Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
EKSISTENSI PT. INDOCARE PACIFIC CABANG MEDAN
A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha dan Hukum Perlindungan
Konsumen
Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun yang lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara
memiliki undang-undang atau peraturan khusus tentang perlindungan konsumen
termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sesuai dengan perkembangan itu,
berbagai negara telah menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai
landasan pengaturan perlindungan konsumen. 38
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau
consument/konsument (Belanda). Secara harafiah, arti kata consumer adalah
lawan dari arti kata produsen, yaitu “setiap orang yang menggunakan barang”.
Tujuan dari penggunaan barang atau jasa yang akan menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Dalam Kamus Bahasa InggrisIndonesia, kata consumer diartikan sebagai “pemakai atau konsumen”. 39
Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai “A person who
buy goods or service for personal, family, or household use, with no intention or
resale, a natural person who use products for personal rather than business
38
Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas” dalam buku Celina Tri Siwi
Kristiyanti, Op. Cit., hal. 22.
39
Az. Nasution, Op. Cit., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
purpose”. 40 Textbook on Consumer Law menyatakan “Consumer is one who
purchase goods or service”. Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan
“Konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri,
bahan makanan, dan sebagainya”. 41
Dari definisi tersebut dihendaki bahwa konsumen adalah “setiap orang
atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak
sebagai produsen, pelaku usaha dan/atau pebisnis”. 42
Hukum positif Indonesia yang ada sampai pada tahun 1999, belum
mengenal istilah konsumen. Akan tetapi, hukum positif Indonesia berusaha untuk
menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen.
Berbagai penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu
kepada perlindungan konsumen, walaupun belum memiliki ketegasan dan
kepastian tentang hak-hak konsumen. 43
Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan yang menggunakan istilah “setiap orang” untuk pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat jasa kesehatan dalam konteks konsumen. Istilah ini
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 46.
40
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minnesota : West Publishing,
2004), hal. 335.
41
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1976), hal. 521.
42
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Kencana, 2013), hal. 15.
43
Ibid., hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
Istilah“masyarakat” yang disebutkan dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 21 juga
mengacu kepada konsumen. 44
Berbagai pengertian tentang “konsumen” dikemukakan agar dapat
mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Pengertian tersebut
dapat ditemukan dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
maupun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 45
Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu :
“Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk
diperdagangkan kembali”. 46
Pengertian konsumen dalam naskah final Rancangan Akademik UndangUndang Perlindungan Konsumen, yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas
Indonesia bersama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan
Departemen Perdagangan RI, yaitu : “Konsumen adalah setiap orang atau
keluarga
yang
mendapatkan
barang
untuk
dipakai
dan
tidak
untuk
diperdagangkan”. 47
Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang
cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan
44
Ibid.
Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 19.
46
Ibid., hal. 20.
47
Ibid.
45
Universitas Sumatera Utara
pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh yang
sama dengan pemakai. Sementara itu di Eropa, dikemukakan pengertian
konsumen berdasarkan Product Liability Directive sebagai pedoman bagi negara
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum
Perlindungan Konsumen. Berdasarkan directive tersebut, yang berhak menuntut
kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera)
atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat. 48
Di Belanda, oleh Hondius disimpulkan bahwa arti konsumen adalah
“pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa” 49 , sedangkan di Spanyol,
pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, yaitu “konsumen bukan
hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau
pemakai akhir”. 50
Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan
mengambil pengertian yang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda yaitu
“Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”.
Sementara itu, Anderson dan Krumpt menyatakan kesulitannya
untuk
merumuskan definisi konsumen. Akan tetapi, para ahli hukum pada umumnya
sepakat bahwa arti konsumen adalah “Pemakai akhir dari benda dan/atau jasa
yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha”. 51
48
Nurhayati Abbas, Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya,
(Ujungpandang : Elips Project, 1996), hal. 13. dalam Ibid., hal. 21.
49
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal. 3.
50
Ibid., hal. 4.
51
Zulham, Op. Cit., hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat tiga pengertian konsumen yang ingin mendapat perlindungan,
yaitu : 52
a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa
lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan
komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.
c. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri,
keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
53
Pengertian konsumen menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1
angka 2 yang menyatakan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga,
orang
lain
maupun
makhluk
hidup
lain
dan
tidak
untuk
diperdagangkan”. 54
Unsur-unsur definisi konsumen yaitu : 55
a. Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. 56 Dalam UndangUndang ini, yang dimaksudkan “orang” merupakan orang alami dan
bukan badan hukum. Sebab yang dapat menggunakan dan/atau
52
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
(Bogor : Gahlia Indonesia, 2008), hal. 10.
53
Ibid.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1, Angka 2.
55
Shidarta, Op. Cit., hal. 4-9.
56
Ibid., hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
b.
c.
d.
e.
memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan, hanyalah orang alami atau manusia. 57
Pemakai
Sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, kata pemakai merujuk pada konsumen akhir
(ultimate consumer). Dalam hal ini penggunaan istilah “pemakai”
menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil
dari transaksi jual beli. Artinya, konsumen tidak selalu harus
memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk
memperoleh barang dan/atau jasa itu. Konsumen memang tidak
sekadar pembeli (buyer) tetapi semua orang (perorangan atau badan
usaha) yang mengonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling
penting dalam terjadinya suatu transaksi konsumen berupa peralihan
barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam
menggunakannya.
Barang dan/atau Jasa
Saat ini, kata “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. UndangUndang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap
benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,
yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan”. Sementara itu, jasa diartikan
sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Yang Tersedia dalam Masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran. Hal ini tercantum juga dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 9 ayat 1 huruf e. Namun dalam
perkembangan perdagangan yang makin kompleks saat ini, syarat itu
tidak mutlak lagi dituntut oleh konsumen. Misalnya, perusahaan
pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan
transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi.
Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup
Lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Kepentingan ini tidak
sekadar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang
dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan
keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan
tumbuhan.
57
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 10-11.
Universitas Sumatera Utara
f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mempertegas hanya kepada konsumen akhir. Penegasan ini sudah
biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai
negara.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal istilah konsumen
atau consument. 58 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen yaitu pembeli (koper)diatur
dalam pasal 1457–1540 KUH Perdata, penyewa (hurder) diatur dalamPasal 1548–
1600 KUH Perdata, penitip barang (bewarrgever) diatur dalamPasal 1694–1739
KUH Perdata, peminjam (verbruiklener) diatur dalam Pasal 1754– 1769 KUH
Perdata, dan sebagainya. Sementara itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang ditemukan istilah tertanggung (verzekerde) diatur dalam Pasal 246–308
Buku I KUH Dagang dan penumpang (opvarende)diatur dalam Pasal 341– 394
Buku II KUH Dagang. 59
Adapun pihak lain selain konsumen yang memiliki peranan penting dan
berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen adalah pelaku usaha dan
pemerintah. Istilah pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat undangundang yang lebih lazim dikenal dengan istilah pengusaha. 60
58
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 62.
Zulham, Op. Cit., hal. 14.
60
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 11.
59
Universitas Sumatera Utara
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut kelompok besar
kalangan pelaku ekonomi yang terdiri dari tiga kelompok pelaku usaha sebagai
berikut : 61
a. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai
berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak,
penyedia dana lainnya, dan sebagainya.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku,
bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat
terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan
yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan
pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa
angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan
dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya.
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,
seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko,
supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, dokter, usaha angkutan
(darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
Berdasarkan Pasal 3 Product Liability Directive, pengertian “produsen”
meliputi : 62
a. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang
manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang
timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila
kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen
dalam proses produksinya.
b. Produsen barang mentah atau komponen suatu produk.
c. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tandatanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari
suatu barang.
61
Ibid.
Agus Brotosusilo, makalah “Aspek-Aspek Perlindungan terhadap Konsumen dalam
Sistem Hukum di Indonesia”, dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum
Fakultas Hukum (Jakarta : YLKI-USAID, 1998), hal. 46. dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.
Cit., hal. 41-42.
62
Universitas Sumatera Utara
Pengertian yang luas tentang pelaku usaha juga terdapat dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen. Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka
3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah
sebagai berikut : 63
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha
adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. 64
Selain istilah-istilah yang telah dibahas sebelumnya, terdapat lagi istilah
lain seperti hukum perlindungan konsumen. Di dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan pengertian tentang hukum perlindungan
konsumen, tetapi hanya dijelaskan pengertian tentang perlindungan konsumen itu
sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1
disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. 65
63
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1, Angka 3.
64
Az. Nasution, Op. Cit., hal. 17.
65
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1, Angka 1.
Universitas Sumatera Utara
Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah
sangat sering terdengar. Hukum (perlindungan) konsumen merupakan salah satu
bidang dari ilmu hukum. Hukum konsumen hanya ranting kecil dari pohon
hukum, yaitu merupakan bagian dari jangkauan dari hukum dagang yang
tercakup dalam bagian III dari hukum dagang dengan cabang besarnya hukum
dagang. 66
Secara umum, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni : “… rules of law which
recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure
that weakness is not unfairly exploited”. 67
Ada sarjana yang berpendapat hukum perlindungan konsumen merupakan
bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu. Misalnya, Az. Nasution
berpendapat bahwa : 68
“Hukum konsumen memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan
konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa
konsumen, di dalam pergaulan hidup”.
Adapun pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen
66
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 22.
R. Lowe, Commercial Law, (London : Sweet & Maxwell, 1983), hal. 23 dalam
Shidarta, Op. Cit., hal. 9.
68
Az. Nasution, Op. Cit., hal. 23.
67
Universitas Sumatera Utara
dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa
konsumen. 69
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang
hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Pada dasarnya, hukum
konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama,
yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Dimana materi pembahasannya
meliputi bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta
bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat. Dengan demikian,
hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhannya. 70
Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala
upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai
wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen
adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya
perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. 71
2. Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen
Sebenarnya, sebelum Indonesia merdeka sudah ada beberapa peraturan
yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Beberapa peraturan yang
69
Janus Sidabalok, Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti :
2010), hal. 46.
70
Ibid.
71
Ibid., hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan perlindungan konsumen pada zaman Hindia-Belanda, antara
lain: 72
a. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 Nomor 214,
b. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S. 1931 Nomor
28,
c. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo. S. 1927449, jo. S. 1940-14 dan 450,
d. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509,
e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143,
f. VerpakkingsOrdonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935 Nomor 161,
g. Ordonanntie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.
1936-671,
h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat
Keras), S. 1937-641,
i. Bedrijfsrelementerings
Ordonanntie
(Ordonansi
Penyaluran
Perusahaan), S. 1938-86,
j. Ijkodonnantie (Ordonansi Tera), S.1949-175,
k. Gevaarlijke Stoffen Ordonanntie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya),
S. 1949-377, dan
l. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonanntie, S.1955-660.
Selain itu, terdapat pula beberapa ketentuan
yang memberikan
perlindungan konsumen, yaitu : 73
a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata),
khususnya Buku III tentang Perikatan.
b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang), tentang
pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan
penumpang/barang muatan pada hukum maritim, dan sebagainya.
c. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), tentang
pemalsuan, penipuan, persaingan curang, pemalsuan merek, dan
sebagainya.
d. Dalam hukum adat, seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari
masyarakat adat yang tidak berorientasi pada konflik, yang
memposisikan setiap warganya untuk saling menghormati sesamanya,
prinsip terang pada pembuatan transaksi (khususnya transaksi tanah)
yang mengharuskan hadirnya kepala adat/kepala desa dalam transaksi
tanah, dan prinsip adat lainnya.
72
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 18.
Ibid., hal. 19.
73
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan
konsumen, karena sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen telah ada beberapa Undang-Undang yang materinya
melindungi kepentingan konsumen yang belum memiliki ketegasan dan kepastian
hukum tentang hak-hak konsumen, antara lain : 74
a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Barang, menjadi Undang-Undang ;
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene ;
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah ;
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal ;
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan ;
f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri ;
g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) ;
h. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ;
i. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten ;
j. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek ;
k. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran ;
l. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan ;
m. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas ;
n. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil ;
o. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan ;
74
Ibid., hal. 20
Universitas Sumatera Utara
p. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup ;
q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ;
r. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan ;
s. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian ;
t. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta ;
Selain itu, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang dapat
dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum perlindungan konsumen, yaitu : 75
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001
Tanggal 21 Juni 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001
Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001
Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.
d. Keputusan Presiden Rakyat Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta
Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan,
Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
g. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 418/MPP/KEP/4/2002 Tanggal 30 April 2002
tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan
Perlindungan Konsumen.
h. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 480/MPP/KEP/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002
tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan
75
Happy Susanto, Op. Cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
Perdagangan Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
i. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan
Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada pemerintah
Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung,
Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
Perkembangan di bidang perlindungan konsumen baru terjadi setelah
lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. Undang-Undang ini masih
memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. Undang-Undang ini
merupakan hasil dari hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimana hak
itu tidak pernah digunakan sejak Orde Baru berkuasa pada 1966. 76
3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Sebelum membahas mengenai hak dan kewajiban para pihak, maka
terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian hak dan kewajiban itu sendiri.
Hukum mengatur peranan dari para subjek hukum berupa hak dan kewajiban.
Pengertian hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, sedangkan pengertian kewajiban adalah
suatu peran yang bersifat imperatif artinya harus dilaksanakan. Hubungan antara
hak dan kewajiban saling berhadapan dan berdampingan karena di dalam hak
terdapat kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak
menyalahgunakan haknya. 77
76
Shidarta, Op. Cit., hal. 52.
Happy Susanto, Op. Cit., hal. 22.
77
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, hak dan kewajiban lahir karena adanya hubungan hukum.
Sehingga jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka harus kembali kepada
undang-undang. Undang-undang dalam kajian hukum perdata, selain dibentuk
oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari
perjanjian antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum satu dan yang
lainnya.
78
Secara umum, ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui secara
internasional, yaitu : 79
a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)
Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari segi pemasaran
barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen.
Berkaitan dengan hal ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan
pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan
konsumen sangat penting. Oleh karena itu, pengaturan dan regulasi
perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen
dari perilaku produsen yang berdampak dapat merugikan dan
membahayakan keselamatan konsumen.
b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif yang dimiliki
konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang
dan/atau jasa. Apabila tanpa ditunjang hak untuk mendapatkan
informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan
yang memadai, maka hak ini tidak akan berarti.Apalagi dengan
meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan,
sehingga hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktorfaktor di luar diri konsumen.
c. Hak untuk memilih (the right to choose)
Hak ini memiliki arti yang sangat fundamental bagi konsumen jika
dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap
keterangan atau informasi mengenai suatu barang yang akan dibelinya
atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan secara lengkap dan
dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun
secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya
disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.
78
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 25.
Zulham, Op. Cit., hal. 47-48.
79
Universitas Sumatera Utara
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa
kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan
pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan
kebijaksanaan tersebut. Selain itu, setiap keluhan maupun harapan
konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan
oleh produsen harus didengar.
YLKI menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar
konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
sehingga keseluruhan dari hak tersebut dikenal sebagai “Panca Hak Konsumen”. 80
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Bab III Pasal 4 terdapat
hak-hak konsumen antara lain : 81
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa ;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan ;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa ;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan ;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen ;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif ;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
80
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 31.
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 4.
81
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak di atas merupakan penjabaran dari Pasal-pasal yang bercirikan
negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 UUD Negara Republik
Indonesia. 82
Di samping hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adapun dua hak
konsumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban produk, antara lain : 83
a. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas
yang baik serta aman.
Dengan adanya hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk
mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu.
Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk yang dibelinya sering kali
diperdaya oleh pelaku usaha.
b. Hak untuk mendapat kerugian.
Jika barang yang dibelinya itu terdapat cacat, rusak, atau telah
membahayakan konsumen, maka ia berhak mendapatkan ganti
kerugian yang pantas. Akan tetapi, jenis ganti kerugian yang
diklaimnya untuk barang yang terdapat cacat atau rusak, harus sesuai
dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing
pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari
barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang
dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau
mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka dengan kondisi
tersebut, tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang
dibelinya.
Selain memperoleh hak, konsumen juga memiliki kewajiban sebagaimana
yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 5, yaitu : 84
a. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau
pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan ;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa ;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati ;
82
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 24.
Ibid., hal. 51.
84
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 5.
83
Universitas Sumatera Utara
d. Mengikuti upaya penyelesaian
konsumen secara patut.
hukum
sengketa
perlindungan
Menurut Hans W. Miclitz, secara garis besar perlindungan konsumen
dapat ditempuh dengan dua model kebijakan, yaitu : 85
a. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang
mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai
kepada konsumen (hak atas informasi).
b. Kebijakan kompensantoris, yaitu kebijakan yang berisikan
perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas
keamanan dan kesehatan).
Sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen dan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi konsumen serta untuk menciptakan
kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha
diberikan juga hak dan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 86
Adapun hak pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain : 87
a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;
b. Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik ;
c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen ;
d. Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan ;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
85
Shidarta, Op. Cit., hal. 49.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 33.
87
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 6.
86
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur
mengenai kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut : 88
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan ;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif ;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku ;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan ;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan ;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Selain kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, adapun kegiatan
yang dilarang atau tidak boleh dilakukan pelaku usaha seperti yang tercantum
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu : 89
Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut ;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya ;
88
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 7.
89
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 8.
Universitas Sumatera Utara
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut ;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengelolaan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut ;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut ;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat ;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2) :
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang dimaksud.
Ayat (3) :
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi lengkap dan benar.
Ayat (4) :
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Secara garis besar, larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 tersebut dapat
dikategorikan menjadi 2 larangan pokok, yaitu :
90
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi standar
yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
90
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Nusa Media,
2005), hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan akurat,
yang menyesatkan konsumen.
Selanjutnya, dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dirinci lebih jelas kegiatan yang tidak boleh
dilakukan oleh pelaku usaha, sebagai berikut : 91
Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,
harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu ;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru ;
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu ;
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi ;
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia ;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi ;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu ;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu ;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau
jasa lain ;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap ;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Ayat (2) :
Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksuda pada ayat (1) dilarang
untuk diperdagangkan.
Ayat (3) :
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang
melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan suatu barang dan/atau
jasa tersebut.
91
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 9.
Universitas Sumatera Utara
Adapun faktor-faktor yang dapat membebaskan produsen dari tanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen walaupun kerusakan timbul
akibat cacat produk, yaitu apabila :
92
a.
b.
c.
d.
Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan ;
Cacat timbul di kemudian hari ;
Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen ;
Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan
produksi ;
e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh
penguasa.
4. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen
Secara umum, hubungan antara pelaku usaha (produsen) dengan
konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan.
Hubungan itu terjadi karena para pihak saling menghendaki dan mempunyai
tingkat ketergantungan yang tinggi antara pihak yang satu dengan yang lainnya.
93
Hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang tercipta secara
individual dipengaruhi oleh berbagai keadaan, antara lain :
a.
b.
c.
d.
94
Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu ;
Penawaran dan syarat perjanjian ;
Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya ;
Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.
Hubungan antara konsumen dan produsen adalah timbal balik. Konsumen
dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan. Hal ini dapat
dilihatbahwa usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik bila
92
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 42.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 9.
94
Ibid., hal. 11.
93
Universitas Sumatera Utara
konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang
cacat.
95
Secara garis besar, dalam pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain,
ada dua kelompok pihak yang terlibat, yaitu :
96
a. Kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa
Pada umumnya, pihak ini berlaku sebagai :
1) Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa
(investor) ;
2) Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen) ;
3) Penyalur barang atau jasa
b. Kelompok konsumen
Pihak ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1) Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan
tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau
mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan
komersial) ;
2) Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya
(tujuan nonkomersial).
Secara umum, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen dapat
dibagi menjadi dua, antara lain : 97
a. Hubungan langsung
Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen terikat secara
langsung dengan perjanjian.
b. Hubungan tidak langsung
Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen tidak secara
langsung terikat dengan perjanjian, karena ada pihak lain diantara
konsumen dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak
konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kepada
produsen yang tidak memiliki hubungan perjanjian dengan dirinya.
Untuk menuntut produsen pada hubungan ini dapat dilakukan dengan
alasan produsen telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan
adanya kesalahan produsen.
95
Ibid., hal. 12.
Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 33.
97
Ibid., hal. 34-35.
96
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi
untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari
penyelesaian. Dalam praktik sehari-hari, terjadi beberapa tahap transaksi
konsumen sebagai berikut : 98
a. Tahap Pra-Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman,
pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi.
Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa
kebutuhannya dapat diperoleh, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta
pertimbangan fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan.
Informasi tentang barang atau jasa memiliki peranan penting pada
tahap ini. Informasi yang bertanggung jawab (informative information)
merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil
suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan
transaksi dalam kebutuhan hidupnya. Keputusan konsumen mengenai
pilihan barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice) sangat
tergantung pada kebenaran dan pertanggungjawaban informasi yang
disediakan oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan barang atau jasa
konsumen.
b. Tahap Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa
menyewa barang telah terjadi. Syarat peralihan kepemilikan, cara-cara
pembayaran atau hak dan kewajiban merupakan hal-hal pokok bagi
konsumen.
c. Tahap Purna-Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi telah terjadi dan pelaksanaan telah
diselenggarakan. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan
atau mulai dinikmati kemudian, ternyata tidak sesuai dengan deskripsi
oleh produsen, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya,
atau jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap ini. Dalam hal
asal produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan halhal yang berkaitan dengan itu sesungguhnya sudah termasuk masalah
pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk.
98
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), hal. 39-56.
Universitas Sumatera Utara
5. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada sejumlah
asas dan tujuan yang dapat memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan
adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar
yang kuat. 99
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, ada lima asas perlindungan konsumen, yaitu :
100
a. Asas Manfaat
Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki pengaturan dan
penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk
menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi
untuk memberikan kepada masing-masing pihak, yaitu produsen dan
konsumen apa yang menjadi hak mereka masing-masing. Dengan
demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat
dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa. 101
b. Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki dengan melalui
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen, konsumen
dan pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan
penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, undang-undang ini
mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 102
c. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
material atau spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku
99
Happy Susanto, Op. Cit., hal. 17.
Ibid.
101
Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 32.
102
Ibid.
100
Universitas Sumatera Utara
usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.
Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur
dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan
kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan
atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai
komponen bangsa dan negara. 103
d. Asas Keamanan atau Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatana barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas
ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan
sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan
keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, undang-undang ini
membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan
menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha
dalam memproduksi dan mengedarkan produknya. 104
e. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum sehingga memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Artinya, undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan
tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang
ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masingmasing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas
dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan
bunyinya. 105
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, tercantum tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut : 106
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang atau jasa.
103
Ibid.
Ibid.
105
Ibid.
106
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 3.
104
Universitas Sumatera Utara
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
B. Eksistensi PT. Indocare Pacific Cabang Medan
1. Profil PT. Indocare Pacific Cabang Medan
PT. Indocare Pacific memulai perusahaannya pada tanggal 7 Juli 2007 di
bidang jasa pendukung (support services) terutama pada hygiene service di toilet.
PT. Indocare Pacific awalnya hanya memiliki 5 cabang di Indonesia, yaitu dua di
Jakarta
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
EKSISTENSI PT. INDOCARE PACIFIC CABANG MEDAN
A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha dan Hukum Perlindungan
Konsumen
Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun yang lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara
memiliki undang-undang atau peraturan khusus tentang perlindungan konsumen
termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sesuai dengan perkembangan itu,
berbagai negara telah menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai
landasan pengaturan perlindungan konsumen. 38
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau
consument/konsument (Belanda). Secara harafiah, arti kata consumer adalah
lawan dari arti kata produsen, yaitu “setiap orang yang menggunakan barang”.
Tujuan dari penggunaan barang atau jasa yang akan menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Dalam Kamus Bahasa InggrisIndonesia, kata consumer diartikan sebagai “pemakai atau konsumen”. 39
Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai “A person who
buy goods or service for personal, family, or household use, with no intention or
resale, a natural person who use products for personal rather than business
38
Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas” dalam buku Celina Tri Siwi
Kristiyanti, Op. Cit., hal. 22.
39
Az. Nasution, Op. Cit., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
purpose”. 40 Textbook on Consumer Law menyatakan “Consumer is one who
purchase goods or service”. Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan
“Konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri,
bahan makanan, dan sebagainya”. 41
Dari definisi tersebut dihendaki bahwa konsumen adalah “setiap orang
atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak
sebagai produsen, pelaku usaha dan/atau pebisnis”. 42
Hukum positif Indonesia yang ada sampai pada tahun 1999, belum
mengenal istilah konsumen. Akan tetapi, hukum positif Indonesia berusaha untuk
menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen.
Berbagai penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu
kepada perlindungan konsumen, walaupun belum memiliki ketegasan dan
kepastian tentang hak-hak konsumen. 43
Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan yang menggunakan istilah “setiap orang” untuk pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat jasa kesehatan dalam konteks konsumen. Istilah ini
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 46.
40
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minnesota : West Publishing,
2004), hal. 335.
41
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1976), hal. 521.
42
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Kencana, 2013), hal. 15.
43
Ibid., hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
Istilah“masyarakat” yang disebutkan dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 21 juga
mengacu kepada konsumen. 44
Berbagai pengertian tentang “konsumen” dikemukakan agar dapat
mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Pengertian tersebut
dapat ditemukan dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
maupun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 45
Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu :
“Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk
diperdagangkan kembali”. 46
Pengertian konsumen dalam naskah final Rancangan Akademik UndangUndang Perlindungan Konsumen, yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas
Indonesia bersama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan
Departemen Perdagangan RI, yaitu : “Konsumen adalah setiap orang atau
keluarga
yang
mendapatkan
barang
untuk
dipakai
dan
tidak
untuk
diperdagangkan”. 47
Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang
cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan
44
Ibid.
Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 19.
46
Ibid., hal. 20.
47
Ibid.
45
Universitas Sumatera Utara
pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh yang
sama dengan pemakai. Sementara itu di Eropa, dikemukakan pengertian
konsumen berdasarkan Product Liability Directive sebagai pedoman bagi negara
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum
Perlindungan Konsumen. Berdasarkan directive tersebut, yang berhak menuntut
kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera)
atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat. 48
Di Belanda, oleh Hondius disimpulkan bahwa arti konsumen adalah
“pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa” 49 , sedangkan di Spanyol,
pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, yaitu “konsumen bukan
hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau
pemakai akhir”. 50
Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan
mengambil pengertian yang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda yaitu
“Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”.
Sementara itu, Anderson dan Krumpt menyatakan kesulitannya
untuk
merumuskan definisi konsumen. Akan tetapi, para ahli hukum pada umumnya
sepakat bahwa arti konsumen adalah “Pemakai akhir dari benda dan/atau jasa
yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha”. 51
48
Nurhayati Abbas, Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya,
(Ujungpandang : Elips Project, 1996), hal. 13. dalam Ibid., hal. 21.
49
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal. 3.
50
Ibid., hal. 4.
51
Zulham, Op. Cit., hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat tiga pengertian konsumen yang ingin mendapat perlindungan,
yaitu : 52
a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa
lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan
komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.
c. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri,
keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
53
Pengertian konsumen menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1
angka 2 yang menyatakan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga,
orang
lain
maupun
makhluk
hidup
lain
dan
tidak
untuk
diperdagangkan”. 54
Unsur-unsur definisi konsumen yaitu : 55
a. Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. 56 Dalam UndangUndang ini, yang dimaksudkan “orang” merupakan orang alami dan
bukan badan hukum. Sebab yang dapat menggunakan dan/atau
52
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
(Bogor : Gahlia Indonesia, 2008), hal. 10.
53
Ibid.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1, Angka 2.
55
Shidarta, Op. Cit., hal. 4-9.
56
Ibid., hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
b.
c.
d.
e.
memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan, hanyalah orang alami atau manusia. 57
Pemakai
Sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, kata pemakai merujuk pada konsumen akhir
(ultimate consumer). Dalam hal ini penggunaan istilah “pemakai”
menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil
dari transaksi jual beli. Artinya, konsumen tidak selalu harus
memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk
memperoleh barang dan/atau jasa itu. Konsumen memang tidak
sekadar pembeli (buyer) tetapi semua orang (perorangan atau badan
usaha) yang mengonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling
penting dalam terjadinya suatu transaksi konsumen berupa peralihan
barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam
menggunakannya.
Barang dan/atau Jasa
Saat ini, kata “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. UndangUndang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap
benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,
yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan”. Sementara itu, jasa diartikan
sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Yang Tersedia dalam Masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran. Hal ini tercantum juga dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 9 ayat 1 huruf e. Namun dalam
perkembangan perdagangan yang makin kompleks saat ini, syarat itu
tidak mutlak lagi dituntut oleh konsumen. Misalnya, perusahaan
pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan
transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi.
Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup
Lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Kepentingan ini tidak
sekadar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang
dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan
keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan
tumbuhan.
57
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 10-11.
Universitas Sumatera Utara
f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mempertegas hanya kepada konsumen akhir. Penegasan ini sudah
biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai
negara.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal istilah konsumen
atau consument. 58 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen yaitu pembeli (koper)diatur
dalam pasal 1457–1540 KUH Perdata, penyewa (hurder) diatur dalamPasal 1548–
1600 KUH Perdata, penitip barang (bewarrgever) diatur dalamPasal 1694–1739
KUH Perdata, peminjam (verbruiklener) diatur dalam Pasal 1754– 1769 KUH
Perdata, dan sebagainya. Sementara itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang ditemukan istilah tertanggung (verzekerde) diatur dalam Pasal 246–308
Buku I KUH Dagang dan penumpang (opvarende)diatur dalam Pasal 341– 394
Buku II KUH Dagang. 59
Adapun pihak lain selain konsumen yang memiliki peranan penting dan
berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen adalah pelaku usaha dan
pemerintah. Istilah pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat undangundang yang lebih lazim dikenal dengan istilah pengusaha. 60
58
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 62.
Zulham, Op. Cit., hal. 14.
60
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 11.
59
Universitas Sumatera Utara
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut kelompok besar
kalangan pelaku ekonomi yang terdiri dari tiga kelompok pelaku usaha sebagai
berikut : 61
a. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai
berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak,
penyedia dana lainnya, dan sebagainya.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku,
bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat
terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan
yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan
pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa
angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan
dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya.
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,
seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko,
supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, dokter, usaha angkutan
(darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
Berdasarkan Pasal 3 Product Liability Directive, pengertian “produsen”
meliputi : 62
a. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang
manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang
timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila
kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen
dalam proses produksinya.
b. Produsen barang mentah atau komponen suatu produk.
c. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tandatanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari
suatu barang.
61
Ibid.
Agus Brotosusilo, makalah “Aspek-Aspek Perlindungan terhadap Konsumen dalam
Sistem Hukum di Indonesia”, dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum
Fakultas Hukum (Jakarta : YLKI-USAID, 1998), hal. 46. dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.
Cit., hal. 41-42.
62
Universitas Sumatera Utara
Pengertian yang luas tentang pelaku usaha juga terdapat dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen. Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka
3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah
sebagai berikut : 63
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha
adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. 64
Selain istilah-istilah yang telah dibahas sebelumnya, terdapat lagi istilah
lain seperti hukum perlindungan konsumen. Di dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan pengertian tentang hukum perlindungan
konsumen, tetapi hanya dijelaskan pengertian tentang perlindungan konsumen itu
sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1
disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. 65
63
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1, Angka 3.
64
Az. Nasution, Op. Cit., hal. 17.
65
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1, Angka 1.
Universitas Sumatera Utara
Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah
sangat sering terdengar. Hukum (perlindungan) konsumen merupakan salah satu
bidang dari ilmu hukum. Hukum konsumen hanya ranting kecil dari pohon
hukum, yaitu merupakan bagian dari jangkauan dari hukum dagang yang
tercakup dalam bagian III dari hukum dagang dengan cabang besarnya hukum
dagang. 66
Secara umum, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni : “… rules of law which
recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure
that weakness is not unfairly exploited”. 67
Ada sarjana yang berpendapat hukum perlindungan konsumen merupakan
bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu. Misalnya, Az. Nasution
berpendapat bahwa : 68
“Hukum konsumen memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan
konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa
konsumen, di dalam pergaulan hidup”.
Adapun pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen
66
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 22.
R. Lowe, Commercial Law, (London : Sweet & Maxwell, 1983), hal. 23 dalam
Shidarta, Op. Cit., hal. 9.
68
Az. Nasution, Op. Cit., hal. 23.
67
Universitas Sumatera Utara
dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa
konsumen. 69
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang
hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Pada dasarnya, hukum
konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama,
yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Dimana materi pembahasannya
meliputi bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta
bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat. Dengan demikian,
hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhannya. 70
Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala
upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai
wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen
adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya
perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. 71
2. Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen
Sebenarnya, sebelum Indonesia merdeka sudah ada beberapa peraturan
yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Beberapa peraturan yang
69
Janus Sidabalok, Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti :
2010), hal. 46.
70
Ibid.
71
Ibid., hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan perlindungan konsumen pada zaman Hindia-Belanda, antara
lain: 72
a. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 Nomor 214,
b. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S. 1931 Nomor
28,
c. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo. S. 1927449, jo. S. 1940-14 dan 450,
d. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509,
e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143,
f. VerpakkingsOrdonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935 Nomor 161,
g. Ordonanntie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.
1936-671,
h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat
Keras), S. 1937-641,
i. Bedrijfsrelementerings
Ordonanntie
(Ordonansi
Penyaluran
Perusahaan), S. 1938-86,
j. Ijkodonnantie (Ordonansi Tera), S.1949-175,
k. Gevaarlijke Stoffen Ordonanntie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya),
S. 1949-377, dan
l. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonanntie, S.1955-660.
Selain itu, terdapat pula beberapa ketentuan
yang memberikan
perlindungan konsumen, yaitu : 73
a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata),
khususnya Buku III tentang Perikatan.
b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang), tentang
pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan
penumpang/barang muatan pada hukum maritim, dan sebagainya.
c. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), tentang
pemalsuan, penipuan, persaingan curang, pemalsuan merek, dan
sebagainya.
d. Dalam hukum adat, seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari
masyarakat adat yang tidak berorientasi pada konflik, yang
memposisikan setiap warganya untuk saling menghormati sesamanya,
prinsip terang pada pembuatan transaksi (khususnya transaksi tanah)
yang mengharuskan hadirnya kepala adat/kepala desa dalam transaksi
tanah, dan prinsip adat lainnya.
72
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 18.
Ibid., hal. 19.
73
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan
konsumen, karena sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen telah ada beberapa Undang-Undang yang materinya
melindungi kepentingan konsumen yang belum memiliki ketegasan dan kepastian
hukum tentang hak-hak konsumen, antara lain : 74
a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Barang, menjadi Undang-Undang ;
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene ;
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah ;
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal ;
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan ;
f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri ;
g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) ;
h. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ;
i. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten ;
j. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek ;
k. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran ;
l. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan ;
m. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas ;
n. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil ;
o. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan ;
74
Ibid., hal. 20
Universitas Sumatera Utara
p. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup ;
q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ;
r. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan ;
s. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian ;
t. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta ;
Selain itu, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang dapat
dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum perlindungan konsumen, yaitu : 75
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001
Tanggal 21 Juni 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001
Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001
Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.
d. Keputusan Presiden Rakyat Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta
Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan,
Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
g. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 418/MPP/KEP/4/2002 Tanggal 30 April 2002
tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan
Perlindungan Konsumen.
h. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 480/MPP/KEP/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002
tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan
75
Happy Susanto, Op. Cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
Perdagangan Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
i. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan
Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada pemerintah
Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung,
Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
Perkembangan di bidang perlindungan konsumen baru terjadi setelah
lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. Undang-Undang ini masih
memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. Undang-Undang ini
merupakan hasil dari hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimana hak
itu tidak pernah digunakan sejak Orde Baru berkuasa pada 1966. 76
3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Sebelum membahas mengenai hak dan kewajiban para pihak, maka
terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian hak dan kewajiban itu sendiri.
Hukum mengatur peranan dari para subjek hukum berupa hak dan kewajiban.
Pengertian hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, sedangkan pengertian kewajiban adalah
suatu peran yang bersifat imperatif artinya harus dilaksanakan. Hubungan antara
hak dan kewajiban saling berhadapan dan berdampingan karena di dalam hak
terdapat kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak
menyalahgunakan haknya. 77
76
Shidarta, Op. Cit., hal. 52.
Happy Susanto, Op. Cit., hal. 22.
77
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, hak dan kewajiban lahir karena adanya hubungan hukum.
Sehingga jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka harus kembali kepada
undang-undang. Undang-undang dalam kajian hukum perdata, selain dibentuk
oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari
perjanjian antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum satu dan yang
lainnya.
78
Secara umum, ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui secara
internasional, yaitu : 79
a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)
Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari segi pemasaran
barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen.
Berkaitan dengan hal ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan
pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan
konsumen sangat penting. Oleh karena itu, pengaturan dan regulasi
perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen
dari perilaku produsen yang berdampak dapat merugikan dan
membahayakan keselamatan konsumen.
b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif yang dimiliki
konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang
dan/atau jasa. Apabila tanpa ditunjang hak untuk mendapatkan
informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan
yang memadai, maka hak ini tidak akan berarti.Apalagi dengan
meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan,
sehingga hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktorfaktor di luar diri konsumen.
c. Hak untuk memilih (the right to choose)
Hak ini memiliki arti yang sangat fundamental bagi konsumen jika
dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap
keterangan atau informasi mengenai suatu barang yang akan dibelinya
atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan secara lengkap dan
dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun
secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya
disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.
78
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 25.
Zulham, Op. Cit., hal. 47-48.
79
Universitas Sumatera Utara
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa
kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan
pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan
kebijaksanaan tersebut. Selain itu, setiap keluhan maupun harapan
konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan
oleh produsen harus didengar.
YLKI menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar
konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
sehingga keseluruhan dari hak tersebut dikenal sebagai “Panca Hak Konsumen”. 80
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Bab III Pasal 4 terdapat
hak-hak konsumen antara lain : 81
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa ;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan ;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa ;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan ;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen ;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif ;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
80
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 31.
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 4.
81
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak di atas merupakan penjabaran dari Pasal-pasal yang bercirikan
negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 UUD Negara Republik
Indonesia. 82
Di samping hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adapun dua hak
konsumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban produk, antara lain : 83
a. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas
yang baik serta aman.
Dengan adanya hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk
mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu.
Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk yang dibelinya sering kali
diperdaya oleh pelaku usaha.
b. Hak untuk mendapat kerugian.
Jika barang yang dibelinya itu terdapat cacat, rusak, atau telah
membahayakan konsumen, maka ia berhak mendapatkan ganti
kerugian yang pantas. Akan tetapi, jenis ganti kerugian yang
diklaimnya untuk barang yang terdapat cacat atau rusak, harus sesuai
dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing
pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari
barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang
dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau
mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka dengan kondisi
tersebut, tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang
dibelinya.
Selain memperoleh hak, konsumen juga memiliki kewajiban sebagaimana
yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 5, yaitu : 84
a. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau
pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan ;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa ;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati ;
82
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 24.
Ibid., hal. 51.
84
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 5.
83
Universitas Sumatera Utara
d. Mengikuti upaya penyelesaian
konsumen secara patut.
hukum
sengketa
perlindungan
Menurut Hans W. Miclitz, secara garis besar perlindungan konsumen
dapat ditempuh dengan dua model kebijakan, yaitu : 85
a. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang
mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai
kepada konsumen (hak atas informasi).
b. Kebijakan kompensantoris, yaitu kebijakan yang berisikan
perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas
keamanan dan kesehatan).
Sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen dan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi konsumen serta untuk menciptakan
kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha
diberikan juga hak dan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 86
Adapun hak pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain : 87
a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;
b. Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik ;
c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen ;
d. Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan ;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
85
Shidarta, Op. Cit., hal. 49.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 33.
87
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 6.
86
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur
mengenai kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut : 88
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan ;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif ;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku ;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan ;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan ;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Selain kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, adapun kegiatan
yang dilarang atau tidak boleh dilakukan pelaku usaha seperti yang tercantum
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu : 89
Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut ;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya ;
88
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 7.
89
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 8.
Universitas Sumatera Utara
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut ;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengelolaan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut ;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut ;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat ;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2) :
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang dimaksud.
Ayat (3) :
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi lengkap dan benar.
Ayat (4) :
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Secara garis besar, larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 tersebut dapat
dikategorikan menjadi 2 larangan pokok, yaitu :
90
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi standar
yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
90
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Nusa Media,
2005), hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan akurat,
yang menyesatkan konsumen.
Selanjutnya, dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dirinci lebih jelas kegiatan yang tidak boleh
dilakukan oleh pelaku usaha, sebagai berikut : 91
Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,
harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu ;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru ;
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu ;
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi ;
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia ;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi ;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu ;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu ;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau
jasa lain ;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap ;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Ayat (2) :
Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksuda pada ayat (1) dilarang
untuk diperdagangkan.
Ayat (3) :
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang
melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan suatu barang dan/atau
jasa tersebut.
91
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 9.
Universitas Sumatera Utara
Adapun faktor-faktor yang dapat membebaskan produsen dari tanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen walaupun kerusakan timbul
akibat cacat produk, yaitu apabila :
92
a.
b.
c.
d.
Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan ;
Cacat timbul di kemudian hari ;
Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen ;
Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan
produksi ;
e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh
penguasa.
4. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen
Secara umum, hubungan antara pelaku usaha (produsen) dengan
konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan.
Hubungan itu terjadi karena para pihak saling menghendaki dan mempunyai
tingkat ketergantungan yang tinggi antara pihak yang satu dengan yang lainnya.
93
Hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang tercipta secara
individual dipengaruhi oleh berbagai keadaan, antara lain :
a.
b.
c.
d.
94
Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu ;
Penawaran dan syarat perjanjian ;
Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya ;
Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.
Hubungan antara konsumen dan produsen adalah timbal balik. Konsumen
dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan. Hal ini dapat
dilihatbahwa usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik bila
92
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 42.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 9.
94
Ibid., hal. 11.
93
Universitas Sumatera Utara
konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang
cacat.
95
Secara garis besar, dalam pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain,
ada dua kelompok pihak yang terlibat, yaitu :
96
a. Kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa
Pada umumnya, pihak ini berlaku sebagai :
1) Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa
(investor) ;
2) Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen) ;
3) Penyalur barang atau jasa
b. Kelompok konsumen
Pihak ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1) Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan
tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau
mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan
komersial) ;
2) Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya
(tujuan nonkomersial).
Secara umum, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen dapat
dibagi menjadi dua, antara lain : 97
a. Hubungan langsung
Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen terikat secara
langsung dengan perjanjian.
b. Hubungan tidak langsung
Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen tidak secara
langsung terikat dengan perjanjian, karena ada pihak lain diantara
konsumen dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak
konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kepada
produsen yang tidak memiliki hubungan perjanjian dengan dirinya.
Untuk menuntut produsen pada hubungan ini dapat dilakukan dengan
alasan produsen telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan
adanya kesalahan produsen.
95
Ibid., hal. 12.
Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 33.
97
Ibid., hal. 34-35.
96
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi
untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari
penyelesaian. Dalam praktik sehari-hari, terjadi beberapa tahap transaksi
konsumen sebagai berikut : 98
a. Tahap Pra-Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman,
pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi.
Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa
kebutuhannya dapat diperoleh, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta
pertimbangan fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan.
Informasi tentang barang atau jasa memiliki peranan penting pada
tahap ini. Informasi yang bertanggung jawab (informative information)
merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil
suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan
transaksi dalam kebutuhan hidupnya. Keputusan konsumen mengenai
pilihan barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice) sangat
tergantung pada kebenaran dan pertanggungjawaban informasi yang
disediakan oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan barang atau jasa
konsumen.
b. Tahap Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa
menyewa barang telah terjadi. Syarat peralihan kepemilikan, cara-cara
pembayaran atau hak dan kewajiban merupakan hal-hal pokok bagi
konsumen.
c. Tahap Purna-Transaksi Konsumen
Pada tahap ini, transaksi telah terjadi dan pelaksanaan telah
diselenggarakan. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan
atau mulai dinikmati kemudian, ternyata tidak sesuai dengan deskripsi
oleh produsen, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya,
atau jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap ini. Dalam hal
asal produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan halhal yang berkaitan dengan itu sesungguhnya sudah termasuk masalah
pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk.
98
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), hal. 39-56.
Universitas Sumatera Utara
5. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada sejumlah
asas dan tujuan yang dapat memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan
adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar
yang kuat. 99
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, ada lima asas perlindungan konsumen, yaitu :
100
a. Asas Manfaat
Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki pengaturan dan
penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk
menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi
untuk memberikan kepada masing-masing pihak, yaitu produsen dan
konsumen apa yang menjadi hak mereka masing-masing. Dengan
demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat
dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa. 101
b. Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki dengan melalui
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen, konsumen
dan pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan
penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, undang-undang ini
mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 102
c. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
material atau spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku
99
Happy Susanto, Op. Cit., hal. 17.
Ibid.
101
Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 32.
102
Ibid.
100
Universitas Sumatera Utara
usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.
Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur
dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan
kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan
atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai
komponen bangsa dan negara. 103
d. Asas Keamanan atau Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatana barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas
ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan
sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan
keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, undang-undang ini
membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan
menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha
dalam memproduksi dan mengedarkan produknya. 104
e. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum sehingga memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Artinya, undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan
tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang
ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masingmasing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas
dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan
bunyinya. 105
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, tercantum tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut : 106
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang atau jasa.
103
Ibid.
Ibid.
105
Ibid.
106
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 3.
104
Universitas Sumatera Utara
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
B. Eksistensi PT. Indocare Pacific Cabang Medan
1. Profil PT. Indocare Pacific Cabang Medan
PT. Indocare Pacific memulai perusahaannya pada tanggal 7 Juli 2007 di
bidang jasa pendukung (support services) terutama pada hygiene service di toilet.
PT. Indocare Pacific awalnya hanya memiliki 5 cabang di Indonesia, yaitu dua di
Jakarta