Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)
23
BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA
PEMBATALANPERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Pada bidang perkawinan, bangsa Indonesia telah memiliki Undang-undang
nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang disahkan pada tanggal 2 Januari 1974
dan diundangkan di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor
1, sedangkan penjelasannya dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019. Menurut Dr. Mr. Hazairin, Undang-Undang Perkawinan ini
adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang
berlaku bagi setiap warga negara Republik Indonesia. 30
Sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut keluar, di Indonesia
berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (B.W), Ordonansi PerkawinanIndonesia Kristen (Huwelyks Ordonansi voor
de Christenen Indoensiers) Staatblad 1933 Nomor 74, Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelyken) Staatblad 1898 Nomor 158, dan
Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Lembaran Negara 1954 Nomor
32 serta peraturan-peraturan Menteri Agama mengenai penjelasannya. Berlakunya
hukum perkawinan Islam bagi umat Islam di Indonesia disamping adanya Undang30
Hazairin, Tinjauan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Tintamas, Jakarta, 1975,
hlm. 260.
23
Universitas Sumatera Utara
24
Undang No. 1 tahun 1974 tidak berarti bahwa pasal-pasal yang ada dalam undangundang tersebut bertentangan dengan ketentuan perkawinan Islam.
Dengan mengadakan perbandingan akan kita peroleh kepastian bahwa banyak
pasal dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sejalan dengan ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan Islam.
1.
Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau
perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT.31
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan
atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan suatu jalan
yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum
dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan
pertolongan antara satu dengan yang lainnya.32
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya,
melainkan antara dua keluarga, dari baiknya pergaulan antara si istri dengan
suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu pada semua keluarga dari
31
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 14.
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Cet. 51, Bandung, Sinar Baru
Algensindo, 2011, hal. 374.
32
Universitas Sumatera Utara
25
kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolongtolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.
Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.
Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara
perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan apabila
ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh
suaminya, pernikahan juga berguna untuk memelihara keturunan anak cucu
(keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa
yang akan mengurusnya dan siapa yang akan bertanggung jawab atasnya.
Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada
pernikahan tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu
akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya, yang mungkin
juga sampai menimbulkan pembunuhan yang mahadahsyat.
Demikianlah maksud pernikahan yang sejati dalam Islam, singkatnya untuk
kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan
masyarakat
QS. An-Nisa’: 22-24 menyebutkan macam-macam perempuan yang haram
dinikahi laki-laki, sebagai berikut: ibu tiri (janda ayah), ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu),
kemenakan (anak perempuan saudara laki-laki), kemenakan (anak perempuan saudara
perempuan), ibu susuan, saudara perempuan sesusuan, mertua (ibu istri), anak tiri
Universitas Sumatera Utara
26
apabila ibunya sudah dicampuri (sebelum ibunya dicampuri apabila berpisah, anak
tiri dapat dikawini), menantu (istri anak kandung), mengumpulkan dua perempuan
bersaudara sebagai istri dan perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan lakilaki lain.
Dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut, perempuan yang haram dinikahi itu dapat
dibagi dua: haram untuk selamanya dan haram untuk sementara.
a.
Haram Dinikah untuk Selamanya
Sebab-sebab perempuan haram dinikah selamanya ada empat macam yaitu :
1) Perempuan haram dinikahi karena hubungan senasab, yaitu :
a) Ibu, yang dimaksud adalah yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas, yaitu, nenek dari garis ayah atau ibu yang
seterusnya ke atas.
b) Anak perempuan, yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, yaitu anak
perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki maupun perempuan),
buyut perempuan dan seterusnya ke bawah.
c) Saudara perempuan kandung (seayah dan seibu), seayah saja atau seibu
saja.
d) Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu kandung, seayah atau seibu,
dan seterusnya ke atas, yaitu saudara kakek atau nenek, saudara kakek
buyut atau nenek buyut dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
27
e) Kemenakan perempuan, yaitu anak saudara laki-laki atau perempuan dan
seterusnya kebawah.
2) Perempuan haram dinikah karena hubungan susuan, yaitu :
a) Ibu susuan, ibu yang menyusui seorang anak dipandang sebagai ibu anak
yang disusuinya.
b) Nenek susuan, yaitu dari ibu dan susuan dan ibu dari suami ibu susuan
(suami ibu susuan dipandang seperti ayah sendiri anak susuan).
c) Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau suami ibu
susuan dan seterusnya ke atas.
d) Kemenakan perempuan susuan, yaitu cucu-cucu dari ibu susuan sebab
mereka itu dipandang anak dari saudara-saudara sendiri.
e) Saudara perempuan susuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu
saja; yang disebut saudara perempuan sesusuan kandung adalah yang
disusui ibu susuan dari suaminya (ayah susuan), baik disusui bersamasama dengan anak susuan, sebelumnya atau sesudahnya. Yang disebut
saudara perempuan sesusuan seayah adalah yang disusui oleh istri dari
ayah susuan; dan yang dimaksud dengan saudara perempuan sesusuan
seibu ialah disusui oleh ibu susuan dari laki-laki lain.
3) Perempuan haram dinikah karena hubungan semenda, yaitu:
a) Mertua, yaitu ibu kandung istri, demikian pula nenek istri dari garis ibu
atau ayah dan seterusnya ke atas. Haram nikah dengan mertua dan
seterusnya ke atas itu tidak diisyaratkan harus telah terjadi persetubuhan
Universitas Sumatera Utara
28
antara suami dan istri bersangkutan. Dengan terjadinya akad nikah telah
mengakibatkan haram nikah dengan mertua dan seterusnya ke atas
tersebut.
b) Anak tiri, dengan syarat telah terjadi persetubuhan antara suami dengan
ibu anak. Apabila belum pernah terjadi persetubuhan, tiba-tiba suami istri
bercerai, karena talak atau kematian, dimungkinkan perkawinan antara
laki-laki dan anak tirinya.
c) Menantu, yaitu istri anak, istri cucu (dari anak laki-laki maupun
perempuan) dan seterusnya ke bawah, tanpa syarat setelah terjadi
persetubuhan antara suami dan istri.
d) Ibu tiri, yaitu janda ayah tanpa syarat pernah terjadi persetubuhan antara
suami dan istri. Dengan terjadinya akad nikah antara ayah dan seorang
perempuan telah berakibat haram nikah antara anak dan ibu tiri.
4) Perempuan haram dinikah karena sumpah lian
Apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi yang cukup,
sebagai gantinya, suami mengucapkan persaksian kepada Allah bahwa ia
dipihak yang benar dalam tuduhannya itu, sampai empat kali, dan yang
kelimanya ia menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila ternyata ia
berdusta dalam tuduhannya itu. Istri yang dituduhkan zina akan bebas dari
hukuman zina apabila ia pun menyatakan persaksian kepada Allah bahwa
suaminya berdusta, sampai empat kali dan yang kelimanya ia pun menyatakan
bersedia menerima laknat Allah apabila ternyata suaminya benar.
Universitas Sumatera Utara
29
b. Haram dinikahi untuk sementara
1) Mengumpulkan antara dua perempuan bersaudara menjadi istri seseorang.
Apabila dengan jalan pergantian, setelah berpisah dengan salah seorang
saudara, lalu ganti mengawini saudaranya diperbolehkan. Hal ini sering terjadi
pada seseorang karena kematian istrinya lalu ganti mengawini adik iparnya.
Kecuali larangan mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara menurut
ketentuan Al Qur’an, Nabi mengajarkan pula bahwa tidak boleh seseorang
mengumpulkan antara seorang perempuan dan kerabatnya yang jika
diperkirakan salah satunya laki-laki tidak dibolehkan kawin dengan yang lain;
misalnya antara seorang perempuan dan kemenakannya, seorang perempuan
dan cucunya dan sebagainya.
2) Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain, sebagaimana
ditentukan dalam Surah An-Nisa : 24
3) Perempuan sedang dalam menjalani masa iddah, baik iddah kematian maupun
iddah talak.
4) Perempuan yang ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas suami
yang mentalaknya, kecuali setelah kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian
bercerai dan telah habis masa iddahnya.
5) Perkawinan orang yang sedang ihram, baik melakukan akad nikah untuk diri
sendiri atau bertindak sebagai wali atau wakil orang lain.
Hadits Nabi riwayat Muslim dari Usman bin Affan mengajarkan, “Orang yang
sedang menjalani ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dan tidak boleh
Universitas Sumatera Utara
30
meminang.” Nikah orang yang sedang menjalani ihram apabila terjadi juga,
dipandang batal, tidak mempunyai akibat hukum.
6) Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dan perempuan pelacur
atau perempuan baik-baik dan laki-laki pezina, tidak dihalalkan, kecuali
setelah masing-masing menyatakan bertobat. Apabila pezina benar-benar
bertobat, mohon ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya pada masa
lampau dan berjanji tidak akan kembali lagi berbuat zina, diikuti dengan
ketaatan menjalankan aturan-aturan Allah, pasti Allah akan menerima
tobatnya dan akan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang saleh.
QS Al-Furqan: 68-70 menyebutkan beberapa sifat orang-orang saleh, tidak
musyrik, tidak membunuh tanpa alasan yang sah dan tidak berzina. Orangorang yang berbuat demikian akan menanggung dosa, dilipat gandakan
siksanya pada hari kiamat dan akan kekal menderita siksaan; kecuali orangorang yang mau bertobat, beriman, dan beramal saleh; Allah akan mengganti
keburukan mereka dengan kebaikan karena Allah Maha Pengampun lagi
Maha Pengasih.
7) Mengawini wanita musyrik. Para fukaha sepakat bahwa laki-laki muslim
haram mengawini perempuan musyrik sesuai ketentuan QS Al-Baqarah: 221.
Kepercayaan syirik adalah yang mempertuhankan selain Allah, apa pun
agamanya kecuali Yahudi dan Nasrani. Para penganut agama Yahudi dan
Nasrani disebut dalam Al Qur’an dengan nama ahli kitab.
Universitas Sumatera Utara
31
8) Kawin dengan lebih dari empat istri. Dalam Q.S. An-Nisa: 3 memberi
kelonggaran laki-laki kawin poligami sebanyak-banyaknya empat orang istri.
Laki-laki yang telah mempunyai empat orang istri haram kawin lagi dengan
istri kelima dan seterusnya.
Tujuan dilaksanakan perkawinan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan
sedemikian rupa menurut hukum nasional adalah untuk membentuk suatu keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan bila mendasarkan pada Alqur'an dan hadist dapat diperoleh
kesimpulan, bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan RasulNya.
Menurut hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
dengan maksud melanjutkan keturunan serta mengusahakan agar dalam rumah tangga
dapat diciptakan ketenangan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Ketenangan yang
menjadi kebahagiaan hidup dapat diperoleh melalui kesadaran bahwa seseorang
dengan ikhlas telah menunaikan kewajibannya baik kepada Tuhan maupun kepada
sesama manusia.
Saling memahami kewajiban antara suami istri dan anggota keluarga dalam
rumah tangga merupakan salah satu cara membina rumah tangga bahagia. Dengan
demikian perkawinan dan tujuan perkawinan sangat erat hubungannya dengan agama,
maka pendidikan agama dalam keluarga merupakan suatu hal yang sangat
Universitas Sumatera Utara
32
pentinguntuk membentuk keluarga bahagia karena sesungguhnya agama akan
membuat hidup dan kehidupan manusia menjadi lebih bermakna.
2.
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagaisuami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia
dankekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Sangat ideal sekali tujuan perkawinan yang diinginkan oleh Undangundangini, tidak hanya melihat dari segi ikatan kontrak lahirnya saja tetapi sekaligus
ikatanpertalian kebatinan antara suami istri yang tujuannya untuk membangun
keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya pengertian perkawinan dapat dilihat dari beberapa pendapatb
erikut ini:
Menurut Hukum Islam:
“Nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan
lafadz atau terjemahan dari kata-kata tersebut, jadi maksud pengertian tersebut
adalah apabila seorang laki-laki dan perempuan sepakat untuk membentuk
suatu rumah tangga, keduanya melakukan akad nikah terlebih dahulu.”33
Menurut K. Wantjik Saleh,
“perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal
ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan
material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yangbahagia dan kekal itu
33
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Op. Cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
33
haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam
pancasila.”34
Menurut Victor Situmorang:
“Perkawinan dilangsungkan dengan persetujuan timbal balik yang bebas
yangtidak dapat digantikan oleh campur tangan siapapun. Sebagai persetujuan
timbal balik untuk hidup bersama, yang hakikatnya adalah sosial dan
pentingbagi pergaulan hidup manusia. Persetujuan bebas suami istri
mempunyaiakibat-akibat hukum. Perkawinan diakui dan dilindungi hukum,
oleh sebabitu perkawinan dapat dipandang sebagai suatu kontrak, akan tetapi
iamerupakan suatu kontrak tersendiri”.35
Mengingat peranan yang dimiliki dalam hidup bersama itu sangat pentingbagi
tegak dan sejahteranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan kaidahkaidah yang mengatur mengenai hidup bersama ini. “Peraturan-peraturan inilah yang
menimbulkan pengertian perkawinan yaitu hidup bersama dari seoranglaki-laki dan
perempuan yang memenuhi syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.”
a.
Asas-asas perkawinan
Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974, ditentukan asas-asas mengenai
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk
itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya,
membantu
dan
mencapai
kesejahteraan sprituil dan materil.
34
35
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1976, hal. 15.
Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
34
2. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian
yang dinyatakan dengan surat keterangan, suatu aktaresmi yang juga dimuat
dalam pencatatan.
3. Menganut asas monogami. Hanya apabila yang dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama orang tersebut mengizinkan, seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang
suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun halini dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan, hanya dapatdilakukan apabila memenuhi persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwaraganya
untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir kepada perceraian dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegahperkawinan antara
suami istri yang masih berada dibawah umur. Selain itu perkawinan juga
mempunyai hubungan permasalahan dengan kependudukan, ternyata dengan
batas umur yang lebih rendah dari seorangwanita untuk kawin mengakibatkan
laju kelahiran yang tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-Undang ini
Universitas Sumatera Utara
35
menentukan batas umur kawin bagi pria ialah 19 tahun dan wanita adalah 16
tahun.
5. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal
dansejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian. Harus dengan alasan tertentu serta dilakukan didepan
pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kedudukan pergaulan
masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalamkeluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
b. Syarat-Syarat Perkawinan
Untuk dapat melakukan suatu perkawinan yang sah menurut ketentuan
Undang-undang maka kedua calon mempelai yang hendak melangsungkan pernikahan
haruslah memenuhi syarat-syarat formil dan syarat-syarat materilnya.
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
Pasal 6:
(1). Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.
(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Universitas Sumatera Utara
36
(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
ataudalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (1) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolehnya
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini.
(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dariyang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7:
(1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enambelas) tahun.
Universitas Sumatera Utara
37
(2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
keduaorang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlakujuga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan
diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975,
tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai
pencatat perkawinan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, yang meneliti
apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halangan
perkawinan menurut Undang-Undang.
3. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
oleh pegawai pencatat perkawinan.
4. Pelaksanaan perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
5. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
6. Penerbitan akta perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan
Universitas Sumatera Utara
38
Pada sisi lainnya persyaratan yang ditentukan oleh Undang-undang
Perkawinan adalah:36
1. Adanya persetujuan bebas dari kedua calon mempelai.
2. Bagi yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari orang tua atau
salah satu orang tua atau wali atau orang yang memeliharanya atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atas
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan.
3. Perkawinan hanya dapat diizinkan, jika pria telah berumur 19 tahun dan
wanita telah berumur 16 tahun.
4. Para pihak yang akan kawin, tidak terlarang kawin karena adanya hubungan
darah atau hubungan semenda atau hubungan sepesusuan atau hubungan
saudara karena suami beristri lebih dari seorang (istri sebelumnya masih
bersaudara dengan istri sebelumnya) atau hubungan lain yang dilarang oleh
agama atau peraturan lain yang berlaku.
5. Tidak terikat dalam satu perkawinan lain.
6. Para pihak yang akan kawin, tidak terhalang kawin berhubung keduanya telah
bercerai untuk kedua kalinya.
7. Bagi pihak wanita, tidak sedang dalam masa iddah.
3.
Menurut Kompilasi Hukum Islam
Ketentuan yang ada pada Kompilasi Hukum Islam yang secara tegas dan juga
menyebutkan pembagian rukun dan syarat perkawinan. Ketentuan rukun dan syarat
perkawinan dapat dilihat pada pasal 14 sampai dengan Pasal 29, rukun perkawinan
terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul,
sedangkan yang termasuk dalam syarat perkawinan, yaitu:
1.
Syarat calon mempelai (calon suami dan calon istri)
a. Calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun.
36
Ibid., hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
39
b. Calon mempelai yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari
orang tua atau salah satu orang tua atau wali atau orang yang memeliharanya
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
keatas atau pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan.
c. Adanya persetujuan dari calon mempelai. Persetujuan dari calon mempelai
wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau
isyarat, tetapi dapat juga berupa diam, dalam arti selama tidak ada penolakan
yang tegas. Bagi calon yang tuna wicara atau tuna runggu, persetujuannya
dapat dinyatakan secara tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
d. Persetujuan kedua calon mempelai dinyatakan oleh Pegawai pencatat Nikah
dihadapan dua orang saksi.
e. Kedua calon mempelai, tidak terdapat halangan perkawinan.
2.
Syarat wali nikah:
a. Muslim.
b. Aqil dan baligh.
c. Tidak tuna wicara, tidak tuna runggu atau tidak udzur.
3.
Syarat saksi:
a. Laki-laki.
b. Muslim.
c. Adil.
d. Aqil dan baligh.
Universitas Sumatera Utara
40
e. Tidak terganggu ingatan dan tidak tuna runggu atau tuli.
4.
Syarat ijab dan kabul:
a. Jelas, beruntun dan tidak berselang waktu.
b. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat diwakilkan kepada orang lain.
c. Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi.
Dalam hal-hal tertentu kabul nikah dapat diwakilkan pada pria lain, dengan
ketentuan mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wali atas akad nikahitu adalah untuk mempelai pria, apabila calon mempelai wanita
atau walinya keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh
dilangsungkan.37
Selain
persyaratan-persyaratan
sebagaimana
yang
diuraikan
diatas,
sebenarnya Undang-undang Perkawinan itu sendiri juga memberikan batasan tentang
persyaratan perkawinan, oleh sebab itu bagi pasangan suami istri yang beragama
Islam, ada dua persyaratan yang harus diindahkan, yang diatur dalam dua bentuk
aturan hukum berbeda, yaitu agamanya dan Undang-Undang Perkawinan.
Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinandan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
37
Tengku Erwinsyahbana, Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 Dikaitkan Dengan Ketentuan Perkawin Berdasarkan Fiqih Islam, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medn, 2006, hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
41
Menurut pendapat H. Bismar Siregar, perkawinan yang didambakan sah
secara hukum, sah pula di mata Tuhan. Dua sisiyang tidak terpisahkan, sah secara
hukum dilaksanakan sesuai atau memenuhi syarat formal. 38 Syarat yang beragama,
sesuai agama masing-masing. Hal inidapat dilihat dalam rumusan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 1Tahun 1974, “Perkawinan itu sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
Syarat-syarat utama untuk melangsungkan perkawinan dapat dikelompokkan :
1.
Syarat-syarat Materiil.
Syarat-syarat materiil adalah syarat tentang orang yang hendak kawin dan izinizin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal ditentukan oleh undangundang. Syarat ini terbagi dua, yaitu :
a. Syarat Material Mutlak, adalah syarat yang mutlak dan harus dipenuhi oleh
siapapun yang hendak kawin, yaitu :
1) adanya persetujuan kedua calon suami-istri
2) adanya izin orang tua bagi calon suami-istri yang belum mencapai usia 21
tahun.
3) batas usia untuk melangsungkan perkawinan adalah :
a)
umur 19 tahun bagi laki-laki
b) umur 16 tahun bagi wanita
4) waktu tunggu bagi wanita
38
Rusli dan R. Tania, Perkawinan Antara Agama, Cet. Pertama, Shantika Dharma, Bandung,
1984, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
42
a)
130 hari, jika ditinggal mati suaminya.
b) tiga kali suci, atau 90 hari bagi wanita yang tidak datang bulan lagi.
c)
sampai anak lahir, jika janda dalam keadaan hamil.
d) apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda
dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka
tidak ada waktu tenggang.
b.
Syarat Material Relatif, adalah syarat bagi pihak yang hendak dikawini.
Dalam syarat Material Mutlak seseorang yang telah memenuhi syarat-
syarat diperbolehkan kawin, akan tetapi tidak dengan semua orang. Orangorang yang dapat dikawini harus memenuhi syarat Material Relatif.
Syarat Material Relatif adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a)
Adanya hubungan darah dalam garis keturunan baik ke atas maupun
kebawah.
b)
Adanya hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yakni
antara saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
c)
Adanya hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu
tiri.
d)
Adanya hubungan antara saudara dengan istri atau bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal ini jika suami beristri lebih dari satu.
Universitas Sumatera Utara
43
e)
Adanya hubungan agamanya atau peraturan lain yang berlaku (Pasal
8Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
2. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali
yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3. Jika suami-istri telah bercerai dan kemudian kawin lagi untuk kedua
kalinya, maka tidak boleh ada perkawinan lagi, sepanjang bahwa masingmasing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain Pasal 10 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2.
Syarat-syarat Formil
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 TentangPerkawinan, terdiri dari tiga tahap, yaitu :
a. Pendaftaran atau pemberitahuan kepada Pegawai Catatan Sipil.
b. Penelitian dan pengecekan terhadap syarat-syarat perkawinan yang
didaftarkan
c. Pengumuman
tentang
pemberitahuan
untuk
dilangsungkan
perkawinannya.
Sahnya Perkawinan Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang
PerkawinanNomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur bahwa:
Universitas Sumatera Utara
44
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing hukum,
agama dan kepercayaannya.
2. Tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Ketentuan ini bisa dijabarkan bahwa perkawinan dianggap sah, jika
diselenggarakan:
a. Menurut hukum masing-masing, agama dan kepercayaan.
b. Secara tertib menurut hukum syariah bagi yang beragama Islam.
c. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Untuk orang Cina selain Islam, juga untuk orang Indonesia yang beragama
Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai dari KantorCatatan Sipil sedangkan untuk
yang beragama Islam dilakukan pencatatan oleh petugas pencatat nikah, talak, rujuk
dari Kantor Urusan Agama.
Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan hasil wawancara
yang dilakukan pada pengadilan Agama kelas I-A medan bahwasannya pernikahan
yang telah dilaksanakan ternyata wali nikahnya tidak sah hal ini dapat diketahui
karena adanya laporan dari pihak keluarga yang merasa keberatan, namun untuk itu
perlu diperhatikan syarat dan rukun untuk melaksanakan pernikahan sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974tentang perkawinan.39
39
Hasil wawancara dengan Bapak Jumrik, SH, Panitera Pengganti pada Pengadilan Kelas I-A
Medan, Pada tanggal 30Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
45
B. Pihak-Pihak Yang Berhak Untuk Menikahkan
Orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang
bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Namun
adakalanya seorang wali tidak hadir atau karena sesuatu sebab tidak dapat bertindak
sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.40
Defenisi wali akad secara istilah adalah orang-orang yang memiliki otoritas
menjalankan akad atau yang berhak memberikan izin untuk melakukan akad, dalam
hubungan dengan laki-laki atau perempuan yang memiliki kelayakan yang sempurna
untuk menjalankan akad.41
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang
paling berhak, yaitu orang yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur
ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli
waris yang diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.42
1.
Syarat untuk menjadi wali
Wali nikah bertanggung jawab atas sahnya perkawinan, sehingga orang yang
menjadi wali nikah memiliki sifat-sifat dan syarat sebagai berikut dan paraulama telah
sepakat bahwa syarat-syarat orang yang dapat dijadikansebagai seorang wali adalah
sebagai berikut:
1. Orang Mukallaf atau Baliqh, karena orang yang mukallaf adalah orang yang
dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
40
Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., MM. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H. Fikih
Munahakat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta, Rajawali Pers, 2010. Hal. 90.
41
M.T. MudarresiFikih Khusus Dewasa, Al-Huda, Jakarta, 2007, hal.104.
42
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
Hadist Nabi: “Diangkatnya hukum itu dari tiga perkara; dariorang yang tidur
hingga ia bangun, dari anak-anak hingga iabermimpi (dewasa) dan dari orangorang yang gila hingga iasembuh”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Muslim. Apabila yang kawin itu orang muslim, disyaratkan walinya juga
seorang muslim. Hal ini berdasarkan Firman Allah S.w.t: “Janganlah orangorang mukmin mengangkat orang kafir sebagai wali-wali (mereka) dengan
meninggalkan orang- orang mukmin”. (Q.S. Ali Imran : 28).
c. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum
dan
dengan
Hadist
Nabi
yang
telah
disebut
diatas
tadi
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan perbuatannya.
d. Laki-laki.
e. Adil.43
Wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak berma’siat, tidak fasik, ia
orang baik-baik, orang soleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat yang
munkar.44
Syarat-syarat baragama Islam, baliqh dan berakal sehatdisepakati para ulama.
Tetapi untuk syarat laki-laki dan adildiperselisihkan, Imam Abu Hanifah
membolehkan perempuan danorangfasik (muslim yang tidak taat menjalankan ajaranajaranagama) bertindak menjadi wali.
43
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1982, hal. 43
44
Prof. Drs. Zakiah Daradjat, (et.al), Ilmu Fiqh, Jilid 2, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,
1995, hal. 82
Universitas Sumatera Utara
47
Menurut Abu Hanifah, bagi wali yang penting bukanlah laki-laki dan
ketaatannya
menjalankan
perintah-perintah
dan
menjauhi
larangan-larangan
agamatetapi kepandaiannya memilihkan jodoh yang tepat bagiperempuan di bawah
perwaliannya. Di Indonesia, syarat adil (taatberagama Islam) bagi wali tidak
mendapat tekanan. Asal seorangmenyatakan beragama Islam, di samping adanya
syarat-syaratbaliqh, berakal sehat, dan laki-laki, sudah dipandang cakap bertindak
sebagai wali.
2.
Macam-macam wali
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yangberhak bertindak
menjadi wali adalah:
a. Ayah, kakek, dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
b. Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu) atau seayah.
c. Kemenakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara laki-laki
kandung atau seayah).
d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung atauseayah).
e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung atau
seayah).
f. Sultan (penguasa tertinggi) yang disebut juga Hakim (bukan qadi, Hakim
Pengadilan).
g. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali
muhakkam.45
45
Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit, hlm. 41
Universitas Sumatera Utara
48
Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadiwali tersebut di
atas, dapat dilihat adanya tiga macam wali yaitu:
a. Wali nasab
Wali nasab adalah orang yang berasal dari keluarga mempelai wanita dan
berhak menjadi wali. Urutan kedudukan kelompok yang satu didahulukan dari
kelompok yang lain berdasakan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai. Adapun urutan kelompok yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1). Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus keatas, yaitu ayah,
kakek, buyut, dan seterusnya ke atas.
2). Kelompok kedua adalah kerabat saudara laki-lakikandung atau saudara
laki - laki seayah dan keturunan anak laki-laki mereka.
3). Kelompok ketiga adalah kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung
ayah atau saudara laki - laki seayah, serta keturunan laki-laki mereka.
4). Kelompok keempat adalah kerabat saudara laki-laki kakek, saudara lakilaki seayah kakek serta keturunanlaki - laki mereka.46
Jika dalam satu kelompok wali nikah itu terdapatbeberapa orang yang
mempunyai hak yang sama untukmenjadi wali nikah, maka yang paling berhak
menjadi waliadalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calonmempelai
wanita dan apabila derajat kekerabatannya samauntuk menjadi wali nikah maka yang
paling berhak untukmenjadi wali nikah yaitu kerabat kandung dari kerabat yanghanya
seayah, dan apabila di dalam satu kelompok juga terdapat sama-sama derajat kandung
46
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Dina utama, Semarang, 1993, hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
49
atau sama-sama derajat kerabat seayah maka mereka sama-sama berhak untuk
menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan juga memenuhi syaratsyarat untuk menjadi walinikah dan jika wali nikah yang paling berhak urutannya
tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah atau oleh karenawali nikah itu
menderita tunawicara atau sudah uzur maka hak untuk menjadi wali bergeser kepada
wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
b. Wali hakim
Wali Hakim adalah orang yang diangkat oleh Pemerintah atau lembaga
masyarakat yang biasa disebut ahlu al-halli waal-‘aqdi untuk menjadi Hakim dan
diberi wewenang untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Namun
dalam pelaksanaannya Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atau Pegawai
Pencatat Nikah, yang bertindak sebagai wali Hakim dalam pelaksanaan akad nikah
bagi mereka yang tidak memiliki wali atau walinya Adlol.
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah dalam perkawinan
apabila wali nasab tidak ada atau tidakmungkin untuk menghadirkannya atau pun
tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau Adlol atau enggan. Didalam hal
wali Adlol atau enggan maka wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut, yang dimaksud dengan wali
Hakim bukan hakim Pengadilan, meskipun demikian Hakim Pengadilan Agama
Universitas Sumatera Utara
50
dimungkinkan juga bertindak menjadi wali Hakim apabila memang memperoleh
kuasa dari Kepala Negara cq Menteri Agama.47
Dalam masalah wali nasab menolak bertindak sebagai wali hanya dalam yang
benar-benar dipandang tidak beralasan. Orang tua tidak menyetujui perkawinan
anaknya dan menolak menjadi wali, misalnya orang tua menolak atas pertimbangan
materiil, pangkat, dan sifat-sifat lahiriah calon suami, bukan atas pertimbangan
akhlak, perwalian dapat dimintakan kepada Sultan, Kepala Negara yang disebut juga
Hakim.
Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian Hakim apabila:48
1. Wali nasab memang tidak ada.
2. Wali nasab bepergian jauh atau tidak di tempat, tetapi tidak memberi kuasa
kepada wali yang lebih dekat yang ada di tempat.
3. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
4. Wali nasab sedang berihram haji atau umrah.
5. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.
6. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah
perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan
dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah.
Akan tetapi wali Hakim tidak berhak menikahkan:
1. Wanita yang belum baligh.
47
48
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal. 89
Prof. Dr. A. Sarong, SH.,MH., Op.Cit., hal. 78-79.
Universitas Sumatera Utara
51
2. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) yang tidak sekufu.
3. Tanpa seizin wanita yang akan menikah.
4. Di luar daerah kekuasaannya.
c. Wali muhakkam
Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai wali
karena tidak memenuhi syarat atau menolak, dan wali hakim pun tidak dapat
bertindak sebagai wali nasab karena berbagai macam sebab, mempelai yang
bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya untuk memenuhi syarat
sahnya nikah bagi yang mengharuskan ada wali.
Wali yang diangkat oleh mempelai disebut Wali Muhakkam. Misalnya,
apabila seorang laki-laki beragama Islam kawin dengan seorang perempuan beragama
Kristen tanpa persetujuan orang tuanya, biasanya yang berwenang bertindak sebagai
wali hakim di kalangan umat Islam tidak bersedia menjadi wali apabila orang tua
mempelai perempuantidak memberi kuasa. Dalam hal ini, agar perkawinan dapat
dipandang sah menurut hukum Islam, mempelai perempuan dapat mengangkat Wali
Muhakkam.49
Wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain
sesuai dengan bidang hukumnya. Wali ada yang umum dan ada yang khusus.
Dikatakan khusus artinya ialah yang berkenaan dengan manusia dan harta benda.
Disini yang dibicarakan Wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam
perkawinan.
49
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1419H/1999 M, hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
52
Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah yang berarti penguasaan dan
perlindungan. Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian adalah penguasaan
penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi
orang atau barang. Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh:
1. Pemilikan atas barang atau orang, seperti perwalian atas budak yang
dimiliki atau barang-barang yang dimiliki.
2. Hubungan kerabat atau keturunan seperti perwalian seseorang atas salah
seorang kerabatnya atau anak-anaknya.
3. Karena memerdekakan budak seperti perwalian seseorang atau budakbudak yang telah dimerdekakannya.
4. Karena pengangkatan seperti perwalian seseorang Kepala Negara atas
rakyatnya atau perwalian seseorang pemimpin atas orang-orang yang
dipimpinnya.
Oleh sebab itu dalam garis besarnya perwalian itu dapat dibagi atas:
1. Perwalian atas orang.
2. Perwalian atas barang.
3. Perwalian atas orang dalam perkawinannya.50
Dalam hal ini yang dibicarakan ialah yang berhubungan dengan perwalian
atas orang dalam perkawinannya. Orang yang diberi kekuasaan disebut “wali”. Wali
50
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta,1993,
hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
53
nikah hanya ditetapkan bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan pihak laki - laki
tidak memerlukan seorang wali.
Perdebatan tentang wali nikah suatu akad perkawinan sudah lama dibicarakan
oleh para ahli hukum Islam, terutama kedudukan wali dalam akad tersebut.
Sebahagian para ahli hukum Islam mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan
tanpa wali, perkawinan tersebut tidak sah karena kedudukan wali dalam akad
perkawinan adalah salah satu rukun yang harus dipenuhi.
Sebagian para ahli hukum Islam yang lain mengemukakan bahwa wali dalam
suatu akad perkawinan bukanlah suatu rukun yang harus dipenuhi, tetapi sekedar
sunnah saja dan perkawinan yang dilaksanakan tanpa hadirnya wali dalam akad
perkawinan bukanlah suatu hal yang cacat hukum perkawinan tersebut tetap sah dan
perkawinan itu tidak menjadi batal.51
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah,
”yang dimaksud wali dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau
wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang
yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi
kemaslahatannya sendiri.52
Sedangkan Sayid sabiq mengemukakan bahwa secara umum yang dimaksud
dengan wali adalah ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang
lain sesuai dengan bidang hukumnya.53
51
Dr. H. Abdul Manan, S. H., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana
Predana Media Group, Jakarta, 2006, hal. 58.
52
Ibid.
53
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
54
Asy Syafi’I memgemukakan bahwa nikah seorang wanita tidak dapat
dilaksanakan kecuali dengan pernyataan seorang wali dekat dengan calon
mempelaiwanita, jika tidak ada wali yang dekat, maka perwalian itu pindah
kepada wali yang jauh.54
Sementara Zahri Hamid menjelaskan bahwawali nikah adalah seorang lakilaki yang dalam suatu akad nikah berwenang mengijabkan pernikahan calon
mempelai perempuan, adanya wali nikah itu merupakan rukun yang dipenuhi adalah
suatu akad perkawinan.
Kedudukan wali nikah sangat penting dan menentukan dalam sahnya
perkawinan, dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali nikah. Wali adalah mereka
yang dekat dengan calon mempelai wanita, dimulai dari yang paling dekat dan
seterusnya, jika mereka berhalangan dapat diganti oleh wali hakim.55
Berdasarkan hukum Islam, wali dalam suatu pernikahan merupakan keharusan
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita, karena wali merupakan rukun akad
nikah, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Baqarah (2) ayat 232, yang artinya :
“Bila kamu menceraikan istri, dan mereka sampai batas iddah, jangan kamu
halangi mereka kawin dengan calon suami mereka, bila mereka setuju dengan
cara yang baik. Inilah nasehat bagi siapapun diantaramu yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Itu lebih suci dan bersih bagi kamu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahuinya”.
Dalam hukum Islam, terdapat alasan-alasan kuat yang mengharuskan adanya
wali dalam perkawinan karena itu dengan tegas Mazhab Syafi’i mengharuskan
54
55
Ibid., hal. 59
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
55
adanya wali, tanpa wali perkawinan tidak sah. Di Indonesia pada umumnya menganut
paham Mazhab Syafi’i yang menganggap wali adalah salah satu dari rukun
perkawinan.
C. Pencatatan Perkawinan
Syarat-syarat yang menentukan sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal ini
memuatdua ketentuan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan, yaitu:
a. Pasal 2 ayat (1): ”Perkawinan baru merupakan perkawinan yang sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
b. Pasal 2 ayat (2): “setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan
yang berlaku.”
Yang dimaksud dengan hukum masing masing agamanya dan kepercayaan itu
termasuk pelaksanaan ketentuan perundangan menurut agama dan kepercayaan yaitu
asal tidak bertentangan dengan undang-undang sah tidaknya suatu perkawinan sematamata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak
melaksanakan perkawinan. “Setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan
ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak
mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.”
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) membuat ketentuan “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jika
Universitas Sumatera Utara
56
disesuaikan dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) di atas ialah agama dan kepercayaan bagi
mereka yang akan melaksanakan perkawinan. Bagi mereka yang memeluk
agamaIslam, yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh kaidah
Hukum Islam. Demikian juga dengan agama-agama lainnya.
Bagi mereka yang belum memeluk agama dan kepercayaan, juga tidak ada
kesulitan, misalnya sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan ethnograpimasih
adalagi dijumpai suku di negara Indonesia yang menganut kepercayaan animisme,
maka kaidah yang berlaku bagi mereka dengan sendirinya ditentukan oleh tata cara
perkawinan yang terdapat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut.
Selanjutnya, “pencatatan perkawinan bukanlah termasuk ketentuan yang
menentukan sah tidaknya perkawinan, namun merupakan salah satu unsur esensial
dalam persoalan sahnya perkawinan, sebab didalamnya tersangkut kepentingankepentingan yang menghendaki perlindungan negara.”
Pencatatan hanya tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Tentang pencatatan
perkawinan diatur dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang
memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, antara lain:
a. Bagi
mereka
yang
beragama
Islam
dan
yang
melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai
Universitas Sumatera Utara
57
Pencatat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32
tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.
b. Bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan
perkawinan menurut agama dan kepercayaan mereka, pencatatan dilakukan
oleh pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud
dalam berbagai Perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus bagi tata cara
pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata
cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
3 sampai dengan pasal 9 Peraturan ini.
Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
bahwasanya setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan,
pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan ini dilakukan secara lisan atau tertulis oleh
calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya.
Suatu kenyataan yang masih sering kita jumpai dalam realitas kehidupan kita
adalah masih banyak orang yang melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan di
kantor percatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan
Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam) dengan berbagai alasan.
Universitas Sumatera Utara
58
Terhadap perkawinan semacam ini, sebagian ulama dan ahli hukum
berpendapat bahwa perkawinan seperti itu sah apabila dilakukan sesuai ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Sedangkan pencatatan perkawinan merupakan tindakan adminstrasi saja,
apabila tidak dilakukan tidak mempengaruhi sahnya perkawinan yang telah
dilaksanakan itu. Tetapi di pihak lain menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan
tidak sah dan dikategorikan sebagai nikah fasid (rusak), sehingga bagi pihak yang
merasa dirugikan akibat dari perkawinan
BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA
PEMBATALANPERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Pada bidang perkawinan, bangsa Indonesia telah memiliki Undang-undang
nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang disahkan pada tanggal 2 Januari 1974
dan diundangkan di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor
1, sedangkan penjelasannya dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019. Menurut Dr. Mr. Hazairin, Undang-Undang Perkawinan ini
adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang
berlaku bagi setiap warga negara Republik Indonesia. 30
Sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut keluar, di Indonesia
berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (B.W), Ordonansi PerkawinanIndonesia Kristen (Huwelyks Ordonansi voor
de Christenen Indoensiers) Staatblad 1933 Nomor 74, Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelyken) Staatblad 1898 Nomor 158, dan
Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Lembaran Negara 1954 Nomor
32 serta peraturan-peraturan Menteri Agama mengenai penjelasannya. Berlakunya
hukum perkawinan Islam bagi umat Islam di Indonesia disamping adanya Undang30
Hazairin, Tinjauan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Tintamas, Jakarta, 1975,
hlm. 260.
23
Universitas Sumatera Utara
24
Undang No. 1 tahun 1974 tidak berarti bahwa pasal-pasal yang ada dalam undangundang tersebut bertentangan dengan ketentuan perkawinan Islam.
Dengan mengadakan perbandingan akan kita peroleh kepastian bahwa banyak
pasal dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sejalan dengan ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan Islam.
1.
Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau
perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT.31
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan
atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan suatu jalan
yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum
dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan
pertolongan antara satu dengan yang lainnya.32
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya,
melainkan antara dua keluarga, dari baiknya pergaulan antara si istri dengan
suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu pada semua keluarga dari
31
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 14.
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Cet. 51, Bandung, Sinar Baru
Algensindo, 2011, hal. 374.
32
Universitas Sumatera Utara
25
kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolongtolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.
Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.
Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara
perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan apabila
ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh
suaminya, pernikahan juga berguna untuk memelihara keturunan anak cucu
(keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa
yang akan mengurusnya dan siapa yang akan bertanggung jawab atasnya.
Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada
pernikahan tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu
akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya, yang mungkin
juga sampai menimbulkan pembunuhan yang mahadahsyat.
Demikianlah maksud pernikahan yang sejati dalam Islam, singkatnya untuk
kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan
masyarakat
QS. An-Nisa’: 22-24 menyebutkan macam-macam perempuan yang haram
dinikahi laki-laki, sebagai berikut: ibu tiri (janda ayah), ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu),
kemenakan (anak perempuan saudara laki-laki), kemenakan (anak perempuan saudara
perempuan), ibu susuan, saudara perempuan sesusuan, mertua (ibu istri), anak tiri
Universitas Sumatera Utara
26
apabila ibunya sudah dicampuri (sebelum ibunya dicampuri apabila berpisah, anak
tiri dapat dikawini), menantu (istri anak kandung), mengumpulkan dua perempuan
bersaudara sebagai istri dan perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan lakilaki lain.
Dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut, perempuan yang haram dinikahi itu dapat
dibagi dua: haram untuk selamanya dan haram untuk sementara.
a.
Haram Dinikah untuk Selamanya
Sebab-sebab perempuan haram dinikah selamanya ada empat macam yaitu :
1) Perempuan haram dinikahi karena hubungan senasab, yaitu :
a) Ibu, yang dimaksud adalah yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas, yaitu, nenek dari garis ayah atau ibu yang
seterusnya ke atas.
b) Anak perempuan, yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, yaitu anak
perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki maupun perempuan),
buyut perempuan dan seterusnya ke bawah.
c) Saudara perempuan kandung (seayah dan seibu), seayah saja atau seibu
saja.
d) Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu kandung, seayah atau seibu,
dan seterusnya ke atas, yaitu saudara kakek atau nenek, saudara kakek
buyut atau nenek buyut dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
27
e) Kemenakan perempuan, yaitu anak saudara laki-laki atau perempuan dan
seterusnya kebawah.
2) Perempuan haram dinikah karena hubungan susuan, yaitu :
a) Ibu susuan, ibu yang menyusui seorang anak dipandang sebagai ibu anak
yang disusuinya.
b) Nenek susuan, yaitu dari ibu dan susuan dan ibu dari suami ibu susuan
(suami ibu susuan dipandang seperti ayah sendiri anak susuan).
c) Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau suami ibu
susuan dan seterusnya ke atas.
d) Kemenakan perempuan susuan, yaitu cucu-cucu dari ibu susuan sebab
mereka itu dipandang anak dari saudara-saudara sendiri.
e) Saudara perempuan susuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu
saja; yang disebut saudara perempuan sesusuan kandung adalah yang
disusui ibu susuan dari suaminya (ayah susuan), baik disusui bersamasama dengan anak susuan, sebelumnya atau sesudahnya. Yang disebut
saudara perempuan sesusuan seayah adalah yang disusui oleh istri dari
ayah susuan; dan yang dimaksud dengan saudara perempuan sesusuan
seibu ialah disusui oleh ibu susuan dari laki-laki lain.
3) Perempuan haram dinikah karena hubungan semenda, yaitu:
a) Mertua, yaitu ibu kandung istri, demikian pula nenek istri dari garis ibu
atau ayah dan seterusnya ke atas. Haram nikah dengan mertua dan
seterusnya ke atas itu tidak diisyaratkan harus telah terjadi persetubuhan
Universitas Sumatera Utara
28
antara suami dan istri bersangkutan. Dengan terjadinya akad nikah telah
mengakibatkan haram nikah dengan mertua dan seterusnya ke atas
tersebut.
b) Anak tiri, dengan syarat telah terjadi persetubuhan antara suami dengan
ibu anak. Apabila belum pernah terjadi persetubuhan, tiba-tiba suami istri
bercerai, karena talak atau kematian, dimungkinkan perkawinan antara
laki-laki dan anak tirinya.
c) Menantu, yaitu istri anak, istri cucu (dari anak laki-laki maupun
perempuan) dan seterusnya ke bawah, tanpa syarat setelah terjadi
persetubuhan antara suami dan istri.
d) Ibu tiri, yaitu janda ayah tanpa syarat pernah terjadi persetubuhan antara
suami dan istri. Dengan terjadinya akad nikah antara ayah dan seorang
perempuan telah berakibat haram nikah antara anak dan ibu tiri.
4) Perempuan haram dinikah karena sumpah lian
Apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi yang cukup,
sebagai gantinya, suami mengucapkan persaksian kepada Allah bahwa ia
dipihak yang benar dalam tuduhannya itu, sampai empat kali, dan yang
kelimanya ia menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila ternyata ia
berdusta dalam tuduhannya itu. Istri yang dituduhkan zina akan bebas dari
hukuman zina apabila ia pun menyatakan persaksian kepada Allah bahwa
suaminya berdusta, sampai empat kali dan yang kelimanya ia pun menyatakan
bersedia menerima laknat Allah apabila ternyata suaminya benar.
Universitas Sumatera Utara
29
b. Haram dinikahi untuk sementara
1) Mengumpulkan antara dua perempuan bersaudara menjadi istri seseorang.
Apabila dengan jalan pergantian, setelah berpisah dengan salah seorang
saudara, lalu ganti mengawini saudaranya diperbolehkan. Hal ini sering terjadi
pada seseorang karena kematian istrinya lalu ganti mengawini adik iparnya.
Kecuali larangan mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara menurut
ketentuan Al Qur’an, Nabi mengajarkan pula bahwa tidak boleh seseorang
mengumpulkan antara seorang perempuan dan kerabatnya yang jika
diperkirakan salah satunya laki-laki tidak dibolehkan kawin dengan yang lain;
misalnya antara seorang perempuan dan kemenakannya, seorang perempuan
dan cucunya dan sebagainya.
2) Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain, sebagaimana
ditentukan dalam Surah An-Nisa : 24
3) Perempuan sedang dalam menjalani masa iddah, baik iddah kematian maupun
iddah talak.
4) Perempuan yang ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas suami
yang mentalaknya, kecuali setelah kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian
bercerai dan telah habis masa iddahnya.
5) Perkawinan orang yang sedang ihram, baik melakukan akad nikah untuk diri
sendiri atau bertindak sebagai wali atau wakil orang lain.
Hadits Nabi riwayat Muslim dari Usman bin Affan mengajarkan, “Orang yang
sedang menjalani ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dan tidak boleh
Universitas Sumatera Utara
30
meminang.” Nikah orang yang sedang menjalani ihram apabila terjadi juga,
dipandang batal, tidak mempunyai akibat hukum.
6) Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dan perempuan pelacur
atau perempuan baik-baik dan laki-laki pezina, tidak dihalalkan, kecuali
setelah masing-masing menyatakan bertobat. Apabila pezina benar-benar
bertobat, mohon ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya pada masa
lampau dan berjanji tidak akan kembali lagi berbuat zina, diikuti dengan
ketaatan menjalankan aturan-aturan Allah, pasti Allah akan menerima
tobatnya dan akan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang saleh.
QS Al-Furqan: 68-70 menyebutkan beberapa sifat orang-orang saleh, tidak
musyrik, tidak membunuh tanpa alasan yang sah dan tidak berzina. Orangorang yang berbuat demikian akan menanggung dosa, dilipat gandakan
siksanya pada hari kiamat dan akan kekal menderita siksaan; kecuali orangorang yang mau bertobat, beriman, dan beramal saleh; Allah akan mengganti
keburukan mereka dengan kebaikan karena Allah Maha Pengampun lagi
Maha Pengasih.
7) Mengawini wanita musyrik. Para fukaha sepakat bahwa laki-laki muslim
haram mengawini perempuan musyrik sesuai ketentuan QS Al-Baqarah: 221.
Kepercayaan syirik adalah yang mempertuhankan selain Allah, apa pun
agamanya kecuali Yahudi dan Nasrani. Para penganut agama Yahudi dan
Nasrani disebut dalam Al Qur’an dengan nama ahli kitab.
Universitas Sumatera Utara
31
8) Kawin dengan lebih dari empat istri. Dalam Q.S. An-Nisa: 3 memberi
kelonggaran laki-laki kawin poligami sebanyak-banyaknya empat orang istri.
Laki-laki yang telah mempunyai empat orang istri haram kawin lagi dengan
istri kelima dan seterusnya.
Tujuan dilaksanakan perkawinan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan
sedemikian rupa menurut hukum nasional adalah untuk membentuk suatu keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan bila mendasarkan pada Alqur'an dan hadist dapat diperoleh
kesimpulan, bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan RasulNya.
Menurut hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
dengan maksud melanjutkan keturunan serta mengusahakan agar dalam rumah tangga
dapat diciptakan ketenangan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Ketenangan yang
menjadi kebahagiaan hidup dapat diperoleh melalui kesadaran bahwa seseorang
dengan ikhlas telah menunaikan kewajibannya baik kepada Tuhan maupun kepada
sesama manusia.
Saling memahami kewajiban antara suami istri dan anggota keluarga dalam
rumah tangga merupakan salah satu cara membina rumah tangga bahagia. Dengan
demikian perkawinan dan tujuan perkawinan sangat erat hubungannya dengan agama,
maka pendidikan agama dalam keluarga merupakan suatu hal yang sangat
Universitas Sumatera Utara
32
pentinguntuk membentuk keluarga bahagia karena sesungguhnya agama akan
membuat hidup dan kehidupan manusia menjadi lebih bermakna.
2.
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagaisuami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia
dankekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Sangat ideal sekali tujuan perkawinan yang diinginkan oleh Undangundangini, tidak hanya melihat dari segi ikatan kontrak lahirnya saja tetapi sekaligus
ikatanpertalian kebatinan antara suami istri yang tujuannya untuk membangun
keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya pengertian perkawinan dapat dilihat dari beberapa pendapatb
erikut ini:
Menurut Hukum Islam:
“Nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan
lafadz atau terjemahan dari kata-kata tersebut, jadi maksud pengertian tersebut
adalah apabila seorang laki-laki dan perempuan sepakat untuk membentuk
suatu rumah tangga, keduanya melakukan akad nikah terlebih dahulu.”33
Menurut K. Wantjik Saleh,
“perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal
ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan
material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yangbahagia dan kekal itu
33
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Op. Cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
33
haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam
pancasila.”34
Menurut Victor Situmorang:
“Perkawinan dilangsungkan dengan persetujuan timbal balik yang bebas
yangtidak dapat digantikan oleh campur tangan siapapun. Sebagai persetujuan
timbal balik untuk hidup bersama, yang hakikatnya adalah sosial dan
pentingbagi pergaulan hidup manusia. Persetujuan bebas suami istri
mempunyaiakibat-akibat hukum. Perkawinan diakui dan dilindungi hukum,
oleh sebabitu perkawinan dapat dipandang sebagai suatu kontrak, akan tetapi
iamerupakan suatu kontrak tersendiri”.35
Mengingat peranan yang dimiliki dalam hidup bersama itu sangat pentingbagi
tegak dan sejahteranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan kaidahkaidah yang mengatur mengenai hidup bersama ini. “Peraturan-peraturan inilah yang
menimbulkan pengertian perkawinan yaitu hidup bersama dari seoranglaki-laki dan
perempuan yang memenuhi syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.”
a.
Asas-asas perkawinan
Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974, ditentukan asas-asas mengenai
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk
itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya,
membantu
dan
mencapai
kesejahteraan sprituil dan materil.
34
35
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1976, hal. 15.
Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
34
2. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian
yang dinyatakan dengan surat keterangan, suatu aktaresmi yang juga dimuat
dalam pencatatan.
3. Menganut asas monogami. Hanya apabila yang dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama orang tersebut mengizinkan, seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang
suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun halini dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan, hanya dapatdilakukan apabila memenuhi persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwaraganya
untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir kepada perceraian dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegahperkawinan antara
suami istri yang masih berada dibawah umur. Selain itu perkawinan juga
mempunyai hubungan permasalahan dengan kependudukan, ternyata dengan
batas umur yang lebih rendah dari seorangwanita untuk kawin mengakibatkan
laju kelahiran yang tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-Undang ini
Universitas Sumatera Utara
35
menentukan batas umur kawin bagi pria ialah 19 tahun dan wanita adalah 16
tahun.
5. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal
dansejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian. Harus dengan alasan tertentu serta dilakukan didepan
pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kedudukan pergaulan
masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalamkeluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
b. Syarat-Syarat Perkawinan
Untuk dapat melakukan suatu perkawinan yang sah menurut ketentuan
Undang-undang maka kedua calon mempelai yang hendak melangsungkan pernikahan
haruslah memenuhi syarat-syarat formil dan syarat-syarat materilnya.
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
Pasal 6:
(1). Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.
(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Universitas Sumatera Utara
36
(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
ataudalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (1) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolehnya
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini.
(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dariyang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7:
(1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enambelas) tahun.
Universitas Sumatera Utara
37
(2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
keduaorang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlakujuga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan
diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975,
tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai
pencatat perkawinan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, yang meneliti
apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halangan
perkawinan menurut Undang-Undang.
3. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
oleh pegawai pencatat perkawinan.
4. Pelaksanaan perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
5. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
6. Penerbitan akta perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan
Universitas Sumatera Utara
38
Pada sisi lainnya persyaratan yang ditentukan oleh Undang-undang
Perkawinan adalah:36
1. Adanya persetujuan bebas dari kedua calon mempelai.
2. Bagi yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari orang tua atau
salah satu orang tua atau wali atau orang yang memeliharanya atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atas
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan.
3. Perkawinan hanya dapat diizinkan, jika pria telah berumur 19 tahun dan
wanita telah berumur 16 tahun.
4. Para pihak yang akan kawin, tidak terlarang kawin karena adanya hubungan
darah atau hubungan semenda atau hubungan sepesusuan atau hubungan
saudara karena suami beristri lebih dari seorang (istri sebelumnya masih
bersaudara dengan istri sebelumnya) atau hubungan lain yang dilarang oleh
agama atau peraturan lain yang berlaku.
5. Tidak terikat dalam satu perkawinan lain.
6. Para pihak yang akan kawin, tidak terhalang kawin berhubung keduanya telah
bercerai untuk kedua kalinya.
7. Bagi pihak wanita, tidak sedang dalam masa iddah.
3.
Menurut Kompilasi Hukum Islam
Ketentuan yang ada pada Kompilasi Hukum Islam yang secara tegas dan juga
menyebutkan pembagian rukun dan syarat perkawinan. Ketentuan rukun dan syarat
perkawinan dapat dilihat pada pasal 14 sampai dengan Pasal 29, rukun perkawinan
terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul,
sedangkan yang termasuk dalam syarat perkawinan, yaitu:
1.
Syarat calon mempelai (calon suami dan calon istri)
a. Calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun.
36
Ibid., hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
39
b. Calon mempelai yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari
orang tua atau salah satu orang tua atau wali atau orang yang memeliharanya
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
keatas atau pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan.
c. Adanya persetujuan dari calon mempelai. Persetujuan dari calon mempelai
wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau
isyarat, tetapi dapat juga berupa diam, dalam arti selama tidak ada penolakan
yang tegas. Bagi calon yang tuna wicara atau tuna runggu, persetujuannya
dapat dinyatakan secara tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
d. Persetujuan kedua calon mempelai dinyatakan oleh Pegawai pencatat Nikah
dihadapan dua orang saksi.
e. Kedua calon mempelai, tidak terdapat halangan perkawinan.
2.
Syarat wali nikah:
a. Muslim.
b. Aqil dan baligh.
c. Tidak tuna wicara, tidak tuna runggu atau tidak udzur.
3.
Syarat saksi:
a. Laki-laki.
b. Muslim.
c. Adil.
d. Aqil dan baligh.
Universitas Sumatera Utara
40
e. Tidak terganggu ingatan dan tidak tuna runggu atau tuli.
4.
Syarat ijab dan kabul:
a. Jelas, beruntun dan tidak berselang waktu.
b. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat diwakilkan kepada orang lain.
c. Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi.
Dalam hal-hal tertentu kabul nikah dapat diwakilkan pada pria lain, dengan
ketentuan mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wali atas akad nikahitu adalah untuk mempelai pria, apabila calon mempelai wanita
atau walinya keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh
dilangsungkan.37
Selain
persyaratan-persyaratan
sebagaimana
yang
diuraikan
diatas,
sebenarnya Undang-undang Perkawinan itu sendiri juga memberikan batasan tentang
persyaratan perkawinan, oleh sebab itu bagi pasangan suami istri yang beragama
Islam, ada dua persyaratan yang harus diindahkan, yang diatur dalam dua bentuk
aturan hukum berbeda, yaitu agamanya dan Undang-Undang Perkawinan.
Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinandan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
37
Tengku Erwinsyahbana, Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 Dikaitkan Dengan Ketentuan Perkawin Berdasarkan Fiqih Islam, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medn, 2006, hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
41
Menurut pendapat H. Bismar Siregar, perkawinan yang didambakan sah
secara hukum, sah pula di mata Tuhan. Dua sisiyang tidak terpisahkan, sah secara
hukum dilaksanakan sesuai atau memenuhi syarat formal. 38 Syarat yang beragama,
sesuai agama masing-masing. Hal inidapat dilihat dalam rumusan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 1Tahun 1974, “Perkawinan itu sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
Syarat-syarat utama untuk melangsungkan perkawinan dapat dikelompokkan :
1.
Syarat-syarat Materiil.
Syarat-syarat materiil adalah syarat tentang orang yang hendak kawin dan izinizin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal ditentukan oleh undangundang. Syarat ini terbagi dua, yaitu :
a. Syarat Material Mutlak, adalah syarat yang mutlak dan harus dipenuhi oleh
siapapun yang hendak kawin, yaitu :
1) adanya persetujuan kedua calon suami-istri
2) adanya izin orang tua bagi calon suami-istri yang belum mencapai usia 21
tahun.
3) batas usia untuk melangsungkan perkawinan adalah :
a)
umur 19 tahun bagi laki-laki
b) umur 16 tahun bagi wanita
4) waktu tunggu bagi wanita
38
Rusli dan R. Tania, Perkawinan Antara Agama, Cet. Pertama, Shantika Dharma, Bandung,
1984, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
42
a)
130 hari, jika ditinggal mati suaminya.
b) tiga kali suci, atau 90 hari bagi wanita yang tidak datang bulan lagi.
c)
sampai anak lahir, jika janda dalam keadaan hamil.
d) apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda
dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka
tidak ada waktu tenggang.
b.
Syarat Material Relatif, adalah syarat bagi pihak yang hendak dikawini.
Dalam syarat Material Mutlak seseorang yang telah memenuhi syarat-
syarat diperbolehkan kawin, akan tetapi tidak dengan semua orang. Orangorang yang dapat dikawini harus memenuhi syarat Material Relatif.
Syarat Material Relatif adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a)
Adanya hubungan darah dalam garis keturunan baik ke atas maupun
kebawah.
b)
Adanya hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yakni
antara saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
c)
Adanya hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu
tiri.
d)
Adanya hubungan antara saudara dengan istri atau bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal ini jika suami beristri lebih dari satu.
Universitas Sumatera Utara
43
e)
Adanya hubungan agamanya atau peraturan lain yang berlaku (Pasal
8Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
2. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali
yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3. Jika suami-istri telah bercerai dan kemudian kawin lagi untuk kedua
kalinya, maka tidak boleh ada perkawinan lagi, sepanjang bahwa masingmasing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain Pasal 10 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2.
Syarat-syarat Formil
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 TentangPerkawinan, terdiri dari tiga tahap, yaitu :
a. Pendaftaran atau pemberitahuan kepada Pegawai Catatan Sipil.
b. Penelitian dan pengecekan terhadap syarat-syarat perkawinan yang
didaftarkan
c. Pengumuman
tentang
pemberitahuan
untuk
dilangsungkan
perkawinannya.
Sahnya Perkawinan Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang
PerkawinanNomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur bahwa:
Universitas Sumatera Utara
44
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing hukum,
agama dan kepercayaannya.
2. Tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Ketentuan ini bisa dijabarkan bahwa perkawinan dianggap sah, jika
diselenggarakan:
a. Menurut hukum masing-masing, agama dan kepercayaan.
b. Secara tertib menurut hukum syariah bagi yang beragama Islam.
c. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Untuk orang Cina selain Islam, juga untuk orang Indonesia yang beragama
Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai dari KantorCatatan Sipil sedangkan untuk
yang beragama Islam dilakukan pencatatan oleh petugas pencatat nikah, talak, rujuk
dari Kantor Urusan Agama.
Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan hasil wawancara
yang dilakukan pada pengadilan Agama kelas I-A medan bahwasannya pernikahan
yang telah dilaksanakan ternyata wali nikahnya tidak sah hal ini dapat diketahui
karena adanya laporan dari pihak keluarga yang merasa keberatan, namun untuk itu
perlu diperhatikan syarat dan rukun untuk melaksanakan pernikahan sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974tentang perkawinan.39
39
Hasil wawancara dengan Bapak Jumrik, SH, Panitera Pengganti pada Pengadilan Kelas I-A
Medan, Pada tanggal 30Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
45
B. Pihak-Pihak Yang Berhak Untuk Menikahkan
Orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang
bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Namun
adakalanya seorang wali tidak hadir atau karena sesuatu sebab tidak dapat bertindak
sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.40
Defenisi wali akad secara istilah adalah orang-orang yang memiliki otoritas
menjalankan akad atau yang berhak memberikan izin untuk melakukan akad, dalam
hubungan dengan laki-laki atau perempuan yang memiliki kelayakan yang sempurna
untuk menjalankan akad.41
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang
paling berhak, yaitu orang yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur
ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli
waris yang diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.42
1.
Syarat untuk menjadi wali
Wali nikah bertanggung jawab atas sahnya perkawinan, sehingga orang yang
menjadi wali nikah memiliki sifat-sifat dan syarat sebagai berikut dan paraulama telah
sepakat bahwa syarat-syarat orang yang dapat dijadikansebagai seorang wali adalah
sebagai berikut:
1. Orang Mukallaf atau Baliqh, karena orang yang mukallaf adalah orang yang
dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
40
Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., MM. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H. Fikih
Munahakat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta, Rajawali Pers, 2010. Hal. 90.
41
M.T. MudarresiFikih Khusus Dewasa, Al-Huda, Jakarta, 2007, hal.104.
42
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
Hadist Nabi: “Diangkatnya hukum itu dari tiga perkara; dariorang yang tidur
hingga ia bangun, dari anak-anak hingga iabermimpi (dewasa) dan dari orangorang yang gila hingga iasembuh”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Muslim. Apabila yang kawin itu orang muslim, disyaratkan walinya juga
seorang muslim. Hal ini berdasarkan Firman Allah S.w.t: “Janganlah orangorang mukmin mengangkat orang kafir sebagai wali-wali (mereka) dengan
meninggalkan orang- orang mukmin”. (Q.S. Ali Imran : 28).
c. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum
dan
dengan
Hadist
Nabi
yang
telah
disebut
diatas
tadi
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan perbuatannya.
d. Laki-laki.
e. Adil.43
Wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak berma’siat, tidak fasik, ia
orang baik-baik, orang soleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat yang
munkar.44
Syarat-syarat baragama Islam, baliqh dan berakal sehatdisepakati para ulama.
Tetapi untuk syarat laki-laki dan adildiperselisihkan, Imam Abu Hanifah
membolehkan perempuan danorangfasik (muslim yang tidak taat menjalankan ajaranajaranagama) bertindak menjadi wali.
43
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1982, hal. 43
44
Prof. Drs. Zakiah Daradjat, (et.al), Ilmu Fiqh, Jilid 2, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,
1995, hal. 82
Universitas Sumatera Utara
47
Menurut Abu Hanifah, bagi wali yang penting bukanlah laki-laki dan
ketaatannya
menjalankan
perintah-perintah
dan
menjauhi
larangan-larangan
agamatetapi kepandaiannya memilihkan jodoh yang tepat bagiperempuan di bawah
perwaliannya. Di Indonesia, syarat adil (taatberagama Islam) bagi wali tidak
mendapat tekanan. Asal seorangmenyatakan beragama Islam, di samping adanya
syarat-syaratbaliqh, berakal sehat, dan laki-laki, sudah dipandang cakap bertindak
sebagai wali.
2.
Macam-macam wali
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yangberhak bertindak
menjadi wali adalah:
a. Ayah, kakek, dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
b. Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu) atau seayah.
c. Kemenakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara laki-laki
kandung atau seayah).
d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung atauseayah).
e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung atau
seayah).
f. Sultan (penguasa tertinggi) yang disebut juga Hakim (bukan qadi, Hakim
Pengadilan).
g. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali
muhakkam.45
45
Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit, hlm. 41
Universitas Sumatera Utara
48
Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadiwali tersebut di
atas, dapat dilihat adanya tiga macam wali yaitu:
a. Wali nasab
Wali nasab adalah orang yang berasal dari keluarga mempelai wanita dan
berhak menjadi wali. Urutan kedudukan kelompok yang satu didahulukan dari
kelompok yang lain berdasakan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai. Adapun urutan kelompok yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1). Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus keatas, yaitu ayah,
kakek, buyut, dan seterusnya ke atas.
2). Kelompok kedua adalah kerabat saudara laki-lakikandung atau saudara
laki - laki seayah dan keturunan anak laki-laki mereka.
3). Kelompok ketiga adalah kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung
ayah atau saudara laki - laki seayah, serta keturunan laki-laki mereka.
4). Kelompok keempat adalah kerabat saudara laki-laki kakek, saudara lakilaki seayah kakek serta keturunanlaki - laki mereka.46
Jika dalam satu kelompok wali nikah itu terdapatbeberapa orang yang
mempunyai hak yang sama untukmenjadi wali nikah, maka yang paling berhak
menjadi waliadalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calonmempelai
wanita dan apabila derajat kekerabatannya samauntuk menjadi wali nikah maka yang
paling berhak untukmenjadi wali nikah yaitu kerabat kandung dari kerabat yanghanya
seayah, dan apabila di dalam satu kelompok juga terdapat sama-sama derajat kandung
46
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Dina utama, Semarang, 1993, hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
49
atau sama-sama derajat kerabat seayah maka mereka sama-sama berhak untuk
menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan juga memenuhi syaratsyarat untuk menjadi walinikah dan jika wali nikah yang paling berhak urutannya
tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah atau oleh karenawali nikah itu
menderita tunawicara atau sudah uzur maka hak untuk menjadi wali bergeser kepada
wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
b. Wali hakim
Wali Hakim adalah orang yang diangkat oleh Pemerintah atau lembaga
masyarakat yang biasa disebut ahlu al-halli waal-‘aqdi untuk menjadi Hakim dan
diberi wewenang untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Namun
dalam pelaksanaannya Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atau Pegawai
Pencatat Nikah, yang bertindak sebagai wali Hakim dalam pelaksanaan akad nikah
bagi mereka yang tidak memiliki wali atau walinya Adlol.
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah dalam perkawinan
apabila wali nasab tidak ada atau tidakmungkin untuk menghadirkannya atau pun
tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau Adlol atau enggan. Didalam hal
wali Adlol atau enggan maka wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut, yang dimaksud dengan wali
Hakim bukan hakim Pengadilan, meskipun demikian Hakim Pengadilan Agama
Universitas Sumatera Utara
50
dimungkinkan juga bertindak menjadi wali Hakim apabila memang memperoleh
kuasa dari Kepala Negara cq Menteri Agama.47
Dalam masalah wali nasab menolak bertindak sebagai wali hanya dalam yang
benar-benar dipandang tidak beralasan. Orang tua tidak menyetujui perkawinan
anaknya dan menolak menjadi wali, misalnya orang tua menolak atas pertimbangan
materiil, pangkat, dan sifat-sifat lahiriah calon suami, bukan atas pertimbangan
akhlak, perwalian dapat dimintakan kepada Sultan, Kepala Negara yang disebut juga
Hakim.
Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian Hakim apabila:48
1. Wali nasab memang tidak ada.
2. Wali nasab bepergian jauh atau tidak di tempat, tetapi tidak memberi kuasa
kepada wali yang lebih dekat yang ada di tempat.
3. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
4. Wali nasab sedang berihram haji atau umrah.
5. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.
6. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah
perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan
dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah.
Akan tetapi wali Hakim tidak berhak menikahkan:
1. Wanita yang belum baligh.
47
48
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal. 89
Prof. Dr. A. Sarong, SH.,MH., Op.Cit., hal. 78-79.
Universitas Sumatera Utara
51
2. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) yang tidak sekufu.
3. Tanpa seizin wanita yang akan menikah.
4. Di luar daerah kekuasaannya.
c. Wali muhakkam
Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai wali
karena tidak memenuhi syarat atau menolak, dan wali hakim pun tidak dapat
bertindak sebagai wali nasab karena berbagai macam sebab, mempelai yang
bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya untuk memenuhi syarat
sahnya nikah bagi yang mengharuskan ada wali.
Wali yang diangkat oleh mempelai disebut Wali Muhakkam. Misalnya,
apabila seorang laki-laki beragama Islam kawin dengan seorang perempuan beragama
Kristen tanpa persetujuan orang tuanya, biasanya yang berwenang bertindak sebagai
wali hakim di kalangan umat Islam tidak bersedia menjadi wali apabila orang tua
mempelai perempuantidak memberi kuasa. Dalam hal ini, agar perkawinan dapat
dipandang sah menurut hukum Islam, mempelai perempuan dapat mengangkat Wali
Muhakkam.49
Wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain
sesuai dengan bidang hukumnya. Wali ada yang umum dan ada yang khusus.
Dikatakan khusus artinya ialah yang berkenaan dengan manusia dan harta benda.
Disini yang dibicarakan Wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam
perkawinan.
49
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1419H/1999 M, hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
52
Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah yang berarti penguasaan dan
perlindungan. Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian adalah penguasaan
penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi
orang atau barang. Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh:
1. Pemilikan atas barang atau orang, seperti perwalian atas budak yang
dimiliki atau barang-barang yang dimiliki.
2. Hubungan kerabat atau keturunan seperti perwalian seseorang atas salah
seorang kerabatnya atau anak-anaknya.
3. Karena memerdekakan budak seperti perwalian seseorang atau budakbudak yang telah dimerdekakannya.
4. Karena pengangkatan seperti perwalian seseorang Kepala Negara atas
rakyatnya atau perwalian seseorang pemimpin atas orang-orang yang
dipimpinnya.
Oleh sebab itu dalam garis besarnya perwalian itu dapat dibagi atas:
1. Perwalian atas orang.
2. Perwalian atas barang.
3. Perwalian atas orang dalam perkawinannya.50
Dalam hal ini yang dibicarakan ialah yang berhubungan dengan perwalian
atas orang dalam perkawinannya. Orang yang diberi kekuasaan disebut “wali”. Wali
50
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta,1993,
hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
53
nikah hanya ditetapkan bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan pihak laki - laki
tidak memerlukan seorang wali.
Perdebatan tentang wali nikah suatu akad perkawinan sudah lama dibicarakan
oleh para ahli hukum Islam, terutama kedudukan wali dalam akad tersebut.
Sebahagian para ahli hukum Islam mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan
tanpa wali, perkawinan tersebut tidak sah karena kedudukan wali dalam akad
perkawinan adalah salah satu rukun yang harus dipenuhi.
Sebagian para ahli hukum Islam yang lain mengemukakan bahwa wali dalam
suatu akad perkawinan bukanlah suatu rukun yang harus dipenuhi, tetapi sekedar
sunnah saja dan perkawinan yang dilaksanakan tanpa hadirnya wali dalam akad
perkawinan bukanlah suatu hal yang cacat hukum perkawinan tersebut tetap sah dan
perkawinan itu tidak menjadi batal.51
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah,
”yang dimaksud wali dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau
wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang
yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi
kemaslahatannya sendiri.52
Sedangkan Sayid sabiq mengemukakan bahwa secara umum yang dimaksud
dengan wali adalah ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang
lain sesuai dengan bidang hukumnya.53
51
Dr. H. Abdul Manan, S. H., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana
Predana Media Group, Jakarta, 2006, hal. 58.
52
Ibid.
53
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
54
Asy Syafi’I memgemukakan bahwa nikah seorang wanita tidak dapat
dilaksanakan kecuali dengan pernyataan seorang wali dekat dengan calon
mempelaiwanita, jika tidak ada wali yang dekat, maka perwalian itu pindah
kepada wali yang jauh.54
Sementara Zahri Hamid menjelaskan bahwawali nikah adalah seorang lakilaki yang dalam suatu akad nikah berwenang mengijabkan pernikahan calon
mempelai perempuan, adanya wali nikah itu merupakan rukun yang dipenuhi adalah
suatu akad perkawinan.
Kedudukan wali nikah sangat penting dan menentukan dalam sahnya
perkawinan, dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali nikah. Wali adalah mereka
yang dekat dengan calon mempelai wanita, dimulai dari yang paling dekat dan
seterusnya, jika mereka berhalangan dapat diganti oleh wali hakim.55
Berdasarkan hukum Islam, wali dalam suatu pernikahan merupakan keharusan
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita, karena wali merupakan rukun akad
nikah, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Baqarah (2) ayat 232, yang artinya :
“Bila kamu menceraikan istri, dan mereka sampai batas iddah, jangan kamu
halangi mereka kawin dengan calon suami mereka, bila mereka setuju dengan
cara yang baik. Inilah nasehat bagi siapapun diantaramu yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Itu lebih suci dan bersih bagi kamu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahuinya”.
Dalam hukum Islam, terdapat alasan-alasan kuat yang mengharuskan adanya
wali dalam perkawinan karena itu dengan tegas Mazhab Syafi’i mengharuskan
54
55
Ibid., hal. 59
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
55
adanya wali, tanpa wali perkawinan tidak sah. Di Indonesia pada umumnya menganut
paham Mazhab Syafi’i yang menganggap wali adalah salah satu dari rukun
perkawinan.
C. Pencatatan Perkawinan
Syarat-syarat yang menentukan sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal ini
memuatdua ketentuan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan, yaitu:
a. Pasal 2 ayat (1): ”Perkawinan baru merupakan perkawinan yang sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
b. Pasal 2 ayat (2): “setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan
yang berlaku.”
Yang dimaksud dengan hukum masing masing agamanya dan kepercayaan itu
termasuk pelaksanaan ketentuan perundangan menurut agama dan kepercayaan yaitu
asal tidak bertentangan dengan undang-undang sah tidaknya suatu perkawinan sematamata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak
melaksanakan perkawinan. “Setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan
ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak
mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.”
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) membuat ketentuan “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jika
Universitas Sumatera Utara
56
disesuaikan dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) di atas ialah agama dan kepercayaan bagi
mereka yang akan melaksanakan perkawinan. Bagi mereka yang memeluk
agamaIslam, yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh kaidah
Hukum Islam. Demikian juga dengan agama-agama lainnya.
Bagi mereka yang belum memeluk agama dan kepercayaan, juga tidak ada
kesulitan, misalnya sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan ethnograpimasih
adalagi dijumpai suku di negara Indonesia yang menganut kepercayaan animisme,
maka kaidah yang berlaku bagi mereka dengan sendirinya ditentukan oleh tata cara
perkawinan yang terdapat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut.
Selanjutnya, “pencatatan perkawinan bukanlah termasuk ketentuan yang
menentukan sah tidaknya perkawinan, namun merupakan salah satu unsur esensial
dalam persoalan sahnya perkawinan, sebab didalamnya tersangkut kepentingankepentingan yang menghendaki perlindungan negara.”
Pencatatan hanya tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Tentang pencatatan
perkawinan diatur dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang
memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, antara lain:
a. Bagi
mereka
yang
beragama
Islam
dan
yang
melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai
Universitas Sumatera Utara
57
Pencatat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32
tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.
b. Bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan
perkawinan menurut agama dan kepercayaan mereka, pencatatan dilakukan
oleh pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud
dalam berbagai Perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus bagi tata cara
pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata
cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
3 sampai dengan pasal 9 Peraturan ini.
Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
bahwasanya setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan,
pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan ini dilakukan secara lisan atau tertulis oleh
calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya.
Suatu kenyataan yang masih sering kita jumpai dalam realitas kehidupan kita
adalah masih banyak orang yang melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan di
kantor percatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan
Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam) dengan berbagai alasan.
Universitas Sumatera Utara
58
Terhadap perkawinan semacam ini, sebagian ulama dan ahli hukum
berpendapat bahwa perkawinan seperti itu sah apabila dilakukan sesuai ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Sedangkan pencatatan perkawinan merupakan tindakan adminstrasi saja,
apabila tidak dilakukan tidak mempengaruhi sahnya perkawinan yang telah
dilaksanakan itu. Tetapi di pihak lain menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan
tidak sah dan dikategorikan sebagai nikah fasid (rusak), sehingga bagi pihak yang
merasa dirugikan akibat dari perkawinan