Legalisasi Aborsi di Indonesia Perspekti

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 497

Legalisasi Aborsi di Indonesia
Perspektif Perbandingan Hukum Pidana:
Antara Common Law System dan Civil Law System
Paulinus Soge
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Mozes Gatotkaca No. 28 Yogyakarta
chrisp@mail.uajy.ac.id
Abstract
The purpose of this article is to discuss ius constituendum on abortion in Indonesia from criminal law
perspective between Common Law System and Civil Law System. Ius constituendum on abortion
in Indonesia is not directed to legalization of abortion as carried out both in The Netherlands and USA
but tends to be harmonized with therapeutic abortion concept both in medical and psychiatric fields.
Such a harmonization would result in the enlargement of exception in carrying out abortion not only
limited on ‘for saving mother’s life based on medical indication’ but also for other reasons such as
‘pregnancy because of rape and incest’, ‘mother experiencing huge mental disorder’ and ’the fetus
experiencing huge physical destruction’.

Key words : abortion, criminal law, common law system, civil law system.


Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang ius constituendum terhadap aborsi di Indonesia dari
perspektif hukum kriminal, yaitu Sistem Hukum Umum dan Sistem Hukum Sipil. Ius constituendum
terhadap aborsi di Indonesia tidak ditujukan untuk melegalkan aborsi seperti halnya di Belanda dan
Amerika Serikat, akan tetapi lebih untuk menyelaraskan konsep aborsi terapetik dalam bidang medis
dan kejiwaan. Dalam perkembangannya, keselarasan tersebut akan memperluas pengecualian dalam
pelaksanaan aborsi, yaitu tidak hanya sebatas “menyelamatkan nyawa sang ibu berdasarkan indikasi
medis”, namun juga alasan-alasan lain, seperti “kehamilan karena perkosaan dan inses”, “kelainan jiwa
pada ibu”, dan “janin yang mengalami kelainan fisik berat”

Kata kunci : aborsi, hukum pidana, sistem hukum umum, sistem hukum sipil

498 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
Pendahuluan
Ketentuan hukum tentang aborsi terdapat di dalam Pasal 295 s.d. 298 KUHP
Belanda 1881 yang dinyatakan tidak berlaku lagi setelah aborsi dilegalkan di Belanda
dengan ditetapkannya Undang-Undang Pengguguran Kandungan 1 Mei 1981 Stb.
1981, 257 yang kemudian dirubah dengan Undang-undang tanggal 6 Nopember 1997,
Stb. 1997, 510. Di dalam KUHP Indonesia yang masih berlaku sampai sekarang, aborsi
diatur dalam Pasal 346 s.d. 349 KUHP yang termasuk dalam kejahatan terhadap

nyawa, khususnya nyawa janin. Pasal-pasal tersebut merupakan turunan atau kopi
dari Pasal 295 s.d. 298 KUHP Belanda 1881 yang dinyatakan tidak berlaku lagi
sebagaimana telah diutarakan di atas.
Sebagai bahan perbandingan akan dibahas pula hukum aborsi AS yang termasuk
dalam keluarga Common Law. Di AS, sampai dengan abad ke-19 hukum yang berlaku
adalah common law Inggris yang membolehkan aborsi sebelum quickening (gerakan
pertama bayi dalam kandungan setelah 16 s.d 18 minggu). 1 Meskipun pada
pertengahan dan akhir abad ke-19, perbedaan berdasarkan prinsip quickening hilang
dari hukum perundang-undangan AS dan dibuat peraturan lebih keras yang
melarang aborsi, namun pada tanggal 22 Januari 1973 MA AS menjatuhkan putusan
yang melegalkan aborsi dalam perkara Roe v. Wade dan Doe v. Bolton. Putusan ini
didasarkan pada amandemen ke-14 Konstitusi AS yang menjamin hak hidup, hak
kebebasan dan memperoleh harta milik bagi semua orang, namun tidak dapat
diperluas sampai pada perlindungan terhadap janin karena common law Inggris yang
menjadi pola konstitusi AS tidak menentukan aborsi sebagai kejahatan.
Perubahan hukum yang berkaitan dengan aborsi baik di Belanda yang menganut
Civil Law System dan di AS yang menganut Common Law System terjadi karena
perubahan atau perkembangan masyarakat yang terjadi di kedua negara tersebut.
Oleh karena itu diperlukan analisis dari perspektif perbandingan hukum, apakah
perkembangan masyarakat Indonesia saat ini berkaitan dengan aborsi akan mengarah

ke legalisasi aborsi seperti telah terjadi baik pada hukum aborsi Belanda maupun
pada hukum aborsi AS.

1

Bo Schambelan, J.D., Roe v. Wade; The Complete Text of The Official U.S. Supreme Court Decision, The most
Controversial Ruling of Our time – Read It and Just It for Yourself, Philadelphia, Running Press, 1992, hlm.22.

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 499
Perubahan Hukum Aborsi Belanda karena Pengaruh Perkembangan Kehidupan
Masyarakat
Pasal 295 s.d. 298 KUHP Belanda 1881 yang memuat ketentuan hukum tentang
aborsi mengalami pasang surut karena pada suatu saat mendapatkan pandangan
yang lunak, pada saat lainnya diperketat, dan akhirnya dihapuskan samasekali dari
KUHP Belanda 1881 dengan ditetapkannya undang-undang baru yang melegalkan
aborsi.
Dikatakan demikian karena sampai akhir abad ke-19 aborsi masih merupakan
fenomena yang tidak mendapatkan perhatian dalam kehidupan masyarakat Belanda,
dan pada umumnya masih tetap ada pendapat-pendapat yang lunak terhadap aborsi.
Salah satu pendapat yang lunak terhadap aborsi terlihat dalam tesis berkaitan dengan

ketentuan hukum tentang aborsi yang ditulis oleh Van Tienhoven van den Bogaard2
berjudul ‘Beschouwingen over artt. 295-298 van het Wetboek van Strafrecht’ (Pandangan
tentang Pasal 295-298 KUHP) tahun 1887.
Di dalam tesis tersebut van den Bogaard sangat meragukan larangan hukum
terhadap aborsi. Bogaard khawatir jangan-jangan larangan ini akan menjadi tidak
bijaksana dan akan meningkatkan angka pembunuhan anak atau bertambahnya
jumlah anak haram, yang harus menjalani hidup mereka dengan nama cemar. Oleh
karena itu Bogaard menyimpulkan bahwa pidana untuk pelaku aborsi terlalu berat,
meskipun dari kacamata susila aborsi itu jelek. Berdasarkan kesimpulan tersebut
Bogaard menyarankan agar pidana untuk pelaku aborsi diperingan saja, tidak boleh
lebih dari satu bulan penjara.
Salah satu topik diskusi tentang aborsi dalam kehidupan masyarakat Belanda
sampai tahun 1900 adalah keterkaitan antara aborsi kriminal dan aliran neo-Malthus.
Oleh para penentangnya aliran ini diyakini mendorong aborsi kriminal sebagai upaya
menekan laju pertumbuhan penduduk. Pendapat para penentang yang demikian
itu mendapatkan posisi menguntungkan, ketika pada tahun 1911 dikeluarkan
‘Undang-undang yang menentang pelanggaran susila’ oleh Menteri E.R.H. Regout,3
seorang penganut Katolik Roma. Undang-undang ini memenuhi keinginan untuk
memperketat pengaturan tentang aborsi dan memuat ketentuan untuk mengurangi
penyebaran alat-alat kontrasepsi.

2

Jan de Bruijn, Geschiedenis van de Abortus in Nederland; Een Analyse van Opvattingen en Discussies 1600-1979,
Amsterdam, Van Gennep, 1979, hlm. 35.
3
Ibid., hlm. 235

500 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
Akan tetapi dengan adanya perubahan pandangan mengenai pengendalian
penduduk sebelum Perang Dunia II, dan lebih-lebih setelah Perang Dunia II maka
mulai ada pendekatan yang lebih positif terhadap kontrasepsi di dalam kehidupan
masyarakat Belanda yang mencapai klimaksnya ketika pada tahun 1969, Parlemen
dengan suara yang mendekati bulat, mengeluarkan pasal yang melarang kontrasepsi
dari KUHP Belanda. Selain itu, pada tahun 1971 Komisi Aborsi mengeluarkan
semacam kesepakatan yang dianggap sebagai keputusan bahwa ketentuan-ketentuan
hukum pidana menyangkut aborsi pada saat itu dari semua segi kurang memuaskan,
karena itu dapat dijadikan alasan untuk mengadakan perubahan. Berdasarkan
perkembangan yang demikian itu, maka selama kurun waktu 1970 sampai 1979 tidak
kurang dari tujuh rancangan undang-undang yang diajukan ke Parlemen untuk
menggantikan peraturan perundang-undangan yang lama mengenai aborsi, dan

pada tanggal 1 Mei 1981 ditetapkan Undang-undang Pengguguran Kandungan Stb.
1981, 257 yang kemudian dirubah dengan Undang-undang tanggal 6 Nopember 1997,
Stb. 1997, 510 yang melegalkan aborsi.4 Dengan adanya undang-undang baru ini,
maka Pasal 295 s.d. 298 dikeluarkan dari KUHP Belanda 1881 dan dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Bertolak dari uraian di atas, maka jelas terlihat perkembangan kehidupan
masyarakat Belanda telah menyebabkan perubahan hukum tentang aborsi dari yang
paling konservatif karena melarang aborsi tanpa pengecualian menjadi yang paling
liberal karena membolehkan aborsi berdasarkan permintaan. Oleh karena itu
berdasarkan hasil survei internasional 19955 hukum aborsi Belanda dikelompokkan
dalam hukum yang menganut model privasi (model of privacy) sejajar dengan AS,
Jepang, Jerman, Perancis, Denmark dll. Perubahan itu terlihat pula dalam beberapa
hasil studi lainnya. Hasil studi Rahman, et .al.6 menempatkan hukum aborsi Belanda
pada kategori alasan No. 5 sejajar dengan 49 negara lainnya seperti AS, Perancis,
Italia, Singapura, China, Rusia, Cuba dll. yang membolehkan aborsi tanpa
pembatasan apapun.
Kebijakan aborsi jika dilihat dari yang paling liberal sampai dengan paling
konservatif, hukum aborsi Belanda dapat ditempatkan dalam kategori A menurut

4


Hans Akceld, Chronologisch Ovrzicht Wijzigingswetten, Denhag, Kluwer, 1997, hlm. 15.
Anita L. Allen, “Legal and Regulatory Issues” dalam W. Th. Reich (ed), Encyclopedia of Bioethics, Rivised Edition,
Volume 1, New York: Simon & Schuster, 1995, hlm. 21.
6
A. Rahman, et. All, “A Global Review of Laws on Induced Abortion, 1985-1997” International Health Family
Planning Perspectives, June (24), Number 2, 1998, hlm. 58.
5

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 501
Indonesia Country Progress Report 7 karena aborsi dibolehkan atas permintaan
perempuan. Sedangkan dari segi kebijakan melegalkan aborsi berdasarkan
pertimbangan kontekstual, menurut hasil survei WHO,8 hukum aborsi Belanda dapat
ditempatkan dalam kategori alasan mengizinkan aborsi No. 7, sehingga Belanda
termasuk dalam salah satu dari 27% negara-negara di dunia yang mengizinkan aborsi
berdasarkan permintaan.
Bertolak dari perubahan-perubahan tersebut, maka hasil kajian Darwin 9
menempatkan hukum aborsi Belanda pada posisi hukum sangat longgar sejajar dengan
beberapa negara lain seperti AS, Perancis, Italia, Turki, Tunisia dan Singapura yang
membolehkan aborsi atas permintaan ibu hamil karena berbagai alasan. Hal ini berarti

perempuan mempunyai kebebasan penuh untuk melanjutkan atau menghentikan
kehamilannya karena berbagai alasan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kenyataan di dalam kehidupan masyarakat
Belanda berupa perubahan pandangan mengenai pengendalian penduduk sebelum
Perang Dunia II, dan mencapai klimaksnya setelah Perang Dunia II telah membentuk
opini publik bahwa peraturan hukum tentang aborsi Belanda dari segala segi kurang
memuaskan, sehingga berdasarkan kebijakan legislatif pada 1 Mei 1981 ditetapkan
Undang-undang Pengguguran Kandungan Stb. 1981, 257 yang kemudian dirubah
dengan Undang-Undang 6 Nopember 1997, Stb. 1997, 510. Adanya undang-undang
ini telah membuat perubahan besar dalam hukum aborsi Belanda, dari yang paling
konservatif menjadi yang paling liberal.
Perubahan Hukum Aborsi AS karena Pengaruh Perkembangan Kehidupan
Masyarakat
Sampai dengan pertengahan abad ke-19 hukum yang berlaku di AS adalah Common
Law Inggris. Connecticut, negara bagian pertama yang memberlakukan perundangundangan aborsi, pada tahun 1821 mengadopsi bagian dari hukum aborsi Inggris
yaitu Lord Ellenbrough’s Act yang berkaitan dengan “quickening” pada wanita hamil.
Undang-undang ini melarang aborsi setelah “quickening”, dan menganggapnya
7
Indonesia Country Progress Report, http://www.who.int/reproductive-health/mps/ indonesia_
cpuntry_report.html, 28 Maret 2002

8
United Nations, Safe Abortion: Technical and Policy Guidance for Health Systems, Geneva World Health Organization, 2003, hlm. 14-15.
9
Muhajir M. Darwin, Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta, Media Wacana, 2005,
hlm. 234.

502 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
sebagai kejahatan utama (capital crime), tetapi menetapkan hukuman yang lebih
ringan terhadap aborsi sebelum “quickening”, dan dengan demikian mempertahankan
perbedaan berdasarkan prinsip “quickening” di dalam common law.
Pada tahun 1828, New York memberlakukan perundang-undangan yang dalam
dua hal dapat menjadi model perundang-undangan anti-aborsi awal. Pertama,
undang-undang tersebut melarang perusakan janin baik sebelum maupun sesudah
“quickening”. Perusakan janin sebelum “quickening” dianggap sebagai pelanggaran,
dan bila dilakukan sesudah “quickening” dianggap sebagai pembunuhan.
Kedua, undang-undang tersebut menyatukan konsep aborsi therapeutik dengan
mengatur bahwa aborsi dimaafkan “apabila diperlukan untuk mempertahankan
kehidupan ibu, atau dinasihatkan oleh dua dokter bersertifikat bahwa hal itu
diperlukan untuk tujuan tersebut. Pada tahun 1840, ketika negara Bagian Texas
menerima common law, hanya ada 8 negara bagian AS mempunyai undang-undang

yang berkaitan dengan aborsi. Kebanyakan perundang-undangan yang awalnya
mengatur secara keras aborsi setelah “quickening,” tetapi lembut terhadap aborsi
sebelum “quickening.” Kebanyakan perundang-undangan menghukum percobaan
melakukan aborsi sama dengan aborsi yang selesai, dan banyak pula yang
memasukkan pengecualian untuk aborsi yang diperkenankan oleh satu atau lebih
dokter yang diperlukan untuk menyelamatkan jiwa ibu.
Secara bertahap, pada pertengahan dan akhir abad ke-19, perbedaan
berdasarkan prinsip “quickening” hilang dari hukum perundang-undangan, dan
dibuat peraturan yang lebih keras terhadap aborsi. Pada akhir tahun 1950, sebagian
besar yurisdiksi melarang aborsi, bagaimanapun caranya dan kapan pun dilakukan
kecuali untuk menyelamatkan jiwa ibu; hanya Alabama dan District of Columbia,
yang mengizinkan aborsi untuk mempertahankan kesehatan ibu. Ada pula beberapa
negara bagian yang mengizinkan aborsi dilakukan secara tidak melawan hukum
dan diserahkan kepada pengadilan untuk menginterpretasikan standar-standar yang
berkaitan dengan pembenaran hukum.
Perubahan karakter hukum aborsi dari lembut beralih ke hukum yang keras
terhadap aborsi sejak akhir tahun 1950 di AS dapat dihubungkan dengan fakta
perkembangan kehidupan masyarakat AS. Pada akhir abad ke-19 di AS terjadi
kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan, sehingga timbul kesadaran bahwa
perkembangan janin terjadi dalam suatu proses yang berkesinambungan dan bahwa

kehidupan pada janin telah ada sebelum gerakan janin dapat dideteksi. Pesatnya

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 503
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan telah mematahkan prinsip “quickening”
warisan common law Inggris.
Perkembangan yang terjadi di AS pada abad ke-19 itu dapat dikaitkan dengan
perkembangan yang terjadi pada Gereja Katolik sebelumnya. Menurut
Kusmaryanto,10 dalam Gereja Katolik waktu itu juga ada perbedaan antara sebelum
dan sesudah janin berjiwa. Paus Gregorius XIV pada tahun 1591 menegaskan, bahwa
hukuman eks-komunikasi (dikeluarkan dari Gereja) hanya diberlakukan bila
seseorang melakukan aborsi pada saat janin sudah berjiwa, sedangkan kalau
dilakukan sebelumnya, dia tidak dikeluarkan dari Gereja, meskipun pelakunya tetap
berdosa.
Kusmaryanto11 selanjutnya menjelaskan pada tahun 1853 Ferdinand Kember
menemukan bahwa pembuahan itu terjadi oleh karena pertemuan antara sel telur
dan sel sperma. Dalam penemuan baru ini, disadari bahwa quickening bukanlah suatu
titik yang penting dari seluruh proses perkembangan bayi. Penemuan baru itu tentu
saja mendorong perubahan cara memandang embrio. Embrio mempunyai jiwa bukan
beberapa hari sesudah pembuahan, tetapi sudah ada sejak terjadinya pembuahan.
Gereja Katolik mendapat tekanan berat untuk mengubah pandangannya mengenai
embrio, yang membedakan antara embrio yang belum berjiwa dan sudah berjiwa.
Maka pada tahun 1869 Paus Pius IX menghilangkan pembedaan itu dan menegaskan
bahwa barang siapa melakukan aborsi – kapan pun juga waktunya – akan
mendapatkan hukuman eks-komunikasi.
Penemuan tentang perkembangan embrio yang berkembang secara kontinyu
ini diperkuat lagi dengan penemuan struktur DNA (deoxyribonucleir acid) pada tahun
1953 oleh Franci s H. Crick dan James D. Watson.12 Di situ dijelaskan bahwa setelah
selesainya proses pembuahan, semua faktor genetik manusia sudah ada di dalamnya
dan hari-hari berikutnya hanya tinggal mengembangkan saja apa yang sudah ada
di dalamnya. Jadi tidak ada pentahapan yang berarti, sehingga bisa dikatakan dengan
persis bahwa ada masa belum berjiwa dan ada masa sudah berjiwa. Tentu saja
penemuan struktur DNA ini merubah arah ilmu genetika dan menjadikan studi
tentang gen sebagai ilmu yang penting dan mendasar untuk biologi modern hingga
sekarang.

10

CB. Kusmaryanto, SCJ, Kontroversi Aborsi, Jakarta, PT Grasindo, 2002, hlm. 27-28.
Loc. Cit., hlm. 28.
12
Ibid., hlm. 29.

11

504 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
Didorong oleh perkembangan pengetahuan medis yang baru tersebut, maka
menurut Rosenfield dan Iden,13 American Medical Association (AMA) mulai secara
terbuka menentang aborsi dan menganggapnya sebagai praktik yang amoral. AMA
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan undang-undang aborsi
yang lebih keras pada waktu itu.
Oleh karena itu pada tahun 1967 Komisi Reproduksi Manusia (Committee on
Human Reproduction) AMA mendesak agar dibuat kebijakan menentang aborsi yang
disengaja, kecuali apabila ada dokumen medis sebagai bukti adanya ancaman
terhadap kesehatan atau nyawa ibu, atau bahwa anak yang akan lahir mengalami
cacat fisik atau mental yang akan membuatnya tidak mampu hidup sebagai manusia
normal, atau bahwa kehamilan itu disebabkan oleh perkosaan atau incest yang akan
mengancam kesehatan mental atau fisik pasien, dimana dua dokter lainnya yang
dipilih karena kewenangan profesinya telah memeriksa pasien dan memberikan
pendapat tertulis, dan bahwa prosedur aborsi dilaksanakan di rumah sakit yang
terakreditasi.
Kerasnya undang-undang aborsi di AS saat itu tidak hanya dirasakan oleh Roe
dan Doe, tetapi juga oleh para perempuan AS lainnya serta para dokter yang hidup
pada masa Roe dan Doe. Para perempuan AS pada masa Roe dan Doe yang mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) tidak dapat melakukan aborsi aman dan
legal karena KTD tersebut tidak mengancam jiwa mereka. Mereka menyadari bahwa
hak privasi mereka untuk melanjutkan atau menghentikan kehamilannya sebenarnya
dilindungi oleh amandemen ke-1, ke-4, ke-5, ke-9 dan ke-14 Konstitusi AS, meskipun
kebanyakan negara bagian memberlakukan undang-undang yang pada prinsipnya
melarang aborsi.
Para dokter yang hidup pada masa Roe dan Doe pun mengalami hal yang serupa.
Meskipun mereka bersertifikat dan berkompeten untuk melakukan aborsi
berdasarkan kondisi yang aman dan klinis di rumah sakit yang terakreditasi, mereka
sering menghadapi resiko ditahan dan dituntut karena melanggar undang-undang
aborsi. Mereka menggambarkan kondisi para pasien yang datang kepada mereka
meminta dilakukan aborsi, dan sebagai dokter, mereka menyatakan bahwa dalam
banyak kasus mereka tidak mampu menentukan apakah aborsi yang mereka lakukan
itu termasuk dalam pengecualian atau menyimpang dari undang-undang aborsi
13

A Rosenfield dan S. Iden, “Abortion; Medical Perspectives”, dalam W. Th. Reich (ed), Encyclopedia of Bioethics,
Rivised Edition, Volume 1, New York: Simon & Schuster, 1995, hlm. 4.

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 505
negara bagian. Mereka akhirnya menyadari bahwa undang-undang aborsi negara
bagian kabur dan tidak pasti, serta bertentangan dengan amandemen ke-14 Konstitusi
AS. Mereka juga menyadari bahwa undang-undang aborsi negara bagian
bertentangan dengan hak privasi mereka sendiri sebagai dokter dan juga melanggar
hak privasi para pasien mereka dalam hubungan antara dokter-pasien serta
melanggar hak mereka sendiri untuk mempraktekkan obat, hak yang menurut
mereka dijamin oleh Amandemen ke-1, ke-4, ke-5, ke-9 dan ke-14 Konstitusi AS.
Kenyataan kehidupan masyarakat AS yang demikian itu telah mondorong
adanya proses pengadilan perkara aborsi yang sangat terkenal, yaitu perkara Roe v.
Wade dan Doe v. Bolton. Dalam kedua perkara ini Pengadilan Wilayah Texas
menjatuhkan putusan pada tahun 1970 yang menetapkan bahwa wanita mempunyai
hak untuk memilih apakah melahirkan atau tidak yang dilindungi oleh Amandemen
ke-14 Konstitusi AS, dan bahwa Undang-undang Aborsi Texas dan Georgia
dinyatakan tidak berlaku karena dari segi konstitusi tidak pasti dan mengandung
pelanggaran berat terhadap hak penggugat yang diatur dalam Amandemen ke-14.
Sejak itu aborsi telah menjadi isu kontroversial di AS dan para aktivis mulai
menentang validitas undang-undang aborsi, dan perjuangan mereka membawa hasil
ketika MA AS pada tanggal 22 Januari 1973 menjatuhkan putusan dalam perkara
Roe v. Wade dan Doe v. Bolton yang menetapkan bahwa hukum aborsi Texas dan
Georgia inkonstitusional dengan demikian aborsi dilegalkan.
Di dalam kepustakaan hukum pidana putusan MA AS tahun 1973 tersebut
merupakan putusan penting dan bersejarah (landmark decision) karena memberikan
kerangka waktu tiga bulan (a trimester framework), sehingga aborsi dapat dibedakan
dalam tiga kategori: first trimester abortion (aborsi trimester pertama), second trimester
induction (induksi trimester kedua), dan third trimester induction (induksi trimester ketiga).
Undang-undang aborsi AS berlandaskan pada putusan MA AS tersebut
memberikan batas waktu yang jelas yaitu pada saat janin mampu hidup di luar rahim
(viable, sekitar 24 minggu), sehingga sebelum saat tersebut yaitu pada trimester
pertama perempuan mempunyai hak untuk memilih menghentikan kehamilannya
dan berhak membuat keputusan pribadi dengan dokternya tanpa campur tangan
negara (negara bagian). Sedangkan setelah saat tersebut yaitu pada trimester kedua
dan ketiga, negara (negara bagian) perlu campur tangan untuk memberikan
perlindungan terhadap kehidupan janin karena terdapat kemungkinan yang realistik
untuk mempertahankan dan mengasuh kehidupan di luar rahim.

506 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
Berkaitan dengan hal tersebut maka pada trimester kedua hanya dalam keadaan
terpaksa negara (negara bagian) dapat mengatur prosedur induksi yang layak untuk
melindungi dan menjaga kesehatan perempuan. Sedangkan pada trimester ketiga
induksi samasekali dilarang karena negara (negara bagian) berkewajiban melindungi
kehidupan yang potensial, kecuali memang diperlukan untuk menyelamatkan jiwa
ibu atau kesehatan ibu.
Putusan MA AS tersebut terasa sangat kontroversial karena sebelum MA AS
menjatuhkan putusan melegalkan aborsi tanggal 22 Januari 1973 dalam perkara Roe
v. Wade dan Doe v. Bolton, sebenarnya aborsi yang dibolehkan di AS hanyalah aborsi
therapeutik untuk menyelamatkan jiwa ibu atau untuk kesehatan ibu. Maka jelas
kedua putusan tersebut dalam kepustakaan hukum pidana tetap dikenang sebagai
dua putusan penting dan bersejarah (landmark decisions) karena membawa perubahan
besar dalam perkembangan hukum tentang aborsi di AS, dari hukum aborsi
konservatif yang hanya membolehkan aborsi berdasarkan pertimbangan medis
menjadi hukum aborsi liberal yang membolehkan aborsi berdasarkan permintaan
karena berbagai alasan.
Menurut O’Conner,14 sejak awal perlu ditegaskan kembali dasar putusan Roe
v. Wade dan Doe v. Bolton, yang memberikan teori tiga kerangka waktu tersebut,
yaitu:
1. Putusan itu merupakan pengakuan terhadap hak privasi perempuan untuk
memilih aborsi sebelum janin mampu hidup di luar rahim dan dapat
melakukannya tanpa campur tangan negara. Sebelum janin mampu hidup di luar
rahim kepentingan negara tidak cukup kuat untuk mendukung larangan aborsi
atau hambatan terhadap hak privasi perempuan untuk memilih prosedur aborsi.
2. Putusan tersebut merupakan konfirmasi terhadap kekuasaan negara untuk
melarang induksi setelah janin mampu hidup di luar rahim, apabila hukum
mengatur tentang pengecualian terhadap kehamilan yang membahayakan
kehidupan atau kesehatan perempuan.
3. Prinsip bahwa negara mempunyai kepentingan yang sah untuk melindungi
kehidupan janin yang dapat menjadi seorang anak. Prinsip-prinsip ini tidak saling
bertentangan dan setiap prinsip menjadi pegangan bangsa AS.
Oleh karena itu O’Conner15 menyimpulkan bahwa batas waktu harus ditarik
pada saat janin mampu hidup di luar rahim, sehingga sebelum saat tersebut,
perempuan mempunyai hak privasi untuk memilih menghentikan kehamilannya.
Kita berpegang pada prinsip ini karena dua alasan:

14

S. D. O’Conner, “Majority Opinion”, dalam M. Ethan Katsh (ed), Taking Sides: Clashing Views on Controversial
Legal Issues, Guilford, Dushkin Publisihing Group, 1995, hlm. 113.
15
Ibid., hlm. 119-120.

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 507
1. Setiap tindakan pengadilan untuk menarik garis batas dapat merupakan suatu
perbuatan yang sewenang-wenang, tetapi dalam keputusan Roe dan Doe hal
tersebut dielaborasi dengan sangat teliti.
2. Konsep kemampuan hidup di luar rahim, sebagaimana dapat diketahui dalam
putusan Roe dan Doe, adalah saat dimana terdapat kemungkinan yang realistik
untuk mempertahankan dan mengasuh kehidupan di luar rahim, sehingga
keberadaan yang bebas dari kehidupan anak dalam kandungan mendapatkan
perlindungan dari negara yang sekarang melebihi hak perempuan.
Menurut Adjie,16 putusan MA dalam putusan Roe v. Wade dan Doe v. Bolton,
mengeluarkan suatu ruling, bahwa keputusan untuk melakukan aborsi pada trimester
pertama adalah hak fundamental mengenai kebebasan privasi dari wanita hamil
yang bersangkutan dan karenanya perlu dilindungi terhadap pelanggaran yang tak
wajar dari negara-negara (bagian). Hanya dalam trimester kedua dan ketiga
pengaturan hukum tentang induksi dapat diadakan.
Lebih lanjut Adjie,17 menegaskan bahwa putusan MA AS tentang aborsi tersebut
dihubungkan dengan “right of privacy”, yang dikatakan bahwa hak tersebut adalah
cukup luas untuk meliputi putusan dari wanita yang bersangkutan untuk mengakhiri
kehamilannya atau tidak (“is broad enough to encompass a woman’s decision whether or
not to terminate her pregnancy”). Bagaimanapun juga, putusan tersebut menunjukkan
dengan jelas, bahwa wanita ataupun dokter yang bersangkutan dapat mengambil
ketentuan sendiri tanpa adanya campur tangan pemerintah dalam trimester pertama.
Dikatakan bersejarah dan membawa perubahan besar, karena kedua putusan
tersebut tidak hanya menjungkirbalikkan hukum aborsi Texas dan Georgia, tetapi
juga menyebabkan hampir semua negara bagian harus merevisi hukum aborsinya.
Maka dapat dipahami bahwa hukum aborsi AS berdasarkan putusan MA AS tanun
1973 dalam perkara Roe v. Wade dan Doe v. Bolton menurut hasil survei internasional
199518 dikelompokkan dalam hukum yang menganut model privasi (model of privacy)
karena pada trimester pertama perempuan mempunyai hak privasi untuk
menentukan apakah melanjutkan atau menghentikan kehamilannya bersama
dokternya tanpa campur tangan negara (negara bagian).
Perubahan itu terlihat pula dalam beberapa hasil studi lainnya. Hasil studi
Rahman, et .al.19 menempatkan hukum aborsi AS berdasarkan putusan MA AS tahun
1973 pada kategori alasan No. 5 sejajar dengan 49 negara lainnya seperti Perancis,
16

O. S. H. Adji, Hukum-Hakim Pidana, Cet. Ke-2, Jakarta, Erlangga, 1984, hlm. 206.
Ibid., hlm. 207.
18
Anita L. Allen, Op. Cit., hlm. 21.
19
A. Rahman, et. All, Op. Cit., hlm. 15.
17

508 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
Belanda, Italia, Singapura, China, Rusia, Cuba dll. yang membolehkan aborsi tanpa
pembatasan apapun. Dari segi kebijakan aborsi dari yang paling liberal s.d. paling
konservatif, hukum aborsi AS berdasarkan putusan MA AS tahun 1973 dapat
ditempatkan dalam kategori A menurut Indonesia Country Progress Report 200220
karena aborsi dibolehkan atas permintaan perempuan. Sedangkan dari segi kebijakan
melegalkan aborsi berdasarkan pertimbangan kontekstual hasil survey WHO,21
hukum aborsi AS berdasarkan putusan MA AS tahun 1973 dapat ditempatkan dalam
kategori alasan mengizinkan aborsi No. 7, sehingga AS termasuk dalam salah satu
negara dari 27% negara-negara di dunia yang mengizinkan aborsi berdasarkan
permintaan.
Dengan adanya perubahan tersebut, maka hasil kajian Darwin22 menempatkan
hukum aborsi AS berdasarkan putusan MA AS tahun 1973 pada posisi hukum sangat
longgar sejajar dengan beberapa negara lain seperti Perancis, Italia, Belanda, Tunisia,
Turki, dan Singapura yang membolehkan aborsi atas permintaan ibu hamil karena
berbgai alasan. Hal ini berarti perempuan mempunyai kebebasan penuh untuk
melanjutkan atau menghentikan kehamilannya pada trimester pertama karena
berbagai alasan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kenyataan di dalam kehidupan
masyarakat AS berupa kerasnya hukum aborsi AS sejak tahun 1950 telah
menimbulkan keresahan di kalangan perempuan AS yang mengalami KTD.
Kenyataan ini telah mendorong dilakukannya proses perkara Roe v. Wade and Doe v.
Bolton, maka berdasarkan kebijakan yudikatif berupa putusan MA AS pada tanggal
22 Januari 1973 yang melegalkan aborsi pada trimester pertama, telah terjadi
perubahan hukum tentang aborsi di AS dari yang paling konservatif menjadi yang
paling liberal.
Pengaturan hukum tentang aborsi yang dimungkinkan/seharusnya berlaku di
Indonesia
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa baik hukum aborsi AS yang menganut
common law system maupun hukum aborsi Belanda yang menganut civil law system

20

Indonesia Country Progress Report, Op.Cit.
United Nations, Op.Cit., hlm.14-15.
22
Muhajir M. Darwin, Op. Cit., hlm. 234.
21

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 509
mengalami perkembangan yang serupa, yaitu telah berubah dari hukum aborsi yang
bersifat restriktif menjadi liberal. Dikatakan demikian, karena pada mulanya baik
hukum aborsi AS maupun hukum aborsi Belanda menganut model larangan (model
of prohibition) dan kemudian berubah menjadi sangat liberal dan menganut model
privasi (model of privacy).
Di Indonesia, sejak diberlakukannya KUHP yang diadopsi dari KUHP Belanda
1881 berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946, ketentuan hukum tentang aborsi menganut
model larangan (model of prohibition) karena aborsi dilarang tanpa pengecualian
sebagaimana diatur di dalam Pasal 346 s.d. 349 KUHP yang merupakan kopi atau
turunan dari Pasal 295 s.d. 298 KUHP Belanda 1881. Kemudian model larangan yang
dianut di dalam KUHP ini disempurnakan dengan adanya pengecualian setelah
dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UUK), meskipun hanya
terbatas pada alasan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat.
Oleh karena itu hukum pidana yang berkaitan dengan aborsi atau ius constitutum
tentang aborsi di Indonesia tergolong hukum yang paling konservatif dan keras
terhadap aborsi karena melarang aborsi kecuali untuk menyelamatkan jiwa ibu.
Namun setelah International Conference on Population and Development (ICPD)
Kairo 1994 dan Fourth World Conference on Women (FWCW) Beijing 1995, dirancang
RUU Amandemen UUK yang mengacu pada kesepakatan ICPD Kairo 1994 tentang
hak reproduksi perempuan dan secara implisit melegalkan aborsi karena
membolehkan aborsi aman, bermutu dan bertanggung jawab untuk menghindarkan
perempuan yang mengalami KTD dari praktek aborsi tidak aman yang sering
merenggut jiwa perempuan.
Pengaturan hukum tentang aborsi di dalam RUU Amandemen UUK telah
memicu opini publik yang pro dan kontra, khususnya antara para tokoh Pro-Choice
dan Pro-Life dan telah menyeret kedua kubu untuk melakukan debat publik baik yang
ditayangkan di TV maupun disampaikan dalam forum seminar nasional. Hasil analisis
tentang debat publik tersebut memperlihatkan perbedaan yang tajam antara kedua
kubu. Kubu Pro-Life menolak RUU Amandemen UUK dengan alasan, apabila RUU
tersebut disahkan, maka akan terjadi legalisasi aborsi di Indonesia. Mereka cenderung
mempertahankan UUK dengan catatan perlu dilengkapi dengan PP sebagaimana
diamanatkan Pasal 15 ayat (3). Sebaliknya kubu Pro-Choice mendesak agar RUU tersebut
segera disahkan untuk menghindarkan perempuan yang mengalami KTD dari praktek
aborsi tidak aman (unsafe abortion) yang seringkali merenggut nyawa perempuan.

510 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam menghadapi perkembangan
kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini ada dua pilihan ius constituendum
tentang aborsi yang dimungkinkan. Pertama, ketentuan yang hanya membolehkan
aborsi berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan
darurat sebagaimana diatur di dalam UUK tetap dipertahankan dengan kewajiban
untuk melengkapinya dengan PP sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (3) UUK.
Kedua, mengesahkan RUU Amandemen UUK yang memuat ketentuan yang pada
dasarnya melegalkan aborsi aman berdasarkan permintaan perempuan yang
mengalami KTD karena mengacu pada kesepakatan ICPD Kairo 1994 tentang hak
reproduksi.
Berdasarkan analisis taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, dapat diketahui
bahwa RUU Amandemen UUK tidak sikron secara vertikal dan horisontal dengan
peraturan perundang-undangan lainnya dalam hukum positif Indonesia, karena
cenderung melegalkan aborsi. Maka dapat dikatakan bahwa secara yuridis RUU
Amandemen UUK mempunyai cacat hukum. Akibatnya apabila RUU ini disahkan
menjadi UU, resiko yang dihadapi ialah bahwa UU yang baru tersebut akan
dinyatakan batal demi hukum.
Analisis tentang hukum aborsi yang dimungkinkan/seharusnya berlaku di Indonesia perlu dikaitkan dengan pengertian aborsi baik dari segi medis maupun
psikiatri. Dari segi medis menurut Sofoewan,23 aborsi atas indikasi medis disebut juga
aborsi terapeutik, yaitu aborsi yang dilakukan sebelum janin mampu hidup demi untuk
kesehatan ibu: 1) untuk menyelamatkan jiwa ibu, 2) melindungi kesehatan ibu, 3) janin
cacat berat sehingga tidak mampu hidup, 4) kehamilan yang tidak mampu hidup, 5)
pengurangan janin pada kehamilan ganda, 6) kehamilan sangat merugikan kesehatan
fisik dan mental ibu, 7) bayi yang akan dilahirkan akan menderita kelainan fisik dan
mental, atau 8) kehamilan sebagai akibat dari perkosaan dan incest.
Sedangkan dari segi psikiatri menurut Soewadi,24 aborsi berdasarkan indikasi
medis atau aborsi terapeutik dapat dilakukan jika: 1) kehamilan yang mengakibatkan
resiko bagi kehidupan perempuan hamil, baik dari segi kesehatan fisik maupun
23

Sulchan Sofoewan, “Kapan Dimulainya Kehidupan, Tahap-Tahap Kehidupan Janin Dalam Kandungan Dan Aborsi
Legal Persepktof Medis”, disampaikan dalam Seminar Nasional “Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Hukum Pidana, Medis,
Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik Yang Berkembang dalam Masyarakat”, Yogyakarta, Bagian Hukum Pidana FH UAJY,
24 Februari 2005, hlm. 4.
24
H. Soewadi, “Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Psikiatri”, disampaikan dalam Seminar Nasional “Aborsi
Legal di Indonesia Perspektif Hukum Pidana, Medis, Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik Yang Berkembang dalam Masyarakat”,
Yogyakarta, B agian Hukum Pidana FH UAJY, 24 Februari 2005, hlm. 5.

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 511
mental, 2) adanya resiko keutuhan fisik bayi yang akan dilahirkan (pertimbangan
eugenik), 3) dan perkosaan dan incest (pertimbangan yuridis).
Apabila pengaturan hukum tentang aborsi yang dimungkinkan/seharusnya
berlaku di Indonesia diharmonisasikan dengan konsep aborsi terapeutik sebagaimana
diutarakan di atas, maka aborsi legal di Indonesia tidak hanya terbatas pada “aborsi
berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat”,
tetapi lebih luas lagi mencakup beberapa alasan aborsi terapeutik baik dari segi medis
maupun psikiatri yaitu: kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan hamil mengalami
gangguan jiwa berat, dan janin mengalami cacat bawaan berat.
Harmonisasi pengaturan hukum tentang aborsi ini membawa konsekuensi lebih
lanjut berupa dekriminalisasi dan depenalisasi dalam pengaturan hukum pidana
berkaitan dengan aborsi yang akan direalisasikan dalam kebijakan formulasi, aplikasi
dan eksekusi untuk memenuhi asas lex certa dalam hukum pidana. Hal ini diperlukan
karena ketiga alasan aborsi aman, yaitu kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan
hamil yang mengalami gangguan jiwa berat, dan janin yang mengalami cacat bawaan berat,
di dalam ius constitutum merupakan perbuatan pidana karena itu dilarang dan diancam
dengan pidana, namun dalam ius constituendum meskipun perbuatan-perbuatan
tersebut tetap bersifat melawan hukum, perempuan hamil dan tenaga medis yang
membantu melakukan aborsi tidak dipidana karena tidak mempunyai kesalahan
berdasarkan pengecualian berupa alasan pemaaf sebagai alasan penghapusan pidana
yang bersumber dari Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht) dan kondisi
darurat (noodtoestand).
Penerapan Pasal 48 KUHP terhadap ketiga alasan aborsi tersebut dilandasi oleh
teori perlindungan hukum yang seimbang yang bersumber pada Pancasila, yang
dapat diukur dengan ide yaitu justice yang memuat konsep iustitia distributive.25
Konsep iustitia distributive tersebut dengan jelas menggambarkan dua hal, yaitu
kewajiban pemerintah untuk membagikan kesejahteraan kepada warga negaranya
dan hak warganegara untuk memperoleh kesejahteraan dari pemerintah. Konsep
iustitia distributiva jelas terlihat di dalam pernyataan pada alinea IV Pembukaan
UUD 1945 yang memuat salah satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia
dan menjadi landasan politik hukum Indonesia yaitu “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Begitu umumnya perlindungan
25
P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia; Penelitian Pancasila dengan Pendekatan Historis, Filosofis & SosioYuridis Kenegaraan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993, hlm. 86.

512 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
yang diberikan oleh negara yaitu kepada segenap bangsa Indonesia dan tumpah
darah Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa perlindungan itu tidak hanya
diberikan kepada orang pada umumnya, tetapi juga kepada anak dalam
kandungan. Dengan demikian anak dalam kandungan berhak untuk mendapatkan
perlindungan dari negara.
Apabila dibandingkan dengan Konstitusi AS, jelas terlihat adanya perbedaan
yang mendasar dalam hal perlindungan terhadap anak dalam kandungan. Kenyataan
bahwa common law Inggris yang menjadi pola Konstitusi AS tidak menentukan aborsi
sebagai kejahatan. Oleh karena itu perlindungan yang diberikan oleh amandemen
ke-14 Konstitusi AS kepada “semua orang” tidak diperluas sampai pada
perlindungan terhadap anak dalam kandungan pada trimester pertama. Hal ini
dikukuhkan dalam putusan MA AS pada tahun 1973 dalam perkara Roe v. Wade dan
Doe v. Bolton yang sangat terkenal itu.
Demikian pula jika dibandingkan dengan Undang-undang Pengguguran
Kandungan Belanda tanggal 1 Mei Stb. 1981, 257 Stb. 1981, 257 yang kemudian
dirubah dengan Undang-undang tanggal 6 Nopember 1997, Stb. 1997, 510., perlu
ditegaskan bahwa aborsi yang dibebaskan di Belanda adalah aborsi aman (safe abortion) sampai dengan janin berusia 12 minggu. Di Indonesia tidak dikenal batas waktu
yang demikian itu, sehingga negara mempunyai kewajiban untuk memberikan
perlindungan kepada anak dalam kandungan mulai dari saat konsepsi sampai
sebelum dilahirkan.
Perlindungan kepada anak dalam kandungan lebih jelas lagi dengan adanya
pernyataan di dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 bahwa Negara Indonesia
berdasarkan Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sila kedua,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, mempertegas adanya perlindungan konstitusi
terhadap anak dalam kandungan yang memperoleh kehidupan dari Tuhan sang
Pencipta dan karena itu manusia sesuai kodratnya berkewajiban melindungi,
mengasuh, membesarkan dan menjaga kelangsungan hidupnya.
Penutup
Berdasarkan analisis sebagaimana dikemukakan di atas maka dapat diambil
kesim-pulan bahwa “dari perspektif perbandingan hukum pidana antara common
law system dan civil law system, ius constituendum tentang aborsi di Indonesia tidak

Paulinus Soge. Legalisasi Aborsi di... 513
mengarah ke legalisasi aborsi seperti terjadi di Belanda dan AS, tetapi cenderung
diharmonisasikan dengan konsep aborsi terapeutik baik dari segi medis maupun
psikiatri”. Hal ini berarti aborsi dibolehkan tidak hanya terbatas pada alasan ‘aborsi
berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat’, tetapi
lebih luas lagi mencakup beberapa alasan lain yaitu: ‘kehamilan akibat perkosaan dan
incest’, ‘perempuan hamil mengidai gangguan jiwa berat’, dan ‘janin mengalami cacat bawaan
berat’. Maka yang perlu dilakukan adalah merevisi UUK sesuai dengan amanat Pasal
15 ayat (3) dan bukan dengan mengesahkan RUU Amandemen UUK.
Daftar Pustaka
Adji, O. S. H., Hukum-Hakim Pidana, Cet. Ke-2, Jakarta, Erlangga 1984.
Akceld, Hans, Chronologisch Ovrzicht Wijzigingswetten, Denhag, Kluwer, 1997.
Allen, Anita L., “Legal and Regulatory Issues” dalam W. Th. Reich (ed), Encyclopedia
of Bioethics, Revised Edition, Volume 1, New York, Simon & Schuster, 1995.
Barda Nawawi Arief, , Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, CV. Rajawali, 1990.
Bellefroid, J.P.H., Inleiding Tot De Rechtswetenschap In Nederland, Nijmegen, Dekker
& Van de Vegt N.V., 1950.
Bruijn, Jan de., Geschiedenis van de Abortus in Nederland; Een Analyse van Opvattingen
en Discussies 1600-1979, Amsterdam, Van Gennep, 1979.
Crabtree, A. P., You and The Law, New York, Holt, Rinehart and Winston Inc, 1964.
Indonesia Country Progress Report, http://www.who.int/reproductive-health/
mps/ indonesia_cpuntry_report.html, 28 Maret2002.
Kusmaryanto, CB. SCJ. Kontroversi Aborsi, Jakarta, PT Grasindo, 2002.
Merryman, John Henry, The Civil Law Tradition; An Introduction To The Legal System
of Western Europe and Latin America, Second edition, Standford, Standford
university Press. 1985.
Muhajir M. Darwin, Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta,
Media Wacana, 2005.
O’Conner, S. D., “Majority Opinion”, dalam M. Ethan Katsh (ed), Taking Sides: Clashing
Views on Controversial Legal Issues,Guilford, Dushkin Publisihing Group, 1995.
P.J. Suwarno. , Pancasila Budaya Bangsa Indonesia; Penelitian Pancasila dengan Pendekatan
Historis, Filosofis & Sosio - Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta, Kanisius, 1993.
Rahman, A., Katzive L., dan Henshaw, S.K., “A Global Review of Laws on Induced
Abortion, 1985-1997” International Health Family Planning Perspectives, June
(24), 1998, Pp. 56-71.

514 JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 16 OKTOBER 2009: 497 - 514
Rosenfield, A. dan Iden, S., “Abortion; Medical Perspectives”, dalam W. Th. Reich
(ed), Encyclopedia of Bioethics, Rivised Edition, Volume 1, New York, Simon
& Schuster, 1995.
Schambelan, Bo, J.D. Roe v. Wade, The Complete Text of The Official U.S. Supreme Court
Decision, The most Controversial Ruling of Our time – Read It and Just It for
Yourself, Philadelphia, Running Press, 1992.
Soewadi, H., “Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Psikiatri,” Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional “Aborsi Legal Di Indonesia Perspektif Hukum Pidana,
Medis, Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik Yang Berkembang Dalam Masyarakat,”
Yogyakarta, Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, 24 Februari2005.
Sulchan Sofoewan, M., “Kapan Dimulainya Kehidupan, Tahap-Tahap Kehidupan
Janin Dalam Kandungan Dan Aborsi Legal Perspektif Medis,” Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional “Aborsi Legal Di Indonesia Perspektif
Hukum Pidana, Medis, Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik Yang Berkembang
Dalam Masyarakat,” Yogyakarta, Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, 24
Februari 2005.
United Nations, Safe Abortion: Technical and Policy Guidance for Health Systems, Geneva,
World Health Organization 2003.
Zweigert, Konrad dan Hein Kotz, 1998. Introduction To Comparative Law, Third Revised
Edition, Translated from the German by Tony Weir, Fellow of Trinity College,
Cambridge, Oxford: Clarendon Press.