Tinjauan Hukum Terhadap Kredit Macet Atas Pemberian Kredit Untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pada PT.Bank Sumut Medan

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN DAN PERJANJIAN
KREDIT
A. Pengertian Tentang Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. 19
Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya sumber-sumber lain. Suatu
perjanjian juga di namakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan
persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 20
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang
perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaiman
sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan.
Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama-nama undang-undang. Jadi, ada
perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undangundang”. Sumber-sumber yang tercakup dalam suatu nama, yaitu undang19

20

Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa: Jakarta, 2005, hal 1.

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

undang,diperinci lagi. Dibedakan antara undang-undang saja, dengan undangundang yang berhubungan dengan perbuatan orang, sedangkan yang terakhir ini
diperinci pula, yaitu dibedakan antara perbuatan yang halal dan perbuatan yang
melanggar hukum. 21
Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian sehingga sebelum
membahas secara khusus mengenai perjanjian kredit perlu dibahas secara teratur
garis besar tentang ketentuan umum atau ajaran umum hukum perikatan yang
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) karena
ketentuan umum dalam KUHPerdata tersebut menjadi dasar atau asas umum yang
konkrit dalam membuat semua perjanjian apapun. KUHPerdata buku III Bab I s/d
Bab IV Pasal 1319 menetapkan:
Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang
tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan

suatu nama tetentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam
Bab II dan Bab I KUHPerdata. 22
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu. 23Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan nama dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan. 24
Dengan demikian perjanjian disini diartikan sebagai suatu perhubungan
hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji
21
22

Ibid , hal.1-2.
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta: Bandung, 2005, hal

68.
23
24

Subekti, Op. Cit, hal 36.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni: Bandung,1982, hal 78.


Universitas Sumatera Utara

untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan
pihak lain berhak untuk pelaksanaan janji itu 25.
Kemudian di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1313
juga ditegaskan bahwa ada yang dimaksud dengan perjanjian itu iala suatu
perbuatan yang menyebabkan seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
seorang lain atau lebih. Dengan demikian perjanjian disini diartikan sebagai suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal untuk tidak
melakukan suatu hal, dengan pihak lain berhak untuk pelaksanaan janji itu. 26
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang (pihak)
atau lebih, yakni pihak yang suatu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib
memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya. 27
Perikatan dalam bahasa belanda disebut verbintenissenrecht. Namun,
terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah
hukum perikatan. Misalnya, Wirjono Prodjodikoro dan R. Subekti.
1. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Perjanjian, (bahasa
Belanda: het verbintenissenrecht) jadi, verbintenissenrecht oleh Wirjono

diterjemahkan menjadi hukum perjanjian bukan hukum perikatan.
2. R. Subekti tidak menggunakan istilah hukum periktan, tetapi menggunakan
istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III KHUPerdata tentang perikatan.
Dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, R, Subekti menulis perkataan

25

Ibid.
Ibid.
27
Elsi Artika Sari dan Advendi Simanungsong, Hukum dalam Ekonomi, PT. Gramedia
Widiasarana Edisi kedua : Jakarta 2008, hal 28.
26

Universitas Sumatera Utara

perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan
perjanjian, sebab didalam Buku III KUHPerdata memuat tentang perikatan
yang timbul dari
a. Persetujuan atau perjanjian

b. Perbuatan yang melanggar hukum
c. Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(zaakwaarnemiing).
Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hukum
perjanjian disebut overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih
luas dari perjanjian, perikatan dapat terjadi karena
1. Perjanjian (kontrak), dan
2. Bukan dari perjanjian (dari undang-undang).
Perjanjian adalah peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak lain
untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbul suatu peristiwa
berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang
dinamakan dengan perikatan.
Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian
yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang
paling banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistim
terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan
perjanjian. 28

28


Ibid, hal 28-29.

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian timbul, disebabkan oleh adanya hubungan kekayaan antara dua
orang atau lebih. Pendukung hubungan perjanjian sekurang-kurangnya harus ada
dua tertentu. Masing-masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu
orang menjadi pihak kreditur, dan seorang lagi sebagai pihak debitur. Kreditur
debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas
prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. 29
Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya,
tidak mengurangi sahnya perjanjian. Atau jika pada mulanya kreditur terdiri dari
beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan
dengan debitur, juga tidak mengurangi nilai sahnya perjanjian. Hal seperti ini bisa
saja terjadi pada “percampuran hutang” (schuld vermeging) sebagaimana diatur
pada pasal 1436 BW. Demikian juga pada pasal 1437, mengenai percampuran
hutang atas diri seorang penanggung, yaitu penanggung yang berubah kedudukan
menjadi kreditur. 30
Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara :
1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtswerking). Perjanjian tanpa

kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak
mempunyai “akibat hukum” (rechtsgevolg) yang mengikat. Misalnya perjanjian
keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.
2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum “tak sempurna” (onvolledige
rechtswerking), seperti natuurlijke verbintenis. Ketidaksempurnaan daya
hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur
29

M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni : Bandung, 1986, hal

15.
30

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum
untuk memaksakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.
Verbintenis


yang

sempurna

daya

kekuatan

hukumnya

(volledige

rechtswerking). Disini, pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika dia
ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Melalui tuntutan
eksekusi pelaksanaan dan eksekusi rel, ganti rugi (schade vergoeding) serta uang
paksa (dwangsom). 31
B. Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat : 32

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua
syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan
(canceling) oleh salah satu pihak yang tidak cakap. Dapat dibatalkan oleh salah
satu pihak dapat melakukan pembatalan atau tidak melakukan pembatalan.
Apabila salah satu pihak tidak membatalkan perjanjian itu maka perjanjian yang
31

Ibid, hal 9.
Subekti, Op.Cit, hal 17.

32

Universitas Sumatera Utara


telah dibuat tetap sah. Yang dimaksud salah satu pihak yang membatalkan disini
adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum. 33
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
sasanya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya,
adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian : 34
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang,
dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Persyaratan kecakapan seseorang yang membuat perjanjian sangat diperlukan
karena hanya orang yang cakap yang mampu memahami dan melaksanakan isi
perjanjian yang dibuat. Membuat perjanjian berarti terikat dan bertanggung jawab
untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan. Orang yang sakit ingatan berarti
tidak sehat pikirannya, orang yang seperti itu sudah tentu tidak mampu memahami
dan melaksanakan apa yang dijanjikan sehingga dianggap tidak cakap. Orang
yang ditaruh dibawah pengampuan tidak bebas berbuat terhadap harta kekayaan,

tetapi dibawah pengawasan pengampu. Orang seperti itu disamakan dengan orang
yang belum dewasa. 35

33

Sutarno, Aspek aspek Hukum Perkreditan pada Bank,CV.Alfabeta: Bandung, hal 78.
Subekti, Op.Cit, hal 17.
35
Sutarno, Op.cit, hal 81.
34

Universitas Sumatera Utara

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu
hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah
pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah
berada ditangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan
oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian
dapat dihitung atau ditetapkan. 36
Syarat ke empat suatu sebab atau causa yang halal artinya suatu perjanjian
harus berdasarkan sebab yang halal atau yang diperolehkan oleh undang-undang.
Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah: 37
1.

Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Misalnya perjanjian yang menyanggupi untuk melakukan pembunuhan
dengan imbalan tertentu. Ini perjanjian yang di dasarkan sebab atau causa
tidak halal bertentangan dengan undang-undang pidana pasal 338
KUHPidana. Sebab atau causa yang bertentangan dengan undang-undang
jelas dan mudah tampak Perjanjian seperti ini adalah batal demi hukum
artinya sejak semula perjanjian dianggap tidak pernah ada, para pihak tidak
terikat untuk melaksanakan isi perjanjian ini.

2.

Perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan. Lebih mudah untuk
menentukan sebab atau causa yang bertentangan dengan undang-undang
karena sifat jelas dan nampak tetatpi sebab atau causa yang bertentangan
dengan kesusilaan adalah relatif tidak sama wujudnya diseluruh dunia,
36
37

Subekti, Op.Cit, hal 19.
Ibid

Universitas Sumatera Utara

mungkin di Indonesia suatu perbuatan tertentu bertentangan dengan
kesusilaan tetapi di negeri barat perbuatan tersebut dianggap tidak
bertentangan dengan kesusilaan. Jadi tergantung pada anggapan masyarakat
terhadap perbuatan itu. Perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan
misalnya perjanjian dengan seorang penyanyi berpakaian minim dan porno.
3.

Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak mudah
untuk menetapkan seuatu ukuran yang bertentangan dengan ketertiban
umum. Ketertiban umum sebagai lawan atau kebalikan dari kepentingan
orang-perorangan. Sebagian besar dari hal-hal yang berkaitan dengan
ketertiban umum terletak pada bagian ketatanegaraan dari hukum, dalam
hubungan lalu lintas pengangkutan, perjanjian perburuhan.

Perjanjian pengangkutan yang melebihi daya muat alat pengangkut dapat
membahayakan ketertiban umum. Demonstrasi yang dilakukan di tengah jalan
raya dapat dianggap menganggu ketertiban umum. 38
Akhirnya oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di
atas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya
suatu sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin
causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus
dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu
yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itu
yang dimaksudkan oleh Undang-undang dengan sebab yang halal itu. Sesuatu

38

Sutarno, Op.Cit, hal 81-82.

Universitas Sumatera Utara

yang menyebabkan orang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk
membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang.
Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang
atau apa yang dicita-citakan oleh seorang. 39
Harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal
syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum.
Artinya: Dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka
tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa inggris
dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null an void. 40
Dalam suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi, perjanjiannya
bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta
supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu,
adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya
(perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat mengikat
juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak
meminta pembatalan tadi. 41
Dalam setiap hubungan hukum harus ada subyek dan obyek, tetapi subyeklah
yang merupakan pndukung hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan atau
pembuatan hukum tersebut, dengan kata lain bahwa subyek hukum atau
pendukung hak dan kewajiban dapat berupa manusia atau badan hukum. Adapun
39

Subekti, Op.Cit, hal 19.
Ibid, hal 20.
41
Ibid.
40

Universitas Sumatera Utara

mengenai hak dan kewajiban pihak tersebut dicantumkan di dalam surat
perjanjian pemborong. Dan juga disebut di dalam peraturan umum, yaitu dalam
KUHPerdata. Akan tetapi mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dalam
perjanjian pemborong bangunan hanya sedikit diatur dalam KUHPerdata.
Sebagian besar hak-hak kewajiban tersebut diatur dalam peraturan standar
pemborong bangunan (AV Tahun 1941), kemudian dimuat secara terperinci
dalam perjanjian pemborongan (rencana kerja dan syarat). 42
Perjanjian bersyarat adalah perjanjian yang yang pelaksanaannya di
gantungkan (afhangen) kepada sesuatu pada masa yang akan datang yang belum
pasti terjadi. Dari pengertian diatas, kita melihat ada dua unsur yang melekat pada
perjanjian bersyarat : 43
1. Perjanjian “digantungkan” (afhangen) pada sesuatu kejadian/perbuatan di
“masa akan datang” (toekomstig).
2. Dan kejadian itu “belum pasti terjadi” (onzekere gebeurtenis). Syarat itu itu
tidak boleh terhadap sesuatu kejadian “yang pasti” terjadi. Misalnya
digantungkan pada syarat kematian. Ini adalah hal yang pasti terjadi, karena
setiap orang pasti akan mati. Jika syarat itu digantungkan kepada sesuatu yang
diketahui pasti terjadi, syarat demikian dianggap tidak sah. Memang kadangkadang antara perjanjian bersyarat dengan perjanjian ketentuan waktu
(tijdsbepaling) terdapat pengertian dan keadaan yang hampir berdekatan.
Kalau dalam perjanjian bersyarat digantungkan pada kejadian dimasa datang
tentang sesuatu “yang belum pasti terjadi”, maka dalam perjanjian dengan
42

Sri Soedeli Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan, Yogjakarta: Liberty ,1998, hal 78.
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal 46

43

Universitas Sumatera Utara

ketetapan waktu, pelaksanaan perjanjian “tertunda” sampai batas waktu yang
ditentukan terjadi.
C. Dasar-Dasar Hukum Perbankan di Indonesia
Secara sederhana hukum perbankan (banking law) adalah hukum yang
mengatur

segala

sesuatu

yang

menyangkut

tentang

bank,

baik

kelembagaan,kegiatan usaha,serta cara dan proses dalam melaksanakan usaha
bank. Bank merupakan salah satu lembaga keungan yang fungsi utamanya sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Ini berarti, kita akan membicarakan
peraturan hukum (norma hukum) dan asas-asas hukum, struktur hukum, dan
budaya hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank. 44
Menurut Muhammad Djumhana, hukum perbankan adalah “sebagai kumpulan
praturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi
segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya
dengan bidang kehidupan yang lain”. 45
Sementara itu menurut Munir Fuady menyatakan, bahwa hukum yang
mengatur masalah perbankan disebut hukum perbankan (banking law), yakni
seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalahmasalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatan sehari-haei, ramburambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak,
kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis

44

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan,Sinar Grafika Cetakan kedua:
Jakarta, 2012, hal 1.
45
Muhammad Djumhana, Hukum Pebankan di Indonesia, Alumni: Bandung, 1993, hal
10.

Universitas Sumatera Utara

perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi
perbankan dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan. 46
Sedangkan Hermansyah menyatakan, bahwa bertitik tolak dari pengertian
perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan prosese melaksanaankan kegiatan
usahanya, maka pada prinsipnya hukum perbankan adalah keseluruhan normanorma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan
kegiatan usahanya. Norma-norma tertulis dimaksud adalah seluruh peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai bank, sedangkan norma-norma
yang tidak tertulis adalah hal-hal atau kebiasaan yang timbul dalam praktik
perbankan. 47
Dari pendapat-pendapat di atas, kiranya dapat dirumuskan pengertian hukum
perbankan itu, yaitu kumpulan ketentuan hukum, yang meliputi peraturan hukum
(norma) dan asas-asas hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang mengatur
segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Sebelum membahas ketentuan hukum perbankan maka harus mengetahui
terlebih dahulu tentang sejarah perbankan. Di dalam sejarah perbankan ini ada
dasar-dasar hukum perbankan di indonesia. 48

46

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti: Bandung,
1999, hal 14.
47
Hermansyah, Op.Cit, hal 39-40.
48
Putri Arini, Analisis Hukum Terhadap Kredit Macet atas Pemberian Kredit untuk
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada PT. Bank Danamon Cabang Sukaramai , Skripsi,

Universitas Sumatera Utara

Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat
perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa, merkantilisme telah
berkembang menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan
dagang Eropa. Pada saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti
Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh
bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa
pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank
Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang
lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada
24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan
nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut
beroperasi dan beekembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa kerajaan
Belanda,

hingga

akhirnya

diundangkan

DJB

Wet

1922.

Masa pendukung Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan
Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudia masa revolusi tiba, Hindia
Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan
Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua,
DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan “Jajasan Poesat Bank
Indonesia” dan Bank Negara Indonesia di Wilayah RI. Konferensi Meja Bundar
(KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian
DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus
bertahan hinga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai
Dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37130/3/Chapter%20II.pdf [Diakses
Pada tanggal 28 januari 2017, pukul:10.10 WIB].

Universitas Sumatera Utara

bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka
sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bnak Indonesia, bank sentral bagi
Republik Indonesia. 49
Periode 1988- sekarang, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian
kebijakan paket deregulasi di bidang keuangan, moneter, dan perbankan. Sejak
saat itu dunia perbankan semakin semarak, karena dimana-mana bank-bank baru
bermunculan. Pada sisi lain, dunia perbankan tertimpa tragedi yang membuatnya
kelam, dengan timbulnya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Ternyata undang-undang nomor 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok
perbankan lainnya yang berlaku sudah tidak memadai dan tidak dapat mengikuti
perkembangan perekonomian nasional maupun internasional. Oleh sebab itu,
tatanan hukumnya perlu diperbarui dengan menyusun suatu undang-undang baru
tentang perbankan. Dan undang-undang baru tersebut pada tanggal 25 maret 1992
disahkan oleh presiden menjadi undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan. Dengan demikian, maka sejak saat itu, hukum perbankan telah
mengalami perubahan yang sangat mendasar. 50
Setelah enam tahun mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
mengalami perubahan untuk pertama kalinya. Perubahan tersebut merupakan
salah satu program pelaksanaan reformasi perbankan, yakni menyempurnakan
perangkat hukum di bidang perbankan dan pendirian lembaga dana penyangga
simpanan, yang ada gilirannya akan memulihkan kepercayaan masyarakat
49

Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, Bank Indonesia: Jakarta, 2007, hal 1.
Putri Arini, Analisis Hukum Terhadap Kredit Macet atas Pemberian Kredit untuk
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada PT. Bank Danamon Cabang Sukaramai, Skripsi, Dikutip
dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37130/3/Chapter%20II.pdf, [Diakses Pada
tanggal 28 januari 2017, pukul:10.30WIB].
50

Universitas Sumatera Utara

domestik maupun internasional terhadap sistem perbankan kita. Perubahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tersebut dituangkan di dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang disahkan oleh Presiden pada
tanggal 10 November 1998. 51
Dasar hukum perbankan ini terdiri dari dua sumber hukum perbankan, yaitu
sumber hukum dalam arti formil dan sumber hukum dalam arti material. Sumber
hukum dalam arti material adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu
sendiri dan itutergantung dari sudut mana dilakukan peninjauannya, apakah dari
sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain sebagainya,
sedangkan sumber hukum dalam arti formil adalah tempat ditemukannya
ketentuan hukum dang perundang-undangan, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. 52
Di bawah ini disebutkan berbagai peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur atau berkaitan dengan masalah perbankan dan kebanksentralan,
yang menjadi sumber hukum perbankan yang berlaku dewasa ini, diantaranya
yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (disebut UnangUndang Perbankan yang Diubah)
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan
51

Ibid, hal 20.
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta, 2001, hal 4.
52

Universitas Sumatera Utara

terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undanng-Undang Nomor 6
Tahun 2009
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 3 tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2009
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah
6. Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), terutama
ketentuan dalam Buku II dan Buku III mengenai jaminan kebendaan dan
perjanjian
7. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), terutama
ketentuan dalam Buku I mengenai surat-surat berharga
8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
10. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang
kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
11. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beseta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
12. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
13. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang

Universitas Sumatera Utara

Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang membantu pembentukan hukum
perbankan, di antaranya perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan
nasabah, ajaran hukum melalui peradilan yang termuat dalam putusan hakim
(yurisprudensi), doktrin-doktrin hukum dan kebiasaan dan kelaziman yang
berlaku dalam industri perbankan. 53
Undang-Undang Perbankan yang diubah merupakan sumber pokok dari
hukum perbankan nasional di Indonesia. Oleh karena itu, segala ketentuan
perbankan nasional di Indonesia harus disesuaikan dengan Undang-Undang
Perbankan yang Diubah tersebut. Dengan berlakunya Undang-Undang Perbankan
yang Diubah, selain menyatakan tidak berlaku lagi Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, juga menyatakan tidak berlaku lagi
peraturan lainnya, yaitu:
1. StaatsbladTahun 1929 Nomor 257 tanggal 14 September 1929 tentang
Aturan-Aturan Mengenai Badan-Badan Kredit Desa dalam Provinsi-Provinsi
di Jawa dan Madura di Luar Wilayah Kotapraja-Kotapraja
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank Pembangunan Swasta
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2489)
3. Peraturan tentang Usaha Perkreditan yang Diselenggarakan oleh Kelurahan di
Daerah Kadipaten Paku Alaman (rijksblaad dar Daerah Paku Alaman Tahun
1937 Nomor 9).

53

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, hal 5-6.

Universitas Sumatera Utara

Peraturan-peraturan perbankan di atas, dinilai sudah tidak dapat mengikuti
perkembangan perekonomian nasional maupun internasional, karenanya perlu
diganti dan disusun undang-undang yang baru mengatur masalah perbankan, yang
kemudian mengalami perubahan dan penambahan sebagaimana dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 54
D. Asas-Asas Yang Berlaku Dalam Praktek Perbankan
Untuk mempelajari norma hukum, maka kita harus mengetahui asas-asas
hukum yang menyertainya. Karena norma hukum itu lahir tidak dengan sendiri.
Norma hukum lahir dilatarbelakangi oleh dasar-dasar yuridis filosofi tertentu.
Itulah yang dinamakan dengan asas hukum. Semakin tinggi tingkatannya, maka
asas hukum itu semakin abstrak dan umum sifatnya serta mempunyai jangkauan
kerja yang lebih luas untuk memayungi norma hukumnya. Dengan demikian asas
hukum itu merupakan dasar atau ratio legis dari dibentuknya suatu norma hukum,
demikiam pula sebaliknya, norma hukum itu harus dapat dikembalikan kepada
asas hukumnya. Jangan sampai lahir norma hukum yang bertentangan dengan
asas hukumnya. Norma hukum tidak lain perwujudan dari asas hukumnya. 55
Berdasarkan dasar Negara Pancasila dan UUD Tahun 1945, perbankan harus
memerhatikan kesejahteraan nasabah dan tidak merugikan nasabah. Dengan cara
kerja seperti itu dapat meningkatkan pemasukan bank itu sendiri, karena minat
nasabah untuk menyimpan dana di bank kan terus meningkat. 56

54

Ibid, hal 6-7.
Ibid,hal 22-23.
56
Putri Arini, Analisis Hukum Terhadap Kredit Macet atas Pemberian Kredit untuk
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada PT. Bank Danamon Cabang Sukaramai, Skripsi, Dikutip
55

Universitas Sumatera Utara

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menetapkan Perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Untuk mempertegaskan makna asas
demokrasi ekonomi ini penjelasan umum dan penjelasan pasal 2 berbunyi : yang
dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan
Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Demokrasi ekonomi ini tersimpul
dalam pasal 33 UUD 1945, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan.
Pembangunan di bidang ekonomi yang didasarkan pada demokrasi ekonomi
menentukan

masyarakat

harus

memegang

peran

aktif

dalam

kegiatan

pembangunan, memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan
dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang
sehat bagi perkembangan dunia usaha. 57
Hukum perbankan mengenal beberapa prinsip, yaitu asas kepercayaan, asas
kehati-hatian,asas kerahasiaan, dan asas mengenal nasabah 58:
1. Asas kepercayaan (fiduciary relation principle)
Asas kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank
dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan
berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya
dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Asas

dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37130/3/Chapter%20II.pdf ,[Diakses Pada
tanggal 28 januari 2017, pukul:11.55WIB].
57
Kuliahade, Hukum Perbankan Asas dan Prinsip Perbankan, Artikel, Dikutip dari
https://kuliahade.wordpress.com/2010/04/19/hukum=perbankan-asas-dan-prinsipperbankan/[Diakses Pada 01 Maret 2017 Pukul 13.00 WIB].
58
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

kepercayaan diatur dalam pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998.
2. Asas kehati-hatian (prudential principle)
Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menegaskan bahwa bank dalam
menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpauan terutama dalam
penyaluran dana kepada masyarakat harus

sangat berhati-hati. Tujuan

dilakukannya asas kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat
menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan
norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Asas kehati-hatian tertera
dalam pasal 2 dan pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Asas kerahasian (secrecy principle)
Asas kerahasian bank diatur dalam pasal 40 sampai dengan pasal 47 A
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut pasal 40 bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa
pengecualian. Kewajiban merahasikan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk
kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan
kepada badan Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan
pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah,
dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank.
4. Asas Mengenal Nasabah (know how costumer principle)
Asas mengenal nasabah adalah asas yang diterapkan oleh bank untuk
mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi

Universitas Sumatera Utara

nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Asas
mengenal nasabah-nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/1
0/PBI/2001 tentang Penerapan Asas Mengenal Nasabah. Tujuan yang hendak
dicapai dalam penerapan asas mengenal nasabah adalah meningkatkan peran
lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga
keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang
tindak kejahatan dan aktivitas ilegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi
nama baik dan reputasi lembaga keuangan.

Universitas Sumatera Utara