Perceraian Atas Perkawinan Yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa Dan Akibat Hukumnya

(1)

BAB II

PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP HARTA

PERKAWINAN

A. Syarat-Syarat dan Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa 1. Pengertian Perkawinan

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dirumuskan pengertian perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Tujuan perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berpegang kepada rumusan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pada bagian kalimat kedua yang berbunyi : “dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Rumusan tujuan perkawinan tersebut mengandung arti bahwa diharapkan perkawinan dapat memberikan kebahagian lahir batin untuk jangka waktu yang lama, bukan hanya bersifat sementara bagi suami isteri yang terikat dalam perkawinan tersebut. Sehingga berdasarkan rumusan tersebut, Undang – Undang membuat pembatasan yang ketat terhadap perceraian atau pemutusan hubungan perkawinan.


(2)

Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.48Menurut Kusumadi Pudjosewojo, “ adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan. Dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis, dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan- aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan adat.”49

Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber pada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau.50

Hukum adat Tionghoa merupakan kebiasaan adat istiadat yang dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa secara turun temurun dan berulang- ulang dalam kehidupan sehari-hari. Hukum adat Tionghoa berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Hukum adat Tionghoa merupakan hukum yang tidak tertulis dan diundangkan, sebagaimana peraturan perundang-undangan lainnya.

48 Sulaiman.B.Taneka, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Depan, E.esco,Bandung, 1987, hal.11.

49

Iman Sudiyat, Asas- asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1978 , hal.14.

50 K.Ginarti B, Adat Pernikahan, Majalah Jelajah Volume 3, Tahun 1999, Tanggal 20 Desember 1999, hal.12.


(3)

Penerapan dan kelangsungan Hukum adat Tionghoa di dalam masyarakat Tionghoa sangat bergantung pada masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, apakah masih diterapkan dalam perkembangan sehari-hari, apakah masih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman di dalam masyarakat etnis Tionghoa.

Agama memiliki peran yang sangat penting di dalam menentukan kelangsungan budaya Tionghoa. Bagi masyarakat etnis Tionghoa yang memeluk agama Budha dan Taoisme memiliki kedekatan yang erat dengan kebudayaan Tionghoa karena masih banyaknya upacara keagamaan yang digunakan seperti penggunaan dupa (hio) dalam pemujaan leluhur yang terkait dengan kebudayaan Tionghoa.51

Makna perkawinan menurut adat Tionghoa Konghucu dapat ditemukan dalam Kitab LI JI buku XLI : 1 & 3 tentangHun Yi(kebenaran makna upacara pernikahan), dinyatakan bahwa : Upacara pernikahan bermaksud akan menyatu padukan benih kebaikan/ kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga; keatas mewujudkan pengabdian kepada Tuhan dan leluhur (Zong Miao) ,dan ke bawah meneruskan generasi. 52 Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia melalui Musyawarah Nasional Rokhaniwan Agama Konghucu seIndonesia yang diselenggarakan di Tangerang, pada tanggal 21 Desember 1975 telah mensahkan Hukum perkawinan Agama Konghucu Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan upacara peneguhan perkawinan bagi umat Konghucu. Ada beberapa hal yang diatur dalam Hukum 51Aimee Dawis,Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal.21.


(4)

Perkawinan bagi umat yang beragama Konghucu sebelum melaksanakan upacara peneguhan (Liep Gwan) pernikahan, diantaranya:53

1) Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. 2) Dasar perkawinan umat Konghucu adalah monogami (seorang laki-laki hanya

boleh mempunyai seorang istri), dan monoandri (seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami).

3) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai tanpa paksaan dari pihak manapun.

4) Kedua calon mempelai masing – masing tidak atau belum terikat dengan pihak-pihak lain yang dapat dianggap sebagai sudah hidup bersama (berumah tangga layaknya suami isteri).

5) Pengakuan Iman atau peneguhan iman adalah wajib bagi calon – calon mempelai yang belum melaksanakannya.

6) Saat pelaksanakan Liep Gwan pernikahan wajib dihadiri oleh orang tua dari kedua belah pihak, dan apabila orang tua dari salah satu pihak atau dari kedua pihak sudah tiada, dapat digantikan oleh kerabat dari angkatan tua sebagai wali dari calon mempelai. Orang tua atau wali dari kedua calon mempelai, dalam upacara menyulut lilin pada altar sebagai wujud restu bagi calon mempelai.

7) Apabila salah satu atau kedua pihak calon mempelai tidak memenuhi persyaratan ketentuan dari Hukum Perkawinan, maka dari pihak MAKIN (Majelis Agama Konghucu Indonesia) dapat membatalkan atau menolak upacara peneguhan perkawinan.

8) Oleh karena hakikat dari perkawinan mengandung nilai-nilai luhur dan tersirat amanat mulia sebagaimana dapat disimak dari acuan ayat-ayat suci, maka perceraian tidak dikenal dalam kehidupan umat Konghucu.

9) Sebagai upaya untuk menghindari perceraian kedua pihak terkait, perlu untuk melakukan instrospeksi diri (memerikasa ke dalam diri sendiri) atau tidak merasa benar sendiri, dan tidak ingkar dari prasetia yang diikrarkan dalam peneguhan pernikahannya.

10) Bilamana terjadi sesuatu yang tidak lagi dapat diupayakan rujuk bagi kedua pihak, maka Pengadilan Negeri sebagai Instansi yang dapat menanganinya.

11) Bagi mempelai yang sudah di Liep Gwan, hendaknya segera mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil.54

53

Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN), tanggal 19 Juli 2013

54MATAKIN, Panduan Tata Cara dan Upacara Liep Gwan/ Li Yuan Pernikahan, Pelita Kebajikan, Jakarta, 2008, hal.6-7.


(5)

Masyarakat Tionghoa Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri atas marga/suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya.55Dalam hal ini berarti, anak laki – laki memegang peran yang sangat penting di dalam keluarga, karena merupakan penerus marga atau nama keluarga.

Anak laki – laki dalam masyarakat etnis Tionghoa memiliki kedudukan yang lebih istimewa dibandingkan dengan anak perempuan. Anggapan ini disebabkan oleh karena anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga, anak perempuan yang telah dewasa dan akhirnya menikah akan menjadi bagian dari anggota keluarga dari pihak suaminya dan meneruskan marga atau nama keluarga dari pihak suami.56

Tidak ada pengertian secara tertulis untuk mendefinisikan pengertian perkawinan menurut adat Tionghoa, namun berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama dalam membina rumah tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari ayahnya.57

55K.Ginarti B,Op.Cit., hal.12.

56Natasya Yunita Sugiastuti,Tradisi Hukum Cina : Negara dan Masyarakat , Studi Mengenai

Peristiwa-Peristiwa Hukum di Pulau Jawa Zaman Kolonial (1870-1942), Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal.42.

57 Lodewik Loka, Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat

Tionghoa Oleh Hakim,Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universtias Sumatera Utara,Medan, 2011, hal.33.


(6)

2. Syarat – Syarat Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan syarat-syarat formil dan materiil yang harus dipenuhi di dalam melaksanakan perkawinan.

Syarat-syarat materiil yaitu syarat mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal – hal yang ditetukan oleh Undang-Undang.58Syarat - syarat materiil terbagi atas 2 yaitu:

a. Syarat materiil mutlak. b. Syarat materiil relatif.

Syarat materiil mutlak terdiri atas :

1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974);

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974);

3) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 ( enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974);

4) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11 UU No 1 Tahun 1974 jo PP No 9 Tahun 1975);

58 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hal.12.


(7)

Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak melakukan perkawinan yang telah memenuhi syarat-syarat materiil mutlak untuk diperbolehkan kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengan siapa pihak tersebut hendak kawin, harus memenuhi syarat-syarat materiil relatif.59

Syarat-syarat materiil relatif terdiri atas :

1) Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan kebawah dan keatas; b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara

saudara, antara seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu – bapak tiri;

d) Berhubungan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan; e) Berhubungan saudara dengan isteri, atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f) Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku sekarang (pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974).

2) Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang – undang ini (Pasal 9 UU No. 1 tahun 1974);


(8)

3) Apabila suami dan isteri yang telah kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974);

Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :

a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.

b. Penelitian yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halingan perkawinan menurut Undang-Undang.

c. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

d. Pelaksanaan perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. e. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

f. Penerbitan Akta Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur mengenai syarat-syarat sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu :


(9)

a. Pasal 2 ayat (1) : Perkawinan baru merupakan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya. b. Pasal 2 ayat (2) : setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang

berlaku.

M. Yahya Harahap menarik kesimpulan dari bunyi pasal 2 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya yaitu sah atau tidaknya suatu perkawinan semata – mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang. “Setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan”.60

Selanjutnya menurut M.Yahya Harahap, pencatatan perkawinan hanyalah tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan perisitiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.61

Mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, antara lain: a. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana

60M.Yahya Harahap,Hukum Perkawinan Nasional,Zahir Trading, Medan, 1975, hal.13. 61Ibid.,hal.15.


(10)

yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.

b. Bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan mereka, pencatatan dilakukan oleh pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil.

Syarat – syarat pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa tidak diatur secara tertulis, melainkan dilakukan secara adat istiadat yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya secara terus menerus. Jadi tidak ada syarat pasti mengenai prosedur pelaksanaan perkawinan menurut adat Tionghoa.

Di Indonesia terdapat bermacam-macam suku bangsa dan adat-istiadat, demikian pula orang-orang Tionghoa yang bermigrasi dari Republik Rakyat Cina ke Indonesia. Orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia tidak hanya berasal dari satu daerah saja, melainkan dari beberapa daerah dimana adat-isitiadat di setiap daerah adalah berbeda-beda. Sehingga adat-istiadat yang dianut oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah beragam, namun terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara masyarakat Tionghoa di Indonesia yang satu dengan yang lainnya.

Orang tua berperan sangat penting di dalam pelestarian pelaksanaan perkawinan secara adat Tionghoa dengan cara memberitahukan kepada anak dan keturunannya serta menerapkannya dalam pelaksanaan perkawinan anak-anaknya.

Di dalam masyarakat adat Tionghoa terdapat pantangan dimana calon mempelai yang bermarga sama dilarang menikah sekalipun antara kedua keluarga calon mempelai tidak saling kenal. Hal ini disebabkan anggapan bahwa individu yang


(11)

bermarga sama berasal dari nenek moyang yang sama, sehingga masih mempunyai ikatan darah dan merupakan satu keluarga sehingga hal ini dianggap tabu dan memungkinkan melahirkan keturunan yang kurang baik atau sempurna.

Adat pernikahan sangat dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan, dan pengalaman masing-masing. 62 Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari keluarga dan kedua calon mempelai. Syarat-syarat perkawinan adat Tionghoa harus sesuai dengan tujuan dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, yang mana syarat-syarat tersebut lebih memberatkan calon mempelai pria daripada calon mempelai wanita.

Secara umum syarat-syarat perkawinan secara adat Tionghoa adalah sebagai berikut :

1. Adanya kesepakatan antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan.

Hal ini merupakan syarat yang mutlak, karena antara kedua calon mempelai pria dan calon mempelai wanita harus mempunyai komitmen yang teguh untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dan membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia, dimana seorang isteri harus mengikuti dan mendukung suaminya dalam keadaan yang susah maupun senang. Serta suami sebagai kepala keluarga harus bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan isterinya.


(12)

2. Adanya persetujuan dari orangtua kedua calon mempelai.

Persetujuan dari orangtua kedua orangtua calon mempelai dapat mengenyampingkan kesepakatan antara kedua calon mempelai. Seorang anak harus menuruti kata-kata orang tuanya, walaupun kadang permintaan dari orangtua bukanlah merupakan kemauan dari anak. Dalam hal salah satu orangtua dari calon mempelai telah meninggal dunia , maka ijin diberikan oleh orang tua calon mempelai yang masih hidup. Sedangkan dalam hal kedua orang tua dari calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin diberikan oleh anak laki-laki tertua yang telah menikah. Dalam hal anak laki – laki tertua tidak ada , maka yang memberikan ijin adalah saudara laki-laki tertua kandung dari ayah calon mempelai. Kalau tidak ada, maka ijin diberikan oleh saudara laki-laki kandung yang lebih muda dari ayah calon mempelai, kalau tidak ada juga , maka ijin diberikan oleh saudara laki-laki kandung dari ibu.

3. Calon mempelai pria harus telah mapan secara lahir dan batin.

Calon mempelai pria harus telah mapan secara finansial, dan mental. Karena ia akan menjadi suami bagi isterinya dan ayah bagi anak – anaknya. Jadi di dalam menghidupi keluarga, seorang pria harus mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya.

Tiada suatu batasan (had) umur yang sesuai untuk seorang itu untuk kawin. semuanya bergantung kepada kesediaan dan kesanggupan individu untuk hidup berkeluarga. Keseluruhannya, orang-orang Tionghoa kawin pada umur yang agak lewat karena terpaksa mengumpulkan sejumlah uang yang banyak untuk


(13)

mengadakan kenduri kawin. perkawinan orang Tionghoa dikatakan adalah yang termahal untuk menunjukkan status dan kedudukan yang tinggi. Di samping itu upacara perkawinan dibuat secara besar-besaran untuk memberi muka kepada ibu bapak kedua belah pihak. Orang Tionghoa mempunyai suatu kebiasaan untuk bersaing menunjukkan ego masing-masing melalui pemaparan kemewahan dan kekayaan. Mengikut adat orang Tionghoa, perkawinan anak lelaki sulung perlu dibuat dengan sebaik mungkin. Jika tidak, ini akan memalukan dan merendahkan keluarga serta mendatangkanumpat keji ( kata – kata hinaan) daripada saudara-mara.63

4. Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani.

Selain sehat secara rohani, calon mempelai wanita harus sehat secara jasmani sehingga dapat memberikan keturunan bagi keluarga, terutama anak laki-laki sebagai penerus marga atau nama keluarga. Ketidakmampuan isteri untuk memberikan keturunan dapat menjadi alasan bagi suami untuk menceraikan isterinya atau menikahi wanita lain sebagai isteri kedua untuk memberikan keturunan sebagai penerus marga.

5. Berpendirian dan bertingkah laku santun.

Sikap dan perilaku kedua calon mempelai terhadap orang tua dan keluarga sangat berperan penting di dalam mendapatkan restu dari orang tua untuk melangsungkan perkawinan.


(14)

Secara garis besar, syarat – syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan – kebiasaan serta adat- istiadat dari suku dan/atau keluarga. Tidak terdapat sanksi apabila syarat-syarat perkawinan tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan. Sanksi lebih kepada sanksi sosial seperti berupa cemoohan dari pihak keluarga, kerabat dekat, maupun masyarakat.

3. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan

Terdapat 3 tahap upacara dalam melangsunkan perkawinan menurut adat Tionghoa yaitu :64

a. Upacara adat Tionghoa

b. Upacara tata cara agama yang diyakini c. Upacara Resepsi Pernikahan

Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Perkawinan penting untuk mengkekalkan institusi keluarga. Melalui perkawinan, keturunan nenek moyang dapat diteruskan daripada satu generasi kepada generasi yang lain. Walaupun perkawinan pada masa kini perlu didaftarkan, tetapi upacara dan kenduri perkawinan penting untuk mengikiraf

perkawinan.65

A. Upacara Adat Tionghoa

Upacara ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu :66 1. Melamar

64

Vasanti Puspa,Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia,Djambatan, Jakarta, 1996, hal.43. 65Aan Wan Seng,Op.Cit.,hal.33.

66Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN), tanggal 5 April 2013


(15)

Untuk menghindari kesia – siaan dan rasa malu, lazimnya lamaran dilakukan setelah pihak keluarga pria mendapat kepastian bahwa lamaran akan diterima. Ketika proses lamaran berlangsung pun, pihak pelamar belum akan menyentuh makanan dan minuman yang disajikan sebelum keluarga calon mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Saat akan pulang, ayah atau wali dari calon mempelai pria akan menyelipkan angpau berisi uang di bawah cangkir teh yang disajikan calon mempelai wanita sebagai tanda kasih kepada calon menantu. Sebagai balasan, jika lamaran diterima, keluarga pengantin wanita akan memberi perhiasan sebagai tanda ikatan.

Selepas kedua belah pihak berpuas hati dengan latar belakang masing-masing, ibu bapa pengantin lelaki akan menghantar wakil untuk meminang. Wakil pihak lelaki dipilih dari kalangan emaksaudaranya sendiri atausaudara mara

tua yang terdekat. Wakil ini mesti seorang perempuan.67

Setelah ada kecocokan dari keluarga calon mempelai pria dan wanita, maka orang tua dan pihak keluarga dari calon mempelai pria akan mengutus seseorang, biasanya wanita, baik itu saudara maupun sanak famili perempuan dari keluarga calon mempelai pria yang bertindak sebagai perantara untuk mendatangi keluarga dari pihak calon mempelai perempuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan untuk melamar anak perempuan mereka sebagai menantu. Dalam tahap ini, keluarga calon mempelai pria dan sekaligus juga meminta persetujuan dari keluarga calon mempelai wanita 67Aan Wan Seng,Op.Cit.


(16)

mengenai rencana pelaksanaan pernikahan anak-anak mereka. Pembicaraan antara kedua keluarga calon mempelai hanya sebatas adanya persetujuan dan kata sepakat untuk melaksanakan perkawinan antara kedua calon mempelai, namun belum ada tanggal pasti tentang kapan perkawinan akan dilaksanakan. 2. Penentuan Hari Baik

Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila hari, jam, dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari, dan bulan yang baik. Biasanya serba muda yaitu jam sebelum matahari tegak lurus, hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama.68

Perkawinan yang dilaksanakan pada jam, hari, dan bulan yang tepat akan membawa pengaruh yang baik terhadap perkawinan tersebut di kemudian hari, baik kelanggengan rumah tangga, rezeki,dan anak-anak yang lahir kelak. Penentuan jam, hari, dan bulan ditentukan berdasarkan hari, bulan, tahun lahir serta shio (zodiak Cina) dari kedua belah pihak calon mempelai. Sampai saat ini penentuan hari baik masih dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa di berbagai daerah, karena hal ini telah menjadi kebiasaan yang hidup dan berlaku secara turun temurun dari generasi ke generasi.

3. Sangjit( prosesi hantaran secara adat Tionghoa) 68Loc.Cit


(17)

Sangjit mrerupakan prosesi hantaran rantang bambu yang disusun bulat atau persegi empat, berisi aneka buah dan kue yang jumlahnya harus genap. Namun, semua tergantung kemampuan calon mempelai pria. Hantaran ini akan dibawa oleh pria lajang. Tradisi ini diyakini akan membuat para pembawa hantaran ini menjadi “enteng jodoh”. Diantara sekian banyak barang hantaran terdapat barang bermakna simbolis. Sangjit merupakan acara pertemuan kedua orang tua dan keluarga dari keluarga calon mempelai dan biasanya kedua calon mempelai tidak hadir dalam pembicaraan tersebut. Pada budaya Tionghoa suku tertentu, hantaran yang diterima tidak diambil seluruhnya , melainkan hanya separuh. Bahkan uang susu sebagai ungkapan terima kasih kepada ibu pengantin wanita yang telah membesarkan anak gadisnya sama sekali tidak diambil. Ini sebagai isyarat si ibu tidak mempunyai pamrih atas jasa itu. Hantaran yang telah diterima akan dibalas dengan hantaran pula.

Sangjit biasanya dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran. Dalam prakteknya Sangjit sering digabung dengan proses lamaran. Dalam Sangjit

juga dibicarakan mengenai permintaan-permintaan dari pihak keluarga calon mempelai wanita mengenai jumlah undangan resepsi, barang-barang hantaran, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.


(18)

Seusai melaksanakan prosesi Sangjit, keluarga calon mempelai pria akan mempersiapkan ranjang baru untuk kamar pengantin. Ada tradisi unik, anak-anak akan diminta meloncat-loncat di atas ranjang pengantin sebelum ranjang ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang, ada mitos tradisi ini dapat membuat pengantin cepat mendapat momongan.

5. Menyalakan lilin

Ada keharusan bagi orang tua kedua calon pengantin untuk menyalakan lilin perkawinan beberapa hari menjelang pernikahan digelar. Nyala lilin perkawinan dipercaya bisa mengusir pengaruh buruk yang dapat mengacaukan jalannya prosesi pernikahan. Biasanya lilin dinyalakan mulai pukul satu dini hari. Lilin harus tetap menyala hingga tiga hari setelah pernikahan.

6. Upacara Sembahyang kepada leluhur

Pada pagi hari di acara pernikahan dilakukan sembahyang kepada leluhur dari kedua mempelai yang telah meninggal dunia untuk meminta doa restu agar pernikahan dapat berjalan langgeng dan diberikan keturunan yang baik. Sembahyang leluhur terlebih dahulu dilakukan di rumah keluarga mempelai pria, yang kemudian dilanjutkan di rumah keluarga mempelai wanita.

7. Prosesi Minum Teh (Phang Teh)

Phang Teh dilakukan untuk menghormati orang tua serta saudara dan sanak

keluarga yang lebih tua, dimana kedua calon mempelai mempersembahkan teh sebagai rasa hormat dan terima kasih kepada orang yang lebih tua untuk


(19)

memohon doa restu dari keluarga. Setiap persembahan teh kepada para orang yang lebih tua, akan dibalas dengan pemberian “angpao”.Angpaodapat berisi uang atau dapat berupa kalung emas, cincin emas, ataupun gelang emas. Phang teh lebih dahulu dilakukan di rumah keluarga mempelai pria yang kemudian dilanjutkan di rumah keluarga mempelai wanita.

8. Siraman

mempelai wanita dimandikan dengan air yang telah dibubuhi dengan wewangian alami. Selain itu untuk membersihkan mempelai dan membuatnya wangi, ritual ini juga bermaksud mengusir pengaruh jahat yang bisa menganggu mempelai.

9. Chiao Thao( menyisir rambut)

Chio Thao biasanya dilakukan oleh orang yang telah menikah dan memiliki

keturunan. Mempelai akan disisir sebanyak tiga kali. Mempelai yang akan menjalani prosesi ini didudukkan di atas kursi yang telah dialasi tampah besar bergambar yin-yang. Di hadapan mereka terdapat meja kecil yang di atasnya telah diletakkan penakar beras yang terisi penuh oleh beras dan Sembilan benda simbolis, yaitu timbangan obat khas Tionghoa, alat pengukur panjang, cermin, sisir, gunting, pedang, pelita. Selain itu terdapat juga benang sutra yang terdiri dari lima warna. Semua benda-benda ini mengandung makna ajaran moral bagi calon pengantin untuk membereskan keruwetan rumah tangga yang akan dihadapi serta mampu menimbang baik buruknya suatu tindakan.


(20)

10. Makan 12 jenis sayur

Memasuki detik-detik penyambutan pengantin pria, mempelai wanita yang telah dipakaikan busana pengantin oleh orang tuanya, dibimbing menuju meja makan. Di atas meja telah tersaji 12 mangkuk yang masing – masing berisi satu jenis makanan yang memiliki rasa yang berbeda-beda. Manis, asin, asem, pedas, pahit, gurih, dan sebagainya. Semua rasa ini menjadi pelambang suka-duka hidup berumah tangga yang harus dijalani dan dinikmati. Pengantin pria juga menjalani prosesi yang sama di rumahnya, sebelum berangkat menuju rumah pengantin wanita.

11. Penjemputan mempelai wanita

Mempelai pria yang datang untuk menjemput mempelai wanita akan disambut dengan taburan beras kuning, biji buncis merah dan hijau, uang logam, serta bunga. Aneka taburan ini bermakna kesejahteraan yang melimpah bagi mempelai. Masih dalam keadaan wajah ditutupi kerudung, mempelai wanita dipertemukan dengan pengantin pria yang telah datang menjemput. Dalam prosesi ini, kerudung pelambang kesucian belum boleh dibuka.

12. Penyambutan pengantin wanita

Di rumah segala keperluan untuk menyambut kedatangan pengantin telah dipersiapkan. Begitu rombongan pengantin datang, di muka pintu, ibu, dan nenek pengantin pria yang telah menunggu akan menyambut dengan taburan beras kuning, biji kacang buncis hijau dan merah sebagai simbol kesuburan, serta uang logam sebagai lambang rezeki dan kemakmuran. Setelah pasangan


(21)

pengantin masuk rumah, keduanya akan dibimbing menuju kamar, barulah kerudung pengantin wanita boleh dibuka.

B. Upacara Tata Cara Agama yang Diyakini

1. Upacara sembahyang Dewa Langit dan Dewa Bumi

Upacara sembahyang kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi dilakukan pada tengah malam menjelang hari pernikahan, untuk memohon pada para Dewa agar acara berlangsung dengan lancar dan diberkahi rezeki dan segala harapan-harapan yang baik.

2. Upacara Sembahyang di Kelenteng

Setelah upacara sembayang di rumah masing-masing keluarga mempelai, hendaknya pemberkatan dilanjutkan ke lembaga keagamaan, misalnya Kelenteng. Di Kelenteng terdapat pemuka agama yang juga akan memberkati perkawinan dan pesta perkawinan agar berjalan dengan langgeng dan lancar.

Untuk pemberkatan perkawinan di Kelenteng dibutuhkan dokumen-dokumen yakni sebagai berikut :69

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) masing – masing calon mempelai pria dan wanita yang masih berlaku sebanyak 2 lembar.

b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua dan/atau wali dari calon mempelai pria dan wanita yang masih berlaku sebanyak 2 lembar.

69Wawancara dengan Ibu Dewi, Pengurus Kelenteng Gunung Timur, bagian perkawinan, tanggal 10 April 2013


(22)

c. Fotokopi akta kelahiran masing – masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar.

d. Fotokopi kartu keluarga masing – masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar.

e. Pas foto berwarna berukuran 2x3 masing-masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 3 lembar.

f. Fotokopi undangan pernikahan sebanyak 2 lembar.

g. Fotokopi surat ganti nama masing-masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar (bila ada).

C. Upacara Resepsi Pernikahan

Resepsi pernikahan dalam adat Tionghoa bisa dibagi menjadi 2 bagian yakni : a. Resepsi pernikahan dari pihak keluarga mempelai wanita.

Pada resepsi ini, keluarga dari mempelai pria tidak diundang untuk hadir karena dianggap tabu dan akan memberi akibat yang kurang baik terhadap perkawinan tersebut. Jadi pada resepsi ini hanya mempelai pria saja yang hadir untuk mendampingi mempelai wanita hingga resepsi selesai. Setelah acara selesai, maka mempelai pria dan wanita akan kembali ke rumah masing-masing.

b. Resepsi pernikahan dari pihak keluarga mempelai pria.

Berbeda dengan resepsi pernikahan dari pihak keluarga mempelai wanita. Pada resepsi ini, seluruh pihak keluarga mempelai wanita juga turut diundang. Keluarga mempelai wanita ditempatkan pada meja khusus untuk keluarga


(23)

mempelai wanita. Setelah acara selesai, maka tiba saat perpisahan mempelai wanita dengan orang tuanya dan melanjutkan hidup sebagai isteri dan menantu keluarga serta akan mengikuti suaminya, dan hidup serumah sebagai sepasang suami-isteri.

Namun sekarang banyak masyarakat Tionghoa yang menggabungkan resepsi pernikahan dari pihak keluarga mempelai wanita dan pihak keluarga mempelai pria menjadi satu dengan alasan untuk menghemat biaya dan waktu penyelenggaraannya. Maka resepsi diselenggarakan di satu hari, dan tempat yang sama. Dimana segenap keluarga, sanak saudara, teman, dan kerabat dari mempelai pria dan wanita akan bertemu dan berkumpul.

4. Sahnya Perkawinan Pada Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa

Masyarakat Tionghoa memegang teguh adat istiadat berpendapat bahwa suatu perkawinan adalah sah dan telah diakui oleh kedua belah pihak keluarga suami/isteri apabila perkawinan tersebut telah dilaksanakan menurut adat Tionghoa dan menjalani serangkaian ritual keagamaan, maka perkawinan tersebut telah sah, tidak mempedulikan dicatat atau tidak perkawinan tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hukum adat Tionghoa disebutkan, pasangan yang melangsungkan perkawinan tanpa mengikuti ketentuan aturan yang digariskan oleh adat istiadat Tionghoa adalah tidak sah dalam pandangan orang Tionghoa.70


(24)

Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa, suatu perkawinan telah sah apabila telah dilangsungkan dengan memenuhi seluruh persyaratan dan prosedur menurut ketentuan adat istiadat Tionghoa dan agama yang dianut sehingga banyak masyarakat etnis Tionghoa yang enggan mencatatkan perkawinannya karena perkawinan tersebut dianggap sah walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Apabila suatu perkawinan telah sesuai dengan adat istiadat Tionghoa, maka perkawinan telah dianggap sah. Sehingga banyak perkawinan yang tidak dicatatkan sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Banyak perkawinan yang tidak dicatatkan karena ketidaktahuan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dan akibat hukum yang timbul sebagai akibat dari tidak dicatatkannya suatu perkawinan. Keengganan dan ketidaktahuan hukum masyarakat Tionghoa atas pencatatan perkawinan tanpa disadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri tersebut, anak-anaknya dan juga terhadap keluarga dari pihak suami maupun isteri.

B. Akibat Hukum Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa

Setiap perkawinan akan memberikan akibat hukum bagi pihak – pihak yang melaksanakannya. Terdapat perbedaan akibat hukum antara perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan perkawinan yang dilaksanakan menurut adat istiadat Tionghoa.

Akibat yang timbul dari perkawinan yang sah adalah adanya hak dan kewajiban suami-istri dalam keluarga. Dalam pasal 30 sampai dengan 34 UU No. 1


(25)

Tahun 1974 tentang perkawinan telah diatur mengenai hak dan kewajiban antara suami isteri, yaitu sebagai berikut:

1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat;

2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat;

3) Masing- masing pihak ( suami – isteri ) berhak melakukan perbuatan hukum; 4) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

5) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

6) Suami isteri wajib saling cinta – mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin satu kepada yang lain;

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur secara tegas tentang akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan, baik hak dan kewajiban suami, isteri, dan anak, serta harta benda perkawinan. Sedangkan perkawinan secara adat Tionghoa tidak mengatur secara jelas mengenai akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan, dikarenakan tidak ada hukum tertulis yang mengaturnya. Jadi akibat – akibat hukum yang timbul dari perkawinan secara adat Tionghoa baik mengenai hak dan kewajiban suami, isteri, dan anak, serta harta benda perkawinan dilaksanakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat etnis Tionghoa.

1. Akibat Hukum Terhadap Hubungan Suami Isteri dan Keluarga Suami Isteri

Hukum adat Tionghoa menganut sistem kekeluargaan patrilineal dimana laki-laki sebagai penerus marga atau nama keluarga. Seorang suami berkewajiban untuk


(26)

mencari nafkah, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, melindungi isterinya. Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan pembuat keputusan mutlak dalam keluarga. Seorang isteri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga dengan baik, patuh terhadap suami dan orang tua, dan memberikan keturunan. Dalam hal keturunan, lebih diutamakan anak laki-laki, karena anak laki-laki dalam masyarakat Tionghoa berkedudukan sebagai penerus marga.

2. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Suami Isteri

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber dari kalangan etnis Tionghoa di Kota Medan, akibat hukum yang timbul terhadap harta yang perkawinannya dilakukan menurut adat istiadat Tionghoa adalah sebagai berikut :71 a. Untuk harta bawaan suami yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan

tetap berada dalam penguasaan dan sepenuhnya menjadi hak suami.

b. Untuk harta bawaan isteri yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan tetap berada dalam penguasaan dan sepenuhnya menjadi hak isteri.

3. Akibat Hukum Terhadap Hubungan Orang Tua dengan Anak

Hukum adat Tionghoa tidak mengenal mengenai perkawinan yang dicatatkan dan perkawinan yang tidak dicatatkan, jadi anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dilaksanakan menurut adat Tionghoa dianggap sebagai anak sah. Orang tua berkewajiban merawat anak dengan baik, memberikan penghidupan yang layak dan pendidikan yang baik.

71Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia ( MAKIN), tanggal 16 Maret 2013


(27)

Anak laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Anak laki-laki sebagai penerus marga mempunyai hak untuk mewaris dalam keluarga, terutama anak laki – laki tertua. Dalam adat Tionghoa, cucu laki-laki dari anak laki-laki tertua memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan cucu laki-laki dari anak laki-laki yang lebih muda. Sehingga apabila terdapat acara adat dan keluarga, para anak laki-laki akan berdiskusi mengenai pelaksanaan keputusan. Namun keputusan terakhir ditentukan oleh anak laki – laki yang tertua.

Anak perempuan dalam adat Tionghoa tidak mempunyai hak mewaris karena anak perempuan yang telah menikah dianggap akan menjadi bagian dari keluarga suaminya. Anak perempuan cukup dibekali dengan pendidikan, perhiasan dan uang pada saat anak perempuan tersebut menikah.

Namun kedudukan anak laki – laki dan anak perempuan pada dewasa ini telah mengalami pergeseran nilai, dimana anak perempuan juga telah memiliki hak mewaris. Pada keluarga etnis Tionghoa yang sama sekali tidak memiliki anak laki-laki, harta warisan akan dibagikan kepada anak perempuan sesuai dengan kesepakatan masing-masing keluarga.72

C. Perceraian Atas Perkawinan Yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa

1. Alasan Perceraian

Dalam suatu perkawinan tidak semuanya berjalan seperti apa yang diharapkan, seperti dengan adanya sesuatu hal yang biasa memicu keretakan dalam


(28)

suatu perkawinan, keretakan yang bisa menimbulkan kekecewaan atau mematahkan hati bagi semua pihak yang terlibat diantaranya suami, istri, anak-anak, dan anggota lain dalam keluarga, bahkan orang-orang terdekatnya. Perceraian dapat menimbulkan efek-efek yang kurang baik, dari segi moral maupun keluarga dan bagi mereka yang mempunyai anak akan membawa tanggung jawab yang lebih berat, sehingga anak-anak mengalami perubahan dalam kehidupan mereka setelah perceraian itu terjadi, mengingat anak-anak masih membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang semestinya di dapat dari kedua orangtuanya.

Menurut Augustine disebutkan beberapa alasan pasangan memutuskan untuk mengakhiri perkawinannya yakni :73

a. Prinsip dasar yang bertentangan dengan pasangan. b. Ketidakpuasan terhadap kehidupan pernikahan. c. Pasangan meninggalkan keluarga.

d. Perzinahan.

e. Perlakuan kejam ( kekerasan dalam rumah tangga). f. Pasangan dipenjara.

g. Pasangan ingin menikah lagi ( bigami/poligami). h. Penghinaan pasangan.

i. Lain – lain atau tanpa alasan ( jenis perceraian tanpa alasan disebut juga dengan istilahno-fault divorce).

Menurut Saxton beberapa bentuk ketegangan dalam interaksi suami isteri yang mengarah pada perceraian :74

a. Frustasi

Frustasi didefinisikan sebagai bentuk emosi yang dialami saat keinginan dihalangi atau perasaan puas yang terpasung. Frustasi dalam hidup berpasangan terutama dialami oleh pihak yang paling tertekan karena situasi tersebut.

73Augustine K, Divorce Decision : Things to Consider When Making a Decision About

Divorce,http://www.deciding-ondivorce.com/divorcedecision.htm, diakses pada tanggal 16 April 2013 74L. Saxton,The Individual, Marriage & The Family,Wadsworth, California, 1990, hal.105.


(29)

Contoh yang diberikan Saxton adalah kasus dimana suami menginginkan hubungan suami isteri sedangkan si isteri menolak. Sebenarnya si isteri tidak menginginkan hubungan suami isteri didasari oleh kelelahan fisik atau preferensi kegiatan lain, menonton televisi misalnya. Namun sang suami menanggapinya sebagai penolakan terhadap kebutuhan biologisnya. Jika suami tidak mengubah persepsinya mengenai alasan isteri menolak berhubungan suami isteri, suami kemungkinan besar akan mengalami frustasi dan kesalahan menanggapi maksud isterinya. Tak jarang penolakan berhubungan suami isteri disalahartikan sebagai “tidak cinta lagi”. Saxton melihat hal ini sebagai lubang – lubang kecil menuju perceraian.

b. Penolakan dan pengkhianatan

Sering ditemui pada keluarga muda yang beranjak pada tahun – tahun berat pernikahan. Romantisme pada masa – masa berpacaran pelan – pelan tergantikan oleh kesibukan dan konsentrasi pada urusan mencari nafkah keluarga dan anak. Tidak heran ada perasaan tersisihkan dan dilupakan oleh pasangannya. Orang yang merasa dirinya ditolak oleh pasangannya biasanya melancarkan balasan, bisa berupa sikap maupun kata – kata. Demikian pula pada perasaan dikhianati pasangannya. Kekosongan dan berkurangnya komunikasi memicu pertengkaran suami dan isteri. Tak jarang ada yang memutuskan meninggalkan pasangannya sebagai bentuk atas serangan ketersisihan yang dirasakannya.

c. Berkurangnya kepercayaaan

Saat seseorang dalam hidup berpasangan kepercayaan berkurang terhadap pasangannya umumnya merambat pada kebinasaan hubungan. Hal ini cukup beralasan sebab kepercayaan menyangkut kesadaran membina keharmonisan dengan pasangan dalam bentuk keintiman satu sama lain. Menurunnya kepercayaan (lowered self-esteem)dapat ditanggulangi dengan komunikasi yang jujur dan terbuka antara kedua belah pihak.

d. Displacement

Saxton menemukan kasus bahwa respondennya pernah bertengkar dengan pasangannya dan tidak bertegur sapa dengan pasangannya selama dua hari tanpa alasan yang jelas. Saxton menyebutnya sebagai displacement, diperkirakan lahir dari perasaan yang terpendam sejak lama yang mendadak meledak sebagai klimaks. Menurutnya, masalah yang menjadi alasan pertengkaran cenderung sepele bahkan ada yang melenceng dari persoalan semula.

e. Psychological Games

Psychological Games didefinisikan sebagai interaksi dimana seseorang

menyerang orang lain dalam perdebatan demi sebuah kemenangan terselubung. Perasaan menang itu didapat saat pasangannya mengaku tunduk atas argument yang dikeluarkannya. Dalam membuat keputusan pola psychological games ini sangat berbahaya, sebab keputusan yang diambil cenderung tidak melihat pada masalah yang sedang dialami, melainkan sejauh mana lawan berdebat baru mengaku kalah.


(30)

Alasan perceraian pada masyarakat Tionghoa yaitu :75 a. Moral

Moral merupakan tingkah laku, perbuatan, percakapan bahkan sesuatu yang berkaitan dengan norma – norma kesopanan, yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan.76Sebab – sebab perceraian yang masuk dalam kategori faktor moral ini seperti krisis akhlak seperti perselingkuhan yakni melakukan hubungan seks dengan orang lain yang bukan suami atau isterinya tanpa diketahui masing – masing atau diketahui setelah melakukan hubungan seks oleh salah satu pihak atau keduanya atau orang lain. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya saling menghargai masing – masing pihak ( suami – isteri ).

Kecemburuan merupakan suatu dugaan yang belum tentu benar adanya. Kecemburuan dapat memicu perselisihan dan menganggu keharmonisan rumah tangga. Dugaan yang tidak benar dapat menyebabkan salah satu pihak menjadi kesal, misalnya isteri yang terus menerus curiga dan bertanya pada saat suami baru pulang kerja dalam keadaan lelah sehingga suami kesal dan membentak isterinya.

b. Meninggalkan kewajiban

Suatu perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami dan isteri, apabila kewajiban – kewajiban dijalankan dengan baik dan seimbang, maka hubungan yang harmonis dapat terjaga. Meninggalkan kewajiban di sini adalah kewajiban

75

Wawancara dengan Ibu Dewi, pengurus Majelis Agama Konghucu Indonesia ( MAKIN ) bagian perkawinan, tanggal 19 April 2013

76Yani Tri Zakiyah, Makalah Latar Belakang dan Dampak Perceraian, Semarang, 2005, hal.114.


(31)

yang ditinggalkan oleh suami dan/atau isteri dalam hal pemberian nafkah baik lahir maupun batin. Meninggalkan kewajiban sebagai suami – isteri dapat disebabkan oleh beberapa faktor misalnya, kawin paksa, ekonomi, tidak adanya rasa tanggung jawab.

Kawin paksa tidak dilandasi oleh rasa cinta, kasih dan sayang. Kawin paksa terjadi karena adanya paksaan dari orang tua, saudara, atau yang lainnya yang menyebabkan adanya tekanan sehingga muncul rasa tidak tanggung jawab terhadap rumah tangga seperti meninggalkan rumah tanpa seizin dari isteri atau suaminya. Tanpa rasa tanggung jawab membuat salah satu pihak menjadi tidak betah tinggal di rumah dan memicu rasa bosan sehingga meninggalkan rumah. c. Menikah muda

Banyak pasangan yang menikah muda tanpa ada kesiapan baik secara finansial maupun emosional. Karena banyak pasangan muda yang belum memahami arti dan tujuan dari suatu perkawinan. Sehingga apabila terjadi kegoncangan dalam rumah tangga, mereka tidak dapat mengatasinya dan menyalahkan satu sama lain. d. Kekerasan dalam rumah tangga

Kekejaman terhadap jasmani dapat dilihat dari perbuatan yang menimbulkan rasa sakit dan/atau yang termasuk pidana. Sedangkan kekejaman rohani dapat berupa hinaan, fitnah, atau hal-hal lain yang menganggu kejiwaan.77Pada kenyataannya, wanita lebih banyak mendapat perlakuan penganiayaan dari suami sehingga


(32)

muncul fenomena baru pada masa sekarang yaitu meningkatnya masalah perceraian.

Menurut Sofia Kartika, umumnya alasan yang dikemukakan perempuan dalam mengajukan gugatan perceraian, selain alasan ketidakcocokan adalah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi, menolak untuk berhubungan spesial, suami selingkuh, cemburu, dan ingin kawin lagi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh ketidaksadaran akan kesetaraan dalam masyarakat. Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai kekerasan domestik, ini pendeteksiannya sangat sulit karena perempuan Indonesia biasanya takut dan malu mengatakannya. Kekerasan domestik ini lalu dianggap sebagai aib yang tidak perlu diungkapkan.78

Jika perkawinan tak berjalan sebagaimana yang diharapkan, seperti tidak bahagia atau terjadi ketidakcocokan yang tak bisa lagi didamaikan maka mereka menjadi lebih berani untuk meminta talak. Perempuan tak lagi bersedia hidup lagi dalam kemunafikan falsafah lama supaya selalu jogo projo ( menjaga kerajaan ) yaitu meredam persoalan dengan diam demi tetap utuhnya bangunan rumah tangga walaupun itu hanya sebuah kepura – puraan.79

e. Kebiasaan buruk

78

Sofia Kartika,Profil Perkawinan Perempuan Indonesia,Jurnal Perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan Maret, 2002, hal.64-65.

79Endriani DS,16 Perceraian dan Otonomi Perempuan,


(33)

Salah satu pihak baik suami maupun isteri mempunyai kebiasaan buruk yang tidak dapat diperbaiki sehingga memicu salah satu pasangan tidak dapat bertahan untuk hidup satu atap lagi. Kebiasaan buruk yang dimaksud seperti suka berjudi, tukang mabuk, selingkuh sehingga menyebabkan rumah tangga tidak harmonis lagi dan merujuk kepada perceraian

f. Perselisihan terus menerus

Faktor-faktor perselisihan dapat disebabkan oleh gangguan pihak ketiga, perbedaan paham dan ideal. Gangguan pihak ketiga dapat berupa adanya campur tangan dalam rumah tangga dari orang tua, saudara dari suami/isteri, teman sehingga menyebabkan perbedaan paham, perselisihan, kesalahpahaman yang dapat berakhir pada perceraian.

Orang tua sering kali terlalu banyak ikut campur dalam persoalan rumah tangga anaknya, karena beranggapan hal yang dilakukan untuk anaknya adalah yang terbaik, namun belum tentu apa yang terbaik menurut orang tua, juga terbaik menurut anaknya. Misalnya ada orang tua yang ikut campur dalam hal pemberian nafkah kepada isteri, sehingga hal ini juga berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga, isteri yang terkekang dengan tekanan ekonomi akan merasa tertekan dan frustasi, sehingga menimbulkan rasa benci dan mengganggu ketenteraman dalam rumah tangga.

Tingginya angka perceraian disebabkan pergeseran nilai dan kebutuhan individu. Dahulu pasangan suami isteri meski sering berselisih namun berusaha mempertahankan biduk pernikahan, mereka harus berpikir dengan matang hingga


(34)

memilih keputusan bercerai. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan sekarang, dimana pasangan sangat mudah mengambil keputusan bercerai. Dahulu pasangan yang bercerai dianggap hal yang sangat memalukan, namun sekarang telah terjadi pergeseran nilai dimana perceraian dianggap hal yang biasa saja.

2. Akibat Putusnya Hubungan Perkawinan

Keluarga yang terpisah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi. Hal ini menyebabkan :80

a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan mereka.

b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.

Kartini Kartono mengatkan bahwa :81

Sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu geng kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku a-susila, dan kebiasaan delinkuen. Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmonis social dan lenyapnya

80

Yani Trizakia,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 57. 81


(35)

kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.

3. Tata Cara Perceraian

a. Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Perceraian merupakan suatu pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama.82 Perceraian hanya dapat terjadi apabila sebelumnya telah ada hubungan perkawinan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang sejalan dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini terbukti dari ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perceraian menurut garis hukum apapun dan dalam bentuk apapun hanya boleh dipergunakan sebagai jalan terakhir, sesudah usaha perdamaian telah dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan lain kecuali hanya perceraian itu. Pada kenyataannya telah terjadi pergeseran nilai dimana alasan-alasan perceraian yang telah diatur secara limitatif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 hanya dianggap sebagai formalitas demi

82T. Jazifham,Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam,Mestika, Jakarta, 2006, hal.54.


(36)

tercapainya keinginan untuk bercerai. Hal ini sangat erat kaitannya dengan munculnya perceraian atas pemufakatan/kesepakatan.

Definisi perceraian menurut beberapa pendapat sarjana : 1) Menurut Budi Susilo

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-isteri itu perkawinannya putus.83

2) Menurut Surbekti

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.84

3) Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin

Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang di dalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri.85

4) Menurut P.N.H Simanjuntak

83

Budi Susilo,Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, hal.11. 84Subekti,Pokok – Pokok Hukum Perdata,Intermasa, Jakarta, 1985, hal.23.

85R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986, hal.109.


(37)

Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.86

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan perkawinan dapat putus karena :

1) kematian 2) perceraian

3) keputusan pengadilan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mempersulit terjadinya perceraian, dengan menentukan bahwa di dalam melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.87

Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri

tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.

86

P.N.H Simanjuntak,Pokok – Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hal.53.

87Sudarsono,Lampiran Undang – Undang Perkawinan dengan Penjelasannya,Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal.307.


(38)

Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pelaksanaan perceraian hanya mungkin terjadi apabila :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut – turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun dan hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 209 KUH Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu:88

1. zinah,

2. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat

3. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.

4. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka – luka yang membahayakan.

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur akibat hukum dari perceraian yaitu :89

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

88Pasal 209 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata


(39)

2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

b. Perceraian Menurut Hukum Adat Tionghoa

Sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa beragama Buddha atau Konghucu, dimana perkawinan menurut etnis Tionghoa barulah sah apabila telah dilakukan secara adat istiadat Tionghoa.

Perkawinan secara adat di kalangan masyarakat etnis Tionghoa kebanyakan dilakukan di Kelenteng ataupun lembaga keagamaan lainnya. Dimana pemuka agama layaknya seorang pendeta menjadi saksi dari pengikatan tali perkawinan, dan menyaksikan upacara adat sembahyang kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi pada saat upacara pengikatan perkawinan tersebut.

Hal ini membuat lembaga keagamaan mempunyai peran yang sangat penting dalam perkawinan maupun perceraian dari masyarakat etnis Tionghoa. Sebagai akibat dari pengaruh agama yang sangat besar, pemutusan perkawinan menurut hukum adat selalu terjadi campur tangan aturan – aturan keagamaan.

Pengertian perceraian menurut adat Tionghoa adalah putusnya hubungan perkawinan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang telah hidup bersama sebagai suami isteri.


(40)

Terdapat dua keadaan perceraian dalam adat istiadat Tionghoa yaitu :90 1. Pemisahan meja dan tempat tidur

Dalam keadaan ini pasangan suami isteri hidup terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri, tetapi masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih hidup.

2. Perceraian secara hukum/resmi

Dalam keadaan ini pasangan suami isteri telah bercerai secara hukum dan resmi. Dikatakan bercerai secara resmi, apabila perkawinan tersebut dicatatkan, dan perceraian juga dilakukan dengan keputusan Pengadilan. Pasangan suami isteri ini tidak lagi terikat hubungan perkawinan dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain.

Adat Tionghoa tidak melarang terjadinya perceraian, namun tidak mendukung terjadinya perceraian. Apabila terjadi pertengkaran antara suami isteri, biasanya isteri akan kembali ke rumah orang tuanya. Kemudian dari pihak keluarga akan terlebih dahulu melakukan upaya perbaikan terhadap hubungan pasangan suami isteri tersebut. Bagi suami isteri yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga, dapat ditempuh dengan cara pisah meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar kedua belah pihak lambat laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari kekeliruannya dan pada akhirnya akan kembali rujuk.

Dalam hukum adat Tionghoa, perceraian dianggap suatu kegagalan dan aib, membawa penderitaan bagi anak-anak yang dilahirkan, menimbulkan efek psikologis yang negatif bagi kedua pasangan suami istri. Sehingga apabila terjadi kegoncangan rumah tangga, hal tersebut akan terlebih dahulu diselesaikan secara kekeluargaan.

90Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN) Medan Utara, tanggal 15 April 2013


(41)

Misalnya para kerabat terdekat akan terlebih dahulu mengusut pemicu persoalan dan berusaha untuk mendamaikan pasangan yang akan bercerai.

Terhadap perceraian yang terjadi, emas kawin yang telah diberikan oleh pihak mempelai pria kepada pihak mempelai wanita tidak dapat dimintakan kembali. Karena dalam adat Tionghoa, perkawinan tidak dianggap sebagai perjanjian, melainkan sebuah kesepakatan.

Menurut adat istiadat Tionghoa, pasangan yang telah bercerai, hubungan kekerabatan antara keluarga, sanak saudara mantan isteri dan/atau telah berakhir pula. Hanya anak ( bila ada) yang masih mempunyai hubungan dengan ayah dan/ atau ibunya.

Menurut Wahyono Darmabrata, dalam hal perceraian, maka suami isteri yang akan bercerai juga harus memperhatikan ketentuan agama. Apakah ketentuan hukum agama yang dianut suami-isteri yang bersangkutan memungkinkan atau tidak bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan untuk bercerai. Kalau hukum agama suami isteri yang bersangkutan melarang terjadinya perceraian, maka perceraian tersebut tidak dapat dilaksanakan meskipun Undang-Undang atau hukum negara memungkinkannya.91

Menurut Bhaktiar Kamil, ikatan perkawinan di masyarakat etnis Tionghoa belakangan ini semakin rapuh karena kalangan generasi mudanya tidak lagi menghargai adat dan agama dalam kehidupan keluarga, keluarga baru yang terbentuk 91 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Beserta Undang – Undang dan Peraturan PelaksanAanya, Cetakan Ke-2, Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal.134.


(42)

di kalangan kaum muda kurang menghargai nilai – nilai sakral perkawinan karena pemahaman terhadap makna adat dan agama semakin merosot. Zaman sekarang agama hanya dianggap sebagai formalitas hidup, umat banyak yang kurang menghargai adat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perkawinan.92

Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus kepada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kehendak kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini, salah satu pihak tidak bisa menuruti kehendak pihak yang lainnya, maka jalan yang paling bijaksana untuk ditempuh adalah salah satu pihak harus dapat mengubah pola pikir dirinya sendiri, sehingga pertengkaran tidak akan terjadi.93

Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan mengenai keabsahan perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu serta harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi di dalam masalah perceraian, kecuali yang dilakukan di hadapan Pengadilan Agama bagi umat Islam, tidak ditentukan keharusan misalnya keabsahan perceraian harus memenuhi hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

c. Syarat – Syarat Perceraian

Perceraian perkawinan adalah hanya dapat ditetapkan oleh Pengadilan Negeri dengan alasan-alasan, yaitu:94

92

Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN) Medan Utara, tanggal 15 April 2013

93Ibid.


(43)

1) Berzinah oleh suami istri atau istri dengan orang ketiga

2) Hal salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dengan sengaja;

3) Hal salah satu pihak, selama perkawinan berlangsung, mendapat hukuman perihal suatu kejahatan

4) Penganiayaan berat oleh suami atau istri, dilakukan terhadap pihak yang lain, atau suatu penganiayaan sedemikian rupa, sehingga dikhawatirkan bahwa pihak yang dianiaya itu akan meninggal dunia atau suatu penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka yang berat pada badan pihak yang dianiaya.

5) Cacat badan atau penyakit yang timbul setelah pernikahan dilakukan sedemikian rupa sehingga suami atau istri yang menderita itu, tidak dapat melakukan hal sesuatu yang layak dalam suatu perkawinan.

6) Percekcokan di antara suami istri yang tidak memungkinkan dapat diperbaiki lagi.

Pengecualian perceraian pada masyarakat etnis Tionghoa :95 1) Istri yang melahirkan banyak anak tidak boleh diceraikan

Seorang perempuan yang melahirkan banyak keturunan bagi suaminya, tidak boleh diceraikan, karena dia telah menunaikan tugasnya sebagai isteri, membantu suaminya dalam membangun rumah tangga, sehingga isteri tersebut tidak bisa diceraikan begitu saja. Seorang suami seharusnya tetap hidup bersama dengan isterinya, mengurus dan membelanjainya walaupun tidak lagi tidur sekamar, dan isteri harus tetap dihormati sebagai isteri yang sah. Bagi suami, lebih baik menikah lagi namun hidup di rumah yang terpisah daripada menceraikan isteri pertamanya.

Perceraian tidak serta merta memutuskan hubungan pertalian keluarga antara pihak keluarga mantan suami dan mantan isteri. Jika hubungan perkawinan tersebut terjadi karena pertalian yang disatukan karena hubungan darah, maka

95Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN) Medan Utara, tanggal 15 April 2013


(44)

pertalian keluarga tidak akan putus karena perceraian. Jika pasangan suami isteri tersebut mempunyai keturunan, tidak menjadi masalah anak laki – laki atau perempuan, maka anak-anak tersebut akan meneruskan pertalian keluarga tersebut. Perkawinan yang berakhir dengan perceraian bisa disatukan kembali meskipun pada prakteknya jarang terjadi.

2) Isteri yang sedang hamil tidak boleh diceraikan

Suami harus bertanggung jawab atas bayi yang berada dalam kandungan isterinya, karena ia merupakan bapak dari benih yang dikandung isterinya itu. Bayi harus lahir terlebih dahulu sebelum suami mengambil keputusan untuk bercerai karena menceraikan isteri yang sedang hamil, di dalam adat Tionghoa merupakan suatu perbuatan yang sangat tidak terpuji. Jika keputusan bercerai merupakan inisiatif dari isteri, maka terdapat kemungkinan bahwa anak yang dikandung merupakan benih dari hasil pergaulan bebas dengan laki – laki lain. Namun kepastian mengenai perceraian tetap harus menunggu hingga lahirnya bayi tersebut. Dan kemudian akan dipastikan siapakah bapak dari anak yang dilahirkan tersebut.

d. Proses Perceraian Secara Adat Tionghoa

Berikut adalah proses perceraian secara adat Tionghoa :96

1. Kerabat-kerabat terdekat dan sanak keluarga dari keluarga pihak suami dan pihak istri akan dikumpulkan terlebih dahulu. Pemuka agama akan terlebih dahulu menanyakan alasan perceraian dan berusaha mendamaikan kedua belah pihak


(45)

dengan mengerahkan segala akal pikiran untuk mendamaikan pasangan yang merasa tidak bisa hidup bersama lagi dan ingin bercerai. Kerabat – kerabat dekat ataupun sanak keluarga yang hadir, biasanya berumur lebih tua dan dihormati dalam keluarga sehingga mereka menggunakan pengaruh mereka dengan memberi nasehat, teguran untuk memulihkan kembali hubungan yang retak dan berusaha untuk menyelamatkan perkawinan dari perceraian. Jika usaha untuk mendamaikan pasangan tersebut tidak berhasil, akan diadakan pembicaraan resmi mengenai perceraian.

2. Dipilih kerabat-kerabat yang menjadi penengah untuk menjembatani proses perceraian, dan akan dibicarakan mengenai akibat dan tanggung jawab yang akan timbul dari perceraian. Perundingan mengenai kesepakatan mengenai hak asuh anak, pembagian harta bersama, biaya-biaya hidup anak, penghidupan anak biasanya melalui proses perundingan yang sangat panjang. Perundingan tidak jarang berakhir pada perselisihan. Apabila terjadi perselisihan, maka persoalan akan diserahkan kepada orang tertua yang dihormati untuk diselesaikan. Penyelesaian persoalan yang demikian dengan segala konsekuensinya akan diputuskan oleh orang tua tersebut tanpa memerlukan persetujuan kedua belah pihak. Biasanya suami juga akan memberi biaya hidup kepada mantan isterinya hingga mantan isterinya tersebut menikah kembali dengan laki – laki lain.

3. Pengumuman perceraian

Pengumuman perceraian dilakukan di media massa yang menyatakan berakhirnya hubungan suami isteri sehingga tidak ada keterkaitan lagi satu sama lain. Hal ini


(46)

dilakukan sebagai formalitas untuk mengukuhkan proses perceraian dan menjadikan bukti atas kesepakatan pengakhiran hubungan perkawinan antara kedua pasangan suami isteri tersebut. Biaya pengumuman perceraian biasa ditanggung oleh kedua belah pihak secara adil, namun bisa juga tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

D. Kedudukan Harta Perkawinan Dalam Hal Terjadinya Perceraian Antara Suami Isteri yang Perkawinannya Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa

Salah satu akibat dari perkawinan adalah mengenai harta benda perkawinan. Seperti hal mana yang diatur dalam Bab VII pasal 35 sampai dengan pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur mengenai harta benda perkawinan, dalam adat Tionghoa juga diatur mengenai hal tersebut.

Dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa :

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa :

a. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

b. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.


(47)

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Jadi dalam hal ini, Undang – Undang mengizinkan pembagian harta bersama dilakukan menurut hukum adat. Mengenai pengaturan harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat 2 (dua) pendapat yang saling bertentangan, yakni :

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Surat Edarannya yang bernomor MA/Pemb/0807, Petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975 berpendapat bahwa ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum dapat diberlakukan secara efektif karena belum diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan sendirinya untuk hal-hal itu, diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang - undangan lama, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.97

97

Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No MA/Pemb/0807, Petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975.


(48)

Sedangkan Mahadi berpendapat bahwa Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan bahan jadi dan siap untuk dipakai.98 Retnowulan Sutantio menyatakan bahwa hukum yang mengatur harta benda dalam perkawinan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lagi dan dapat diterapkan, kemudian dikembangkan melalui yurisprudensi.99

Dalam hukum adat Tionghoa juga menentukan hal yang sama dimana harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah.

Harta bersama terdiri dari yaitu :100 1. Hasil dan pendapatan suami

2. Hasil dan pendapatan istri

3. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan

98

Mulyadi,Op.Cit., hal.10. 99

Retnowulan Sutantio, Masalah Masalah Hukum Waris Pada Dewasa Ini, Alumni, Bandung, 1983, hal.6.


(49)

Pada asasnya harta bersama hanya meliputi, yaitu :101 a. Hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan;

b. Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang perkawinan;

c. Dengan demikian harta bersama merupakan hasil dan pendapatan suami istri atau kedua-duanya secara bersamasama yang secara otomatis menjadi harta kekayaan bersama;

Harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan tidak masuk kedalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain.102

Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang - Undang Perkawinan, harta pribadi terdiri dari :103

a. Harta bawaan suami atau istri. b. Harta hibah suami atau istri. c. Harta warisan suami atau istri.

Menurut Pasal 222 dan 223 KUH Perdata, bahwa apabila dahulu dijanjikan antara mereka adalah satu pihak akan mendapat keuntungan dari pihak yang lain, maka tetapi keuntungan itu haruslah diberikan walaupun pihak yang lain itu adalah yang salah dalam masalah perceraian tersebut. Namun sebaliknya, apabila pihak yang

101Ibid., hal.189. 102Ibid., hal.193. 103Ibid.


(50)

mendapat keuntungan itu adalah yang salah, maka keuntungan itu tidak akan diberikan.104

Dan apabila keuntungan itu digantungkan pada wafatnya pihak yang lain pihak yang lain, maka menurut Pasal 224 KUH Perdata, bahwa keuntungan itu akan diberikan apabila pihak yang lain itu wafat. Selanjutnya Pasal 228 KUH Perdata menentukan, apabila keuntungan tersebut dijanjikan kepada pihak ketiga, maka janji haruslah dilaksanakan dengan tidak memperdulikan, apakah dalam persoalan perceraian perkawinan itu pihak yang harus mendapat keuntungan itu salah atau tidak. Dan dalam Pasal 231 KUH Perdata, apabila keuntungan dijanjikan bagi anak -anak dari kedua belah pihak atau menurut Hakim harus diberikan kepada -anak--anak itu, maka dengan adanya perceraian perkawinan itu tidaklah mempengaruhi terhadap pemberian keuntungan itu.

Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya adalah pembagian harta bersama yang dalam bahasa Belanda disebut gemenschap.

Dengan ada pembubaran persatuan (ontbinding) maka dengan ini, harta persatuan dapat dibagi dan dipisahkan. Dengan adanya pembubaran harta kakayaan perkawinan, maka berlakunya persatuan harta kekayaan perkawinan berakhir dalam arti yang semula ada kekayaan yang hidup dan dapat berkembang, menjadi kekayaan mati (dood vermogen), suatu kekayaan yang statis.105

104

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika,Azas-azas Hukum Perkawinan diIndonesia, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 200


(51)

Ketentuan-ketentuan mengenai penguasaan (bestuur) dalam Pasal 124 KUH Perdata terhenti sebabbestuurhanya berlaku selama kekayaan hidup. Dengan adanya pembubaran persatuan harta kakayaan perkawinan, maka peraturan-peraturan tersebut terhenti, tak berlaku lagi.106

Pada saat pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, maka mengenai pengurusan dan pemutusan (beheer en beschikken) berlaku ketentuan-ketentuan yangsama seperti dalam warisan. Warisan juga merupakan “dood vermogen” (kekayaan mati). Hal tersebut berarti :107

a. Tiap pihak suami/isteri, dapat menggunakan bagian seluruhnya

b. Tiap pihak suami/isteri dilarang menggunakan bagiannya yang merupakan suatu benda dalam benda bersama.

c. Dalam hal tersebut para pihak bersama-sama dapat menggunakan benda bersama. d. Seberapa jauh salah satu pihak suami/isteri mengurusi terlepas dari pihak yang

lain, merupakan suatu masalah yang pelik, undang-undang tidak menentukan. Setelah pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, tidak dapat lagi terjadi utang bersama. Kecuali utang-utang yang diadakan berhubung dengan pelaksanaan pembubaran. Jadi salah satu pihak suami/isteri dengan mengadakan utang. Tidak dapat lagi mengikat bagian pihak lain secara tidak langsung dalam persatuan harta kekayaan perkawinan, utang-utang dari masing-masing pihak

106Ibid.


(52)

suami/isteri setelah adanya pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, hanya dapat dituntut dari bagian milik yang membuat utang.

Utang ini tidak dapat lagi dituntut dari harta persatuan. Hal tersebut sama seperti dalam pembagian warisan. Utang ahli waris tertentu hanya dapat ditagih dari bagian warisannya.

Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya.


(1)

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Jadi dalam hal ini, Undang – Undang mengizinkan pembagian harta bersama dilakukan menurut hukum adat. Mengenai pengaturan harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat 2 (dua) pendapat yang saling bertentangan, yakni :

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Surat Edarannya yang bernomor MA/Pemb/0807, Petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975 berpendapat bahwa ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum dapat diberlakukan secara efektif karena belum diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan sendirinya untuk hal-hal itu, diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang - undangan lama, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.97

97

Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No MA/Pemb/0807, Petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975.


(2)

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan bahan jadi dan siap untuk dipakai.98 Retnowulan Sutantio menyatakan bahwa hukum yang mengatur harta benda dalam perkawinan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lagi dan dapat diterapkan, kemudian dikembangkan melalui yurisprudensi.99

Dalam hukum adat Tionghoa juga menentukan hal yang sama dimana harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah.

Harta bersama terdiri dari yaitu :100 1. Hasil dan pendapatan suami

2. Hasil dan pendapatan istri

3. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan

98

Mulyadi,Op.Cit., hal.10. 99

Retnowulan Sutantio, Masalah Masalah Hukum Waris Pada Dewasa Ini, Alumni, Bandung, 1983, hal.6.


(3)

Pada asasnya harta bersama hanya meliputi, yaitu :101 a. Hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan;

b. Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang perkawinan;

c. Dengan demikian harta bersama merupakan hasil dan pendapatan suami istri atau kedua-duanya secara bersamasama yang secara otomatis menjadi harta kekayaan bersama;

Harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan tidak masuk kedalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain.102

Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang - Undang Perkawinan, harta pribadi terdiri dari :103

a. Harta bawaan suami atau istri. b. Harta hibah suami atau istri. c. Harta warisan suami atau istri.

Menurut Pasal 222 dan 223 KUH Perdata, bahwa apabila dahulu dijanjikan antara mereka adalah satu pihak akan mendapat keuntungan dari pihak yang lain, maka tetapi keuntungan itu haruslah diberikan walaupun pihak yang lain itu adalah yang salah dalam masalah perceraian tersebut. Namun sebaliknya, apabila pihak yang

101Ibid., hal.189. 102Ibid., hal.193. 103Ibid.


(4)

diberikan.104

Dan apabila keuntungan itu digantungkan pada wafatnya pihak yang lain pihak yang lain, maka menurut Pasal 224 KUH Perdata, bahwa keuntungan itu akan diberikan apabila pihak yang lain itu wafat. Selanjutnya Pasal 228 KUH Perdata menentukan, apabila keuntungan tersebut dijanjikan kepada pihak ketiga, maka janji haruslah dilaksanakan dengan tidak memperdulikan, apakah dalam persoalan perceraian perkawinan itu pihak yang harus mendapat keuntungan itu salah atau tidak. Dan dalam Pasal 231 KUH Perdata, apabila keuntungan dijanjikan bagi anak -anak dari kedua belah pihak atau menurut Hakim harus diberikan kepada -anak--anak itu, maka dengan adanya perceraian perkawinan itu tidaklah mempengaruhi terhadap pemberian keuntungan itu.

Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya adalah pembagian harta bersama yang dalam bahasa Belanda disebut gemenschap.

Dengan ada pembubaran persatuan (ontbinding) maka dengan ini, harta persatuan dapat dibagi dan dipisahkan. Dengan adanya pembubaran harta kakayaan perkawinan, maka berlakunya persatuan harta kekayaan perkawinan berakhir dalam arti yang semula ada kekayaan yang hidup dan dapat berkembang, menjadi kekayaan mati (dood vermogen), suatu kekayaan yang statis.105

104

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika,Azas-azas Hukum Perkawinan diIndonesia, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 200


(5)

Ketentuan-ketentuan mengenai penguasaan (bestuur) dalam Pasal 124 KUH Perdata terhenti sebabbestuurhanya berlaku selama kekayaan hidup. Dengan adanya pembubaran persatuan harta kakayaan perkawinan, maka peraturan-peraturan tersebut terhenti, tak berlaku lagi.106

Pada saat pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, maka mengenai pengurusan dan pemutusan (beheer en beschikken) berlaku ketentuan-ketentuan yangsama seperti dalam warisan. Warisan juga merupakan “dood vermogen” (kekayaan mati). Hal tersebut berarti :107

a. Tiap pihak suami/isteri, dapat menggunakan bagian seluruhnya

b. Tiap pihak suami/isteri dilarang menggunakan bagiannya yang merupakan suatu benda dalam benda bersama.

c. Dalam hal tersebut para pihak bersama-sama dapat menggunakan benda bersama. d. Seberapa jauh salah satu pihak suami/isteri mengurusi terlepas dari pihak yang

lain, merupakan suatu masalah yang pelik, undang-undang tidak menentukan. Setelah pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, tidak dapat lagi terjadi utang bersama. Kecuali utang-utang yang diadakan berhubung dengan pelaksanaan pembubaran. Jadi salah satu pihak suami/isteri dengan mengadakan utang. Tidak dapat lagi mengikat bagian pihak lain secara tidak langsung dalam persatuan harta kekayaan perkawinan, utang-utang dari masing-masing pihak

106Ibid.


(6)

dapat dituntut dari bagian milik yang membuat utang.

Utang ini tidak dapat lagi dituntut dari harta persatuan. Hal tersebut sama seperti dalam pembagian warisan. Utang ahli waris tertentu hanya dapat ditagih dari bagian warisannya.

Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya.