Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A.G. (2007). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual ESQ: Emotional Spritual Quotioent Beedasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta : ARGA

Anonim. (2009). Undag-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Diakses 25 Mei 2015, Dari : http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-44-2009RumahSakit.pdf Anoraga. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta

Atkinson. R.L. (2006). Pengantar Psikologi. 11th ed. Jakarta: Interaksara Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Bahaudin, T. (2003). Brainware Management: Generasi Kelima Manajemen Manusia. Ed.4. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Cooper, R.K., & Sawaf, A. (2002). Executive EQ: Kecerdasan Emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Penerjemah: Alex Tri Kantjono Wododo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Daft, R. (2003). Manajemen Edisi Kelima Jilid Dua. Jakarta: Erlangga

Goleman, D. (2000). Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih Penting Daripada IQ. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama . (2000). Working With Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi

Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

. (2007). Emotional Intelligence: Emosional Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Greenberg, J.S. (2004). Comprehensive Stress Management. Eight Edition. New York: McGraw Hill

Griffin, R.W. (2003). Manajemen Edisi Tujuh Jilid Dua. Jakarta: Penerbit Erlangga

Hude. (2006). Emosi Penjelajahan Religio-Psikologis tetang Emosi Manusia di dalam Alquran. Jakarta : Penerbit Erlangga

Iskandar. (2010). Metode penelitian Pendidikan dan Sosial: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press


(8)

Kreitner & Kinicki. (2005). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat

Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi Edisi Sepuluh. Yogyakarta: Penerbit ANDI

Mangkunegara. P.A. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Maria, J., Landa, A., Zafra, E.L. (2007). The Relationship Beetwen Emotional Intelligence, Occupational Stress and Health In Nurses: A Ouestionnaire Survey. International Journal of Nursing Studies 45 888-901.

Martin, A.D. (2003). Emotional Quality Management Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit ARGA MenKes. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Diakses 25

Mei 2015, Dari www.hukor.depkes.go.id/.../KMK%20No.%20148% 20ttg%20Praktik%2...

Mubayidh. M. (2006). Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak Referensi Penting Bagi Para Pendidik dan Orang Tua. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Nasir, A., & Muhith, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar dan Teori. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Nggermanto, A. (2002). Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum): Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ dan SQ Secara Harmonis. Bandung: Penerbit Nuansa

Noorbakhns, S.N, Besharat, M.A., & Zarei, J. (2010). Emotional Intellegence and Coping Styles With Stress. Journal Procedia Social and Behaviorm Sciences 5 818-822.

Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nurhidayah, R.E. (2006). Pentingnya Kecerdasan Emosional Bagi Perawat.

Universitas Sumatera Utara: Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006. Diakses 28 Desember 2015, dari

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/…/ruf-mei20062%20(5).pdf Nursalam. (2013). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Pangastiti, Kurniantyas, N. (2011). Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Burout Pada Perawat Kesehatan Dirumah Sakit Jiwa (Studi Pada Rsj Prof. Dr. Soerjo Magelang). Semarang : Universitas


(9)

Diponegoro. Diakses: 21 Mei 2015, Dari : http://eprints.undip.ac.id/29408/1/Skripsi008.pdf

Rice, Philip L. (2002). Stress and Health (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishing Company

Riskesdas. (2013). Kesehatan Jiwa. Diakses 20 Mei 2015, Dari : http://Kesehatan Jiwa Menurut Riskesdas 2013–Rsj Grhasia.html

Robin, S.P. (2003). Perilaku Organisasi (Organizational Behavior). Jakarta: PT. Indeks Gramedia

. (2008). Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) Jilid 2 Edisi Keduabelas. Jakarta: Salemba Empat

Safaria, T., & Saputra, N.E. (2009). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara

Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia

Stuart, G.W., & Sundeen, S.J. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3 Ali Bahasa Achir Yani, S. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Suharsono. (2005). Melejitkan IQ, IE dan IS. Jakarta: Inisiasi Press

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

. (2013). Psikologi Untuk Keperawatan Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sunyoto, D., dan Setiawan, A. (2013). Buku Ajar Statistik Kesehatan: Parametrik, Non Parametrik, Validitas, dan Reliabilitas. Yogyakarta: Nuha Medika.

Suryabrata, S. (2005). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: CV. Andi Offset

Taylor, S.E. (2006). Health Psychology. New York: McGraw Hill Inc Waluyo, S.E. (2009). Psikologi Tahnik Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu

Weisinger, H. (2006). Emotional Intelligence At Work. Penerjemah: Roro Ratih Ambarwati. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia Wibowo. (2008). Manajemen Perubahan Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali Pers


(10)

Wijono, S. (2011). Psikologi Industri dan Organisasi: Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Yurista, D. (2013). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stress Kerja pada Perawat di Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Syahkuala.


(11)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau visualisasi konsep-konsep serta variabel-variabel yang akan diukur atau diteliti. (Notoatmodjo, 2010). Pada proses penelitian ini dapat dilihat bagaimana pengaruh hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Variabel independent dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosi dan stres kerja perawat sebagai variabel dependent.

Independent

Dependent

Gambar 3.1. Kerangka Kons

Tinggi = 96 - 130

Sedang = 61 - 95

Rendah = 26 - 60

Tinggi = 121 - 165

Sedang = 77 - 120

Rendah = 33 - 76

Kecerdasan Emosi

Meliputi : - Kesadaran diri

- Pengturan diri

- Motivasi diri

- Empati

- Membina hubungan dengan orang lain

Stres Kerja

Meliputi :

- Gejala fisiologis

- Gejala emosional

- Gejala kognitif

- Gejala interpersonal, dan


(12)

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional No Variabel/

Sub Variabel

Definisi

Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Variabel Independent

Kecerdasan Emosi Kemampuan perawat di Ruang Rawat Inap RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem dalam memantau, memahami, merasakan dan menerapkan emosinya mencakup:

- kesadaran diri

- pengaturan diri

- motivasi diri

- empati, dan

- membina hubungan dengan orang lain

Diukur dengan kuesioner A terdiri dari 26 aitem

pernyataan dan dibagi menjadi pernyataan :

 Positif

terdiri dari 13 pernyataan. Menggunakan skala Likert :

- Sangat Sesuai : 5

- Sesuai : 4

- Netral : 3

- Tidak Sesuai : 2

- Sangat Tidak Sesuai : 1

 Negatif

terdiri dari 13 pernyataan. Menggunakan skala Likert:

- Sangat Sesuai : 1

- Sesuai : 2

- Netral : 3

- Tidak Sesuai : 4

- Sangat Tidak Sesuai : 5

Total skor antara 26-130 yang dikategorikan :

Tinggi = 96-130

Sedang = 61-95

Rendah = 26-60


(13)

2. Variabel Dependent

Stres Kerja Suatu

perasaan yang menekan atau rasa tertekan yang dialami perawat di Ruang

Rawat Inap RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem. Bentuk-bentuk gangguan sebagai berikut :

- Gejala fisiologis

- Gejala emosional

- Gejala kognitif

- Gejala interpersonal dan

- Gejala organisasion al

Diukur dengan kuesioner B terdiri dari 33 aitem dan dibagi menjadi dua

pernyataan, yaitu:

 Positif

terdiri dari 17 pernyataan yang dikur menggunakan skala Likert :

- Sangat Sering : 5

- Sering : 4

- Kadang-kadang : 3

- Tidak Sering : 2

- Sangat Tidak Sering : 1

 Negatif terdiri dari 16 pernyataan yan diukur

menggunakan skala Likert :

- Sangat Sering : 1

- Sering : 2

- Kadang-kadang : 3

- Tidak Sering : 4

- Sangat Tidak Sering : 5

Total skor antara 33-165 yang dikategorikan :Tinggi = 121-165 Sedang = 77-120

Rendah = 33-76


(14)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kecerdasan perawat dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi

Menurut Iskandar (2010), populasi marupakan seluruh subjek penelitian. Adapun populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah 126 perawat.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil secara representatif atau mewakili populasi yang bersangkutan atau bagian kecil yang diamati (Iskandar, 2010). Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik non probability sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara tidak acak dari populasi. Pada penentuan sampel ini peneliti menggunakan tehnik purposive sampling yaitu suatu tehnik menentukan sampel berdasarkan kriteria yang diinginkan oleh peneliti. Adapun kriteria sampel yang diinginkan oleh peneliti adalah sebagai berikut:


(15)

1. Perawat yang bekerja di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem, Provinsi Sumatera Utara.

2. Lama bekerja

3. Perawat yang sedang tidak hamil

4. Perawat dengan kondisi fisik yang sehat 5. Perawat yang tidak sedang cuti

6. Perawat yang bersedia menjadi responden

Sedangkan pengambilan jumlah sampel mengacuh pada rumus Slovin (Notoatmodjo, 2010) :

n = + N dN 2

Keterangan: n = besar sampel N = besar populasi

d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diingikan 10% (0.10)

Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel perawat yang dapat dijadikan responden, adalah :


(16)

� = + . � = + . � = .

n = 55.75 digenapkan menjadi 56 responden

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Pengambilan lokasi penelitian ini dikarenakan tidak seimbangnya rasio perawat dan berdasarkan dari wawancara pada 7 orang perawat serta belum pernah dilakukan penelitian yang berjudul

“Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stes Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa

Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara”. Waktu penelitian

dilakukan pada tanggal 30 November – 04 Desember 2015.

4.4 Pertimbangan Etik

Sebelum melakukan penelitian, peneliti menunjukkan surat permohonan kepada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU untuk mendapatkan persetujuan penelitian. Penelitian dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan USU pada tanggal 7 April 2015. Setelah memperoleh persetujuan peneliti memberikan surat ijin pengambilan data awal yang terdiri dari jumlah keseluruhan perawat dengan status PNS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara dan jumlah total pasien yang dirawat selama tahun 2014. Selanjutnya peneliti memberikan informasi kepada calon responden secara


(17)

lengkap tentang tujuan penelitian. Hal ini responden mempunyai hak untuk berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Apabila responden memilih untuk berpartisipasi, maka calon responden akan menandatangani lembar persetujuan. Kemudian peneliti memberikan kuesioner percobaan kepada perawat sebagai uji reliabilitas dari instrumen penelitian yang akan dilaksanakan nanti.

Hal ini peneliti harus dapat meyakinkan responden bahwa partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan calon responden dalam bentuk apapun hanya akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko fisik atau psikis. Kerahasiaan calon responden merupakan hal utama yang dijamin kerahasiaannya dengan tidak menuliskan nama (anonymity) dan semua cacatan atau data responden akan dimusnahkan setelah proses penelitian berakhir (confidentiality). Data-data yang diperoleh dari responden hanya digunakan sebagai kepentingan penelitiaan (Nursalam, 2013).

4.5 Instrument Penelitian 4.5.1 Kuesioner Demografi

Kuesioner data demografi memberikan data mengenai responden meliputi: nama, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, lama kerja, penghasilan bulanan. Kuesioner ini hanya digunakan untuk melihat distribusi demografi dari responden saja dan tidak akan dianalisa terhadap hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja.

4.5.2 Kuesioner Kecerdasan Emosi

Kuesioner ini bertujuan untuk melihat gambaran kecerdasan emosi perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem


(18)

Provinsi Sumatera Utara. Kuesioner ini diadopsi dari kuesioner Yurista (2013). Tiap aitem yang disediakan pada skala kecerdasan emosi terdiri dari Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S). Netral (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan pada skala ini terdiri dari aitem positif dan aitem negatif. Aitem positif adalah aitem yang mendukung atau memihak secara positif terhadap satu pernyataan tertentu, sedangkan aitem negatif adalah pernyataan yang menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap pernyataan tertentu.

Bobot penilaian untuk pernyataan kecerdasan emosi dengan aitem positif yaitu SS = 5, S = 4, N = 3, TS = 3 dan STS = 1. Sedangkan bobot pernyataan negatif yaitu, SS = 1, S = 2, N = 3, TS = 4 dan STS = 5.

Tabel 4.1. Aitem-aitem Pernyataan Skala Kecerdasan Emosi

No. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Item Total

Positif Negatif

1. Kesadaran diri 2,8,12 1,5 5

2. Pengaturan diri 4,6,18 3,7 5

3. Motivasi diri 10,14,16 9,11,21,23 7

4. Empati 20,24 13,19 4

5. Membina hubungan dengan orang lain 17,22,26 15,25,27 6


(19)

Kategori kecerdasan emosi perawat di Rumah Sakit Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara dibuat berdasarkan rumus statistik menurut Sunyoto dan Setiawan (2013). Kategori Kecerdasan Emosi adalah sebagai berikut:

p = Nilai Tertingi − Nilai TerendahBanyak Kelas = − =

Kecerdasan Emosi Tinggi = 96 - 130 Kecerdasan Emosi Sedang = 61 - 95 Kecerdasan Emosi Rendah = 26 – 60

4.5.3 Kuesioner Stres Kerja

Kuesioner ini bertujuan untuk melihat gambaran stres kerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Kuesioner ini diadopsi dari kuesioner Yurista (2013). Tiap aitem yang disediakan pada skala stres kerja terdiri dari lima pilihan jawaban yang terdiri dari Sangat Sering (SS), Sering (S), Kadang-Kadang (K), Tidak Sering (TS), dan Sangat Tidak Sering (STS). Pernyataan pada skala ini terdiri dari aitem positif dan aitem negatif. Aitem positif adalah aitem yang mendukung atau memihak secara positif terhadap satu pernyataan tertentu, sedangkan aitem negatif adalah pernyataan yang menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap pernyataan tertentu.

Bobot penilaian pernyataan stres kerja untuk aitem positif yaitu SS = 5, S = 4, K = 3, TS = 2 dan STS = 1. Sedangkan untuk aitem negatif SS = 1, S = 2, K = 3, TS = 4 dan STS = 5.

Tabel 4.2. Aitem-aitem Pernyataan Skala Stres Kerja


(20)

Positif Negatif

1. Gejala Fisiologis 2,8,12 1,33 5

2. Gejala Emosional 4,6,18,20 3,7,15,19 8

3. Gejala Kognitif 10,14,16,22 9,11,21 6

4. Gejala Interpersonal 14,26,24,28 5,29, 31 7 5. Gejala Organisasional 30,32,23 17,13,25,27 7

Total 17 16 33

Kategori stres kerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Prof. Dr. Muhammad Ildrem Povinsi Sumatera Utara dibuat berdasarkan rumus statistik menurut Sunyoto dan Setiawan (2013). Kategori stres kerja adalah sebagai berikut :

� = Nilai Tertingi − Nilai TerendahBanyak Kelas = − =

Kategori Stres Tinggi = 33 - 76 Kategori Stres Sedang = 77 - 120 Kategori Stres Rendah = 121 – 165

4.6 Uji Validitas Instrumen

Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrument dapat dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila alat tersebut memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sebaliknya, tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2010).

Pada penelitian ini, peneliti mengadopsi instrumen kuesioner penelitian Yurista (2013). Uji validitas tidak perlu dilakukan dikarenakan instrumen


(21)

penelitian ini telah baku. Hal ini juga peneliti melakukan konsultasi kepada dosen pembimbing dalam pengadopsian instrumen penelitian.

4.7 Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi tersebut sebagai pengukuran yang reliabel. Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti tingat kepercayaan, kehandalan, keajengan dan sebagainya (Azwar, 2010). Pengujian dalam penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach.

Suatu alat tes dikatakan reliabel jika koefisien reliabilitas (rxx) yang

angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1.00. semakin tinggi koefisien reliabiltas mendekati angka 1.00 berarti semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya. Pada pengukuran psikologi, koefisien reliabilitas yang mencapai angka rxx = 1.00 tidak pernah dijumpai (Azwar, 2010). Dalam

melakukan uji reliabilitas ini memberikan kepada 30 perawat selain responden untuk melihat tingkat kehandalan dari alat ukur tersebut. Masing-masing uji reliabiltas kecerdasan emosi terdiri dari 26 pernyataan yang dibagai dalam pernyataan positif dan pernyataan negatif. Sedangkan uji reliabilitas stres kerja terdiri dari 33 pernyataan yang dibagi dalam pernyataan positif dan pernyataan negatif.

Berdasarkan hasil uji reliabilitas kecerdasan emosi dengan menggunakan

cronbach’s alpha adalah 0.720 dan hasil uji reliabilitas stres kerja dengan menggunakan cronbach’s alpha adalah 0.760. Artinya, aitem skala kecerdasan emosi dan stres kerja dinyatakan reliabel.


(22)

4.8 Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1. Mengajukan permohonan ijin survey awal untuk melihat karakterisitk perawat (populasi) yang akan dijadikan sampel penelitian.

2. Melakukan perhitungan untuk menentukan jumlah perawat yang akan dijadikan samapel dengan menggunakan metode simple non random sampling, dimana metode pengambilan sampel dengan tidak acak dari keseluruhan populasi.

3. Mengajukan permohonan ijin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara).

4. Mengirimkan permohonan ijin pengambilan data yang diperoleh dari Faklultas ke Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

5. Setelah mendapatkan persetujuan dari Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.

6. Menjelaskan pada calon responden tentang tujuan, manfaat, dan proses pengisian kuesioner.

7. Calon responden diminta untuk menandatangani Informed Concent (surat persetujuan.

8. Peneliti melakukan wawancara tersetruktur dengan menggunakan kuesioner terhadap responden dan responden diberi kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak dipahami.


(23)

9. Selanjutnya, data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk dianalisa.

4.9 Analisa Data

4.9.1 Pengolahan Data

Proses pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Editing

Editing adalah kegiatan melakukan pemeriksaan kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden, meliputi kelengkapan isian dan kejelasan jawaban dan tulisan.

2. Coding

Coding adalah proses mengubah data yang berbentuk huruf menjadi data yang berbentuk data. Hal utama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah memberikan kode untuk jawaban yang diberikan responden penelitian. Penilaian kecerdasan emosi dan stres kerja perawat di Ruang Rawat Inap untuk jawaban dengan aitem positif yaitu SS = 5, S = 4, N = 3, TS = 3 dan STS = 1.

Sedangkan bobot pernyataan negatif yaitu, SS = 1, S = 2, N = 3, TS = 4 dan STS = 5.

3. Processing

Processing yaitu memasukkan data kedalam komputer untuk diproses. 4. Cleaning

Cleaning yaitu melakukan pembersihan dan pengecekan kembali data yang telah dimasukkan. Kegiatan ini diperlukan untuk mengetahui apakah ada kesalahan ketika dimasukkan data.


(24)

5. Komputerisasi

Komputerisasi digunakan untuk mengolah data dengan komputer.

4.9.2 Tehnik Analisa Data

Data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat. Proses pengolahan data dilakukan dengan :

1. Uji Univariat

Dilakukan pada masing-masing variabel yaitu mendeskripsikan tentang kecerdasan emosi dan stres kerja. Hasil angket/kuesioner kecerdasan emosi dan stres kerja disajikan dalam bentuk data. Analisis yang digunakan dalam bentuk dsitribusi frekuensi dan persentase.

2. Uji Bivariat

Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dapat dilakukan dengan uji Pearson adalah uji statistik untuk menguji dua variabel berdata kuantitatif yang berisi angka real yaitu data sesunguhnya yang diambil langsung dari angka asli. Syarat-syarat lain untuk uji korelasi Pearson adalah data berdistribusi normal.

a. Jika p value ≤ 0,01 maka hasil uji dinyatakan sangat signifikan. b. Jika p value > 0,01 tetapi < 0,05 maka hasil uji dinyatakan signifikan. c. Jika p value > 0,05 maka hasil uji dinyatakan tidak signifikan (Hastono,

2001).

Untuk mengukur keeratan hubungan dapat dilihat berdasarkan besaran angka, yaitu:


(25)

b. 0,20 - 0,399 : Tingkat hubungan rendah c. 0,40 - 0,599 : Tingkat hubungan sedang d. 0,60 - 0,799 : Tingkat hubungan kuat

e. 0,80 - 1,00 : Tingkat hubungan sangat kuat (Sugiyono, 1999).

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 56 responden. Pengumpulan data ini dilakukan dari tanggal 30 november s/d 04 desember 2015.

5.1.1 Karakteristik Responden

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perawat Berdasarkan

Karaktersitik Responden di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem (n = 56) No. Karakteristik Responden Frekuensi (f) Persentase (%)

1. 2. 3. 4. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 17-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun Pendidikan Terakhir D3 S1 Masa Kerja <1 tahun >1 tahun 37 19 5 31 20 22 34 2 54 66,1 33,9 8,9 55,4 35,7 39,3 60,7 3,6 96,4


(26)

5. Penghasilan Per Bulan Rp.1.500.000-Rp.2.000.000 Rp.2.000.000-Rp.3.000.000 Rp.3.000.000-Rp.5.000.000 15 33 8 26,8 58,9 14,3

Berdasarkan tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas jenis kelamin dari responden adalah laki-laki yaitu 37 responden (66,1%). Untuk usia kebanyakan berada pada rentang antara 26-35 tahun yaitu 31 responden (55,4%). Namun berdasarkan pendidikan terakhir responden Sarjana (S1) adalah tingkat pendidikan terbanyak yaitu 34 responden (60,7%). Sedangkan ditinjau dari masa kerja responden hampir seluruh responden bekerja lebih dari satu tahun yaitu sebanyak 54 (90,4%). Berdasarkan penghasilan per bulan responden nilai Rp.2.000.000-Rp.3.000.000 berada pada tingkat paling tinggi yaitu sebanyak 33 responden (58,9%).

5.1.2 Analisis Univariat

1. Kecerdasan Emosi

Tabel 5.2. Kategori Tingkat Kecerdasan Emosi Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara (n = 56)

Kecerdasan Emosi Frekuensi (f) Persentase (%)

Tinggi Sedang Rendah 10 46 0 17,9 82,1 0

Jumlah 56 100

Berdasarkan tabel 5.2 diatas dari 56 responden diketahui bahwa kecerdasan emosi pada perawat di Rumah Sakit Jiwa tidak ada yang berada pada kategori rendah, 46 responden (82,1%) pada kategori sedang dan 10 responden (17,9%) berada dalam kategori tinggi. Hasil kategori ini menunjukkan bahwa umumnya perawat di Rumah Sakit Jiwa memiliki kecerdasan emosi yang sedang.


(27)

Tabel 5.3. Kategori Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara (n = 56)

Stres Kerja Frekuensi (f) Persentase (%)

Tinggi Sedang Rendah 0 38 18 0 67,9 32,1

Jumlah 56 100

Berdasarkan dari 56 subjek (perawat di Rumah Sakit Jiwa) diketahui bahwa stres kerja pada perawat Rumah Sakit Jiwa sebesar 18 perawat (32,1%) pada kategori rendah dan 38 perawat (67,9%) pada kategori sedang. Sementara tidak terdapat perawat dalam katergori stres tinggi.

5.1.3 Analisis Bivariat 1. Uji Normalitas

Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan menggunakan tehnik Kolmogorov-Smirnov (K-S Z) dengan bantuan program SPSS (Statistical Product and Solution) 18.0 for Windows. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal dan tidaknya suatu sebaran adalah apabila signifikansi lebih besar dari 0.05 (p > 0.05) maka sebaran dinyatakan normal dan sebaliknya jika (p < 0.05) maka sebaran dinyatakan tidak normal. Hal ini dilakukan untuk menentukan tehnik statistik yang digunakan dalam penelitian ini.

Hasil uji normalitas yang dilakukan pada 56 responden menunjukkan pada variabel kecerdasan emosi memiliki sebaran yang normal (K-S Z = 0.681, dengan p = 0.742 > 0.05), maka data dinyatakan terdistribusi normal.

2. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

Tabel 5.4. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

Pearson Correlation Stres Kerja

Kecerdasan Emosi Correlation Coefficent Sig. (2-tailed) N -0.598 0.000 56


(28)

٭٭. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Berdasarlan tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa nilai korelasi (ρ) yang didapat adalah -0.598 dengan nilai signifikan (p) sebesar 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat dengan kekuatan hubungan sedang. Berdasarkan analisa statistik juga diperoleh nilai significance (p) sebesar 0.000 dimana nilai ini lebih kecil dari level of significance (α) sebesar 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

5.1.4 Analisis Aspek Kecerdasan Emosi

Setelah melakukan uji hipotesis untuk melihat hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat, penelitian ini juga malakukan analisis aspek pada variabel kecerdasan emosi untuk melihat aspek manakah yang sangat berkontribusi terhadap stres kerja perawat. Berikut merupakan hasil analisis variabel aspek kecerdasan emosi :

1. Kecerdasan Emosi

Tabel 5.5. Korelasi Aspek Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

No. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Korelasi dengan

Variabel Stres Kerja Signifikansi

1. 2. 3. 4. 5. Kesadaran Diri Pengaturan Diri Motivasi Diri Empati

Membina Hubungan Dengan Orang Lain

0.301 -0.522 -0.680 -0.314 -.0.245 0.024 0.000 0.000 0.18 0.69

Berikut adalah hasil analisis per aspek dari variabel kecerdasan emosi, yaitu : 1. Kesadaran Diri


(29)

Korelasi antara aspek kesadaran diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar 0.301 dengan p = 0.24 (p > 0.05). Artinya, terdapat hubungan positif dan tidak signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa aspek kesadaran diri memiliki nilai korelasi rendah dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

2. Pengaturan Diri

Korelasi antara aspek pengaturan diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil -0.522 dengan p = 0.000 (p < 0.01). Artinya, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa aspek pengaturan diri memiliki nilai korelasi yang sedang dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

3. Memotivasi Diri

Korelasi antara aspek memotivasi diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar -0.680 dengan p = 0.000 (p < 0.01). Artinya, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini bahwa aspek memotivasi diri memilki nilai korelasi yang kuat dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

4. Empati

Korelasi antara aspek empati dengan variabel stres kerja dengan emnggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar -0.314 denan p = 0.18. Artinya, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa aspek empati memiliki nilai korelasi rendah dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.


(30)

5. Membina Hubungan dengan Orang Lain

Korelasi antara aspek membina hubungan dengan orang lain dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar -0.245 denan p = 0.069 (p > 0.05). Artinya, terdapat hubungan yang negatif dan tidak signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa aspek membina hubungan dengan orang lain dengan stres kerja memiliki nilai korelasi rendah dalam menurunkan stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.


(31)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Gambaran Tingkat Kecerdasan Emosi

Berdasarkan hasil analisis kecerdasan emosi perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara secara univariat bahwa mayoritas kecerdasan emosi perawat berada pada kategori sedang. Hal ini sejalan dengan pendapat Goleman (2007), bahwa pikiran emosional dan rasional umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat sehingga melengkapi cara-cara dalam mencapai pemahaman guna mengarahkan dalam menjalani kehidupan duniawi. Perawat sangat penting memiliki kecerdasan emosional disamping pengetahuan ilmiah dan keterampilan karena layanan perawatan yang bermutu tidak hanya berorientasi pada pemberian obat-obatan atau tindakan medis lainnya namun perilaku dan perlakuan yang diberikan perawat selama proses penyembuhan juga penting.

Menggunakan emosi yang cerdas membuat emosi seseorang menjadi bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri seseorang tersebut

5.2.2 Gambaran Tingkat Stres Kerja

Berdasarkan hasil analisis stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara bahwa mayoritas stres perawat berada pada kategori sedang. Hal ini berarti tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara berada pada tingkat yang tidak terlalu membahayakan baik terhadap perawat maupun instansi tempat bekerja yakni Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem. Meskipun tidak ada perawat yang memiliki tingkat stres yang tinggi, maka upaya penaggulangan dan pencegahan terjadinya stres harus tetap diperhatikan dengan melihat faktor-faktor penyebab terjadinya stres kerja.

Stres kerja merupakan suatu respon adaptif atas suatu kondisi yang menekan dilingkungan kerja sehingga mempengaruhi kondisi fisik, psikologis, serta perilaku perawat yang menjadi bagian dari organisasi suatu rumah sakit jiwa (Luthans, 1989).


(32)

Hal ini tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem mungkin dipengaruhi oleh faktor lain seperti ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Robins (2002), yang mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang menjadi sumber potensial dari stres kerja bagi perawat, yaitu : (1) faktor lingkungan, kondisi lingkungan tempat bekerja dapat mempengaruhi stres kerja pada perawat. Kondisi tersebut meliputi adanya ketidakpastian ekonomi, politik dan teknologi dirumah sakit. (2) faktor organisasi, faktor yang ada di organisasi dapat memicu stres yaitu, tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar pribadi, struktur oraganisasi, kepemimpinan organisasi, dan tahap hidup organisasi dirumah sakit. (3) faktor individual perawat, faktor individual merupakan faktor yang mencakup kondisi dalam kehidupan pribadi perawat. Permasalahan keluarga, ekonomi yang dialami perawat dapat mempengaruhi terjadinya stres kerja.

5.2.3 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja

Hasil analisis hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara terdapat nilai korelasi sebesar -0.598. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja dengan kekuatan hubungan sedang. Berdasarkan analisa statistik juga diperoleh nilai significance (α) sebesar 0.000 dimana nilai ini lebih kecil dari level of significance (α) sebesar 0.01. hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa rendahnya kecerdasan emosi merupakan hal yang dapat menyebabkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Hal ini sejalan dengan pendapat Goleman (2007), yang menyatakan bahwa inidividu yang memiliki kecerdasan emosi akan mampu


(33)

mengendalikan hal-hal negatif seperti mudah marah, mudah tersinggung sampai tindakan agresif baik secara fisik maupun verbal. Salovey dan Meyer (dalam Goleman 2007), juga menyatakan kecerdasan emosi berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau emosi baik dirinya maupun orang lain, dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oryza dan Suseno (2009), menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja. Pendapat lainnya yang disampaikan oleh Rosalina (2008), mengatakan bahwa kecerdasan emosi pada perawat akan sangat menentukan perilaku melayani pasien, karena perawat yang memiliki kecerdasan emosi yang baik dapat mengontrol emosi-emosinya pada saat berinteraksi langsung dengan pasien maupun keluarganya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yurista (2013), bahwa rendahnya kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan stres kerja pada perawat. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Maria, Landa, Zafra, dkk (2007), yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi secara signifikan dapat menurunkan stres kerja pada perawat. Perawat sebagai profesi yang berorientasi kepada pelayanan jasa memerlukan suatu keterampilan dalam mengelola emosinya. Keterampilan penguasaan emosi sangat berpengaruh terhadap kinerja. Oleh karena itu, kecerdasan emosi memberikan kontribusi dalam mengatur suasana hati dan menjaga agar stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir sehingga individu mampu untuk menyelesaikan konflik serta menjaga kinerja tetap stabil (Nurhidayah, 2006).

Berdasarkan temuan di lapangan, beban kerja diruang rawat inap lebih tinggi. Perawat diruang melaksanakan asuhan keperwatan selama 24 jam dan bekerja secara bergiliran/shift jaga. Kemudian perawat diruang rawat inap juga dituntut harus tetap ada disisi pasien untuk melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan perawatan pasien, seperti pelayanan yang diberikan dalam keadaan sakit ringan ataupun berat yang


(34)

memerlukan pemantauan serta tindakan yang terus menerus sehingga dibutuhkn kecerdasan emosi yang tinggi untuk mengantisipasi stres kerja di Rumah Sakit Jiwa.

Berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa sumbangan relatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja adalah r2 = 0.306 (31%) dan 69% lainnya bisa

disebabkan oleh variabel-variabel lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Adapaun variabel-variabel lain yang berhubungan dengan stres kerja selain kecerdasan emosi diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Noorbakhsh, Besharat & Zarei (2010), dengan melibatkan variabel pemilihan strategi coping. Noorbakhsh, Besharat & Zarei menyebutkan bahwa stres kerja dapat diturunkan apabila individu memiliki strategi coping yang sesuai dengan dirinya baik itu dengan coping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) dan (emotion focused coping). Fungsi dari coping adalah untuk mengurangi tekanan atau meningkatkan keterampilan dalam manajemen stres. Variabel lainnya seperti adanya dukungan sosial, locus of control, kepribadian tipa A dan B serta harga diri yang dikemukakan oleh Wijono (2011), variabel-variabel tersebut tersebut berkorelasi dalam menurunkan stres kerja yang dihadapi oleh individu. Wijono (2011), juga menyatakan pemberian konseling atau psikoterapi bisa digunakan untuk membantu individu menemukan masalah dan sumber-sumber ketegangan yang dapat menimbulkan stres kerja, menolong mengubah pandangan seseorang terhadap kondisi, situasi atau peristiwa yang menimbulkan stres kerja dan mengembangkan berbagai alternatif untuk menentukan strategi yang paling tepat dalam menghadapi stres kerja.

Aspek kecerdasan emosi yang memberikan kontribusi yang paling besar terhadap rendahnya perlaku stres kerja adalah aspek motivasi diri dengan korelasi sebesar r = -0.680 dan tingkat signifikani p = 0.000 (p < 0.001). Artinya perawat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara memiliki kecerdasan emosi yang tinggi apabila mampu untuk memotivasi diri dan memahami keseluruhan proses yang terjadi didalam dirinya, perasaan, pikiran, dan latar belakang dari tindakannya. Perawat


(35)

mampu terhubung dengan emosi-emosinya dan pikiran-pikirannya sehingga ia mampu menamakan setiap emosi yang muncul.

Menurut Goleman (2007), dengan adanya kemampuan individu memotivasi diri ketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam dirinya. Maka kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan, tidak putus asa dan kehilangan harapan ketika menghadapi masalah.

5.3 Keterbatasan Penelitian

Perlu peneliti sampaikan bahwa pelaksaan penelitian ini peneliti rasakan mengandung keterbatasan-keterbatasan antara lain : penelitian inu menggunakan subjek yang terbatas yaitu hanya pada 56 orang perawat jiwa yang berada diruang rawat inap kemudian distribusi aitem skala kecerdasan emosi dan stres kerja yang tidak proporsional sehingga mempunyai peluang untuk mempengaruhi hasil penelitian ini. Berdasarkan teori yang ada, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya stres kerja pada perawat, namun pada penelitian ini hanya sebatas mengkaji hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi memiliki peran terhadap tinggi rendahnya tingkat stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa. Keduanya memiliki korelasi negatif yang signifikan, artinya jika tingkat kecerdasan emosi tinggi maka tingkat stres kerja akan rendah dan begitu pula sebaliknya jika tingkat kecerdasan emosi rendah maka tingkat stres kerja tinggi.


(36)

BAB 6 PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis univariat bahwa 46 responden (82,1%) tingkat kecerdasan emosi pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara berada pada kategori sedang dan tingkat stres kerja berada pada kategori sedang yakni 38 responden (67,9%). Sedangkan berdasarkan hasil analisis bivariat bahwa penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara dengan koefisien (r) = -0.598 dengan p = 0.000 (p < 0.001). Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi perawat maka semakin tinggi tingkat stres kerja. Berdasarkan hasil analisi menunjukkan bahwa sumbangan relatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja adalah r2 = 0.357 atau 36% dan 64% lainnya

bisa disebabkan oleh variabel-variabel lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat aspek kecerdasaen emosi manakah yang memberikan kontribusi paling besar terhadap rendahnya stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek motivasi diri merupakan aspek yang memiliki kontribusi terbesar terhadap penurunan stres kerja. Hal ini berarti bahwa perawat akan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi apabila ia mampu untuk memotivasi diri setiap stres yang timbul sehingga dapat mengubah perilakunya kearah yang positif atau lebih baik.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti akan memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak lain.


(37)

Bagi perawat rumah sakit jiwa setelah terbukti ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat , maka diharapkan bagi perawat yang memiliki kecerdasan emosi ayang tinggi agar dapat mempertahankan kondisi tersebut, yakni sebagai suatu langkah menghadapi berbagai situasi yang terjadi ditempat kerja kususnya dalam menghadapi stres ditempat kerja yaitu dengan kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan membina hubungan dengan orang lain

6.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara perlu mengalokasikan dana untuk kegiatan merancang program penelitian kecerdasan emosi yang difokuskan pada bidang Self Awareness, Self Management, Self Motivation dan Anger Management bagi perawat yang memilik kecerdasan emosi rendah yang bertujuan untuk membantu perawat dalam melatih kemampuan mengontrol emosi sehingga perawat dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus menimbulkan stres yang nantinya akan menghambat kinerja perawat dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien. Selanjutnya bagi perawat yang memiliki stres kerja yang tinggi perlu dilakukan seuatu upaya untuk mengurangi stres kerja seperti memberikan pelatihan taknik relaksasi. 6.2.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa sumbangan relatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja adalah 36% pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara dan 64% lainnya disebabkan oleh variabel-variabel lain sehingga bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan permasalahan stres kerja disarankan untuk meneliti aspek lain yang mempengaruhi, seperti masa kerja perawat dan lokasi kerja perawat (diruang rawat inap atau ruang jalan).


(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosi

2.1.1 Pengertian Emosi

Terdapat berbagai definisi mengenai emosi, salah satunya adalah Lazarus dikutip dari Hillman dan Drever (dalam Hude, 2006) yang mendefinisikan emosi merupakan bentuk yang kompleks dari organisme, yang melibatkan perubahan fisik dari karakter yang luas-dalam bernafas, denyut nadi, produksi kelenjar. Sedangkan dari sudut mental adalah suatu keadaan yang senang atau cemas, yang ditandai adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata dari suatu tingkah laku. Jika emosi itu sangat kuat aka menjadi sejumlah gangguan terhadap fungsi intelektual, tingkat disasosiasi dan kecenderungan terhadap tindakan yang bersifat tidak terpuji.

Emosi adalah apa yang tengah dirasakan oleh penerima ketika menerima suatu komunikasi akan mempengaruhi cara ia menerjemahkannya. Pesan yang sama yang diterima pada saat anda marah atau bingung tak jarang diterjemahkan secara berbeda dari ketika anda sedang berbahagia. Emosi-emosi ekstrim seperti rasan girang alang bukan kepalang atau depresi memiliki potensi yang sangat besar untuk menghambat komunikasi yang efektif. Dalam keadaan semacam itu, kita cenderung mengabaikan proses pemikiran rasional dan objektif kita serta menggantikannya dengan penilaian emosional.

Menurut Maramis (dalam Sunaryo, 2013), mendefinisikan emosi adalah manifestasi perasaan atau afek yang keluar yang disertai banyak komponen


(39)

fisiologis, dan biasanya berlangsung tidak lama. Menurut Walgio (dalam Sunaryo, 2013), mengungkapkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan perasaan yang melampaui batas sehingga dapat mengganggu hubungan seseorang dengan lingkungan sekitarnya, seperti ketakutan, kecemasaan, depresi, dan kegembiraan.

Emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap, dan tingkah laku mengejawantah dalam bentuk ekspresi tertentu.Emosi dirasakan secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik. Ketika emosi bahagai meledak-ledak, ia secara psikis member kepuasan, tapi secara fisiologis membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki terasa ringan, juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Namum, hal yang disebutkan ini tidak spesifik terjadi pada semua orang dalam seluruh kesempatan. Kadang kalah orang bahagia, tetapi justru orang meteskan air mata atau kesedihan yang sama tidak membawa kepedihan yang serupa (Hude, 2006).

Menurut Agustian (2005), emosi adalah bahan bakar yang tidak tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penelaran yang tinggi. Emosi menyulut kreativitas, kolaborasi, inisiatif, dan transformer. Menurut Goleman (2000), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan bilogis dan psikologis dan kecenderungan untuk bertindak. Maramis (dalam Sunaryo, 2004), menyatakan emosi adalah manifestasi perasaan atau afek keluar dan disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya berlangsung tidak lama.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang emosi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu proses yang melibatkan terjadinya


(40)

perubahan pada diri seseorang secara fisiologis dan psikologis karena adanya perasaan yang khas serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

2.1.2 Pengertian Kecerdasan Emosi

Istilah kecerdasan emosi pertama kali digunakan pada tahun 1990 oleh Salovey dan Meyer yang kemudian dipopulerkan oleh Goleman. Cooper dan Sawaf (2001), berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan menerapkan secara efektif daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang menusiawi. Suharsono (2004), juga menambahkan kecerdasan emosional tidak hanya mengendalikan fungsi diri, tetapi juga untuk mencerminkan kamampuan dalam mengelola ide, konsep, karya maupun produk.

Menurut Salovey dan Meyer (dalam Mubayyidh, 2006), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau baik emosi dirinya maupun emosi orang lain, dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya.

Weisinger (2006), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah menggunakan emosi secara cerdas, yaitu seseorang membuat emosi menjadi bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri seseorang tersebut. Menurut Goleman (2007), menjelaskan bahwa kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan


(41)

menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam mengenali, memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, mengendalikan perasaannya sendiri, menjalin hubungan serta memotivasi diri sendiri untuk menjadi lebih baik.

2.1.3 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Goleman (2007), menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskan dan memperluas kemampuan tersebut kedalam lima aspek utama yaitu:

1. Kesadaran diri

Kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi didalam dirinya, perasaan, pikiran, dan latar belakang dari tindakannya. Individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya dan pikiran-pikirannya sehingga ia mampu menamakan setiap emosi yang muncul. Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek-aspek lainnya dimana kesadaran diri akan membantu tercapainya aspek-aspek yang lainnya. Menurut Meyer (dalam Goleman, 2007), kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tantang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.


(42)

2. Pengaturan diri

Kemampuan individu untuk mengelola, menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya, dan menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. 3. Motivasi

Kemampuan individu untuk memotivasi diri ketika diri berada didalam keputusasaan, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan, tidak putus asa dan kehilangan harapan ketika menghadapi masalah.

4. Empati

Kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Empati berkaitan dengan kemampuan individu untuk memahami perasaan terdalam orang lain sehingga individu mampu untuk bertanggung rasa danmampu membaca, memahami perasaan, pikiran orang lain hanya dari bahasa non-verbal, ekspresi wajah atau intonasi orang tersebut.

5. Membina hubungan dengan orang lain

Kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut, dan mampu menangani konflik-konflik interpersonal secara efektif. Individu yang memiliki kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan senantiasa menghormati hak-hak orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan


(43)

merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2007).

Dalam buku Goleman yang kedua, Working whith emotional intelligence Goleman (2000), merumuskan aspek yang mempengaruhi kecerdasan emosi adalah sebagai berikut: kerangka kerja kecakapan emosi, kecakapan ini dibagi menjadi dua yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.

1. Kecakapan pribadi, kecakapan ini menentukan bagaimana individu mengelola diri sendiri, terdiri dari:

a. Kesadaran diri, yaitu mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya, dan intuisi, meliputi:

1) Kesadaran emosi: mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.

2) Penilaian diri secara teliti: mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.

3) Percaya diri: keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri. b. Pengaturan diri, yaitu mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri

sendiri, meliputi:

1) Kendali diri: mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang merusak.

2) Sifat dapat dipercaya: memelihara norma dan intergritas. 3) Kewaspadaan: bertanggung jawab atas kinerja pribadi. 4) Adaptibiltas: keluwesan dalam menghadapi perubahan.

5) Inovasi: mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pedekatan, dan informasi-informasi baru.


(44)

c. Motivasi, yaitu kecenderungan emosi yang mengantar dan memudahkan peraihan sasaran, meliputi:

a) Dorongan prestasi: dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.

b) Komitmen: menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau perusahaan.

c) Inisiatif: kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.

d) Optimisme: kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.

2. Kecakapan sosial, yaitu kecakapan yang menentukan bagaimana individu menangani suatu hubungan, tediri dari:

a. Empati, yaitu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain:

1) Memahami orang lain: mengindera perasaan dan perspektif orang lain, dan menunujukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.

2) Orientasi pelayanan: mengantisipasi, mengenali dan berusaha memnuhi kebutuhan pelanggan.

3) Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.

4) Mengatasi keragaman: menumbuhkan perluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang.

5) Kesadaran politis: mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.


(45)

b. Keterampilan sosial, yaitu kepintaran dalam mengunggah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain, terdiri dari:

1) Pengaruh : memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi. 2) Komunikasi: mengirim pesan pesan yang jelas dan meyakinkan. 3) Kepemimpinan: membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok

dan orang lain.

4) Katalisator perubahan: memulai dan mengelola perubahan. 5) Manajemen konflik: negosiasi dan pemecahan silang pendapat. 6) Pengikat jaringan: menumbuhkan hubungan sebagai alat.

7) Kolaborasi dan kooperasi: kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama.

8) Kemampuan tim: menciptakan sinergi kelopok demi memperjuangkan tujuan bersama.

2.1.4 Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (dalam Nggermanto, 2002), kecerdasan emosi dapat dikembangkan, lebih menantang, dan lebih prospek dibandingkan dengan kecerdasan akademik sebab kecerderungan emosi memberi kontribusi lebih besar bagi kesuksesan seseorang. Menurut Agustian (2007), faktor-faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:

1. Faktor Psikologis

Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaa emosi agar termanisfestasi kedalam perilaku


(46)

secara efektif. Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik.Sistem libik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls.

2. Faktor Pelatihan Emosi

Kegiatan dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih.

3. Faktor Pendidikan

Mendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengolahnya melalui pendidikan.Poendidikan tidak hanya berlangsung disekolah.Tetapi juga dilingkungan kerluarga dan masyarakat. Goleman (2000), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah:

1. Faktor LingkunganKeluarga

Lingkungan keluarga adalah guru dan sekolah pertama yang anak terima dalam mempelajari emosi.Orang tua mempaunyai peranan penting dalam masa perkembangan emosi anak ataupun remaja.


(47)

2. Faktor Lingkungan Sekolah

Guru dan lingkungan sekolah mempunyai peranan penting dalam masa perkembangan potensi anak dalam kecerdasan emosi, hal tersebut harus diimbangi dengan teknik-teknik pengajaran dan sistem pendidikan yang tak hanya lebih mendahulukan kecerdasan intelegensi dan mengabaikan perkembangan otak kanan terutama perkembangan emosinya.

3. Faktor Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat berupa perhatian, pujian, nasihat, penerimaan masyarakat, dan juga pengahargaan. Hal tersebut merupakan dukungan terhadap psikis atau psikologis sehingga mampu meningkatkan aspek-aspek kecerdasan emosi.

2.2 Stres Kerja

2.2.1 Pengertian Stres

Stres merupakan keadaan tegang secara biopsikososial karena banyak tugas-tugas perkembangan yang dihadapan orang sehari-hari, baik dalam kelompok sebaya, keluarga, sekolah, maupun pekerjaan (Smet, 1994). Rice (2002), mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang.

Menurut Robin (2003), stres merupakan kondisi dinamik yang didalamnya seorang individu dihadapkan dengan suatu peluang (opportunity), kendala (constraints), atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Stres tidak selalu berdampak buruk bagiindividu. Stres tersebut dalam konteks


(48)

negatif, serta memiliki nilai-nilai positif terutama pada saat stres tersebut menawarkan suatu perolehan yang memiliki potensi (Robbin, 2003).

Selye (dalam Sunaryo, 2004), mengemukakan stres adalah respon menusia yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada didalam dirinya. Cornelli juga menambahkan bahwa stres adalah suatu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan yang mempengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu didalam lingkungan tersebut (Taylor, 2006).

Menurut Anoraga (2006), menyatakan bahwa stres merupakan suatu bentuk tannggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan dilngkungannya yang dirasakan menganggu dan mengakibatkan dirinya terancam (fight or flight respone). Hellen dan Tindle (dalam Wobowo, 2008) menyatakan stres dapat mempengaruhi inidividu, masyarakat, dan organisasi atau perusahaan. Menurut Colman (dalam Nasir & Muhith, 2011), stres merupakan suatu ketegangan yang disebabkan oleh fisik, emosi, sosial, ekonomi, pekerjaa atau keadaan, peristiwa, atau pengalaman yang sulit untuk mengelola atau bertahan.

Berdasarkan beberapa pengetian tentang stres di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi ketegangan yang direspon seseorang terhadap keadaan atau perubahan yang terjadi dilingkungan (keluarga maupaun pekerjaan) yang dirasakan menganggu dan membuat individu merasa tidak nyaman.


(49)

2.2.2 Pengertian Stres Kerja

Stres kerja menurut Greenberg (2004), adalah kombinasi dari sumber-sumber stres pada pekerjaan, karakteristik individu, dan stresor ekstra oraganisasi. Interaksi stresor kerja dengan karakteristik individu, merupakan suatu bagian yang penting ditempat kerja, karakteristik ini termasuk: tingkat kecermasan dan neurotik pekerjaan, toleransi terhadap ambiguitas, dan pola kepribadian. Stres kerja dapat dimaksudkan sebagai suatu persepsi dari tenaga kerja akan adanya ancaman atau tantangan yang menggerakkan, menyiagakan atau membuat aktif dirinya. Tenaga kerja dapat merasakan lingkungan kerjanya sebagai suatu ancaman atau suatu tantangan (Anoraga, 2006).

Menurut Invancevich dan Matteson (dalam Luthans, 2006), medefinisikan stres kerja sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, intuisi, atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik secara berlebihan pada seseorang. Dalam definisi lain, Behr dan Newman (dalam Luthans, 2006), menyatakan stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka menyimpang dari fungsi normal mereka.

Menurut Fraser (dalam Anoraga, 2009), mengemukakan stres kerja adalah stres yang timbul karena adanya perubahan dalam keseimbangan sebuah kompleksitas antara manusia-mesin dan lingkungannya. Fraser mengelompokkan dua macam pekerjaan yang sedikit banyak dapat menimbulkan stres, yakni pekerjaan yang terutama menuntut kekuatan fisik (pekerjaan dengan otot), dan


(50)

pekerjaan yang terutama menuntut keterampilan atau kemahiran (pekerjaan dengan keterampilan).

Menurut Kitcel (dalam Wibowo, 2008), stres kerja merupakan respons fisik dan emosional padakondisi kerja yang berbahaya, termasuk lingkungan dimana pekerjaan memerlukan kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja yang lebih banyak. Stres yang terjadi ditempat kerja menyebabkan organisasi menanggung beban: (1) rendahnya kualitas pelayanan, (2) pergantian staf yang tinggi, (3) reputasi perusahaan menjadi buruk, (4) citra perusahaan menjadi buruk, (5) ketidakpuasan pekerja (Wibowo, 2008).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat diambil kesimpulan bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi negatif dimana seseroang mengalami ketegangan yang mempengaruhi aspek kognisi, afeksi, fisiologis, interpersonal dan organisasional pada pekerja yang disebabkan karena adanya tuntutan dalam menyelesaikan suatu tugas dilingkungan kerja.

2.2.3 Dampak Stres Kerja

Menurut Rice (dalam Waluyo, 2009), pada umunya stres kerja lebih banyak merugikan karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktifitas kerja saja, tetapi dapat memperluas ke aktivitas lain diluar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya (Waluyo, 2009).


(51)

Stres dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu. Konsekuensi-konsekuensi negatif berbentuk perilaku, bersifat psikologis, atau medis. Dari segi perilaku, misalnya menimbulkan tindakan-tindakan yang merusak dan berbahaya, seperti merokok, minum alkohol, makan terlalu banyak, dan terlibat narkoba. Perilaku-perilaku lain dipicu oleh stres adalah kecelakaan, kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain, serta gangguan makan (Griffin, 2003).

Rice (dalam Safaria & Saputra, 2009), menggolongkan reaksi stres bagi individu menjadi beberapa gejala, yaitu:

1. Gejala fisiologis, berupa keluhan seperti sakit kepala, konstipasi, diare, sakit pinggang, urat tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, gangguan pencernaan, berubah selera makan, susah tidur dan kehilangan semangat. 2. Gejala emosional, berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah,

gugup, takut, mudah tersinggung, sedih dan depresi.

3. Gejala interpersonal, berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis, agresif, minder, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan mudah mempersalahkan orang lain.

4. Gelaja oraganisasional, berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja/kuliah, menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan kerja, ketidakpuasan kerja dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.

2.2.4 Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja

Daft (2003), mengidentifikasi stresor kerja yang menempatkannya dalam empat kategori, yaitu:


(52)

1. Tuntutan tugas adalah stresor yang muncul dari tugas yang dituntut oleh seseorang yang memegang pekerjaan tertentu. Beberapa jenis keputusan sifatnya menimbulkan stres: yang dibuat dibawah tekanan waktu, yang mempunyai konsekuensi serius, dan yang harus dibuat dari informasi yang tidak lengkap.

2. Tuntutan fisik adalah stresor yang dikaitkan dengan keadaan dimana individu bekerja.

3. Tuntutan peran adalah tantangan yang dikaitkan dengan peran, ini adalah serangkaian perilaku yang diharapkan seseorang karena posis orang tersebut dalam kelompok. Beberapa orang menghadapi ambiguitas peran (role ambiguty), yang berarti mereka tidak pasti tentang perilaku apa yang diharapkan dari mereka.

4. Tuntutan interpersonal merupakan stresor yang dikaitkan dengan hubungan dalam organisasi. Walaupun dalam beberapa kasus hubungan dalam interpersonal dapat mengurangi stres, hal ini juga dapat menjadi sumber stres ketika kelompok menekan individu atau ketika menjadi konflik.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), menyatakan ada empat jenis utama faktor-faktor dilingkungan kerja yang menyebabkan stres, yaitu:

1. Tingkat individual, yaitu stresor yang bekaitan dengan tugas-tugas kerja seseorang, antara lain: tuntutan pekerjaan, kelebihan beban kerja, ambiguitas peran, pengendalian yang dirasakan atas peristiwa yang muncul dalam lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan.


(53)

2. Tingkat kelompok, yeitu disebabkan oleh dinamika kelompok dan perilaku manajerial. Para manajer menciptakan stres pada karyawan dengan (1) menunjukkan perilaku yang tidak konsisten, (2) gagal memberikan dukungan, (3) menunjukkan kurang kepedulian, (4) memberikan arahan yang tidak memadai, (5) menciptakan suatu lingkungan dengan produktivitas yang tinggi, (6) memfokuskan pada hal-hal negatif sementara itu mengabaikan kinerja yang baik.

3. Tingkat organisasional, meliputi kebudayaan opraganisasi, stuktur, teknologi, dan pengenalan perubahan dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, lingkungan yang tekanan tinggi menempatkan permintaan kerja yang terus-menerus pada karyawan yang akan menyalakan respos stres.

4. Ekstra organiasional, adalah stresor yang disebabklan oleh faktor diluar organiasi. Sebagai contoh, konflik yang berkaitan dengan penyeimbangan kehidupan karier dan keluarga seseorang sangatlah membuat stres.

2.2.5 Sumber Stres dalam Keperawatan

Menurut Abraham dan Shanley (dalam Sunaryo, 2004) menemukan lima sumber stres dalam keperawatan, yaitu:

1. Beban kerja yang belebihan, misalnya merawat terlalu banyak pasien, mengalami kesulitan dalam mempertahankan standar yang tinggi, merasa tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan teman sekerja, dan menghadapi keterbatasan kerja.


(54)

2. Kesulitan menjalin hubungan dengan staff lain, misalnya mengalami konflik dengan teman sejawat, mengetahui orang lain tidak menghargai sumbangsih yang dilakukan, dan gagal membentuk tim kerja dengan staff.

3. Kesulitan dalam merawat pasien kritis, misalnya kesulitan dalam menjalankan peralatan yang belum dikenal, mengelola prosedur atau tindakan baru, dan bekerja dengan dokter yang menuntut jawaban dan tindakan cepat. 4. Berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien, misalnya bekerja dengan

dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan emosional pasien, terlibat dalam ketidaksepakatan pada program tidankan, merasa tidak pasti sejauh mana harus memberi informasi pada pasien atau keluarga, dan merawat pasien sulit dan tidak kerja sama.

5. Merawat pasien yang gagal untuk membaik, misalnya pasien lansia, pasien yang nyeri kronis, dan pasien yang meninggal selama merawat.

2.2.6 Tahapan Stres Kerja

Menurut Amberg (dalam Sunaryo, 2013), bahwa tahapan stres sebagai berikut:

1. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan kelebihan, maupun menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam. 2. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak

segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel


(55)

discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

3. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau jatuh pingsan.

4. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

5. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan keluhan fisik dan mental (phsycal and psychological axhaution), ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung, dan panik.

6. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps.

2.2.7 Mengelola Stres Kerja

Stres kerja dengan kadar sedikit atau banyak, tetap harus dikelola dengan baik. Karena jika dibiarkan saja akan berpengaruh pada kinerja karyawan. Cara-cara mengelola stres kerja menurut Robbin, 2008), yaitu :


(56)

1. Pendekatan Individual

Strategi individual yang terbukti dalam menangani stres kerja dalah menerapkan taknik manajemen waktu, penambahan waktu olahraga, pelatihan relaksasi dan perluasan jaringan dukungan sosial. Dengan manajemen waktu yang baik diharapkan karyawan dapat meningkatkan kinerja dan menghindari stres kerja. Beberapa prinsip manajemen waktu yang banyak diperaktikkan adalah: (1) membuat daftar kegiatan harian yang harus dirampungkan, (2) memperioritaskan kegiatan berdasarkan tingkat kepentingan dan urgensinya, (3)menjadwalkan kegiatan menurut prioritas yang telah disusun, serta (4) memahami siklus harian dan menangani pekerjaan yang paling benyak menuntut perhatian.

2. Pendekatan Organisasional

Menurut Robbin (2008), hal-hal yang dapat dilakukan manajemen untuk mengelola stres kerja karyawan adalah: (1) seleksi personal dan menempatkan kerja yang lebih baik, (2) pelatihan, (3) penetapan tujuan ralistis, (4) pendesainan ulang pekerjaan, (5) peningkatan keterlibatan karyawan, (6) perbaikan komunikasi dalam organisasi, (7) penawaran cuti panjang pada karyawan dan, (8) penyelenggaraan program-program kesejahteraan perusahaan.

Wijono (2011), menyatakan ada beberapa cara yang digunakan untuk mengelola stres dalam organisasi, yaitu:

1. Meningkatkan komunikasi

Salah satu cara yang efektif untuk mengurangi ketidakjelasan peran adalah meningkatkan komunikasi yang efektif diantara manajer dan karyawan, sehingga


(57)

akan nampak garis-garis tugas dan tanggung jawab yang jelas diantara keduanya. Situasi semacam ini dapat mengurangi timbulnya stres kerja dalam organisasi. 2. Sistem penilaian prestasi dan sistem ganjaran yang efektif

Sistem penilaian prestasi dan ganjaran yang efektif perlu diberikan manajer kepada karyawan mereka. Ketika ganjaran diberikan kepada karyawan, karyawan telah menyadari bahwa ganjaran tersebut berhubungan dengan prestasi kerjanya.

3. Meningkatkan Prestasi

Untuk dapat mengurangi ketidakjelasan peran dan konflik peran, pegelola perlu meningkatkan partisipasi karyawan terhadap peroses pengambilan keputusan. Dengan demikian, kesempatan parisipasi yang diberikan oleh manajer kepada karyawan-karyawannya dalam menyumbangkan pikiran atau gagasan-gagasannya, memungkinkan karyawan dapat meningkatkan prestasi dan kepuasan kerja dan mengurangi stres kerjanya.

4. Memperkaya Tugas

Setiap manajer perlu memberikan dan memperkaya tugas kepada karyawan agar mereka dapat lebih bertanggung jawab, lebih mempunyai makna tugas yang dikerjakan, dan lebih baik dalam melaksanakan pengendalian serta umpan balik terhadap produktivitas kerja karyawan baik secara kuantitas maupun kualitas.

5. Mengembangkan keterampilan, kepribadian, dan pekerjaan

Mengembangkan keterampilan, kepribadian dan pekerjaan merupakan salah satu cara untuk mengelola stres kerja didalam organisasi. Pengembangan


(58)

keterampilan dapat diperoleh melalui latihan-latihan yang sesuai dengan kebutuhan karyawan dan oraganisasi atau pengembangan kepribadian yang dapat mendukung usaha pengembangan pekerjaan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Menurut Mangkunegara (2005), adal empat pendekatan yang dilakukan tahap stres kerja, yaitu dukungan sosial (social support), meditasi (meditation), (biofeedback), dan program kesehatan pribadi (personal wellness programs). 1. Pendekatan Dukungan Sosial

Pendekatan ini dilakukan mlalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan sosial kepada kerayawan misanya beramain game, lelucon dan lain-lain. 2. Pendekatan Melalui Meditasi

Pendekatan ini perlu dilakukan oleh karyawan dengan cara berkonsentrasi kedalam pikiran, mengendorkan kerja otot, dan menenangkan emosi.

3. Pendekatan Melalaui Biofeedback

Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis, bimbingan dokter, psikiater, dan psikolog sehingga karyawan dapat menghilangkan stres yang dialaminya.

4. Pendekatan Kesehatan Pribadi

Pendekatan ini merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinnya stres. Dalam hal ini karyawan secara priode waktu kontinu memeriksa kesehatan, pengaturan gizi dan olahraga secara teratur.


(59)

2.3 Keperawatan

2.3.1 Keperawatan Jiwa

Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkontribusi pada fungsi yang terintegrasi. Pasien atau sistem klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, oraganisasi komunitas (Stuart &Sundeen, 1998). Menurut ANA (American Nurses Association) (dalam Stuart & Sundeen, 1998), medefinisikan keperawatan kesehatan mental sebagai suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan pengunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya. Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu-ilmu psikososial, biofisik, teori-teori kepribadian dan perilaku manusia untuk menurunkan suatu kerangka kerja yang menjadi landasan praktik keperawatan (Stuart & Sundeen, 1998).

Perawat pada keperawatan jiwa adalah individu yang memberikan pelayanan keperawatan profesional yang berorientasi pada usaha peningkatan motivasi dalam rangka mengubah perilaku maladaptif menuju perilkau adaptif dengan pendekatan bio, psiko, sosial, dan kultural melalui penggunaan diri secara terapeutik yang didasarkan pada ilmu perilaku dengan tujuan meningkatkan, mencegah dan mempertahankan status kerjiwaan melalui proses interpersonal (Nasir dan Muhith, 2011).

2.3.2 Tugas-Tugas Perawat

Menurut Nasir dan Muhith (2011), asuhan kompeten bagi perawat jiwa adalah sebagai berikut:


(60)

1. Pengkajian biopsikososial yang peka terhadap budaya.

2. Merancang dan implementasi rencana tindakan untuk klien dan keluarga. 3. Peran serta dalam pengelolaan kasus: mengorganisasi, mengkaji, negosiasi,

serta koordinasi pelayanan bagi individu dan keluarga.

4. Memberikan pedoman pelayanan bagi individu, keluarga, kelompok, untuk menggunakan sumber yang tersedia dokomunitas kesehatan mental, termasuk, termasuk pelayanan terkait, serta teknologi dan sistem sosial yang paling tepat.

5. Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental serta mengatasi pegaruh penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.

6. Memberikan asuhan keperawatan pada penyakit fisik yang mengalami masalah psikologis dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.

7. Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan klien, keluarga, staff, dan pembuat kebijakan.

2.4 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat

Menurut Atkinson (2006), emosi biasanya dibangkitkan oleh peristiwa eksternal, dan rekasi emosinal ditujukan kepada persitiwa tersebut. Atkinson (2006), juga membedakan emosi hanya dua jenis yakni emosi nyang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi seseorang di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya bergantung pada akibat yang ditimbulkan baik terhadap individu sendiri maupun dengan orang lain (Martin, 2003).


(1)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 34

Tabel 4.1 Aitem-Aitem Pernyataan Skala Kecerdasan Emosi ... 40

Tabel 4.2 Aitem-Aitem Pernyataan Skala Stres Kerja ... 42

Tabel 5.1 Distribusi Freskuensi dan Persentase Responden Berdasarkan

Karakteristik Responden di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem ... 48

Tabel 5.2 Kategori Tingkat Kecerdasan Emosi Perawat Kerja di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara ... 49

Tabel 5.3 Kategori Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara ... 50

Tabel 5.4 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara 51


(2)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman


(3)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ... 67

Lampiran 2. Lembar Data Demografi ... 68

Lampiran 3. Surat Izin Survey Awal... 78

Lampiran 4. Surat Selesai Survey Pendahuluan ... 79

Lampiran 5. Komisi Etik ... 80

Lampiran 6. Surat Ijin Uji Reliabilitas ... 81

Lampiran 7. Surat Balasan Uji Reliabilitas ... 82

Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ... 83

Lampiran 9. Surat Selesai Penelitian ... 84

Lampiran 10. Hasil Uji Reliabilitas Kecerdasan Emosi ... 85

Lampiran 11. Hasil Uji Reliabilitas Stres Kerja ... 87

Lampiran 12. Data Demografi ... 89

Lampiran 13. Uji Normalitas, Uji Lenearitas, dan Uji Hipotesis Skala Kecerdasan Emosi dan Skala Stres Kerja ... 92


(4)

Lampiran 14. Hasil Analisis Aspek Variabel Skala Kecerdasan Emosi dan Skala

Stres Kerja ... 93

Lampiran 15. Master Tabel Kecerdasan Emosi ... 94

Lampiran 16. Master Tabel Stres Kerja ... 96

Lampiran 17. Jadwal Tentatif Penelitian ... 98

Lampiran 18. Taksasi Biaya Penelitian ... 99


(5)

Judul : Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Propinsi Sumatera Utara

Nama Mahasiswa : Johana Saoria

NIM : 141121002

Jurusan : Sarjana Keperawatan Ekstensi

Tahun : 2016

Abstrak

Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling lama berhubungan dengan pasien, berhadapan dengan pasien yang penyakitnya beragam dan tuntutan pekerjaan dapat menjadi salah satu sumber stres yang kuat pada perawat dalam bekerja sehingga dibutuhkan kecerdasan emosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Subjek penelitian adalah 56 perawat yang terlibat langsung dalam memberikan langsung asuhan keperawatan jiwa pada pasien. Tehnik pengambilan sampel menggunakan non probability sampling dengan purposive sampling. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner kecerdasan emosi sebanyak 26 aitem dan skala stres kerja 33 item. Analisa data menggunakan tehnik korelasi Pearson dari statistik parametrik dengan koefisioen korelasi r = -0.598 dan p = 0.00 (p < 0.01). Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi negatif signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada perawat yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah stres kerja, begitu pula sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi stres kerja yang dialami oleh perawat tersebut. Dengan adanya penelitian ini diharapkan Rumah sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera utara perlu mengalokasikan dana untuk kegiatan merancang program penelitian kecerdasan emosi yang difokuskan pada bidang self awareness, self management, self motivation dan anger management bagi perawat yang memiliki kecerdasan emosi rendah yang bertujuan untuk membantu perawat dalam melatih kemampuan mengontrol emosi sehingga dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus menimbulkan stres yang nantinya akan menghambat kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang optimal.


(6)