Penetapan Kadar Campuran Isoniazid dan Vitamin B6 dalam Sediaan Tablet Campuran Etambutol, Isoniazid dan Vitamin B6 Secara Spektrofotometri Derivatif dengan Metode Zero Crossing

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Isoniazid
Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian tentang isoniazid adalah sebagai
berikut :
Rumus struktur

N

:

O

C

NH

NH2


Gambar 2.1 Struktur Isoniazid

Rumus Molekul

: C6H7N3O

Berat Molekul

: 137,14

Nama Kimia

: Asam Isonikotinat Hidrazida

Kandungan

: Tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari 102,0%
C6H7N3O, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian


: Hablur putih atau tidak berwarna atau serbuk hablur
putih; tidak berbau, perlahan – lahan dipengaruhi oleh
udara dan cahaya.

Kelarutan

: Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol;
sukar larut dalam kloroform dan dalam eter.

pH

: Antara 6,0 dan 7,5

7

Isoniazid mempunyai efek samping berupa mual, muntah, anoreksia, letih,
malaise, lemah, gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer (paling sering
terjadi dengan dosis 5mg/kgBB/hari), neuritis optikus, reaksi hipersensitivitas,
demam, ruam, ikterus, diskrasia darah, psikosis, kejang, sakit kepala, mengantuk,

pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6, hiperglikemia, asidosis
metabolik,

ginekomastia,

gejala

reumatik,

gejala

mirip

Systemic

Lupus

Erythematosus (Tan dan Rahardja, 2007).

2.1.2 Piridoksin Hidroklorida

Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian tentang piridoksin hidroklorida adalah
sebagai berikut :
Rumus Struktur

:
H3C
N
. HCl
HO
CH2OH
CH2OH

Gambar 2.2 Struktur Piridoksin Hidroklorida
Rumus Molekul

: C8H11NO3.HCI

Berat Molekul

: 205,64


Nama Kimia

: Piridoksol hidroklorida
Pyridoxini Hydrochloridum

Kandungan

: Tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari 102,0%
C8H11NO3.HCI,

dihitung

dikeringkan.

8

terhadap

zat


yang

telah

Pemeriaan

: Hablur atau serbuk hablur putih atau hampir putih;
stabil di udara; secara perlahan-lahan dipengaruhi oleh
cahaya matahari.

Kelarutan

: Mudah larut dalam air; sukar larut dalam etanol; tidak
larut dalam eter

pH

: Lebih kurang 3


Vitamin B6 selain untuk mencegah dan mengobati defisiensi vitamin B6
dengan gejala berupa kelainan kulit (dermatitis), peradangan lendir mulut dan
lidah- kelainan susunan syaraf pusat dan gangguan eritopoetik berupa anemia
hipokrom mikrositer, juga diberikan bersama vitamin B lainnya (Tan dan
Rahardja, 2007).
Efek Samping dari vitamin B6 jarang terjadi dan berupa reaksi alergi.
Penggunaan lama dari 500mg/hari dapat mencetuskan ataxia (jalan limbung) dan
neuropati serius (Tan dan Rahardja, 2007).

2.1.3 Etambutol
Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian tentang etambutol adalah sebagai berikut :
Rumus Struktur

:

Gambar 2.3 Struktur Etambutol

9

Rumus Molekul


: C10H24N2O2 .2HCl

Berat Molekul

: 277,23

Nama Kimia

: Etambutol Hidroklorida

Kandungan

: Tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 100,5%
C10H24N2O2 .2HCl dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan.

Pemerian
Kelarutan


: Serbuk hablur, putih.
:Mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan dalam
metanol sukar larut dalam eter dan dalam kloroform.

Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15
mg/kgBB menimbulkan efek toksik yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2 %
pasien akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan,
ruam kulit, dan demam. Efek samping lain ialah pruritus, nyeri sendi, gangguan
saluran cerna, malaise, sakit kepala, pening, bingung, disorientasi, dan mungkin
juga halusinasi. Rasa kaku dan kesemutan dijari sering terjadi. Reaksi anafilaksis
dan leukopenia jarang dijumpai (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
2.2. Spektofotometri
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau serapan
suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan
penggabungan dari dua fungsi alat yang terdiri dari spektrometer yang
menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan
fotometer sebagai alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang
diabsorpsi (Rohman, 2007).

10


Teknik

analisis

spektrofotometri

berdasarkan

interaksi

radiasi

elektromagnet dengan komponen atom atau molekul yang menghasilkan
fenomena bermakna sebagai parameter analisis (Satiadarma, dkk., 2004).
Radiasi elektromagnetik atau cahaya merupakan suatu bentuk energi yang
tingkah lakunya digambarkan dengan sifat-sifat gelombang dan partikel. Sifatsifat optis radiasi elektromagnetik seperti difraksi paling sesuai dijelaskan dengan
menggambarkan cahaya sebagai suatu gelombang. Beberapa interaksi antara
radiasi elektromagnetik dengan


materi seperti absorpsi dan emisi lebih baik

dijelaskan dengan memperlakukan cahaya sebagai suatu partikel (Gholib, 2012).
Bagian molekul yang bertanggung jawab terhadap penyerapan cahaya
disebut kromofor dan terdiri atas ikatan rangkap dua atau rangkap tiga, terutama
jika ikatan rangkap tersebut terkonjugasi. Semakin panjang ikatan rangkap dua
atau rangkap tiga terkonjugasi di dalam molekul, molekul tersebut akan lebih
mudah menyerap cahaya (Cairns, 2008).
Gugus fungsi seperti –OH, -O, -NH2 dan –OCH3 yang memberikan transisi
n → π* disebut gugus auksokrom. Gugus ini adalah gugus yang tidak dapat
menyerap radiasi ultraviolet-sinar tampak, tetapi apabila gugus ini terikat pada
gugus kromofor mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih
besar atau pergeseran batokromik (Rohman, 2007). Efek hipsokromik atau
pergeseran biru adalah pergeseran panjang gelombang kearah yang lebih pendek.
Efek hipokromik adalah efek yang menyebabkan penurunan intensitas serapan
(Rohman, 2007).
Radiasi ultraviolet diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul
yang mengandung elektron-π terkonjugasi atau atom yang mengandung elektron,

11

menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi elektron
dasar ke tingkat energi tereksitasi lebih tinggi. Besarnya absorbansi radiasi
tersebut berbanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi dan
dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma, dkk., 2004)
2.2.1. Hukum Lambert-Beer
Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel
yang disinari. Sedangkan menurut Beer, serapan berbanding lurus dengan
konsentrasi. Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu dalam Hukum LambertBeer, sehingga diperoleh bahwa serapan berbanding lurus terhadap konsentrasi
dan ketebalan sel, hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang
diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan
konsentrasi larutan (Rohman, 2007).
Hukum Lambert-Beer umumnya dikenal dengan persamaan sebagai
berikut:
A = abc
Dimana:
A = absorbansi
a = absorptivitas
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi
Absorptivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada
konsentrasi, tebal kuvet dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel.
Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul dan panjang
gelombang radiasi (Rohman, 2007).

12

2.2.2. Kegunaan Spektofotometri
Kegunaan spektrofotometri ultraviolet dalam analisis kualitatif sangat
terbatas karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit hanya dapat
mengakomodasi sedikit sekali puncak absorpsi maksimum dan minimum, karena
itu identifikasi senyawa yang tidak diketahui tidak memungkinkan untuk
dilakukan (Satiadarma, dkk., 2004).
Spektrofotometri derivatif menawarkan berbagai keuntungan. Pertama
pada spektra derivatif ditekankan gambaran ini lebih jelas bila meningkat dari
spektra derivatif peringkat pertama hingga ke peringkat keempat (Munson, 1984).
Pada analisis kuantitatif dengan cara penetapan kadar, larutan standar obat
yang akan dianalisis disiapkan, serapan sampel dan standar dapat ditentukan
(Cairns, 2008), dimana konsentrasi zat dalam sampel dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

As Cs
=
At Ct
Keterangan:

As = Absorbansi baku pembanding
At = Absorbansi zat dalam sampel
Cs = Konsentrasi baku pembanding
Ct = Konsentrasi zat dalam sampel

Penentuan kadar senyawa organik yang mempunyai struktur kromofor atau
mengandung

gugus

kromofor,

serta

mengabsorpsi

penggunaanya cukup luas (Satiadarma, dkk., 2004).

13

radiasi

ultraviolet

2.3. Spektrofotometri Derivatif
Konsep derivatif telah diperkenalkan pertama kali pada tahun 1950,
dimana terlihat memberikan banyak keuntungan. Aplikasi utama spektrofotometri
derivatif ultraviolet–visibel adalah untuk identifikasi kualitatif dan analisis
senyawa dalam sampel. Metode spektrofotometri derivatif sangat cocok untuk
analisis pita absorpsi yang overlapping atau tumpang tindih (Owen, 1995).
Spektrum derivatif diperoleh dengan membuat absorban atau transmitan
derivatif orde pertama atau orde lebih tinggi yang terkait dengan panjang
gelombang (ΔA / Δλ) sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrum dapat
menunjukkan kembali detail spektrum yang hilang dalam spektrum absorpsi biasa
dan pada pengukuran konsentrasi analit yang bercampur dengan zat yang
mengganggu, analisis dipermudah dan dapat ditentukan lebih akurat pada
beberapa bagian dari daerah spektrum. Pengukuran absorban derivatif dapat
dilakukan dengan men-scan monokromator yang terpasang pada panjang
gelombang tetap, tetapi dengan perbedaan panjang gelombang yang sedikit,
sehingga berguna jika analit adalah dua komponen yang mengabsorpsi radiasi
pada sisi pita absorpsi dari komponen yang mengganggu (Satiadarma,dkk., 2004).
Pada spektrofotometri konvensional, spektrum serapan merupakan plot
serapan (A) terhadap panjang gelombang (λ). Pada spektrofotometri derivatif, plot
serapan terhadap panjang gelombang dimana:
A = f (λ), order nol
dA / dλ = f ′ (λ), order pertama
d2A / dλ2 = f ″ (λ), order kedua
dan seterusnya ( Owen, 1995).

14

Menurut Talsky (1994) sesuai dengan hukum Lambert-Beer, maka ada
hubungan linier antara konsentrasi dengan absorbansi untuk semua orde pada
spektrofotometri derivatif adalah:
dA / dλ =

�� ( 1%,1 ��)
d�

x bc

d²A / dλ² =

�²� ( 1%,1 ��)

x bc

d˟A / dλ˟ =

�˟� ( 1%,1 ��)

x bc

d�²

d�˟

Kurva serapan derivat pertama sampai derivat keempat dapat dilihat pada
Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Kurva serapan derivat pertama sampai derivat keempat (Talsky,
1994).
Ada empat aplikasi spektrofotometri derivatif yang sering digunakan
dalam anlisa kuantitatif antara lain metode zero crossing, metode peak to peak,
peak to tangent dan metode peak topeak ratio (Talsky, 1994).

15

Panjang gelombang zero crossing adalah panjang gelombang dimana
senyawa tersebut mempunyai serapan nol dan menjadi panjang gelombang
analisis untuk zat lain dalam campurannya. Metode zero crossing memisahkan
campuran dari spektrum derivatifnya pada saat panjang gelombang komponen
pertama tidak ada sinyal. Pengukuran pada zero crossing tiap komponen dalam
campuran merupakan fungsi tunggal konsentrasi dari yang lainnya (Nurhidayati,
2007).
Panjang gelombang serapan maksimum suatu senyawa pada spektrum
normal akan menjadi λ zero crossing pada spektrum derivatif pertama, panjang
gelombang tersebut tidak mempunyai serapan atau dA / dλ = 0 (Nurhidayati,
2007).
Bila campuran analit memiliki panjang gelombang zero-crossing lebih dari
satu, maka yang dipilih untuk dijadikan panjang gelombang analisis adalah
panjang gelombang zero crossing yang serapan pasangannya dan campurannya
persis sama, karena pada panjang gelombang tersebut dapat secara selektif
mengukur serapan senyawa pasangannya dan memiliki serapan yang paling besar.
Pada serapan yang paling besar, serapannya lebih stabil sehingga kesalahan
analisis dapat diperkecil (Nurhidayati, 2007). Kurva sederhana aplikasi zero
crossing dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Kurva sederhana aplikasi zero crossing (Talsky, 1994).

16

Metode spektrofotometri derivatif atau metode kurva turunan adalah
salah satu metode spektrofotometri yang dapat digunakan untuk analisis campuran
beberapa zat secara langsung tanpa harus melakukan pemisahan terlebih dahulu
meskipun dengan panjang gelombang yang berdekatan (Nurhidayati, 2007).
2.3.1. Komponen Spektrofotometri Derivatif
Biasanya spektrofotometer telah mempunyai software untuk mengolah
data yang dapat dioperasikan malalui komputer yang telah terhubung dengan
spektrofotometer. Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulatif
terhadap spektra pada spektrofotometri UV-Visibel (Gholib dan Rohman, 2012).
2.3.2. Kegunaan Spektrofotometri Derivatif
Teknik spektrofotometri derivatif menawarkan beberapa keuntungan
dibandingkan dengan spektrofotometri konvensional seperti Spektrum derivatif
yang diukur dapat digunakan untuk meningkatkan perbedaan antara spektrum
yang dianalisis, untuk menyelesaikan pita serapan analit yang tumpang tindih
dalam analisis kualitatif dan yang paling penting

untuk mengurangi efek

interferensi dari hamburan sinar, matriks , atau senyawa menyerap lainnya dalam
analisis kuantitatif (Owen, 1995).
Spektrofotometri derivatif dapat memisahkan komponen secara kuantitatif,
dapat menjadi karakteristik untuk komponen murni dengan menambahkan
informasi dari teknis lain seperti IR, NMR, MS dan digunakan untuk analisis
multikomponen (Skujins and Varian, 1986).
Beberapa keuntungan dari spektrofotometri derivatif antara lain yaitu
spektrum derivatif memberikan gambaran struktur yang terinci dari spektrum
serapan dan gambaran ini makin jelas dari spektum derivatif pertama ke derivatif

17

keempat (Munson, 1984).
Selain itu dapat dilakukan analisis kuantitatif suatu komponen dalam
campuran dengan panjang gelombangnya saling berdekatan. Bila dibandingkan
dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), metode spektrofotometri
derivatif relatif lebih sederhana, alat dan biaya operasionalnya lebih murah dan
waktu analisisnya lebih cepat (Nurhidayati, 2007).
2.4. Validasi Metode Analisis
Tujuan utama yang harus dicapai dari suatu kegiatan analisis kimia adalah
dihasilkannya data hasil uji yang absah (valid). Secara sederhana hasil uji yang
absah dapat digambarkan sebagai hasil uji yang mempunyai akurasi (accuracy)
dan presisi (precission) yang baik. Validasi adalah suatu tindakan penilaian
terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk
membuktikan

bahwa

parameter

tersebut

memenuhi

persyaratan

untuk

penggunaannya (Harmita, 2004).
Validasi metode analisis dilakukan dengan uji laboratorium, dengan
demikian dapat ditunjukkan bahwa karakteristik kinerjanya telah memenuhi
persyaratan untuk diterapkan dalam analisis senyawa atau sediaan yang
bersangkutan (Satiadarma, dkk., 2004). Parameter analisis yang ditentukan pada
validasi adalah akurasi, presisi, limit deteksi, limit kuantitasi, kelinieran dan
rentang (Rohman, 2007).
2.4.1. Akurasi
Akurasi (kecermatan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan
hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen

18

perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan dan dapat ditentukan
melalui dua cara yaitu metode simulasi (spiked placebo recovery) dan metode
penambahan bahan baku atau standard addition method ( USP 30-NF 25, 2007;
Ermer dan Miller, 2005).
Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni (senyawa
pembanding kimia) ditambahkan kedalam campuran bahan sediaan farmasi
(plasebo), lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan
kadar standar yang ditambahkan atau kadar sebenarnya. Jika plasebo tidak
memungkinkan untuk disiapkan, maka sejumlah analit yang telah diketahui
konsentrasinya dapat ditambahkan langsung ke dalam sediaan farmasi. Ini
dinamakan metode penambahan baku standar (Harmita, 2004).
Menurut Harmita (2004) dalam metode adisi (penambahan bahan baku),
sejumlah sampel yang dianalisis ditambah analit dengan konsentrasi biasanya
98% sampai 102% dari kadar analit yang diperkirakan, dicampur dan dianalisis
kembali. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya. Dalam
kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara
hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya:
% Perolehan Kembali =

Keterangan:

CF

CF - CA
CA *

×100%

= Kadar zat dalam sampel setelah penambahan larutan
baku
CA = Kadar zat dalam sampel sebelum penambahan larutan baku
C A * = Kadar larutan baku zat yang ditambahkan

19

2.4.2. Presisi
Presisi adalah derajat kesesuaian di antara masing-masing hasil uji, jika
prosedur analisis ditetapkan berulang kali pada sejumlah cuplikan yang diambil
dari satu sampel homogen. Presisi dinyatakan sebagai deviasi standar atau deviasi
standar relatif (Satiadarma, dkk., 2004).
Parameter-parameter seperti simpangan baku (SB), simpangan baku relatif
(Relative Standard Deviation) dan derajat kepercayaan haruslah dikalkulasi untuk
mendapatkan tingkat presisi tertentu (Ermer dan Miller, 2005). Nilai simpangan
baku relatif dinyatakan memenuhi persyaratan jika < 2 (Ermer dan Miller, 2005).
Simpangan baku relatif =

SB
× 100%
X

2.4.3. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Batas deteksi adalah nilai parameter, yaitu konsentrasi analit terendah yang
dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan
blanko (Harmita, 2004).
Batas deteksi merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah
analit yang dianalisis berada di atas atau di bawah nilai tertentu (Rohman, 2007).
Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Harmita, 2004):
Batas deteksi (LOD)

=

3 x SB
slope

Menurut Harmita (2004), batas kuantitasi adalah jumlah analit terkecil
dalam sampel yang masih dapat diukur dalam kondisi percobaan yang sama dan
memenuhi kriteria cermat dan seksama.

20

Batas kuantitasi (LOQ) =

10 x SB
slope

2.4.4. Linearitas
Linieritas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk
memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan kisaran konsentrasi analit
tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat kurva kalibrasi dari
beberapa set larutan baku yang telah diketahui konsentrasinya. Persamaan garis
yang digunakan pada kurva kalibrasi diperoleh dari persamaan y = ax + b.
Persaman ini akan menghasilkan koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi inilah
yang digunakan untuk mengetahui linieritas suatu metode analisis. Kelinieran
suatu metode analisis adalah kemampuan untuk menunjukkan bahwa nilai hasil uji
langsung atau setelah diolah secara matematika, proporsional dengan konsentrasi
analit dalam sampel dalam batas rentang konsentrasi tertentu (Satiadarma, dkk.,
2004).
2.4.5. Rentang
Rentang adalah konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu
metode analitik menunjukkan akurasi, presisi dan linieritas yang cukup. Rentang
suatu prosedur dapat divalidasi lewat pembuktian bahwa prosedur analitik tersebut
mampu memberikan presisi, akurasi dan linieritas yang dapat diterima ketika
digunakan untuk menganalisis sampel (Ermer dan Miller, 2005).

21

Dokumen yang terkait

Penetapan Kadar Campuran Parasetamol Dan Ibuprofen Pada Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri Derivatif Dengan Zero Crossing

51 403 149

Penetapan Kadar Campuran Isoniazid Dan Vitamin B6 Dalam Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri Ultraviolet Dengan Perhitungan Multikomponen Dan Persamaan Matriks

50 288 96

Penetapan Kadar Campuran Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri Ultraviolet dengan Metode Panjang Gelombang Berganda

4 20 119

PENETAPAN KADAR CAMPURAN ISONIAZID DAN PIRIDOKSIN HCl DALAM SEDIAAN TABLET SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV MULTIKOMPONEN.

0 2 6

Penetapan Kadar Campuran Isoniazid dan Vitamin B6 dalam Sediaan Tablet Campuran Etambutol, Isoniazid dan Vitamin B6 Secara Spektrofotometri Derivatif dengan Metode Zero Crossing

1 4 16

Penetapan Kadar Campuran Isoniazid dan Vitamin B6 dalam Sediaan Tablet Campuran Etambutol, Isoniazid dan Vitamin B6 Secara Spektrofotometri Derivatif dengan Metode Zero Crossing

0 0 2

Penetapan Kadar Campuran Isoniazid dan Vitamin B6 dalam Sediaan Tablet Campuran Etambutol, Isoniazid dan Vitamin B6 Secara Spektrofotometri Derivatif dengan Metode Zero Crossing

0 0 6

Penetapan Kadar Campuran Isoniazid dan Vitamin B6 dalam Sediaan Tablet Campuran Etambutol, Isoniazid dan Vitamin B6 Secara Spektrofotometri Derivatif dengan Metode Zero Crossing

0 4 2

Penetapan Kadar Campuran Parasetamol Dan Ibuprofen Pada Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri Derivatif Dengan Zero Crossing

1 3 66

PENETAPAN KADAR CAMPURAN PARASETAMOL DAN IBUPROFEN PADA SEDIAAN TABLET SECARA SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF DENGAN ZERO CROSSING SKRIPSI

0 2 17