Perceraian Atas Perkawinan Yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa Dan Akibat Hukumnya

ABSTRAK
Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa banyak yang melakukan
perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa serta tidak dicatatkan menurut ketentuan
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan yang menyatakan syarat sahnya perkawinan adalah harus
dicatatkan dalam Dinas Kependudukan. Perkawinan menimbulkan akibat hukum
terhadap hubungan orang tua dengan anak, harta perkawinan, serta hubungan suami –
isteri. Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, namun dalam keluarga tidak jarang terjadi perselisihan yang berlangsung terus
menerus yang kemudian berakhir pada perceraian. Perceraian menimbulkan masalah
terhadap anak-anak dan harta bersama. Oleh karena itu dalam tesis ini, penulis
mengkaji mengenai status harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dalam hal
terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan menurut
hukum adat Tionghoa, serta tanggung jawab pemeliharaan dan nafkah anak dalam hal
terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan menurut
hukum adat Tionghoa.
Penelitan ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis
dengan pendekatan yuridis normatif pada peraturan perundang – undangan yang
terkait dengan perkawinan dan perceraian. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research),
yang juga didukung dengan wawancara dengan kalangan tokoh masyarakat

Tionghoa.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum dari perceraian atas
perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa apabila ditinjau dari
harta perkawinan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung adalah dapat
diselesaikan secara musyawarah mufakat ataupun menggunakan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Perdata, dimana pada Pasal 37 UndangUndang Perkawinan Indonesia (UU No.1 Tahun 1974) juga membuka jalan bahwa
untuk pembagian harta bersama dapat dilakukan secara adat, agama, maupun hukumhukum lainnya. Terhadap tanggung jawab pemeliharaan dan nafkah anak setelah
terjadinya perceraian dalam adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa adalah
membebankan kewajiban pada orang tua laki-laki maupun anggota keluarga / rumah
tangga seketurunan dari ayah (suami), kakek dan seterusnya ke atas. Namun untuk
bayi yang masih memerlukan perawatan khusus dari ibunya tetap berada di bawah
perawatan ibunya hingga cukup umur untuk dipisahkan dari ibunya (biasanya hingga
berumur 6 bulan sampai dengan 12 bulan), hal ini dilakukan berdasarkan
pertimbangan bahwa Ibu berkewajiban untuk menyusui bayinya hingga suatu periode
waktu tertentu dan Ibu dianggap mempunyai kesabaran yang lebih dalam merawat
bayinya dibandingkan dengan Ayahnya.
Kata kunci :

Perceraian; Pembagian harta bersama; Pemeliharaan anak; Tanggung
jawab nafkah anak


i

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

Many Indonesian citizens of Chinese descent conduct a marriage in accordance
with Chinese traditional (adat) law and do not register their marriage according to
the stipulation stated in Article 2 paragraph (2) of Law No.1/1974 on Marriage
saying that the marriage is illegal until it is registered at the Service of Population
Affairs. Marriage has a legal consequence on child-parents relationship, marital
property, and husband-wife relationship. The purpose of a marriage is to form a
happy and eternal family, yet in a family, continous dispute always occurs which then
ends with a divorce. A divorce results in problems for the children and joint property.
For this reason, the writer conducted a study on the status of the property obtained
during a marriage and the case of divorce occured between husband and wife who
conducted the marriage based on Chinese traditional (Adat) law, and the
responsibility for taking care and providing a living for their child or children.
The data for this descriptive analytrical study with normative juridical

approach were obtained from the regulations of legislation related to marriage and
divorce through library research supported by the interviews with the Chinese public
figures.
The result of this study showed that legal consequence of the divorce of a
marriage conducted in accordance with Chinese traditional (law) viewed from the
marital property obtained during their marriage could be settled by deliberation and
consensus or the stipulation stated in the Indonesian Civil Codes and through Article
37 of Law No.1/1974 on Marriage saying that the joint property can be distributed
based on Adat and Religious Laws or other laws. According to Chinese tradition,
taking care and providing a living for their child or children after the divorce is
borne to their father or their father’s extended family. But the baby who still needs
special treatment from its mother will remain to be with its mother until the baby is
six to 12 months old because the mother needs to breastfeed her baby up tp a certain
period of time and a mother is regarded to have more patience in taking care of her
baby compared with the father.
Keywords :

Divorce, Joint Property Distribution, Child Care, Responsibility of
Providing a Living for the Child


ii

Universitas Sumatera Utara