publik sebagai arah tindakan
yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep Anderson ini secara
jelas menyatakan bahwa kebijakan muncul atau diambil sebagai konsekuensi dari
21

Ibid, hlm. 60
Budi Winarno, op.cit., hlm. 20
23
Ibid, hlm. 21
22

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

timbulnya permasalahan yang dalam hal ini berkaitan erat dengan kepentingan
publik.

2. 3. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan dalam pengertian yang luas menurut Lester dan
Stewart24 dapat diartikan sebagai tahap dari proses kebijakan segera setelah
penetapan undang-undang yang mempunyai makna pelaksanaan undang-undang
dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama
untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan
atau program-program. Pendapat yang kurang lebih sama dikemukakan Gordon25
yang memaknai implementasi kebijakan berkenaan dengan berbagai kegiatan
yang diarahkan pada realisasi program.
Edwards melihat bahwa implementasi pada sisi yang lain merupakan
fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses,
suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome).26 Edwards
memperlihatkan pelaksanaan kebijakan sebagai tindakan atau kegiatan yang
memberikan hasil berupa perubahan-perubahan yang tentu saja dapat diukur
dalam kaitannya dengan program pemerintah.
Pendapat Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin dalam buku berjudul
Bureaucracy and Policy Implementation seperti dikutip oleh Winarno yang
menyebutkan bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang
ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit),
24

Ibid, hlm. 147
Yeremias T. Keban, op.cit., hlm. 76
26
Budi Winarno, op. cit., hlm. 147-148
25

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi
menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang
tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat
pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan)
oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat
program berjalan.27
Merilee S. Grindle28 memberikan pandangannya tentang implementasi
kebijakan dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah
membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa
direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu,
tugas implementasi mencakup terbentuknya „a policy delivery system‟ dimana
sarana-saranan tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada
tujuan-tujuan yang diinginkan. Hal senada dikemukakan Purwanto dan
Sulistyastuti bahwa implementasi kebijakan menjadi ‟jembatan‟ karena melalui
tahapan ini dilakukan delivery mechanism, yaitu ketika berbagai policy output
yang dikonversi dari policy input disampaikan kepada kelompok sasaran sebagai
upaya nyata untuk mencapai tujuan kebijakan.29
Dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan
salah satu tahapan kebijakan, yaitu tahapan setelah kebijakan (dalam hal ini
undang-undang) ditetapkan. Pada tahapan ini, kebijakan publik dilaksanakan
dalam rupa program-program pemerintah oleh beberapa aktor, dalam hal ini para

27

Ibid, hlm. 148
Ibid, hlm. 149.
29
Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti, Implementasi Kebijakan Publik Konsep
dan Aplikasinya di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2012, hlm. 66
28

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

birokrat, dengan mendapat dukungan pembiayaan, ditujukan untuk memenuhi
kepentingan masyarakat, dan outputnya dapat diukur serta memberikan manfaat
(outcomes) yang sebesar-besarnya dalam kerangka pemenuhan kebutuhan warga
negara. Apabila tahapan implementasi kebijakan tidak direncanakan dan disiapkan
dengan baik maka tujuan dari kebijakan itu sendiri tidak akan tercapai dengan
baik pula.

2. 3. 1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik
Beberapa pakar kebijakan publik mengungkapkan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi implementasi kebijakan yang termuat dalam karya-karyanya
dalam bentuk model-model implementasi kebijakan. Donalds van Meter dan Carl
E. van Horn mengemukakan suatu model implementasi kebijakan dalam karya
berjudul The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework pada
tahun 1975. Model yang dikenal dengan model van Meter dan van Horn ini
mempunyai enam variabel yang membentuk kaitan (linkage) antara kebijakan dan
kinerja (performance).
Budi Winarno30 mengemukakan bahwa seperti yang diungkapkan oleh
van Meter dan van Horn, model diatas tidak hanya menentukan hubunganhubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai
kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antar
variabel-variabel bebas. Secara implisit, kaitan yang tercakup dalam bagan
tersebut menjelaskan hipotesis-hipotesis yang dapat diuji secara empirik.

30

Budi Winarno, op. cit., hlm. 158-159

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Variabel-variabel yang dikemukakan van Meter dan van Horn dapat diuraikan
sebagai berikut:
1.

Ukuran-ukuran Dasar dan Tujuan-tujuan Kebijakan;

2.

Sumberdaya;

3.

Komunikasi antar organisasi;

4.

Karakteristik badan/organisasi pelaksana;

5.

Sikap para pelaksana;

6.

Lingkungan sosial, ekonomi dan politik.
Sedangkan George C. Edward III31 mengemukakan sebuah model

implementasi kebijakan yang bersifat top down dan dikenal dengan model Direct
and Indirect Impact on Implementation yang termuat dalam bukunya yang ditulis
tahun 1980 berjudul Implementing Public Policy. Menurutnya, terdapat empat
faktor utama yang menurutnya krusial dan berpengaruh terhadap implementasi
kebijakan, yaitu:
1.

Komunikasi;

2.

Sumber-sumber;

3.

Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku; dan

4.

Struktur Birokrasi.
Menurut Edwards, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap

implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain
untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan
yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas

31

Leo Agustino, Dasar-dasar Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2006, hlm. 149

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

semua faktor tersebut sekaligus. Tidak ada variabel tunggal dalam proses
implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan
variabel yang lain, dan bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses
implementasi kebijakan.32
Terdapat juga pendapat yang dikemukakan oleh Daniel Mazmanian dan
Paul Sabatier yang termuat dalam karya berjudul Implementation and Public
Policy tahun 1983. Model yang mereka tawarkan disebut dengan A Framework
for Policy Implementation Analysis.33 Menurut Mazmanian dan Sabatier, terdapat
tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan,
yakni:
1.

Karakteristik dari masalah (tractability of the problems);

2.

Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure
implementation); dan

3.

Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).
Pendapat

lainnya

tentang

keberhasilan

implementasi

kebijakan

disampaikan oleh Merilee S. Grindle. Menurut Grindle seperti dikutip
Subarsono34, bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh dua variabel besar
yaitu:
1.

Isi kebijakan (content of policy) yang mencakup:
a.

sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target groups
termuat dalam isi kebijakan;

32

Budi Winarno, op. cit., hlm. 177-178
Leo Agustino, op.cit., hlm. 144
34
AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, hlm. 93

33

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

b.

jenis manfaat yang diterima oleh target groups, contoh: masyarakat
di wilayah slum areas lebih suka menerima program air bersih atau
perlistrikan daripada menerima program kredit sepeda motor;

c.

sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan;

d.

apakah kelak sebuah program sudah tepat;

e.

apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementatornya
dengan rinci; dan

f.
2.

apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Lingkungan implementasi (context of implementation), mencakup:
a.

Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki
oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;

b.

Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; dan

c.

Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

implementasi

kebijakan

juga

dikemukakan oleh G. Shabbir Cheema dan Dennis A Rondinelli. Menurut
Cheema dan Rondinelli, terdapat empat kelompok variabel dapat mempengaruhi
kinerja dan dampak suatu program, yaitu (1) kondisi lingkungan; (2) hubungan
antar organisasi; (3) sumber daya organisasi untuk implementasi program; (4)
karakteristik dan kemampuan agen pelaksana.35

35

AG. Subarsono, op. cit., hlm. 101

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

2. 3. 2. Penentuan Model Implementasi Kebijakan Publik
Setiap model implementasi kebijakan yang telah diuraikan diatas
memiliki karakteristik keunggulan masing-masing. Pada dasarnya, penelitian ini
ditujukan untuk mendeskripsikan suatu pemahaman tentang implementasi
kebijakan yang dilihat dari sudut pandang pelaku/pelaksana kebijakan, pihakpihak yang terkena langsung dampak dari pelaksanaan kebijakan tersebut, dan
pihak-pihak yang tidak terkena secara langsung dampak implementasi tersebut.
Untuk mengetahui apakah suatu pelaksanaan kebijakan telah dilaksanakan dengan
baik sesuai tujuan yang ingin dicapai, maka diperlukan penilaian atau pengukuran
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
publik.
Pelayanan administrasi kependudukan merupakan kegiatan yang bersifat
dinamis dan situasional karena secara langsung berhadapan dengan masyarakat.
Untuk itu diperlukan parameter penilaian yang tidak kaku. Penelitian ini merujuk
pada teori implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Randall B. Ripley dan
Grace A. Franklin. Dalam karya berjudul Policy Implementation and
Bureaucracy, Ripley dan Franklin menyatakan36:
“There are two principal of assesing implementation. One approach
focuses on compliance. It asks whether implementers comply with
prescribed procedures, timetables, and restrictions. The compliance
perspective sets up a preexisting model of correct implementation
behavior and measures actual behavior against it. The second
approach toassessing implementation is to ask how implementation
proceeding. What is it achieving? Why? This perspective can be
characterized as inductive or empirical. Less elegantly, the central
questions are what‟s happening? and why? ....”
36

Randall B. Ripley & Grace A. Franklin, Policy Implementation and Bureaucracy, Chicago,
Illionis: The Dorsey Press, 1986, hlm. 11.

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Dari pernyataan diatas, terdapat dua perspektif utama dalam menilai
keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu:
1.

Compliance (Kepatuhan)
Keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat
kepatuhan implementator (baik kepatuhan bawahan kepada atasan maupun
kepatuhan implementator terhadap peraturan) dalam mengimplementasikan
sebuah program kebijakan. Menurut Purwanto dan Sulistyatuti37, perspektif
ini beranjak dari pertanyaan: Apakah implementer mematuhi prosedur yang
telah ditetapkan? Apakah pelaksanaan kegiatan sesuai dengan jadwal yang
telah disusun? Apakah kelompok sasaran sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan oleh kebijakan? Apakah kualitas keluaran kebijakan yang
disampaikan kepada kelompok sasaran sesuai standar yang ditetapkan
kebijakan? Apakah implementer tidak melanggar larangan-larangan yang
telah dibuat? dan seterusnya.
Untuk menilai pendekatan ini, dapat dilihat dari dua indikator yaitu:
a. Pemahaman implementator terhadap kebijakan; dan
b. Perilaku implementator.

2.

What‟s Happening and Why? (Apa yang terjadi dan mengapa?)
Perspektif yang kedua ini melihat bagaimana implementasi berlangsung dan
faktor-faktor apa penyebab yang mempengaruhi suatu program. Dengan
kata lain, perspektif ini akan melihat perubahan yang terjadi setelah program

37

Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti, op. cit., hlm. 69 – 71.

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

dilaksanakan dan apabila tidak terjadi perubahan, mengapa?. Ripley dan
Franklin menuliskan bahwa:
“...the five most important features discussed in remainder of this
chapter: the profusion of actors, the multiplicity and vagueness of
goals, the proliferation and complexity of government programs, the
participation of governmental units at all territorial levels, and the
uncontrollable factors that all affect implementation....”38
(“...lima fitur yang paling penting yang dibahas dalam kelanjutan bab
ini yaitu: banyaknya aktor yang terlibat, kejelasan tujuan,
kompleksitas program pemerintah, partisipasi unit pemerintahan di
semua tingkat wilayah, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi”)
Penjelasan diatas menyebutkan bahwa terdapat lima indikator untuk
mencermati lebih lanjut perspektif what‟s happening and why?. Dapat
dijelaskan bahwa indikator tersebut adalah:
a. The profusion of actors (banyaknya aktor yang terlibat)
Implementasi kebijakan tidak lepas dari peranan para aktor. Semakin
kompleks suatu kebijakan maka akan melibatkan semakin banyak aktor.
Tentu saja aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan
memiliki skill, ketrampilan, keahlian dan keahlian lainnya yang
diperlukan dalam pekerjaaan-pekerjaan tersebut. Minimnya aktor yang
mumpuni akan mempengaruhi implementasi kebijakan.
b. The Multiplicity and Vagueness of Goals (Kejelasan Tujuan).
Semakin

jelas

tujuan

dari

sebuah

kebijakan

akan

semakin

mempermudah para implementator dalam memahami kebijakan dan
meuwujudkannya dalam tindakan nyata.
38

Randall B. Ripley & Grace A. Franklin , op.cit., hlm. 11

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

c. The

Proliferation

and

Complexity

of

Government

Programs

(Perkembangan dan Kerumitan Program).
Kebijakan yang telah ditetapkan seringkali diikuti petunjuk pelaksanaan
yang bersifat dinamis menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi.

Sedangkan

tingkat

kerumitan

program

yang

telah

direncanakan dan ditetapkan dapat mempengaruhi implementasinya.
d. The Participation of Governmental Units at All Territorial Levels
(Partisipasi pada Semua Unit Pemerintahan).
Dalam hal ini, partisipasi dari semua aktor yang terlibat dalam
implementasi program tersebut.
e. The Uncontrollable Factors That All Affect Implementation (FaktorFaktor yang Tidak Terkendali yang Mempengaruhi Implementasi).
Indikator ini akan melihat apakah ada faktor-faktor di luar teknis (yang
telah melampaui batas kontrol dari implementor) yang secara tidak
langsung berhubungan dengan pengimplementasian program, sehingga
dapat menghambat, bahkan menggagalkan implementasi program yang
telah dirancang sebelumnya.

2. 4. Pelayanan Publik
Pelayanan publik menjadi salah satu isu sentral yang terus menjadi
sorotan sejak era desentralisasi diberlakukan di Indonesia. Perlunya reformasi
pelayanan publik dianggap memiliki nilai strategis dikarenakan ragam
kepentingan dari aktor-aktor utama good governance yang membutuhkannya.

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Agus Dwiyanto39 menyarankan bahwa dalam upaya pengembangan tata
pemerintahan yang baik akan lebih mudah dilakukan jika dimulai dari sektor
pelayanan publik. Menurutnya, pelayanan publik dapat menjadi penggerak utama
(primer mover) karena upaya mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan
praktik governance yang baik dalam pelayanan publik dapat dilakukan secara
nyata dan mudah. Nilai-nilai seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas dan
partisipasi dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Dwiyanto40 menambahkan bahwa terdapat beberapa pertimbangan
mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan
good governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi
ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembagalembaga non-pemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang intensif antara
pemerintah

dengan

warganya.

Buruknya

praktik

governance

dalam

penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat
luas. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan
publik dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga
dan masyarakat luas.
Kedua, pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek good
governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah. Keterlibatan unsurunsur masyarakat sipil dan mekanisme pasar merupakan suatu keuntungan. Yang
kemudian diperlukan adalah melakukan reposisi, redistribusi peran yang
39
40

Ibid, hlm. 3
Ibid, hlm. 20-25

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

proporsional serta saling melengkapi diantara pemerintah, masyarakat sipil dan
mekanisme pasar sehingga sinergi dapat dikembangkan.
Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur
governance. Pemerintah sebagai representasi Negara, masyarakat sipil dan
mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah
ini. Pelayanan publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan yang penting
bagi ketiga unsur governance karena baik dan buruknya praktik pelayanan publik
sangat berpengaruh terhadap ketiganya. Nasib sebuah pemerintahan, baik pusat
ataupun daerah, akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam
mewujudkan pelayanan publik yang baik. Keberhasilan sebuah rezim dan
penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh
kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan
memuaskan warga.

2. 4. 1. Pengertian Pelayanan
Literatur yang membahas dan mengupas tema tentang pelayanan telah
banyak terbit dan tersedia. Namun ragam literatur tersebut memunculkan pula
ragam pengertian tentang pelayanan. Salah satu diantaranya Philip Kotler41 yang
mendefinisikan pelayanan sebagai setiap kegiatan yang menguntungkan dalam
suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

41

Litjan Poltak Sinambela, dkk., Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, Implementasi,
Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm. 4

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Terdapat juga pendapat yang dikemukakan oleh Gronross sebagaimana
dikutip oleh Ratminto dan Atik Septi Winarsih42 yang mengemukakan pelayanan
adalah suatu aktivitas atau serangkain aktivitas yang bersifat tidak kasat mata
(tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen
dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi
pelayanan yang dimaksudkan untuk pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk
memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.
Armstrong, Saunders and Wong sebagaimana dikutip oleh Adrian
Palmer43 menyatakan bahwa “a service is any activity or benefit that one party can
offer to another which is essentially intangible and does not result in the
ownership of anything. Its production may or may not be tied to a physical
product”.
Sedangkan Adrian Palmer44 sendiri berpendapat bahwa ”service is the
production of an essentially intangible benefit, either in its own right or as a
significant element of a tangible product, which through some form of exchange,
satisfied an identified need.”
Pengertian lainnya tentang pelayanan disampaikan Christhoper Lovelock
and Jochen Wirtz45 yang menulis “services are economic activities offered by one
party to another. Often time-based, performances bring about desired results to
recipients, objects, or other assets for which purchasers have responsibility.”
42

Ratminto dan Atik Septi Winarsih, Manajemen Pelayanan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006,
hlm. 2
43
Adrian Palmer, Principles of Service Marketing, Third edition, McGraw Hill International
Edition. 2001, hlm. 2
44
Ibid, hlm. 3
45
Christhoper Lovelock dan Jochen Wirtz, Service Marketing, People, Technology, Strategy,
Seven Editition, 2001, hlm. 37

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Beberapa definisi pelayanan yang disebutkan di atas memberikan sebuah
pemahaman bahwa pelayanan pada prinsipnya merupakan segala aktifitas,
kegiatan atau tindakan yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lain yang mana
wujudnya tidak dalam bentuk fisik dan tidak memunculkan kepemilikan terhadap
pelayanan tersebut serta menggunakan organisasi atau lembaga yang ditujukan
untuk menyelesaikan permasalahan.

2. 4. 2. Konsep Pelayanan Publik
Penambahan kata „publik‟ setelah kata „pelayanan‟ memberikan makna
yang semakin spesifik terhadap frasa „pelayanan publik‟. Kata publik berasal dari
bahasa Inggris yaitu public yang berarti umum, masyarakat, negara, yang sudah
diterima dalam Bahasa Indonesia Baku yang berarti umum, orang banyak, ramai.
Oleh karena itu pelayanan publik dapat dimaknai sebagai kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan
meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. 46
Ratminto & Atik Septi Winarsih47 berpendapat bahwa Pelayanan publik
atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan,
baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya
menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di
Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Usaha Milik Daerah,

46
47

Lijan Poltak Sinambela, dkk., op.cit., hlm. 5
Ratminto dan Atik Septi Winarsih, op.cit., hlm. 4

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan AG. Subarsono48 mendefinisikan pelayanan publik sebagai
serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi
kebutuhan warga pengguna. Disebutkannya bahwa yang dimaksud pengguna atau
pelanggan adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti
pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, akta nikah, akta
kematian, sertifikat tanah, ijin usaha, ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin
gangguan (HO), ijin pengambilan air bawah tanah, berlangganan air minum,
listrik dan sebagainya. Secara leksikal, pelayanan publik diartikan upaya negara
untuk memenuhi hak hak dasar masyarakat dalam kapasitasnya sebagai warga
negara.49
Apa yang dikemukakan Subarsono mencerminkan adanya kewajiban
pemerintah melalui alat birokrasi yang terorganisir untuk menciptakan layanan
dalam memenuhi kebutuhan warga negara. Dalam ranah ini, tidak tertutup
kemungkinan adanya tuntutan bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan tersebut
pemerintah pro-aktif dan responsif terhadap kebutuhan dan keinginan warga
negara sebagai pelanggan dalam pemenuhan kebutuhannya.
Untuk menciptakan dan menjamin penyelenggaraan pelayanan publik
yang baik, yang merupakan hak yang harus diperoleh setiap warga negara
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah telah

AG. Subarsono, “Pelayanan Publik Yang Efisien, Responsif, dan Non-Partisan,” dalam Agus
Dwiyanto (ed.), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2005, hlm.
49
Hesti Puspitosari, Wajah Buram Pelayanan Publik, Malang: Yappika, 2007, hlm. 13.

48

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

menerbitkan dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Di dalam Undang-Undang tersebut, pelayanan publik diartikan
sebagai „kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik‟.50 Keberadaan Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2009 menjadi kekuatan legal untuk mewujudkan good
goovernance dalam pelayanan publik di Indonesia.

2. 4. 3. Asas-Asas Pelayanan Publik
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik menyebutkan asas-asas pelayanan publik yang dijelaskan lebih lanjut pada
penjelasan undang-undang tersebut. Adapun asas-asas pelayanan publik tersebut
adalah:
1.

Kepentingan umum; pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan
kepentingan pribadi dan/atau golongan.

2.

Kepastian hukum; jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan.

3.

Kesamaan hak; pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama,
golongan, gender, dan status ekonomi.

50

Lihat Pasal 1 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

4.

Keseimbangan hak dan kewajiban; pemenuhan hak harus sebanding dengan
kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima
pelayanan.

5.

Keprofesionalan; pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang
sesuai dengan bidang tugas.

6.

Partisipatif; peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat.

7.

Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; setiap warga negara berhak
memperoleh pelayanan yang adil.

8.

Keterbukaan; setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses
dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.

9.

Akuntabilitas;

proses

penyelenggaraan

pelayanan

harus

dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
10.

Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; pemberian
kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam
pelayanan.

11.

Ketepatan waktu; penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu
sesuai dengan standar pelayanan.

12.

Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan; setiap jenis pelayanan
dilakukan secara cepat, mudah dan terjangkau.

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

2. 5. Pelayanan Administrasi Kependudukan
2. 5. 1. Pelayanan Administrasi Kependudukan sebagai Kewenangan Daerah
Sistem penyelenggaraan pemerintahan desentralistik merupakan pilihan
logis

yang

menghadirkan

kemudian

dikembangkan

perubahan

paradigma

pasca
tata

orde

baru.

pemerintahan

Desentralisasi
dari

sistem

penyelenggaraan pemerintahan yang menitik beratkan pada kekuasaan pemerintah
pusat ke arah peningkatan partisipasi masyarakat dan pelayanan publik sebagai
muara dari interaksi antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Penyelenggaraan
desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah
dengan daerah otonom. Melalui implementasi otonomi daerah, pemerintah daerah
diharapkan akan semakin mampu bekerja secara efektif dan efisien dalam
melayani dan merespon segala tuntutan masyarakat, dan dalam menyelesaikan
permasalahan yang ada. Ada harapan bahwa melalui desentralisasi, programprogram pemerintah yang pro terhadap kebutuhan masyarakat dan elemen nonpemerintah dapat diwujudkan melalui penyediaan pelayanan publik yang baik dan
berkualitas.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan
kebijakan-kebijakan

yang

diterbitkan

untuk

mendukung

pelaksanaan

desentralisasi dan sebagai legalitas penyerahan sebagian kewenangan pemerintah
pusat kepada daerah untuk dilaksanakan berdasarkan kemampuan daerah dan
aspirasi masyarakat setempat.

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya, sebagai dampak positif terhadap evaluasi terhadap
pelaksanaan regulasi sebelumnya, pemerintah menerbitkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Diberlakukannya kedua undang-undang tersebut menandai
ketegasan terhadap pengaturan kewenangan-kewenangan antara pusat dan daerah
serta mekanisme pelaksanaannya dalam tata desentralisasi di Indonesia.
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa salah satu urusan wajib yang penyelenggaraannya menjadi kewenangan
pemerintahan daerah untuk Kabupaten/Kota adalah pelayanan kependudukan dan
catatan sipil. Pelayanan di bidang tersebut merupakan pelayanan yang harus
diberikan oleh pemerintah daerah dengan berpedoman pada standar pelayanan
minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah.
Pada tahun 2014 yang lalu, pemerintah menerbitkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai bentuk
penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan
demikian era Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku
lagi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya

kesejahteraan

masyarakat

melalui

peningkatan

pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan
suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, terjadi perbedaan
pengklasifikasian urusan pemerintahan yang mana urusan pemerintahan bidang
kependudukan dan catatan sipil dikategorikan sebagai urusan pemerintahan
konkuren dan bersifat urusan pemerintahan wajib dan tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar. Selain itu, penamaan urusan pemerintahan juga mengalami
perubahan menjadi „administrasi kependudukan dan pencatatan sipil‟

2. 5. 2. Pelayanan

Administrasi

Kependudukan

berdasarkan

Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2013
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya
berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan
status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting yang dialami oleh Penduduk yang berada di dalam dan/atau di luar
wilayah Republik Indonesia. Untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan amanah
tersebut ditengah-tengah masyarakat, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tersebut
disebutkan bahwa “Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan
penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan
melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi

“Implementasi Kebijakan Stelsel Aktif pada Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Nias” oleh Dennis Baktian Lahagu/NIM. 147024025

Universitas Sumatera Utara

Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan
publik dan pembangunan sektor lain.”
Artinya, melalui penyelenggaraan administrasi kependudukan diharapkan
terwujud sumber Data Kependudukan yang terkoordinir dan terintegrasi melalui
sebuah sistem yang dinamakan Sistem Administrasi Kependudukan yang sejalan
dengan kemajuan tekno