Perlindungan Konsumen Atas Pembelian Produk Elektronik Berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS PEMBELIAN
PRODUK ELEKTRONIK BERLABEL SNI BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
1.

Pengertian Konsumen dan Instrument Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen.
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UUPK, “Konsumen adalah setiap

orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan
tidak untuk diperdagangkan.” 23
Dalam buku AZ. Nasution yang berjudul Aspek-aspek Hukum Masalah
Perlindungan Konsumen istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata
consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara
harafiah arti kata dari consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang
yang menggunakan barang.” Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti
menentukan termasuk kelompok konsumen mana pengguna tersebut. 24
Pembagian batasan mengenai konsumen dibedakan oleh AZ. Nasution

yakni menjadi :
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang
digunakan untuk tujuan tertentu.
23

Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab I, Pasal 1 angka 2.
24
A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa
untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk
diperdagangkan (tujuan komersial).
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (non komersial). 25
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut bahwa

konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam
kepustakaan ekonomi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen
karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri,
keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya. 26
Pada hakekatnya terdapat 2 (dua) instrumen hukum penting yang menjadi
landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni :
a. Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional
diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga
mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang
dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

25
26

Ibid. hal 11-14.
Janus Sidabalok, Op.Cit, hal. 18.


Universitas Sumatera Utara

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberi harapan bagi masyarakat
Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas
suatu transaksi barang dan jasa. UUPK ini menjamin adanya kepastian hukum
bagi konsumen.
Instrumen lainnya seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
Nomor 1/POJK.07/2013, Bab II, juga memuat ketentuan perlindungan konsumen
di sektor jasa keuangan, dimana pelaku usaha jasa keuangan diwajibkan
memberikan informasi yang jelas serta pemahaman kepada konsumen mengenai
hak dan kewajiban konsumen.
Ada 5 (lima) asas di dalam UUPK yang mendukung instrumen
perlindungan hukum bagi konsumen seperti yang dimuat didalam Pasal 2 UUPK,
yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum. 27
a. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku
usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi

disbanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
b. Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4-7 UUPK yang mengatur mengenai
hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini
27

Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab II, Pasal 2.

Universitas Sumatera Utara

konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan
kewajibannya secara seimbang.
c. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha
serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih
dilindungi.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
Negara menjamin kepastian hukum. 28

2.

Hak dan Kewajiban konsumen
Seiring dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap

kepentingan konsumen, maka mulailah dipikirkan kepentingan-kepentingan apa
dari konsumen yang perlu mendapat perlindungan. Kepentingan-kepentingan itu
dapat dirumuskan dalam bentuk hak. Dalam pengertian hukum, umumnya yang
dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum,
sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi.
28

http://www.jurnalhukum.com/hukum-perlindungan-konsumen-di-indonesia/, (diakses
pada tanggal 23 Mei 2016).


Universitas Sumatera Utara

Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan
dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. 29
Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang
mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu : 30
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;

29

Sukdikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
1986), hal.40.
30
Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab III, Pasal 4.

Universitas Sumatera Utara

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK lebih
luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan

oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15
Maret 1962, yaitu terdiri atas: 31
a. Hak memperoleh keamanan;
b. Hak memilih;
c. Hak mendapat informasi;
d. Hak untuk didengar.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing
pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia
(International Organization of Consumer Union- IOCU) ditambahkan empat hak
dasar konsumen lainnya, yaitu: 32
a. Hak untuk memeperoleh kebutuhan hidup;
b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
c. Hak untuk memeperoleh pendidikan konsumen;
d. Hak untuk memeperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

31

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hal.38.

32
C. Tantri D. dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen,
(Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, 1995), hal. 22-24.

Universitas Sumatera Utara

Disanping itu, masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap
atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: 33
a. Hak pelindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn
gezendheid en veiligheid);
b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn
economische belangen).
Sementara itu, konsumen juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi
yang dimuat di dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 yakni : 34
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan /atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

3.

Sengketa Konsumen dan Penyelesaiannya
Menurut A.Z Nasution, seorang ahli hukum perlindungan konsumen

menyatakan pengertian dari sengketa konsumen adalah sengketa yang timbul
antara pelaku usaha dan konsumen yang berawal dari transaksi konsumen. 35

33

Meriam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 61.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab III, Pasal 5.
35
A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 221.
34

Universitas Sumatera Utara


Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat
Keputusan Nomor 350/MPP/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud
dengan sengketa konsumen adalah “Sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau
memanfaatkan jasa”. Sengketa konsumen menurut Pasal 23 Undang-Undang No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimulai pada saat konsumen
menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau peradilan
umum ditempat kedudukan konsumen. BPSK menangani penyelesaian sengketa
konsumen antara pelaku usaha dan konsumen dengan cara Konsiliasi atau
Mediasi, atau Arbitrase atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
Peradilan Umum. 36
Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, serta larangan
sebagaimana diatur di dalam UUPK dapat melahirkan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen. Sengketa itu dapat berupa salah satu pihak tidak
mendapatkan atau menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak
lawan tidak memenuhi kewajibannya. Misalnya, pembeli tidak memperoleh
barang yang sesuai dengan pesanannya, atau pembeli tidak mendapat pelayanan
sebagaimana telah disepakati, atau penjual tidak mendapatkan pembayaran sesuai

36

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

dengan haknya. Sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen berawal
dari transaksi konsumen disebut sengketa konsumen. 37
Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu : 38
a. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur di
dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undangundang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan
yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini
dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum.
b. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti baik
pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan
kontrak atau perjanjian yang dibuat di antara mereka. Sengketa seperti ini dapat
disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.
Pasal 46 ayat 1 UUPK, disebutkan bahwa yang dapat melakukan gugatan
atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah konsumen
perseorangan, sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan Pemerintah. Permasalahan yang sering
ditemui di masyarakat ialah adanya pelaksanaan perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha seperti pada Pasal 8 ayat 1 huruf (a), para pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan /atau jasa yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 39 Banyak produk yang beredar di masyarakat

37

Janus Sidabalok, Op.Cit.. hal. 143.
Ibid, hal 143.
39
Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab IV, Pasal 8 ayat 1 huruf (a).
38

Universitas Sumatera Utara

yang mencantumkan label SNI tetapi sebenarnya tidak memenuhi standar
kesesuaian, yang mengakibatkan kerugian dan dampak negatif yang dirasakan
oleh konsumen secara langsung. Hal ini yang membuat konsumen banyak
mengajukan tuntutan terhadap produsen sebagai bentuk pemenuhan atas hak-hak
yang dimiliki oleh konsumen.
Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus
diselesaikan sehingga tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan konsumen,
dimana masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya. Penyelesaian
sengketa secara hukum ini bertujuan untuk memberi penyelesaian yang dapat
menjamin terpenuhinya hak-hak kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan
begitu, rasa keadilan dapat ditegakkan dan hukum dijalankan sebagaimana
mestinya. 40
UUPK memberi dua macam ruang untuk penyelesaian sengketa
konsumen, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan
penyelesaian konsumen di luar pengadilan (non-litigasi).
Pasal 45 ayat (1):
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum.
Sebenarnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan baru diketahui melalui Pasal
47, sedangkan Pasal 45 justru menyebut lembaga khusus sebagai penyelesaian di
luar pengadilan.
40

Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 144.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 47:
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh
konsumen.
Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 UUPK tersebut, penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:
1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika.
Menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) UUPK, konsumen yang merasa
dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada
produsen, dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian
dalam jangka waktu tujuh hari setelah transaksi berlangsung.
2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK).
Jika pelaku usaha tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut
atau diantara mereka tidak ada penyelesaian, pembeli dapat mengajukan
kasus tersebut ke BPSK atau ke pengadilan. Menurut Pasal 23 UUPK
penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ini dapat ditempuh, yaitu
jika penyelesaian secara damai diluar proses pengadilan tidak berhasil,
baik karena produsen menolak atau tidak memberi tanggapan maupun jika
tidak tercapai kesepakatan. 41

41

Ibid hal. 146-148.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian, terbuka tiga cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen,
yaitu:
1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan;
2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika; dan
3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK).
Satu dari ketiga cara itu dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa,
dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib
ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua
cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian dengan cara
kesepakatan gagal. Kalau sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat
lagi, maka ditempuh penyelesaian melalui BPSK dan sebaliknya. 42

4.

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan

perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk
memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena
penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai
hukum publik, yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen
dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian,

42

Ibid, hal. 144

Universitas Sumatera Utara

hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban produsen, serta caracara mempertahankan hak dan menjalankan kewajibannya itu. 43
Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah
mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan
hukum perlindungan konsumen. Oleh A.Z. Nasution dijelaskan bahwa kedua
istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari
hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah keseluruhan asasasas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di
dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan
sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia
barang dan/atau jasa kosumen. 44
Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di
dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk di
dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun
hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta
cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu
bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen,
meliputi: informasi, memilih, harga, sampai pada akibat-akibat yang timbul
karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian
kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan
43
44

Ibid, hal. 45.
A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari
pemakaian produk itu.
Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie,
Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mengelompokkan normanorma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: 45
a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
Pada Pasal 8 UUPK terdapat substansi yang memuat larangan
memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut. Larangan-larangan ini bertujuan untuk
mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat
merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai
dengan informasi pelaku usaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain
sebagainya. 46
b. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.
Pada Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan/atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
45

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 26.
46
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 65.

Universitas Sumatera Utara

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha,
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen ;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4
(empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e UUPK. Pasal ini
menentukan pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari
tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan. Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan,
karena sama sekali menutup kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas

Universitas Sumatera Utara

dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku
seperti itu. 47
Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok
mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut : 48
a. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa
sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut
UUD 1945;
b. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak
negatif penggunaan teknologi;
c. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang
sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang
berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;
d. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan
yang bersumber dari masyarakat konsumen.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, diharapkan akan dapat memberikan pengaruh positif
terhadap pelaku usaha dan konsumen sekaligus. Bahwa sebenarnya perlindungan
konsumen tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan konsumen, tetapi juga bagi
kepentingan pelaku usaha. Dalam pengaturan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, paling tidak melibatkan 4 (empat) pihak, yaitu : konsumen yang baik,
pelaku usaha yang baik, konsumen yang nakal, dan pelaku usaha yang nakal. Hal

47
48

Ibid, hal. 108.
Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

tersebut dapat dipahami karena konsumen dan pelaku usaha bukanlah lawan,
melainkan pasangan yang saling membutuhkan.
Masa depan dari pelaku usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi
dari konsumennya. Jika konsumennya dalam kondisi sehat dan perekonomiannya
semakin baik, maka pelaku usaha juga memiliki masa depan yang baik, demikian
juga akan berlaku sebaliknya. Dalam hal pelaku usaha berbuat curang, maka yang
dirugikan tidak hanya pihak konsumen, tetapi juga merugikan pelaku usaha yang
baik. Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak hanya akan
merugikan pelaku usaha, tetapi juga merugikan konsumen yang baik. 49
Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala
upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai
wujud

perlindungan

kepada

konsumen,

maka

dapat

dikatakan

hukum

perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk
menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. 50

B. Standar Nasional Indonesia
1.

Pengertian dan Dasar Hukum Standar Nasional Indonesia (SNI)
Penggunaan teknologi yang baik, di satu sisi memungkinkan produsen

mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan, maupun
kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas,
lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat. Akan tetapi,
di sisi lain penggunaan teknologi memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak
49

Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan
Konsumen, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 87.
50
Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 47.

Universitas Sumatera Utara

sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga
menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau
berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam
berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman untuk dipakai.
Usaha inilah yang disebut dengan standardisasi. Menurut Gandi, standardisasi
adalah proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara
teratur untuk kemanfaatan dan dengan kerjasama dari semua pihak yang
berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan penghematan menyeluruh secara
optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan.
Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman. 51
Standar Nasional Indonesia atau sering kali dikenal dengan singkatan SNI
bukan istilah yang asing. SNI adalah standar yang ditetapkan oleh Badan
Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. 52 Dalam melaksanakan
tugasnya Badan Standardisasi Nasional berpedoman pada Peraturan Pemerintah
No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Badan ini menetapkan SNI
yang digunakan sebagai dasar hukum dan standar teknis di Indonesia. Produk
yang sudah memenuhi standar diberikan sertifikasi produk (Certification
Marking) yang dibuat dengan tanda Standar Industri Indonesia (SII) atau SNI,
yang dapat ditempatkan pada produk, kemasannya, atau dokumennya. Tanda ini
dibubuhkan oleh produsen pada barang produknya setelah mendapat izin dari

51

Gandi, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Pengaturan Standardisasi Hasil
Industri, (Jakarta: BPHN-Binacipta, 1980), hal.80.
52
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 102 Tahun 2000
berisi tentang Standardisasi Nasional, Bab I, Pasal 1.

Universitas Sumatera Utara

Menteri Perindustrian sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) SK Menteri Perindustrian
Nomor 210 Tahun 1979. Sertifikasi ini merupakan jaminan terhadap produk
tersebut sebab ia diberikan setelah diuji dan memenuhi syarat yang ditentukan.
Petunjuk pelaksanaan penggunaan tanda sertifikasi itu ditetapkan dengan SK
Menteri Perindustrian Nomor 130 Tahun 1980. Betapa pentingnya standardisasi
ini, di lingkungan perdagangan internasional, baik perdagangan barang maupun
jasa, dilaksanakan juga standardisasi yang berlaku secara internasional, yakni
dengan mengimplementasikan standar ISO (International Organization for
Standardization) yang dipergunakan sekarang yakni 9000/14000. 53 ISO 9000
adalah suatu standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi dunia atau yang
lebh dikenal dengan The International Organization for Standardization (ISO)
dengan menerapkan sistem manajemen mutu. Sedangkan ISO 14000 adalah suatu
standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi dunia atau yang lebih dikenal
The International Organization for Standardization (ISO) dengan menerapkan
sistem manajemen lingkungan. 54 Pada prinsipnya negara-negara

dapat

mengambil bagian dalam mengakses pasar dunia, sejauh tidak melakkan tindakan
melawan hukum, tetapi dengan persyaratan standar ISO 9000/ISO 14000, jika
produk-produk yang dihasilkan dan dilempar ke pasar dunia tidak dapat
memenuhi standar, meskipun tidak ada gugatan produk, maka produk itu akan
tersingkir.

53
54

Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 22.
Endang Sri Wahyuni, Op. Cit, hal. 11

Universitas Sumatera Utara

Perangkat perundang-undangan di bidang standar dan kesesuaian di
Indonesia yang paling terkait adalah : 55
a.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Barang menjadi undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1961 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2210). Dalam
pelaksanaannya undang-undang ini belum dapat dilaksnakan secara
sempurna karena sampai saat ini belum terbbentuk Panitia Barang
sebagaimana dikehendaki oleh undang-undang tersebut.

b.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Tenaga Atom.

c.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3193).

d.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3274), dalam Pasal 19 undang-undang tersebut diatur bahwa
pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan barang hasil industri
dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industry serta untuk mencapai
daya guna produksi. Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa
penetapan standar industri bertujuan untuk menjamin serta meningkatkan
mutu hasil industri, untuk normalisasi penggunaan bahan baku dan barang

55

Ibid, hal. 29.

Universitas Sumatera Utara

serta untuk rasionalisasi optimalisasi produksi dan cara kerja demi
tercapainya daya guna sebesar-besarnya. Dalam penyusunan standar industri
tersebut diatas, diikutsertakan pihak swasta, Kamar Dagang dan Industri
Indonesia, Asosiasi, Balai-balai Penelitian, Lembaga-lembaga Ilmiah,
Lembaga Konsumen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan
proses dalam standardisasi industri. Selain untuk kepentingan industri juga
perlu untuk melindungi konsumen.
e.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3317).

f.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3495).

Selanjutnya, untuk peraturan yang lebih rendah dari undang-undang telah
ada :
a. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1989 tentang Standar Nasional untuk
Satuan Ukuran.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional
Indonesia.
c. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 tentang Dewan Standardisasi
Nasional.

Universitas Sumatera Utara

d. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan,
dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia. 56

2.

Kewajiban SNI di Indonesia
Dalam hal berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan,

kesehatan, atau pelestarian fungsi lingkungan hidup, kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian berwenang menetapkan pemberlakuan SNI secara
wajib dengan peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga pemerintah
nonkementerian. 57

Pelaku

usaha,

kementerian/lembaga

pemerintah

nonkementerian, dan/atau pemerintah daerah wajib melaksanakan peraturan
menteri atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian tentang
pemberlakuan SNI secara wajib. 58 Pelaku usaha, kementerian/lembaga pemerintah
non kementerian, dan/atau pemerintah daerah wajib memiliki sertifikat SNI yang
diberlakukan secara wajib. 59 Pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat atau
memiliki sertifikat tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau
dicabut dilarang: 60
1. Memperdagangkan atau mengedarkan barang;
2. Memberikan jasa; dan/atau

56

Ibid, hal. 30.
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 24 ayat (1).
58
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab III,Pasal 24 ayat (2).
59
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab III,Pasal 25 ayat (1).
60
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 25 ayat (2).
57

Universitas Sumatera Utara

3. Menjalankan proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau
penomoran SNI.
Di Amerika Serikat, pemerintah menetapkan tingkat keamanan produk
dengan menetapkan standar minimum yang harus dipatuhi oleh perusahaan
produsen dalam berproduksi. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, tetapi
pasti, seperti yang digambarkan oleh Stern dan Eovaldi berikut :
Beginning with the regulation of food and drugs at the turn of the
twentieth century, federal legislation has become increasingly
comprehensive, first covering specific product categories (automobile,
flammable fabrics, children toys), then extending to any hazardous
substance, and finally covering all consumer products. 61
Mereka menjelaskan bahwa penetapan standar di Amerika Serikat dimulai
dari standar makanan dan obat-obatan kemudian pada abad ke-20 lembaga
legislatif memperluas standardisasi pada kategori produk yang lebih spesifik
seperti kendaraan bermotor, pabrik industri, dan mainan anak, kemudian
merambah ke standardisasi produksi zat yang berbahaya, dan standardisasi produk
konsumsi lainnya.
Apabila dilihat keadaan di Indonesia, penerapan ketentuan standardisasi
sudah hampir sama dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Satu dan lain hal
karena tuntutan perdagangan internasional atas barang dan jasa yang menghendaki
bahwa produk ekspor harus memenuhi kualifikasi tertentu, baik di bidang
mutu/kualitas, standar pelayanan, maupun penghargaan/kepedulian terhadap
lingkungan, dan sebagainya. 62

61
62

Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 23.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai aturan terkait Standar
Nasional Indonesia (SNI) dan pencantuman label Bahasa Indonesia pada
September tahun 2015 lalu lebih mudah diimplementasikan dibandingkan
peraturan pendahulunya. Revisi aturan dilakukan melalui terbitnya Peraturan
Menteri Perdagangan

(Permendag) Nomor 72/M-Dag/Per/9/2015 tentang

perubahan ketiga atas Permendag Nomor 14/M-Dag/Per/3/2007 tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap
Barang dan Jasa yang Diperdagangkan dan Pemendag Nomor 73/MDag/Per/9/2015 tentang Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia Pada
Barang, Sebagai bagian dari paket deregulasi kebijakan. 63
Pada tahun 2010, dari catatan Kamar Dagang Indonesia (selanjutnya
disebut KADIN), produk yang ber-SNI sebanyak 3.525 judul, SNI wajib 81
standar, laporan WTO 28 standar, sertifikasi SNI 636 perusahaan, dan sertifikasi
18 Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). Bagi mereka yang telah berkomitmen
menggunakan SNI, tantangannya adalah terus memperbaharui diri, menyelaraskan
dengan

standar

berpartisipasi

internasional,
dalam

mengikuti

kegiatan-kegiatan

perkembangan

teknologi

internasional,

dan

baru,

mengikuti

perkembangan ISO. 64

63

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151102161443-92-88953/kemendagpermudah-implementasi-aturan-sni, (diakses pada tanggal 09 Juni 2016).
64
BSN, “Manfaat Standardisasi bagi Industri Nasional,” (Jakarta: Majalah Valuasi Vol. 4
No. 4, BSN, 2010), hal. 19.

Universitas Sumatera Utara

3.

Hubungan SNI dan Perlindungan Konsumen
Berkaitan dengan pemakaian teknologi yang makin maju sebagaimana

disebutkan sebelumnya menyebabkan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau
jasa semakin meluas melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Konsumen
akhirnya dihadapkan pada suatu pilihan atas barang dan/atau jasa yang bervariasi.
Dari kondisi tersebut, di satu sisi dapat mendatangkan keuntungan dengan
terpenuhinya hak konsumen seperti yang tercantum pada Pasal 4 huruf (b) UUPK,
konsumen memiliki keleluasaan dalam memilih barang yang berkualitas dengan
harga bersaing untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan hak konsumen.
Jika dirumuskan dalam bentuk lain, standardisasi berkaitan dengan proses
penetapan dan penerapan standar yang dilakukan secara tertib dalam suatu
kerjasama yang melibatkan semua pihak. Tujuannya adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kepada konsumen, tenaga kerja
dan masyarakat, serta mewujudkan jaminan mutu terhadap produk dan/atau jasa
yang dihasilkan dengan meningkatkan efisiensi dalam proses mengelola sistem
mutu, sehingga terpenuhilah hak konsumen salah satunya yang termuat pada Pasal
4 huruf (a) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. 65
Untuk menghindari adanya produk yang cacat atau berbahaya yang nantinya akan
dikonsumsi oleh konsumen maka diperlukan penetapan standar minimal yang
harus dipedomani. Dalam hal ini, standar yang dipedomani ialah SNI. Industri
elektronik sudah siap dengan program peningkatan SNI wajib. Adanya SNI akan
meningkatkan daya saing industri dan manufaktur, termasuk elektronik di pasar

65

Endang Sri Wahyuni, Op. Cit, hal. 105.

Universitas Sumatera Utara

global. 66 SNI akan menjadi “technical barrier” (hambatan teknis) yang dapat
meningkatkan kualitas produk dalam negeri sekaligus menjadi “trade barrier”
(hambatan perdagangan) untuk produk impor.
Standardisasi berfungsi membantu menjembatani kepentingan konsumen
dan produsen dengan menetapkan standar produk yang tepat serta dapat
memenuhi kepentingan dan mencerminkan aspirasi kedua belah pihak. Dengan
adanya standardisasi produk ini akan memberi manfaat yang optimum pada
konsumen dan produsen, tanpa mengurangi hak milik dari konsumen.67
Standardisasi ini berkaitan erat dengan keamanan dan keselamatan konsumen,
yaitu berkaitan dengan kelayakan suatu produk untuk dipakai atau dikonsumsi.
Barang yang tidak memenuhi syarat mutu dan kualitas, serta apabila tidak
dilengkapi sertifikat khususnya pada produk elektronik, dapat menimbulkan
kerugian bagi konsumen secara finansial, dan dapat juga mengancam keamanan
dan keselamatan bagi pengguna produk elektronik sehari-harinya. Melalui
sertifikasi produk ini akan diperoleh manfaat dan keuntungan, baik bagi
produsen,pemakai profesional, maupun konsumen, yaitu sebagai berikut :
a.

Bagi produsen, lebih memberikan bobot dan membuktikan bahwa hasil
produksinya memenuhi persyaratan standar secara konsisten dan memberikan
bantuan dalam meningkatkan penjualannya di pasar dalam dan luar negeri.

b.

Bagi pemakai profesional atau konsumen umum, memberikan indikasi yang
dapat dipercaya bahwa barang-barang sesuai dengan persyaratan standar
secara konsisten.
66

Ali Soebroto, http://www.kemenperin.go.id/artikel/3042/Industri-elektronik-sambutwajib-SNI-hadapi-produk-impor-, (diakses pada tanggal 11 Juni 2016).
67
Gandi, Op. Cit, hal. 81-82.

Universitas Sumatera Utara

c.

Transaksi lebih lancar karena pemakai atau konsumen tidak perlu menguji
dulu barang-barang yang akan dibelinya. 68

C. Pelabelan Standardisasi Suatu Produk Elektronik
1.

Jenis-jenis Produk Elektronik yang Mendapatkan Pelabelan SNI
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standarisasi dan

Penilaian Kesesuaian (UUSPK) tidak menerangkan secara jelas terkait dengan
jenis standardisasi, namun pada Pasal 4 UU SPK mengatakan bahwa :
“Standardisasi dan penilaian kesesuaian berlaku terhadap barang, jasa, sistem,
proses, atau personal.” Dalam pasal tersebut terdapat pembatasan bidang yang
dapat dilakukan proses standardisasi dan penilaian kesesuaian. Dengan kata lain
pasal tersebut telah merumuskan jenis standardisasi. Jenis yang dimaksud ialah :
a. Standardisasi barang
Standardisasi barang merupakan proses merencanakan, merumuskan,
menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi
standar terhadap barang yang beredar dalam perdagangan yang
dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku
kepentingan. Dalam hal ini, barang adalah setiap benda, baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat
dihabiskan,

dan

dapat

diperdagangkan,

dipakai,

digunakan,

atau

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. 69
b. Standardisasi jasa
68

Ibid, hal. 89.
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 1 angka 12.
69

Universitas Sumatera Utara

Standardisasi jasa merupakan proses merencanakan, merumuskan,
menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi
standar terhadap jasa dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib
dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini,
jasa adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil
kerja yang dicapai, yang disediakan oleh satu pihak ke pihak lain dalam
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. 70
c. Standardisasi sistem
Standardisasi sistem merupakan proses merencanakan, merumuskan,
menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi
standar terhadap jasa dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib
dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini,
sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan untuk
menjalankan suatu kegiatan. 71
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menerapkan SNI wajib
untuk beberapa jenis produk elektronik. Tujuannya ialah untuk melindungi pasar
dalam negeri dari serbuan produk impor dengan mengeluarkan ketentuan SNI
wajib bagi barang elektronik yang telah memiliki kompetensi tinggi di Indonesia.
Kemenperin telah menerapkan SNI wajib untuk pompa air, setrika listrik, dan
televisi tabung. Selain itu, Kemenperin juga tengah menyusun SNI wajib untuk 37
produk elektronik dan konsumsi, disamping penguatan balai besar bahan dan

70

Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 1 angka 13.
71
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 1 angka 14.

Universitas Sumatera Utara

barang teknik (BP4T) serta balai riset dan standardisasi (Baristan) Surabaya untuk
uji lab barang elektronik. Berikut adalah daftar produk elektronik dan konsumsi
tersebut: 72

Gambar 1.
Produk elektronik bertanda SNI.

Sumber : http://www.slideshare.net/spiritneverdie/ramadhan-bersama-sni-1,
(diakses pada tanggal 24 Mei 2016).

Dalam hal ini, ketua Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) mengatakan
bahwa pada dasarnya pemanfaatan hasil SNI mempunyai beberapa keuntungan.
72

http://www.slideshare.net/spiritneverdie/ramadhan-bersama-sni-1, (diakses pada
tanggal 24 Mei 2016).

Universitas Sumatera Utara

SNI pada produk elektronik akan mengurangi ketergantungan kepada barangbarang impor. SNI akan meningkatkan daya saing dan kualitas produk nasional
sehingga bias diminati oleh masyarakat. Beliau juga berpendapat bahwa produsen
siap mengikuti aturan SNI wajib untuk produk elektronik yang kini sedang dalam
proses notifikasi di World Trade Organization (WTO). Produsen elektronik yang
tergabung dalam Gabel akan memenuhi standar insulation yang dipersyaratkan
SNI. 73 Bagi para produsen dilarang memperdagangkan produk elektronika bila
tidak memiliki Surat Petunjuk Penggunaan Tanda Standardisasi Nasional
Indonesia (SPPT SNI) wajib. Apabila produsen tetap memperdagangkannya,
maka akan berpotensi dikenakan sanksi penjara seperti yang diatur dalam Pasal 62
UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 74

2.

Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI)
Di era perdagangan bebas, peranan standar sangat vital. Di samping untuk

perlindungan konsumen, standar juga sangat mujarab untuk melindungi produk
lokal. Bahkan, standar dapat dijadikan senjata untuk menciptakan sentiment
negatif terhadap suatu produk. 75
Pemberlakuan standardisasi barang dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi sosial dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Apabila SNI ini diterapkan oleh semua
produk maka sangatlah mendukung percepatan kemajuan di negeri ini. Seperti
73

http://www.kemenperin.go.id/artikel/3545/Kemenperin-Segera-Terapkan-SNI-ProdukElektronik, (diakses pada tanggal 11 Juni 2016).
74
http://citraindonesia.com/daftar-sni-wajib-elektronika-dan-telematika/, (diakses pada
tanggal 11 Juni 2016).
75
Khesali Renald, “Perang Standar.” SNI Valuasi Volume 5 No. 2, 2011, hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

halnya di negara-negara Eropa yang produk-produknya sudah memenuhi standar
nasional bahkan internasional. Adanya standardisasi nasional maka akan membuat
acuan tunggal dalam mengukur mutu produk dan/atau jasa di dalam perdagangan,
yaitu SNI, sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku
usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan,
kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Di Indonesia standardisasi barang digunakan sebagai refrensi konsumen
memilih dan membeli produk tertuang dalam SNI. 76 Ketentuan mengenai
standardisasi nasional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun
2000 berisi tentang Standardisasi Nasional yang ditetapkan oleh Presiden RI pada
tanggal 10 November 2000. Ketentuan ini adalah sebagai pengganti PP No.
15/1999 tentang Standardisasi Nasional Indonesia dan Keppres No. 12/1991
tentang Pentusunan, Penerapan, dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia. Di
dalam Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional pada butir a dan b menjelaskan bahwa tujuan penerapan SNI adalah :
a.

Bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna
produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan/atau personel, yang
dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan konsumen,
pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang keselamatan,
keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup, maka efektifitas pengaturan di
bidang standardisasi perlu lebih ditingkatkan;

76

Badan Standardisasi Naional, “Perlindungan Konsumen Melalui Standar.” SNI Valuasi
Vol. 5 No. 2, 2011, hal. 14.

Universitas Sumatera Utara

b.

Bahwa Indonesia telah ikut serta dalam persetujuan pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang di dalamnya mengatur
pula masalah standardisasi berlanjut dengan kewajiban untuk menyesuaikan
peraturan perundang-undangan nasional di bidang standardisasi;
Mengingat bahwa penerapan standar memiliki jangkauan yang luas maka

standar perlu memenuhi kriteria berikut : 77
a.

SNI tersebut harmonis dengan standar internasional dan pengembangannya
didasarkan pada kebutuhan nasional, termasuk industri;

b.

SNI yang dikembangkan untuk tujuan penerapan regulasi teknis yang bersifat
wajib didukung oleh infrastruktur penerapan standar yang kompeten sehingga
tujuan untuk memberikan perlindungan kepentingan, keselamatan, keamanan,
kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan/atau,
pertimbangan ekonomi dapat tercapai secara efektif dan efisien;

c.

Infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang penerapan standar tersebut
memiliki kompetensi yang diakui di tingkat nasional/regional/internasional.
Pengaturan mengenai penerapan dan pemberlakuan standardisasi dalam

UU SPK mencakup 2 (dua) aspek penerapan standar yaitu :
a.

Penerapan SNI dilaksanakan secara sukarela dan;

b.

Penerapan SNI secara wajib.
SNI dapat diterapkan secara sukarela oleh pelaku usaha, kementerian

dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah. 78

77

Purwanggono Bambang, Abduh Syamsir, Nurjanah, dkk, Pengantar Standardisasi
(Jakarta : Badan Standardisasi Nasional, 2009), hal. 80.
78
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 21 ayat (1) .

Universitas Sumatera Utara

Pelaku usaha, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian,
dan/atau pemerintah daerah yang telah mampu menerapkan SNI dapat
mengajukan sertifikasi kepada Lembaga Penilai Kesesuaian (selanjutnya disebut
LPK) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). 79 Pelaku
usaha yang telah mendapatkan sertifikat berkewajiban membubuhkan Tanda SNI
dan/atau Tanda Kesesuaian pada barang dan/atau kemasan atau label. Dalam hal
ini pelaku usaha dilarang : 80
a.

Membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada barang dan/atau
kemasan atau label di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau

b.

Membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada
sertifikatnya.

3.

Praktek Pelaksanaan Standar Nasional Indonesia (SNI) di Indonesia Terkait
Produk Elektronik
Menyambut era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia melalui

forum internasional seperti WTO, APEC dan AFTA ASEAN motor perdagangan
semakin dinamis dan cepat. Negara Indonesia merupakan bagian dari dunia yang
tidak bisa terlepas dalam perdagangan global. Standardisasi barang menjadi salah
satu pilar utama dalam perdagangan bebas. Persaingan antar produsen dan juga
perlindungan konsumen menuntut adanya standardisasi barang. Standardisasi
barang khususnya produk elektronik di Indonesia diarahkan untuk menjaga

79

Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 21 ayat (2).
80
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 22 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

keamanan dan keselamatan para konsumen. Barang yang beredar dalam pasar
harus memenuhi SNI serta persyaratan teknis yang diberlakukan secara wajib bagi
seluruh pelaku usaha. 81
Mulai tahun 2010 sampai 2014 diberlakukan kesepakatan bersama standar
produk elektronik di lingkup ASEAN dalam ASEAN Harmonized Electrical and
Electronic Equiptment Regulatory Regime (AHEEERR) yang berlaku mulai
Januari 2011, yang menyepakati pelaksanaan harmonisasi standar, regulasi teknis
dan penilaian kesesuaian, termasuk mendaftarkan lembaga penilai kesesuaian
(listed conformity assessment bodies). Kesepakatan AHEEERR melingkupi
seluruh peralatan listrik dan elektronik baru bukan bekas (second hand) yang
dihubungkan langsung dengan sumber listrik bervoltase rendah yakni 50-1.000
volt untuk arus AC dan 75-1.500 volt untuk arus DC atau yang menggunakan
baterai. 82
Pengaturan mengenai standardisasi barang ini dituangkan dalam UU
Perdagangan pada Pasal 57 sampai dengan Pasal 59. Penerapan standardisasi
barang khususnya produk elektronik dalam UU Perdagangan mengharuskan
barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, wajib
dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian
yang diakui

oleh

Pemerintah.

Sementara

itu

produk

elektronik

yang

diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda
SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk

81

Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,
Bab VII, Pasal 57 ayat (1).
82
http:/