Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Pasar Sukaramai (Studi Kasus Pada Masyarakat Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area Kota Medan )

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA PASAR SUKARAMAI

(STUDI KASUS PADA MASYARAKAT KELURAHAN TEGAL SARI I KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial Pada

Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik

OLEH :

AGUSTIA PERMANDA

030903034

DEPARTEMEN ILMU ADMINSTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2007


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI INI DISETUJUI UNTUK DIPERTAHANKAN

NAMA : Agustia Permanda

NIM : 030903034

DEPARTEMEN : Ilmu Administrasi Negara

JUDUL : Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penataan Pedagang

Kaki Lima Pasar Sukaramai (Studi Kasus Pada Masyarakat Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area Kota Medan )

MEDAN, 17 MARET 2008

PEMBIMBING KETUA DEPARTEMEN

(Drs. Marlon Sihombing, MA) NIP : 131 568 391

(Drs. Marlon Sihombing, MA) NIP : 131 568 391

DEKAN FISIP USU

(Prof. Dr. M. ARIF NASUTION, M.A) NIP : 131 757 010


(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………... i

DAFTAR TABEL ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 5

1.3. Pembatasan Masalah ………...………... 5

1.4. Tujuan Penelitian ……….. 5

1.5. Manfaat Penelitian ……… 6

1.6. Kerangka Teori …………... 6

1.6.1. Persepsi masyarakat ...………... 6

1.6.2. Implementasi kebijakan ... 9

1.6.3. Kebijakan penataan pedagang kaki lima………... 15

1.6.4. Pedagang kaki lima ... ………... 21

1.7. Hipotesis ...………... 27

1.8. Defenisi Konsep ... 27

1.9. DefenisiOperasional ... 28

1.10.Sistematika Penulisan ... 29

BAB II METODE PENELITIAN 30 2.1. Bentuk Penelitian ... 30

2.2. Lokasi Penelitian ... 30

2.3. Populasi dan Sampel ... 30

2.4. Teknik Pengumpulan Data ... 32

2.5. Teknik Penentuan Skor ... ... 33


(4)

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 38

3.1. Sejarah Kelurahan Tegal Sari I ... 38

3.2. Letak dan Keadaan Wilayah .. ... 39

3.2.1. Kondisi iklim dan letak geografis ... 39

3.2.2. Batas-batas wilayah ... 39

3.2.3. Luas wilayah ... 39

3.3. Komposisi Penduduk ... 40

3.3.1. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin ... 38

3.3.2. Komposisi penduduk berdasarkan pendidikan ... 40

3.3.3. Komposisi penduduk berdasarkanmata pencaharian ... 40

3.3.4. Komposisi penduduk berdasarkan agama ... 41

3.3.5. Komposisi penduduk berdasarkan suku bangsa ... 42

3.4. Sarana dan Prasarana ... 44

3.4.1. Sarana peribadatan ... 45

3.4.2. Sarana pendidikan ... 45

3.4.3. Sarana kesehatan ... 45

3.4.4. Sarana air bersih ... 45

3.4.5. Sarana ekonomi ... 46

BAB IV PENYAJIAN DATA 47 4.1. Deskripsi Hasil Penelitian ... 47

4.1.1. Data dan distribusi identitas responden ... 47

4.1.2. Jawaban responden terhadap kebijakan penataan pedagang kaki Lima ... 50

4.1.3. Jawaban responden tentang persepsi masyarakat (x) ... 57

4.1.4. Klasifikasi data ... 65

4.1.5. Pengujian hipotesis ... 67


(5)

4.2. Analisa Data ... 69

BAB V PENUTUP 87

A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ………... 89


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin ... 40

Tabel 3.2. Komposisi penduduk berdasarkan pendidikan ... 41

Tabel 3.3. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian ... 42

Tabel. 3.4. Komposisi penduduk berdasarkan agama ... 43

Tabel. 3.5. Komposisi penduduk berdasarkan suku bangsa ... 44

Tabel. 3.6. Sarana ekonomi ... 46

Tabel 4.1 Identitas Responden berdasarkan jenis kelamin ... 47

Tabel 4.2 Identitas Responden berdasarkan kelompok umur ... 48

Tabel 4.3 Identitas Responden berdasarkan tingkat pendidikan ... 49

Tabel 4.4 Identitas Responden berdasarkan jenis pekerjaan ... 49

DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Jawaban responden dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima benar-benar untuk menciptakan kebersihan, keindahan, keamanan,dan ketertiban pasar sukaramai ... 50 Grafik 4.2 Jawaban responden meningkatnya kebersihan, keindahan, ketertiban dan keamanan pasar sukaramai ... 51

Grafik 4.3 Jawaban responden semenjak adanya kebijakan penataan pedagang kaki lima terjadi peningkatan kebersihan, keindahan, keamanan dan ketertiban ... 51 Grafik 4.4 Jawaban responden tentang kebijakan penataan pedagang kaki lima ... 52

Grafik 4.5 Jawaban responden tentang penataan pedagang kaki lima dilakukan dengan penggusuran ... 53

Grafik 4.6 Jawaban responden tentang pengadaan pertemuan antara aparat yang terkait dengan pedagang kaki lima ... 53

Grafik 4.7 Jawaban responden tentang pengadaaan sosialisasi tentang larangan berjualan di badan jalandengan lebih jelas dan tegas ... 54


(7)

Grafik 4.8 Jawaban responden tentang koordinasi antara aparat yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima ... 55 Grafik 4.9 Jawaban responden tentang komunikasi yang tejalin antara aparat yang

terkait dengan pedagang kaki lima ... 55 Grafik 4.10 Jawaban responden tentang penyediaan lokasi berjualan baru yang

layak dan adil untuk pedagang kaki lima ... 56

Grafik 4.11

Jawaban responden tentang cara-cara penertiban terhadap pedagang kaki lima yang dapat menimbulkan bentrokan antara pedagang dengan aparat ...

57

Grafik 4.12 Jawaban responden tentang jumlah pedagang kaki lima yang semakin menjamur ... 58 Grafik 4.13 Jawaban responden tentang lebih suka berbelanja dengan pedagang

kaki lima. ... 58 Grafik 4.14 Jawaban responden tentang keberadaan pedagang kaki lima ... 59 Grafik 4.15 Jawaban responden bahwa berbelanja pada pedagang kaki lima lebih

murah daripada tempat lain ... 60 Grafik 4.16 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab kurang

bersihnya pasar sukaramai ... 60 Grafik 4.17 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab

terganggunya ketertiban umum di sekitar pasar Sukaramai ... 61 Grafik 4.18 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab kurang

indahnya pasar sukaramai ... 62 Grafik 4.19 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab kurang

teraturnya pasar Sukaramai ... 62 Grafik 4.20 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab

meningkatnya gangguan keamanan pasar Sukaramai ... 63 Grafik 4.21 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab kemacetan

lalu lintas sekitar pasar Sukaramai ... 64 Grafik 4.22 Jawaban responden tentang keberadaan pedagang kaki lima ... 64 Grafik 4.23 Distribusi frekuensi Jawaban responden mengenai Persepsi


(8)

Grafik 4.24 Distribusi Frekuensi Klasifikasi jawaban Responden mengenai kebijakan penataan pedagang kaki lima ... 66


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia atau masyarakat suatu bangsa. Ini berarti bahwa pembangunan senantiasa beranjak dari suatu keadaan atau kondisi kehidupan yang kurang baik menuju suatu kehidupan yang lebih baik dalam rangka mencapai tujuan nasional suatu bangsa.

Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa perubahan di sektor pembangunan ekonomi, di mana tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat secara terus menerus selama lebih-kurang 32 tahun di masa pemerintahan Orde Baru belum mampu membangun basis ekonomi rakyat yang tangguh. Perlu pula disadari bahwa proses percepatan pembangunan yang terlalu menitik-beratkan pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dimbangi dengan pemerataan pendapatan untuk membangun ekonomi rakyat, maka misi pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat akan terabaikan sehingga basis ekonomi rakyat (nasional) mengalami kegoncangan bahkan rapuh. Kerapuhan basis ekonomi rakyat mulai nampak di Indonesia pada awal 1997 ditandai dengan munculnya krisis multi-dimensional, yang diawali dengan krisis ekonomi dan moneter sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulai dengan memasuki Era Reformasi.


(10)

Dengan adanya krisis ekonomi dan moneter, maka terjadi kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riel yang berakibat terjadinya PHK besarbesaran dari perusahan-perusahan swasta nasional. Hal ini berujung pada munculnya pengangguran di kota-kota besar, termasuk Kota Medan sebagai obyek penelitian ini. Sebagaimana di kota-kota besar lainnya, kota Medan merupakan kota perdagangan adalah wajar apabila para pengangguran melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor informal. Salah satu sektor informal yang banyak diminati para pengangguran (selain yang sudah lama bekerja di sektor ini) yaitu Pedagang Kaki Lima.

Kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari kelompok usaha kecil adalah kelompok usaha yang tak terpisahkan dari aset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan, jelas merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam turut mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya.

Pedagang Kaki Lima sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Sejalan dengan uraian di atas, dalam penjelasan UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa Usaha kecil (termasuk pedagang kaki lima) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan


(11)

dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.

Sebagai salah satu jenis usaha di sektor informal, pedagang kaki lima berfungsi sebagai katup pengaman masalah ketenaga kerjaan yang dapat meredam ledakan sosial akibat meningkatnya angka pencari kerja. Alasannya, usaha ini tidak memerlukan tingkat pendidikan formal yang terlalu tinggi dan modal yang diperlukan untuk membuka usaha relatif kecil. Bahkan ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia tahun 1997 silam, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia terkena imbasnya. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar tersebut mengurangi jumlah pekerjanya melalui Pemutusan Hubungan Kerja bahkan ada yang tutup. Tetapi para Pedagang Kaki Lima ini mampu bertahan, tanpa mengharapkan bantuan modal atau fasilitas lain dari pemerintah, pedagang kaki lima tetap bertahan.

Sampai saat ini fenomena pedagang kaki lima masih memendam banyak persoalan dalam pembangunan perkotaan di Indonesia. Pedagang kaki lima


(12)

(PKL), kini telah menjadi fenomena sosial di setiap kota besar. Sebagai bentuk usaha informal, pedagang kaki lima merupakan sandaran hidup bagi sebagian masyarakat Indonesia yang tak terserap dalam dunia kerja formal. Dengan harganya yang terjangkau serta tempat berjualan yang flexible dan dekat dengan konsumennya, pedagang kaki lima menjadi pilihan praktis berbelanja bagi masyarakat perkotaan.

Oleh sebagian pihak, kehadiran pedagang kaki lima di tengah-tengah kota dianggap sebagai pengganggu ketertiban, keamanan dan keindahan kota. Sehingga pedagang kaki lima sering diberi predikat sebagai salah satu penyebab munculnya berbagai permasalahan seperti kemacetan lalu-lintas, merusak keindahan kota dan kerawanan sosial.

Dengan alasan inilah yang sering melatar belakangi para petugas satuan polisi Pamong Praja untuk melakukan penertiban terhadap pedagang kaki lima. Seringkali kita mendengar di media cetak maupun elektronik terjadinya kerusuhan antara pedagang kaki lima dengan petugas. Dengan alasan menjalankan peraturan petugas dengan tegasnya melakukan tugasnya walaupun kekerasan menjadi jalan utamanya.

Persoalan pedagang kaki lima di berbagai kota ini menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, Pemerintah Kota membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat. Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemerintah Kota sering lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni


(13)

pentingngnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata pedagang kaki lima.

1.2 Perumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih memiliki arah yang jelas dan memberikan kemudahan dalam menampilkan fakta dan data ke dalam penulsan skripsi, maka diperlukan perumusan masalah yang jelas. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada latar belakang masalah, maka penulis merumuskan suatu masalah pokok dalam penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana persepsi masyarakat Kelurahan Tegal Sari I terhadap Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Pasar Sukaramai ”

1.3Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai program tata ruang kota dan pelaksanaannya, termasuk kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima merupakan topic yang kompleks. Maka, agar lebih fokus kepada permasalahan yang akan diteliti maka penulis memberikan batasan dalam perumusan masalah bagaimana persepsi masyarakat.

1.4 Tujuan Penelitian

Sebagai sebuah kajian ilmiah dan sesuai dengan prinsip penelitian, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk :

1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima.


(14)

2. Untuk mengetahui kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah kota dalam upaya penataan pedagang kaki lima.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis, penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta kemampuan berpikir dalam melihat dan menganalisa gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat. Dan juga dapat menjadi masukan bagi penulis akan pengetahuan tentang persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima di kota Medan. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan.

2. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empirik terhadap studi Administrasi Pembangunan di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara mengenai persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima.

3. Secara Praktis, diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah kota Medan agar dapat menyempurnakan kebijakan-kebijakan pada masa yang akan datang.


(15)

1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Persepsi masyarakat

Dalam siklus hidupnya manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Sejak manusia dilahirkan, individu secara langsung berhubungan dengan dunia sekitarnya. Mulai saat itu pula manusia secara langsung menerima rangsang dari luar dirinya dan hal ini berkaitan dengan persepsi.

Persepsi merupakan hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan kemudian diproses dalam kesadaran (kondisi) yang mempengaruhi memori ingatan tentang pengalaman, minat, sikap, intelegensi di mana hasil penelitian terhadap apa yag di inderakan akan mempengaruhi tingkah laku (Wirawan, 1992:37).

Jadi menurut Wirawan dalam pengertian persepsi tidak saja memuat pandangan seseorang terhadap sesuatu, tetapi juga terdapat hubungan antara manusia dengan lingkungan dalam proses kognisi yang kemudian mempengaruhi memori seseorang.

Pendapat ini didukung pula oleh Thoha (1998 : 23) persepsi merupakan proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pandangan, pengahayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap suatu situasi. Yang dimaksud dengan proses kognitif di atas adalah proses kegiatan mental yang sadar seperti : berpikir, mengetahui, memahami dan kegiatan konsepsi mental seperti : sikap, kepercayaan dan pengharapan yang kesemuanya merupakan faktor yang


(16)

menentukan perilaku. Sesuatu yang menyebabkan seseorang berpersepsi adalah apabila muncul sesuatu yang berbeda menurutnya pada lingkungannya, sesuatu yang memilii stimulus yang mengakibatkan rangsangan baik secara fisik maupun mental.

Mengenai defenisi masyarakat ada beberapa yang dikemukakan para ahli seperti yang disebutkan oleh Paul B Horton (Soekanto, 2002 : 24) bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tertentu. Sedangkan menurut Ralph Linton (Soekanto, 2002:24) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

Sehingga penulis menyimpulkan bahwa masyarakat adalah kumpulan dari individu yang hidup dan tinggal bersama dalam suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu menyadari bahwa mereka adalah suatu kesatuan dan memiliki norma-norma tertentu yangtelah disepakati bersama dan kebudayaan tersendiri. Bila dikombinasikan antara persepsi dan masyarakat maka penulis memberikan defenisi bahwa masyarakat adalah sebuah proses dimana sekelompok individu yang hidup dan tinggal bersama dalam wilayah tertentu, memberikan tanggapan terhadap hal-hal atau obyek tertentu yang dianggap menarik dari lingkungan tempat tinggal mereka.


(17)

Ada sebuah teori tentang persepsi yang sering disebut teori “SOR”. SOR adalah singkatan dari Stimulate – Organism – Response. Menurut teori ini, pengaruh yang terjadi pada pihak penerima pada dasarnya merupakan suatu reaksi tertentu dari stimulus (rangsang) tertentu. Dengan demikian besar kecil dan bentuk pengaruh dan persepsi (respon) tergantung pada stimulus.

Bila kita sesuaikan antara teori ini dengan penelitian yang penulis lakukan maka ada 3 elemen penting dalam penelitian ini, yaitu :

1. Stimulate: Hasil implementasi kebijakan penataan pedagang kaki lima Kota Medan.

2. Organism: Masyarakat pembeli, penjual dan pengguna jalan di Pasar Sukaramai Kecamatan Medan Denai.

3. Response: Bagaimana persepsi masyarakat pasar Sukaramai tehadap kebijakan penataan pedagang kaki lima.

Maka bila dihubungkan antara persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima adalah pandangan masyarakat kelurahan Tegal Sari I kecamatan Medan Area terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima di Pasar Sukaramai.

1.6.2 Implementasi kebijakan.

Dalam setiap rumusan kebijakan apakah yang menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Dalam hal ini, seperti yang dikemukakan oleh Wahab (1990:51) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang


(18)

penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.

Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan yaitu :

a. Membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai suatu masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap masalah.

b. Membuat batasan masalah.

c. Memobolilsasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobolisasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya.

Menurut Charles O. Jones (dalam Tangkilisin, 2003 : 3) Kebijakan adalah keputusan-keputusan pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah yang diutarakan atau dapat juga kebijakan diartikan sebagai suatu keputusan untuk mengakhiri atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada kita. Penekanan aktifitas birokrasi pemerintah pada proses kebijakan publik lebih pada tahapan implementasi dengan menginterprestasikan kebijaksanaan menjadi program, proyek dan aktivitas.


(19)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program akan menunjang implementasi, karena dalam program tersebut dimuat berbagai aspek antara lain yaitu :

a. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

b. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan tersebut.

c. Adanya aturan-aturan yang dipegang dan prosedur yang harus dilalui d. Adanya strategi dalam pelaksanaan.

Selanjutnya Jones (1991:296) memberikan pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan. Unsur kedua yang harus dipenuhi dalam proses implementasi program adalah adanya kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program sehingga masyarakat tersebut merasa ikut dilibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankann dan adanya perubahan dan peningkatan dalam kehidupannya. Tanpa memberikan manfaat kepada masyarakat maka boleh dikatakan program tersebut telah gagal dilaksanakan. Kemudian yang menjadi unsur ketiga dalam implementasi program adalah unsur pelaksana yang meliputi organisasi maupun pengawasan dalam proses implementasi.

William N. Dunn (dalam Tangkilisan, 2003:21) mengatakan bahwa kebijkan publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor pemerintah.


(20)

Faktor-faktor yan mempengaruhi kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi yaitu :

a. Standard dan sasaran kebijakan.

b. Komunikasi anatara organisasi dan pengukuran aktifitas. c. Kondisi sosial, ekonomi dan politik.

d. Sumber daya. e. Sikap pelaksanaan.

Selain itu Rippley dan Franklin ( dalam Tangkilisan, 2003:21) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu :

a. Prespektif kepatuhan ( compliance ) yang mengukur implementasi dari kepatuhan terhadap kebijakan.

b. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.

c. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

Peters ( dalam Tangkilisan, 2003:22) mengatakan implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor :

a. Informasi

Kekurangan informasi dengan mudah megakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.


(21)

b. Isi kebijakan

Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau ketidak tegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.

c. Dukungan

Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut. d. Pembagian potensi

Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para kator implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.

Sebagai suatu ringkasan untuk mempermudah pemahaman kerangka pemikiran dapat tersaji dalam bagian sebagai berikut. Proses implementasi kebijakan hendaknyanya melalui alur seperti dikemukakan oleh Dye (dalam Tangkilisan, 2003:22) sebagai berikut :

... ...

Berdasarkan bagan/kerangka pemikiran dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti sebagai berikut :


(22)

a) Public Policy

Merupakan rangakaian pilihan yang harus lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak ) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah, diformulasikan di dalam bidang-bidang isu. Pada salah satu bidan isu tersebut terdapat banyak isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan pemerintah yang aktual ataupun yang potensial yang mengandung konflik diantara segmen-segmen yang ada dalam masyarakat.

b) Policy Stakeholder

Yaitu para individu dan atau kelompok individu yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Pelaku kebijakan misalnya kelompok warga negara, perserikatan birokrasi, partai politik, agen-agen pemerintah dan para analis kebijakan sering menangkap secara berbeda informasi yang sama mengenai lingkungan kebijakan.

c) Policy Environment

Yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuatan kebijakan dan kebijakan publik. Oleh karena itu sistem sistem kebijakan berisi proses yang bersifat dialektis, yang berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuatan kebijakan tidak terpisahkan di dalam prakteknya.

Menurut Heclo (dalam Hesel, 2003 : 3 ) menggunakan istilah kebijakan itu secara luas yakni sebagai rangkaian tindakan pemerintah atau tidak bertindaknya


(23)

pemerintah atas sesuatu masalah. Jadi lebih luas dari tindakan atau keputusan yang bersifat khusus. Menurut James A. Anderson (dalam Tangkilisan, 2003 : 19) merumuskan kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan – perubahan jadi kebijakan memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan apa yang dimaksud dan hal ini membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pikiran diantara berbagai alternatif.

Guna mencapai tujuan implementasi program secara efektif, pemerintah harus melakukan aksi atau tindakan yang berupa penghimpunan sumber dana dan pengelolaan sumber daya alam dan manusia. Dengan demikian secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

Lebih lanjut Wibawa (dalam Tangkilisan, 2003:20) menyatakan bahwa keseluruhan proses kebijakan baru dapat dimulai apabila tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program telah dirancang dan juga sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat terhadap suatu objek/sasaran yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.


(24)

1.6.3 Kebijakan penataan pedagang kaki lima

Untuk menciptakan suatu kota metropolitan, maka Pemerintah Kota Medan telah menetapkan suatu Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 yang akan digunakan sebagai acuan dalam merencanakan kegiatan pembangunan. Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian, untuk pelaksanaan Perda No. 1 Tahun 2002 tersebut telah ditetapkan suatu Keputusan Walikota Medan Nomor 188.342/070/K2002 tertanggal 20 Maret 2002.

Pasal 2 Perda No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa pola dasar pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 merupakan pedoman dalam menetapkan peruntukan dan pemanfaatan tanah atau perencanaan kota bagi segenap aparatur Pemerintah Kota Medan, DPRD, Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM), organisasi profesi, perguruan tinggi, dunia usaha, tokoh masyarakat, dan seluruh unsur dalam lapisan masyarakat lainnya di Kota Medan.

Sehubungan dengan itu ada 9 (sembilan) arah kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam bidang ekonomi yakni :

1. mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada produktivitas tenaga kerja yang tinggi dengan prinsip persaingan sehat;

2. mengembangkan perekonomian daerah yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan terutama membangun keunggulan kompetitif di samping keunggulan komparatif;


(25)

efisien, produktif, berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif, dan peluang usaha yang seluas-luasnya;

4. mengembangkan industri kecil kerajinan dan rumah tangga;

5. membangun sistem informasi pasar yang tangguh dan lembaga penelitian serta pengembangan produk daerah sebagai bagian integral dari sistem ekonomi masyarakat;

6. menata Badan Usaha Milik Daerah seperti PD. Pembangunan, PD. Pasar, PD. Rumah Potong Hewan secara efisien, transparan, dan profesional sehingga dapat diandalkan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kontribusi yang semakin besar pada pendapatan daerah; 7. mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang

saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, usaha swasta menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi kota;

8. mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu terutama pada sektor informal yang diarahkan pada peningkatan kemandirian tenaga kerja;

9. mempercepat penyelamatan dan pemulihan ekonomi guna membangkitkan sektor riil terutama bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi (PKMK).

Sehubungan dengan butir ke 8 dari kebijakan bidang ekonomi yang terdapat pada Pola Dasar Pembangunan tahun 2001-2025, ada beberapa kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kota Medan yang terkait dengan PKL yang dapat dikemukakan sebagai berikut:


(26)

antara Pemerintah Kota Medan dengan pihak swasta (PT. Star Indonesia Medan). Kerjasama tersebut dituangkan dalam Surat Perjanjian No. 510/15724, tertanggal 26-08-2002, tentang surat perjanjian pelaksanaan pengelolaan pusat jajanan malam Kawasan Kesawan Medan;

2. Adanya keinginan Pemerintah Kota Medan untuk menampung akibat penggusuran terhadap pedagang buku Eks Titi Gantung, Jalan Irian Barat, Jalan Jawa, Jalan Veteran dan Jalan Sutomo Medan yang kemudian menempatkan para pedagang tersebut di Jalan Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan. Penempatan para pedagang di lapangan Merdeka didasarkan pada Keputusan Walikota Medan Nomor 510/1034/K/2003 tanggal 18 Juli 2003, tentang Penetapan Lokasi Jalan Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan menjadi Lokasi Tempat Berjualan/Kios-Kios Pedagang Buku Eks Titi Gantung, Jalan Irian Barat, Jalan Jawa, Jalan Veteran dan Jalan Sutomo Medan. Sebagai konsekuensi bersedianya pihak pedagang meninggalkan lokasi penggusuran ke lokasi yang telah ditentukan di lapangan Merdeka maka sesuai Pasal 2 ayat (1) Surat Perjanjian Nomor 511.3/5755.B bahwa pihak ke Pertama (dalam hal ini Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan) membebaskan pihak kedua (dalam hal ini pedagang), dari pembayaran kios tempat berjualan. Di samping itu ada jenis pelayanan lainnya yakni membebaskan pedagang dari pemakaian listrik, kebersihan, dan keamanan selama 1 (satu) tahun;

3. Bahwa dalam perkembangannya telah ada suatu kerjasama antara pihak PKL dengan pihak swasta yang difasilitasi oleh Pemko Medan, DPRD dan PD.


(27)

Pasar serta Koperasi Maju Jaya, dalam penataan lokasi PKL sebagai solusi terjadinya suatu konflik antara PKL dengan pedagang formal. Adapun bentuk penyelesaiannya adalah bahwa para pedagang akan ditempatkan di Basement (lantai dasar) Pasar Pringgan Medan yang diperkirakan dapat menampung sebanyak 154 pedagang;

Dalam rangka mengantisipasi perubahan tatanan politik, pemerintahan terutama berkaitan dengan kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, kebutuhan serta aspirasi masyarakat yang berkembang, maka Pemerintah Kota Medan di bawah kepemimpinan Bapak Drs. H. Abdillah, Ak.MBA telah melakukan penyempurnaan pada beberapa substansi penyelenggaraan pemerintahan, antara lain :

1. Instruksi Walikota Medan No. 141/079/Ins Tanggal 9 Februari 2001 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Kelurahan Dalam Rangka Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan. Substansi dari instruksi tersebut adalah kewajiban Lurah untuk meningkatkan sistem penyelenggaraan dan pengembangan partisipasi amsyarakat, khususnya pada bidang kebersihan, keamanan, ketertiban dan pelayanan masyarakat.

2. Instruksi Walikota Medan No. 141/1417/Inst Tanggal 24 Juli 2001 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Camat dalam Membina dan Mengawsi Program Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan. Instruksi memuat antara lain :

a. Melaksanakan pembinaan langsung ke lapangan untuk membenahi, menertibkan, kekurangan dan kelemahan yang ada, baik kondisi fisik


(28)

kebersihan, ketertiban dan keamanan maupun pelayanan masyarakat serta disiplin perangkat Kecamatan dan Kelurahan.

b. Melaksanakan pengawasan (cek dan ricek) tentang kondisi dan hasil pembinaan yang dilakukan baik dari segi kwalitas, kwantitas dan objektivitas hasil kerja terutama :

- Di bidang kebersihan, ketertiban dan keamanan, sesuai Instruksi Walikota No. 141/079/Ins/2001 tanggal 9 Februari 2001.

- Menyelesaikan masalah secara tuntas.

c. Melaksanakan koordinasi langsung, dengan instansi terkait untuk menuntaskan permasalahan kebersihan, ketertiban dan keamanan di Kecamatan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Camat berkewajiban untuk melakukan penyelenggaraan pembinaan, penataran, penertiban di samping melaksanakan SK Walikota Medan No. 54/SK/1983 tanggal 22 Januari 1983 tentang Larangan untuk berjualan dengan mempergunakan bangunan kios yang menjorok ke depan tanpa izin bangunan dari Pemda Tk. II Medan, termasuk menempatkan barang-barang, mengerjakan pekerjaan dan memarkir/mereperasi kendaraan bermotor di atas semua trotoir pada jalan umum dan Peraturan Daerah Tk. II Medan Nomor 31 Tahun 1993 tanggal 13 Juli 1993 tentang Pemakaian tempat berjualan serta Instruksi Walikota Medan No. 141/1417/Inst tanggal 24 Juli 2001 tentang Tugas dan tanggung jawab Camat dalam membina dan mengawasi program pemberdataan kelurahan di Kota Medan dengan


(29)

berkoordinasi dengan instansi lain seperti Satuan Polisi, Pamong Praja, Muspika, Tokoh Masyarakat dan lain-lain.

Program kebersihan, keamanan dan ketertiban adalah merupakan harapan seluruh masyarakat untuk menjadikan Medan Kota BESTARI (Bersih, Sehat, Tertib, Aman, Rapi dan Indah) untuk mencapai sasaran pembangunan di segala bidang, dengan berpedoman kepada motto Kota Medan “Bekerjasama dan sama-sama bekerja untuk kemajuan dan kemakmuran Medan Kota Metropolitan”.

Dalam rangka memberhasilkan program pemberdayaan Kelurahan yang dicanangkan oleh Pemko sejak tahun 2001 khususnya dalam pelaksanaan kebersihan, keamanan, ketertiban dan pelayanan masyarakat, Pemerintah Kota Medan telah mengadakan penataan organisasi, mekanisme pembinaan, rencana, pengawasan/ evaluasi serta dukungan dana yang cukup signifikan

Penataan pedagang kaki lima artinyaa proses mengatur, merapikan dan sebagainya untuk menjadi tertib. Pemerintah kota Medan melakukan penataan terhadap pedagang kaki lima artinya tindakan terhadap pedagang kaki lima itu, kios-kios di sepanjang jalan dibongkar dan dipindahkan ke tempat usaha yang baru. Yang dimaksud dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah kota adalah cara bertindak aparatur pemerintah dalam melaksanakan penataan pedagang kaki lima di kota Medan.

1.6.4 Pedagang kaki lima

Pengertian pedagang sektor informal sangat terkait dengan ekonomi informal. Kebanyakan usaha informal terdiri dari aktivitas ekonomi yang sah dengan kelembagaan dan organisasi yang lemah, sektor informal terdiri dari


(30)

kegiatan komersil yang sah seperti supir taxi, penjual pakaian di jalanan dan lainnya dengan tanpa persyaratan legal, seperti harus mempunyai ijin dan membayar pajak.

Namun demikian, telah diakui bahwa kegiatan sektor informal telah memainkan peranan yang penting dalam perekonomian di negara berkembang. Sektor informal bukanlah suatu fenomena yang esklusif dalam ekonomi transisi atau ekonomi berkembang (developing economies) seperti yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. PKL sebagai suatu jenis kegiatan ekonomi pada sektor infomal telah menunjukkan eksistensinya dalam wilayah perkotaan.

Untuk lebih jelasnya, kegiatan PKL dalam sektor ekonomi yang dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal;

2. pada umumnya unit usaha tidak memiliki ijin usaha;

3. pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerjanya; 4. pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan

ekonomi lemah tidak menyentuh ke sektor tersebut;

5. unit usaha mudah masuk dari sub sektor ke sub sektor lain; 6. teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional;

7. modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga relatif kecil;


(31)

8. pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak membutuhkan pendidikan khusus;

9. pada umumnya unit usaha termasuk “one man enterprises”, dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga;

10.sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga tidak resmi;

11.hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi untuk masyarakat golongan berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga menengah.

Oleh sebab itu, PKL dapat dianggap sebagai kegiatan ekonomi masyarakat bawah. Memang secara defacto PKL adalah sebagai pelaku ekonomi di pinggiran jalan. PKL dalam melakukan aktivitasnya di mana barang dagangannya diangkut dengan gerobak dorong, bersifat sementara, dengan alas tikar dan atau tanpa meja serta memakai atau tanpa tempat gantungan untuk memajang barang-barang jualannya, dan atau tanpa tenda, dan kebanyakan jarak tempat usaha antara mereka tidak dibatasi oleh batas-batas yang jelas. Para PKL ini tidak mempunyai kepastian hak atas tempat usahanya

Menurut Tri Kurniadi dan Hassel (2003 : 5) bahwa secara kasat mata perkembangan pedagang kaki lima tidak pernah terhentinya timbul seiring dengan pertumbuhan penduduk. Hal ini membawa akibat positif dan negatif. Positifnya perdagangan terlihat dari fungsinya sebagai alternatif dalam mengurangi jumlah pengangguran serta dapat melayani kebutuhan masyarakat ekonomi masyarakat menengah kebawah. Negatifnya dapat menimbulkan masalah dalam pengembangan tata ruang kota seperti mengganggu ketertiban umum dan


(32)

timbulnya kesan penyimpangan terhadap peraturan akibat sulitnya mengendalikan perkembangan sektor informal ini

Menurut Lili N. Schock dalam bukunya menyebutkan istilah “kaki lima” sudah lama dikenal di tepi jalan. Istilah tersebut berasal dari zaman antara tahun 1811-1816, saat Napoleon menguasai benua Eropa dan daerah-daerah koloni Belanda di Asia berada di bawah kekuasaaan administrasi Inggris. Pada masa Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur jenderal di Indonesia yang menginstruksikan sistem lalu lintas di sebelah kiri di jalan-jalan raya dan sekaligus mengeluarkan suatu peraturan bahwa di tepi-tepi jalan harus dibuat trotoar untuk pejalan kaki yang akhirnya disebut sebagai kaki lima.

Sampai sekarang sistem lalu lintas di sebelah kiri masih berlaku, sedangkan trotoar untuk pejalan kaki tidak banyak bertambah. Pada tempat yang sempit inilah para pedagang tepi jalan melakukan usahanya. Jadi, kaki lima adalah trotoar, yaitu tepi jalan yang ditinggikan yang biasanya mengitari rumah, bangunan-bangunan. Maksud sebenarnya kaki lima adalah untuk tempat bagi mereka yang berbelanja standar pasar, tetapi biasanya tempat ini menjadi terlalu sempit dan penuh sesak dengan manusia yang saling mendorong karena dari kaki lima biasanya tempatnya tidak terlalu lebar.

Penyebab menjamurnya pedagang kaki lima terutama lima tahun belakangan ini seiring dengan adanya krisis moneter yang sudah begitu akut, adalah ciri-ciri yang khas dari sektor informal, yaitu:

a. Mudah dimasuki,


(33)

c. Bergantung pada sumber daya lokal, d. Skala operasinya yang kecil.

Sehingga ada kemungkinan para pedagang makanan atau pedagang komoditi lainnya pada saat diperlukan misalnya pada bulan Puasa banting stir dan berdagang bahan-bahan untuk keperluan Lebaran. Keberadaan pedagang sektor informal ini kadang-kadang terlupakan, sehingga pada setiap kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan ekonomi praktis, sektor informal sering terlupakan.

Sebetulnya pedagang sektor informal terutama pedagang kaki lima ini bisa dipakai sebagai penarik wisatawan dari manca negara, seperti misalnya Yogya dengan jalan Malioboronya, Tokyo-Jepang dengan Naka Okachi - Machi dan Harajukunya, Bangkok dengan jalan Petchburi dan jalan Pratunamnya, Singapura dengan Bugis street, Arab street dan Change alley-nya.

Pedagang kaki lima (PKL) merupakan suatu kelengkapan kota-kota diseluruh dunia dari masa dahulu. Sebagai suatu kelengkapan, PKL tidak mungkin dihindari atau ditiadakan. Karena itu kalau ada suatu pemerintahan kota ingin meniadakan PKL akan menjadi kebijaksanaan atau tindakan yang sia-sia.

Pedagang kaki lima (PKL) bagi sebuah kota tidak hanya mempunyai fungsi ekonomi, tetapi juga fungsi sosial budaya. Sebagai suatu fungsi ekonomi, PKL tidak pula semestinya hanya dilihat sebagai tempat pertemuan penjual dan pembeli secara mudah. Tidak pula hanya dilihat sebagai lapangan kerja tanpa membutuhkan syarat tertentu. Tidak pula dilihat sebagai alternatif lapangan kerja


(34)

informal yang mudah terjangkau akibat suatu keadaan ekonomi yang sedang merosot.

Pedagang kaki lima (PKL) haruslah dilihat sebagai pusat-pusat konsentrasi kapital, sebagai pusaran kuat yang menentukan proses produksi dan distribusi yang sangat menentukan tingkat kegiatan ekonomi masyarakat dan negara.

Sebagai sebuah fungsi sosial, PKL tidak semestinya hanya dilihat sebagai pedagang yang serba lemah, tidak teratur, berada ditempat yang tidak dapat ditentukan, mengganggu kenyamanan dan keindahan, sehingga harus selalu ditertipkan oleh petugas. Sebagai suatu gejala sosial, PKL menjalankan fungsi sosial yang sanagat besar. Mereka lah yang menghidupkan dan membuat kota selalu semarak tidak sepi dan dinamis. Dalam pola-pola dan sistem tertentu PKL merupakan daya tarik tersendiri bagi sebuah kota.

Demikian pula dari sudut budaya, PKL menjadi pengemban perkembangan budaya bahkan menjadi modal budaya tertentu. Melalui PKL karya-karya budaya diperkenalkan kepada masyarakat. Selain itu, PKL sendiri merupakan gejala budaya bagi sebuah kota dan menciptakan berbagai corak budaya tersendiri pula.

Pemerintah Kota Medan pun sebetulnya bisa meniru hal ini dengan menata suatu daerah untuk dijadikan daerah khusus untuk pedagang kaki lima dengan beberapa syarat yaitu setiap pedagang diharuskan mempunyai bentuk kios yang seragam, kebersihan yang harus selalu terjaga yang dikelola oleh mereka sendiri dan pelaksanaannya diperiksa oleh aparat pemda yang jika dilanggar lahannya akan disita dan tidak diperbolehkan lagi berjualan. Dihindarinya praktek jual beli


(35)

lapak yang biasanya terjadi baik itu yang dilakukan pemkot maupun oleh organisasi kepemudaan, dihilangkannya pungutan liar atau uang jago yang biasanya ada. Karena kedua hal yang terakhir disebutkan masih ada maka biasanya pedagang akan bertindak seenaknya karena merasa mereka telah membeli lapak, dan mempunyai penjamin yang menghalalkan mereka untuk bertindak semaunya.

Keberadan Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak jarang menimbulkan konflik dengan Pemerintah Kota, yang cenderung menganggap mereka sebagai pengganggu kelancaran aktivitas dan ”ketertiban” kota, sehingga perlu disingkirkan. Kemudian tempat-tempat penampungan pedagang kaki lima ini jika ingin menarik perhatian masyarakat atau turis asing, maka harus dibuat spesifik dengan menjual barang-barang khusus yang laku tidak hanya oleh masyarakat kota juga laku sebagai buah tangan untuk wisatawan asing atau mancanegara. Dan dari segi lokasi harus mudah dijangkau dari segala arah, mempunyai sarana parkir cukup, dan tidak menimbulkan kemacetan yang bisa membebani kota di kemudian hari.

1.7 Hipotesis

Menurut Sugiono (2006:70) hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian. Berdasarkan masalah penelitian diatas maka penulis merumuskan hipotesis terhadap penelitian ini adalah :

Ho : Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kebijakan penataan pedagang kaki lima pasar sukaramai terhadap persepsi masyarakat.


(36)

Ha : Tidak terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kebijakan penataanpedagang kaki lima pasar sukaramai terhadap persepsi

masyarakat.

1.8 Defenisi Konsep

Definisi konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu (Singarimbun, 1989:34). Untuk lebih memberikan pengertian yang jelas mengenai konsep- konsep yang digunakan maka peneliti memberi konsep yang digunakan sebagai berikut :

1. Persepsi

Persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pandangan, pengahayatan, perasaan dan penciuman.

2. Implemntasi Kebijakan

Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat terhadap suatu objek/sasaran yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini adalah implementasi kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL).

3. Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang


(37)

ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki).

1.9 Defenisi Operasional

Didalam defenisi operasional disajikan indikator-indikator dari masalah yang akan diteliti, dalam hal ini akan mempermudah pemahaman akan masalah yang diteliti. Dalam peneltian ini menggunakan dua variabel yaitu :

a. A

B. Variabel Terikat (Y)

Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). Indikator-indikator yang terdapat dalam variabel terikat ini adalah :

1. Tujuan

− Pelaksanaan tata ruang kota

− Peningkatan kesadaran masyarakat 2. Sasaran

− Pedagang Kaki Lima 3. Tahapan-tahapan

− Sosialisasi

− pelaksanaan


(38)

Penulisan ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan

Bab ini teriri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan konseptual, defenisi konsep, defenisi operasional dan sistematika penulisan.

Bab II. Metodologi Penelitian

Bab ini terdiri jenis penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

Bab III. Deskripsi lokasi penelitian.

Bab ini berisi ganbarab umum mengenai lokasi penelitian. Bab IV. Penyajian Data.

Bab ini berisi data-data yang diperoleh dari lapangan, kemudian mentabulasinya.

Bab V. Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.

BAB II

METODE PENELITIAN


(39)

Dalam penulisan ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bermaksud mengadakan pemeriksaan atau pengukuran-pengukuran terhadap gejala tertentu (Fathoni, 2006:97). Dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif ini, penulis ingin membuat gambaran atau lukisan berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya untuk kemudian dijelaskan dan dianalisa sebagaimana adanya berdasarkan data yang diperoleh.

2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian tentang Kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima Pasar Sukaramai dilaksanakan di kelurahan Tegal Sari I kecamatan Medan Area.

2.3 Populasi dan Sampel

Sebelum penelitian dilaksanakan, maka penulis terlebih dahulu menentukan populasi yang akan diteliti. Menurut Sugiono (2005:93) bahw a populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk ditarik kesimpulannya. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di kelurahan Tegal Sari I kecamatan Medan Area.

Untuk penentuan sampel seluruh masyarakat di kelurahan Tegal Sari I kecamatan Medan Area, penulis mengutip pendapat Sugiono (2005:93) Simple Random Sampling yaitu dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata


(40)

yang ada dalam populasi itu. Cara demikian dialakukan bila anggota populasi dianggap homogen.

Untuk menentukan jumlah sampel penulis menggunakan pendapat Taro Yamane yaitu :

Keterangan : N = Populasi n = Sampel

d = Tingkat kesalahan penarikan sampel : 10% dan tingkat kepercayaan 90%.

Selanjutnya dengan mensubstitusikan jumlah populasi dan presisi kedalam rumus diatas, maka diperoleh hasil sebagai berikut :

1 2 + = Nd N n 1 100 10 416 . 12 416 . 12 2 +       = n

( )

0,1 1 416 . 12 416 . 12 2 + = n

( )

0,01 1 416 . 12 416 . 12 + = n 1 16 , 124 416 . 12 + = n

N

n =


(41)

16 , 125

416 . 12

= n

99

=

n

2.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk informasi yang dibutuhkan peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Data primer merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari kejadian yang lalu, antara lain :

a. Metode Kuisioner, yaitu sebagai alat pengumpulan data yang berisi daftar pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada subjek atau responden penelitian.

b. Metode Wawancara, yaitu seorang peneliti mengadakan kontak langsung dengan subjek atau responden penelitian melalui pertanyaan secara lisan yang tujuannya untuk melengkapi kuesioner.

c. Metode Observasi, yaitu mengumpulkan data tentang gejala tertentu yang dilakukan dengan mengamati, mencatat kejadian yang menjadi sasaran penelitian

2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research), yaitu dengan membuka, mencatat dan mengutip dari data dari buku-buku, laporan-laporan penelitian, jurnal-jurnal, pendapat-pendapat para


(42)

ahli/pakar dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah penelitian dan dapat mendukung terlaksananya penelitian ini.

2.5 Teknik Penentuan Skor

Teknik pengukuran skor oleh nilai yang digunakan dalam penelitian ini adalah memakai skala ordinal untuk menilai jawaban kuisioner yang akan disebarkan kepada responden.

Adapun skor dari setiap pertanyaan yang ditemukan adalah : a. Untuk jawaban alternatif A diberi skor 5

b. Untuk jawaban alternatif B diberi skor 4 c. Untuk jawaban alternatif C diberi skor 3 d. Untuk jawaban alternatif D diberi skor 2 e. Untuk jawaban alternatif E diberi skor 1

Kemudian untuk menentukan kategori jawaban responden terhadap masing-masing altenatif apakah tergolong tertinggi, sedang atau rendah terlebih dahulu ditentukan skala intervalnya dengan cara sebagai berikut :

Skor tertinggi – Skor terendah Banyaknya bilangan Maka diperoleh :

5 – 1 = 0,8 5

Dengan demikian dapat diketahui kategori jawaban responden untuk masing-masing variabel yaitu :


(43)

b. Score untuk kategori B : 3,41 – 4,20 c. Score untuk kategori C : 2,61 – 3,40 d. Score untuk kategori D : 1,81 – 2,60 e. Score untuk kategori E : 1,00 – 1,80

Untuk menentukan jawaban responden tergolong sangat baik, baik, sedang, buruk, sangat buruk maka jumlah jawaban responden akan ditentukan rata-ratanya dengan membagi jumlah pertanyaan. Dari hasil pembagian tersebut akan diketahui kategori jawaban responden.

2.6 Teknik Analisis Data

Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisa data yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah dengan mempergunakan teknik analisa secara kuantitatif untuk menguji pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat.

Adapun metode statistik yang digunakan adalah :

a. Koefesien Product Moment

Cara ini dipergunakan untuk mengetahui ada tidaknya dan besar kecilnya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat (Sugiono:212)

( )

{

∑ ∑

}

{

( )

}

= 2 2 2 2 x n ) )( ( -xy n y y n x y x rxy Keterangan :

rxy = Indeks validitas yang dihitung n = Jumlah sampel


(44)

∑x2

= Jumlah kuadrat skor x

∑y = Jumlah seluruh score y

∑y2

= Jumlah kuadrat score y

∑xy = Jumlah hasil kali antar score x dan y

Untuk melihat hubungan antara kedua variabel tersebut, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Nilai “rxy” yang positif menunjukan kedua variabel yang positif, artinya kenaikan nilai variabel yang satu diikuti oleh variabel yang lain.

b. Nilai “rxy” yang negatif menunjukan hubungan kedua variabel negatif, artinya menurunnya nilai variabel yang satu diikuti oleh meningkatnya nilai variabel yang lain.

c. Nilai “rxy” yang sama dengan nol menunjukan kedua variabel tidak mempunyai hubungan artinya variabel yang satu meskipun yang lainnya berubah.

Untuk mengetahui adanya hubungan yang tinggi atau rendah antara kedua variabel berdasarkan nilai “r” (Koefisien Korelasi) digunakan penafsiran atau interprestasi angka yang dikemukakan oleh Sugiono (2005:214) yaitu:

Interprestasi Koefisien Korelasi Product Moment


(45)

0,00 – 0,199 Sangat Buruk

0,20 – 0,399 Buruk

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Baik

0,80 – 1,000 Sangat Baik

Dengan nilai “r” yaitu kita peroleh, kita dapat melihat secara langsung melalui tabel korelasi untuk menguji apakah nilai “r” yang diperoleh tersebut berarti atau tidak. Tabel korelasi ini mencantumkan “r” yang signifikan, dalam hal ini signifikansi pada Alpha toleransi 5%. Bila nilai “r” tersebut adalah signifikansi hipotesis kerja atau hipotesis alternatif dapat diterima.

b. uji hipotesis

Untuk menguji hipotesis, pengaruh antara kebijakan penataan pedagang kaki lima pasar Sukaramai terhadap persepsi masyarakat maka diakanan uji hipotesis dengan rumus “t” yaitu :

Dimana :

r = Jumlah Sampel n =

Harga t


(46)

Teknik ini digunakan untuk mengetahui berapa persen besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Perhitungan dilakukan dengan mengkuadratkan nilai koefisien product moment (rxy) dan dikalikan dengan 100%.

KP = (rxy) 2. 100

Keterangan :

KP = Koefisien Determinan

rxy = Koefisien Korelasi Product Moment

BAB III


(47)

3. 1 Sejarah Kelurahan Tegal Sari I

Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area dahulunya merupakan bagian dari daerah Kecamatan Medan Kota, namun pada tahun 1990 kelurahan ini dimekarkan menjadi Kecamatan Medan Area, ketika itu yang menjadi pejabat kelurahan dipimpin oleh Bapak Rusbi Harahap. Bersamaan dengan pemekaran itu ada 12 kelurahan yang dimekarkan termasuk Kelurahan Tegal Sari I, ke-12 kelurahan tersebut antara lain : Kelurahan Kotamaksum I, Kelurahan Kotamaksum II, Kelurahan Kotamaksum IV, Kelurahan Tegal Sari I, Kelurahan Tegal Sari II, Kelurahan Tegal Sari III, Kelurahan Sukaramai I, Kelurahan Sukaramai II, Kelurahan Pandahulu I, Kelurahan Permata, Kelurahan Sei Rengas, dan Kelurahan Pasar Merah Timur.

Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area terkenal dengan pasar tradisionalnya yaitu Pasar Sukaramai. Walaupun ada kebijakan pemerintah untuk mengganti pasar ini menjadi pasar modren, warga Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area terlihat seolah-olah tidak peduli akan hal itu. Asalkan mereka diberikan tempat berjualan. Sejauh ini masalah itu tidak dipersoalkan masyarakat amsyarakat setempat yang hampir keseluruhan penduduknya hidup dengan berdagang.

3.2 Letak dan Keadaan Wilayah 3.2.1 Kondisi iklim dan letak geografis


(48)

Lokasi Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area berada pada pinggiran Kota Medan. Meskipun berada dipinggiran Kota Medan, jika dilihat dari letak wilayahnya lokasi ini berpenduduk padat. Banyak angkutan umum yang melintas dan berdekatan dengan pasar membuat daerah ini terkenal dengan daerah yang rawan macet lalu lintas. Kelurahan Tegal Sari I termasuk beriklim sedang dan banyak curah hujan yang jatuh pada bulan oktober dan november.

3.2.2 Batas-batas wilayah

Kelurahan Tegal Sari I memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sukaramai I dan Sukaramai II Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Tegal Sari Mandala II

Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tegal Sari III Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tegal Sari Mandala II

3.2.3 Luas Wilayah

Luas Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area 18,9 Ha, yang terdiri dari 12 lingkungan. Sebagian besar wilayah diguanakan sebagai dareah pemukiman yaitu sebesar 16,4 Ha, untuk pekarangan sebesar 2 Ha dan selebihnya untuk perkantoran sebesar 0,5 Ha

3.3 Komposisi Penduduk


(49)

Jumlah penduduk Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area termasuk cukup padat dibandingkan dengan luas wilayahnya yang hanya 18,9 Ha. Jumlah penduduknya tahun 2005 adalah 11. 874 jiwa yang terdiri dari 5. 629 jiwa laki-laki (47,4 %) dan 6.245 jiwa perempuan (52,6 %), dengan jumlah kepala keluarga sekitar 2035 kepala keluarga.

Tabel 3.1 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah %

1 Laki-laki 5.629 jiwa 47,4

2 Perempuan 6.425 jiwa 52,6

Jumlah 11.874 jiwa 100,0 %

3.3.2 Komposisi penduduk berdasarkan pendidikan

mayoritas penduduknya memiliki tingakat pendidikan yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari pendidikan masyarakatnya yang masih ada yang tidak berpendidikan sekitar 12 orang (0,1 %). Pendidikan yang paling terbanyak adalah lulusan SLTP sebanyak 2786 orang (23,4 %), kemudian SMU sebanyak 272 orang (23 %), SD sebanyak 2263 orang (22,4 %), D1-D3 sebanyak 2232 orang (19 %), dan S1-S2 sebanyak 333 orang (3 %)


(50)

No Pendidikan Jumlah %

1 Belum Sekolah 1128 9,1

2 Tidak tamat 12 0,1

3 SD 2263 22,4

4 SLTP 2786 23,4

5 SMU 272 23

6 D1-D3 2232 19

7 S1-S2 333 3

Jumlah 11.872 100

3.3.3 Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian

Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah sebagai pedagang di pasar Sukaramai. Hal ini disebabkan tempat tinggal mereka berdekatan dengan pasar tersebut. Yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 2264 jiwa (69 %), sedangkan urutan kedua sebagai kuli/buruh pabrik sebanyak 785 jiwa (20,4%), penjahit sepatu 150 % (4%), tukang batu 40 orang (1,03 %), tukang kayu 40 orang (1,03%), PNS 91 jiwa (2,4 %), pengrajin 15 orang (0,14 %), dokter 4 orang (0,14 %), supir 12 orang (0,31 %), penarik becak 48 orang (1,24%), dan TNI/POLRI sebanyak 19 jiwa (0,35 %)


(51)

No Keterangan Jumlah %

1 Buruh 785 20,4

2 PNS 91 2,4

3 Pengrajin 5 0,14

4 Pedagang 2664 69

5 Penjahit 150 4

6 Tukang Batu 40 1,03

7 Tukang Kayu 40 1,03

8 Dokter 4 0,10

9 Supir 12 1,31

10 Penarik Beca 48 1,24

11 TNI/POLRI 19 0,35

Jumlah 3856 100

3.3.4 Komposisi penduduk berdasarkan agama

Penduduk Tegal Sari I kecamatan Medan Area mayoritas beragama islam sebanyak 4684 jiwa ( 39,4 % ) kemudian disusul dengan yang beragama Budha 4168 jiwa ( 35,20 % ), beragama kristen 2708 jiwa ( 22,80 % ), beragama katolik sebanyak 305 jiwa ( 2,50 % ) dan beragama hindu sebanyak 9 jiwa ( 0,70 % ).


(52)

No Keterangan Jumlah %

1 Islam 4684 39,4

2 Budha 4168 35,20

3 Kristen 2708 22,80

4 Katolik 305 2,50

5 Hindu 9 0,70

Jumlah 11874 100

3.3.5 Komposisi Penduduk berdasarkan suku bangsa

Kelurahan Tegal Sari I kecamatan Medan Area banyak dihuni oleh suku-suku pendatang seperti suku-suku Tionghoa, Minang, Mandailing, Batak Toba dan Nias. Tapi kedua suku Tionghoa dan Minang yang paling mendominasi di daerah ini. Dari tabel di bawah kita lihat bahwa suku minang lebih mendominasi sebesar 4609 jiwa ( 38,91 % ), diposisi kedua suku Tionghoa sebesar 4168 jiwa ( 35,10 % ), kemudian Batak 1449 jiwa ( 12,20 % ), Mandailing 750 jiwa ( 6,31 % ), Jawa 385 jiwa ( 3,22 % ), Aceh 350 jiwa ( 3 % ), Melayu 141 jiwa ( 1,18 % ), Nias 15 jiwa ( 0,12 % ) dan Sunda 9 jiwa ( 0,06 % ).


(53)

No Keterangan Jumlah %

1 Minang 4609 38,81

2 Tionghoa 4168 35,10

3 Batak 1449 6,31

4 Mandailing 750 3,22

5 Jawa 385 12,2

6 Aceh 350 1,18

7 Melayu 141 3

8 Nias 15 0,12

9 Sunda 9 0,06

Jumlah 11874 100

3.4 Sarana dan Prasarana

Sarana merupakan hal yang amat penting bagi pencapaian tujuan. Bagaimana baiknya suatu rencana, tanpa didukung oleh adanya sarana maka tujuan dari perencanaan itu akan sulit tercapai. Untuk mendukung tugas pelayanan terhadap masyarakat, maka di kelurahan tegal sari I kecamatan medan area tersedia berbagai sarana dan prasarana , seperti : sarana di bidang agama, pendidikan, kesehatan, olah raga, air bersih dan ekonomi. Untuk lebih jelas lagi berikut penjelasan mengenai hal tersebut.


(54)

Kebebasan beragama dijamin kuat oleh negara Indonesia karena menurut UUD 1945 dinyatakan bahwa kebeban beragam dan menjalankan ibadah termasuk hak individu setiap warga negara. Beragamnya agama sudah pasti didukung dengan tersedianya tempat untuk melakukan ibadah bagi pemeluknya. Karenanya sarana peribadatan ini juga bisa dijadikan tolak ukur populasi pemeluk agama dalam suatu daerah, di kelurahan tegal sari I kecamatan medan area sarana peribadatan terdiri dari 5 buah mesjid, 2 buah gereja, dan 1 buah wihara.

3.4.2 Sarana pendidikan

Sarana pendidikan di kelurhan tegal sari I kecamatan medan area terdiri dari bangunan SLTP 1 buah, SD 1 buah, dan gedung TK 1 buah.

3.4.3 Sarana kesehatan

Masalah kesehatan sering menjadi problem yang sangat sulit diberantas di negara ini. Salah satu kendalanya adalah tidak tersedianya sarana kesehatan yang baik di masyarakat kita. Hal ini terlihat dari sarana yang kita jumpai di kelurahan tegal sari I kecamatan medan area sarana kesehatan terdiri dari 1 buah Puskemas, 1 buah Posyandu, 2 buah apotik dan toko obat sebanyak 1 buah.

3.4.4 Sarana air besih

Saran air bersih merupakan adalah alat yang sangat vital bagi kelangsungan hidup. Air bersih sangat dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari. Sebahagian besar kebutuhan akan air bersih tersebut disediakan oleh PDAM Tirtanadi dan selebihnya warga memakai sumur gali.


(55)

Saran aekonomi merupakan alat masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebahagian besar penduduk kelurahan tegal sari I kecamatan medan area hidup dengan berdagang maka saran ekonomi pun lebih mengarah kepada sarana perdagangan. Dari tabel di bawah ini dapat kita lihat toko/swalayan sebanyak 65 buah, kios kelontong sebanyak 37 buah, warung makan sebanyak 8 buah, industri kerajinan tangan sebanyak 5 buah, mebel sebanyak 3 buah, percetakan/sablon sebanyak 2 buah dan bengkel sebanyak 2 buah.

Tabel 3.6 Sarana ekonomi

No Jumlah %

1 toko/swalayan 65 53,27

2 kios kelontong 37 30,32

3 warung makan 8 6,55

4 industri kerajinan tangan 5 4,09

5 mebel 3 2,45

6 percetakan/sablon 2 1,63

7 bengkel 2 1,63

Jumlah 122 100


(56)

PENYAJIAN DATA

Dalam bab ini akan menyajikan data yang diperoleh selama penelitian dilapangan. Data yang disajikan dalam bab ini adalah mengenai persepsi masyarakat dan kebijakan penataan pedagang kaki lima (PKL) pasar sukaramai. Adapun data yang disajikan oleh penulis terbagi dua yaitu identitas responden dan data jawaban responden.

4.1 Deskripsi Hasil Penelitian

4.1.1 Data dan distribusi identitas responden

Data mengenai responden berisi tentang identitas responden sehingga penulis lebih mengenal responden yang diteliti dan mempermudah dalam melakukan penelitian, selanjutnya identitas responden tersebut didistribusikan ke dalam keterangan tabel sebagai berikut :

Tabel 4.1 Identitas Responden berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

1 Laki-laki 44 44,4

2 Perempuan 55 55,6

Jumlah 99 100

Sumber : Hasil penelitian 2007

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden adalah perempuan sebanyak 55 orang atau sekitar 44,4 % dan laki-laki sebanyak 55 orang atau 55,6 %.


(57)

Selanjutnya tabel dibawah ini menjelaskan jumlah responden menurut kelompok umur.

Tabel 4.2 Identitas Responden berdasarkan kelompok umur

No Kelompok Umur (Tahun) Frekuensi Persentase (%)

1 20 – 29 45 45,5

2 30 -39 35 35,4

3 40 -49 15 15,1

4 50 tahun keatas 4 4,0

Jumlah 99 100

Sumber : Hasil penelitian 2007

Dari tabel daiatas dapat kita lihat bahwa mayoritas responden berada pada umur 20-29 tahun, yaitu sebanyak 45 orang atau sekitar 45,5 %, kemudian pada kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 35 orang atau 35,4 %, kemudian 40-49 tahun sebanyak 15 orang atau 15,1 % dan kelompok 50 tahun keatas sebanyak 4 orang atau 4,0 %.

Selanjutnya tabel dibawah ini menerangkan jumlah responden menurut tingkat pendidikan.

Tabel 4.3 Identitas Responden berdasarkan tingkat pendidikan


(58)

1 Tamat SD 15 15,2

2 Tamat SLTP 25 25,2

3 Tamat SLTA 37 37,4

4 Tamat Akademi/Diploma 3 20 20,2

5 Sarjana 2 2,0

Jumlah 99 100

Sumber : Hasil penelitian 2007

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa jumlah responden yang terbanyak adalah tamat SLTA sebanyak 37 orang atau 37,4 % dan tamat Sarjana sebanyak 2 orang atau 2,0 %, kemudian tamat Akademi/Diploma 3 sebanyak 20 orang atau 20,2 %, tamatan SLTP 25 orang atau 25,2 % dan tamatan SD sebanyak 15 orang atau 15,2 %.

Selanjutnya tabel dibawah ini juga menerangkan jumlah responden menurut jenis pekerjaan.

Tabel 4.4 Identitas Responden berdasarkan jenis pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)

1 Pedagang 34 34,3

2 Buruh 20 20,2

3 TNI/POLRI 5 5,0

4 PNS 30 30,3

5 Lain-lain 20 20,2

Jumlah 99 100


(59)

Dari tabel diatas dapat diketahui jenis pekerjaan responden dimana 34 orang atau 34,3 % adalah Pedagang, 30 orang atau 30,3 % adalah PNS, 20 orang atau 20,2 % adalah Buruh dan 20 orang atau 20,2 % lain-lain.

4.1.2 Jawaban responden tentang persepsi mayarakat (X)

Untuk mengetahui persepsi masyarakat dapat kita lihat melalui pandangan, pemahaman dan tanggapan mereka berikan. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini

Grafik 4.1 Jawaban responden tentang jumlah pedagang kaki lima yang semakin menjamur

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas menunjukan bahwa 57 responden atau 57,6 % responden menyatakan setuju bahwa makin hari jumlah pedagang kaki lima semakin bertambah, sedangkan 16 responden atau 16,2 % menyatakan sangat setuju, 12 responden atau 12,1 % menyatakan ragu-ragu, 11 responden atau 11,1 % menyatakan tidak setuju dan 3 responden atau 3,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju

Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju


(60)

Grafik 4.2 Jawaban responden tentang lebih suka berbelanja dengan pedagang kaki lima.

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 54 responden atau sekitar 54,5 % menyatakan setuju bahwa lebih suka berbelanja pada pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan, 18 responden atau 18,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 12 responden atau 12,1 % menyatakan ragu-ragu, 9 responden atau 9,1 % menyatakan tidak setuju dan 6 responden atau 6,1 % menyatakan sangat tidak setuju

Grafik 4.3 Jawaban responden tentang keberadaan pedagang kaki lima.

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

0 10 20 30 40 50 60 Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju

Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju

Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju


(61)

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 40 responden atau sekitar 40,4 % menyatakan tidak setuju dengan keberadaan pedagang kaki lima, 25 responden atau 25,3 % menyatakan sangat tidk setuju, kemudian 10 responden atau 10,1 % menyatakan ragu-ragu, 15 responden atau 15,1 % menyatakan setuju dan 9 responden atau 9,1 % menyatakan sangat setuju.

Grafik 4.4 Jawaban responden bahwa berbelanja pada pedagang kaki lima lebih murah daripada tempat lain

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 54 responden atau 54,5 % menyatakan setuju bahwa berbelanja pada pedagang kaki lima lebih murah dibandingkan di tempat lain, sedangakan 18 responden atau 18,2 % menyatakan sangat setuju, 12 responden atau 12,1 % menyatakan ragu-ragu dan 9 responden atau 9,1 % menyatakan tidak setuju, 6 responden atau 6,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju


(62)

Grafik 4.5 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab kurang bersihnya pasar sukaramai

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 55 responden atau sekitar 55,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab kurang bersihnya pasar Sukaramai, 30 responden atau 30,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 7 orang atau 7,1 % menyatakan ragu-ragu, 4 responden atau 4,0 % menyatakan tidak setuju dan 3 responden atau 3,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Grafik 4.6 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab terganggunya ketertiban umum di sekitar pasar Sukaramai

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju

Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju


(63)

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab terganggunya ketertiban umum di sekitar pasar sukaramai, 32 responden atau 32,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian sebanyak 5 responden atau 5,1 % menyatakan ragu-ragu, 3 responden atau 3,0 % menyatakan tidak setuju dan 3 responden atau 3,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Grafik 4.7 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab kurang indahnya pasar sukaramai

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas menunjukan bahwa 55 responden atau sekitar 55,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab kurang indahnya pasar Sukaramai, 31 responden atau 31,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 7 responden atau 7,1 % menyatakan ragu-ragu, 3 responden atau 3,0 % menyatakan tidak setuju dan 3 orang atau 3,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju


(64)

Grafik 4.8 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab kurang teraturnya pasar Sukaramai

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab kurang teraturnya pasar sukaramai, 31 responden atau 31,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 4 responden atau 4,0 % menyatakan ragu-ragu, 5 responden atau 5,1 menyatakan tidak setuju dan 3 responden atau 3,0 menyatakansangat tidak setuju.

Grafik 4.9 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab meningkatnya gangguan keamanan pasar Sukaramai

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju


(65)

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab meningkatnya gangguan keamanan pasar sukaramai, 32 responden atau 32,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 4 responden atau 4,0 % menyatakan ragu-ragu, 4 responden atau 4,0 % menyatakan tidak setuju dan 3 responden menyatakan sangat tidak setuju.

Grafik 4.10 Jawaban responden tentang pedagang kaki lima penyebab kemacetan lalu lintas sekitar pasar Sukaramai

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 55 responden atau 55,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab kemacetan lalu lintas di sekitar pasar sukaramai, 34 responden atau 34,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 4 responden atau 4,0 % menyatakan ragu-ragu, 3 responden atau 3,0 % menyatakan tidak setuju dan 2 responden atau 2,0 % menjawab sangat tidak setuju.

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju


(66)

Grafik 4.11 Jawaban responden tentang keberadaan pedagang kaki lima

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 54 responden atau 54,5 % menyatakan setuju dengan penertiban dan penataan terhadap pedagang kaki lima, 21 responden atau 21,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 10 responden atau 10,1 % menyatakan ragu-ragu, 10 responden atau 10,1 menyatakan tidak setuju dan 4 responden atau 4,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

4.1.3 Jawaban responden terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima Untuk mengetahui implemenasi kebijakan penataan pedagang kaki lima dapat kita lihat melalui pandangan, pemahaman dan tanggapan responden. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju


(67)

Grafik 4.12 Jawaban responden dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima benar-benar untuk menciptakan kebersihan, keindahan, keamanan,dan

ketertiban pasar sukaramai

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 51 responden atau sekitar 51,5 % menyatakan setuju bahwa dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima benar-benar untuk menciptkan kebersihan, keindahan, ketertiban dan keamanan pasar Sukaramai, 20 responden atau 20,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 15 responden atau 15,1 % menyatakan ragu-ragu, dan 6 responden atau 6,1 % menyatakan tidak setuju, 7 responden atau 7,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

Grafik 4.13Jawaban responden meningkatnya kebersihan, keindahan, ketertiban dan keamanan pasar sukaramai.

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju


(68)

.

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 55 responden ata 55,6 % menyatakan tidak setuju meningkatnya kebersihan, keindahan, ketertiban dan keamanan pasar sukaramai, 30 responden atau 30,3 % menyatakan sangat tidak setuju, kemuudian 7 responden menyatakan ragu-ragu, 4 responden atau 4,0 % menyatakan setuju dan 3 responden atau 3,0 % menyatakan sangat setuju.

Grafik 4.14 Jawaban responden semenjak adanya kebijakan penataan pedagang kaki lima terjadi peningkatan kebersihan, keindahan, keamanan dan ketertiban.

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 54 responden atau sekitar 54,5 % menyatakan tidak setuju bahwa semenjak adanya kebijakan penataan pedagang kaki lima terjadi peningkatan kebersihan, keindahan, keamanan dan ketertiban di pasar Sukaramai. 16 responden atau 16,2 % menyatakan sangat tidak setuju, 20 responden atau 20,2 % menyatakan ragu-ragu, kemudian 5 responden atau 5,1 % menyatakan setuju dan 4 responden atau 4,0 % menyatakan sangat setuju.

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju


(69)

Grafik 4.15 Jawaban responden tentang kebijakan penataan pedagang kaki lima

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 54 responden atau sekitar 54,5 % menyatakan setuju dengan kebijakan penataan pedagang kaki lima, 20 responden atau 20,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 15 responden 15,1 % menyatakan ragu-ragu, 5 responden atau 5,1 % menyatakan tidak setuju dan 5 responden atau 5,1 % menyatakan sangat tidak setuju

Grafik 4.16 Jawaban responden tentang penataan pedagang kaki lima dilakukan dengan penggusuran.

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju


(70)

dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju dengan dilakukan penggusuran terhadap pedagan kaki lima yang berjualan di badan jalan, 15responden atau 15,1 % menyatakan sangat setuju, kemudian 11 responden 11,1 % menyatakan ragu-ragu, 10 responden atau 10,1 % menyatakan tidak setuju dan 7 responden atau 7,1 % menyatakan sangat tidak setuju

Grafik 4.17 Jawaban responden tentang pengadaan pertemuan antara aparat yang terkait dengan pedagang kaki lima.

Sumber : Pengolahan data questioner 2007

Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju diadakan pertemuan antara aparat yang terkait dengan pedagang kaki lima untuk mencari jalan keluar yang terbaik, 18 responden atau 18,1 % menyatakan sangat setuju, kemudian 15 responden atau 15,1 % menyataka ragu-ragu, 5 responden atau 5,1 % menyatakan tidak setuju dan 5 responden atau 5,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

0 10 20 30 40 50 60

Sangat Tidak Setuju


(1)

masyarakat. Instruksi Walikota Medan No. 141/1417/Inst Tanggal 24 Juli 2001 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Camat dalam Membina dan Mengawsi Program Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan.

Sebagai ujung tombak penyelesaian masalah, Camat dan Lurah diharuskan membina langsung ke lapangan sehingga permasalahan yang ada dapat diselesaikan.Hanya yang menjadi permasalahan adalah Camat dan Lurah juga diminta pertanggungan jawabya oleh masyarakat yang bekerja sebagai pedagang kaki lima. Tanggung jawab tersebut berupa lapangan pekerjaan pengganti bila meninggalkan profesi sebagai PKL. Secara ideal memang seharusnya pemerintah dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya tetapi karena keterbatasan pemerintah maka hal tersebut tidak dapat dipenuhi.

Hal lain yang menjadi permasalahan yang sangat kompleks adalah Camat dan Lurah dihadapkan pada satu sisi masyarakat harus bekerja dan mencari nafkah, di satu sisi lagi mereka harus menertibkan pekerjaan masyarakatnya. Peneliti juga melihat permasalahan PKL ini sudah berlarut-larut dan sangat susah diselesaikan.

Peneliti melihat bahwa Pemerintah Kota Medan seharusnya konsisten dalam menerapkan peraturaan yang dilaksanakannya. Sebagai contoh, penulis melihat bahwa penertiban yang dilangsungkan tidak dibarengi dengan follow up meneruskan dan menjaga daerah tersebut untuk digunakan sebagai tempat berdagang kembali. Dengan kata lain penanganan kaki lima di suatu tenpat tidak boleh sementara tetapi sifatnya adalah tetap, tidak memberikan harapan/kesempatan untuk berkembang pesat. Pemerintah Kota Medan tidak


(2)

boleh menempatkan posisi PKL dalam daerah abu-abu (gray area) di mana dalam pandangan hukum jenis profesi ini dilarang tetapi dari segi lain perasaan bertanggung jawab munculnya profesi ini (pemerintah tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan) merupakan sisi lain yang harus dihadapi.

Selama para pedagang kaki lima masih menggantung hidupnya pada profesi ini maka mereka akan berusaha melawan dan mempertahankan mata pencahariannya. Untuk itu sebenarnya pemerintah perlu mengkoreksi pendekatan yang dilakukan dengan menganalisa sebab dan latar belakang mereka menjadi pedagang kaki lima Keresistenan terhadap tindakan maksudnya adalah kemampuan bertahan dari tindakan-tindakan dan kbijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Disini akan muncul pola kondisi/kegiatan digusur-lari-bangun lagi- berdagang kembali. Intinya adalah pedagang kaki lima punya kemampuan untuk lebih cepat merecover usaha mereka. Kita bisa lihat kasus-kasus di kota Medan di mana pedagang-pedagang yang telah digusur dengan cepat berdagang kembali sementara pemerintah telah kehabisan daya dan logistik untuk mendudukung penggusuran tersebut.

Peneliti melihat Camat dan Lurah harus di bantu (back up) secara penuh oleh instansi lain yang terkait sehingga permasalahan PKL dapat diselesaikan dan masyarakat dapat tetap dapat hidup dan mencari nafkah. Sehingga bila permasalahan PKL tidak dapat diselesaikan bukan hanya merupakan tanggung jawab Camat dan Lurah saja, tetapi merupakan tanggung jawab Pemerintah Kota sebagai suatu system.


(3)

Keberadaan pedagang kaki lima di Kecamatan Medan Kota memberikan kontribusi pada perputaran perekonomian terutama pada komunitas masyrakat menengah ke bawah. Penanganan masalah kaki lima masih bersifat insedental program sehingga muncul keresitenan pedagang kaki lima terhadap situasi tersebut.

Perlunya pemahaman yang lebih substantif terhadap masalah pedagang kaki lima tersebut karena dari hasil penelitian responden yang menjadikan profesi ini sebagai pekerjaan utama dan bermotif ekonomi sehingg penanganannya bisa lebih baik tanpa harus mengorbankan sisi penting kehidupan. Peraturan yang berlau sudah cukup dasar hukumnya dimana Camat dan Lurah dijadikan ujung tombak menyelesaikan permasalahan PKL harus dibantu (back up) secara peneuh oleh instansi-instansi terkait


(4)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kelurahan Tegal Sari I kecamatan Medan Area, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari hasil perhitungan korelasi antara persepsi masyarakat dengan kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) pasar Sukaramai menunjukan nilai 0,03 yang berarti korealsi tersebut menunjukan hubungan yang sangat buruk, hal ini berarti hipotesa yang mengatakan bahwa ”ada hubungan yang signifikan dan positif antara kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) pasar sukaramai terhadap persepsi masyarakat “ tidak terbukti dan tidak dapat diterima.

2. Koefisien Determinasi menghasilkan persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) pasar sukaramai sebesar 0,09 % ini berarti persepsi masyarakat terhadap kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) pasar Sukaramai sangat buruk.

B. Saran

1. Pemerintah perlu mensosialisasikan Perda dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan pedagang kaki lima, sehingga pedagang dan masyarakat paham betul mengenai landasan tindakan yang diambil pemerintah. Tindakan yang diambil harus konsisten dan tidak sebagai insedental program.


(5)

2. Pemerintah mengusahakan membuka lapangan pekerjaan sebagai pengganti pekerjaan sebagai PKL.

3. Perlu dicari pendekatan yang sifatnya win-win solution antara pemerintah dan pedagang kaki lima serta menyadari posisi masing-masing sebagai salah satu bagian dari sistem yang berlangsung dimasyarakat


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, CM Tadjudin. Urbanisasi Pengangguran dan sector Informal di

Kota,1991.

Limbong, Dayat. Penataan Lahan Usaha Dagang Pedagang Kaki Lima (PKL):

Ketertiban Vs Kelangsungan Hidup, Pustaka Bangsa Press, 2007.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Sosial. 1995

Schoch, N.Lili. Kaki Lima dan Streethowkers in Indonesia, 1986. Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Survey. 1984.

Subarsono, AG. Analisa Kebijakan Publik, 2001.

Sugiono. Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta. 2004. Tangkilisan, Hesel Nogi S. Kebijakan Bumi Yang Membumi, 2003.

Thoha, Miftath. Perilaku Organisasi, Konsep dasar dan aplikasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.

Soetomo. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2006

Tarigan, Robinson. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta : Bumi Aksara, 2003.

Jailuddin, Daud. Proceeding seminar nasional ”Penataan Ruang Menghadapi


Dokumen yang terkait

Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

3 79 110

Implementasi Program Keluarga Harapan Di Kelurahan Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan Denai Kota Medan

7 70 106

Tinjauan Tentang Keberadaan Pedagang Kaki Lima Jl.Dr. Mansur Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Kota Medan

3 66 97

Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Di PD Pasar Kota Medan Sebagai Sarana Peningkatan Pendapatan Asli Daerah

26 316 67

Dominasi Kekuasaan Dan Perlawanan Masyarakat Studi Kasus : Dominasi Pemerintah Kota Terhadap Pedagang Pasar Senapelan Kota Pekanbaru Riau

1 40 103

Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan)

47 207 125

Kajian Spasial Pedagang Kaki Lima Dalam Pemanfaatan Ruang Publik Kota Studi Kasus: Koridor Jalan Arif Rahman Hakim Jalan Aksara Pasar Sukaramai Kelurahan Sukaramai I Kecamatan Medan Area Medan

2 89 128

Respon Pedagang Kaki Lima (PKL) Tentang Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Studi Kasus PKL di Jalan Dr. Mansyur Depan Kampus USU Kota Medan

6 75 108

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN KAWASAN PEDAGANG KAKI LIMA (STUDI KASUS RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA KAWASAN ALUN-ALUN KOTA PASURUAN)

4 9 13

STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkl

0 1 16