Kajian Hukum Terhadap Pemberdayaan Kredit Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2008

(1)

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

Chamim, Asyakuri, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta : Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1999.

Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2006.

Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.

G. Longenecker, Justin, Kewirausahaan Manajemen Usaha Kecil, Jakarta : Salemba Empat, 2000.

Hadinoto, Soetanto, Micro Credit Challence, Cara Efektif Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2006.

Hadiwidjadja dan Rivai Wirasasmita, Analisa Kredit, Bandung : CV Pionir Jaya, 1990.

Hasnanuddin, Rahman, Prospek Perbankan Nasional Pasca Likuidasi Bank, Surabaya : Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, 1997.

Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.

M.Fadhil, Hasan, Pemihakan Pemerintah Dalam Mendukung Pembiayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Jakarta : Bappenas, 2008.


(2)

Nurdin, Ali, Membangun Bank UMKM, Jakarta : IRPA, 2007.

Pramono, M, Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah dan Koperasi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

R, Hadiz, Vedi, Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

R, Tjiptoadinugroho, Perbankan Masalah Perkreditan, Jakarta : Pradnya Paramita, 1994.

Subanar, Harimurti, Manajemen Usaha Kecil, Yogyakarta : BPFE, 2001.

Sutarno, Aspek – Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung : Alfabeta, 2003.

Suyatno, Thomas, Dasar – Dasar Perkreditan Edisi Keempat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Tambunan, Tulus, UMKM di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009.

Tohar, M, Membuka Usaha Kecil, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1999.

Usman, Rachmadi, Aspek – Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Warman, Djohan, Kredit Bank, Alternatif Pembiayaan dan Pengajuannya, Jakarta : Mutiara Sumer Wijaya, 2000.

Widiyono, Try, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2006.


(3)

Widjanarto, Hukum & Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta : Grafiti, 2006.

Widyaningrum, Nurul, Pola-Pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil, Bandung : Yayasan Akatiga, 2003.

Yasabari, Nasroen dan Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit, Bandung : PT Alumni, 2007.

2. Peraturan Perundang-undangan

Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.

Undang–Undang Nomor 25 tahun 1992.

Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Surat Keputusan No.5 Kep S.94-DIR/ADK/12/2005 Tentang Restrukturisasi Kredit.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.


(4)

3. Makalah, Jurnal dan karya Ilmiah

Wibowo, Sigit, Penyelesaian Kredit Bermasalah Sesuai PP No. 33 Tahun 2006, Makalah DepKeu Jakarta, Juni 2008.

Perry Warjiyo, Untoro, Default Risk dan Penjaminan KUKM, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2008.

4.Internet

Abdullah Abidin, Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sebagai Kekuatan Strategis Dalam Mempercepat Pembangunan Daerah, kecil-dan.html, diakses tanggal 11 November 2010.

Adhitya Wijaya, Kontribusi Koperasi Terhadap Usaha Mikro, Kecil,

Menengah,

Aswandi.S, Kiprah UMKM di Tengah Krisis Ekonomi,

http://usaha-umkm.blog.com/2009/06/t Juli 2010

Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Lembaga Penjaminan Kredit UMKM,


(5)

Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), mengatasi kredit bermasalah, tanggal 5 Oktober 2010

Kendala– Kendala UMKM, Oktober 2010

Resta Febri,


(6)

BAB III

KENDALA-KENDALA DALAM PEMBERDAYAAN KREDIT USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

A. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Pada Sektor UMKM

Bank Indonesia sebagai alat perekonomian dari pemerintah bertugas mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam hal ini, pembinaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah senantiasa menjadi salah satu tugas Bank Indonesia yang pelaksanaannya diwujudkan dalam kebijakan moneter.

Bukti peran pemerintah saat itu adalah dengan meluncurkan program pemberdayaan ekonomi masyarakat dari tahun 1975-1990 melalui kredit Usaha Kecil dengan jenis KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen), KIK (Kredit Investasi Kecil). Proyek ini dinilai gagal karena program tersebut dinilai salah sasaran yang justru berdampak pada munculnya inflasi, sehingga pada akhirnya dihapuskan karena berpengaruh pada memburuknya kondisi ekonomi makro.65

65

Harimurti Subanar, Manajemen Usaha Kecil, (Yogyakarta : BPFE, 2001), hal. 119.

Oleh karena itu, untuk lebih mengoptimalkan peran sektor UMKM dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maka perlu adanya upaya khusus melalui peran pada mekanisme pengembangan sektor UMKM agar lebih berkembang melalui peran pemerintah dan perbankan dalam pendanaan kredit investasi, konsumsi maupun peluang ekspor terhadap produk UMKM tersebut. Pemerintah dalam hal ini tetap konsisten dengan rencana dan program


(7)

kerjanya dalam pengembangan UMKM. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan dan pengembangan industri/usaha kecil oleh pemerintah melalui konsep:66

1. Sistem keterkaitan bapak angkat mitra usaha.

2. Penjualan saham perusahaan besar yang sehat kepada koperasi.

3. Mewajibkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan dana pembinaan sebesar 1-5% dari keuntungan bersih.

4. Menugaskan lembaga perbankan mengalokasikan dana kredit untuk Usaha Kecil dan koperasi sebanyak 20% dari fortopolio kredit yang disalurkan.

5. Persediaan Kredit Likuiditas dari Bank Indonesia ke bank-bank untuk membiayai sebagian besar dari kebutuhan dana kredit untuk anggota koperasi primer.

Secara konkret, kebijakan bagi perbankan mengalami sedikit perubahan. Beberapa paket kebijakan kredit dengan adanya peraturan Bank Indonesia No. 9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum merupakan upaya Bank Indonesia dalam percepatan fungsi intermediasi perbankan untuk penyaluran kredit dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko bank.67

66 Ibid. 67

Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Bank, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006), hal. 6.

Kecenderungan kreditor bersikap hati-hati karena didasari pada itikad baik dalam pengucuran kredit untuk masyarakat dan berujung pada kondisi yang menyulitkan pihak perbankan sebagai pemberi kredit. Masih lemahnya aturan hukum dalam lingkup hukum perbankan karena masih memegang prinsip lama yang tidak mengikuti perkembangan sosial yuridis dan perkembangan sosial ekonomi.


(8)

Bank Indonesia berperan penting dalam memberikan arah kebijakan bagi perbankan untuk mau membuka akses kredit sektor UMKM. Untuk itulah, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan baru agar mendorong intermediasi perbankan pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), serta untuk mendorong penguatan manajemen risiko perbankan sebagai implementasi dari kebijakan tersebut. Oleh karena itu, dilakukan beberapa perubahan terhadap pengaturan penilaian kualitas aktiva bank umum dalam rangka memfasilitasi percepatan pembiayaan, yang tetap memperhatikan faktor penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko pada bank. Hal ini terkait dengan upaya rangsangan terhadap perbankan agar menyalurkan dana bank dalam bentuk kredit, khususnya kepada sektor UMKM. Kebijakan ini dimaksudkan agar mengurangi penyaluran dana bank ke aktiva yang terjadi selama ini, dimana bank lebih banyak menyimpan dana seperti dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Untuk itu, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan dengan menurunkan bobot Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk beberapa jenis aktiva produktif. Risiko kredit dalam aktiva produktif bank adalah alokasi dana bank yang ditempatkan pada pihak lawan transaksi atau peminjam atau debitur dimana peminjam berkewajiban untuk mengembalikannya kembali pada waktu yang telah disepakati.68 Pengembalian dana dari peminjam adalah berupa pokok pinjaman dan bunga atau bentuk hasil investasi lain. Aktiva produktif bank terdiri dari tiga kelompok yaitu:69

68

Ibid, hal. 80. 69


(9)

1. Cadangan sekunder (secondary reserves) berupa penempatan dana bank pada lembaga keuangan lainnya. Penempatan berupa pembelian surat berharga. Jangka waktu di bawah satu tahun.

2. Kredit berupa penempatan bank pada nasabah peminjam atau debitur.

3. Investasi berupa penempatan bank pada perusahaan lain berupa penyertaan modal. Hasil yang diperoleh berupa deviden dan selisih nilai saham. Jangka waktu biasanya di atas satu tahun.

Melihat perkembangan saat ini, pemerintah bersama Bank BUMN sedang menggalakkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada masyarakat menengah ke bawah dengan pola penjaminan dari perusahaan milik pemerintah maupun swasta. Dalam aturan KUR yang baru ini, Bank Indonesia mengaitkan bobot risiko dengan perusahaan yang memberikan jaminan antara 20% s.d. 75%, tergantung kepada peringkat dari perusahaan penjamin tersebut. Bank Indonesia sendiri mempunyai penilaian tersendiri bagi lembaga jaminan kredit yang didasarkan pada penilaian (eligibility criteria) yakni, indepedensi, objektivitas, keterbukaan, pengungkapan publik dan kredibilitas.70

70

Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Lembaga Penjaminan Kredit UMKM,

Di saat kondisi perekonomian makro Indonesia yang saat ini masih belum stabil, perbankan harus lebih bersikap hati-hati dalam membidik sasaran segmentasi kreditnya. Dari trend selama empat tahun terakhir berdasarkan pada tahun 2004 s.d 2007, terdapat kecenderungan penurunan terhadap realisasi kredit UMKM.

tanggal 1 Oktober 2010.


(10)

Perkembangan kredit sektor UMKM setiap tahunnya cenderung stagnasi. Jumlah nominalnya terlihat masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan total pangsa kredit yang diberikan bank. Terlihat bahwa pemberian kredit UMKM masih belum serius untuk ditangani oleh bank yang berarti bahwa masih banyak UMKM yang belum dapat mengakses kredit perbankan. Kecenderungan kredit secara agregrat terhadap total realisasi kredit yang sedikit meningkat, diikuti pula oleh peningkatan terhadap risiko kredit bermasalah perbankan yang meningkat juga. Hal ini yang justru membuat perbankan kurang serius dalam memberikan kredit pada sektor UMKM.71

B. Kendala-kendala Dalam Pemberdayaan Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Dari informasi sektor perbankan, ditemukan beberapa permasalahan utama dalam penyaluran kredit UMKM selama ini. Walaupun sejak 10 tahun yang lalu Bank Indonesia mewajibkan perbankan menyalurkan kredit untuk UMKM, yakni kredit dengan batas maksimum di bawah Rp 5 milyar, minimum 20% dari total kredit, dalam kenyataannya porsi 20% itu tidak selalu tercapai setiap tahun, walaupun jumlah kredit yang tersalurkan ke UMKM cenderung meningkat terus. Keterbatasan menyediakan jaminan merupakan salah satu kendala UMKM di Indonesia. Masih terdapat beberapa kendala mendasar yang dihadapi seperti tingginya tingkat suku bunga kredit dari bank. Sebagai contoh, program KUR tingkat suku bunga dari 14% hingga 24%. Bandingkan dengan tingkat suku bunga di beberapa negara Asean, paling tinggi 6%. Apalagi bila dibandingkan dengan

71 Ibid.


(11)

CHINA suku bunga hanya 5%. Kemenkop dan UKM menghimbau agar bank menurunkan tingkat suku KUR sebesar 2%, berarti ditargetkan 12% dan hal tersebut diperkirakan masih tinggi. Dengan tingginya tingkat suku bunga maka beban biaya yang dipikul oleh UMKM semakin tinggi, dan harga jual pun semakin tinggi.72

Menurut beberapa pendapat, agar program KUR dapat diakses luas oleh pelaku UMKM, suku bunga kepada UMKM cukup 6% saja, seperti program kredit lainnya. Pelaku UMKM hanya membayar bunga 6% dan sisanya disubsidi oleh pemerintah untuk dibayarkan kepada bank pelaksana.73

Secara umum persoalan atau kendala-kendala UMKM disebabkan oleh:74

1. kurangnya kesesuaian antara dana yang tersedia yang dapat diakses oleh UMKM.

2. tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UMKM.

3. biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang diberikan kecil.

4. kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai.

5. bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi.

72

Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU). Kendala – Kendala UMKM

73 Ibid. 74


(12)

6. banyak UMKM yang belum bankable, baik disebabkan karena belum adanya manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan finansial.75

Sementara itu dari segi non finansial dapat disebabkan oleh:76

1. kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan.

2. kurangnya pengetahuan pemasaran yang disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh UMKM mengenai pasar dan karena keterbatasan kemampuan UMKM untuk penyediaan akan produk/jasa yang sesuai dengan keinginan pasar.

3. keterbatasan sumber daya manusia (SDM).

Presiden Direktur Pusat Pengembangan UMKM Kamar Dagang Indonesia, Ida Bagus Putu Sarga mengelompokkan persoalan UMKM tidak dapat berkembang karena:

1. Menyangkut kekurangan modal sebagai kendala sektor UMKM untuk maju. Terdapat beberapa faktor yang mendasar yang menyebabkan kurangnya daya serap UMKM terhadap ketersediaan kredit lunak yang disiapkan oleh perbankan, antara lain tidak tersedianya dana untuk pemenuhan persyaratan pengajuan kredit ke perbankan. Selain itu minimnya pengetahuan dalam penulisan proposal bisnis yang juga menghambat penyerapan kredit lunak yang disediakan oleh perbankan. Pengusaha masih sulit untuk mendapatkan modal kerja karena tidak memiliki agunan yang cukup.

75

Aswandi S, Kiprah UMKM di Tengah Krisis Ekonomi Diakses tanggal 12 September 2010.

76 Ibid.


(13)

2. Metode produksi yang masih tradisional dianggap melemahkan sektor UMKM untuk bersaing memasuki AFTA dan APEC. Sektor UMKM akan menghadapi tantangan yang semakin besar apabila tidak mencari jalan keluar terhadap persoalan produksi. Terlebih lagi hampir sebagian besar UMKM tidak memiliki sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk bisa mengakses pasar internasional. Umumnya UMKM bergantung pada perusahaan trading yang sekaligus berfungsi sebagai pedagang pengumpul dan meraup laba sebanyak-banyaknya dari selisih harga. Belum lagi lemahnya dasar hukum UMKM di Indonesia.

Dari fenomena ini ditunjukkan bahwa perlunya kajian secara komprehensif terhadap penyebab stagnasinya daya serap sektor riil dalam pelayanan kredit. Di samping itu, salah satu aspek lain dari segi perbankan yang menjadi perhatian adalah pengaruh kepastian hukum yang lebih dari sekedar penegakan hukum yang membuat pelaku sektor riil dan perbankan harus lebih berhati-hati sebagai dampak dari pemberantasan illegal transaction. Hal ini berdampak pada kekhawatiran perbankan untuk mengantisipasi jika terjadi kredit macet, khususnya kredit Usaha Mikro dan Kecil yang notabene dilaksanakan tanpa didukung oleh adanya agunan yang cukup sebagai jaminan kredit. Kurang jelasnya fungsi hukum sebagai landasan kerja bagi banker dalam mengatasi kredit macet di kemudian hari.77

Di samping itu, timbulnya permasalahan kredit UMKM selama ini perlu di inventarisasi sebagai masalah kredit macet UMKM, untuk dapat diberikan solusi pemecahannya dengan jalan terbaik. Dalam perkembangannya saat ini

77


(14)

ditunjukkan bahwa terdapat hal pokok yang belum tercipta secara ideal. Paket kebijakan pemerintah yang dituang di dalam Peraturan Bank Indonesia sebagai fasilitator ternyata belum mampu meyakinkan perbankan untuk lebih pro dalam realiasi kredit sektor UMKM. Turunnya BI rate untuk merangsang banker yang lebih memihak pada pelaku UMKM, ternyata belum mampu direalisasikan secara optimal. Di samping itu, sulitnya pelaku UMKM untuk menembus akses permohonan kredit pada bank juga sangat sulit karena terbentur dengan banyaknya ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi pelaku UMKM. Dalam masa perkembangannya, memang sektor UMKM ini keberadaannya perlu mendapat perhatian khusus. Pola kemitraan dalam pembinaan usaha UMKM yang telah ada, perlu untuk dikembangkan sebagai bentuk konkret dan jaminan bagi perbankan dalam membantu pengembangan sektor UMKM.78

Kelemahan dalam pengelolaan Usaha Kecil berkaitan dengan faktor ekstern dan intern yakni meliputi:79

a. Tidak mengetahui secara tepat kebutuhan modal kerja karena tidak memiliki perencanaan kas yang baik.

b. Sering terjadi kesalahan manajemen dan ketidakpedulian pengelolaan terhadap prinsip-prinsip manajerial.

c. Sumber modal yang terbatas pada kemampuan pemilik. d. Tidak memiliki program pengendalian dalam memulai usaha.

e. Tidak pernah memiliki studi kelayakan, penelitian pasar dan analisis perputaran uang.

78

Ibid, hal 239. 79


(15)

BAB IV

PELAKSANAAN PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

A. Ruang Lingkup Penyelesaian Kredit Bermasalah

Pada dasarnya setiap bank tidak terlepas dari munculnya peluang kredit bermasalah. Membahas mengenai kredit bermasalah, maka secara langsung bank dapat dikaitkan dengan adanya risiko yang terkandung di dalam setiap pemberian kredit tersebut. Kredit bermasalah merupakan salah satu penyebab kesulitan bank menyangkut tingkat kesehatan bank, sehingga sedini mungkin bank harus dapat mengantisipasi akan timbulnya risiko kredit bermasalah. Secara umum, kredit bermasalah disebabkan oleh dua hal, yaitu:80

1. Dari pihak perbankan, yakni masalah yang disebabkan oleh ketidaktelitian analisis terhadap kemampuan calon debitur, sehingga munculnya faktor kredit bermasalah tidak dapat diprediksi sebelumnya. Di samping itu, hal ini dapat pula terjadi karena adanya kolusi pihak analisis dengan debitur sehingga proses analisis yang dilakukan tidak objektif.

2. Dari pihak nasabah yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

a. Adanya unsur kesengajaan debitur yang tidak mau memenuhi kewajibannya kepada bank untuk membayar utang sehingga muncul kredit macet.

b. Adanya unsur tidak sengaja yang disebabkan debitur yang tidak mampu memenuhi kewajibannya akibat faktor eksternal seperti musibah (force mayor).

80


(16)

Pada dasarnya, munculnya kegagalan di dalam pengembalian kredit disebabkan oleh faktor ekstern dan intern bank itu sendiri. faktor-faktor tersebut antara lain:81

1. Self Dealing

Yakni dikarenakan pejabat bank dalam melakukan penilaian kredit yang tidak objektif, sehingga data yang diajukan tidak valid dengan tingkat objektifitas yang rendah.

2. Anxiety for income

Kredit dianggap sebagai pendapatan oleh debitur dan bahkan dianggap sebagai pendapatan yang harus dicari sebanyak-banyaknya. Jika anggapan debitur yang semacam ini ada dan mengabaikan kemampuan membayar (repayment capacity), maka kegagalan kredit akan semakin besar.

3. Compromise of Credit Principles

Yakni hal yang disebabkan oleh petugas bank yang menerima/melewati batas toleransi penyimpangan prinsip perkreditan. Hal ini tentu akan memperbesar ruang kompromi dalam bentuk risiko sehingga sangat berbahaya di kemudian hari.

4. Non Existance of Sounds Lending Policies

Penilaian kredit yang tidak didasarkan pada kebijakan kredit yang sehat, seperti adanya tingkat kejenuhan profil produk nasabah sehingga pengembalian kredit tersendat.

5. Incomplete Credit Information

81

Warman Djohan, Kredit Bank, Alternatif Pembiayaan dan Pengajuannya, (Jakarta : Mutiara Sumer Wijaya, 2000), hal. 57.


(17)

Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan debitur seharusnya didasarkan pada prinsip 5 C’s analisis. Apabila keputusan yang diambil berdasarkan data yang tidak lengkap, maka hal ini akan semakin membuka peluang munculnya kredit bermasalah di kemudian hari.

6. Failfure Obtain Enforce Liquidation Agreement

Kegagalan dalam mendapatkan pelunasan kredit pada saat likuidasi juga merupakan kegagalan dalam persetujuan pemberian kredit. Hal tersebut terjadi karena kurang muatnya pengikatan barang jaminan yang diserahkan karena kurang memenuhi bukti kepemilikan dan kualitas jaminan itu sendiri.

7. Complacency

Membuat sesuatu menjadi mudah dalam analisis permohonan juga merupakan kegagalan dalam pemberian dan pengembalian fasilitas kredit.

8. Lack of Supervising

Kurangnya pengawasan juga merupakan penyebab kegagalan. Pengawasan pada waktu menganalisis, pencairan kredit dan pada waktu berjalannya kredit sehingga sedapat mungkin dapat diketahui gejala awal apabila suatu permasalahan itu muncul untuk kemudian secara dini dapat dicarikan terapi pemecahannya. 9. Technical Incompetence

Dilihat dari kemampuan teknis analisis dan pengurus bank dan apabila mereka tidak mempunyai kemampuan sebagaimana yang diisyaratkan, maka akan menyebabkan kegagalan dalam pemberian kredit.

10. Poor Selection of risk

Seluruh kemungkinan risiko kredit yang muncul harus dianalisis agar dapat diminimalisir.


(18)

11.Over Lending

Yakni sejumlah kredit yang diberikan melebihi jumlah yang dibutuhkan debitur, sehingga membuka peluang penggunaan kredit untuk tujuan lainnya. Apabila kredit digunakan untuk tujuan yang tidak direncanakan sebelumnya, maka akan muncul risiko kredit baru yang dapat menyebabkan kegagalan pemberian dan pengembalian kredit.

12. Competition

Berkaitan dengan persaingan antara bank dimana masing-masing bank berlomba untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan mudah kepada calon debitur. Apabila dalam persaingan itu hal-hal prinsip persetujuan pemberian kredit dan pengelolaannya terabaikan, maka bank akan berhadapan dengan risiko kegagalan dalam pemberian kredit.

Penyelesaian kredit bermasalah merupakan upaya bank dalam pengawasan kinerja perusahaan debitur. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah debitur tidak sanggup lagi dalam memenuhi kewajibannya. Indikasi tersebut dapat dilihat dari usaha debitur yang mulai memburuk sehingga berpotensi menjadikan debitur tidak mampu lagi untuk membayar kewajiban yang telah disepakati.

Adapun identifikasi awal terhadap munculnya kredit bermasalah yang harus diperhatikan oleh perbankan adalah:82

1. Bahwa perbankan tidak boleh membiarkan atau menutup-nutupi adanya kredit bermasalah.

2. Bank harus mendeteksi sedini mungkin atas indikasi kredit bermasalah.

82

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2006), hal. 551.


(19)

3. Bank tidak boleh melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafond kredit.

4. Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah untuk semua debitur baik pelaku usaha besar ataupun kecil.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum, maka kualitas kredit ditetapkan menurut faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar. Dengan adanya ketiga faktor penilaian faktor tersebut, maka kualitas kredit dibagi menjadi:

1. Lancar (L), adalah pinjaman kredit dengan tingkat pembayaran tepat pada waktunya dan tidak ada tunggakan pokok dan bunga.

2. Dalam Perhatian Khusus (DPK) adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari.

3. Kurang lancar (KL), adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang melampaui hari ke 91 sampai dengan hari ke 150.

4. Diragukan (D), adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang melampaui hari ke 151 sampai dengan 180.

5. Macet (M), adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui hari ke 180 sampai dengan 360.

Angka non performing loan (NPL) yang cenderung meningkat merupakan tantangan utama yang menjadi perhatian perbankan. Secara umum, faktor NPL ini memberikan efek yang negatif terhadap perekonomian secara makro, dimana bank


(20)

akan melakukan pengurangan terhadap ekspansi kredit dan juga meningkatkan biaya operasi moneter. Di samping itu, pengaruh peningkatan NPL ini juga akan mempengaruhi kinerja perbankan dalam pengambilan keputusan kreditnya karena akan berdampak pada status well performing bank itu sendiri. Hal ini yang menjadi kendala bagi ekspansi kredit, khususnya bank-bank BUMN yang notabene memiliki kegamangan dalam penyelesaian persepsi kredit bermasalah.83

Berbeda dengan bank swasta yang memiliki hak langsung dalam mengatasi kredit bermasalahnya, bank umum sedikit terkendala akibat mekanisme penyelesaian kredit macet yang belum jelas. Bank-bank swasta dapat segera bersih dari NPL hanya melalui korporasi, sedangkan bank BUMN perlu melalui mata rantai yang panjang, karena harus melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Dengan dasar itu, melihat perkembangan isu kredit pada bank BUMN saat ini yang dinilai sangat mengkhawatirkan, maka pemerintah pada 16 Oktober 2006 melalui Departemen Keuangan telah mengumumkan peraturan pelaksanaan penyelesaian non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah bank BUMN yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (selanjutnya disebut dengan PMK) No. 87/PMK.07/2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah. PMK ini merupakan kelanjutan dari penertiban Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006 sebagai pengganti PP Nomor 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Secara umum, inti dari kedua aturan baru ini adalah penegasan kepada bank BUMN yang saat ini telah diberikan kewenangan utuh dalam mencarikan solusi pemecahan masalah kredit

83

Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Mengatasi Kredit Bermasalah


(21)

macet secara independen tanpa terikat oleh pengaruh faktor lain. Melalui ketentuan ini akan diberikan kemudahan bagi bank BUMN dalam menangani kredit bermasalah yang akan dihapusbukukan dan tidak perlu diserahkan kepada Ditjen Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan.84

Dengan kebaikan ini, tentu saja memberikan gambaran bahwa bank BUMN telah memiliki kesamaan dengan bank swasta dan kewenangan untuk memberikan keringanan kepada debitur bermasalah. Keringanan kredit yang dimaksud bagi debitur yang kerap disebut juga dengan hair cut merupakan langkah yang biasa dilakukan oleh bank di seluruh dunia, terutama dalam penyelesaian kredit bermasalahnya. Pola restrukturisasi dengan metode keringanan ini merupakan satu bagian dari berbagai cara restrukturisasi dalam rangka penyelesaian NPL. Beberapa metode yang juga kerap digunakan dalam restrukturisasi NPL adalah rescheduling dan reconditioning utang85

84 Ibid. 85

Ibid.

. Namun dalam implementasi di lapangan terhadap kebijakan PMK No. 87/PMK.07/2006 dan PP No. 33 Tahun 2006 ini, bagi banker memunculkan pertanyaan baru. Keberadaan PP No. 33/2006 dan PMK No. 87/2006 pada kenyataannya masih menimbulkan praduga dan multi interpretasi yang berbeda antara bank dengan lembaga hukum yang ada. Keberatan terjadi apabila aturan baru ini akan dijadikan topeng bagi para debitur bermasalah untuk sekedar mendapatkan keringanan dari bank. Hal ini menjadi isu sentral mengingat bahwa posisi BUMN secara luas juga tidak dapat dilepaskan dari konteks politik, dimana hal yang dikhawatirkan bahwa keberadaan PP No. 33/2006 ini dijadikan oleh konglomerat besar yang


(22)

menunggak untuk mengurangi kewajiban bunga utang sehingga nilai dari prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik tidak diindahkan.86

Keluar pernyataan bahwa adanya aturan ini tidak menghilangkan delik korupsi bagi para debitur bermasalah maupun banker yang memberikan keringanan. Pernyataan ini tentu telah membawa kegamangan di kalangan banker bank BUMN. Satu hal yang perlu dimengerti, dengan keluarnya PP No. 33/2006 ini merupakan penegasan bahwa piutang BUMN saat ini bukan bagian dari piutang negara. Ketakutan tersebut bagi perbankan adalah munculnya persepsi bahwa kredit macet yang timbul di bank BUMN selama ini dianggap sebagai suatu tindakan pidana, padahal semua kredit selalu mengandung potensi kredit macet, sehingga kewenangan dalam haircut tersebut dibayangi oleh munculnya perkara di kemudian hari.87

Satu hal yang harus dipegang, bank BUMN juga tidak akan begitu saja memberikan keringanan kredit bermasalah kepada para debitur macetnya. Dengan demikian diharapkan adanya keharusan yang tegas untuk dapat membedakan antara debitur yang dapat diberikan keringanan dengan yang tidak. Untuk mengantisipasi penyelewengan ketentuan dalam hair cut, pemerintah dalam hal ini telah menyampaikan bahwa untuk menjamin asas good coorporate governance. Dalam pelaksanaan PP No. 33/2006 dan PMK No. 87/2006, BUMN akan membentuk Oversight Committee (OC) yang tugas utamanya adalah untuk mengawasi agar penyelesaian NPL benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tata kelola yang baik. Tentunya keberadaan OC ini akan semakin memperkuat upaya penyelesaian NPL di Bank BUMN. Hanya saja keberadaan OC harus benar-benar

86

Rachmadi Usman. Op.cit, hal 251. 87


(23)

diatur mekanismenya agar tidak menjadi perpanjangan birokrasi penyelesaian NPL yang pada gilirannya akan menyebabkan hilangnya hakikat kesetaraan penyelesaian NPL dengan bank swasta.

Dalam ketentuan mengenai penyelesaian kredit bermasalah tersebut hendaknya diatur di dalam suatu Standard Operating Procedures (SOP) yang meliputi:88

1. Accountability

Yakni tolak ukur yang jelas, yang akan dijadikan acuan dalam mengukur kinerja penyelesaian piutang.

2. Transparancy

Yakni prinsip keterbukaan yang dilakukan dalam penyelesaian piutang. 3. Responsibility

Yakni memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penyelesaian piutang.

4. Fairness

Yakni perlakuan yang adil.

Pemerintah memang mau tidak mau harus benar-benar percaya kepada tim manajemen yang telah ditunjuk apabila penunjukkannya telah mengacu pada asas profesionalisme dan integritas. Sejumlah langkah pemerintah di atas pada gilirannya akan mempercepat penyelesaian NPL bank BUMN sehingga akan mengoptimalkan fungsi intermediasi bank BUMN yang akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian Indonesia. Jika kondisi ideal ini

88

Sigit Wibowo, Penyelesaian Kredit Bermasalah Sesuai PP No. 33 Tahun 2006, (Makalah Depkeu Jakarta), Juni 2008.


(24)

dapat terwujud, maka akan berdampak pada kemudahan sektor UMKM untuk mengakses permodalan dalam upaya menggerakkan sektor riil.

Secara umum, penyebab terjadinya kredit bermasalah yang menjadi NPL bank, disebabkan oleh kondisi faktor ekonomi makro yang memburuk. Tingkat inflasi yang tinggi berdampak pada daya beli masyarakat yang menurun, sehingga arus perputaran uang di masyarakat sedikit terganggu. Hal ini tentu saja berimplikasi terhadap pendapatan dan kemampuan debitur dalam hal menyelesaikan kewajiban kreditnya ke bank.

Melihat perkembangan kondisi ini, Bank Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan terkait Kualitas Aktiva bank umum yang tertuang dalam PBI Nomor 7/2/2005 yang secara khusus mengatur tentang NPL perbankan. Dalam upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalahnya, maka salah satu langkah yang ditempuh dan telah disepakati untuk diterapkan adalah melalui proses restrukturisasi kredit. Dalam Keppres RI Nomor 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah disebutkan bahwa:

Pasal 2 ayat (1): Restrukturisasi kredit usaha kecil dan menengah diberikan kepada perorangan atau badan usaha yang dikategorikan sebagai usaha kecil dan menengah yang mempunyai total kredit per tanggal 31 Desember 1997 dan/atau sisa utang pokok sampai dengan Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) per debitur pada bank dan/atau Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Restrukturisasi kredit pada dasarnya dilakukan sebagai upaya perbaikan yang dilakukan perbankan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang


(25)

mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Adapun jenis-jenis dari restrukturisasi kredit adalah:89

89

Surat Keputusan No. 5 Kep S.94-DIR/ADK/12/2005 Tentang Restrukturisasi Kredit.

1.Perubahan tingkat suku bunga

Perubahan tingkat suku bunga adalah perubahan/penurunan suku bunga menjadi lebih kecil dari sebelumnya untuk penggunaan suku bunga setelah restrukturisasi.

2.Pengurangan tunggakan bunga dan/atau denda

Pemberian keringanan tunggakan bunga dan/atau dengan maksimum hanya sebatas tunggakan bunga dan/atau denda yang belum dibayar. Pengurangan bunga tidak dapat dilakukan pada kredit yang direstrukturisasi dengan kategori Lancar (L), Dalam Perhatian Khusus (DPK), dan Kurang Lancar (KL), namun untuk kredit yang telah masuk Diragukan (D) dan Macet (M) memungkinkan untuk dilakukan pengurangan atas tunggakan bunga yang sesuai dengan kemampuan debitur.

3.Pengurangan tunggakan pokok kredit.

Berpedoman pada anggaran dasar bank. Ketentuan ini mensyaratkan dalam rangka restrukturisasi kredit yang mengatur tentang penghapusan secara mutlak (hapus tagih).

4.Perpanjangan jangka waktu kredit/penjadwalan kembali.

Perpanjangan jangka waktu kredit, disesuaikan dengan kemampuan debitur atau untuk kredit konsumtif disesuaikan dengan repayment capacity debitur tersebut. Penambahan fasilitas kredit/suplesi kredit.


(26)

Penambahan fasilitas kredit adalah pemberian tambahan fasilitas kredit baik direct maupun contingent, agar usaha debitur dapat beroperasi kembali sehingga dapat memenuhi kewajibannya kepada bank. Penambahan fasilitas kredit tidak diperkenankan untuk melunasi tunggakan pokok dan/atau bunga/denda dan ditatakerjakan dalam rekening terpisah. Penambahan fasilitas kredit/suplesi kredit dalam rangka restrukturisasi kredit harus didukung dengan agunan yang cukup. 6.Pengambilan asset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Pengertian asset debitur disini meliputi asset debitur baik yang dijaminkan maupun tidak dijaminkan atau yang dijaminkan kepada pihak ketiga. Pengelolaan dan/atau pengambilalihan asset debitur tersebut merupakan tindakan dalam rangka penyelamatan kredit secara aktif maupun pasif (pengawasan).

7.Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara bank pada perusahaan debitur yang merupakan perubahan objek perjanjian. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara hanya dapat dilakukan untuk kredit yang memiliki kualitas kredit Kurang Lancar (KL). Diragukan (D), dan macet (M).

8.Pembayaran sejumlah kewajiban bunga yang dilakukan kemudian (deferred interest payment/interest ballon payment), yakni bentuk restrukturisasi kredit yang dilakukan bank untuk menyehatkan usaha debitur dengan cara menangguhkan sementara sebagian atau seluruh beban bunga yang seharusnya dibayar kembali oleh debitur di kemudian hari sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk bunga yang ditangguhkan sementara itu, tidak dikenakan denda. Suku bunga yang diatur tersebut meliputi:


(27)

a. Tingkat suku bunga yang dibebankan kepada debitur harus didukung atas dasar kemampuan keuangan usaha debitur, setelah terlebih dahulu banker melakukan analisis cash flow usaha debitur.

b. Selisih antara tingkat suku bunga yang dibebankan kepada debitur tersebut di atas dengan tingkat suku bunga yang seharusnya dibayar, merupakan bunga yang ditangguhkan dan dapat diangsur.

c. Tingkat suku bunga dapat direview secara periodik dan disesuaikan dengan cash flow usaha debitur.

d. Dalam jangka kredit, apabila terjadi perubahan suku bunga kredit, maka yang diubah adalah tingkat suku bunga yang ditangguhkan.

9. Penjualan agunan

Merupakan penjualan asset atau agunan debitur yang dilakukan di bawah tangan, yang diserahkan kepada bank dalam rangka penyelamatan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses penjualan/pencairan asset debitur dengan prioritas penggunaan untuk mengurangi pokok pinjaman dan piutang ekstern. Di samping itu, upaya ini dimaksudkan untuk memperoleh harga jual yang optimal dengan alternatif cara pembayaran terbaik yang dapat diterima oleh bank. Dalam hal restrukturisasi kredit berupa penjualan agunan secara di bawah tangan berdasarkan kesepakatan antara para pihak (bank, debitur, dan calon pembeli), maka agunan yang akan dijual secara dibawah tangan tersebut telah diikat dengan hak tanggungan. Sebelum dilakukan penjualan, maka harus mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, seperti terlebih dahulu diumumkan dalam media cetak atau elektronik yang jangkauannya meliputi wilayah agunan berada.


(28)

Kombinasi dari berbagai alternatif tersebut di atas merupakan kombinasi dari berbagai alternatif restrukturisasi dari point 1 s.d 9 yang dimungkinkan berlaku satu atau dua saja.

Tujuan dari restrukturisasi kredit tersebut adalah agar debitur dapat memenuhi kewajibannya kepada bank, sehingga diharapkan posisi dan kepentingan bank lebih baik dan aman sehingga usaha debitur dapat lancar kembali dan mampu memperbaiki struktur permodalan debitur itu sendiri. Adapun syarat dari restrukturisasi kredit tersebut adalah:90

1. Masih memiliki prospek usaha yang baik, dimana hasil analisa harus menunjukkan cash flow yang positif, prospek pasar masih terbuka, dan mampu melakukan peningkatan efisiensi dan daya saing. Prospek usaha debitur yang dimaksud adalah didasarkan pada kemampuan membayar kembali debitur (repayment capacity) apabila pinjaman direstrukturisasi.

2. Debitur mengalami kesulitan untuk membayar pokok dan/atau bunga kredit. 3. Debitur menunjukkan itikad baik yang positif untuk bekerja sama terhadap

upaya restrukturisasi yang akan dijalankan. Itikad baik yang dimaksud adalah mau melakukan negoisasi dengan bank, memberikan data usaha secara terbuka dan membuat rencana strukturisasi yang akan dibahas dengan bank.

Dalam hal ini, sebagai prinsip awal yang harus dipegang oleh bank BUMN dalam menjalankan proses restrukturisasinya adalah:91

1. Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk menghindari diri dari upaya penurunan penggolongan kualitas kredit,

90

M. Djumhana, Op.cit, hal. 58. 91


(29)

peningkatan pembentukan PPA (Penyisihan Penghapusan Aktiva) atau juga penghentian pengakuan pendapatan bunga secara aktual.

2. Bahwa sesuai dengan ketentuan restrukturisasi, bank hanya dapat melakukan restrukturisasi kredit kepada debitur yang kesulitan melakukan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit, namun dari segi prospek usaha, masih baik untuk dapat memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.

Mengacu pada ketentuan Bank Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bank Umum bahwa pada dasarnya pengelolaan NPL melalui restrukturisasi kredit bank BUMN diatur dengan pertimbangan:

1. Bahwa untuk kelangsungan usaha bank tergantung dari kemampuan dan efektivitas bank dalam mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian.

2. Dalam rangka mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian, bank wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA). Bahwa kewajiban pembentukan penyisihan aktiva perlu diberlakukan terhadap aktiva produktif dan aktiva non produktif. Pembentukan PPA tersebut berupa:

a. Cadangan umum dan cadangan khusus untuk aktiva produktif. Ditetapkan lebih kurang 1% dari aktiva produktif yang memiliki kualitas lancar. b. Cadangan khusus untuk aktiva non produktif.

Untuk cadangan khusus ditetapkan dengan ketentuan:

a. 5% dari aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus (DPK) setelah dikurangi nilai agunan.


(30)

b. 15% dari aktiva kualitas Kurang Lancar (KL) setelah dikurangi nilai agunan.

c. 50% dari aktiva dengan kualitas Diragukan (D) setelah dikurangi nilai agunan.

d. 100% dari aktiva dengan kualitas Macet (M) setelah dikurangi nilai agunan.

3. Ketentuan mengenai kualitas aktiva, pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) dan restrukturisasi kredit merupakan ketentuan yang saling terkait sehingga dipandang perlu untuk menyatukan ketentuan tersebut dalam satu peraturan.

4. Bank dapat melakukan restrukturisasi kredit hanya kepada debitur yang memiliki prospek usaha yang masih luas dan kemampuan debitur yang memiliki itikad baik.

Dalam pelaksanaan pengelolaan kredit macet ini, maka perbankan secara langsung diwajibkan untuk membuka satu “Divisi Kredit Khusus” yang bertugas untuk memantau dan mengatasi permasalahan kredit macet. Program yang terkait untuk dikembangkan tersebut dapat berbentuk:92

1. Loan Rescheduling (penjadwalan kembali)

Yakni perubahan syarat kredit yang menyangkut masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak.

2. Loan Reconditioning (persyaratan kembali)

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran lainnya, sepanjang tidak menyangkut perubahan

92 Ibid.


(31)

maksimum saldo kredit dalam konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan modal.

3. Restructuring (penataan kembali)

Yakni perubahan syarat kredit berupa penambahan dana bank dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Langkah ini hanya sebagian dari alternatif terhadap penyelesaian kredit bermasalah sebelum masuk pada tahap selanjutnya, yakni melalui lembaga yang bersifat yudisial. Dengan salah satu proses tersebut di atas, setidaknya hal yang telah dicapai adalah:93

1. Melalui pemberian tambahan kredit baru atau kredit lama agar diaktifkan kembali.

2. Perubahan tingkat suku bunga dan/atau penangguhan pembayaran bunga. 3. Perpanjangan jangka waktu kredit.

4. Perubahan jadwal pembayaran dan/atau jumlah pembayaran angsuran kredit sesuai dengan perubahan jangka waktu.

5. Perubahan mengenai persyaratan jaminan kredit dan menambah barang jaminan jika memungkinkan.

6. Perubahan dalam manajemen pengelolaan usaha debitur. 7. Perubahan di bidang permodalan perusahaan debitur.

8. Pengembangan atau peninjauan kembali ke lapangan tempat usaha debitur.

93


(32)

Dengan pengaturan pengelolaan kredit bermasalah BUMN melalui mekanisme korporasi, maka hal itu memberikan kesamaan ‘level of playing field’ antara bank BUMN dan bank swasta. Hal ini sangat positif bagi peningkatan kinerja bank BUMN dalam menjaga tingkat kesehatan bank melalui pengelolaan NPL yang lebih fleksibel dan transparan.94

Implikasi dari pengelolaan NPL ini terhadap bank tentu saja akan membuat laporan kredit perbankan menjadi lebih bersih yang secara langsung akan menunjukkan kinerja finansial bank BUMN menjadi lebih baik. Hal ini tentu saja berkaitan dengan posisi NPL yang menurun sehingga biaya cadangan PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) akan sedikit. Dengan demikian, pendapatan perusahaan akan diperoleh lebih maksimal. Dengan semakin baiknya kinerja perusahaan (coorporate rating) terhadap sektor riil, tentu saja akan merangsang BUMN untuk lebih giat lagi dalam ekspansi kredit bagi sektor UMKM. Sedangkan kondisi BUMN yang baik ini bagi pemerintah secara langsung memberikan manfaat positif dalam hal penerimaan pajak dan deviden yang berpengaruh pada ketahanan dan fundamental ekonomi, fiskal dan moneter (fiscal and monetary stability).95

Pemerintah pada akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 sebagai acuan untuk penghapusan piutang negara/daerah. PP ini merupakan hasil revisi dari PP No. 14/2005. Dengan keluarnya PP No. 33/2006, perusahaan negara dapat melakukan penghapusan piutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni UU Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007, UU BUMN Nomor 19 tahun 2003 dan UU No. 17 Tahun 2003

94

Tulus Tambunan, Op.cit, hal. 230. 95


(33)

tentang Keuangan Negara beserta peraturan pelaksananya. Kehadiran Peraturan Pemerintah tersebut sebagai jawaban banker BUMN terkait penanganan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di lingkungan bank BUMN khususnya yang sampai dengan saat ini telah mencapai 42,48 triliun atau 70,4% dari total NPL bank umum. Dengan keluarnya PP ini, diharapkan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi bank BUMN dalam rangka mengoptimalisasi upaya penyelesaian kredit bermasalah. Dengan adanya level of playing yang sama dengan bank swasta dalam menyelesaikan NPL khususnya untuk hapus tagih NPL, hal tersebut menjadi kegamangan bagi bank BUMN dalam penyelesaian kredit bermasalah.

Secara umum, Pasal dalam PP No. 33/2006 terdiri atas dua pasal. Pasal 1 menyebutkan, ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam PP No. 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus. Inti dari Pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14/2005 adalah penghapusan piutang BUMN harus dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19/2003 tentang BUMN, dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT). Sebagai gantinya dalam pasal 2 ayat (1) huruf a PP No. 33/2006 disebutkan bahwa pengurusan piutang negara/daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di bidang PT dan BUMN beserta pelaksananya. Sementara itu, Pasal 2 ayat (1) huruf b pada intinya menegaskan piutang negara/daerah yang telah diserahkan ke Ditjen Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) yang sebelumnya, tetap mengacu pada PP 14/2005.


(34)

Sedangkan Pasal 2 ayat (2) berbunyi, PP No. 33/2006 mulai berlaku pada tanggal diundangkan yakni 6 Oktober 2006.96

Beberapa tindakan dalam hal optimalisasi penyelesaian kredit bermasalah yang dapat dilakukan oleh bank BUMN adalah:

Dengan perkembangan kondisi ini, maka semakin menguatkan alasan bahwa BUMN saat ini bukan badan publik. Hal ini dapat dijelaskan dimana dana dan status persero bank yang tunduk pada ketentuan UU PT Nomor 40 Tahun 2007. Asset pada BUMN bukan milik negara (keterpisahan kekayaan), dimana kekayaan negara/uang negara pada BUMN hanya terbatas pada modal yang telah dipisahkan dari APBN. Dengan demikian status asset/kekayaan bank BUMN sendiri merupakan hasil dari usaha kekayaan BUMN itu sendiri, sehingga BUMN memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pemiliknya/pendirinya. Hal tersebut merupakan esensi dari suatu badan hukum (legal entity).

97

1. Melalui pemberian insentif atau restrukturisasi kredit. 2. Penjualan asset kredit.

3. Eksekusi hak tanggungan. 4. Gugatan perdata di pengadilan.

5. Melalui mekanisme Undang–Undang Kepailitan. 6. Mengusahakan penyelesaian ke lawfirm.

Dikaitkan dengan kredit UMKM, maka sejauh ini hal yang paling efektif dan cepat dilaksanakan dalam mengatasi kredit bermasalah adalah dengan melakukan restrukturisasi atau dengan penjualan asset agunan kredit debitur.

96

Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

97


(35)

B. Lembaga Penjamin Kredit Sebagai Mitra Perbankan dan UMKM

Salah satu kendala yang dihadapi UMKM Indonesia untuk mendapatkan pinjaman modal dari perbankan adalah ketiadaan jaminan atau agunan. Lembaga Penjaminan Kredit bertujuan untuk mengatasi kendala jaminan UMKM. Lembaga penjaminan kredit di Indonesia pada dasarnya telah ada sejak lama. Penjamin kredit terutama bagi koperasi, antara lain Perum Sarana Pengembangan Usaha (Perum SPU) merupakan pengembangan dari Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) yang didirikan tahun 1971 serta PT. Penjamin Kredit Pengusaha Indonesia (PT. PKPI) mewakili perusahaan swasta yang didirikan tahun 1995-an.98

Di samping lembaga penjaminan tersebut di atas, beberapa daerah sudah memiliki Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD). Payung hukum lembaga penjaminan sebenarnya sangat kuat yaitu Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan. Pemerintah Daerah yang berinisiatif mendirikan LPKD di daerahnya masing-masing untuk membantu UMKM mengakses modal dari Bank. Pada kenyataannya, LPKD yang sudah didirikan belum berfungsi, alias mati suri. Pada saat ini paling sedikit ada delapan lembaga penjaminan kredit daerah. Lembaga tersebut adalah : Delapan LPKD nonaktif antara lain, PT LPKD Yogyakarta, PT Penjamin Kredit Tanpa Agunan Mandiri, Sriwijaya, PT Sarana Usaha Mandiri KUKM, NTB, PT Sarana Pengembangan Kutai Kartanegara,

98

Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Lembaga Penjaminan Kredit UMKM, tanggal 1 Oktober 2010.


(36)

Kaltim, PT Sarana Penjamin, Riau, Koperasi Penjamin Kredit, Jawa Barat (Jabar), PT Penjamin Kredit Sipatuo, Makassar, dan PT Sarana Penjamin Kredit, Denpasar. LPKD yang akan beroperasi pada Desember nanti, PT Jamkrida, Jawa Timur (Jatim).99

Seiring dengan kebijakan pemerintah yang tercantum dalam program pengembangan UMKM bagi ekonomi masyarakat kecil, maka dipandang perlu untuk membuat suatu mekanisme percepatan penyaluran kredit bagi pelaku bidang riil. Oleh karena itu, pada November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan lagi sebuah skema kredit baru bagi UMKM, yakni Kredit Usaha Rakyat (KUR). Skema kredit ini adalah kredit tanpa agunan dengan batas maksimum Rp. 500 juta/nasabah untuk usaha-usaha produktif, perindustrian, perdagangan dan juga koperasi, khusus untuk UMKM yang belum layak didanai oleh perbankan (karena tidak memiliki jaminan yang cukup).100

99

Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 112.

100

Hasan M.Fadhil, Pemihakan Pemerintah Dalam Mendukung Pembiayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), (Jakarta : Bappenas, 2008), hal. 236.

Dengan program ini, kebuntuan permasalahan permodalan yang selama ini dihadapi oleh pelaku UMKM setidaknya dapat terpecahkan. Pemerintah terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR) dapat membantu UMKM dalam meningkatkan usahanya dengan menambah modal sehingga dampak lanjutannya adalah semakin banyaknya tenaga kerja yang dapat diserap oleh UMKM untuk mengurangi angka pengangguran. Untuk menyukseskan program ini, pemerintah telah menunjuk dua lembaga penjamin, yaitu Lembaga Asosiasi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) sebagai lembaga resmi yang menjamin kredit mikro tersebut. Jaminan KUR sebesar 70% ditutup oleh dua


(37)

lembaga penjamin tersebut, sedangkan sisanya 30% oleh bank-bank pelaksana.101 Kedua lembaga tersebut didukung dengan dana Rp. 1,4 Trilyun oleh pemerintah untuk menjamin kredit UMKM melalui Program KUR (Kredit Usaha Rakyat). Giring rasio dari sejumlah dana yang diberikan pemerintah adalah sebesar Rp. 14 Trilyun, artinya lembaga penjaminan bisa menjamin pinjaman kredit UMKM melalui Progam KUR hingga Rp. 14 Trilyun.102

Perjanjian kerja sama ini menjadi tindak lanjut dari kesepakatan kerja sama antara Askrindo dan SPU dengan departemen serta enam bank nasional yang ditunjuk pemerintah yakni BRI, BNI, Bank mandiri, BTN, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Bukopin. Dengan perjanjian kerja sama ini, memungkinkan asuransi Askrindo dan SPU secara otomatis menjamin pemberian kredit atau pembiayaan yang dilakukan perseroan kepada pelaku usaha mikro dan kecil.

103

Dari segi persyaratannya, kredit bagi Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi dengan pola penjaminan (KUMKP) ini adalah kredit modal kerja dan/atau investasi dengan plafond kredit sampai dengan Rp. 500 juta yang diberikan kepada pelaku usaha kecil, mikro dan koperasi dengan usaha produktifnya dan mendapat penjaminan dari perusahaan penjamin yang proses pengajuannya lebih mudah dan cepat. Di samping itu, kendala selama ini yang menjadi hambatan bagi pelaku mikro dan kecil untuk memperoleh modal sudah dapat diatasi, karena

101

Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM (KPRSU), Loc.cit. 102

Ibid. 103


(38)

kewajiban menyerahkan agunan/jaminan tidak mutlak dibutuhkan, sehingga pelaku usaha kecil dapat memperoleh kredit tersebut.104

Dengan adanya penjaminan kredit UMKM tersebut maka:

Adapun mekanisme dalam penjaminan kredit menjadi kewajiban bank pelapor agar secara rutin setiap bulan melaporkan daftar nama debitur secara kolektif ke perusahaan penjamin. Pelaporan yang dibuat harus mencakup daftar nominatif data debitur secara keseluruhan termasuk fasilitas kredit yang diberikan. Sementara itu, biaya premi asuransi sebesar 1,5% dari total plafond kredit menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), debitur hanya dibebankan biaya administrasi sebesar 0,1%.

105

1. Pengajuan kredit usaha kecil yang sebelumnya tidak memenuhi persyaratan perbankan menjadi bankable, sehingga usaha kecil dapat mengembangkan usahanya.

2. Risiko bank menjadi berkurang, karena sebagian telah dialihkan menjadi risiko perusahaan penjamin.

3. Dengan terpenuhinya kecukupan agunan dan berkurangnya risiko, maka kemungkinan terjadinya penolakan proposal pinjaman menjadi lebih kecil. 4. Perusahaan penjamin juga melakukan kelayakan dan pengendalian atas

kredit yang dijamin. Dengan adanya pengendalian dari dua pihak yang berlainan diharapkan risiko dapat lebih diminimalkan.

104

Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi. Op.cit, hal. 55. 105

Untoro Perry Warjiyo, Default Risk dan Penjaminan KUKM, (Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan), Maret 2008.


(39)

5. Dengan berkurangnya risiko tersebut, maka seharusnya risk premium yang ditetapkan menjadi salah satu komponen dalam perhitungan landing rate dapat diturunkan sehingga landing rate menjadi lebih rendah.

6. Perusahaan penjamin akan mendapatkan pendapatan fee penjaminan. Apabila terjadi kemacetan atas kredit yang dijamin, maka:106

1. Sejak klaim dibayarkan, maka atas kredit tersebut tidak dikenai bunga. Hal ini akan meringankan beban nasabah.

2. Agunan dan/atau fix asset yang dimilikinya tidak perlu dilikuidasi, karena kewajiban nasabah yang dijamin akan dipenuhi oleh perusahaan penjamin sebesar porsi kredit yang dijamin. Hal ini memungkinkan usaha kecil tetap dapat dijalankan dan selanjutnya apabila usaha tersebut telah mengalami pemulihan, nasabah tersebut dapat melakukan pembayaran subrogasi.

3. Dengan adanya pembayaran klaim, maka bank akan lebih cepat mendapatkan likuiditas apabila dibandingkan dengan penjualan fix asset yang memerlukan prosedur dan waktu relatif lama.

C. Kebijakan Pemerintah dalam Mendukung Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Peraturan Menteri Negara KUKM Republik Indonesia Nomor : 02/Per/M.KUKM/I/2008 ditegaskan bahwa pemerintah bertugas:

106


(40)

1. Menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi.

2. Memberikan bimbingan dan kemudahan kepada koperasi.

3. Memberikan perlindungan kepada koperasi. Pembinaan koperasi dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional, serta pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.

Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan UMKM dan koperasi, maka kewajiban pemerintah adalah:

a. Memberikan kesempatan usaha seluas-luasnya kepada koperasi dan UMKM. b. Meningkatkan dan memantapkan kemampuan koperasi agar menjadi koperasi

yang berkualitas, tangguh dan mandiri.

c. Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara koperasi dengan badan usaha lainnya.

d. Membudayakan koperasi dalam masyarakat.

Dalam rangka pemberian perlindungan koperasi dan UMKM, pemerintah mengatur mekanisme untuk:107

1. Menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh koperasi dan UMKM.

2. Menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya.

107


(41)

Di samping itu, bagi pelaku UMKM, pemerintah membuat pengaturan tersendiri dalam kerangka memberikan klasifikasi sebagai koridor hukum yang jelas dalam upaya pemberdayaan sektor UMKM tersebut yang secara konkrit diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. Adapun tujuan dari pemberdayaan UMKM tersebut adalah:108

1. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan

2. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri

3. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan

Sebagai wadah kegiatan usaha bersama bagi produsen maupun konsumen, koperasi diharapkan berperan dalam meningkatkan posisi tawar dan efisiensi ekonomi rakyat, sekaligus turut memperbaiki kondisi persaingan usaha di pasar melalui dampak eksternalitas positif yang ditimbulkannya. Sementara itu, UMKM berperan dalam memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan peningkatan pendapatan serta meningkatkan daya saing dan daya tahan ekonomi nasional.

Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, pemberdayaan UMKM akan dilaksanakan dengan arah kebijakan sebagai berikut: 109

1. Mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) yang diarahkan untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,

108

Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. 109

M.Pramono, Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah dan Koperasi, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 11.


(42)

penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing; sedangkan pemberdayaan usaha skala mikro lebih diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan rendah.

2. Memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan berwawasan gender untuk:

1. Memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan; 2. Memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perizinan; 3. Memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang

menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi.

3. Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru berkeunggulan untuk mendorong pertumbuhan, peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja terutama dengan:

a. Meningkatkan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi penerapan teknologi.

b. Mengembangkan UMKM melalui pendekatan klaster di sektor agribisnis dan agroindustri disertai pemberian kemudahan dalam pengelolaan usaha, termasuk dengan cara meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi sebagai wadah organisasi kepentingan usaha bersama untuk memperoleh efisiensi kolektif.

c. Meningkatkan peran UMKM dalam proses industrialisasi, percepatan pengalihan teknologi dan peningkatan kualitas SDM.


(43)

d. Mengintegrasikan pengembangan usaha dalam konteks pengembangan regional, sesuai dengan karakteristik pengusaha dan potensi usaha unggulan di setiap daerah.

4. Meningkatkan peran UMKM sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar domestik yang semakin berdaya saing dengan produk impor, khususnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.

5. Membangun koperasi yang diarahkan dan difokuskan pada upaya-upaya untuk:

a. Membenahi dan memperkuat tatanan kelembagaan dan organisasi koperasi di tingkat makro maupun mikro guna menciptakan iklim dan lingkungan usaha yang kondusif bagi kemajuan koperasi serta kepastian hukum yang menjamin terlindunginya koperasi dan/atau anggotanya dari praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat.

b. Meningkatkan pemahaman, kepedulian dan dukungan pemangku kepentingan (stakeholders) kepada koperasi.


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan dari bab–bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta sekaligus merupakan jawaban daripada permasalahan yang dibuat, yaitu : 9. Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah diperuntukkan bagi pemilik

usaha/pengusaha dalam menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi yang berkeadilan, khususnya dalam peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja.

10.Dalam Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2008 terlihat bahwa penyaluran kredit pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di dalam perkembangannya saat ini, memperlihatkan kecenderungan kurang signifikan dalam memberikan kontribusi bagi pertumbuhan penyaluran kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

11.Pengaturan Pembiayaan terhadap Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut UU No. 20 Tahun 2008, dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam membantu pendanaan UMKM khususnya Usaha Mikro dan Usaha Kecil, dengan mengembangkan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, mengembangkan lembaga modal ventura, melakukan pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang, serta meningkatkan kerjasama Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional.


(45)

12.Perlindungan terhadap Usaha Kecil dan Menengah telah diatur pemerintah di dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang merupakan landasan utama dalam pembinaan dan pengembangan usaha kecil di Indonesia, namun Undang-Undang ini belum mampu membuka lebar terhadap kemapanan dan pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. 13.Kendala utama yang menjadi permasalahan dalam penyaluran kredit UMKM

selama ini, yaitu Pertama, kesulitan memenuhi persyaratan yang cukup rumit untuk mendapatkan kredit dari bank, misalnya tidak mempunyai agunan (yang berkaitan dengan kondisi keuangan dari pemilik usaha/pengusaha). Tingginya tingkat suku bunga juga menyebabkan keterbatasan penyediaan jaminan sehingga menyebabkan kredit macet/bermasalah bagi pengusaha yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Kedua, Walaupun sejak 10 tahun yang lalu Bank Indonesia mewajibkan perbankan menyalurkan kredit untuk UMKM, yakni kredit dengan batas maksimum di bawah Rp 5 milyar, minimum 20% dari total kredit, dalam kenyataannya porsi 20% itu tidak selalu tercapai setiap tahun, walaupun jumlah kredit yang tersalurkan ke UMKM cenderung meningkat terus.

14.Dalam pelaksanaan penyelesaian kredit bermasalah (Non Performance Loan) untuk kriteria usaha menengah di bank BUMN saat ini yang paling ideal dilakukan adalah dengan pola restrukturisasi melalui metode keringanan bunga. Beberapa metode yang juga kerap digunakan dalam restrukturisasi NPL adalah rescheduling (penjadwalan kembali) dan reconditioning (persyaratan kembali). Tujuan dari restrukturisasi kredit tersebut adalah agar debitur dapat memenuhi kewajibannya kepada bank, sehingga diharapkan


(46)

posisi dan kepentingan bank lebih baik dan aman sehingga usaha debitur dapat lancar kembali dan mampu memperbaiki struktur permodalan debitur itu sendiri.

15.Untuk menghindari kredit macet/bermasalah bagi pemilik usaha/pengusaha yang kesulitan dalam menyediakan jaminan, diupayakan agar melaksanakan program dari pemerintah, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit tanpa agunan dengan batas maksimum Rp 500 juta/nasabah untuk usaha-usaha produktif, perindustrian, perdagangan dan juga koperasi, khusus untuk UMKM yang belum layak didanai oleh perbankan (karena tidak memiliki jaminan yang cukup).

16.Dalam hal apabila telah terjadi kredit macet/bermasalah, maka dalam hal pelaksanaan penyelesaiannya, pemerintah wajib memberikan kemudahan kepada para pemilik usaha/pengusaha untuk mendapatkan bantuan kredit terhadap pembiayaan yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank.

17.Peran usaha kecil dalam menyerap tenaga kerja relatif besar, sehingga pengembangan usaha merupakan langkah strategis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi rakyat. Alasan UMKM belum memanfaatkan kredit bank sebagian besar adalah faktor kebijakan dan persyaratan perbankan.

18.Untuk membangun UMKM di Indonesia pemerintah harus serius dan profesional dengan tetap konsisten pada kebijakan yang dibuat sebagai pedoman bagi perbankan dalam upaya pemberdayaan UMKM. Pengelolaan UMKM hendaknya tidak berdasarkan trend atau adanya unsur politik semata.


(47)

Program ini harus terus dilakukan secara berkesinambungan (sustainable development to UMKM) terpola dan terarah membangun UMKM yang tujuannya agar tercipta satu model UMKM yang bankable.

B. Saran

Berdasarkan uraian serta penjelasan dari bab – bab sebelumnya, maka penulis dapat memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan pokok pembahasan, yaitu :

1. Perlu disederhanakan persyaratan–persyaratan permohonan kredit dan diupayakan untuk mempercepat waktu realisasi pencairan kredit sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah yang merupakan bagian terbesar dari dunia usaha yang ada di Indonesia. 2. Bank Indonesia mewajibkan perbankan menyalurkan kredit untuk UMKM,

yakni kredit dengan batas maksimum di bawah Rp 5 milyar, minimum 20% dari total kredit. Oleh karena itu, hendaknya perbankan dapat melaksanakan ketentuan tersebut sebagai wujud pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

3. Pembinaan dari pihak bank dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang telah dikembangkan, diharapkan dapat menghasilkan sinergi positif antara kebijakan pembinaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan perbankan sehingga terdapat hubungan saling menguntungkan bagi keberhasilan pembinaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.


(48)

4. Dengan adanya metode keringanan bunga yang digunakan dalam restrukturisasi NPL, diharapkan dapat menurunkan kendala-kendala dalam pemberdayaan Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

5. Program pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan dapat terwujud melalui peran serta bank terhadap perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah agar dapat meningkatkan usahanya dengan menambah modal sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja untuk mengurangi angka pengangguran.


(49)

BAB II

PENGATURAN PEMBIAYAAN TERHADAP KREDIT USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2008

TENTANG UMKM

A. Pengertian Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Dalam rangka era globalisasi dewasa ini yang diikuti dengan percepatan arus teknologi dan informasi terutama di bidang ekonomi seperti dewasa ini. Kesanggupan masyarakat akan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa, dilakukan dengan perjanjian akan membayarnya kelak28

Elemen dari kredit adalah adanya dua pihak dalam kesepakatan pinjam-meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan dan jangka waktu tertentu. Kredit dalam pengertian lain dapat berarti percaya atau kepercayaan. Tetapi dalam hukum kredit berlaku ketentuan bahwa untuk bisa percaya, kepadanya dapat diberikan kredit. Oleh karena itu, terlebih dahulu calon debitur harus dicurigai. Hal ini sangat beralasan, sebab kata kredit itu berasal dari bahasa Latin “Creditus” yang merupakan bentuk past participle dari kata credere, yang berarti to trust. Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan. Sesungguhnya kata kredit sudah berkembang luas terutama dalam kehidupan sehari–hari, akan tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, dalam setiap kata kredit tetap mengandung unsur “kepercayaan”, walaupun sebenarnya kredit itu tidak hanya sekedar kepercayaan.

.

29

28

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 5.

29


(50)

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi uangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.30

Dari pengertian kredit sebagaimana yang telah disebutkan di atas dapat dilihat bahwa dalam suatu perjanjian kredit terdapat beberapa unsur pemberian kredit yaitu:31

1. Adanya sejumlah uang ataupun yang dapat dipersamakan nilainya dengan uang.

2. Berdasarkan kesepakatan dua atau lebih sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian.32

3. Adanya unsur pemenuhan prestasi yang harus dipenuhi baik oleh pihak debitur maupun pihak kreditur. Prestasi yang dimaksud dalam Pasal 1234 KUH Perdata meliputi:

a.Untuk memberikan sesuatu. b.Untuk berbuat sesuatu. c.Tidak berbuat sesuatu.

4. Adanya unsur jangka waktu tertentu antara pemberian kredit dengan pengembalian kredit.

5. Adanya unsur risiko dalam pemberian kredit.

6. Adanya balas jasa berupa bunga maupun imbalan dalam bentuk lainnya bagi kreditur

30

Pasal 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. 31

Ibid. 32


(51)

Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit didasarkan atas kepercayaan. Melihat sifatnya yang demikian, maka pemberian suatu kredit kepada debitur dilakukan dalam suatu perjanjian.

Fasilitas kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah diatur dan memiliki ketentuan serta prosedur yang berbeda, yang secara mudah dapat dilihat dari nama skim fasilitas kredit yang akan diberikan. Oleh karena itu, sekalipun fasilitas kredit diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah, tetapi prosedur dan tata cara pemberiannya berbeda antara kebijakan yang satu dengan yang lain.33

Beberapa alternatif dan pendekatan pengelompokan yang digunakan oleh sebuah lembaga belum tentu berlaku universal dan kriteria yang digunakan oleh lembaga yang sama dapat berubah sesuai dengan perkembangan bisnis dan berjalannya waktu. Salah satu pendekatan umum yang banyak digunakan secara internasional, antara lain:

Kredit yang diberikan oleh Bank Pemerintah atau Bank Swasta kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan dan/atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup berupa barang dan jasa. Biasanya masing–masing pemerintah memiliki defenisi dan kriteria untuk mengelompokkan bisnis dengan tujuan pembangunan sesuai dengan program – program pemerintah untuk menggerakkan sektor riil. Defenisi dan kriteria dari pemerintah belum tentu sesuai dengan kebutuhan bank dan pihak lainnya, tetapi dapat digunakan sebagai acuan dalam menyiapkan produk dan jasa layanan perbankan kepada masing–masing kelompok bisnis tersebut.

34

33

Tulus Tambunan, Op.cit, hal. 230. 34


(52)

1. Bisnis Makro

Umumnya bisnis informal dan tidak memiliki status legal yang formal, dilakukan oleh dari orang kelompok miskin, khususnya wanita yang tidak memiliki perencanaan bisnis yang formal, line bisnis tetap, pertumbuhan tidak cepat, catatan keuangan jarang dilakukan bahkan biasanya dilakukan oleh orang yang buta huruf.

2. Bisnis Kecil

Umumnya terdaftar dan dijalankan oleh keluarga atau kelompok, pemilik dan pengelola dilakukan oleh orang yang sama, biasanya belum memiliki catatan keuangan dan catatan bisnis yang akurat dan belum memiliki auditor, dalam beberapa hal telah memiliki legalitas formal.

3. Bisnis Menengah

Umumnya skala bisnis cukup besar telah memiliki struktur organisasi dan delegasi wewenang dalam pengambilan keputusan, catatan keuangan sudah tertib, transparan dan akurat, telah menggunakan auditor independen, memiliki direktur keuangan yang bertanggung jawab dalam kebijakan pembiayaan perusahaan.

Salah satu acuan yang menjadi rujukan perbankan di Indonesia antara lain kesepakatan bersama Menko Kesra selaku Ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan dengan Gubernur Bank Indonesia tentang Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang tertuang dalam Surat Keputusan No.11/KEP/MENKO/KESRA/IV/2002 dan No. 4/2/KEP.GBI/2002 tanggal 22 April 2002 yang mendefinisikan UMKM sebagai berikut :


(53)

Kredit Usaha Mikro adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha mikro, baik langsung maupun tidak langsung yang dijalankan oleh penduduk miskin atau mendekati miskin, dengan kriteria penduduk miskin sesuai Badan Pusat Statistik, dengan plafond kredit maksimal Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

2. Kredit Usaha Kecil

Kredit Usaha Kecil adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Di luar tanah dan bangunan tempat usaha atau yang memiliki hasil penjualan maksimal Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) per tahun dengan plafond kredit maksimal sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

3. Kredit Usaha Menengah

Kredit Usaha Menengah adalah kredit yang diberikan kepada pengusaha di luar usaha mikro, dan usaha kecil atau kepada pengusaha yang kriterianya akan ditetapkan kemudian, dengan plafond di atas Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).

Bagi perbankan ada variabel fundamental yang penting untuk diperhatikan dalam penggolongan UMKM yang memiliki relevansi dengan filosofi pemberian kredit, yaitu:35

1. Omset Penjualan

Kriteria tersebut sangat penting karena dari variabel omset dapat dihitung kemampuan usaha menghasilkan laba yang menjadi dasar untuk menentukan

35


(54)

kemampuan usaha debitur yang menyerap dana kredit dan membayar kembali kredit.

2. Kekayaan Bersih dan jumlah tenaga kerja yang dipakai, sangat penting digunakan untuk menentukan kapasitas usaha / proyek dan kebutuhan jumlah kredit.

Dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995, tentang Usaha Kecil dan Menengah, disebutkan bahwa secara rinci kriteria dan karakteristik usaha kecil adalah sebagai berikut:

1. Usaha produktif milik warga Negara Indonesia, yang berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi.

2. Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau besar.

3. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta per tahun.

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan (Kemenkeu) Nomor 571/KMK/03/2003 definisi pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah). Usaha Menengah menurut Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 1999, tentang Pemberdayaan Usaha Menengah didefinisikan sebagai berikut:


(55)

1. Usaha produktif milik warga Negara Indonesia yang berbentuk badan usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi.

2. Berdiri sendiri, dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan usaha besar.

3. Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp. 200 juta, sampai dengan Rp. 10 milyar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta per tahun.

Sementara itu, sebagaimana telah diubah dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM menyebutkan secara terperinci mengenai kriteria UMKM, yakni:

(1) Kriteria usaha Mikro adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau


(56)

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah). 36

(3) Kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah).

(4) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan ayat (2) huruf a, b serta ayat (3) huruf a, b nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.

36


(57)

Tabel 1. Kriteria UMKM

Kriteria UMKM Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah Kekayaan Bersih

(tidak termasuk tanah & bangunan)

Paling banyak Rp. 50 juta

Lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan paling banyak Rp. 500 juta

Lebih dari Rp. 500 juta sampai dengan paling banyak Rp. 10 Milyar Hasil Penjualan Tahunan (Omset/tahun) Paling banyak Rp.300 juta Lebih dari Rp.300 juta sampai dengan paling banyak Rp. 2,5 Milyar

Lebih dari Rp. 2,5 Milyar sampai dengan paling banyak Rp. 50 Milyar

Sumber :

Menurut Undang – Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang dimaksud dengan kekayaan bersih adalah nilai jual dari kekayaan usaha yang dimiliki (asset) setelah dikurangi kewajibannya seperti hutang-hutang. Yang dimaksud dengan penjualan tahunan adalah hasil penjualan bersih yang berasal dari penjualan barang dan jasa usahanya dalam satu tahun. Yang dimaksud dengan milik warga negara Indonesia adalah usaha yang sepenuhnya milik warga negara Indonesia.

Kriteria tersebut perlu diketahui oleh para pelaku UMKM agar dapat menyesuaikan usahanya dengan kriteria sesuai UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terutama dalam berhubungan dengan pihak lain (lembaga keuangan bank/non bank dan rekan bisnis) termasuk pula untuk


(58)

penyesuaian dokumen legal (surat-surat ijin). Kriteria di atas sudah jauh berubah apabila dibandingkan dengan kriteria sebelumnya. Tentunya semua dilakukan untuk kemajuan usaha para pelaku usaha UMKM.

Kegiatan ekonomi rakyat yang merupakan bagian integral dunia Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mempunyai kedudukan, potensi dan peran strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang dan pemerataan pembangunan berdasarkan demokrasi ekonomi. Sektor usaha mikro, kecil dan menengah menjadi fokus pemerintah untuk lebih diberdayakan dan dikembangkan secara optimal karena dipandang bahwa sektor ini mampu bertahan daripada pengusaha besar pada saat krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997. Di samping itu, sektor ini mampu menyerap tenaga kerja karena lebih cenderung padat karya. Penelitian menyebutkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebesar 1% berarti telah mengurangi jumlah pengangguan sebesar 400.000 orang.37

a. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang dan berkeadilan.

Hal ini sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh pemerintah dalam UU No. 20 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa tujuan pemberdayaan Usaha Kecil antara lain:

b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha mikro, kecil dan menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.

c. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

37

Soetanto Hadinoto, Cara Efektif Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia, (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2006), hal. 272.


(59)

Keadaan ini memihak pada konsep demokrasi ekonomi kerakyatan yang sejalan dengan trilogi pembangunan nasional yang mengutamakan aspek pemerataan. Perlindungan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mempunyai nilai yang strategis yang dapat dilihat dari beberapa manfaatnya yaitu:38

1. Menciptakan dan menyediakan pekerjaan melalui usaha padat tenaga kerja (labour intensive).

Adanya investasi dalam bentuk industri akan semakin memperbesar jumlah penyerapan tenaga kerja. Teori klasik menyebutkan bahwa tenaga kerja dapat digunakan secara penuh melalui mekanisme pasar tenaga kerja. Dengan demikian, jika terjadi pengangguran berarti penawaran tenaga kerja akan lebih besar daripada permintaan tenaga kerja sehingga tingkat upah akan diturunkan karena banyaknya tenaga kerja yang mau bekerja. Dengan demikian, biaya produksi akan menurun sehingga dapat diperoleh keuntungan yang dapat digunakan untuk memperluas kegiatan ekonomi serta menampung tenaga kerja yang menganggur.

Dikaitkan dengan tenaga kerja tersebut, menurut Keynes, pengangguran dapat diatasi dengan dua cara pendekatan yakni dengan memperluas penyerapan tenaga kerja atau menurunkan jumlah angkatan kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan penanaman modal/investasi dengan menambah kegiatan ekonomi baru melalui bantuan pinjaman modal kredit dari bank ataupun non bank.39

2. Sebagai alat distribusi pendapatan melalui kesempatan berusaha.

3. Mencegah urbanisasi melalui penyediaan lapangan kerja di pedesaan dan menimbulkan persoalan baru di perkotaan.

38

Nurul Widyaningrum, Pola-Pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil, (Bandung : Yayasan Akatiga, 2003), hal. 50.

39


(60)

4. Mengoreksi kelemahan yang terdapat pada pendekatan pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan.

Perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah telah diatur pemerintah dengan lahirnya UU No. 20 tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Undang-Undang ini merupakan landasan utama dalam pembinaan dan pengembangan usaha kecil di Indonesia, namun undang-undang ini belum mampu membuka lebar terhadap kemapanan dan pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Sampai saat ini perhatian terhadap pertumbuhan UMKM masih dilayani belum maksimal. Panjangnya birokrasi dan sulitnya akses perbankan menjadi kendala besar bagi UMKM dalam hal permodalan, padahal UMKM salah satu sektor usaha yang terbukti menyerap tenaga kerja bersifat padat karya.

Dalam Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM dinyatakan bahwa pemberdayaan usaha kecil diselenggarakan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Hal ini berarti usaha kecil merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, swasta dan masyarakat. Dari segi pendanaan, pemerintah telah menetapkan peraturan perundangan-undangan dan kebijakan untuk:

1. memperluas sumber pendanaan;

2. meningkatkan akses pada sumber pendanaan; 3. memberikan kemudahan dalam pendanaan.

Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 disebutkan bahwa pembinaan usaha mikro, kecil dan menengah dapat dilakukan dengan sumber dana bagian dari laba keuntungan yang diperoleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada dasarnya kewirausahaan pelaku UMKM jika diatur


(1)

1. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.M.Hum sebagai Pembantu Dekan I yang telah membantu para mahasiswa memenuhi segala kebutuhan akademik dan administrasi.

2. Bapak Syafruddin Hasibuan,SH.M.Hum,Dfm sebagai Pembantu Dekan II yang telah membantu mahasiswa dalam pembayaran SPP dan sumbangan – sumbangan kegiatan kampus.

3. Bapak Muhammad Husni,SH.M.Hum sebagai Pembantu Dekan III yang telah banyak membantu mahasiswa di bidang kemahasiswaan.

4. Bapak Prof.Dr.Bismar Nasution,SH.MH sebagai Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing, mengkritisi, memberikan saran – saran dan mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Prof.Dr.Sunarmi,SH.M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah

menyetujui judul, outline skripsi, membimbing, mengkritisi dan memberikan saran – saran yang konstruktif serta mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr.Pendastaren Tarigan,SH.MS sebagai dosen wali penulis yang selama tujuh semester telah membimbing dan memotivasi penulis untuk meraih hasil maksimal di setiap semester.

7. Para Staf Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama tujuh semester.

8. Kepada Bapak/Ibu, abang/kakak, Pegawai, Staff, Jajaran Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selama ini membantu penulis dalam hal administrasi.


(2)

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam–dalamnya kepada :

1. Terisitimewa kepada Orangtua Penulis yang tercinta : Bapak Tumbur Lumban Tobing,SH dan Mama Anthea Hutauruk,S.Sos yang telah berjerih payah membesarkan, memberikan kasih sayang dan mendidik penulis serta dukungan baik moril maupun materil, bahkan doa yang tidak pernah putus yang tidak bisa tergantikan dengan apapun. ( makasi ya pak...mak...). dan kepada Opung Doli T.M Hutauruk dan Nenek T.I Lumban Tobing yang senantiasa mendoakan dan mendukung penulis.

2. Kepada saudara kandung penulis : Olga Clara Patricia Tobing dan Evan Ewaldo Tobing yang telah menyayangi dan memberikan dukungan, serta doa kepada penulis.

3. Terkhusus kepada orang yang terkasih Yosef Warmanto Panggabean,SH yang telah membimbing penulis dari awal, yang memberikan semangat, dukungan, kepercayaan serta doa kepada penulis agar bisa menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar–besarnya. (akhirnya opi bisa selesai ya bang... )

4. Buat teman – teman penulis selama kuliah : Melisa Ifityanti Ginting, Juita Osti Tobing, Rialita Siregar, Yulia Andriani, Nilam Napitupulu yang selalu sama-sama semasa kuliah, walaupun kadang banyak kendala semasa kita kuliah, baik itu yang berhubungan dengan kuliah atau pribadi, tapi kita bisa mengatasinya dan juga buat teman–teman stambuk 2007 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis mengucapkan terima kasih.


(3)

5. Buat my Besties : Dinarta Elsa Tambunan, Maria Grace Tobing dan Sarah Siregar, terima kasih karena sudah menjadi teman dan sahabat yang bisa mendengar keluh kesah penulis. (kalian cepat nyusul juga ya nang..)

6. Buat saudara penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Medan, November 2010 Hormat Saya,


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI...i

KATA PENGANTAR ... .ii

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR TABEL...viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Tinjauan Kepustakaan ... 8

G. Metode Penelitian ... 17

H. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II Pengaturan Pembiayaan Terhadap Kredit Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah Menurut UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM... 20

A. Pengertian mengenai Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ... 20

B. Tujuan dan fungsi Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ... 36

C. Pembiayaan dalam Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ... 43

D. Prosedur pemberian Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ... 46


(5)

BAB III Kendala-Kendala Dalam Pemberdayaan Kredit Usaha

Mikro, Kecil Dan Menengah ... 50

A. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Pada Sektor UMKM ... 50

B. Kendala-Kendala Dalam Pemberdayaan Kredit Usaha Kecil dan Menengah ... 54

BAB IV Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Bermasalah Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah ... 59

A. Ruang Lingkup Penyelesaian Kredit Bermasalah ... 59

B. Lembaga Penjamin Kredit Sebagai Mitra Perbankan Dan UMKM ... 79

C. Kebijakan Pemerintah dalam mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah... 83

BAB V Kesimpulan Dan Saran ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 91


(6)

DAFTAR TABEL

TABEL 1...28


Dokumen yang terkait

Analisis Implementasi Prosedur Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada Bank Syariah (Studi Kasus Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Tanjung Balai)

3 52 95

Penerapan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pada Cv. Karya Makmur Perkasa Kota Binjai

1 55 90

HARMONISASI UNDANG-UNDANG PERBANKAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH UNTUK MEMPEROLEH KEMUDAHAN MODAL USAHA BAGI PELAKU USAHA MIKRO.

0 0 1

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN.

0 0 17

Penerapan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pada Cv. Karya Makmur Perkasa Kota Binjai

0 0 9

Penerapan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pada Cv. Karya Makmur Perkasa Kota Binjai

0 0 1

Penerapan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pada Cv. Karya Makmur Perkasa Kota Binjai

0 0 17

Penerapan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pada Cv. Karya Makmur Perkasa Kota Binjai

0 1 21

Penerapan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pada Cv. Karya Makmur Perkasa Kota Binjai

0 0 3

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

0 0 44