Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecerdasan Emosi
2.1.1 Pengertian Emosi
Terdapat berbagai definisi mengenai emosi, salah satunya adalah Lazarus
dikutip dari Hillman dan Drever (dalam Hude, 2006) yang mendefinisikan emosi
merupakan bentuk yang kompleks dari organisme, yang melibatkan perubahan
fisik dari karakter yang luas-dalam bernafas, denyut nadi, produksi kelenjar.
Sedangkan dari sudut mental adalah suatu keadaan yang senang atau cemas, yang
ditandai adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata
dari suatu tingkah laku. Jika emosi itu sangat kuat aka menjadi sejumlah
gangguan terhadap fungsi intelektual, tingkat disasosiasi dan kecenderungan
terhadap tindakan yang bersifat tidak terpuji.
Emosi adalah apa yang tengah dirasakan oleh penerima ketika menerima
suatu komunikasi akan mempengaruhi cara ia menerjemahkannya. Pesan yang
sama yang diterima pada saat anda marah atau bingung tak jarang diterjemahkan
secara berbeda dari ketika anda sedang berbahagia. Emosi-emosi ekstrim seperti
rasan girang alang bukan kepalang atau depresi memiliki potensi yang sangat
besar untuk menghambat komunikasi yang efektif. Dalam keadaan semacam itu,
kita cenderung mengabaikan proses pemikiran rasional dan objektif kita serta

menggantikannya dengan penilaian emosional.
Menurut Maramis (dalam Sunaryo, 2013), mendefinisikan emosi adalah
manifestasi perasaan atau afek yang keluar yang disertai banyak komponen

Universitas Sumatera Utara

fisiologis, dan biasanya berlangsung tidak lama. Menurut Walgio (dalam Sunaryo,
2013), mengungkapkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan perasaan yang
melampaui batas sehingga dapat mengganggu hubungan seseorang dengan
lingkungan sekitarnya, seperti ketakutan, kecemasaan, depresi, dan kegembiraan.
Emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada
persepsi, sikap, dan tingkah laku mengejawantah dalam bentuk ekspresi
tertentu.Emosi dirasakan secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa
dan fisik. Ketika emosi bahagai meledak-ledak, ia secara psikis member kepuasan,
tapi secara fisiologis membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki terasa
ringan, juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Namum, hal yang
disebutkan ini tidak spesifik terjadi pada semua orang dalam seluruh kesempatan.
Kadang kalah orang bahagia, tetapi justru orang meteskan air mata atau kesedihan
yang sama tidak membawa kepedihan yang serupa (Hude, 2006).
Menurut Agustian (2005), emosi adalah bahan bakar yang tidak

tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penelaran yang tinggi. Emosi
menyulut kreativitas, kolaborasi, inisiatif, dan transformer. Menurut Goleman
(2000), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
bilogis dan psikologis dan kecenderungan untuk bertindak. Maramis (dalam
Sunaryo, 2004), menyatakan emosi adalah manifestasi perasaan atau afek keluar
dan disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya berlangsung tidak lama.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang emosi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa emosi adalah suatu proses yang melibatkan terjadinya

Universitas Sumatera Utara

perubahan pada diri seseorang secara fisiologis dan psikologis karena adanya
perasaan yang khas serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
2.1.2 Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi pertama kali digunakan pada tahun 1990 oleh
Salovey dan Meyer yang kemudian dipopulerkan oleh Goleman. Cooper dan
Sawaf (2001), berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
merasakan, memahami dan menerapkan secara efektif daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang menusiawi.
Suharsono (2004), juga menambahkan kecerdasan emosional tidak hanya

mengendalikan fungsi diri, tetapi juga untuk mencerminkan kamampuan dalam
mengelola ide, konsep, karya maupun produk.
Menurut Salovey dan Meyer (dalam Mubayyidh, 2006), mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan
kemampuan seseorang dalam memantau baik emosi dirinya maupun emosi orang
lain, dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan
perilakunya.
Weisinger (2006), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah
menggunakan emosi secara cerdas, yaitu seseorang membuat emosi menjadi
bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran
sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri seseorang tersebut. Menurut
Goleman (2007), menjelaskan bahwa kecerdasan emosi sebagai kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan

Universitas Sumatera Utara

menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas maka dapat diambil

kesimpulan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam
mengenali, memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, mengendalikan
perasaannya sendiri, menjalin hubungan serta memotivasi diri sendiri untuk
menjadi lebih baik.
2.1.3 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Goleman (2007), menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi
dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskan dan memperluas kemampuan
tersebut kedalam lima aspek utama yaitu:
1.

Kesadaran diri
Kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses

yang terjadi didalam dirinya, perasaan, pikiran, dan latar belakang dari
tindakannya. Individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya dan pikiranpikirannya sehingga ia mampu menamakan setiap emosi yang muncul. Aspek ini
merupakan dasar dari seluruh aspek-aspek lainnya dimana kesadaran diri akan
membantu tercapainya aspek-aspek yang lainnya. Menurut Meyer (dalam
Goleman, 2007), kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun
pikiran tantang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah
larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.Kesadaran diri memang belum

menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting
untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

Universitas Sumatera Utara

2.

Pengaturan diri
Kemampuan individu untuk mengelola, menyeimbangkan emosi-emosi

yang dialaminya, dan menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan
tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri.
3.

Motivasi
Kemampuan individu untuk memotivasi diri ketika diri berada didalam

keputusasaan, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam
hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan, tidak putus
asa dan kehilangan harapan ketika menghadapi masalah.

4.

Empati
Kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan

orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Empati berkaitan dengan
kemampuan individu untuk memahami perasaan terdalam orang lain sehingga
individu mampu untuk bertanggung rasa danmampu membaca, memahami
perasaan, pikiran orang lain hanya dari bahasa non-verbal, ekspresi wajah atau
intonasi orang tersebut.
5.

Membina hubungan dengan orang lain
Kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif dengan

orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut, dan mampu
menangani konflik-konflik interpersonal secara efektif. Individu yang memiliki
kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan senantiasa
menghormati hak-hak orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan


Universitas Sumatera Utara

merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2007).
Dalam buku Goleman yang kedua, Working whith emotional intelligence
Goleman (2000), merumuskan aspek yang mempengaruhi kecerdasan emosi
adalah sebagai berikut: kerangka kerja kecakapan emosi, kecakapan ini dibagi
menjadi dua yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.
1.

Kecakapan pribadi, kecakapan ini menentukan bagaimana individu mengelola
diri sendiri, terdiri dari:
a. Kesadaran diri, yaitu mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber
daya, dan intuisi, meliputi:
1) Kesadaran emosi: mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.
2) Penilaian diri secara teliti: mengetahui kekuatan dan batas-batas diri
sendiri.
3) Percaya diri: keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
b. Pengaturan diri, yaitu mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri
sendiri, meliputi:

1) Kendali diri: mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang
merusak.
2) Sifat dapat dipercaya: memelihara norma dan intergritas.
3) Kewaspadaan: bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
4) Adaptibiltas: keluwesan dalam menghadapi perubahan.
5) Inovasi: mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pedekatan,
dan informasi-informasi baru.

Universitas Sumatera Utara

c. Motivasi, yaitu kecenderungan emosi yang mengantar dan memudahkan
peraihan sasaran, meliputi:
a) Dorongan prestasi: dorongan untuk menjadi lebih baik atau
memenuhi standar keberhasilan.
b) Komitmen: menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau
perusahaan.
c) Inisiatif: kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
d) Optimisme: kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada
halangan dan kegagalan.
2.


Kecakapan sosial, yaitu kecakapan yang menentukan bagaimana individu
menangani suatu hubungan, tediri dari:
a. Empati, yaitu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan
orang lain:
1) Memahami orang lain: mengindera perasaan dan perspektif orang lain,
dan menunujukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
2) Orientasi pelayanan: mengantisipasi,

mengenali dan berusaha

memnuhi kebutuhan pelanggan.
3) Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan perkembangan
orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.
4) Mengatasi keragaman: menumbuhkan perluang melalui pergaulan
dengan bermacam-macam orang.
5) Kesadaran politis: mampu membaca arus-arus emosi sebuah
kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.

Universitas Sumatera Utara


b. Keterampilan sosial, yaitu kepintaran dalam mengunggah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain, terdiri dari:
1) Pengaruh : memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.
2) Komunikasi: mengirim pesan pesan yang jelas dan meyakinkan.
3) Kepemimpinan: membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok
dan orang lain.
4) Katalisator perubahan: memulai dan mengelola perubahan.
5) Manajemen konflik: negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
6) Pengikat jaringan: menumbuhkan hubungan sebagai alat.
7) Kolaborasi dan kooperasi: kerja sama dengan orang lain demi tujuan
bersama.
8) Kemampuan tim: menciptakan sinergi kelopok demi memperjuangkan
tujuan bersama.
2.1.4

Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (dalam Nggermanto, 2002), kecerdasan emosi dapat

dikembangkan, lebih menantang, dan lebih prospek dibandingkan dengan

kecerdasan akademik sebab kecerderungan emosi memberi kontribusi lebih besar
bagi kesuksesan seseorang. Menurut Agustian (2007), faktor-faktor yang
berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:
1.

Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.

Faktor internal ini akan membantu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan
dan mengkoordinasikan keadaa emosi agar termanisfestasi kedalam perilaku

Universitas Sumatera Utara

secara efektif. Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi erat kaitannya dengan
keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem
limbik.Sistem libik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls.
2.

Faktor Pelatihan Emosi
Kegiatan dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan,

dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada
pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan
berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja
tanpa dilatih.
3.

Faktor Pendidikan
Mendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk

mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai
bentuk emosi dan bagaimana mengolahnya melalui pendidikan.Poendidikan tidak
hanya berlangsung disekolah.Tetapi juga dilingkungan kerluarga dan masyarakat.
Goleman (2000), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya adalah:
1.

Faktor LingkunganKeluarga
Lingkungan keluarga adalah guru dan sekolah pertama yang anak terima

dalam mempelajari emosi.Orang tua mempaunyai peranan penting dalam masa
perkembangan emosi anak ataupun remaja.

Universitas Sumatera Utara

2.

Faktor Lingkungan Sekolah
Guru dan lingkungan sekolah mempunyai peranan penting dalam masa

perkembangan potensi anak dalam kecerdasan emosi, hal tersebut harus diimbangi
dengan teknik-teknik pengajaran dan sistem pendidikan yang tak hanya lebih
mendahulukan kecerdasan intelegensi dan mengabaikan perkembangan otak
kanan terutama perkembangan emosinya.
3.

Faktor Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat berupa perhatian, pujian, nasihat, penerimaan

masyarakat, dan juga pengahargaan. Hal tersebut merupakan dukungan terhadap
psikis atau psikologis sehingga mampu meningkatkan aspek-aspek kecerdasan
emosi.
2.2 Stres Kerja
2.2.1 Pengertian Stres
Stres merupakan keadaan tegang secara biopsikososial karena banyak
tugas-tugas perkembangan yang dihadapan orang sehari-hari, baik dalam
kelompok sebaya, keluarga, sekolah, maupun pekerjaan (Smet, 1994). Rice
(2002), mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan
yang menyebabkan individu merasa tegang.
Menurut Robin (2003), stres merupakan kondisi dinamik yang didalamnya
seorang individu dihadapkan dengan suatu peluang (opportunity), kendala
(constraints), atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang sangat
diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.
Stres tidak selalu berdampak buruk bagiindividu. Stres tersebut dalam konteks

Universitas Sumatera Utara

negatif, serta memiliki nilai-nilai positif terutama pada saat stres tersebut
menawarkan suatu perolehan yang memiliki potensi (Robbin, 2003).
Selye (dalam Sunaryo, 2004), mengemukakan stres adalah respon menusia
yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada didalam
dirinya. Cornelli juga menambahkan bahwa stres adalah suatu gangguan pada
tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan yang
mempengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu didalam
lingkungan tersebut (Taylor, 2006).
Menurut Anoraga (2006), menyatakan bahwa stres merupakan suatu
bentuk tannggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu
perubahan dilngkungannya yang dirasakan menganggu dan mengakibatkan
dirinya terancam (fight or flight respone). Hellen dan Tindle (dalam Wobowo,
2008) menyatakan stres dapat mempengaruhi inidividu, masyarakat, dan
organisasi atau perusahaan. Menurut Colman (dalam Nasir & Muhith, 2011), stres
merupakan suatu ketegangan yang disebabkan oleh fisik, emosi, sosial, ekonomi,
pekerjaa atau keadaan, peristiwa, atau pengalaman yang sulit untuk mengelola
atau bertahan.
Berdasarkan beberapa pengetian tentang stres di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi ketegangan yang direspon
seseorang terhadap keadaan atau perubahan yang terjadi dilingkungan (keluarga
maupaun pekerjaan) yang dirasakan menganggu dan membuat individu merasa
tidak nyaman.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Pengertian Stres Kerja
Stres kerja menurut Greenberg (2004), adalah kombinasi dari sumbersumber stres pada pekerjaan, karakteristik individu, dan stresor ekstra oraganisasi.
Interaksi stresor kerja dengan karakteristik individu, merupakan suatu bagian yang
penting ditempat kerja, karakteristik ini termasuk: tingkat kecermasan dan
neurotik pekerjaan, toleransi terhadap ambiguitas, dan pola kepribadian. Stres
kerja dapat dimaksudkan sebagai suatu persepsi dari tenaga kerja akan adanya
ancaman atau tantangan yang menggerakkan, menyiagakan atau membuat aktif
dirinya. Tenaga kerja dapat merasakan lingkungan kerjanya sebagai suatu
ancaman atau suatu tantangan (Anoraga, 2006).
Menurut Invancevich dan Matteson (dalam Luthans, 2006), medefinisikan
stres kerja sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan
atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, intuisi, atau kejadian
eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik
secara berlebihan pada seseorang. Dalam definisi lain, Behr dan Newman (dalam
Luthans, 2006), menyatakan stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari
interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan
manusia yang memaksa mereka menyimpang dari fungsi normal mereka.
Menurut Fraser (dalam Anoraga, 2009), mengemukakan stres kerja adalah
stres yang timbul karena adanya perubahan dalam keseimbangan sebuah
kompleksitas antara manusia-mesin dan lingkungannya. Fraser mengelompokkan
dua macam pekerjaan yang sedikit banyak dapat menimbulkan stres, yakni
pekerjaan yang terutama menuntut kekuatan fisik (pekerjaan dengan otot), dan

Universitas Sumatera Utara

pekerjaan yang terutama menuntut keterampilan atau kemahiran (pekerjaan
dengan keterampilan).
Menurut Kitcel (dalam Wibowo, 2008), stres kerja merupakan respons
fisik dan emosional padakondisi kerja yang berbahaya, termasuk lingkungan
dimana pekerjaan memerlukan kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja
yang lebih banyak. Stres yang terjadi ditempat kerja menyebabkan organisasi
menanggung beban: (1) rendahnya kualitas pelayanan, (2) pergantian staf yang
tinggi, (3) reputasi perusahaan menjadi buruk, (4) citra perusahaan menjadi buruk,
(5) ketidakpuasan pekerja (Wibowo, 2008).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi negatif dimana seseroang mengalami
ketegangan yang mempengaruhi aspek kognisi, afeksi, fisiologis, interpersonal
dan organisasional pada pekerja yang disebabkan karena adanya tuntutan dalam
menyelesaikan suatu tugas dilingkungan kerja.
2.2.3 Dampak Stres Kerja
Menurut Rice (dalam Waluyo, 2009), pada umunya stres kerja lebih
banyak merugikan karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan,
konsekuensi tersebut dapat menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi,
frustasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan
dengan aktifitas kerja saja, tetapi dapat memperluas ke aktivitas lain diluar
pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang,
kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya (Waluyo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Stres dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu. Konsekuensikonsekuensi negatif berbentuk perilaku, bersifat psikologis, atau medis. Dari segi
perilaku, misalnya menimbulkan tindakan-tindakan yang merusak dan berbahaya,
seperti merokok, minum alkohol, makan terlalu banyak, dan terlibat narkoba.
Perilaku-perilaku lain dipicu oleh stres adalah kecelakaan, kekerasan terhadap diri
sendiri atau orang lain, serta gangguan makan (Griffin, 2003).
Rice (dalam Safaria & Saputra, 2009), menggolongkan reaksi stres bagi
individu menjadi beberapa gejala, yaitu:
1.

Gejala fisiologis, berupa keluhan seperti sakit kepala, konstipasi, diare, sakit
pinggang, urat tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, gangguan
pencernaan, berubah selera makan, susah tidur dan kehilangan semangat.

2.

Gejala emosional, berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah,
gugup, takut, mudah tersinggung, sedih dan depresi.

3.

Gejala interpersonal, berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis,
agresif, minder, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan mudah
mempersalahkan orang lain.

4.

Gelaja oraganisasional, berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja/kuliah,
menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan kerja, ketidakpuasan
kerja dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.

2.2.4

Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja
Daft (2003), mengidentifikasi stresor kerja yang menempatkannya dalam

empat kategori, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1.

Tuntutan tugas adalah stresor yang muncul dari tugas yang dituntut oleh
seseorang yang memegang pekerjaan tertentu. Beberapa jenis keputusan
sifatnya menimbulkan stres: yang dibuat dibawah tekanan waktu, yang
mempunyai konsekuensi serius, dan yang harus dibuat dari informasi yang
tidak lengkap.

2.

Tuntutan fisik adalah stresor yang dikaitkan dengan keadaan dimana individu
bekerja.

3.

Tuntutan peran adalah tantangan yang dikaitkan dengan peran, ini adalah
serangkaian perilaku yang diharapkan seseorang karena posis orang tersebut
dalam kelompok. Beberapa orang menghadapi ambiguitas peran (role
ambiguty), yang berarti mereka tidak pasti tentang perilaku apa yang

diharapkan dari mereka.
4.

Tuntutan interpersonal merupakan stresor yang dikaitkan dengan hubungan
dalam organisasi. Walaupun dalam beberapa kasus hubungan dalam
interpersonal dapat mengurangi stres, hal ini juga dapat menjadi sumber stres
ketika kelompok menekan individu atau ketika menjadi konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), menyatakan ada empat jenis utama

faktor-faktor dilingkungan kerja yang menyebabkan stres, yaitu:
1.

Tingkat individual, yaitu stresor yang bekaitan dengan tugas-tugas kerja
seseorang, antara lain: tuntutan pekerjaan, kelebihan beban kerja, ambiguitas
peran, pengendalian yang dirasakan atas peristiwa yang muncul dalam
lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara

2.

Tingkat kelompok, yeitu disebabkan oleh dinamika kelompok dan perilaku
manajerial. Para manajer menciptakan stres pada karyawan dengan (1)
menunjukkan perilaku yang tidak konsisten, (2) gagal memberikan dukungan,
(3) menunjukkan kurang kepedulian, (4) memberikan arahan yang tidak
memadai, (5) menciptakan suatu lingkungan dengan produktivitas yang
tinggi, (6) memfokuskan pada hal-hal negatif sementara itu mengabaikan
kinerja yang baik.

3.

Tingkat organisasional, meliputi kebudayaan opraganisasi, stuktur, teknologi,
dan pengenalan perubahan dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, lingkungan
yang tekanan tinggi menempatkan permintaan kerja yang terus-menerus pada
karyawan yang akan menyalakan respos stres.

4.

Ekstra organiasional, adalah stresor yang disebabklan oleh faktor diluar
organiasi. Sebagai contoh, konflik yang berkaitan dengan penyeimbangan
kehidupan karier dan keluarga seseorang sangatlah membuat stres.

2.2.5

Sumber Stres dalam Keperawatan
Menurut Abraham dan Shanley (dalam Sunaryo, 2004) menemukan lima

sumber stres dalam keperawatan, yaitu:
1.

Beban kerja yang belebihan, misalnya merawat terlalu banyak pasien,
mengalami kesulitan dalam mempertahankan standar yang tinggi, merasa
tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan teman sekerja, dan
menghadapi keterbatasan kerja.

Universitas Sumatera Utara

2.

Kesulitan menjalin hubungan dengan staff lain, misalnya mengalami konflik
dengan teman sejawat, mengetahui orang lain tidak menghargai sumbangsih
yang dilakukan, dan gagal membentuk tim kerja dengan staff.

3.

Kesulitan

dalam

merawat

pasien

kritis,

misalnya

kesulitan

dalam

menjalankan peralatan yang belum dikenal, mengelola prosedur atau tindakan
baru, dan bekerja dengan dokter yang menuntut jawaban dan tindakan cepat.
4.

Berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien, misalnya bekerja dengan
dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan emosional pasien, terlibat
dalam ketidaksepakatan pada program tidankan, merasa tidak pasti sejauh
mana harus memberi informasi pada pasien atau keluarga, dan merawat
pasien sulit dan tidak kerja sama.

5.

Merawat pasien yang gagal untuk membaik, misalnya pasien lansia, pasien
yang nyeri kronis, dan pasien yang meninggal selama merawat.

2.2.6

Tahapan Stres Kerja
Menurut Amberg (dalam Sunaryo, 2013), bahwa tahapan stres sebagai

berikut:
1.

Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu
bekerja yang besar dan kelebihan, maupun menyelesaikan pekerjaan tanpa
memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

2.

Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak
segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah
makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel

Universitas Sumatera Utara

discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal

tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.
3.

Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak
teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomia,
mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia ), bangun terlalu pagi
dan sulit tidur kembali (late insomnia ), koordinasi tubuh terganggu, dan mau
jatuh pingsan.

4.

Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu
bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan
menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola
tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta
timbul ketakutan dan kecemasan.

5.

Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan keluhan fisik dan
mental

(phsycal

and

psychological

axhaution ),

ketidakmampuan

menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan
berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung, dan panik.
6.

Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda,
seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan
banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps.

2.2.7 Mengelola Stres Kerja
Stres kerja dengan kadar sedikit atau banyak, tetap harus dikelola dengan
baik. Karena jika dibiarkan saja akan berpengaruh pada kinerja karyawan. Caracara mengelola stres kerja menurut Robbin, 2008), yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1.

Pendekatan Individual
Strategi individual yang terbukti dalam menangani stres kerja dalah

menerapkan taknik manajemen waktu, penambahan waktu olahraga, pelatihan
relaksasi dan perluasan jaringan dukungan sosial. Dengan manajemen waktu yang
baik diharapkan karyawan dapat meningkatkan kinerja dan menghindari stres
kerja. Beberapa prinsip manajemen waktu yang banyak diperaktikkan adalah: (1)
membuat daftar kegiatan harian yang harus dirampungkan, (2) memperioritaskan
kegiatan berdasarkan tingkat kepentingan dan urgensinya, (3)menjadwalkan
kegiatan menurut prioritas yang telah disusun, serta (4) memahami siklus harian
dan menangani pekerjaan yang paling benyak menuntut perhatian.
2.

Pendekatan Organisasional
Menurut Robbin (2008), hal-hal yang dapat dilakukan manajemen untuk

mengelola stres kerja karyawan adalah: (1) seleksi personal dan menempatkan
kerja yang lebih baik, (2) pelatihan, (3) penetapan tujuan ralistis, (4) pendesainan
ulang pekerjaan, (5) peningkatan keterlibatan karyawan, (6) perbaikan komunikasi
dalam organisasi, (7) penawaran cuti panjang pada karyawan dan, (8)
penyelenggaraan program-program kesejahteraan perusahaan.
Wijono (2011), menyatakan ada beberapa cara yang digunakan untuk
mengelola stres dalam organisasi, yaitu:
1.

Meningkatkan komunikasi
Salah satu cara yang efektif untuk mengurangi ketidakjelasan peran adalah

meningkatkan komunikasi yang efektif diantara manajer dan karyawan, sehingga

Universitas Sumatera Utara

akan nampak garis-garis tugas dan tanggung jawab yang jelas diantara keduanya.
Situasi semacam ini dapat mengurangi timbulnya stres kerja dalam organisasi.
2.

Sistem penilaian prestasi dan sistem ganjaran yang efektif
Sistem penilaian prestasi dan ganjaran yang efektif perlu diberikan

manajer kepada karyawan mereka. Ketika ganjaran diberikan kepada karyawan,
karyawan telah menyadari bahwa ganjaran tersebut berhubungan dengan prestasi
kerjanya.
3. Meningkatkan Prestasi
Untuk dapat mengurangi ketidakjelasan peran dan konflik peran, pegelola
perlu meningkatkan partisipasi karyawan terhadap peroses pengambilan
keputusan. Dengan demikian, kesempatan parisipasi yang diberikan oleh manajer
kepada karyawan-karyawannya dalam menyumbangkan pikiran atau gagasangagasannya, memungkinkan karyawan dapat meningkatkan prestasi dan kepuasan
kerja dan mengurangi stres kerjanya.
4.

Memperkaya Tugas
Setiap manajer perlu memberikan dan memperkaya tugas kepada

karyawan agar mereka dapat lebih bertanggung jawab, lebih mempunyai makna
tugas yang dikerjakan, dan lebih baik dalam melaksanakan pengendalian serta
umpan balik terhadap produktivitas kerja karyawan baik secara kuantitas maupun
kualitas.
5.

Mengembangkan keterampilan, kepribadian, dan pekerjaan
Mengembangkan keterampilan, kepribadian dan pekerjaan merupakan

salah satu cara untuk mengelola stres kerja didalam organisasi. Pengembangan

Universitas Sumatera Utara

keterampilan dapat diperoleh melalui latihan-latihan yang sesuai dengan
kebutuhan karyawan dan oraganisasi atau pengembangan kepribadian yang dapat
mendukung usaha pengembangan pekerjaan baik secara kuantitas maupun
kualitas.
Menurut Mangkunegara (2005), adal empat pendekatan yang dilakukan
tahap stres kerja, yaitu dukungan sosial (social support), meditasi (meditation),
(biofeedback), dan program kesehatan pribadi (personal wellness programs).
1.

Pendekatan Dukungan Sosial
Pendekatan ini dilakukan mlalui aktivitas yang bertujuan memberikan

kepuasan sosial kepada kerayawan misanya beramain game, lelucon dan lain-lain.
2.

Pendekatan Melalui Meditasi
Pendekatan ini perlu dilakukan oleh karyawan dengan cara berkonsentrasi

kedalam pikiran, mengendorkan kerja otot, dan menenangkan emosi.
3. Pendekatan Melalaui Biofeedback
Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis, bimbingan dokter,
psikiater, dan psikolog sehingga karyawan dapat menghilangkan stres yang
dialaminya.
4.

Pendekatan Kesehatan Pribadi
Pendekatan ini merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinnya stres.

Dalam hal ini karyawan secara priode waktu kontinu memeriksa kesehatan,
pengaturan gizi dan olahraga secara teratur.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Keperawatan
2.3.1 Keperawatan Jiwa
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk
meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkontribusi pada fungsi
yang terintegrasi. Pasien atau sistem klien dapat berupa individu, keluarga,
kelompok, oraganisasi komunitas (Stuart &Sundeen, 1998). Menurut ANA
(American Nurses Association) (dalam Stuart & Sundeen, 1998), medefinisikan

keperawatan kesehatan mental sebagai suatu bidang spesialisasi praktik
keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan
pengunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya. Perawat jiwa
menggunakan pengetahuan dari ilmu-ilmu psikososial, biofisik, teori-teori
kepribadian dan perilaku manusia untuk menurunkan suatu kerangka kerja yang
menjadi landasan praktik keperawatan (Stuart & Sundeen, 1998).
Perawat pada keperawatan jiwa adalah individu yang memberikan
pelayanan keperawatan profesional yang berorientasi pada usaha peningkatan
motivasi dalam rangka mengubah perilaku maladaptif menuju perilkau adaptif
dengan pendekatan bio, psiko, sosial, dan kultural melalui penggunaan diri secara
terapeutik yang didasarkan pada ilmu perilaku dengan tujuan meningkatkan,
mencegah dan mempertahankan status kerjiwaan melalui proses interpersonal
(Nasir dan Muhith, 2011).
2.3.2

Tugas-Tugas Perawat
Menurut Nasir dan Muhith (2011), asuhan kompeten bagi perawat jiwa

adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1.

Pengkajian biopsikososial yang peka terhadap budaya.

2.

Merancang dan implementasi rencana tindakan untuk klien dan keluarga.

3.

Peran serta dalam pengelolaan kasus: mengorganisasi, mengkaji, negosiasi,
serta koordinasi pelayanan bagi individu dan keluarga.

4.

Memberikan pedoman pelayanan bagi individu, keluarga, kelompok, untuk
menggunakan sumber yang tersedia dokomunitas kesehatan mental,
termasuk, termasuk pelayanan terkait, serta teknologi dan sistem sosial yang
paling tepat.

5.

Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental serta mengatasi pegaruh
penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.

6.

Memberikan asuhan keperawatan pada penyakit fisik yang mengalami
masalah psikologis dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.

7.

Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan klien, keluarga, staff, dan pembuat kebijakan.

2.4 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat
Menurut Atkinson (2006), emosi biasanya dibangkitkan oleh peristiwa
eksternal, dan rekasi emosinal ditujukan kepada persitiwa tersebut. Atkinson
(2006), juga membedakan emosi hanya dua jenis yakni emosi nyang
menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi
seseorang di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya bergantung pada akibat
yang ditimbulkan baik terhadap individu sendiri maupun dengan orang lain
(Martin, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Stres kerja yang muncul pada perawat dapat menimbulkan ketegangan
yang akan berhubungan dengan emosi perawat. Seperti yang dikatakan oleh
Goleman (2000), bahwa seseorang yang tidak mempunyai keterampilan emosi
akan menunjukkan ketegangan, paling tersiksa oleh beban kerja dan kinerjanya
buruk, sedangkan seseorang yang memiliki keahlian dalam keterampilan emosi
akan tetap tenang walaupun berada dibawah tekanan dan mampu bekerja dengan
baik.
Sumber potensial stres kerja yang disebabkan faktor lingkungan, faktor
organisasional dan faktor individu dapat dikelola secara positif. Dengan
kecerdasan emosional, seseorang mengembangkan manajemen stres atau dapat
mengelola stres menjadi positif (Mangkunegara, 2005). Menurut Martin (2003),
kecerdasan emosi dalam konteks pekerjaan adalah kemampuan untuk mengetahui
dan orang lain rasakan, termasuk cara cepat untuk menangani masalah. Orang lain
yang dimaksudkan disini bisa meluputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga
pelanggan. Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik, maka
akan mampu mengendalikan diri dan emosinya dan sehingga tidak terjerumus
kedalam tindakan-tindakan bodoh yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun
oranglain (Suharsono, 2005).
Bagi seorang perawat, kecerdasan emosi sangat diperlukan dalam
menjalankan asuhan keperawatan kepada pasien. Perawat dalam pekerjaan seharihari selalu melibatkan emosi, sehingga setiap memberikan perawatan dituntut
untuk memiliki kecerdasan emosi yang baik. Ketika menghadapi keluhan pasien,
perawat membutuhkan kemampuan untuk mengelola emosi dan juga harus

Universitas Sumatera Utara

mempunyai kemampuan melihat hal tersebut dar perspektif pasien. Perawat dalam
berkata, bertindak dan mengambil keputusan, membutuhkan kecerdasan
emosional yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang
lain.
Seseorang yang memliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mampu
bertahan menghadapi frustasi, mengatur suasana hati, menjaga agar beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berpikir dan mampu mengendalikan kinerja yang
optimal (Goleman, 2000).
Kecerdasan emosi yang juga mempunyai ikatan yang erat dengan
keberhasilan kerja, seorang perawat yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
mempunyai kemampuan dalam berinteraksi dengan perasaan dan emosinya serta
kemampuan dalam beradaptasi dengan kesulitan dan masalah yang dihadapinya,
sehingga dapat menurunkan tingkat stres kerja (Bhauddin, 2003).
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa ada hubungan kecerdasaan
emosi dengan stres kerja. Perawat yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi
maka stres kerjanya akan rendah, begitu juga sebaliknya perawat yang
mempunyai kecerdasan emosi yang rendah maka stres kerjanya akan tinggi.
Seseorang yang memilki kecerdasan emosi yang tinggi akan dapat mengelola
emosinya dalam menghadapi tekanan yang muncul dari dalam maupun dari luar
dirinya (Goleman, 2000).

Universitas Sumatera Utara