Modal Sosial Pedagang Asongan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup Subsisten ( Studi Deskriptif Di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat )
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial
Konsep modal sosial (social capital) telah menjadi perhatian oleh ilmuan ilmu
ekonomi, politik, dan sosiologi (Damsar,2011: 182).Tidak sedikit tokoh-tokoh ilmuan
ternama yang mengedepankan pandangannya mengenai konsep modal sosial (social
capital) ini. Robert Putnam,adalah seorang ilmuan politik Amerika telah memperoleh
banyak penghargaan karena mempopulerkan modal sosial yang sebelumnya
merupakan suatu terminologi yang agak kabur, dengan menyelamatkannya dari
abstraksi sosial dan teori ekonomi. Putnam (Field,2005 :5) mendefenisikan modal
sosial sebagai “ corak-corak organisasi sosial, seperti kepercayaan,norma-norma dan
jaringan-jaringan yang dapat menyempurnakan efisiensi masyarakat dengan
memfasilitasi aksi-aksi yang terkoordinasi”.
Pendapat dari ahli lain, Piere Bourdieu (Damsar, 2011,183) mendefenisikan
modal sosial sebagai sumber daya actual dan potensional
yang dimiliki oleh
seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung terusmenerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik. Bourdieu
menekankan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh jaringan hubungan sosial,
tidak begitu saja ada secara alami (natural given) atau begitu saja ada dalam
suatu masyarakat (social given)..
Lain halnya dengan Bourdieu, Fukuyama (Lawang, 2004 :180) mendefenisikan
capital social atau modal sosial menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal
11
Universitas Sumatera Utara
yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama diantara mereka. Sedangkan, Lawang (Damsar,2011: 183)
mendefenisikan modal sosial sebagai semua kekuatan social komunitas yang
dikonstruksikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial
yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/atau kelompok
secara efisien dan efektif dengan modal lainnya.
Dari berbagai defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa modal sosial sebagai
suatu investasi dalam hubungan sosial oleh individu-individu melalui mana mereka
memperoleh akses terhadap sumber-sumber terlekat (embedded resources) untuk
meningkatkan hasil yang diharapkan dari tindakan yang ekspresif atau instrumental.
Coleman dalam sebuah tulisan yang berjudul “Social Capital in the Creation of
Human Capital” (1988) memperkenalkan modal sosialsebagai sarana konseptual
untuk memahami orientasi teoritis tindakan sosial dengan mengaitkan komponenkomponen dari perspektif sosiologi dan ekonomi. Dengan cara demikian ia
menggunakan prinsip-prinsip dalam ilmu ekonomi untuk menganalisis proses sosial.
Coleman membahas bagaimana modal sosial terbentuk dan menyoroti modal
sosial dalam tiga bentuk yang berbeda. Dengan menggunakan data yang berasal dari
sebuah penelitian mengenai siswa di sebuah sekolah menengah, ia menggambarkan
bagamana modal sosial (social capital) berperan dalam menciptakan modal manusia
(human capital) dengan cara memperlihatkan apa yang berlangsung dalam keluarga
dan masyarakat dalam proses perkembangan pendidikan anak-anak. Sebuah contoh
yang jelas dalam hal ini adalah bagaimana pentingnya keterlibatan orang tua murid
12
Universitas Sumatera Utara
dan para guru dalam wadah POMG untuk bersama-sama membahas langkahlangkah terbaik guna meningkatkan kemajuan anak didik.
Coleman berpendapat bahwa pengertian modal sosial ditentukan oleh
fungsinya. Sekalipun sebenarnya terdapat banyak fungsi modal social tetapi ia
mengatakan bahwa pada dasarnya semuanya memiliki dua unsure yang sama, yakni:
pertama, (1) modal sosial mencakup sejumlah aspek dari struktur sosial, dan (2)
modal sosial memberi kemudahan bagi orang untuk melakukan sesuatu dalam
kerangka struktur sosial tersebut. Ia member penekanan terhadap dua aspek dari
struktur sosial yang sangat penting dalam memudahkan tercipta dan berkembangnya
modal sosial dalam berbagai bentuk. Pertama, aspek dari struktur sosial yang
menciptakan pengungkungan dalam sebuah jaringan sosial yang membuat setiap
orang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga kewajiban-kewajiban maupun
sanksi-sanksi dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota jaringan
itu.Kedua, adanya organisasi sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
bersama.
2.1.1. Kepercayaan (trust) sebagai Modal Sosial
Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial
adalah merupakan sikap salah satu dasar bagi lahirnya sikap saling percaya yang
terbangun antar beberapa golongan komunitas dan merupakan dasar bagi munculnya
keinginan untuk membentuk jaringan sosial (networks).Kepercayaan adalah unsur
penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan
dalam kelompok masyarakat.Dengan menjaga suatu kepercayaan, orang-orang dapat
13
Universitas Sumatera Utara
bekerjasama secara efektif. Trust (kepercayaan) menjadi unsur yang paling penting
dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam
kelompok masyarakat. Dengan menjaga suatu kepercayaan orang-orang bisa
bekerjasama secara efektif (Field, 2005 :91).
Kepercayaan juga merupakan hubungan antara dua belah pihak atau lebih
yang mengandung
harapan
yang
menguntungkan
salah
satu
belah
pihak
malalui interaksi sosial (Lawang, 2004 :36). Selanjutnya Lawang menyimpulkan
inti konsep kepercayaan sebagai berikut:
1) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih, termasuk dalam
hubungan ini adalah institusi, yang dalam pengertian ini diwakili orang.
2) Harapan yang ada akan tergantung dalam hubungan itu, yang
kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah
pihak.
3) Interaksi yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud
(Damsar,2009).
Beberapa jenis kepercayaan yang perlu diketahui untuk menanamkan hubungan
percayayang terjadi, antara lain :
1) Kepercayaan itu pada dasarnya bersifat altruistic, dalam pengertian
kepercayaan yang diberikan meluludiarahkan untuk kebaikan orang
lain. Kepercayaan seperti ini masuk dalam kategori kepercayaan
antar personal.
2) Kepercayaan simbiotik unilateral menunjuk kepada kepercayaan
yang diberikan kepada seseorang dengan perhitungan keuntungan
14
Universitas Sumatera Utara
bagi kedua belah pihak menurut perhitungan yang member
kepercayaan.
3) Kepercayaan egositik menunjuk pada kepercayaan yang didasarkan
hanya pada pertimbangan kepentingan diri semata-mata.
4) Kepercayaan particular menunjuk pada kepercayaan yang ditujukan
pada kelompok sendiri saja.
5) Kepercayaan umum (generalized trust) menunjuk pada kepercayaan
yang diarahkan pada semua orang.
6) Kepercayaan interpersonal menunjuk pada kepercayaan satu sama
lain yang terbentuk melalui ineraksi sosial. Kepercayaan seperti ini
bermanfaat bagi pengembangan kerjasama, kerja voluntir, amal,
toleransi, memecahkan masalah kolektif dan sebagainya ( Lawang,
2004 :49).
2.1.2 Jaringan Sosial (network) sebagai Modal Sosial
Ahli Sosiologi Robert.M.Z Lawang (2004:51) menjelaskan jaringan yang
digunakan dalam teori modal sosial (capital social), artinya kurang lebih sebagai
berikut:
i.
Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan
media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan,
boleh dalambentuk strategik, boleh pula dalam bentuk moralistik.
ii.
Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media
huubungan sosial menjadi suatu kerjasama, bukan kerja bersama-sama.
15
Universitas Sumatera Utara
Kepercayaan simbiotik bilateral dan kepercayaan interpersonal masuk
kategori ini.
iii.
Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar
simpul itu pasti kuat menahan beban bersama dan alah dapat “menangkap
ikan” lebih banyak. Dalam hal ini analoginya mungkin kurang jelas dan
tepat, karena jaringan dalam capital social biasa terjadi hanya antara dua
orang saja.
iv.
Dalam kerja jaring ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri.
Malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jaring itu tidak bias
berfungsi lagi, sampai simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat.
Dalam hal ini analogi tidak seluruhnya tepat, terutama kalau orang yang
membentuk jaringan itu hanya dua orang saja.
v.
Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara
orang-perorang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.
vi.
Ikatan atau pengikat (simpul) dalam kapital sosial adalah norma yang
mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan
dipertahankan.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa studi jaringan sosial melihat
hubungan antar individu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau
dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan.Simpul dapat dilihat melalui
aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan mmerupakan hubungan antar para
actor tersebut.Dalam kenyataannya, dimungkinkan terdapat banyak jenis ikatan atau
simpul.Artinya, semakin banyak aktor yang terlibat dalam ikatan jaringan, maka
16
Universitas Sumatera Utara
semakin banyak terbentuknya ikatan atau simpul tersebut.Ada empat bentuk kekuatan
yang dapat dilihat dari suatu jaringan sosial yaitu:
1. Intensity adalah kekuatan hubungan dapat diukur dari derajat atau frekuensi
kontak individu dalam kominiti tersebut pada waktu tertentu.
2. Reciprocity adalah derajat individu-individu dalam kominitas tersebut
untuk melakukan pertukaran secara timbal balik.
3. Kejelasan terhadap pengharapan dari hubungan yang terjalin antar individu
dalam komuniti yang diamati.
4. Multiplexity adalah derajat jenis banyak peran yang dilakoni oleh individu
dalam komoniti atau pranata (Rudito, Famiola. 2008 :49).
2.1.3 Norma Sosial sebagai Modal Sosial
Salah satu elemen penting lainnya yang terdapat dalam konsep modal sosial
adalah norma. Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai,
harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh
sekelompok orang. Norma-norma tersebut dapat bersumber dari agama, panduan
moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional..Normanorma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.Ada
empat pengertian norma, dimana dasar norma tersebut sama, yaitu memberikan
pedoman bagi seseorang untuk bertingkah laku dalam masyarakat :
1. Cara (Usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan
2. Kebiasaan (Folkways) adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk
yang sama
17
Universitas Sumatera Utara
3. Tata Kelakuan (Mores) merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara
berprilaku dan diterima norma-norma pengatur
4. Adat istiadat (Customs) adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat
integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat, ada sanksi penderitaan bila
dilanggar (Soerjono,2010).
Fukuyama menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki
bersama diantara para anggota suatu kelompok memungkinkan terjalinnya kerjasama
diantara mereka (Lawang, 2004
:180).
Norma-norma
akan berperan
dalam
mengontrol bentuk hubungan antara individu pada suatu entitas sosial tertentu.
Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, namun demikian dipahami oleh setiap
individu dalam konteks hubungan sosial ekonomi. Aturan-aturan tersebut misalnya,
bagaimana cara menghormati dan manghargai orang lain, norma untuk tidak
mencurigai orang lain, norma untuk selalu bekerjasama dengan orang lain,
merupakan contoh norma yang ada. Norma dan aturan yang terjaga dengan baik akan
berdampak positip bagi
kualitas hubungan
yang terjalinserta
merangsang
berlangsungnya kohesifitas sosial yang hidup dan kuat (Hasbullah, 2006 :13).
Supaya hubungan antarmanusia di dalam suatu masyarakat terlaksana
sebagaimana diharapkan, dirumuskan norma-norma masyarakat. Mula-mula norma
tersebut terbentuk secara tidak disengaja. Namun lama kelamaan norma tersebut
dibuat secara sadar. Norma-norma yang ada didalam masyarakat, mempunyai
kekuatan mengikat sehingga masyarakat akan mendapatkan sanksi yang setimpal bila
melanggarnya.
18
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Resiprositas
Resiprositas merupakan kewajiban membayar atau membalas kembali kepada
orang atau keloompk lain atas apa yang mereka berikan atau yang kita lakukan, atau
dalam tindakan nyata membayar atau membalas kembali kepada orang atau
kelompok lain (Damsar, 2011: 191). Misalnya dalam masyarakat Minangkabau
terdapat tuntutan adat tentang resiprositas yaitu “kaba baik bahimbauan, kab buruak
bahambauan” (Kabar baik dihimbaukan, kabar jelek berhamburan” yang bermakna
bahwa jika ada berita yang menggembirakan (baik) seperti memenen padi, maka
petani pemiilik sawah harus memberitahu kepada kerbat-kerabatnya tentang waktu
dan tempat memanen padi sebelumnya, jika ia ingin dibantuu dalam memanen padi.
Sebaliknya, kerabat-kerabatnya pun akan melakuukan hal yang sama kepadanya
apabila mereka akan memanen padi di sawah. Adapun berita buruk, misalnya tentang
kematian maka kerabat dan kenalan datang tanpa diminta.
Dari berbagai literatur yang ada tentang resiprositas dapat disimpulkan terdapat
dua jenis resiprositas, yaitu resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dan
resiprositas umum (generalized reciprocity). Resiprositas sebanding merupakan
kewaiban membayar atau membalas kembali kepada orang atau kelompok lain atas
apa yang mereka berikan atau lakukan untuk kita secara setara, sering kali, langsung
dan terjadwal. Resiprositas sebanding menekankan pada apa yang diterima dari
seseorang atau kelompok pada masa lampau haruslah setara dengan apa yang akan
diberikan kepada seseotrang atau kelompok pemberi. Sifat langsung ditunjukan oleh
siapa memberi apa, kepada siapa, dan akan menerima apa, dari siapa. Adapun sifat
terjadwal menunjuk pada kepastian seseorang kapan akan memperoleh pembayaran
19
Universitas Sumatera Utara
atau pembalasan atas pemberian atau kegiatan yang dilakukan sebeluumnya
(Damsar,2011:
191).
Contoh
dari
resiprositas
sebanding
seperti
tradisi
badoncekdalam masyarakat Minangkabau, tradisi sambatan dalam masyarakat jawa,
dan tradisi julo-ulo dalam masyarakat Minangkabau.
Adapun resiprositas umum merupakan kewajiban memberi atau membantu
orang atau kelompok lain tanpa mengharapkan pengembalian, pembayaran, atau
balasan yang setara dan langsung. Berbeda dengan resiprositas berbanding,
resiprositas umum tidak menggunakan kesepakatan terbuka atau langsung antara
pihak-piihak yang terlibat. Ada harapan bersfat umum
(general) bahwa
pengembalian setara atau utang ini akan tiba pada saatnya, tetapi tidak ada batas
waktu tertentu pengembalian, juga tidak ada spesifikasi bagaimana pengembalian
akan dilakukan. Misalnya Dalam masyarakat etnik di Indonesia terdapat berbagai
kearifan lokal yang mengandung nilai dan norma yang menyuruh orang untuk berbuat
baik kepada semua orang tanpa menegaskan bentuk dan waktu pengembaliannya,
misalnya “berbuat baik berpada-pada (berhati-hati), berbuat jahat jangan sekali”,
“manusia mati meninggalkan nama, harimau mati meningalkan belang”.
2.2Interaksi Sosial
Interaksi sosial (Soerjono :2012 :55) merupakan kunci dari semua kehidupan
sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Bertemunya orang-perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan
pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru
akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia
bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama,
20
Universitas Sumatera Utara
mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya. Maka, dapat dikatakan
bahwa interaksi sosial merupakan dasar proses sosial, yang menunjuk pada
hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang s
atu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya,
maupun antara kelompok dengan individu.Dalam interaksi juga terdapat simbol, di
mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya
oleh mereka yang menggunakannya. Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer
adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki
sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal
dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya, dan terakhir adalah Makna tidak
bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui
proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu.
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat (Soerjono Sukanto,2012: 59) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya
komunikasi.
1. Kontak Sosial
Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama-sama
dan tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah kontak adalah bersama-sama
menyentuh.Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah.
Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena orang
dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan
cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi
21
Universitas Sumatera Utara
dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon,
telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan
badaniah.Lebih lanjut Soerjono (2012) menyatakan Kontak sosial dapat berlangsung
dalam tiga bentukyaitu sebagai berikut :
a. Antara orang perorangan
Kontak
sosial
ini
adalah
apabila
anak
kecil
mempelajari
kebiasaankebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi
melalui komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat
yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di
mana dia menjadi anggota.
b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau
sebaliknya. Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang
merasakna bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan normanorma masyarakat.
c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia
lainnya. Umpamanya adalah dua partai politik yang bekerja sama
untuk mengalahkan partai politik lainnya.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang lain
(yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan
apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian
memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Dengan adanya
komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek kelompok lain aatau
22
Universitas Sumatera Utara
orang lain. Hal ini kemudain merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang
akan dilakukannya.
2.3 Sektor Informal Perkotaan
2.3.1 Defenisi dan Ciri- Ciri Sektor Informal Perkotaan
Konsep sektor informal (Damsar,1997 :158) pertama kali digunakan sekitar
tahun 1970-an di dunia ketiga, ketika dilakukan serangkaian penelitian tentang pasar
tenaga kerja perkotaan di Afrika. Keith Hart, adalah orang yang memperkenalkan
konsep
tersebut,
mengemukakan
bahwa
Penyelidikan
empirisnya
tentang
kewiraswastaan di Accra dan kota-kota lain di Afrika bertentangan dengan apa yang
selama ini diterima dalam perbincangan tentang pembangunan ekonomi.
Dalam laporannya kepada organisasi buruh sedunia (ILO), Hart mengajukan
model dualisme terhadap kesempatan memperoleh pendapatan pada angkatan tenaga
kerja perkotaan. Konsep informalitas diterapkan kepada bekerja sendiri (self
employed). Informalitas didefenisikan ulang sebagai sesuatu yang sinonim dengan
kemiskinan. Ekonomi informal menunjuk kepada cara perkotaan melakukan sesuatu
dengan dicirikan dengan :
1. Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal dan organisasi.
2. Bersandar pada sumber daya lokal
3. Perusahaan milik keluarga
4. Beroperasi dalam skala kecil
5. Intensif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi
sederhana
23
Universitas Sumatera Utara
6. Keterampilan dapat diperoleh dari system pendidikan di luar
formal
7. Pasar yang tidak teratur dan kompetitif.
Kemudian, Keith Hard (Manning,1991) menggambarkan sektor informal sebagai
bagian angkatan kerja kota yang berada diluar pasar tenaga yang terorganisasi. Apa
yang digambarkan oleh Hard dalam memahami sektor informal tersebut sering
dilengkapi dengan suatu daftar kegiatan atau pekerjaan yang menjadi bagian adari
sektor informal seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, pengojek, pelacur dan
lain sebagainya. Lebih lanjut, Hard mengelompokkan sektor informal berdasarkan
kesempatan memperoleh penghasilan yang dapat dibagi atas dua yaitu penghasilan
sah dan tidak sah.
1. Kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, dapat dibagi atas:
a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder seperti pertanian, perkebunan
yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuat
sepatu, penjahit, pengusaha bird an alcohol.
b) Usaha tersier, dengan modal relative besar, seperti perumahan, barangbarang dagangan, dan kegiatan sewa-menyewa.
c) Distribusi kecil-kecilan seperti, pedagang besar, pedagang kelontong,
pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut
barang, agen atas komisi dan penyalur.
d) Jasa yang lain, seperti pemusik (pengamen), pengusaha binatu,
penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja
24
Universitas Sumatera Utara
reparasi kendaraan (montir) dan reparasi lainnya, makelar dan
sejenisnya.
e) Transaksi Pribadi seperti arus uang dan barang pinjam-meminjam
semacamnya dan pengemis.
2. Kesempatan memperoleh penghasilan tidak sah dibagi atas :
a) Jasa ( pada umumnya kegiatan perdagangan gelap) seperti,
perdagangan manusia, penadah barang-barang curian, lintah darat
(tukang kredit), perdagangan obat-obat bius, pelacuran, mucikari (pilot
boy), penyeludupan, suap-menyuap, pelbagai macam korupsi politik,
perlindugan kejahatan.
b) Transaksi, seperti : pencurian kecil (misalnya pencopetan), pencurian
besar ( misalnya pembongkaran dan perampokan bersenjata),
pemalsuan uang dan perjudian.
Pendapat Hard diatas
diperkuat oleh Sethuraman (Manning,1991) yang
menekankan sektor informal. Istilah Sektor informal maksudnya adalah untuk
mambahas kegiatan ekonomi berskala kecil. Sektor informal dimaksudkan sebagai
suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di Negara sedang
berkembang, karena itu mereka yang memasuki kegiatan berskala kecil di kota,
terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan dari pada
memperoleh keuntungan. Sektor ini adalah berada pada kelompok miskin di kota,
kelompok berpendidikan rendah, tidak terampil, dan kebanyakan adalah para migran.
25
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Pedagang Asongan Sebagai Sektor Informal
Pedagang asongan adalah salah satu usaha kecil dalam perdagangan dan salah
satu wujud sector informal.Menurut keputusan Menteri Keuangan RI No.
597/KMK.04/2001 Tanggal 23 November 2001, Kaki Lima atau asongan adalah
tempat-tempat penjualan eceran yang terbuat dari bangunan yang tidak permanen,
yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan sesuai dengan keinginan pemiliknya.
Pedagang kaki lima atau asongan adalah orang yang mengusahakan atau yang
menguasai kaki lima. Namun, pedagang asongan dalam penelitian ini adalah
pedagang yang menjual barang dagangannya dengan mendatangi langsung calon
pembelinya. Jenis barang yang diperdagangkan adalah barang-barang keperluan yang
mudah dibawa dan merupakan barang yang dikonsumsi/dipakai masyarakat umum
setiap hari, seperti koran, rokok, makanan kecil, minuman kemasan, dan permen.
Usaha tersebut dilaksanakan di tempat- tempat yang dianggap strategis dalam suasana
lingkungan yang informal.
Pedagang asongan juga merupakan salah satu jenis pekerjaan pada sektor
ekonomi informal yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat Indonesia, hal ini dapt dibuktikan dari sejarah pedagang asongan yang
sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Pekerjaan asongan ini menjadi
primadona
di
kalangan
masyarakat,
khususnya
masyarakat
yang
hidup
pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Dengan modal yang terbatas dan kema
mpuan skill yang masih terbilang minim, menjadikan banyak diantaranya memilih pr
ofesi sebagai pedagang asongan, sehingga kini keberadaan pedagang asongan diakui
sebagai potensi ekonomi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
26
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kebutuhan Hidup
Masyarakat merupakan suatu keseluruhan hubungan antar kelompok social
dan individu dalam status dan peran yang berbeda dimana mereka hidup dalam
wilayah tertentu (Rudito, Famiola, 2008:62). Masyarakat dipahami sebagai struktur
social karena terdapat hubungan antar status dan peran yang diatur oleh system nilai
atau norma yang berdasarkan kebudayaan yang menjadi acuan orang –orang yang
berada didalamnya bertindak. Batasan yang lebih kecil dari suatu masyarakat adalah
komuniti yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang-orang yang saling
mengenal satu sama lain melalui jaringan-jaringan sosial dan jaringan kekerabatan
(Rudito, Famiola, 2008).
Salah satunya adalah komuniti pedagang asongan di Pulo Brayan. Pedagang
asongan biasanya dalam waktu tertentu akan berkumpul untuk saling berkomunikasi.
Kedekatan secara keebudayaan menjadi factor penarik antar pedagang berkomunikasi
dengan yang lain. Perwujudan kebudayaan pada akhirnya terdapat pada pranatapranata social yang berlaku disuatu komunitas.
Kebutuhan –kebutuhan manusia terdiri dari :
1. Kebutuhan Primer yang bersumber pada aspek-aspek organisme/biologi
tubuh manusia yang mencakup makan dan minum, buang air, berkeringat,
tempat tinggal, istirahat, tidur dan lain-lain.
2. Kebutuhan sosial atau kebutuhan sekunder yang terwujud sebagai hasil
akibat dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan –kebutuhan
27
Universitas Sumatera Utara
yang tergolong sebagai kebutuhan primer , yang harus dipenuhi dengan
cara melibatkan sejumlah orang yang mencakup kebutuhan akan:
komunikasi dengan sesama, kegiatan-kegiatan bersama, kerjasama,
persaingan, control sosial dan lain-lain.
3. Kebutuhan Integratif yang muncul dan terpancar dari hakekat manusia
sebagai makhluk pemikir dan bermoral ( yang berbeda dari makhluk
lainnya) yang fungsinya mengintegrasikan berbagai kebutuhan dan
kebudayaan menjadi suatu satuan system yang bulat dan menyeluruh,
yakni mencakup kebutuhan –kebutuhan akan : adanya perasaan bersalah,
adil tidak adil; perasaan sentiment-sentimen kolektif; perasaan keyakinan
diri; ungkapan-ungkapan estetika, keindahan dan moral; rekreasi dan
hiburan.
28
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial
Konsep modal sosial (social capital) telah menjadi perhatian oleh ilmuan ilmu
ekonomi, politik, dan sosiologi (Damsar,2011: 182).Tidak sedikit tokoh-tokoh ilmuan
ternama yang mengedepankan pandangannya mengenai konsep modal sosial (social
capital) ini. Robert Putnam,adalah seorang ilmuan politik Amerika telah memperoleh
banyak penghargaan karena mempopulerkan modal sosial yang sebelumnya
merupakan suatu terminologi yang agak kabur, dengan menyelamatkannya dari
abstraksi sosial dan teori ekonomi. Putnam (Field,2005 :5) mendefenisikan modal
sosial sebagai “ corak-corak organisasi sosial, seperti kepercayaan,norma-norma dan
jaringan-jaringan yang dapat menyempurnakan efisiensi masyarakat dengan
memfasilitasi aksi-aksi yang terkoordinasi”.
Pendapat dari ahli lain, Piere Bourdieu (Damsar, 2011,183) mendefenisikan
modal sosial sebagai sumber daya actual dan potensional
yang dimiliki oleh
seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung terusmenerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik. Bourdieu
menekankan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh jaringan hubungan sosial,
tidak begitu saja ada secara alami (natural given) atau begitu saja ada dalam
suatu masyarakat (social given)..
Lain halnya dengan Bourdieu, Fukuyama (Lawang, 2004 :180) mendefenisikan
capital social atau modal sosial menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal
11
Universitas Sumatera Utara
yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama diantara mereka. Sedangkan, Lawang (Damsar,2011: 183)
mendefenisikan modal sosial sebagai semua kekuatan social komunitas yang
dikonstruksikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial
yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/atau kelompok
secara efisien dan efektif dengan modal lainnya.
Dari berbagai defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa modal sosial sebagai
suatu investasi dalam hubungan sosial oleh individu-individu melalui mana mereka
memperoleh akses terhadap sumber-sumber terlekat (embedded resources) untuk
meningkatkan hasil yang diharapkan dari tindakan yang ekspresif atau instrumental.
Coleman dalam sebuah tulisan yang berjudul “Social Capital in the Creation of
Human Capital” (1988) memperkenalkan modal sosialsebagai sarana konseptual
untuk memahami orientasi teoritis tindakan sosial dengan mengaitkan komponenkomponen dari perspektif sosiologi dan ekonomi. Dengan cara demikian ia
menggunakan prinsip-prinsip dalam ilmu ekonomi untuk menganalisis proses sosial.
Coleman membahas bagaimana modal sosial terbentuk dan menyoroti modal
sosial dalam tiga bentuk yang berbeda. Dengan menggunakan data yang berasal dari
sebuah penelitian mengenai siswa di sebuah sekolah menengah, ia menggambarkan
bagamana modal sosial (social capital) berperan dalam menciptakan modal manusia
(human capital) dengan cara memperlihatkan apa yang berlangsung dalam keluarga
dan masyarakat dalam proses perkembangan pendidikan anak-anak. Sebuah contoh
yang jelas dalam hal ini adalah bagaimana pentingnya keterlibatan orang tua murid
12
Universitas Sumatera Utara
dan para guru dalam wadah POMG untuk bersama-sama membahas langkahlangkah terbaik guna meningkatkan kemajuan anak didik.
Coleman berpendapat bahwa pengertian modal sosial ditentukan oleh
fungsinya. Sekalipun sebenarnya terdapat banyak fungsi modal social tetapi ia
mengatakan bahwa pada dasarnya semuanya memiliki dua unsure yang sama, yakni:
pertama, (1) modal sosial mencakup sejumlah aspek dari struktur sosial, dan (2)
modal sosial memberi kemudahan bagi orang untuk melakukan sesuatu dalam
kerangka struktur sosial tersebut. Ia member penekanan terhadap dua aspek dari
struktur sosial yang sangat penting dalam memudahkan tercipta dan berkembangnya
modal sosial dalam berbagai bentuk. Pertama, aspek dari struktur sosial yang
menciptakan pengungkungan dalam sebuah jaringan sosial yang membuat setiap
orang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga kewajiban-kewajiban maupun
sanksi-sanksi dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota jaringan
itu.Kedua, adanya organisasi sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
bersama.
2.1.1. Kepercayaan (trust) sebagai Modal Sosial
Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial
adalah merupakan sikap salah satu dasar bagi lahirnya sikap saling percaya yang
terbangun antar beberapa golongan komunitas dan merupakan dasar bagi munculnya
keinginan untuk membentuk jaringan sosial (networks).Kepercayaan adalah unsur
penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan
dalam kelompok masyarakat.Dengan menjaga suatu kepercayaan, orang-orang dapat
13
Universitas Sumatera Utara
bekerjasama secara efektif. Trust (kepercayaan) menjadi unsur yang paling penting
dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam
kelompok masyarakat. Dengan menjaga suatu kepercayaan orang-orang bisa
bekerjasama secara efektif (Field, 2005 :91).
Kepercayaan juga merupakan hubungan antara dua belah pihak atau lebih
yang mengandung
harapan
yang
menguntungkan
salah
satu
belah
pihak
malalui interaksi sosial (Lawang, 2004 :36). Selanjutnya Lawang menyimpulkan
inti konsep kepercayaan sebagai berikut:
1) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih, termasuk dalam
hubungan ini adalah institusi, yang dalam pengertian ini diwakili orang.
2) Harapan yang ada akan tergantung dalam hubungan itu, yang
kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah
pihak.
3) Interaksi yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud
(Damsar,2009).
Beberapa jenis kepercayaan yang perlu diketahui untuk menanamkan hubungan
percayayang terjadi, antara lain :
1) Kepercayaan itu pada dasarnya bersifat altruistic, dalam pengertian
kepercayaan yang diberikan meluludiarahkan untuk kebaikan orang
lain. Kepercayaan seperti ini masuk dalam kategori kepercayaan
antar personal.
2) Kepercayaan simbiotik unilateral menunjuk kepada kepercayaan
yang diberikan kepada seseorang dengan perhitungan keuntungan
14
Universitas Sumatera Utara
bagi kedua belah pihak menurut perhitungan yang member
kepercayaan.
3) Kepercayaan egositik menunjuk pada kepercayaan yang didasarkan
hanya pada pertimbangan kepentingan diri semata-mata.
4) Kepercayaan particular menunjuk pada kepercayaan yang ditujukan
pada kelompok sendiri saja.
5) Kepercayaan umum (generalized trust) menunjuk pada kepercayaan
yang diarahkan pada semua orang.
6) Kepercayaan interpersonal menunjuk pada kepercayaan satu sama
lain yang terbentuk melalui ineraksi sosial. Kepercayaan seperti ini
bermanfaat bagi pengembangan kerjasama, kerja voluntir, amal,
toleransi, memecahkan masalah kolektif dan sebagainya ( Lawang,
2004 :49).
2.1.2 Jaringan Sosial (network) sebagai Modal Sosial
Ahli Sosiologi Robert.M.Z Lawang (2004:51) menjelaskan jaringan yang
digunakan dalam teori modal sosial (capital social), artinya kurang lebih sebagai
berikut:
i.
Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan
media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan,
boleh dalambentuk strategik, boleh pula dalam bentuk moralistik.
ii.
Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media
huubungan sosial menjadi suatu kerjasama, bukan kerja bersama-sama.
15
Universitas Sumatera Utara
Kepercayaan simbiotik bilateral dan kepercayaan interpersonal masuk
kategori ini.
iii.
Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar
simpul itu pasti kuat menahan beban bersama dan alah dapat “menangkap
ikan” lebih banyak. Dalam hal ini analoginya mungkin kurang jelas dan
tepat, karena jaringan dalam capital social biasa terjadi hanya antara dua
orang saja.
iv.
Dalam kerja jaring ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri.
Malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jaring itu tidak bias
berfungsi lagi, sampai simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat.
Dalam hal ini analogi tidak seluruhnya tepat, terutama kalau orang yang
membentuk jaringan itu hanya dua orang saja.
v.
Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara
orang-perorang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.
vi.
Ikatan atau pengikat (simpul) dalam kapital sosial adalah norma yang
mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan
dipertahankan.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa studi jaringan sosial melihat
hubungan antar individu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau
dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan.Simpul dapat dilihat melalui
aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan mmerupakan hubungan antar para
actor tersebut.Dalam kenyataannya, dimungkinkan terdapat banyak jenis ikatan atau
simpul.Artinya, semakin banyak aktor yang terlibat dalam ikatan jaringan, maka
16
Universitas Sumatera Utara
semakin banyak terbentuknya ikatan atau simpul tersebut.Ada empat bentuk kekuatan
yang dapat dilihat dari suatu jaringan sosial yaitu:
1. Intensity adalah kekuatan hubungan dapat diukur dari derajat atau frekuensi
kontak individu dalam kominiti tersebut pada waktu tertentu.
2. Reciprocity adalah derajat individu-individu dalam kominitas tersebut
untuk melakukan pertukaran secara timbal balik.
3. Kejelasan terhadap pengharapan dari hubungan yang terjalin antar individu
dalam komuniti yang diamati.
4. Multiplexity adalah derajat jenis banyak peran yang dilakoni oleh individu
dalam komoniti atau pranata (Rudito, Famiola. 2008 :49).
2.1.3 Norma Sosial sebagai Modal Sosial
Salah satu elemen penting lainnya yang terdapat dalam konsep modal sosial
adalah norma. Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai,
harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh
sekelompok orang. Norma-norma tersebut dapat bersumber dari agama, panduan
moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional..Normanorma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.Ada
empat pengertian norma, dimana dasar norma tersebut sama, yaitu memberikan
pedoman bagi seseorang untuk bertingkah laku dalam masyarakat :
1. Cara (Usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan
2. Kebiasaan (Folkways) adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk
yang sama
17
Universitas Sumatera Utara
3. Tata Kelakuan (Mores) merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara
berprilaku dan diterima norma-norma pengatur
4. Adat istiadat (Customs) adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat
integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat, ada sanksi penderitaan bila
dilanggar (Soerjono,2010).
Fukuyama menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki
bersama diantara para anggota suatu kelompok memungkinkan terjalinnya kerjasama
diantara mereka (Lawang, 2004
:180).
Norma-norma
akan berperan
dalam
mengontrol bentuk hubungan antara individu pada suatu entitas sosial tertentu.
Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, namun demikian dipahami oleh setiap
individu dalam konteks hubungan sosial ekonomi. Aturan-aturan tersebut misalnya,
bagaimana cara menghormati dan manghargai orang lain, norma untuk tidak
mencurigai orang lain, norma untuk selalu bekerjasama dengan orang lain,
merupakan contoh norma yang ada. Norma dan aturan yang terjaga dengan baik akan
berdampak positip bagi
kualitas hubungan
yang terjalinserta
merangsang
berlangsungnya kohesifitas sosial yang hidup dan kuat (Hasbullah, 2006 :13).
Supaya hubungan antarmanusia di dalam suatu masyarakat terlaksana
sebagaimana diharapkan, dirumuskan norma-norma masyarakat. Mula-mula norma
tersebut terbentuk secara tidak disengaja. Namun lama kelamaan norma tersebut
dibuat secara sadar. Norma-norma yang ada didalam masyarakat, mempunyai
kekuatan mengikat sehingga masyarakat akan mendapatkan sanksi yang setimpal bila
melanggarnya.
18
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Resiprositas
Resiprositas merupakan kewajiban membayar atau membalas kembali kepada
orang atau keloompk lain atas apa yang mereka berikan atau yang kita lakukan, atau
dalam tindakan nyata membayar atau membalas kembali kepada orang atau
kelompok lain (Damsar, 2011: 191). Misalnya dalam masyarakat Minangkabau
terdapat tuntutan adat tentang resiprositas yaitu “kaba baik bahimbauan, kab buruak
bahambauan” (Kabar baik dihimbaukan, kabar jelek berhamburan” yang bermakna
bahwa jika ada berita yang menggembirakan (baik) seperti memenen padi, maka
petani pemiilik sawah harus memberitahu kepada kerbat-kerabatnya tentang waktu
dan tempat memanen padi sebelumnya, jika ia ingin dibantuu dalam memanen padi.
Sebaliknya, kerabat-kerabatnya pun akan melakuukan hal yang sama kepadanya
apabila mereka akan memanen padi di sawah. Adapun berita buruk, misalnya tentang
kematian maka kerabat dan kenalan datang tanpa diminta.
Dari berbagai literatur yang ada tentang resiprositas dapat disimpulkan terdapat
dua jenis resiprositas, yaitu resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dan
resiprositas umum (generalized reciprocity). Resiprositas sebanding merupakan
kewaiban membayar atau membalas kembali kepada orang atau kelompok lain atas
apa yang mereka berikan atau lakukan untuk kita secara setara, sering kali, langsung
dan terjadwal. Resiprositas sebanding menekankan pada apa yang diterima dari
seseorang atau kelompok pada masa lampau haruslah setara dengan apa yang akan
diberikan kepada seseotrang atau kelompok pemberi. Sifat langsung ditunjukan oleh
siapa memberi apa, kepada siapa, dan akan menerima apa, dari siapa. Adapun sifat
terjadwal menunjuk pada kepastian seseorang kapan akan memperoleh pembayaran
19
Universitas Sumatera Utara
atau pembalasan atas pemberian atau kegiatan yang dilakukan sebeluumnya
(Damsar,2011:
191).
Contoh
dari
resiprositas
sebanding
seperti
tradisi
badoncekdalam masyarakat Minangkabau, tradisi sambatan dalam masyarakat jawa,
dan tradisi julo-ulo dalam masyarakat Minangkabau.
Adapun resiprositas umum merupakan kewajiban memberi atau membantu
orang atau kelompok lain tanpa mengharapkan pengembalian, pembayaran, atau
balasan yang setara dan langsung. Berbeda dengan resiprositas berbanding,
resiprositas umum tidak menggunakan kesepakatan terbuka atau langsung antara
pihak-piihak yang terlibat. Ada harapan bersfat umum
(general) bahwa
pengembalian setara atau utang ini akan tiba pada saatnya, tetapi tidak ada batas
waktu tertentu pengembalian, juga tidak ada spesifikasi bagaimana pengembalian
akan dilakukan. Misalnya Dalam masyarakat etnik di Indonesia terdapat berbagai
kearifan lokal yang mengandung nilai dan norma yang menyuruh orang untuk berbuat
baik kepada semua orang tanpa menegaskan bentuk dan waktu pengembaliannya,
misalnya “berbuat baik berpada-pada (berhati-hati), berbuat jahat jangan sekali”,
“manusia mati meninggalkan nama, harimau mati meningalkan belang”.
2.2Interaksi Sosial
Interaksi sosial (Soerjono :2012 :55) merupakan kunci dari semua kehidupan
sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Bertemunya orang-perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan
pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru
akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia
bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama,
20
Universitas Sumatera Utara
mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya. Maka, dapat dikatakan
bahwa interaksi sosial merupakan dasar proses sosial, yang menunjuk pada
hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang s
atu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya,
maupun antara kelompok dengan individu.Dalam interaksi juga terdapat simbol, di
mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya
oleh mereka yang menggunakannya. Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer
adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki
sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal
dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya, dan terakhir adalah Makna tidak
bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui
proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu.
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat (Soerjono Sukanto,2012: 59) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya
komunikasi.
1. Kontak Sosial
Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama-sama
dan tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah kontak adalah bersama-sama
menyentuh.Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah.
Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena orang
dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan
cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi
21
Universitas Sumatera Utara
dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon,
telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan
badaniah.Lebih lanjut Soerjono (2012) menyatakan Kontak sosial dapat berlangsung
dalam tiga bentukyaitu sebagai berikut :
a. Antara orang perorangan
Kontak
sosial
ini
adalah
apabila
anak
kecil
mempelajari
kebiasaankebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi
melalui komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat
yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di
mana dia menjadi anggota.
b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau
sebaliknya. Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang
merasakna bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan normanorma masyarakat.
c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia
lainnya. Umpamanya adalah dua partai politik yang bekerja sama
untuk mengalahkan partai politik lainnya.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang lain
(yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan
apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian
memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Dengan adanya
komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek kelompok lain aatau
22
Universitas Sumatera Utara
orang lain. Hal ini kemudain merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang
akan dilakukannya.
2.3 Sektor Informal Perkotaan
2.3.1 Defenisi dan Ciri- Ciri Sektor Informal Perkotaan
Konsep sektor informal (Damsar,1997 :158) pertama kali digunakan sekitar
tahun 1970-an di dunia ketiga, ketika dilakukan serangkaian penelitian tentang pasar
tenaga kerja perkotaan di Afrika. Keith Hart, adalah orang yang memperkenalkan
konsep
tersebut,
mengemukakan
bahwa
Penyelidikan
empirisnya
tentang
kewiraswastaan di Accra dan kota-kota lain di Afrika bertentangan dengan apa yang
selama ini diterima dalam perbincangan tentang pembangunan ekonomi.
Dalam laporannya kepada organisasi buruh sedunia (ILO), Hart mengajukan
model dualisme terhadap kesempatan memperoleh pendapatan pada angkatan tenaga
kerja perkotaan. Konsep informalitas diterapkan kepada bekerja sendiri (self
employed). Informalitas didefenisikan ulang sebagai sesuatu yang sinonim dengan
kemiskinan. Ekonomi informal menunjuk kepada cara perkotaan melakukan sesuatu
dengan dicirikan dengan :
1. Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal dan organisasi.
2. Bersandar pada sumber daya lokal
3. Perusahaan milik keluarga
4. Beroperasi dalam skala kecil
5. Intensif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi
sederhana
23
Universitas Sumatera Utara
6. Keterampilan dapat diperoleh dari system pendidikan di luar
formal
7. Pasar yang tidak teratur dan kompetitif.
Kemudian, Keith Hard (Manning,1991) menggambarkan sektor informal sebagai
bagian angkatan kerja kota yang berada diluar pasar tenaga yang terorganisasi. Apa
yang digambarkan oleh Hard dalam memahami sektor informal tersebut sering
dilengkapi dengan suatu daftar kegiatan atau pekerjaan yang menjadi bagian adari
sektor informal seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, pengojek, pelacur dan
lain sebagainya. Lebih lanjut, Hard mengelompokkan sektor informal berdasarkan
kesempatan memperoleh penghasilan yang dapat dibagi atas dua yaitu penghasilan
sah dan tidak sah.
1. Kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, dapat dibagi atas:
a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder seperti pertanian, perkebunan
yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuat
sepatu, penjahit, pengusaha bird an alcohol.
b) Usaha tersier, dengan modal relative besar, seperti perumahan, barangbarang dagangan, dan kegiatan sewa-menyewa.
c) Distribusi kecil-kecilan seperti, pedagang besar, pedagang kelontong,
pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut
barang, agen atas komisi dan penyalur.
d) Jasa yang lain, seperti pemusik (pengamen), pengusaha binatu,
penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja
24
Universitas Sumatera Utara
reparasi kendaraan (montir) dan reparasi lainnya, makelar dan
sejenisnya.
e) Transaksi Pribadi seperti arus uang dan barang pinjam-meminjam
semacamnya dan pengemis.
2. Kesempatan memperoleh penghasilan tidak sah dibagi atas :
a) Jasa ( pada umumnya kegiatan perdagangan gelap) seperti,
perdagangan manusia, penadah barang-barang curian, lintah darat
(tukang kredit), perdagangan obat-obat bius, pelacuran, mucikari (pilot
boy), penyeludupan, suap-menyuap, pelbagai macam korupsi politik,
perlindugan kejahatan.
b) Transaksi, seperti : pencurian kecil (misalnya pencopetan), pencurian
besar ( misalnya pembongkaran dan perampokan bersenjata),
pemalsuan uang dan perjudian.
Pendapat Hard diatas
diperkuat oleh Sethuraman (Manning,1991) yang
menekankan sektor informal. Istilah Sektor informal maksudnya adalah untuk
mambahas kegiatan ekonomi berskala kecil. Sektor informal dimaksudkan sebagai
suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di Negara sedang
berkembang, karena itu mereka yang memasuki kegiatan berskala kecil di kota,
terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan dari pada
memperoleh keuntungan. Sektor ini adalah berada pada kelompok miskin di kota,
kelompok berpendidikan rendah, tidak terampil, dan kebanyakan adalah para migran.
25
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Pedagang Asongan Sebagai Sektor Informal
Pedagang asongan adalah salah satu usaha kecil dalam perdagangan dan salah
satu wujud sector informal.Menurut keputusan Menteri Keuangan RI No.
597/KMK.04/2001 Tanggal 23 November 2001, Kaki Lima atau asongan adalah
tempat-tempat penjualan eceran yang terbuat dari bangunan yang tidak permanen,
yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan sesuai dengan keinginan pemiliknya.
Pedagang kaki lima atau asongan adalah orang yang mengusahakan atau yang
menguasai kaki lima. Namun, pedagang asongan dalam penelitian ini adalah
pedagang yang menjual barang dagangannya dengan mendatangi langsung calon
pembelinya. Jenis barang yang diperdagangkan adalah barang-barang keperluan yang
mudah dibawa dan merupakan barang yang dikonsumsi/dipakai masyarakat umum
setiap hari, seperti koran, rokok, makanan kecil, minuman kemasan, dan permen.
Usaha tersebut dilaksanakan di tempat- tempat yang dianggap strategis dalam suasana
lingkungan yang informal.
Pedagang asongan juga merupakan salah satu jenis pekerjaan pada sektor
ekonomi informal yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat Indonesia, hal ini dapt dibuktikan dari sejarah pedagang asongan yang
sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Pekerjaan asongan ini menjadi
primadona
di
kalangan
masyarakat,
khususnya
masyarakat
yang
hidup
pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Dengan modal yang terbatas dan kema
mpuan skill yang masih terbilang minim, menjadikan banyak diantaranya memilih pr
ofesi sebagai pedagang asongan, sehingga kini keberadaan pedagang asongan diakui
sebagai potensi ekonomi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
26
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kebutuhan Hidup
Masyarakat merupakan suatu keseluruhan hubungan antar kelompok social
dan individu dalam status dan peran yang berbeda dimana mereka hidup dalam
wilayah tertentu (Rudito, Famiola, 2008:62). Masyarakat dipahami sebagai struktur
social karena terdapat hubungan antar status dan peran yang diatur oleh system nilai
atau norma yang berdasarkan kebudayaan yang menjadi acuan orang –orang yang
berada didalamnya bertindak. Batasan yang lebih kecil dari suatu masyarakat adalah
komuniti yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang-orang yang saling
mengenal satu sama lain melalui jaringan-jaringan sosial dan jaringan kekerabatan
(Rudito, Famiola, 2008).
Salah satunya adalah komuniti pedagang asongan di Pulo Brayan. Pedagang
asongan biasanya dalam waktu tertentu akan berkumpul untuk saling berkomunikasi.
Kedekatan secara keebudayaan menjadi factor penarik antar pedagang berkomunikasi
dengan yang lain. Perwujudan kebudayaan pada akhirnya terdapat pada pranatapranata social yang berlaku disuatu komunitas.
Kebutuhan –kebutuhan manusia terdiri dari :
1. Kebutuhan Primer yang bersumber pada aspek-aspek organisme/biologi
tubuh manusia yang mencakup makan dan minum, buang air, berkeringat,
tempat tinggal, istirahat, tidur dan lain-lain.
2. Kebutuhan sosial atau kebutuhan sekunder yang terwujud sebagai hasil
akibat dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan –kebutuhan
27
Universitas Sumatera Utara
yang tergolong sebagai kebutuhan primer , yang harus dipenuhi dengan
cara melibatkan sejumlah orang yang mencakup kebutuhan akan:
komunikasi dengan sesama, kegiatan-kegiatan bersama, kerjasama,
persaingan, control sosial dan lain-lain.
3. Kebutuhan Integratif yang muncul dan terpancar dari hakekat manusia
sebagai makhluk pemikir dan bermoral ( yang berbeda dari makhluk
lainnya) yang fungsinya mengintegrasikan berbagai kebutuhan dan
kebudayaan menjadi suatu satuan system yang bulat dan menyeluruh,
yakni mencakup kebutuhan –kebutuhan akan : adanya perasaan bersalah,
adil tidak adil; perasaan sentiment-sentimen kolektif; perasaan keyakinan
diri; ungkapan-ungkapan estetika, keindahan dan moral; rekreasi dan
hiburan.
28
Universitas Sumatera Utara