Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Nurhayati. 1996.Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya.

Ujungpandang : Elips Project.

Agustina, Rosa. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta : Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia.

Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Asshofa, Burhan. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.

Barkatullah, Abdul Hakim. 2005. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung : Nusa Media.

Garner, Bryan A. 2004. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minnesota : West Publishing.

Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Permasalahan Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Hartono, Sunaryati. 1994. Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Bandung : Alumni.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Sinar Grafika.

Lowe, R. 1983. Commercial Law. London : Sweet & Maxwell.

Maleong, Lexy J. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosadakarya.

Miru. Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

. 2013. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di

Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.

dan Sakka Pati. 2014. Hukum Perikatan. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial Ekonomi dan

Hukum Pada Perlindungan Konsumen. Jakarta : Sinar Harapan.

.2001. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Diadit Media.

Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Sadar, M., Moh. Taufik Makarao dan Habloel Mawadi. 2012. Hukum


(2)

Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Grasindo.

Sidabalok, Janus. 2010. Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Gahlia Indonesia.

Subekti, R. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Pradnya Paramita.

Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

. 2011. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta : Transmedia

Pustaka.

Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen. Bogor : Gahlia Indonesia.

Utrecht, E. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan

Konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Zulham. 2013. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Kencana.

UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

PERATURAN LAINNYA

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional.


(3)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI CACAT PRODUK, PRINSIP-PRINSIP DAN BENTUK-BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA A. Tinjauan Umum Mengenai Cacat Produk

1. Pengertian Cacat Produk

Menurut Emma Suratman, yang dimaksud dengan produk cacat adalah:113

Cacat produk adalah “keadaan produk yang umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen. Atau cacat tersebut dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen”.

“setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syara-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunannya, sebagaimana diharapkan orang”.

114

Ahmadi Miru berpendapat bahwa “Produk cacat adalah produk yang dengan mempertimbangkan pengetahuan dan teknologi yang tersedia serta biaya produksi, produk tersebut tidak memenuhi harapan yang wajar dari konsumen”.115

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan defenisi tentang cacat produk. Produk cacat merupakan satu-satunya dasar pertanggunggugatan produsen, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya menentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan / atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang

113

Az. Nasution, Op. Cit., hal. 248.

114

Ibid.

115


(4)

dihasilkan / diperdagangkan. Ada tidaknya kecacatan produk hanya menjadi penting dalam menentukan ada tidaknya kesalahan produsen yang menyebabkan kerugian konsumen. 116

Larangan mengenai perdagangan barang yang mengandung cacat produk tercantum pada Pasal 8 ayat (2)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bunyinya sebagai berikut : “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud”.117

Tanggung jawab pada produk cacat berbeda dengan tanggung jawab pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak ada tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain, sedangkan tanggung jawab pelaku usaha karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.

Dalam penjelasan Undang-Undang dijelaskan bahwa “barang-barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.

118

116

Ibid., hal. 165.

117

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8, Ayat (2).

118


(5)

2. Jenis-Jenis Cacat Produk

Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena : 119

a. Cacat produk atau manufaktur

Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang berada di bawah tingkat harapan konsumen dan dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Kesalahan produksi ini dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu : 120

1) Kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu;

2) Produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksudkan oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.

b. Cacat desain

Cacat desain terjadi kalau desain produk itu tidak dipenuhi sebagaimana mestinya, sehingga timbul kerugian yang dialami oleh konsumen. Cacat desain dikategorikan juga sebagai cacat produk. Cacat ini terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri atas desain, komposisi atau konstruksi.

c. Cacat peringatan atau cacat instruksi

Cacat peringatan atau instruksi ini adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Misalnya, peringatan agar dalam pengunaannya harus menggunakan voltase listrik tertentu, peringatan produk harus disimpan pada suhu kamar, dan sebagainya. Keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas risiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksudkan.

Oleh karena tipe-tipe kecacatan atau saat terjadinya kecacatan tidak dapat dijadikan standar untuk menentukan dalam keadaan bagaimana suatu produk

119

Az. Nasution, Op. Cit., hal. 249.

120


(6)

digolongkan sebagai produk cacat, maka terdapat beberapa standar konseptual untuk menetapkan cacat, yaitu didasarkan pada : 121

a. Harapan Konsumen

Standar harapan konsumen biasanya sama dengan standar kelayakan untuk dijual, yang mengandung makna bahwa barang yang layak untuk dijual setidaknya harus sesuai dengan tujuan biasa di mana barang itu digunakan. b. Dugaan Pengetahuan Penjual

Cara pengujian kecacatan lainnya adalah dugaan pengetahuan penjual, yaitu akankah penjual lalai dalam menempatkan produknya di pasaran jika penjual mengetahui kondisi yang membahayakan pada produk. Antara harapan konsumen dan anggapan pengetahuan penjual merupakan dua sisi yang memiliki standar yang sama. Suatu produk cacat dan berbahaya karena penjual tidak selayaknya menjual jika penjual tahu menimbulkan risiko atau risikonya lebih besar daripada harapan yang wajar dari konsumen.

c. Keseimbangan Antara Risiko dan Manfaat

Risiko-manfaat dapat dipahami sebagai suatu yang sama dengan risiko kegunaan. Hal ini dalam arti apakah biaya untuk membuat produk lebih aman, lebih besar atau lebih kecil daripada risiko atau bahaya produk dari kondisinya yang sekarang. Apabila biaya untuk mengubah lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan jika tidak dilakukan perubahan, maka manfaat atau kegunaan produk melebihi risikonya, sehingga produk tersebut tidak tergolong cacat. Jika biaya tadi lebih kecil daripada risiko namun tidak diadakan perubahan, maka produk tersebut tergolong cacat. Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman untuk dipakai. Usaha inilah yang disebut standardisasi. 122

Standar umum untuk menentukan risiko-manfaat menurut Wade, ada tujuh faktor, yaitu : 123

1) Kemanfaatan atau sifat yang diinginkan dari produk ; 2) Kemungkinan dan keseriusan kerugian dari produk ;

3) Tersedianya produk pengganti yang akan memenuhi kebutuhan yang sama dan aman ;

4) Kemampuan pabrik untuk menghilangkan bahaya tanpa merusak kegunaan atau menyebabkan produk terlalu mahal ;

121

Ibid., hal. 161-164.

122

Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 19.

123


(7)

5) Kesadaran pemakai terhadap bahaya ;

6) Kemampuan pemakai untuk menghindari bahaya ;

7) Kemungkinan produsen pembuat menyebar risiko kerugian melalui harga dan asuransi.

d. State of the Art

State of the Art adalah pengetahuan keilmuan dan teknologi yang ada pada

saat produk dipasarkan.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan harapan yang wajar dari konsumen, yaitu : 124

a. Pengetahuan / pengalaman konsumen terhadap produk yang sama ; b. Kepercayaan konsumen terhadap produsen / pengetahuan produsen

tentang kekurangan / bahaya produk ; c. Harga produk ;

d. Informasi yang disampaikan produsen tentang produk tersebut.

B. Prinsip-Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku Usaha

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.125

Dalam era globalisasi, hukum harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan

124

Ibid., hal. 164.

125


(8)

kerugian pada konsumen. Kerugian-kerugian yang diderita konsumen merupakan akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen. 126

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan umumnya memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 127

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability or liability based on fault)

Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Pasal 1365, Pasal 1366, dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 unsur pokok, yaitu :

a. Adanya perbuatan ; b. Adanya unsur kesalahan ; c. Adanya kerugian yang diderita ;

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum” artinya tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara umum, asas ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Di sisi lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle)

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian pada prinsip ini ada pada pihak tergugat. Dalam prinsip ini

126

Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 32.

127


(9)

diberlakukan beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19, 22, 23 dan 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Jika digunakan teori ini dalam kasus perlindungan konsumen, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat, tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika konsumen gagal menunjukkan kesalahan tergugat.

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principle)

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara

common sense dapat dibenarkan. Contoh dalam penerapan prinsip ini

adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin / bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab produsen untuk produk yang dipasarkan kepada pemakai, yang menimbulkan dan menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.128

128

Shidarta, Op. Cit., hal. 80.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha. Khususnya produsen barang yang memasarkan barang yang merugikan konsumen. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen atas penggunaan produk yang beredar di pasaran. Dalam tanggung jawab mutlak, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat. Ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan penerapan prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur kesalahan di pihak produsen.


(10)

Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu : a. Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang

timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk ; b. Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi

standar pembuatan obat yang baik ;

c. Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Alasan-alasan prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah : 129

a. Diantara korban / konsumen di satu pihak dan ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.

b. Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab.

Product Liability ini dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal yang

berkaitan dengan berikut ini : 130

a. Proses produksi, yaitu menyangkut tanggung jawab produsen atas produk yang dihasilkannya bila menimbulkan kerugian bagi konsumen. Misalnya, menyangkut produk yang cacat, baik cacat desain maupun cacat produk.

b. Promosi niaga / iklan, yaitu menyangkut tanggung jawab produsen atas promosi niaga / iklan tentang hal ihwal produk yang dipasarkan bila menimbulkan kerugian bagi konsumen.

c. Praktik perdagangan yang tidak jujur, seperti persaingan curang, pemalsuan, penipuan, dan periklanan yang menyesatkan.

Dalam Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

129

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 16-17.

130


(11)

Ketentuan tanggung jawab produk ini dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1504 yang berbunyi :

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang”.

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk, yang berbunyi : 131

Ciri-ciri dari product liability sebagai berikut :

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan”.

132

a. Yang dapat dkualifikasikan sebagai adalah produsen adalah : 1) Pembuat produk jadi ;

2) Penghasil bahan baku ; 3) Pembuat suku cadang ;

4) Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu ; 5) Importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan,

disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan ;

6) Pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir yang tidak dapat ditentukan.

b. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir;

c. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponen / bagian dari benda bergerak atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian atau perburuan ;

131

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 19, Ayat 1.

132


(12)

d. Yang dapat dikualifikasikan sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia (kematian atau luka pada fisik) dan kerugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan;

e. Produk dikualifikasi mengandung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi keamanan (safety)yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek, antara lain :

1) Penampilan produk ;

2) Maksud penggunaan produk ;

3) Ketika produk ditempatkan di pasaran.

Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen dalam

product liability adalah : 133

a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya ;

b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian ;

c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis ;

d. Bahwa terjadinya cacar pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah ;

e. Bahwa secara ilmiah dan teknis pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle)

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya, dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang dicuci cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturang perundang-undangan yang jelas.

133


(13)

C. Bentuk-Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha

Secara garis besar, bentuk-bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu :134

1. Pertanggungjawaban Privat ( Keperdataan)

Hubungan hukum mungkin telah ada terlebih dahulu antara produsen dan konsumen, yang berupa sebuah hubungan kontraktual (hubungan perjanjian), tetapi mungkin juga tidak pernah ada hubungan hukum sebelumnya dan keterikatan secara hukum justru lahir setelah timbul peristiwa yang merugikan konsumen. Pada dasarnya hubungan kontraktual itu berbentuk hubungan / perjanjian jual beli, meskipun ada jenis hubungan hukum lainnya.

Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya menimbulkan akibat dan konsekuensi hukum yang jauh berbeda di dalam pemenuhan tanggung jawab.

Menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kerugian yang dapat dituntut dari produsen adalah sebagai berikut : 135

a. Kerugian atas kerusakan

Yang dimaksud dengan kerugian atas kerusakan adalah segala kerugian berupa timbulnya kerusakan pada barang-barang milik konsumen yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/dibelinya. Misalnya, konsumen membeli suatu barang lalu disimpan bersama-sama dengan barang lain atau dipakai pada barang lain dan menimbulkan kerusakan pada barang lain itu.

b. Kerugian karena pencemaran

Yang dimaksud dengan kerugian karena pencemaran adalah kerugian berupa pencemaran yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/dibeli. Misalnya, produk yang baru dibeli itu mencemari produk lain yang dimiliki sebelumnya oleh konsumen sehingga barang-barang yang telah ada itu menjadi tidak berguna atau berkurang kegunaannya.

134

Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 93-111.

135


(14)

c. Kerugian konsumen sebagai akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Yang dimaksud dengan kerugian konsumen adalah kerugian berupa korban manusia. Misalnya, karena mengonsumsi produk tertentu, konsumen jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia.

Pasal 19 ayat (2) memberikan pedoman tentang jumlah, bentuk, atau wujud ganti kerugian , yaitu :136

a. Pengembalian uang ;

b. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya ; c. Perawatan kesehatan ;

d. Pemberian santunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk menentukan besarnya jumlah ganti kerugian, KUH Perdata memberikan beberapa pedoman, yaitu :137

a. Besarnya ganti kerugian sesuatu dengan fakta tentang kerugian yang benar-benar terjadi dan dialami oleh konsumen.

b. Sebesar kerugian yang dapat diduga sehingga keadaan kekayaan dari kreditur harus sama seperti seandainya debitur memenuhi kewajibannya. Kerugian yang jumlahnya melampaui batas-batas yang dapat diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitur.

c. Besarnya kerugian yang dapat dituntut adalah kerugian yang merupakan akibat langsung dari peristiwa yang terjadi, yaitu sebagai akibat dari wanprestasi atau sebagai akibat dari peristiwa perbuatan melawan hukum.

d. Besarnya ganti rugi itu ditentukan sendiri oleh undang-undang , misalnya yang diatur pada Pasal 1250 KUH Perdata, yang mengatakan bahwa dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi, dan bunga yang disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas biaya yang ditentukan oleh undang-undang dengan tidak mengurangi peraturan perundang-undangan khusus. Dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen tidak menentukan batas kerugian yang dapat dihukumkan kepada pelaku usaha sehubungan dengan gugatan ganti kerugian dalam sengketa konsumen. Akan tetapi, dalam Pasal 60 ayat (2) disebutkan bahwa sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian yang

136

Ibid., hal. 160.

137


(15)

ditetapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

e. Ganti kerugian sebesar isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagaimana yang dimungkinkan oleh Pasal 1249 KUH Perdata. Berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada, maka pertanggungjawaban dapat dibedakan atas :138

a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.

b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.

a. Tanggung jawab karena pelanggaran janji (wanprestasi) dalam hubungan kontraktual.

Dalam setiap perjanjian, ada sejumlah janji (term of conditions) yang harus dipenuhi oleh para pihak. Janji itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berjanji dan sekaligus merupakan hak bagi pihak lawan untuk menuntut pemenuhannya. Apabila janji tidak dipenuhi, tentu akan menimbulkan kerugian di pihak lawan, yang akhirnya keadaan tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi), menimbulkan hak bagi pihak lawan untuk menuntut penggantian kerugian.

Dalam jual beli, seorang penjual mempunyai kewajiban utama untuk : 139 1) Menyerahkan kebendaan yang dijualnya kepada pembeli.

2) Bertanggung jawab atas cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya termasuk segala kerugian yang diderita oleh si pembeli sehubungan dengan tercapainya perjanjian jual beli itu telah dikeluarkan oleh pembeli. Jika ternyata bahwa penjual telah mengetahui adanya cacat itu, penjual diwajibkan pula untuk mengganti seluruh kerugian yang ditimbulkan oleh cacat tersebut.

3) Memenuhi segala apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian, seperti janji-janji, jaminan-jaminan, dan sebagainya.

138

Ibid., hal. 102.

139


(16)

Mengenai kerugian dalam konteks perjanjian, menurut Pasal 1244, Pasal 1245, dan Pasal 1246 KUHPerdata dirinci dalam tiga unsur, yaitu : 140 1) Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata

sudah dikeluarkan oleh satu pihak.

2) Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh wanprestasi debitur.

3) Bunga adalah keuntungan yang diharapkan akan diperoleh kreditur kemudian hari seandainya debitur melaksanakan kewajibannya dengan baik.

Penanggungan atau jaminan atas cacat-cacat tersembunyi yang dimaksud dalam Pasal 1504 KUHPerdata dapat digolongkan berupa janji atau jaminan dari pihak penjual tentang dapat dipergunakan dengan baik. Dalam hal ini terkandung janji bahwa dengan memakai dan mengonsumsi produk tertentu yang dijualnya, penjual menjamin bahwa pembeli (konsumen) akan memperoleh kenikmatan, manfaat, dan kegunaan tertentu dalam memenuhi kebutuhannya.

Ketentuan yang sama pada produsen pembuat (pabrik) sehingga produsen mempunyai dapatditerapkan keterikatan kepada konsumen dalam bentuk pemberian janji atau jaminan. Hal ini menunjukkan janji sepihak dari produsen pembuat (pabrik), di mana dengan memproduksi produk tertentu dengan menyebutkan kegunaan, manfaat, dan kenikmatannya melalui label dan / atau menerbitkan suatu brosur mengenai itu, maka dapat ditafsirkan bahwa secara sepihak produsen pembuat telah mengikatkan dirinya dengan memberi janji kepada konsumen.

b. Tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum.

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, tiap-tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kemudian, dalam Pasal 1367 KUH Perdata diatur mengenai pertanggungjawaban khusus sehubungan dengan perbuatan melawan hukum, yaitu pertanggungjawaban atas barang, seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

140

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2014), hal. 14-15.


(17)

Secara lebih luas, perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai perbuatan yang : 141

1) Melanggar hak orang lain ;

2) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku ; 3) Bertentangan dengan kesusilaan ;

4) Tidak sesuai dengan kepantasan dalam masyarakat dalam hal memperhatikan kepentingan orang lain.

Syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum, yaitu : 142

1) Ada suatu perbuatan melawan hukum ; 2) Ada kesalahan ;

3) Ada kerugian ;

4) Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan.

Untuk dapat menuntut ganti kerugian, unsur kesalahan harus dibuktikan. Kesalahan diartikan secara luas meliputi kesengajaan atau kelalaian. Kesengajaan menunjukkan adanya maksud atau niat dari produsen untuk menimbulkan akibat tertentu. Akibat itu diketahui atau dapat diduga akan terjadi dan dengan sadar melakukan perbuatan itu. Kelalaian ialah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan standar kelakuan yang ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan anggota masyarakat terhadap risiko yang tidak rasional. Kelalaian ini banyak dikaitkan dengan tanggung jawab produk.

Syarat-syarat agar kelalaian dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta pertanggungjawaban, yaitu : 143

1) Adanya tingkah laku yang menimbulkan kerugian ;

2) Yang harus dibuktikan adalah bahwa tergugat (produsen) lalai dalam menjaga kepentingan penggugat (konsumen) ;

3) Kelakuan itu merupakan penyebab nyata dari kerugian yang timbul.

141

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), hal. 276.

142

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003), hal. 117.

143


(18)

Gugatan berdasarkan kelalaian ini diikuti dengan pembuktian atas : 144 1) Kerugian yang diderita ditimbulkan oleh cacat yang ada pada produk. 2) Bahwa cacat tersebut telah ada pada saat penyerahan produk.

3) Bahwa cacat pada produk disebabkan oleh kurang cermatnya produsen.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur mengenai pertanggungjawaban produsen pada Bab VI Pasal 19-28. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 19 :145

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan / atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan /atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian sumbangan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Dalam Pasal 20 yang berbunyi bahwa “Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”. Selain itu, tanggung gugat juga diberlakukan bagi importir barang atau jasa sebagai pembuat barang yang diimpor atau sebagai penyedia jasa asing jika importisasi barang atau

144

Ibid.

145

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 19.


(19)

penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri atau perwakilan penyedia jasa asing (Pasal 21). 146 Pasal 22 menegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. 147

Pasal 24 :

Menurut Pasal 23, Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

148

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :

a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut ;

b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 25 : 149

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purnajual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

146

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 107.

147

Ibid., hal. 109.

148

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 24.

149

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 25.


(20)

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :

a. Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan ;

b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan dan/atau garansi yang diperjanjikan.

Pada pasal 26 diatur bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Dalam Pasal 27 diatur mengenai hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab yang diderita konsumen apabila :150

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan ;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari ;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;

d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Dalam Pasal 28 dinyatakan bahwa “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” Hal ini berarti berlaku sistem pembuktian terbalik, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata, sesuatu yang menyimpang dari hukum acara biasa. 151

2. Pertanggungjawaban Publik (Pidana)

Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Kepada produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha.

150

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 27.

151


(21)

Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatannya sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 7 Angka 1, berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan nasional. Hal ini merupakan tanggung jawab publik yang dibebankan kepada seorang pelaku usaha.

Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh produsen maka kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Beberapa perbuatan yang bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dapat dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan.

Bentuk pertanggungjawaban administratif yang dapat dituntut dari produsen sebagai pelaku usaha diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang :

a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen ( Pasal 19 ayat (2) dan (3));

b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (Pasal 20) ; c. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (Pasal 25) ; d. Kelalaian memenuhi garansi / jaminan yang dijanjikan.

Di samping itu, pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada produsen, baik pelaku usaha yang bersangkutan maupun pengurusnya (jika produsen berbentuk badan usaha), adalah :152

a. Pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, ayat (2), dan Pasal 18.

b. Pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), terhadap pelanggaran atas ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f.

152


(22)

c. Tindakan pelaku usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku, yaitu KUH Pidana dan perundang-undangan lainnya.

d. Terhadap sanksi pidana di atas dapat dikenakan hukuman tambahan berupa tindakan :

1) Perampasan barang tertentu ; 2) Pengumuman keputusan hakim ; 3) Pembayaran ganti rugi ;

4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen ;

5) Kewajiban menarik barang dari peredaran ; 6) Pencabutan izin usaha.

Yang termasuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun : 153

a. Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan.

2) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.

3) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah menurut ukuran yang sebenarnya.

4) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran barang sebagaimana dicantumkan di dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

5) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

6) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

7) Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. 8) Tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal sebagaimana

dengan pernyataan halal yang dicantumkan pada label.

9) Tidak memasang label atau memuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,

153


(23)

nama dan alamat pelaku usaha, serta ketentuan lain untuk penggunaan menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

10)Tidak mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, memperdagangkannya atau melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan dari barang tersebut.

c. Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan tentang harga atau tarif, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi, tawaran potongan harga atau hadiah menarik, serta bahaya penggunaan dari barang dan/atau jasa. d. Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen :

menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa bangsa dan/atau jasa lain.

e. Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis kepada konsumen pada waktu menawarkan barang dan/atau jasa.

f. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen : melarang membuat iklan yang :

1) Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau jasa, serta ketepatan waktu penerimaan (huruf a).

2) Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa (huruf b).

3) Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat (huruf c). 4) Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa izin yang

berwenang atau persetujuan yang bersangkutan (huruf e).

g. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen : melanjutkan peredaran iklan yang dilarang di atas.

h. Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : melanggar ketentuan undang-undang tentang pencantuman klausula baku dalam perdagangan barang dan/atau jasa.


(24)

Yang termasuk tindak pidana yang diancam pidana penjara paling lama dua tahun : 154

a. Pasal 11 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : mengelabui atau menyesatkan konsumen tentang mutu, kualitas, serta harga atau tariff pada penjualan dengan cara obral atau lelang.

b. Pasal 12 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, tetapi tidak dipenuhi dengan tepat.

c. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen : menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah, tetapi akhirnya tidak memberikannya.

d. Pasal 14 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang diperjanjikan, mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa, memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan, serta mengganti hadiah yang tidak setara dengan hadiah yang dijanjikan, dalam hal ada penawaran untuk memberikan hadiah melalui undian.

e. Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen : dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan, pelaku usaha tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan, tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

f. Pasal 17 ayat (1) huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen : memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa.

g. Pasal 17 ayat (1) huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen : memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

154


(25)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB HUKUM PT. INDOCARE PACIFIC CABANG MEDAN TERHADAP KONSUMEN BARANG ECOCARE YANG MEMILIKI CACAT PRODUK DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengaturan dan Bentuk-Bentuk Cacat Produk yang Terdapat pada Produk Ecocare

Pengaturan mengenai cacat produk dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 8 ayat (2) yaitu larangan bagi pelaku usaha yang bunyinya sebagai berikut : “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. 155

Suatu produk dikatakan cacat karena tidak memenuhi suatu standar mutu tertentu. Produk yang digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga konsumen akan merasa terlindungi. Oleh karena itu, untuk mengawasi kualitas/mutu barang, diperlukan adanya standardisasi mutu barang. Menyadari peranan standardisasi yang penting, pemerintah dengan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1984 yang disempurnakan Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1989 membentuk Dewan Standardisasi Nasional.

Namun, pengertian mengenai cacat produk itu sendiri tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999.

156

155

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8, Ayat (2).

156


(26)

Untuk lebih menjamin produk, yang diperlukan bukan hanya dipenuhinya spesifikasi dan pembubuhan tanda SNI, tapi masih perlu dilakukan pengawasan oleh Departemen Perdagangan terhadap produk yang telah memenuhi spesifikasi SNI yang beredar di pasaran. 157

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional Pasal 1 Angka (3), yang dimaksud dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah “standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dan berlaku secara nasional”. 158 Selain itu, pada Pasal 1 Angka (13) disebutkan pengertian tanda SNI adalah “tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada barang kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan Standar Nasional Indonesia”.159

Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, dijelaskan tujuan standardisasi nasional untuk :160

1. Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup ;

2. Membantu kelancaran perdagangan ;

3. Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.

157

Ibid., hal. 199.

158

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional, Pasal 1, Angka (3).

159

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional, Pasal 1, Angka (13).

160

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional, Pasal 3.


(27)

Sementara itu, dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, menjelaskan tujuan standardisasi dan penilaian kesesuaian sebagai berikut : 161

1. Meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat dantransparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan pelaku usaha, serta kemampuaninovasi teknologi; 2. Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja,

dan masyarakat lainnya,serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkunganhidup; dan 3. Meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan

barang dan/atau Jasa di dalamnegeri dan luar negeri.

Beberapa sarjana mencoba memberikan definisi cacat produk. Salah satunya Emma Suratman yang menjelaskan bahwa :162

Pada dasarnya, suatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena :

“produk cacat itu adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang”.

163

1. Cacat produk atau manufaktur ; 2. Cacat desain ;

3. Cacat peringatan atau cacat instruksi.

161

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Pasal 3.

162

Az. Nasution, Op. Cit., hal. 248.

163


(28)

Menurut Az. Nasution, yang dimaksud cacat produk adalah :164

Sementara itu, cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Misalnya, peringatan produk harus disimpan pada suhu kamar, dsb. Produk yang tidak memuat peringatan atau instruksi tertentu termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk bersangkutan serta pelaku usaha lainnya, seperti importir produk, distributor atau pedagang pengecernya.

“keadaan produk yang umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen atau cacat itu dapat membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Misalnya, setiap orang mengharapkan air minum dalam botol tidak berisi butir-butir pasir, tepung gandum tidak berisi potongan-potongan kecil besi, dll. Cacat desain juga dikategorikan ke dalam cacat produk sebab apabila desain produk itu dipenuhi sebagaimana mestinya, maka tidak akan timbul kejadian yang merugikan konsumen”.

165

Berdasarkan dari data yang didapat dari hasil wawancara,secara garis besar bentuk-bentuk cacat produk yang umumnya terjadi pada produk Ecocare adalah sebagai berikut :166

1. Pada produk Eco LCD yaitu produk penyegar ruangan dengan sistem

spray otomatis, sering terjadi cacat produk yang menyebabkan unit tidak

bekerja dengan baik yang disebabkan karena sistem sensornya, sistem

spray, baterai yang lemah, dll sehingga menyebabkan unit tidak bekerja

dengan efektif (tidak mengeluarkan pewangi secara otomatis). Cacat

164

Ibid.

165

Ibid., hal. 250.

166

Hasil wawancara dengan pihak PT. Indocare Pacific Cabang Medan pada tanggal 19 Februari 2016.


(29)

produk yang terjadi lainnya pada produk ini adalah ketika produk setelah dipastikan oleh teknisi PT. Indocare Pacific Cabang Medan telah terpasang dengan baik dan benar pada dinding, setelah beberapa saat kemudian, unit terjatuh dengan sendirinya.

2. Pada produk Eco Soap Dispenser yaitu unit pelepas sabun pencuci tangan, cacat produk yang pernah terjadi pada produk ini adalah per yang terdapat di dalam produk yang gunanya untuk mengeluarkan sabun pencuci tangan rupanya terlepas dari tempatnya atau per rusak sehingga produk tidak dapat mengeluarkan sabun. Cacat produk lainnya adalah kebocoran sabun yaitu sabun yang mengalir terus menerus tanpa henti.

3. Pada produk Ecocare Insect Killeryaitu unit pengusir lalat atau serangga. Cacat produk yang pernah terjadi pada produk ini adalah unit yang tidak bekerja dengan efektif disebabkan oleh beberapa masalah teknis sehingga masih banyak lalat atau serangga.

4. Pada seluruh produk Ecocare adanya keretakan yang terdapat pada unit.

Secara garis besar, PT. Indocare Pacific Cabang Medan tidak membedakan antara cacat produk dan cacat tersembunyi. Yang dimaksud dengan cacat tersembunyi adalah cacat yang tidak kelihatan dengan mudah oleh seorang pembeli yang normal, bukannya seorang pembeli yang terlampau teliti sebab mungkin sekali orang yang sangat teliti akan menemukan cacat itu. 167

167


(30)

Mengenai kewajiban penjual untuk menanggung cacat tersembunyi ditentukan dalam Pasal 1504 KUH Perdata bahwa : 168

Untuk cacat yang kelihatan, dianggap pembeli telah menerima adanya cacat itu sehingga penjual tidak diwajibkan menanggung akibat dari adanya cacat tersebut. Sehubungan dengan cacat tersembunyi, pembeli dapat mengembalikan barang dan menuntut pengembalian sebagian dari harganya yang sudah dibayarkannya. Jika si penjual telah mengetahui adanya cacat tersembunyi itu, selain ia diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya, juga ia diwajibkan mengganti semua kerugian yang diderita oleh si pembeli sebagai akibat cacatnya barang yang dibelinya (Pasal 1507 dan Pasal 1508 KUH Perdata).

“Penjual diwajibkan menanggung cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya, yang menyebabkan barang tersebut tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau cacat yang mengurangi pemakaian itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui adanya cacat-cacat tersebut, ia sama sekali tidak akan membelinya atau membeli dengan harga kurang”.

169

Pada Pasal 1509 KUH Perdata menerangkan bahwa : “Jika si penjual tidak mengetahui adanya cacat-cacat itu, ia hanya diwajibkan untuk mengembalikan harga pembelian dan mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan yang telah dikeluarkan oleh si pembeli”. 170

168

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1504.

169

Janus Sidabalok, Loc. Cit.

170


(31)

B. Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk

Produsen / pelaku usaha merupakan salah satu konsumen yang turut bertanggung jawab dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Dunia usaha harus mampu menghasilkan berbagai barang dan / atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dengan pemastian terhadap mutu, jumlah yang mencukupi, serta keamanan pada pemakai barang dan / atau jasa yang diedarkan ke pasar. Demi mencapai tujuan tersebut, maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan diatur hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab produsen. Pengaturan tentang hak, kewajiban, dan larangan itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumennya, sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya. 171

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menjadi hak-hak dari produsen (pelaku usaha) adalah sebagai berikut : 172

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan / atau jasa yang diperdagangkan ;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik ;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen ;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan ;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

171

Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 83.

172

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 6.


(32)

Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban produsen (pelaku usaha) adalah : 173

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan ;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku ;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan ;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;

g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Jika dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen sebagaiman yang diatur di dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tampak bahwa hak dan kewajiban produsen bertimbal-balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Artinya, apa yang menjadi hak dari konsumen merupakan kewajiban produsen untuk memenuhinya, dan sebaliknya apa yang menjadi hak produsen adalah kewajiban konsumen. 174

Jika dibandingkan dengan hak dan kewajiban penjual dalam jual beli menurut KUH Perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1474 dan seterusnya, tampak bahwa ketentuan KUH Perdata itu lebih sempit daripada ketentuan

173

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 7.

174


(33)

Undang Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang produsen/pelaku usaha lebih dari sekedar penjual. 175

Sebagai kewajiban hukum, maka produsen harus memenuhinya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika produsen bersalah tidak memenuhi kewajibannya, maka hal ini dapat dijadikan alasan untuk menuntut produsen secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu. Artinya, produsen harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya itu.176

Masalah tanggung jawab selain berkaitan dengan hak dan kewajiban, juga berkaitan dengan larangan. Pelanggaran yang dilakukan akan menimbulkan tanggung jawab. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 diatur larangan-larangan untuk pelaku usaha sebagai berikut : 177

a. Larangan sehubungan dengan berproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa (Pasal 8).

b. Larangan sehubungan dengan memasarkan (Pasal 9-16).

c. Larangan yang secara khusus ditujukan kepada pelaku periklanan (Pasal 17).

d. Larangan sehubungan dengan penggunaan klausula baku (Pasal 18).

175

Ibid.

176

Ibid.

177


(34)

Dari segi pertanggungjawaban, produsen dibebani dua jenis pertanggungjawaban, yaitu : 178

a. Pertanggungjawaban publik

Pertanggungjawaban publik terbagi atas 2 macam, yaitu : 1) Pertanggungjawaban administratif (Pasal 60)

2) Pertanggungjawaban pidana (Pasal 61-Pasal 63) b. Pertanggungjawaban privat (perdata)

Pertanggungjawaban privat diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 19-Pasal 28.

Oleh karena istilah pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen meliputi berbagai bentuk/jenis usaha, maka ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut adalah sebagai berikut: 179

a. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan.

b. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri. c. Apabila produsen maupun importer dari suatu produk tidak diketahui,

maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Urutan-urutan di atas hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan barang mengalami cacat pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan produsen yang memproduksi produk tersebut.180

178

Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 93.

179

Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 23.

180


(35)

Sehubungan dengan cacat produk, muncul suatu prinsip tanggung jawab yang disebut tanggung jawab produk cacat (product liability). Tanggung jawab produk, barang dan/atau jasa meletakkan beban tanggung jawab produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen). Kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakannya, juga bukan pemakai yang turut menjadi korban, merupakan tanggung jawab mutlak dari produsen. Dengan penerapan tanggung jawab ini, pelaku usaha pembuat produk, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk itu, kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya. Tanggung jawab produk ini merupakan perluasan dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum. 181

Tanggung jawab PT. Indocare Pacific Cabang Medan terhadap konsumen barang Ecocare yang memiliki cacat produk menerapkan prinsip tanggung jawab produk (product liability). Apabila memang benar Produk Ecocare yang memiliki cacat produk karena kesalahan dari pihak PT. Indocare Pacific Cabang Medan, maka PT. Indocare Pacific Cabang Medan memberikan ganti kerugian sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu : 182

a. Pengembalian uang ;

b. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya ; c. Perawatan kesehatan ;

d. Pemberian santunan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah didapatkan, bentuk ganti kerugian yang umumnya diterapkan PT. Indocare Pacific Cabang Medan terhadap

181

Az. Nasution, Op. Cit., hal. 247.

182

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 7.


(36)

konsumen barang Ecocare yang memiliki cacat produk adalah berupa penggantian barang. Terhadap produk Eco LCD, yaitu produk penyegar ruangan dengan sistem

spray otomatis, yang biasanya memiliki masalah dalam sistem sensornya, sistem

spray, dan baterai lemah, teknisi PT. Indocare Pacific Cabang Medan akan

mendatangi tempat dimana produk terpasang terlebih dahulu dan melakukan pengecekan serta perbaikan terhadap produk tersebut. Apabila setelah dilakukan pengecekan dan perbaikan oleh teknisi PT. Indocare Pacific Cabang Medan, produk telah berfungsi kembali dengan baik maka tidak akan dilakukan penggantian barang oleh PT. Indocare Pacific Cabang Medan.

Demikian pula, pada produk Eco Soap Dispenser, yaitu unit pelepas sabun cuci tangan, yang umumnya memiliki masalah per yang terletak dalam produk sehingga unit tidak bekerja dengan efektif atau masalah kebocoran sabun. Terlebih dahulu dilakukan pengecekan ke tempat produk terpasang oleh teknisi PT. Indocare Pacific Cabang Medan dan dilakukan perbaikan seperti pemasangan per kembali pada tempatnya. Apabila produk telah berfungsi kembali dengan baik setelah dilakukan perbaikan oleh teknisi PT. Indocare Pacific Cabang Medan, maka produk tidak akan diganti dengan yang baru. Namun apabila terdapat cacat tersembunyi yang tak terlihat seperti tidak terdapat per dalam produk atau per dalam produk rusak sehingga tidak dapat diperbaiki oleh teknisi PT. Indocare Pacific Cabang Medan, maka dalam kasus seperti ini akan dilakukan penggantian barang baru yang sama jenisnya oleh PT. Indocare Pacific Cabang Medan. Hal ini dikarenakan pada PT. Indocare Pacific Cabang Medan belum tersedia perlengkapan yang terdapat dalam produk.


(37)

Prosedur yang demikian juga dilakukan terhadap produk-produk Ecocare lainnya yang memiliki masalah dalam pemakaian. Produk yang rusak atau yang memiliki cacat produk atau cacat tersembunyi dan tidak dapat diperbaiki oleh teknisi PT. Indocare Pacific Cabang Medan akan dikirim ke PT. Indocare Pacific Pusat di Jakarta sebagai bukti pengklaiman atas produk baru dan laporan kepada PT. Indocare Pacific Pusat.

Sementara itu, bentuk pertanggungjawaban PT. Indocare Pacific Cabang Medan terhadap produk Ecocare yang memiliki keretakan biasanya berupa penggantian barang baru yang sama jenisnya. Sejauh ini, dari berdirinya PT. Indocare Pacific Cabang Medan sampai saat ini, belum ada kasus konsumen barang Ecocare yang menelan korban jiwa.

C. Upaya Penyelesaian Sengketa Terhadap Kerugian Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk

Sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik dan privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu.183 Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu :184

1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana yang daiatur di dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum. 2. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti,

baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat di antara mereka. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.

183

Az. Nasution, Op. Cit., hal. 221.

184


(38)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi dua macam bentuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.185

1. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Hal ini tercantum dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang isinya sebagai berikut :

Pasal 45 ayat (1) :

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di luar lingkungan peradilan umum.

Pasal 47 :

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Seseorang yang dirugikan karena memakai atau mengonsumsi produk yang cacat hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen, dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah transaksi berlangsung. Misalnya, seseorang membeli barang yang terbungkus secara rapi. Setelah sampai di rumah, barang dibuka dan ternyata cacat / rusak. Konsumen dapat langsung menuntut penjual untuk mengganti

185


(39)

barang tersebut atau mengembalikan uang pembeliannya. Hal ini harus diselesaikan dalam waktu tujuh hari setelah terjadinya jual beli, yang berarti pembeli harus segera mengajukan tuntutannya. 186

Dengan penetapan jangka waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (3), maka dapat disimpulkan bahwa “penyelesaian sengketa yang dimaksud bukanlah penyelesaian yang rumit dan melalui pemeriksaan yang mendalam terlebih dahulu, melainkan bentuk penyelesaian sederhana dan praktis yang ditempuh dengan jalan damai (Pasal 47 UU Perlindungan Konsumen)”. 187

Penyelesaian sengketa secara damai dimaksudkan penyelesaian sengketa antara para pihak, dengan atau tanpa kuasa / pendamping bagi masing-masing pihak, melalui cara damai. Hal ini dilakukan dengan melakukan perundingan secara musyawarah dan / atau mufakat antara para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa seperti ini disebut juga penyelesaian secara kekeluargaan. Banyak sengketa yang dapat atau tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan cara ini. 188

Cara penyelesaian sengketa secara damai ini bertujuan untuk membentuk suatu penyelesaian yang mudah, murah dan relatif lebih cepat. Dasar hukum penyelesaian ini terdapat dalam KUH Perdata Indonesia ( Buku ke-III, Bab 18,

186

Ibid., hal. 145-146.

187

Ibid.

188


(40)

Pasal 1851-1854 tentang perdamaian) dan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47. 189

Mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu dapat berupa : 190

1. Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapatnya atau tidak.

2. Negosiasi

Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi). Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu rumit, dimana para pihak masih beritikad baik untuk duduk bersama dan memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan apabila komunikasi antar pihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan hubungan baik.

3. Mediasi

Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. Hasil dari suatu mediasi dapat dirumuskan secara lisan maupun tulisan yang dapat dianggap sebagai suatu perjanjian baru atau dapat juga dijadikan sebagai suatu perdamaian di muka hakim yang akan menunda proses penyelesaian sengketa di pengadilan.

189

Ibid., hal. 225-226.

190


(41)

4. Konsiliasi

Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata. Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Dalam konsiliasi, pihak ketiga mengupayakan pertemuan di antara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian. Pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan para pihak yang berselisih, konsiliator biasanya tidak terlibat secara mendalam atas substansi dari perselisihan. Hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para pihak.

5. Penilaian ahli

Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase. Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi :

Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Dalam suatu bentuk kelembagaan, arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi di antara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang melakukannya. Pendapat tersebut diberikan atas permintaan dari para pihak secara bersama-sama dengan melalui mekanisme sebagaimana halnya suatu penunjukan (lembaga) arbitrase untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa, maka pendapat hukum ini juga bersifat final.

Pada penyelesaian seperti ini, kerugian yang dapat dituntut, sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran, dan kerugian lain akibat dari mengonsumsi barang dan/atau jasa. Bentuk penggantian kerugian dapat berupa : 191

1. Pengembalian uang seharga pembelian barang dan/atau jasa ; 2. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya ;

191


(42)

3. Perawatan kesehatan ;

4. Pemberian santunan yang sesuai.

Pilihan bentuk kerugian bergantung pada kerugian yang diderita oleh konsumen, dan disesuaikan dengan hubungan hukum yang ada di antara mereka. Contoh, pembeli dapat menuntut supaya uangnya dikembalikan atau barang diganti dengan yang baru atau barang lain yang sejenis.192

Akan tetapi, tuntutan penggantian kerugian ini bukan atas kerugian yang timbul karena kesalahan konsumen sendiri. Dalam hal ini undang-undang memberi kesempatan kepada pelaku usaha untuk membuktikan bahwa konsumen telah bersalah dalam hal timbulnya kerugian itu. Misalnya, konsumen sakit karena salah memakai produk, yaitu tidak menaati aturan pakai yang tertera dalam kemasan produk itu. Dalam hal seperti ini maka pelaku usaha bebas dari kewajiban membayar ganti kerugian. 193

PT. Indocare Pacific Cabang Medan dalam menyelesaikan sengketa lebih memilih bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (secara damai). Hal ini dikarenakan penyelesaian sengketa secara damai tidak menempuh proses yang berbelit-belit, biaya hemat, dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Bentuk penyelesaian secara ini sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1851-1854 tentang perdamaian dan UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47. Secara umum, untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan konsumen yang selama ini pernah terjadi pada PT. Indocare Pacific Cabang Medan secara keseluruhan diselesaikan secara damai dan tidak pernah ada yang memperpanjang

192

Ibid.

193


(43)

sampai tingkat pengadilan. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa secara damai menguntungkan bagi pelaku usaha (PT. Indocare Pacific Cabang Medan) dan konsumen/klien PT.Indocare Pacific Cabang Medan.

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga

Penyelesaian sengketa yang dimaksudkan adalah penyelesaian sengketa melalui peradilan umum atau melalui lembaga yang khusus dibentuk UU, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).194

Seperti yang diatur dalam Pasal 49-Pasal 51 UU Perlindungan Konsumen, hal-hal penting yang diatur dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut : BPSK dibentuk di setiap daerah Tingkat II (Pasal 49). BPSK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 ayat 1). BPSK mempunyai anggota-anggotanya dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Setiap unsur tersebut berjumlah 3 (tiga) orang atau sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Perindustrian dan Perdagangan). Keanggotaan Badan terdiri dari ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan anggota dengan dibantu oleh sebuah sekretariat (Pasal 50 jo. Pasal 51).

Hal-hal mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ini diatur dalam Pasal 49-Pasal 58 UU Perlindungan Konsumen.

195

194

Az. Nasution, Op. Cit., hal. 227.

195


(44)

Dalam Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen, diatur mengenai tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi :

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi ;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen ;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klasula baku ;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini ;

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen ;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen ; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen ;

h. Menanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini ;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan perlaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaiman dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan ;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian pihak konsumen ;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen ;

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Poin-poin penting yang terdapat dalam Pasal 54-Pasal 58 UU Perlindungan Konsumen, sebagai berikut : Dalam menyelesaikan sengketa konsumen dibentuk Majelis yang terdiri dari sedikitnya 3 (tiga) anggota dibantu oleh seorang panitera (Pasal 54 ayat 1 dan 2). Putusan yang dijatuhkan Majelis BPSKbersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat 3). BPSK wajib menjatuhkan putusan selama-lamanya 21 (dua puluh satu) haru sejak gugatan diterima (Pasal 55). Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diterimanya, atau apabila ia keberatan dapat


(45)

mengajukannya kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari. Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut (Pasal 58). Selanjutnya kasasi pada putusan Pengadilan Negeri ini diberi jangka waktu 14 (empat belas) hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi (Pasal 58). 196

Secara umum, penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini jarang dipilih pelaku usaha dan konsumen. Bentuk penyelesaian sengketa seperti ini dipilih apabila para pihak telah menempuh penyelesaian sengketa secara damai dan tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi para pihak. Terdapat berbagai kritikan atau kelemahan terhadap penyelesaian sengketa pengadilan, yaitu : 197

a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan pada umumnya lambat atau buang waktu lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak.

b. Biaya perkara yang mahal

Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal. Apabila jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan. Biaya ini akan semakin bertambah jika diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit.

c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif

Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya

196

Ibid., hal. 228-229 .

197


(46)

memberi pelayanan dan kesempatan serta keleluasaan kepada lembaga besar atau orang kaya.

d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak.

e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis

Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam perkembangan iptek dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang dimilii hanya di bidang hukum, sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum.

Secara umum, untuk masalah-masalah konsumen yang selama ini dihadapi PT. Indocare Pacific Cabang Medan jarang sekali bahkan hampir tidak pernah ada masalah-masalah konsumen ataupun yang berkaitan dengan produk yang diselesaikan dengan cara menempuh pengadilan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kelemahan apabila menyelesaikan sengketa dengan cara melalui pengadilan, sehingga dalam dunia bisnis, pihak-pihak yang bersengketa umumnya memilih menyelesaikan sengketa di luar pengadilan atau secara damai. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak dapat menciptakan keputusan yang menguntungkan bagi para pihak.


(1)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : VERIN ANGELINE

NIM : 120200061

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI :TANGGUNG JAWAB HUKUM PT. INDOCARE

PACIFIC CABANG MEDAN TERHADAP KONSUMEN BARANG ECOCARE YANG MEMILIKI CACAT PRODUK DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 9 April 2016

Penulis

Verin Angeline


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi yang penulis bahas, yaitu “Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, yang disusun guna melengkapi dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hokum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala hormat dan rasa bahagia, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

5. Bapak Prof. Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Dosen Pembimbing I, untuk segala dedikasi serta kesabaran dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, untuk segala kebaikan serta kesabaran membimbing penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

8. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Ibu Sinta Uli, SH, M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum

Perdata Dagang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga dan membantu penulis dalam menjalani perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.

11.Teristimewa kepada Papa, Mama, Kakak, Abang Ipar, Abang, dan Keponakan-keponakan, selaku orang tua, saudara dan keluarga yang tiada henti-hentinya mendukung dan mendoakan penulis dalam menjalani kehidupan, termasuk juga dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.


(4)

12.Orang-orang kesayangan penulis, yang memberikan dukungan langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

13.Sahabat-sahabat Stambuk 2012, khususnya Grup A, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis beruntung mempunyai kesempatan untuk mengenal dan menimba ilmu bersama kalian semua.

14.Pihak PT. Indocare Pacific Cabang Medan, yang telah mengizinkan penulis melakukan wawancara untuk memperkaya pengetahuan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

15.Seluruh pihak terkait lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah mendukung serta mendoakan penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amin.

Medan, 9 April 2016 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAK... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 10

C. Tujuan Penulisan... 10

D. Manfaat Penulisan... 11

E. Keaslian Penulisan... 12

F. Metode Penulisan... 14

G. Sistematika Penulisan... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN EKSISTENSI PT. INDOCARE PACIFIC CABANG MEDAN A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha dan Hukum Perlindungan Konsumen………... 22

2. Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen…………....32

3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha………36

4. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen.. 44

5. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen………47

B. Eksistensi PT. Indocare Pacific Cabang Medan 1. Profil PT. Indocare Pacific Cabang Medan………49

2. Produk-Produk PT. Indocare Pacific Cabang Medan……50

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI CACAT PRODUK, PRINSIP-PRINSIP DAN BENTUK-BENTUK PERTANGGUNG-JAWABAN PELAKU USAHA A. Tinjauan Umum Mengenai Cacat Produk 1. Pengertian Cacat Produk………..…..54

2. Jenis-Jenis Cacat Produk……….……...56

B. Prinsip-Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku Usaha………....58


(6)

BAB IV TANGGUNG JAWAB HUKUM PT. INDOCARE PACIFIC CABANG MEDAN TERHADAP KONSUMEN BARANG ECOCARE YANG MEMILIKI CACAT PRODUK DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengaturan dan Bentuk-Bentuk Cacat Produk yang Terdapat pada produk Ecocare………76 B. Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan

Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk……….. 82 C. Upaya Penyelesaian Sengketa Terhadap Kerugian Konsumen

Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk……….... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….…….98

B. Saran……… 99

DAFTAR PUSTAKA………..101 LAMPIRAN


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

ASPEK YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BARANG DAN ATAU JASA ( DITINJAU DARI UU NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN )

1 5 90

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penyampaian Informasi Periklanan Barang Produksinya Ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 44 104

TANGGUNG GUGAT PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG TERHADAP KONSUMEN YANG KEHILANGAN BARANG DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Kasus Di BPSK Kota Surabaya).

2 8 67

Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

0 1 8

Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

0 0 1

Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

0 0 21

Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

0 0 32

Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

0 0 2

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PDAM TIRTA MOEDAL SEMARANG TERHADAP KONSUMEN DITINJAU DARI UU. NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN - Unika Repository

0 0 13