Hubungan Gaya Kepemimpinan Melayani dan Budaya Organisasi dengan Motivasi Berprestasi Karyawan Credit Union Modifikasi (C.U.M) HKBP

BAB II:
LANDASAN TEORI

A. MOTIVASI BERPRESTASI
1. Pengertian Motivasi Berprestasi
Motivasi dalam bahasa Inggris disebut motivation yang berasal dari bahasa Latin
movere yang berarti „menggerakkan‟ (Steers & Porter, 1991). Luthans (2006) mengatakan
bahwa motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau psikologis yang
menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif. Motivasi ini
mencakup tiga elemen yang berinteraksi dan saling tergantung yaitu kebutuhan, dorongan,
dan insentif. Kebutuhan membentuk dorongan yang bertujuan pada insentif.
Motivasi menurut Winkel (1997) adalah sebagai daya penggerak dari dalam diri
individu dengan maksud mencapai kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu.
Chaplin (1999) mendefinisikan motivasi sebagai variabel penyelang yang digunakan untuk
menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola,
mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju suatu sasaran.
As‟ad (2003) menyatakan bahwa motivasi seringkali diartikan dengan istilah
dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat
sehingga motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan manusia untuk
bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu.
McClelland (1987) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kebutuhan yang bersifat

sosial, kebutuhan yang muncul akibat pengaruh eksternal. Ia kemudian membagi kebutuhan
tersebut menjadi tiga, yaitu: kebutuhan berkuasa (need for power), kebutuhan berprestasi
(need for achievement), kebutuhan berteman (need for affiliation).

29

Menurut McClelland (1987), motivasi berprestasi adalah daya penggerak yang
memotivasi semangat bekerja seseorang, yang mendorong seseorang untuk mengembangkan
kreativitas dan menggerakkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi
mencapai prestasi kerja yang maksimal.
Schultz & Sidney (1994) juga memberi defenisi yang hampir sama bahwa motivasi
berprestasi merupakan suatu dorongan atau kebutuhan dalam diri individu untuk meraih hasil
atau prestasi tertentu.
Heckhausen (1967) menjabarkan bahwa motivasi berprestasi sebagai usaha keras
individu untuk meningkatkan atau mempertahankan kecakapan diri setinggi mungkin dalam
semua aktivitas dengan menggunakan standar keunggulan sebagai pembanding. Standar
keunggulan yang dimaksud adalah berupa prestasi orang lain atau prestasi sendiri yang
pernah diraih sebelumnya.
Sementara itu, menurut Santrock (2003), motivasi berprestasi adalah keinginan untuk
menyelesaikan sesuatu demi tercapainya suatu standar kesuksesan atau melakukan usaha

dengan tujuan untuk mendapatkan suatu kesuksesan.
Individu yang menunjukkan motivasi berprestasi menurut McClelland adalah mereka
yang task-oriented dan siap menerima tugas-tugas yang menantang dan kerap mengevaluasi
tugas-tugasnya dengan beberapa cara seperti membandingkan dengan hasil kerja orang lain
atau dengan standar tertentu. Selain itu McClelland juga mengartikan motivasi berprestasi
sebagai standard of exellence yaitu kecenderungan individu untuk mencapai prestasi secara
optimal (McClelland,1987).
Dengan mengutip pendapat Atkinson dan Raynor, Santrock (2003) menambahkan
bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memiliki harapan untuk
sukses yang lebih besar daripada ketakutan akan kegagalan, serta tekun pada setiap usahanya
ketika menghadapi tugas dan keadaan yang sulit.

30

Individu yang dimotivasi dengan motif ini akan cenderung aktif, pekerja keras,
menetapkan tujuan yang tinggi, menyukai tugas yang menantang, merasa senang bila berhasil
mengerjakan tugas sulit dan melihat kepada kualitas. Individu dengan motivasi berprestasi
yang tinggi akan mengerjakan sesuatu secara optimal karena mengharapkan hasil yang lebih
baik dari standard yang ada (Fortune, Lee, & Cavagos, 2005). Adanya motivasi berprestasi
membuat seseorang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjalankan semua

kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai target-target
tertentu yang harus dicapainya (McCelland, 1987).
Dari berbagai pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah
suatu dorongan yang menggerakkan seseorang untuk menggunakan seluruh kemampuannya
dalam menyelesaikan pekerjaannya demi meraih prestasi yang paling baik.
2. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi
Ada beberapa aspek dari individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang
dijabarkan oleh McClelland (1987) yakni sebagai berikut:
a) Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba setiap
tugas yang menantang tetapi mampu untuk diselesaikan, sedangkan orang yang
memiliki motivasi berprestasi rendah akan enggan melakukannya. Mereka yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas dengan taraf kesulitan
sedang yang dianggap realistis sesuai dengan kemampuannya untuk melakukan
tuntutan pekerjaan. Orang yang bermotivasi berprestasi rendah hanya menyukai
tugas-tugas dengan kesulitan taraf rendah. Robbins (2002) menambahkan bahwa
orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menyukai tugas-tugas yang
menantang serta berani mengambil resiko yang diperhitungkan untuk mencapai suatu
sasaran yang telah ditentukan.


31

b) Bertanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya
Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memilih untuk bertanggung
jawab secara pribadi terhadap performanya. Mereka akan memperoleh kepuasan
setelah melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tanggung jawab personal terhadap
tugas yang dilakukan. Mereka juga mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan
pekerjaan sampai tuntas, dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum
terselesaikan. Sementara yang memiliki motivasi berprestasi rendah lebih suka
melemparkan tanggung jawab kepada orang lain dan enggan menuntaskan suatu tugas
yang menjadi tanggung jawabnya.
c) Menyukai umpan balik
Umpan balik merupakan aspek penting dalam proses motivasi karena dapat
memberikan informasi kepada karyawan apakah hasil kerjanya telah berhasil
mencapai hasil seperti yang diharapkan. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi menganggap umpan balik sebagai hadiah karena mereka ingin mengetahui
seberapa baik mereka mengerjakan tugas tersebut. Individu yang memiliki motivasi
berprestasi yang tinggi mengharapkan umpan balik dan membandingkan hasil
kerjanya dengan hasil kerja orang lain dengan suatu ukuran keunggulan yaitu
perbandingan dengan prestasi orang lain atau standar tertentu. Individu tersebut

senang mendapatkan umpan balik yang tepat, cepat dan jelas dari apa yang telah
mereka kerjakan. Umpan balik menunjukkan seberapa baik mereka telah bekerja.
Mereka selalu mengontrol hasil kerja mereka karena tidak suka mengambil risiko
untuk gagal. Sedangkan bagi orang yang memiliki motivasi berprestasi rendah
cenderung tidak menyukai umpan balik dan kurang senang jika kinerjanya
dibandingkan dengan kinerja orang lain.

32

d) Inovatif
Mereka yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi juga selalu berupaya untuk
lebih inovatif, menemukan cara baru yang lebih baik dan efisien untuk menyelesaikan
pekerjaan mereka. Mereka didorong oleh motif efisiensi, dimana mereka
memperhitungkan keefisienan ketika melakukan sesuatu dengan lebih baik. Mereka
senang mencari informasi untuk menemukan cara menyelesaikan tugas dengan lebih
baik dan menghindari cara kerja yang monoton dan rutin. Mereka yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi akan mencari kesempatan yang menantang mulai dari yang
mampu mereka lakukan sampai pada sesuatu kesempatan yang sedikit lebih
menantang. Ketika orang yang memiliki kebutuhan berprestasi meraih kesuksesan
pada tugas dengan taraf kesulitan sedang, maka mereka akan terus meningkatkan

level aspirasi mereka dengan cara yang realistis, sehingga dapat bergerak menuju
tugas yang lebih sulit dan lebih menantang. Sementara itu, orang yang memiliki
motivasi berprestasi rendah cenderung tidak ingin mengubah cara kerjanya dan lebih
suka bekerja yang monoton.
e) Ketahanan
Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memiliki ketahanan kerja yang
lebih tinggi dalam mengerjakan tugas dibanding dengan orang dengan motivasi
berprestasi rendah yang mudah bosan atau jenuh. Individu tdengan motivasi
berprestasi tinggi umumnya mampu bertahan terhadap tekanan sosial yang ada. Orang
dengan motivasi berprestasi tinggi percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan
pekerjaannya dengan tepat dan baik serta mampu mengerjakan pekerjaan yang serupa
dengan hasil yang lebih baik di masa yang akan datang.

33

Dari ciri-ciri ini dapat diketahui bahwa individu dengan kebutuhan berprestasi tinggi
memiliki orientasi yang besar pada tugasnya. Individu yang mencari kesuksesan lebih
memilih tugas yang agak sulit dengan imbalan yang seimbang. Di samping itu, individu
dengan motivasi berprestasi tinggi akan sukses dalam lingkungan kompetitif, yaitu
lingkungan yang menuntut mereka bersaing secara sehat dengan rekan kerjanya (McClelland

(1987); Steers & Porter, 1991). McClelland juga menambahkan bahwa motivasi berprestasi
tinggi ini merupakan motivasi yang dipelajari yaitu motivasi yang diperoleh manusia dari
pengalaman pada masa awal kehidupan terutama dari orang tua. Motivasi berprestasi ini juga
dapat ditingkatkan melalui program pelatihan (McClelland, 1987; Steers & Porter, 1991).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
McClelland (1987) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
a) Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor-faktor
intrinsik yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah:
1) Kemungkinan sukses yang dicapai
Mengacu pada persepsi individu tentang kemungkinan sukses yang akan dicapai
ketika melakukan tugas. Semakin tinggi persepsi individu tentang kemungkinan
sukses yang dicapai maka individu tersebut akan semakin termotivasi untuk
berprestasi.
2) Self-efficacy
Mengacu pada keyakinan individu pada dirinya untuk mampu mencapai sukses.
Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang maka individu akan semakin


34

termotivasi untuk berprestasi. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
yakin bahwa diri mereka mampu mengerjakan suatu tugas.
3) Value
Mengacu pada pentingnya tujuan bagi individu. Dengan melakukan sesuatu yang
lebih baik, maka itu dapat memberikan pengaruh penting terhadap diri mereka.
Individu yang menilai bahwa tujuan itu sangat penting akan membuat individu
tersebut akan semakin termotivasi untuk mencapainya karena nilai dapat
mengaktifkan usaha individu untuk mencapai performa yang lebih baik.
4) Ketakutan terhadap kegagalan
Mengacu pada perasaan individu tentang kegagalan yang akan membuat individu
untuk semakin termotivasi sebagai upaya untuk mengatasi kegagalan. Individu
dengan motivasi berprestasi tinggi akan selalu berusaha supaya tugas yang ia
kerjakan tidak mengalami kegagalan.
5) Faktor lainnya yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin, usia, kepribadian dan
pengalaman kerja.
McClelland menjelaskan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi motivasi
berprestasi seseorang. Laki-laki memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi
karena laki-laki lebih dilatih untuk aktif, kompetitif, dan mandiri daripada

perempuan karena perempuan lebih pasif, selalu bergantung pada orang lain dan
kurang percaya diri. Usia juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi
seseorang. Kualitas motivasi berprestasi mengalami perubahan sesuai dengan usia
individu. Motivasi berprestasi individu tertinggi pada usia 20-30 tahun, dan
mengalami penurunan setelah usia pertengahan.
b) Faktor Ekstrinsik

35

Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi
seseorang yang bersumber dari luar diri individu tersebut. Faktor ekstrinsik ini dapat
berupa kepemimpinan, hubungan antar rekan sekerja, sistem pembinaan dan
pelatihan, sistem kesejahteraan, lingkungan fisik tempat kerja, budaya organisasi,
status kerja, administrasi dan kebijakan perusahaan (Herzberg, 1990; Siagian, 2001).
Zainuddin (2004) menegaskan bahwa status kerja, upah, keamanan kerja, kesempatan
karir dan lain-lain akan memberikan andil terhadap munculnya motivasi berprestasi.

B. GAYA KEPEMIMPINAN MELAYANI
1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Melayani
Menurut Robbins (2002) kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi suatu

kelompok ke arah pencapaian tujuan. Menurut Kartono (2006), kepemimpinan merupakan
kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu
mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka menjadi conform
dengan keinginan pemimpin. Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi dalam
menentukan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi
untuk memperbaiki kelompok dan budayanya (Rivai, 2003).
Ahli lain mengutarakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk
mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya
demi efektifitas dan keberhasilan organisasi (House & Shamir, 1993; Yukl, 1998).
Barry & Derek (1993) menyebutkan bahwa peran kepemimpinan memiliki dampak
signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja karyawan. Pemimpin dikatakan tidak berhasil
apabila tidak dapat memotivasi, menggerakkan dan memuaskan pegawai pada suatu
pekerjaan dan lingkungan tertentu. Peran pemimpin adalah mendorong bawahan supaya

36

memiliki kompetensi dan kesempatan berkembang dalam mengantisipasi setiap tantangan
dan peluang dalam bekerja.
Gagasan mengenai kepemimpinan melayani (servant leadership) sebenarnya telah
menjadi perhatian sejak tahun 1960. Greenleaf dipandang sebagai salah satu pelopor revolusi

baru dalam pemikiran kepemimpinan. Pada tahun 1970, Greenleaf menerbitkan sebuah buku
yang berjudul The Servant as Leader yang menerangkan bahwa servant leadership adalah
kepemimpinan yang secara alami menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas
tertinggi dan seorang pemimpin mengerti bahwa memimpin itu adalah menjadi pelayan
terlebih dahulu (Spears, 2010). Dengan kata lain, servant leadership merupakan seorang
pemimpin yang sangat peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya
serta komunitasnya, karena itu ia mendahulukan hal-hal tersebut daripada pencapaian ambisi
pribadi (personal ambitious) dan kesukaannya semata.
Banyak ahli yang mencoba membandingkan servant leadership dengan bentuk
kepemimpinan yang lain. Bass, et al. (2003) dalam diskusinya tentang transformational
leadership dengan bentuk kepemimpinan yang lain menyatakan bahwa terdapat banyak
kesamaan servant leadership dengan transformational leadership. Kesamaan tersebut terkait
dengan karakteristik vision, influence, credibility, trust, dan service. Namun, servant
leadership mempunyai tingkat lebih tinggi dari transformational leadership karena terdapat
penyamaan (alignment) motif pemimpin dan bawahan.
“The servant-leader is servant first. It begins with the natural feeling that one wants
to serve...” (Greenleaf, 1977). Faktor utama dalam kepemimpinan melayani dimulai dengan
perasaan alami ingin melayani. Kewajiban utama dari pemimpin adalah melayani kebutuhan
dan kepentingan orang lain. Senjaya (2003) menegaskan bahwa servant leadership sematamata bukan hanya melayani untuk mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk melayani sebagai
hasilnya. Kepemimpinan

melayani memfasilitasi bawahannya atau anggotanya untuk

37

mencapai tujuan yang diharapkan (Smith, Montagko, & Kuzmenko, 2004). Servant
leadership memandang kepemimpinan bukan status atau posisi, tetapi sebagai kesempatan
untuk melayani sebagai bentuk dalam mengembangkan orang lain dengan sepenuhnya.
Chandra (2005) mengatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin yang
melayani bila memiliki hati yang melayani. Artinya ia meletakkan kebutuhan dan minat
orang lain di atas minat dan kebutuhan dirinya. Seringkali ia melakukan hal ini karena ia
pernah merasakan dilayani seseorang, mengalami pemulihan karena ditolong seorang
pemimpin, atau mampu mengembangkan visi yang tajam karena dialog dengan seorang
pemimpin dan sebagainya.
Servant leadership merupakan suatu tipe atau model kepemimpinan yang
dikembangkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan berupa menurunnya kepercayaan
follower terhadap keteladanan pemimpinnya (Mukasabe, 2004). Hal ini karena perilaku yang
dicerminkan dari seorang servant leaders yaitu cenderung menjadi teladan untuk
mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya. Contoh perilaku servant leaders misalnya
mendengarkan pendapat dari anak buahnya (altruistic calling), menyembuhkan rasa
emosional yang sedang bergejolak pada anak buahnya (emotional healing), bijaksana dalam
mengambil

keputusan

(wisdom),

lebih

mengutamakan

tindakan-tindakan

persuasif

(persuasive mapping) dari pada otoritas posisional seseorang (organizational stewardship)
(Barbuto & Wheeler, 2006). Selain itu, servant leaders biasanya terjun langsung didalam
organisasi untuk bisa membangun dan mendorong karyawannya untuk terus berkembang. Hal
ini bisa berupa memberikan pelayananan dan pertolongan apabila karyawan mengalami
kesulitan dalam organisasi.
Dari berbagai defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan melayani
adalah kepemimpinan yang sangat memperhatikan kepentingan pengikut dan komunitasnya,

38

mendahulukan pelayanan terhadap orang lain daripada dirinya sendiri, dan berusaha
mengembangkan diri pengikutnya.

2. Fungsi Kepemimpinan
Nahavandi (2000) mengutip pandangan Stephen Covey menyebutkan bahwa terdapat
4 fungsi kepemimpinan:
a. Fungsi Perintis (Pathfinding):
Upaya pemimpin memahami dan memenuhi kebutuhan utama para stakeholders, misi
dan nilai-nilai yang dianutnya serta yang berkaitan dengan visi dan strategi, yaitu
kemana perusahaan akan dibawa dan bagaimana caranya agar sampai kesana.
b. Fungsi Penyelaras (Aligning):
Pemimpin mampu menyelaraskan keseluruhan sistim dalam organisasi perusahaan
agar mampu saling bekerja dan saling sinergis.
c. Fungsi Pemberdayaan (Empowering):
Kemampuan pemimpin untuk menumbuhkan lingkungan agar setiap orang mampu
melakukan yang terbaik dan selalu mempunyai komitmen yang kuat. Pemimpin harus
memahami sifat pekerjaan yang diemban dan yang diembankannya kepada orang lain.
Ia harus tahu siapa mengerjakan apa.
d. Fungsi Panutan (Modeling):
Pemimpin harus menjadi panutan bagi anggotanya. Bagaimana dia bertanggung jawab
atas tutur kata, sikap, perilaku, dan keputusan yang diambilnya. Sejauh mana ia
melakukan apa yang dikatakannya.

3. Aspek-aspek Kepemimpinan Melayani

39

Setelah mempertimbangkan tulisan Greenleaf secara hati-hati, Spears (2010)
mengidentifikasi 10 karakteristik kepemimpinan melayani, yaitu:
1) Listening
Secara tradisional, pemimpin dinilai dari keterampilan mereka berkomunikasi dan
megambil keputusan. Hal itu penting, tetapi pemimpin juga harus terdorong dengan
penuh komitmen untuk mendengar orang lain secara intens. Servant leader berusaha
mengidentifikasi kemauan kelompok dan menolong untuk memperjelasnya. Servant
leader bersedia mendengarkan apa yang dikatakan (said) dan yang tak dikatakan
orang lain (unsaid). Listening ini termasuk kemampuan mendengar suara dari dalam
diri seseorang (inner voice).
2) Empathy
Servant leader berusaha memahami dan berempati atas orang lain sebab tiap orang
ingin diterima dan diakui atas keunikan mereka masing-masing. Keberhasilan servant
leader adalah ketika ia mampu menjadi pendengar yang penuh empati.
3) Healing
Penyembuhan suatu hubungan merupakan kekuatan yang mendorong transformasi
dan integrasi. Kekuatan servant leader adalah ketika ia mampu menyembuhkan diri
seseorang dan hubungan seseorang dengan yang lain. Banyak orang yang jiwanya
remuk dan menderita karena bergam luka emosional. Meski ini merupakan hakikat
manusia, tetapi servant leader bersedia untuk menolong mereka.
4) Awareness
Kesadaran yang umum dan kesadaran diri yang khusus menguatkan servant leader.
Kesadaran menolong seseorang dalam memahami isu-isu seperti etika, kekuatan, dan
nilai. Itu juga berarti bahwa ia mampu memandang situasi secara integral dan
menyeluruh.

40

5) Persuasion
Servant leader mampu meyakinkan orang lain, bukan dengan memakasa. Ia bisa
efektif membangun kesepakatan di dalam kelompok.
6) Conceptualization
Servant leader berusaha menjaga kemampuan mereka untuk memimpikan impian
yang lebih besar. Ia memiliki kemampuan untuk melihat masalah atau organisasi dari
sebuah perspektif yang terkonseptualisasi dan berpikir melampaui realitas sehari-hari.
Ia mampu membuat sasaran operasional jangka panjang. Cara berpikirnya luas. Ia
mampu menyeimbangkan cara berpikir konseptual dengan pendekatan operasional
sehari-hari.
7) Foresight
Sangat berkaitan dengan konseptualisasi, yaitu kemampuan meramalkan akibat dari
suatu situasi yang sulit didefenisikan, tetapi mudah diidentifikasi. Kemampuan
melihat ke depan memampukannya memahami tugas di masa lalu, realitas saat ini,
dan konsekuansi sebuah keputusan di masa depan.
8) Stewardship
Block (1993) mendefenisikan stewardship sebagai “holding something in trust for
another”. Servant leader ini mengutamakan komitmen untuk melayani kebutuhan
orang lain. Ia lebih menekankan penggunaan keterbukaan dan persuasi, ketimbang
kontrol.
9) Commitment to the Growth of People
Servant leader yakin bahwa orang lain memiliki nilai intrinsik melampaui kontribusi
tangible mereka sebagai pekerja. Pemimpin sangat menekankan tanggung jawab
untuk mengembangkan karyawan secara personal dan secara profesional. Hal
dilakukan misalnya dengan memperhatikan dengan seksama pendapat orang lain,

41

melibatkan karyawan dalam membuat keputusan, dan menolong karyawan yang
terkena PHK.
10) Building Community
Pemimpin berusaha mencari berbagai cara untuk membangun suatu komunitas yang
baik di tempat kerja.
Wong & Page (2003) mengajukan kerangka kerja konseptual untuk mengukur servant
leadership dalam 4 kategori, yaitu:
1) Character-orientation, berkenaan dengan sikap pemimpin; fokus pada nilai,
kredibilitas dan motif pemimpin (contoh: integritas, humility, dan servanthood);
2) People-orientation, berkenaan dengan mengembangkan sumber daya manusia;
fokus pada hubungan pemimpin dengan bawahan dan komitmen pemimpin untuk
mengembangkan mereka (contoh: caring for others, empowering others,
developing others);
3) Task-orientation, berkenaan dengan pencapaian produktivitas dan keberhasilan;
fokus pada tugas pemimpin dan keterampilan yang diperlukan untuk berhasil
(contoh: visioning, goal setting, dan leading);
4) Process-orientation, berkenaan dengan peningkatan efisiensi organisasi; fokus
pada kemampuan pemimpin untuk mengembangkan sistem terbuka, efisien dan
fleksibel.
Perilaku servant leadership yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Servant Leadership
Scale dari Barbuto & Wheeler (2006) terdiri dari 5 (lima) dimensi, yaitu: altruistic calling,
emotional healing, wisdom, persuasive mapping, dan organizational stewardship.
Jika digabungkan, maka kategori characteristic-orientation diwakili oleh wisdom,
humility; people-orientation diwakili oleh altruistic calling dan emotional healing; task-

42

orientation diwakili oleh organizational stewardship, persuasive mapping, dan vision;
process-orientation diwakili oleh service.
Berdasarkan toeri Spears (2010), Wong & Page (2003) serta Barbuto & Wheeler
(2006) di atas, Wike dan Meily (2012) memodifikasinya menjadi 8 aspek kepemimpinan
melayani, yaitu:
1) Altruistic calling
Menggambarkan hasrat yang kuat dari pemimpin untuk membuat perbedaan positif
pada kehidupan orang lain dan meletakkan kepentingan orang lain di atas
kepentingannya sendiri dan akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
bawahannya.
2) Emotional healing
Menggambarkan

komitmen

seorang

pemimpin

dan

keterampilannya

untuk

meningkatkan dan mengembalikan semangat bawahan dari trauma atau penderitaan.
3) Wisdom
Menggambarkan pemimpin yang mudah untuk menangkap tanda-tanda di
lingkungannya, sehingga memahami situasi dan memahami implikasi dari situasi
tersebut.
4) Persuasive mapping
Menggambarkan sejauhmana pemimpin memiliki keterampilan untuk memetakan
persoalan dan mengkonseptualisasikan kemungkinan tertinggi untuk terjadinya dan
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu ketika mengartikulasikan peluang.
5) Organizational stewardship
Menggambarkan sejauh mana pemimpin menyiapkan organisasi untuk membuat
kontribusi positif terhadap lingkungannya melalui progam pengabdian masyarakat

43

dan pengembangan komunitas dan mendorong pendidikan tinggi sebagai satu
komunitas.
6) Humility
Mengambarkan kerendahan hati pemimpin, serta menempatkan dan menghargai
prestasi orang lain lebih daripada prestasi sendiri.
7) Vision
Menggambarkan sejauhmana pemimpin mencari komitmen semua anggota organisasi
terhadap visi bersama dengan mengajak anggota untuk menentukan arah masa depan
organisasi dan menuliskan visi bersama.
8) Service
Menggambarkan sejauhmana pelayanan dipandang sebagai inti dari kepemimpinan
dan pemimpin menunjukkan perilaku pelayanannya kepada bawahan.

Semua karakteristik dari servant leadership tersebut tidaklah saling terpisah satu
dengan yang lainnya, tetapi keseluruhannya menunjukkan suatu kesatuan yang saling
mendukung (Spears, 2010).

44

C. BUDAYA ORGANISASI
1. Pengertian Budaya Organisasi
Setiap organisasi memiliki budaya. Pada hakikatnya budaya merupakan faktor
terpenting dalam menentukan keberhasilan organisasi mencapai tujuannya (Soeroso, 2003).
Menurut Ndraha (2003) yang mengutip Piti Sithi-Amnuai, begitu organisasi berdiri,
pembentukan budayanya pun dimulai. Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota
organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah yang menyangkut perubahanperubahan eksternal, maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan
organisasi.
Budaya organisasi sering diartikan sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut
oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dan organisasi-organisasi lain
(Schein, 1992). Dengan demikian, dalam suatu budaya organisasi yang kuat, nilai inti
organisasi itu dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak
anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai itu,
makin kuat budaya tersebut.
Robbins (2002) mengatakan budaya organisasi merupakan suatu sistem pengertian
bersama yang dipegang oleh anggota suatu organisasi yang membedakan organisasi tersebut
dari organisasi lainnya. Budaya organisasi merupakan pengendali arah dalam membentuk
sikap dan perilaku para anggota di dalam suatu organisasi. Secara individu maupun kelompok
seseorang tidak akan terlepas dari budaya organisasi dan pada umumnya anggota organisasi
akan dipengaruhi oleh beraneka ragamnya sumber daya yang ada.
Budaya merupakan seperangkat asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan
persepsi yang dimiliki bersama oleh anggota kelompok dalam suatu organisasi, yang
membentuk dan mempengaruhi sikap, perilaku, serta petunjuk dalam membentuk dan

45

mempengaruhi sikap, perilaku, serta petunjuk dalam memecahkan masalah (Gibson et.al,
1996).
Mangkunegara (2000) menyimpulkan pengertian budaya organisasi sebagai
seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam
organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi
masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Dari beberapa pandangan di atas, bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah
suatu sistem pengertian bersama yang dianut oleh anggota suatu organisasi yang menciptakan
pola keyakinan, nilai, dan harapan sehingga hal tersebut membedakannya dari organisasi
yang lain.
Menurut Cartwright (1999), perilaku, kepribadian, dan sikap kerja orang-orang dalam
suatu organisasi dibentuk oleh budaya yang terdapat dalam organisasi tersebut. Hal ini
menunjukkan betapa krusialnya budaya organisasi dalam mempengaruhi motivasi dan
kinerja, baik pemimpin maupun karyawan, dalam suatu organisasi ataupun perusahaan.
Menurut Agung & Lilik (2007), ada tiga macam proses terbentuknya budaya
perusahaan, yaitu budaya diciptakan oleh pendirinya; budaya terbentuk sebagai upaya
menjawab tantangan dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal; dan budaya
diciptakan oleh tim manajemen sebagai cara untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara
sistematis.

2. Peran dan Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Robbins (2002), peran atau fungsi budaya di dalam suatu organisasi adalah:
a. Sebagai tapal batas yang membedakan secara jelas suatu organisasi dengan organisasi
yang lain.
b. Memberikan rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.

46

c. Memudahkan penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih luas daripada
kepentingan individu.
d. Mendorong stabilitas sistem sosial, merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi.
e. Membentuk rasa dan kendali yang memberikan panduan dan membentuk sikap serta
perilaku karyawan.
Menurut Bratakusumah (2002) nilai-nilai (values) adalah ukuran yang mengandung
kebenaran dan kebaikan tentang keyakinan dan perilaku organisasi yang paling dianut dan
digunakan sebagai budaya kerja dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan
misi dan visi organisasi.
Menurut Hofstede (1997), nilai-nilai yang terbentuk di dalam suatu organisasi kerja,
sumbernya dari masyarakat yang kemudian dibawa ke dalam organisasi ketika seseorang
menjadi anggota organisasi kerja tertentu. Nilai-nilai dari suatu masyarakat diyakini dominan
mempengaruhi budaya perusahaan tempat organisasi berada. Nilai terbentuk mulai dari
keluarga, sosial, sekolah dan universitas. Nilai-nilai budaya merupakan gejala kolektif dan
lebih mencerminkan gejala komunitas. Hofstede juga menyimpulkan bahwa nilai-nilai para
pendiri dan pemimpin kunci membentuk budaya perusahaan.
Menurut Tjitra (2007), untuk mencapai keberhasilan yang permanen, organisasi perlu
membangun core values yang membentuk budaya organisasi. Nilai-nilai ini akan memotivasi
setiap orang dalam organisasi, berfungsi memperjelas alasan organisasi untuk bertindak dan
melakukan sesuatu. Nilai inti ini juga menjadi ukuran dalam menentukan prioritas dalam
pengambilan keputusan dan menjadi pedoman perilaku anggota organisasi.
Majer (2006) mengatakan bahwa adalah menjadi hal yang penting menemukan nilainilai yang merupakan nilai inti seluruh anggota organisasi untuk dihayati. Nilai-nilai
organisasi tidak akan berarti bila hanya tertulis tanpa dihayati oleh seluruh anggota

47

organisasi. Nilai-nilai yang dipegang teguh oleh anggota organisasi akan membentuk
keyakinan dan sikap anggota yang pada gilirannya akan menentukan bagaimana mereka
berperilaku.

3. Pembentukan Budaya Organisasi
Budaya yang akan menjadi penuntun perilaku anggota organisasi dapat diwariskan
dari generasi yang satu ke generasi yang lain melalui bebagai cara. Menurut Robbins (2002).
Adapun cara yang dapat dilakukan agar budaya selalu menjadi tradisi bagi anggota organisasi
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Melalui berbagai cerita
Budaya yang dibentuk biasanya lewat penceritaan tentang sejarah berdirinya
perusahaan dan mulai terbentuk sampai menuju kesuksesan, berbagai keputusan
penting yang pernah diambil, dan mengenai manajemen puncak sekarang ini.
b) Upacara atau Ritual
Acara ritual dapat digunakan juga sebagai penerus suatu budaya. Aktivitas seperti
pemberian penghargaan tiap tahun bagi karyawan terbaik, piknik tiap akhir tahun,
perayaan hari besar bersama. Tujuan dari acara seperti ini adalah pengungkapan dan
memperkuat nilai atau budaya perusahaan tersebut, serta tujuan apa yang penting,
orang mana yang penting, dan mana yang dapat ditingkatkan.
c) Berbagai Simbol Materi
Simbol materi seperti desain serta penataan fisik ruang dan gedung, perabot kantor,
kebiasaan eksekutif, serta cara berpakaian merupakan suatu pengungkapan kepada
pegawai siapa yang penting, tingkat dan derajat kesamaan yang diinginkan
manajemen puncak, dan perilaku tertentu yang sesuai.
d) Bahasa

48

Banyak perusahaan dan unit dalam sebuah perusahaan yang menggunakan bahasa
sebagai suatu cara untuk mengidentifikasi para anggota dari suatu budaya atau
subbudaya. Dengan mempelajari bahasa, para anggota membuktikan bahwa mereka
telah menerima budaya tersebut dan dengan melakukan hal tersebut mereka
membantu mempertahankannya.
Budaya sebagai acuan berperilaku bagi anggota organisasi dapat diwariskan secara
turun temurun dan generasi ke generasi melalui berbagai cara. Apabila budaya telah
terbentuk dan memberi manfaat besar bagi kelangsungan hidup perusahaan, maka sewajarnya
budaya tersebut dipertahankan. Mempertahankan budaya yang sudah terbentuk dan budaya
tersebut adalah berkontribusi besar terhadap pencapalan kinerja organisasi.

4. Aspek-aspek Budaya Organisasi
Robbins (2002) dan juga McShane & Von Glinow (2009) menjabarkan aspek-aspek
budaya organisasi sebagai berikut:
1) Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and Risk Taking), yaitu sejauh
mana organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani mengambil
resiko dalam suatu pengalaman atau kesempatan. Selain itu bagaimana organisasi
menghargai tindakan pengambilan risiko oleh karyawan dan membangkitkan ide
karyawan. Hal ini juga bersifat rendah pada kehati-hatian.
2) Perhatian terhadap detil (Attention to Detail), yaitu sejauh mana organisasi
mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian kepada
rincian.
3) Berorientasi kepada hasil (Outcome Orientation), yaitu sejauh mana manajemen
memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang

49

digunakan untuk meraih hasil tersebut. Berusaha mencapai ekspektasi yang tinggi dan
juga berorientasi pada tindakan.
4) Berorientasi kepada manusia (People Orientation), yaitu sejauh mana keputusan
manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi.
Perhatian pada keadilan dan toleransi terhadap manusia sangat diutamakan.
5) Berorientasi

tim

(Team

Orientation),

yaitu

sejauh

mana

kegiatan

kerja

diorganisasikan sekitar tim-tim dan tidak hanya pada individu-individu untuk
mendukung kerjasama (kolaborasi).
6) Agresifitas (Aggressiveness), yaitu sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu
agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya kendati
kurang menekankan tanggung jawab sosial.
7) Stabilitas (Stability), yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status quo
sebagai kontras dari pertumbuhan. Dimensi ini mencakup orientasi pada aturan,
menghargai rasa aman dan stabilitas.
Masing-masing aspek ini berada pada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai
tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh aspek ini akan menghasilkan suatu
gambaran utuh mengenai budaya sebuah organisasi. Gambaran ini menjadi basis bagi sikap
pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana segala
sesuatu dilakukan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

50

D. DINAMIKA PENGEMBANGAN MODEL
1. Hubungan Gaya Kepemimpinan Melayani dengan Motivasi Berprestasi
Wahjosumidjo (1993) mengatakan bahwa kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat
dengan motivasi karena keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, selain
itu bagaimana menciptakan motivasi dalam diri setiap karyawan, kolega maupun pimpinan
itu sendiri.
Meskipun penelitian tentang servant leadership banyak diminati oleh beberapa
peneliti akhir-akhir ini, namun penelitian tentang servant leadership masih jarang dilakukan
oleh sejumlah peneliti, terutama yang meneliti tentang servant leadership dengan motivasi
berprestasi.
Tugas seorang pemimpin meliputi memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi
yang menyenangkan bagi pengikut untuk melaksanakan pekerjaan (Yukl, 2010). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Dick & Kark (2007) dan Anderson, Griego, & Stevens (2008)
menunjukkan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting
terhadap motivasi diri dan pengikutnya. Demikian juga dengan penelitian Smith, et.al (2004)
menunjukkan bahwa servant leadership diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi
pengikut atau anggotanya.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Wilhelmina (2005) yang berjudul “Pengaruh
Servant Leadership terhadap Motivasi Pelayanan dan dampaknya pada Komitmen Pelayanan
Majelis Jemaat: Studi pada Majelis Jemaat GPM Klasis Pulau Ambon”, ditemukan bahwa
servant leadership pendeta berpengaruh positif terhadap motivasi pelayanan majelis jemaat.

51

2. Hubungan Budaya Organisasi dengan Motivasi Berprestasi
Karyawan yang mempunyai kreativitas dan komitmen tinggi akan berusaha
meningkatkan motivasi berprestasinya agar mampu mencapai tujuan perusahaan. Selain
itu, karyawan yang mempunyai kualitas baik, mampu berperilaku sesuai budaya
perusahaan, bermotivasi prestasi tinggi, dan mampu bekerja sama akan menjadi kunci
keberhasilan bagi perusahaan sehingga diperlukan adanya peran dari semua pihak yang
mampu memberi dorongan dan mengarahkan karyawannya pada tujuan yang diinginkan
perusahaan (Gomes, 2003).
Handa, Mujiasih, & Masykur (2008) dalam Jurnalnya yang berjudul “Hubungan
antara Budaya Perusahaan dengan Motivasi Berprestasi,“ mendapatkan kesimpulan adanya
hubungan positif dan signifikan antara budaya perusahaan dengan motivasi berprestasi
pada karyawan. Semakin kuat budaya perusahaan yang diinternalisasi maka akan semakin
tinggi motivasi berprestasi dan sebaliknya semakin lemah budaya perusahaan maka
motivasi berprestasi yang dimiliki karyawan semakin rendah.
Hasil penelitian Koesmono (2005) menyatakan budaya organisasi berpengaruh secara
signifikan terhadap motivasi dan kinerja karyawan. Damanik (2007) menyimpulkan di dalam
tesisnya, bahwa terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi berprestasi perawat
di Rumah Sakit Umum Daerah Pematang Siantar.
Budaya organisasi yang baik akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku
para anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas untuk menciptakan
suatu

iklim

internal.

Budaya

organisasi

juga

menciptakan,

meningkatkan,

dan

mempertahankan kinerja tinggi. Dimana budaya organisasi yang kondusif menciptakan
kepuasan kerja, etos kerja, dan motivasi kerja karyawan. Semua faktor tersebut merupakan
indikator terciptanya kinerja tinggi dari karyawan yang akan menghasilkan kinerja organisasi
juga tinggi (Wirawan, 2007).

52

E. KERANGKA BERPIKIR

GAYA KEPEMIMPINAN
MELAYANI

(1)

(X1)

(3)

MOTIVASI
BERPRESTASI
(Y)

BUDAYA ORGANISASI
(X2)
(2)
Keterangan:
X1

: Gaya Kepemimpinan Melayani (variabel bebas)

X2

: Budaya Organisasi (variabel bebas)

Y

: Motivasi Berprestasi (variabel tergantung)

F. HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka hipotesa yang dibuat adalah:
1) Terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan melayani dengan motivasi
berprestasi karyawan C.U.M HKBP.
2) Terdapat hubungan positif antara budaya organisasi dengan motivasi berprestasi
karyawan C.U.M HKBP.
3) Terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan melayani dan budaya
organisasi dengan motivasi berprestasi karyawan C.U.M HKBP.

53