Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah menjadi fitrah manusia, sejak dilahirkan selalu hidup bersama dengan
manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun bersifat
rohani.bahwa dua orang yang berlainan jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan
mempunyai keinginan yang sama untuk saling mengenal, mengamati, dan mencintai,
bahkan mereka juga mempunyai keinginan yang sama untuk melangsungkan
pernikahan.
Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga,
karenanya perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah
keluarga. Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih
mengasihi antara kedua belah pihak suami dan istri, yang senantiasa diharapkan
berjalan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apabila mereka melangsungkan perkawinan, maka timbullah hak dan
kewajiban antara suami istri secara timbal balik, demikian juga apabila dalam
perkawinan itu dilahirkan anak, juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang tua

dan anak secara timbal balik.
Dalam pandangan Islam, perkawinan merupakan asas pokokkehidupan dalam
pergaulan sebagai perbuatan yang sangat muliadalam mengatur kehidupan berumah

1

Universitas Sumatera Utara

2

tangga. Pertalian nikah atauperkawinan juga merupakan pertalian yang seteguhteguhnya dalam hidupdan kehidupan umat manusia. Hal ini tidak saja terbatas pada
pergaulan antar suami-istri,melainkan ikatan kasih mengasihi pasangan hidup tersebut
akan berpindah kebaikannya kepada semua keluarga dari kedua belahpihak.
Kedua keluarga dari masing-masing pihak menjadi satu dalam segalaurusan
tolong menolong, menjalankan kebaikan, serta menjaga dari segalakejahatan, di
samping itu, denganmelangsungkan perkawinan seorang dapat terpelihara daripada
kebinasaan hawa nafsunya.
Perkawinan yang merupakan perbuatan mulia padaprinsipnya, dimaksudkan
untuk menjalin ikatan lahir batin yang sifatnyaabadi dan bukan hanya untuk
sementara waktu yang kemudian diputuskanlagi. Atas dasar sifat ikatan perkawinan

tersebut, dimungkinkan dapatdidirikan rumah tangga yang damai dan teratur, serta
memperoleh keturunanyang baik dalam masyarakat.Dengan demikian diharapkan
dapatmencapai tujuan dari perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga bahagiadari
pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan.
Sesuai dengan kodrat manusia, kepada suami dibebanikewajiban untuk
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatukeperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya.Kewajiban seperti ini tidak dibebankan kepada suami
saja, namun kepadaistri dibebani kewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga
dengan sebaik-baiknya (Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
Dengan adanya aturan-aturan di atas suami dan istri masing-masing
melaksanakan hak dan kewajiban secara baik akan tercipta pergaulan yang baik

Universitas Sumatera Utara

3

antara suami istri yang padagilirannya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga
(rumahtangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa akantercapai.
Berhubung dengan akibat yang sangat penting dari perkawinaninilah, maka
masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan yaitu syaratsyarat untuk perkawinan,pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya perkawinan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menegaskan bahwaperkawinan
adalah “akad yang sangat kuat (mistqan ghalidhan)untuk menaati perintah Allah, dan
melaksanakannya merupakanibadah”. Perkawinan menurut hukum adat bersangkutan
denganurusan famili, keluarga masyarakat, martabat dan pribadi. Berbedadari
perkawinan seperti pada masyarakat barat yang modern yanghanya merupakan urusan
mereka yang kawin itu saja.1
Ditinjau dari aspek peraturan tentang perkawinan, makaperkawinan adalah
suatu hidup bersama dari seorang pria denganseorang wanita yang memenuhi syaratsyarat yang termasuk dalamperaturan, yaitu peraturan hidup bersama.
Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana yang
dipertahankan anggota masyarakat dan pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus
berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan
didalam suatu negara. Di Indonesia aturan tata tertib perkawinan itu sudah ada sejak
jaman kuno, sejak jaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonial Belanda dan
sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja

1

Sri Sudaryatmi, Hukum Kekerabatan Di Indonesia, Pustaka Magister Semarang, Semarang,
2009, hal. 13.


Universitas Sumatera Utara

4

menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing,
karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia.2
Peraturan hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1974
bersifat pluralistik karena didasarkan pembedaan penduduk Indonesia, yaitu:3
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama
yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang
Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan
berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai
wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) S. 1933 nomor 74.
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan

asing lainnya berlaku hukum adat mereka.
6. Bagi orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang
dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan).
Undang-undang Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman
dalam penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu dengan
menampung kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali
seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir
batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena
2

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, Cet. Ketiga, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 1.
3
Ibid, hal. 5.

Universitas Sumatera Utara


5

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila.
Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja
atau ikatan batin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalin ikatan lahir batin merupakan
fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.4
Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia
untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing
pasangan siap melakukan perannya yang positip dalam mewujudkan tujuan
perkawinan.5
Firman Allah SWT:
“Wahai manusia, Kami telah jadikan kamu sekalian dari laki-laki dan
perempuan” (QS. Al-Hujuraat : 13)
Firman Allah SWT:
“Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah
menjadikan kamu dari satu diri, lalu Ia jadikan dari padanya jodohnya,
kemudian Dia kembang-biakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang
banyak sekali” (QS. An-Nisa’ : 1)
H. Sulaiman Rayid mendefinisikan pernikahan (perkawinan) sebagai berikut:

“Aqad menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta
tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara
keduanya bukan muhrim.”6
Iman Jauhari mengemukakan bahwa:
4

Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Alih BahasaDrs. Moh. Thalib, Cetakan keempat
Alma’arif, Bandung, 1987, hal. 9
6
H. Sulaiman Rayid dalam H.M. Hasballah Thaib dan H. Marahalim Harahap, Hukum
Keluarga Dalam Syariat Islam, Universitas Al Azhar, Medan, 2010, hal. 1.
5

PT.

Universitas Sumatera Utara

6


Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan
batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin antara suami
istri. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya
perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak.7
Paul Scholten berpendapat bahwa:
“Perkawinan adalah hubungan abadi antara dua orang yang berlainan kelamin,
yang diakui oleh Negara.”8
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asasasas atau prinsip-pinsip sebagai berikut:9
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.


Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Perkawinan yang sah menurut masing-masing agamanya.
Pencatatan perkawinan
Perkawinan berasas monogami.
Prinsip calon suami istri sudah masak jiwa raganya.
Batas umur untuk melakukan perkawinan.
Perceraian dipersulit.
Kedudukan suami dan istri seimbang.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) merumuskan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

7
Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit
Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 3.
8
Paul Scholten dalam Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Cet. I,
Shantika Dharma, Bandung, 1984, hal. 10.
9

Poin keempat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Universitas Sumatera Utara

7

akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”10
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang menimbulkan adanya hak
dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami istri) dan atau juga bagi pihak
lain/ketiga dengan siapa salah satu pihak atau kedua-duanya/suami istri itu
mengadakan hubungan hukum.11
Sebuah perkawinan yang didasari ikatan lahir batin dapat dikatakan sah jika
telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas, dapat dimengerti bahwa
perkawinan merupakan suatu perbuatan keagamaan, oleh karena itu sah atau tidaknya
suatu perkawinan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama, ini berarti bahwa
suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan hukum agama dengan
sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinan dianggap tidak sah dan tidak

mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas maka bagi warga negara
Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan harus
memenuhi ketentuan-ketentuan yaitu syarat-syarat dan rukun perkawinan yang telah
diatur dalam hukum perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang beragama

10

Lihat KHI, Pasal 2.
Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanannya Ditinjau dari
Segi Hukum Islam, Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hal. 26.
11

Universitas Sumatera Utara

8

Nasrani, Hindu, Budha, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan
yan menentukan sahnya perkawinan.
Apabila dalam pelaksanaan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat sahnya
perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Syarat dalam arti luas
menurut fiqih meliputi syarat materiil yang lazim dikatakan syarat (saja) dan syarat
formil yang disebut sebagai rukun nikah.

12

Pembatalan perkawinan berarti

menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau
dianggap tidak pernah ada. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tidak mengatur
mengenai pengertian pembatalan perkawinan, begitu juga PP No.9 tahun 1975 yang
merupakan pelaksana dari Undang-Undang tersebut, sehingga tidak ada satupun
peraturan yang mengatur mengenai pengertian pembatalan perkawinan. Pasal 22
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 hanya menyebutkan ”perkawinan dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan,
Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa pengertian ”dapat” pada pasal ini
diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain. Dalam Pasal 37 PP No. 9 tahun 1975
dijelaskan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh
Pengadilan.Hal ini disebabkan mengingat pembatalan perkawinan dapat membawa
akibat hukum, baik terhadap suami istri itu sendiri, anak-anak yangdilahirkan maupun
terhadap pihak ketiga sehingga pembatalan perkawinan tidak diperkenankan terjadi
oleh instansi di luar pengadilan.
12

Op. Cit., hal. 40.

Universitas Sumatera Utara

9

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan

ke Pengadilan,

Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non-Islam,
di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat
tinggal pasangan (suami-istri), hal tersebut diatur pada Pasal 25 jo Pasal 63 UndangUndang Perkawinan.
Pembatalan perkawinan bagi pasangan yang beragama Islam yang
melaksanakan perkawinan di Kantor Urusan Agama maka pembatalan perkawinan
dapat diajukan di Pengadilan Agama. Berdasarkan putusan Pengadilan Agama
tentang pembatalan perkawinan, maka terdapat beberapa persoalan yang masih harus
diselesaikan walaupun putusan Pengadilan Agama tersebut telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Sebagaimana yang terjadi pada perkawinan antara Arya Pengestu Bin M. Eral
dalam hal ini merupakan Tergugat I dan Halimatussa’diyah Binti Ahmadsyah Nur
dalam hal ini merupakan Tergugat II telah dilangsungkan pada tanggal 23 Mei 2009
di Kecamatan Medan Petisah, dan telah terdaftar di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Medan Petisah Nomor 143/23/V/2009, tanggal 28 Mei 2009. Pada
perkawinan tersebut yang bertindak sebagai wali dalam pernikahan tersebut adalah
saudara Amir Muslian yang menurut Tergugat II adalah pakciknya atau abang
kandung dari ayah Tergugat II. Namun tanggal 28 September 2009 Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Petisah bernama
Nazrial Amin datang menemui Penggugat yang menyatakan bahwa telah datang
keluarga Tergugat merasa keberatan dengan pernikahan Tergugat I dengan Tergugat

Universitas Sumatera Utara

10

II dengan menyatakan bahwa pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II harus
dibatalkan.
Pembatalan perkawinan dengan putusan pengadilan itu dianggap seolah-olah
sama sekali tidak pernah terjadi perkawinan, atau perkawinan yang dinyatakan batal
itu harus disamakan dengan suatu perkawinan yang terputus secara talaq. Sehingga
akibat hukum yang telah terjadi sebelum putusan itu tetap dipertahankan seperti
misalnya kalau sudah ada anak dari perkawinan itu, maka anak tersebut tetap
merupakan anak sah dari suami istri.13
Berdasarkan pemaparan di atas penulis ingin lebih mengetahui tentang
pembatalan

perkawinan,

maka penulis membuat

penelitian

yang berjudul

“TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMBATALAN PERKAWINAN SERTA AKIBAT
HUKUMNYA(STUDI PUTUSAN No. 1009/Pdt. G/2009/PA. Mdn. Pada Pengadilan
Agama Kelas I-A Medan).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa
permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Faktor-faktorapa yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan?

2.

Bagaimana proses pembatalan perkawinan karena wali yang tidak sah pada
Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?

3.

Bagaimana akibat hukum dari pembatalan perkawinan karena wali nikah yang
tidak sah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?

13

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Karya Gemilang, Jakarta, 2007,

hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

11

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan.

2.

Untuk mengetahui bagaimana proses pembatalan perkawinan karena wali yang
tidak sah pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.

3.

Untuk mengetahui akibat hukum dari pembatalan perkawinan karena wali nikah
yang tidak sah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam
memproses ilmu pengetahuan.

14

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari

pemecahan atas isu hukum yang timbul. 15 Oleh karena itu penelitian hukum
merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum.
Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah
untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang
diajukan. 16 Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas,
diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan
secara teoritis dan praktis di bidang hukum, yaitu:

14
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, Cetakan
kesatu, 2008, hal. 10.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
Cetakan ke -3, 2007, hal. 41.
16
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

12

1.

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah kepustakaan
di bidang keperdataan.

2.

Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan
masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk
mengetahui seberapa jauh masalah pembatalan perkawinan diatur di dalam
undang-undang.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
menunjukkan

bahwa

penelitian

dengan

judul

“TINJAUAN

YURIDIS

PEMBATALAN PERKAWINAN SERTA AKIBAT HUKUMNYA, (Studi Putusan
No.1009/Pdt. G/2009/PA. Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan). belum
pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan
dengan judul topik dalam tesis ini antara lain:
1.

Penelitian dengan judul “Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami
Tanpa Izin dan Kaitannya Dengan Status Anak Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)” oleh
Yola Ardiza NIM 087011132. Rumusan masalah yang dibahas adalah (a) faktor
penyebab terjadinya tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa izin, (b)
pertimbangan hakim terhadap tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa

Universitas Sumatera Utara

13

izin, (c) kedudukan anak dan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang
lahir dari perkawinan poligami yang dibatalkan.
2.

Penelitian dengan judul “Pembatalan Perkawinan Berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Dikaitkan Dengan Ketentuan Perkawinan
Berdasarkan Fiqh Islam” oleh Tengku Erwinsyahbana NIM 002105022.
Rumusan masalah yang dibahas adalah (a) Alasan-alasan yang digunakan untuk
membatalkan perkawinan, (b) akibat hukum pembatalan perkawinan.

3.

Penelitian dengan judul “Putusnya Perkawinan Akibat Murtadnya Pasangan
(Studi Pada Pengadilan Agama Kelas IA Medan)” oleh Mikayani Putri NIM
090011080. Rumusan masalah yang dibahas adalah (a) Pengaturan hukum bila
salah satu pasangan yang terikat perkawinan berpindah agama (murtad), (b)
akibat hukum yang timbul dari perceraian yang disebabkan perpindahan agama
atau murtadnya salah satu pihak, (c) Pertimbangan hukum yang dipakai oleh
Hakim Pengadilan Agama Medan sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974.
Dari judul penelitian di atas terlihat tidak ada kesamaan dengan penelitian

yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya,
sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

Universitas Sumatera Utara

14

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 17 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18
Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori fasakh. Kata
fasakh berarti merusak atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu penyebab
putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan
yang telah berlangsung.19
Menurut Amir Syarifuddin:
“Fasakh ini pada dasarnya terjadi atas inisiatif pihak ketiga, yaitu hakim
setelah hakim mengetahui bahwa perkawinan itu tidak dapat dilanjutkan, baik
karena pada perkawinan yang telah berlangsung ternyata terdapat kesalahan,
seperti tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maupun pada diri suami
atau istri terdapat kekurangan yang tidak mungkin dipertahankan untuk
kelangsungan perkawinan itu.”20
Perkawinan menurut UU Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang
merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi istri. Di
kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan
17

M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
19
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Yayasan Pena, Banda Aceh,
2010, hal. 143.
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Ed. I, Cet. I, Pranada Media, Jakarta, 2006, hal. 243.
18

Universitas Sumatera Utara

15

keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Di
samping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki
hubungan kekerabatan yang telah jauh atau retak, atau merupakan sarana pendekatan
dan perdamaian kerabat.21
Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
adalah pertalian yang sah antara seorang pria dan wanita untuk waktu yang lama atau
suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama
dengan kekal yang diakui negara.
Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan
yang berupa syarat material dan formal, Syarat materil/subyektif yaitu syarat-syarat
yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, terdiri dari:
a. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.
b. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21
tahun.
c. Harus sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun bagi pria dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.
d. Tidak adanya larangan perkawinan.
e. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang
agamanya mengijinkan untuk berpoligami.

21

Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1983, hal 187.

Universitas Sumatera Utara

16

f. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau istri yang hendak
dikawini.
g. Harus telah lewat masa tunggu/masa iddah bagi janda.
Syarat-syarat formal/obyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur
melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang. Tata cara
melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dalam perkawinan Islam ada rukun perkawinan yang merupakan hal-hal yang
harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan, yaitu:
a. Harus ada calon suami dan istri, atau wakilnya.
b. Harus ada wali dan calon istri, atau wakilnya.
c. Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat-syarat.
d. Adanya ijab-qabul.
Pelaksanaan akad nikah muslim di Indonesia dilakukan oleh mempelai lakilaki dan wali mempelai perempuan atau wakilnya. Di antara ayat Al-Qur’an yang
mengisyaratkan adanya wali adalah sebagai berikut:
Surat al-Baqarah (2) ayat 232, yang artinya:
Dan bila kamu telah menalak perempuan dan hampir habis iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suami
mereka.

Universitas Sumatera Utara

17

Surat al-Baqarah (2) ayat 221, yang artinya:
Janganlah kamu mengawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki
musyrik. Sesungguhnya hamba sahaya mukmin lebih baik dari orang musyrik
walaupun ia menarik hatimu.
Sebagian

besar

ulama

berpendapat

bahwa

perempuan

tidak

boleh

mengawinkan dirinya atau mengawinkan wanita lain.22
Alasan pendapat ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi riwayat
Abu Hurairah yang mengatakan: “Tidak boleh seorang perempuan menikahkan
perempuan yang lain dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya
sendiri.”23
Menurut Abu Hanifah, wali harus ada dalam akad nikah, hanyalah apabila
mempelai perempuan belum baligh atau tidak sehat akal. Perempuan baligh dan
berakal sehat diperbolehkan mengawinkan diri sendiri dengan laki-laki yang disukai
tanpa wali, dengan syarat kufu. Jika mempelai laki-laki tidak kufu, wali berhak minta
kepada hakim untuk membatalkan perkawinan perempuan tersebut.24
Sabda Rasulullah SAW dari Aisyah r.a.,25
“Perempuan mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya
batal, pernikahannya batal, pernikahannya batal.” (HR Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah, dan at-Tarmidzi)
22
Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Fauzil Adhim, Janda, Cet. 1, Gema Insani Press, Jakarta,
1999 hal. 142
23
A. Hamid Sarong, Op. Cit., hal. 73.
24
Ibid.
25
Ibid., hal. 74

Universitas Sumatera Utara

18

Ayat (1) Pasal 26 UUP berbunyi:
Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatatperkawinan yang
tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa
dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan
suami atau istri.
Perkawinan secara Islam maupun berdasarkan UU Perkawinan mewajibkan
adanya wali nikah dalam hal ini yang mempunyai hubungan nasab (kekerabatan)
dengan mempelai wanita agar perkawinan tersebut memenuhi syarat sahnya suatu
perkawinan.
2.

Konsepsi
Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang

lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk
konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.
Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu
proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 26 Kerangka
konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan
dipergunakan sebagai dasar hukum.27
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu
penelitian konspesi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak
menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operasional (operational
26

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397.
Sardjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7.
27

Universitas Sumatera Utara

19

definition). Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian dan penafsiran atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang
dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai
berikut:
1. Perkawinan adalah ikatan lahir dan bantin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
Perkawinan).
2. Pembatalan perkawinan adalah suatu perbuatan yang menganggap perkawinan
yang telah dilakukan sebagai suatu peristiwa yang tidak sah atau dianggap
tidak pernah ada. Pembatalan perkawinan dapat dilakukan bila para pihak
tidak memenuhi syarat dalam melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UU
Perkawinan).
3. Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan dengan adanya suatu
peristiwa atau perbuatan yang dikaitkan dengan ketentuan hukum yang
berlaku dalam ruang lingkup peristiwa atau perbuatan hukum tersebut.
G. Metode Penelitian
Kata Metode yang berarti “jalan ke”. 28namun demikian, menurut kebiasaan
metode dirumuskan dengan kemungkinan sebagai suatu tipe pemikiran yang
dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, sebagai suatu teknik yang umum bagi
ilmu pengetahuan dan sebagai cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
28

Soerjono Soekanto Op. Cit., hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

20

Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dan menjawab
masalah penelitian atau membuktikan kebenaran hipotesis atau kerangka teoritisnya
(konsepsional)adalah studi dokumen/literatur, pengamatan dan wawancara.
1.

Sifat Penelitian
Penelitian tesis ini bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk

menggambarkan secara cermat karaktaristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau
keadaan) dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.29 Dikatakan deskriptif
karena dengan penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran yang menyeluruh,
lengkap dan sistematis mengenai Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya
Putusan No. 1009/Pdt.G/2009/PA. Mdn. (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Kelas
I-A Medan, bersifat analitis karena dilakukan analisis dari segi Undang-Undang, KHI
dan Fiqih.
2.

Metode Pendekatan
Metode yang digunakan adalah metode penelitian Yuridis Empiris, yakni suatu

penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum melalui studi kepustakaan dan
akan dihubungkan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, KHI dan Fiqih serta
kebiasaan pada masyarakat sesuai dengan penelitian dilapangan yang dilakukan
dengan pengamatan (observasi) dan wawancara.
Wawancara yang akan dilakukan untuk memperoleh segala informasi yang
dibutuhkan secara lengkap dan akurat yaitu dengan Hakim Ketua, hakim Anggota,
serta Panitera Pengganti pada Pengadilan Agama kelas I-A medan,

29

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004, hal. 58.

Universitas Sumatera Utara

21

Oleh karena itu dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini yakni,
Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Putusan No. 1009/Pdt.G/2009/PA.
Mdn. (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan).
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research). data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari
Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, sedangkan data sekunder didapat dari penelitian
kepustakaan (library research) dengan mempelajari peraturan perundang-undangan,
buku-buku, karya ilmiah, artikel-artikel, media massa dan sumber data lainnya yang
berhubungan dengan objek yang diteliti.
3.

Analisis Data.
Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis secara kualitatif sehingga

diperoleh gambaran yang menyeluruh terhadap permasalahan penelitian yang akan
dilakukan dalam tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi data.
analisis secara kualitatif dilakukan untuk menarik kesimpulan data yang telah diolah
sehingga hasil analisa yang diperoleh tidak berbentuk angka.
Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder
secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun
secara sistematis dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode

deduktif

dilakukan

dengan

membaca,

menafsirkan

dan

membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan

Universitas Sumatera Utara

22

berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis
ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan
pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan
jawaban yang jelas dan benar.

Universitas Sumatera Utara