Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan merupakan esensi kebebasan personal hakim dalam menemuan kebenaran materiil.Perbedaan pendapat merupakan cerminan independensi kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsinya dan sebagai instrumen untuk mengetahui apakah suatu tindak pidana benar-benar dinilai dan dievaluasi dalam rangka menegakkan cita hukum (rechtsidee) yang bernuansa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Dissenting opinion sebagai bentuk kebebasan eksistensial hakim yang merupakan salah satu jenis kebebasan yang paling tinggi dan mencakup seluruh eksistensi dan pribadi hakim yang tidak terbatas terhadap satu aspek saja.Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan pandangannya secara otonom, mandiri, berdikari dan tanpa adanya tekanan yang menghambatnya berkreasi dalam menemukan kebenaran materiil.

Makna kebebasan eksistensial hakim bukan merupakan kebebasan tanpa batas melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan


(2)

negara. Sehingga meskipun bebas, tetapi tidak sampai melanggar norma-norma, etika, hukum, serta hak dan tanggung jawab selaku warga negara.

Melalui kebebasan tersebut, hakim melakukan penemuan hukum yang merupakan bentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.Praktik penemuan hukum tidak terlepas dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” (penemuan kebenaran).

Dalam rangka mewujudkan waarheidsvinding, hakim tidak terlepas dari sistem hukum eropa kontinental yang dianut oleh Indonesia.Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Selain peraturan perundang-undangan, terdapat juga beberapa sumber hukum lain yang dijadikan hakim sebagai sumber penemuan hukum, antara lain hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.

Dalam menetapkan hukum terhadap pihak yang diajukan kepersidangan, hakim melakukan penyesuaian norma-norma yang dimuat dalam sumber-sumber hukum dengan kejadian konkrit.Dalam pelaksanaan hukum acara pidana, adakalanya sumber hukum berupa undang-undang sering kali sulit dipahami (elusive term); tidak jelas artinya (unclear term); kabur dan samar (vague outline); atau mengandung pengertian yang ambiguitas (ambiquity), hal ini dapat menghambat penemuan kebenaran materiil. Selain itu undang-undang adakalanya bertentangan dengan konstitusi (unconstitusional) atau bisa


(3)

melanggar atau mengancam hak asasi manusia; atau isinya bertentangan dengan akal sehat (contrary to common sense); dan adakalanya pula ketentuan undang-undang tidak mengatur permasalahan yang terjadi dimasyarakat serta menimbulkan akibat yang tidak layak karena undang-undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian, begitu juga sumber hukum lainnya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan peranan hakim yang bersifat lebih aktif dalam rangka menemukan kebenaran materiil.

Oleh karena itu apabila undang-undang tidak dapat diterapkan hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undang, maka hakim harus menafsirkan undang-undang itu.Apabila undang-undang tidak jelas, maka hakim wajib melakukan penemuan huku, sehingga dapat dibuat suatu keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum.

Dalam menetapkan hukum, terdapat banyak metode yang digunakan oleh hakim antara lain metode interpretasi dan juga metode konstruksi hukum. Pada tahap inilah hakim dapat mengekspresikan filsafat keilmuannya, keyakinannya, kepribadian, pengalaman dan pandangannya.Konsekuensi logis dari kebebasan eksistensial hakim ini adalah terjadinya perbedaan pendapat dalam pembuatan keputusan.

Perbedaan pendapat yang terjadi dalam musyawarah majelis hakim pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum acara pidana, justru dalam KUHAP dimuat aturan yang memperbolehkan perbedaan pendapat dalam musyawarah


(4)

hakim sebagai cerminan kebebasan hakim.Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 182 ayat (5) “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya”. Selanjutnya dalam pasal 182 ayat (6), “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”. Pasal 182 ayat (7) KUHAP “Pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”.

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) memberikan kesempatan terjadinya perbedaan pendapat para hakim dalam memeriksa suatu perkara, apabila terdapat perbedaan pendapat diantara hakim maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan


(5)

dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh ketua pengadilan negeri dan bersifat rahasia.

Kebebasan hakim (independency of judiciary) dalam berpendapat terkait perkara yang ditangani dan pencantuman perbedaan pendapat sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 sebagai payung hukum pranata dissenting opinion tersebut, pada dasarnya merupakan hakikat kebebasan eksistensial hakim yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara.

Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji bagaimana pengaturan tentang konsepsi dissenting opinion dan penerapannyadalam peraturan perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan dan mengkaji mengenai kebebasan hakim dalam membuat putusan pengadian guna menemukan kebenaran materiil

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul: “Dissenting opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil ”.

B.Perumusan Masalah

Berangkat dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:


(6)

1. Bagaimanakah konsepsi dissenting opiniondalam peraturan perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan?

2. Bagaimanakah konsepsi kebebasan hakim dalam membuat putusan

pengadilan guna menemukan kebenaran materiil?

3. Bagaimanakah penerapan konsepsidissenting opinion dalam berbagai

putusan pengadilan di Indonesia sebagai bentukkebebasan eksistensial hakim?

C.Tujuan Penelitian

Perumusan tujuan penulisan berkaitan erat dalam menjawab permasalahan yang menjadi fokus penulisan. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis konsepsi dissenting opiniondalam

peraturan perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis konsepsi kebebasan hakim dalam

membuat putusan pengadian guna menemukan kebenaran materiil.

3. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis penerapan

konsepsidissenting opinion dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia sebagai bentukkebebasan eksistensial hakim.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ilmu hukum mempunyai dua aspek yaitu praktikal dan teoritis. Menurut Alvi Syahrin, Fungsi praktikal memberdayakan sistem hukum dalam menyelesaikan problem hukum yang penelitiannya menjadi dasar bagi profesi hukum untuk meligitimasi kasusnya dengan kegiatan argumentasi dengan mengacu kepada


(7)

bahan-bahan hukum. Sedangkan fungsi teoritikal bertujuan menghasilkan doktrin yang memberikan preskripsi tentang bagaimana interpretasi seharusnya dilakukan terhadap suatu kaidah dalam sistem hukum yang penelitiannya akan lebih banyak mengacu kepada doktrin-doktrin hukum yang dikembangkan oleh yuris terkemuka dalam rangka menghasilkan konsep/teori baru atau mempertajam konsep/teori lama dengan mengacu kepada bahan-bahan hukum yang kebayakan berupa buku-buku hukum seperti treatise, rechtsboek bukan wetboek, tulisan pada jurnal

hukum, hasil penelitian hukum dari para yuris.1

1. Menjawab rumusan masalah yang diajukan penulis terkait konsepsi

dissenting opinion dalam putusan pengadilan, persfektif kebebasan hakim dalam penemuan kebenaran materiil dan konsepsidissenting opinion sebagai bentukkebebasan eksistensial hakim.

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:

2. Memberikan sumbangsih pemikiran akademis atau teoritis terhadap upaya

pengkajian, penelaan, pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan substansi penerapan konsep dissenting opinion, kebebasan hakim dalam penemuan kebenaran materiil di Indonesia.

3. Menstimulus akademisi untuk lebih giat lagi dalam mengkaji dan menelaah

konsep dissenting opinion, kebebasan hakim dalam penemuan kebenaran materiil dalam sistem hukum Indonesia.

E.Metodologi Penelitian

Metode merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam pelaksanaan kegiatan penelitian agar dapat terarah dan tidak menyimpang sehingga dapat diperoleh hasil yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan

1

Alvi Syahrin, Penelitian Hukum: Fungsi Penelitian Hukum, Jurnal, 2014,


(8)

pemilihan rumusan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum/normatif (legal research). 1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).Melalui pendekatan ini dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu digunakan pendekatan lain yang diperlukan. Penggunaan beberapa pendekatan dalam penelitian pada dasarnya untuk mempertajam analisis ilmiah dalam penelitian ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Cambell dar Glasson

sebagaimana yang diktip oleh Valerine2

2. Spesifikasi Penelitian

“There is no single technique that is magically ‘right’ for all problem. Beberapa pendekatan tersebut antara lain pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan perbandingan (historical approach).

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis, dimana analisis dilakukan secara kritis dengan menggunakan berbagai teori dalam penyusunan konsep dissenting opinion, konsep penemuan kebenaran materiil, konsep putusan hakim, serta persfektif kebebasan hakim. Selanjutnya dari seluruh bahan yang telah diperoleh tersebut dilakukan berbagi proses identifikasi dan klasifikasi

2

Valerine J.L.K, Metode Penelitian Hukum (Kumpulan Bahan Bacaan Untuk Mata Kuliah


(9)

secara sistematis, kemudian dilakukan analisis yang hasilnya akan disajikan secara deskriptif.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder.3

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Bahan Primer, yang terdiri dari:

Selain bahan hukum, dalam penelitian ini juga menggunakan bahan non hukum yang relevan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti dalam mengkaji rumusan permasalahan yang tidak bersifat dominan dibandingkan bahan hukum.

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang No 48 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman

3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor

5 Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009, hlm. 141.


(10)

5) Wet Algemene Bepalingan (wAB).

6) Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 5/1959 tanggal 20 April 1959.

7) Surat Edaran Mahkamah AgungNo. I/1962 tanggal 7 Maret 1962.

8) Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 15/KMA/SK/XIII/2007.

b. Bahan Sekunder yang merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yang bersumber dari media cetak dan elektronik, yang meliputi buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, hasil karya ilmiah para sarjana, yurisprudensi dan hasil-hasil simposium yang berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan Tersier, yaitu bahan hukum yang bersifat menunjang

bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder seperti rancangan KUHAP, kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan lain-lain

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian tehnik pengumpulan bahan merupakan prosedur yang dilakukan secara sistematis untuk dapat memecahkan permasalahan. Adapun prosedur pengumpulan bahan penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan (library researce), dilakukan dengan cara mengumpulkan, memahami, mengutip dan menganalisis bahan pustaka yang didapat dari berbagai literatur atau buku-buku dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini.


(11)

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara analisis kualitatif dengan menguraikan hasil penelitian tentang konsep, azas, doktrin secara deskriptif sehingga diperoleh gambaran yang jelas atas permasalahan yang diteliti dengan menggunakan penalaran deduktif.

6. Pengambilan Kesimpulan dan Perumusan Rekomendasi

Berpegang pada karakter ilmu hukum sebagai ilmu terapan dan preskriptif, maka preskripsi yang diberikan dalam penelitian ini berupa argumentasi baru terkait rumusan permasalahan serta merumuskan rekomendasi yang relevan yang dapat diterapkan.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori dasar, asas, konsep dan pendekatan baru yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji.Oleh karena itu secara lebih rinci tinjauan pustaka ini memuat unsur kebebasan hakim, penemuan hukum, penemuan kebenaran materiil, dissenting opinion dan putusan pengadilan.

1. Kebebasan Hakim

Bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa). Membebaskan bermakna melepaskan dari ikatan, tuntutan, tekanan, hukuman, kekuasaan.Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan bebas.


(12)

Istilah kebebasan sering kali disebut sebagai bentuk ekspresi manusia yang menandakan mahluk merdeka.Ia melekat sekaligus berwujud dalam segala tingkah laku manusia. Kebebasan adalah fitrah sekaligus kebutuhan yang utuh yang mendasari perjalanan hidup, pengarahan diri.Dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk memenuhi atau memperoleh pilihan itu.Dalam hidup setiap orang, kebebasan merupakan unsur hakiki, semua orang mengalami kebebasan karena hal tersebut melekat sebagai sifat manusia.Kesulitannya mulai muncul ketika orang ingin mengungkapkan pengalaman itu pada taraf refleksi.

Kess Bertens sebagaimana dikutip oleh Ahmad Kamil mengemukakan

ragam kebebasan kedalam beberapa kategori yaitu:4

Kedua, kebebasan fisik.Disini bebas berarti tidak ada paksaaan atau rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Orang yang diborgol atau dipasung tentu tidak akan bebas. Selama meringkuk dipenjara, seorang narapidana tidak bebas, tetapi ketika masa tahanannya lewat ia kembali menghirup udara kebebasan.

Pertama, kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan.Terkadang kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan. Individu dikatakan bebas bila ia berbuat dengan sesuka hati; terlepas dari ikatan dan kewajiban, sehingga menabrakkan rambu-rambu kepentingan maupun hak orang lain.

4

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm 23-25.

4


(13)

Ketiga, kebebasan yuridis.Hal ini berkaitan erat dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum.Kebebasan yuridis merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Jika orang berbicara persoalan kebebasan dalam arti ini, berarti ia berbicara tentang orang-orang yang dirampas haknya.

Keempat, kebebasan psikologis.Melalui kebebasan psikologis, manusia mampu mengembangkan dan mengarahkan hidupnya sendiri.Kemampuan ini menyangkut kehendak bahkan merupakan ciri khasnya. Oleh karena itu, nama lain dari kebebasan psikologis adalah free will. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berasio.Ia mampu berpikir sebelum bertindak. Orang yang bebas adalah orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis.Orang yang menderita kelainan jiwa seperti kleptomania jelas tidak bebas.Ia seperti pencuri sungguhan, namun ia tidak bisa menentukan dirinya. Karena itu perbuatannnya dianggap tidak bebas.

Kelima, kebebasan moral, yaitu kebebasan yang terlepas dari paksaan moral. Bila seseorang ditodong dengan senjata tajam, ia tentu tidak sepenuhnya bebas dalam menyerahkan harta bendanya. Ia memang menentukan diri, menyerahkan kekayaannya merupakan keputusannnya, tapi ia melakukannya dengan paksaan. Begitu perasaan moral itu hilang dengan kedatangan teman yang melumpuhkan si penjahat, ia akan berbuat lain.

Keenam, kebebasan eksistensi, kebebasan ini merupakan bentuk kebebasan yang paling tinggi dan mencakup seluruh eksistensi dan pribadi


(14)

manusia, tidak terbatas pada salah satu aspek saja.Orang yang bebas secara eksistensial seakan-akan memiliki dirinya sendiri.Ia mencapai taraf otonom, kedewasaan dan kematangan rohani.

Orang yang bebas seutuhnya dapat mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan hal-hal tersebut secara otonom. Hal ini didorong oleh keinginan akan kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan. Kehendak untuk merdeka inilah yang disebut dengan kebebasan yang luhur.Kebebasan inilah yang menuntun manusia untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya secara mandiri, berdikari dan kreatif tanpa adanya tekanan yang menghambatnya dalam berkreasi.

2. Penemuan Kebenaran Materiil

Hukum pidana materiil tidak dapat tegak tanpa dilengkapi ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penyelesaian pelanggaran terhadap hukum materiil, hal inilah yang disebut dengan hukum acara pidana. Dengan kata lain hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana materiil. Norma-norma yang dimuat dalam hukum pidana formil pada dasarnya tidak mengatur tentang tingkah laku yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan tugasnya dalam penegakan hukum.

Pada dasarnya KUHAP tidak memberikan definisi hukum acara pidana melainkan hanya bagian-bagiannya saja seperti penyidikan, penyelidikan, penuntutan mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penahanan, dan lain-lain.


(15)

Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Amir Hamzah5

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;

bahwa ilmu hukum acara pidana itu mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai berikut :

2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat

dan jika perlu menahannya;

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan pada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut;

5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang

dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;

6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;

7. Melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.

Dalam pandangan Wirjono Prodjodikoro bahwa hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaiman badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan

5


(16)

harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum

pidana.6

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman menyebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana sebagai berikut yaitu mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:

b. Pemberian keputusan oleh hakim;

c. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi itu yang paling penting adalah fungsi mencari kebenaran, setelah menemukan kebenaraan yang diperoleh dari bukti-bukti yang dipertunjukan, hakim akan sampai pada putusan, yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.

Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari upaya penemuan hukum yang berkembang di masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai

6

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967, Hlm. 13.


(17)

aliran maupun metode penemuan hukum.Penemuan kebenaran materiil merupakan esensi dari kebebasan, yang diberikan kepada hakim sebagai langkah menerobos tercapainya tujuan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yakni tercapainya nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum secara serasi.

Dalam penemuan kebenaran materiil hakim harus bersifat aktif melalui sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia.Sistem pembuktian yang dimaksud adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Selanjutnya dalam pasal 15 ayat (2) KUHAP ditegaskan bahwa “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Rumusan KUHAP tersebut memuat ketentuan yang sama dengan Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut “Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”


(18)

Sebelum pemberlakuan KUHAP, dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman pasal 6 berbunyi: “Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atau perbuatan yang dituduhkan kepada dirinya”.

Dalam sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubble en grondslag) yaitu pada peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim, dimana dasar keyakinan hakim tersebut bersumber kepada undang-undang. Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan yaitu: Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua, ada faedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam

melakukan peradilan.7

a. Keterangan saksi;

Dalam pembuktian tersebut hakim berpatokan kepada alat-alat bukti yang diatur pada pasal 184 KUHAP yaitu:

7


(19)

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Konsep penemuan kebenaran materiil pada dasarnya tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut. Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu

sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.8

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam

Dengan adanya sistem tersebut maka akan tercipta harmonisasi sehingga tidak terjadi lagi kontradiksi diantara bagian-bagian tersebut.

Penemuan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum eropa kontinental yang dianut.sistem ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus. Kodifikasi ini merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut dengan Corvus Juris Civilis.Corvus Juris Civilis dijadikan sebagai dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda).

8

J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hlm. 35.


(20)

kodifikasi.Kodifikasi lahir karena keberatan-keberatan yang disebabkan oleh ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum timbul karena keragu-raguan tentang apa sumber hukum, bagaimana sumber-sumber hukum itu berhubungan satu sama lain secara hierarki dan tentang isi setiap sumber hukum itu.

Sejak pemberlakuan Wet Algemene Bepalingan Nederland (Wet AB), undang-undang dipandang untuk menata hukum, tetapi undang-undnag tidak boleh menjadi tekanan, yang menghambat tumbuhnya kekuatan-kekuatan yang berguna bagi masyarakat.

Dalam mengadili setiap perkara hakim harus mengadili menurut undang-undang, hakim tidak boleh menyertakan pendapat pribadinya tentang kelayakan dan kebenaran undang-undang, dan apabila hakim berpendapat bahwa undnag-undnag bungkam tentang suatu persoalan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka itu tidak benar, sebab undang-undang itu jelas dan lengkap. Pada akhirnya hakim hanya boleh memutuskan peristiwa yang bersifat in konkrito.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa.


(21)

Sistem hukum eropa kontinental ini memiliki perbedaan dengan sistem hukum Anglo Saxon atau yang lebih sering dikenal dengan common law yang mula-mula berkembang di Inggris, Amerika Utara, kanada, Amerika Serikat dan negara jajahannya. Perbedaan tersebut terletak pada sumber hukum yang diterapkan, bahwa dalam sistem hukum anglo saxon putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum. Melalui putusan tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang lainnya juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.Peraturan dan segala putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh karena itu, hakim memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara sejenis.Hal inilah yang disebut dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim terikat pada sistem hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara

sejenis.9

Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem

Namun apabila dalam yurisprudensi tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.

9

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm.184.


(22)

dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sistem hukum tersebutlah yang menjadi panduan dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.Seiring waktu, bahwa penundukan diri terhadap kekuasaan undang-undang mulai dilepaskan dan berupaya mencari sumber hukum lainnya yang dipandang lebih mendekati kepada nilai keadilan dengan menyerap kelebihan sistem nonkodifikasi.

Penemuan hukum lahir sebagai upaya untuk mengakomodir seluruh perkembangan dinamika sosial yang terjadi.Dinamika sosial tersebut bergerak sangat cepat seiring perkembangan peradaban manusia, dan peraturan perundang-undangan adakalanya tidak dapat mengakomodir seluruh dinamika sosial yang menghasilkan peristiwa hukum tersebut.Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka mengawal tegaknya cita hukum maka perlu dilakukan penemuan hukum, penemuan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi kepada penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Di dalam perkembangannya kedua sistem penemuan hukum ini saling mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom.Bahkan cenderung bergeser kearah penemuan hukum yang otonom, hal ini disebabkan oleh pembentukan undang-undang yang bersifat umum bukan kasuistis. Hal ini berdampak terhadap pergeseran dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan (einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi


(23)

pergeseran pola berpikir yang mengacu kepada sistem (systeemdenken)

kearah berpikir mengacu kepada masalah (problem oriented).10

10

Ibid. Hlm. 210.

Dalam penemuan hukum yang dianut dalam hukum positif Indonesia terdapat beberapa sumber penemuan hukum, hal ini tidak terlepas dari pergeseran paradigma penemuan hukum yang telah dipengaruhi penemuan hukum otonom dan juga kelemahan dari peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sumber penemuan hukum tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian nternasional, dan doktrin.

Dalam ajaran penemuan hukum bahwa sumber penemuan hukum memiliki hierarki yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.Dalam ajaran tersebut memandang peraturan perundang-undangan merupakan sumber terpenting dan utama.Akan tetapi perlu diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik.Pada dasarnya bukan hal yang mudah untuk memahami maksud dari undang-undang, karena memahami peraturan perundang undangan bukan sebatas membaca bunyi kata-katanya saja (naar de letter van de wet), tetapi harus mencari makna atau tujuan perundang-undangan. Jika dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak memuat ketentuan yang mengatur peristiwa hukum maka barulah mencari kepada sumber hukum lainnya.


(24)

Dalam penemuan hukum terdapat bebrapa aliran yang mempengaruhi hakim dalam menemukan kebenaran materiil yaitu aliran hukum Legisme, Mazhab Historis, aliranBegriffsjurisprudenz, aliranInteressenjurisprudenz.

Dalam penemuan hukum terdapat banyak metode yang digunakan antara lain metode interpretasi (penafsiran) dan juga metode konstruksi. Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang menuju pada pelaksanaan yang dapat diterima masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.Metode interpretasi merupakan sarana untuk mengetahui makna undang-undang, untuk merealisasikan fungsinya agar hukum positif tersebut dapat diberlakukan.

Metode interpretasi ini merupakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yangs sering digunakan oleh hakim dalam memutus perkara yang selanjutnya dapat dibedakan atas metode interpretasi gramatikal, interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi historis, interpretasi sistematis atau logis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristik serta

interpretasi restriktif dan eksensif.11

3. Putusan Pengadilan

Putusan hakim merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan di persidangan dan

11


(25)

bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa

antara para pihak.12

Didalam literatur Belanda dikenal istilah “vonis” dan “gewijsde”.Yang dimaksud dengan vonis ialah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa, sedangkan gewijsde ialah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum khusus.

Putusan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum diucapkan oleh hakim dipersidangan.Putusan yang diucapkan dipersidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonis).Dalam Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. I/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai, maksud surat edaran ini ialah untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara dan mencegah perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang tertulis.

13

Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan.Dalam pasal 182 ayat (5) KUHAP disebutkan bahwa “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya”.

12

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Keempat, 1993, hlm. 174.

13


(26)

Selanjutnya dalam pasal 182 ayat (6), “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”.

Pelaksanaan pengambilan keputusan dicatat dalam sebuah buku sebagaimana yang dimuat dalam pasal 182 ayat (7) “pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”.

Bahwa pengambilan keputusan didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan dan putusan itu sah secara hukum apabila diucapkan disidang terbuka untuk umum.

Setelah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib

memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu:14

a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;

b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak

putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo Pasal 233 ayat (2) KUHAP);

14


(27)

c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) KUHAP jo Undang-Undang Grasi);

d. Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan

dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana maksud dalam pasal 196 ayat (2) KUHAP, pasal 196 ayat (3) jo pasal 233 ayat (2) KUHAP;

e. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir a

dalam wkatu seperti yang ditentukan dalam pasal 235 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oelh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat (3) KUHAP).

4. Dissenting opinion

Kata dissenting berasal dari kata bahasa Latin, dissentiente, dissentaneus, dissentio, kesemuanya bermakna tidak setuju, tidak sependapat atau berbeda dalam pendapat.

Secara harafiah “dissenting opinion” dalam kamus bahasa Inggris merupakan kata kerja yang berasal dari kata “dissent” yang berarti berselisih paham dan kata “opinion”yang berarti sebagai pendapat, pikiran, perasaan. Jadi dissenting opinion dapat disimpulkan sebagai pendapat dari satu atau lebih hakim dalam membuat pernyataan yang memperlihatkan


(28)

ketidaksetujuan terhadap putusan dari mayoritas hakim dalam majelis hakim

yang membuat keputusan dala musyawarah hakim.15

Menurut Pontang Moerad dissenting opinion merupakan pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yang tidak setuju (disagree) dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis

hakim.16

Selain itu, dissenting opinion lahir dari upaya penemuan kebenaran materiil dalam hukum acara pidana yang tertuang dalam putusan pengadilan dalam rangka memenuhi tuntutan akuntabilitas bagi pencari keadilan

Lahirnya konsep dissenting opinion tidak terlepas dari adanya kebebasan hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan sumber hukum yang dianut oleh Indonesia. Perbedaan pendapat dalam musyawarah hakim merupakan konsekuensi logis dari penerapan konsep kebebasan dalam penemuan hukum, kebebasan yang dimaksud bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya melainkan kebebasan yang terbatas, artinya kebebasan tersebut dibatasi oleh aturan hukum yang berlaku berdasarkan nilai-nilai pancasila dan pandangan hidup masyarakat dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum untuk menjamin tegaknya cita hukum (rechtsidee).

15

Wojowasito, S. dan WJS. Porwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, dan

Indonesia Inggris. Penerbit Hasta. Bandung, 2001.

16

Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam


(29)

(justiabele) serta sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim secara pribadi terhadap perkara pidana yang diajukan kepadanya. Melalui dissenting opinion para pencari keadilan dapat mengetahui latar belakang putusan, hal ini sangat penting untuk membantu masyarakat untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menangani perkara. Dengan mengetahui dasar pertimbangan hakim, maka hal ini akan mempermudah bagi para pihak yang berperkara untuk selanjutnya mengajukan upaya hukum ketingkatan yang lebih tinggi, selain itu hal ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk mengetahui apakah putusan tersebut mencerminkan cita hukum atau tidak. Adakalanya dissenting opinion benar dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, tetapi adakalanya tidak tepat atau tidak memenuhi cita hukum dan justru pendapat mayoritaslah yang memenuhi cita hukum tersebut.

Didalam undang-undang 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan milliter, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.


(30)

Pasal 4 (3) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas merumuskan bahwa : segala campur tangan dalam peradilan oleh pihak luar diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI Tahun 1945, disamping itu Hakim harus melaksanakan disiplin tinggi dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 215/KMA/SK/XIII/2007 Pasal 8 butir 2 yang berbunyi: “Hakim Berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan”.

Dalam Pasal 19 Undang-UndangNo.4 Tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (Dissenting opinion).

Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam dalam putusan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap


(31)

perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan dissenting opinion pada lembaga yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencantuman dissenting opinion itu sendiri.

Pengaturan perbedaan pendapat sudah diterapkan pada Pengadilan Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model pencantuman Dissenting opinion terpisah dari putusan. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab, dimana antara bab yang satu saling berhubungan dengan bab yang lainnya.

BAB I: Pendahuluan

Dalam hal ini akan diuraikan beberapa hal mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II: Konsepsi Dissenting Opinion Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dalam Membuat Putusan Pengadilan Dalam Bab II ini akan dibahas tentang tinjauan tentang Putusan pengadilan yang memuat konsep proses penjatuhan putusan


(32)

pengadilan, teori pembuatan putusan, aspek yang terkandung dalam putusan, faktor yang mempengaruhi pembuatan putusan konsepsi. Selanjutnya dalam sub bab berikutnya membuat konsepsi dissenting opinion yang terdiri dari sejarah penerapan konsep dissenting opinion, dinamika penerapan dissenting opinion di Indonesia, konsep dissenting opinion di berbagai negara, makna penting penerapan konsepsi dissenting opinion

BAB III:KonsepsiKebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadila guna Menemukan Kebenaran Materiil

Dalam Bab III akan mengkaji konsepsi kebebasan hakim yang memuat, tinjauan tentang kebebasan, kebebasan dalam persfektif pancasila, sejarah kebebasan hakim di Indonesia, kebebasan personal hakim, independensi kekuasaan kehakiman.

Dalam sub bab berikutnya membahas persfektif hakim dalam penemuan kebenaran materiil, yang memuat hakikat penemuan hukum, aliran penemuan hukum, metode penemuan hukum, teori pengambilan keputusan

BAB IV: Penerapan Dissenting Opinion dalam Putusan Pengadilan di Indonesia sebagai Bentuk Kebebasan Eksistensial Hakim

Dalam Bab IV ini memaparkan penerapan dissenting opinion

dalam berbagai putusan pengadilan. Selanjutnya dalam sub bab berikutnya memuat makna penting penerapan dissenting opinion sebagai bentuk kebebasan eksistensial hakim.


(33)

BAB V: Penutup

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran kesimpulan diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai masalah yang dikemukakan, selanjutnya memberi saran yang mungkin dapat berguna oleh pihak-pihak yang berkepentingan.


(1)

ketidaksetujuan terhadap putusan dari mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan dala musyawarah hakim.15

Menurut Pontang Moerad dissenting opinion merupakan pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yang tidak setuju (disagree) dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.16

Selain itu, dissenting opinion lahir dari upaya penemuan kebenaran materiil dalam hukum acara pidana yang tertuang dalam putusan pengadilan dalam rangka memenuhi tuntutan akuntabilitas bagi pencari keadilan

Lahirnya konsep dissenting opinion tidak terlepas dari adanya kebebasan hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan sumber hukum yang dianut oleh Indonesia. Perbedaan pendapat dalam musyawarah hakim merupakan konsekuensi logis dari penerapan konsep kebebasan dalam penemuan hukum, kebebasan yang dimaksud bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya melainkan kebebasan yang terbatas, artinya kebebasan tersebut dibatasi oleh aturan hukum yang berlaku berdasarkan nilai-nilai pancasila dan pandangan hidup masyarakat dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum untuk menjamin tegaknya cita hukum (rechtsidee).

15

Wojowasito, S. dan WJS. Porwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, dan Indonesia Inggris. Penerbit Hasta. Bandung, 2001.

16


(2)

(justiabele) serta sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim secara pribadi terhadap perkara pidana yang diajukan kepadanya. Melalui dissenting

opinion para pencari keadilan dapat mengetahui latar belakang putusan, hal

ini sangat penting untuk membantu masyarakat untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menangani perkara. Dengan mengetahui dasar pertimbangan hakim, maka hal ini akan mempermudah bagi para pihak yang berperkara untuk selanjutnya mengajukan upaya hukum ketingkatan yang lebih tinggi, selain itu hal ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk mengetahui apakah putusan tersebut mencerminkan cita hukum atau tidak. Adakalanya dissenting opinion benar dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, tetapi adakalanya tidak tepat atau tidak memenuhi cita hukum dan justru pendapat mayoritaslah yang memenuhi cita hukum tersebut.

Didalam undang-undang 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan milliter, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.


(3)

Pasal 4 (3) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas merumuskan bahwa : segala campur tangan dalam peradilan oleh pihak luar diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI Tahun 1945, disamping itu Hakim harus melaksanakan disiplin tinggi dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 215/KMA/SK/XIII/2007 Pasal 8 butir 2 yang berbunyi: “Hakim Berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan”.

Dalam Pasal 19 Undang-UndangNo.4 Tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (Dissenting opinion).

Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam dalam putusan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap


(4)

perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan dissenting opinion pada lembaga yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencantuman dissenting opinion itu sendiri.

Pengaturan perbedaan pendapat sudah diterapkan pada Pengadilan Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model pencantuman Dissenting opinion terpisah dari putusan. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab, dimana antara bab yang satu saling berhubungan dengan bab yang lainnya.

BAB I: Pendahuluan

Dalam hal ini akan diuraikan beberapa hal mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II: Konsepsi Dissenting Opinion Berdasarkan Peraturan

Perundang-Undangan dalam Membuat Putusan Pengadilan

Dalam Bab II ini akan dibahas tentang tinjauan tentang Putusan pengadilan yang memuat konsep proses penjatuhan putusan


(5)

pengadilan, teori pembuatan putusan, aspek yang terkandung dalam putusan, faktor yang mempengaruhi pembuatan putusan konsepsi. Selanjutnya dalam sub bab berikutnya membuat konsepsi

dissenting opinion yang terdiri dari sejarah penerapan konsep dissenting opinion, dinamika penerapan dissenting opinion di

Indonesia, konsep dissenting opinion di berbagai negara, makna penting penerapan konsepsi dissenting opinion

BAB III:KonsepsiKebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadila guna Menemukan Kebenaran Materiil

Dalam Bab III akan mengkaji konsepsi kebebasan hakim yang memuat, tinjauan tentang kebebasan, kebebasan dalam persfektif pancasila, sejarah kebebasan hakim di Indonesia, kebebasan personal hakim, independensi kekuasaan kehakiman.

Dalam sub bab berikutnya membahas persfektif hakim dalam penemuan kebenaran materiil, yang memuat hakikat penemuan hukum, aliran penemuan hukum, metode penemuan hukum, teori pengambilan keputusan

BAB IV: Penerapan Dissenting Opinion dalam Putusan Pengadilan di Indonesia sebagai Bentuk Kebebasan Eksistensial Hakim

Dalam Bab IV ini memaparkan penerapan dissenting opinion dalam berbagai putusan pengadilan. Selanjutnya dalam sub bab berikutnya memuat makna penting penerapan dissenting opinion


(6)

BAB V: Penutup

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran kesimpulan diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai masalah yang dikemukakan, selanjutnya memberi saran yang mungkin dapat berguna oleh pihak-pihak yang berkepentingan.