Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil

(1)

Dissenting Opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat

Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

HENNY HANDAYANI SIRAIT NIM.100200174

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat serta perlindungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ini yang berjudul “Dissenting opinion sebagai Bentuk

Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil ”.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum program studi ilmu hukum konsentrasi hukum pidana.

Seperti kata pepatah bangsa Indonesia bahwa tidak ada gading yang tidak retak, penulis juga menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, penulis dengan segala kerendahan hati mengakui keterbatasan keilmuan, waktu, tenaga serta literatur bacaan. Namun dengan ketekunan, tekad dan rasa ingin tahu terhadap , akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung sitepu S.H., M.Hum.

3. Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.H

4. Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafrudin S.H., M.Hum.


(4)

5. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Oka Saidin S.H., M.Hum.

6. Ketua Departemen Hukum Pidana, Bapak Dr. Muhammad Hamdan S.H., M.H. 7. Dosen Pembimbing I, Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H., M.H

8. Dosen Pembimbing II, Bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H., M.Hum.

Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum pidana dan menumbuhkan semangat dan kecintaan kepada bidang ilmu hukum pidana dimasa depan.

Medan, 14 Juli 2014


(5)

Abstrak

Perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan merupakanbentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.Dissenting opinionlahir dari praktik penemuan hukum yang pada dasarnya tidak terlepas dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” (penemuan kebenaran).

Dissenting opinionmerupakan bentuk kebebasan eksistensial hakim.Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan pandangannya secara otonom, mandiri, berdikari dan tanpa adanya tekanan yang menghambatnya dalam menemukan kebenaran materiil. Kebebasan eksistensial hakim bukan merupakan kebebasan tanpa batas melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara. Kebebasan ini merupakan kebebasan yang berdimensi pancasila.


(6)

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii

KATA PENGANTAR ………. iii

ABSTRAK ……… v

DAFTAR ISI ……… vi

BAB I: Pendahuluan A. LatarBelakangMasalah ………. 1

B. Perumusan Masalah……… 5

C. TujuanPenelitian ……… 6

D. ManfaatPenelitian ………. 6

E. Metodologi Penelitian ……… 7

F. Tinjauan Pustaka ……… 11

G. Sistematika Penulisan ……… 31

BAB II: Konsepsi Dissenting Opinion Dalam Peraturan Perundang-UndanganDalam Membuat Putusan Pengadilan A. TinjauanTentang PutusanPengadilan ……… 34

1. Proses Penjatuhan Putusan Pengadilan ……… 34

2. TeoriPembuatanPutusan ………. 46

3. Aspek Yang TerkandungDalamPutusan ………. 52


(7)

B. Konsepsi Dissenting Opinion………. 65 1. SejarahPenerapanKonsepDissenting Opinion ……….. 65 2. DinamikaPenerapan Dissenting Opinion Di Indonesia ….. 74 3. KonsepDissenting Opinion Di Berbagai Negara …………. 74

Bab III: Konsepsi Kebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadian Guna Menemukan Kebenaran Materiil

A. PersfektifKebebasan Hakim ……….. 91 1. Hakikat Kebebasan Hakim ……….. 91 2. KebebasanDalamPersfektifPancasila ……… 96 3. Independensi Dan ImparsialitasKekuasaanKehakiman …. 98 4. Kebebasan Personal Hakim……….. 103 B. Persfektif Kebebasan Hakim Dalam Penemuan Kebenaran Materiil

1. HakikatPenemuanHukum ... 114 2. AliranPenemuanHukum ... 118 3. MetodePenemuanHukum ... 122 4. Faktor Yang MempengaruhiPenemuanKebenaran Materiil131 C. Kendala Kebebasan Hakim dalam Penemuan Kebenaran

Materiil ... 134

BAB IV: Penerapan Konsepsi Dissenting Opinion dalam Berbagai Putusan Pengadilan di Indonesia Sebagai Bentuk Kebebasan Eksistensial Hakim

A. Penerapan Dissenting Opinion dalam Peraturan


(8)

B. Praktik Penerapan Dissenting Opinion dalam Berbagai Putusan Pengadilan ... 147 C. Makna Penting DissentingOpinion Dalam Penemuan Kebenaran

Materiil……… 150

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 154 B. Saran... 155


(9)

Abstrak

Perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan merupakanbentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.Dissenting opinionlahir dari praktik penemuan hukum yang pada dasarnya tidak terlepas dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” (penemuan kebenaran).

Dissenting opinionmerupakan bentuk kebebasan eksistensial hakim.Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan pandangannya secara otonom, mandiri, berdikari dan tanpa adanya tekanan yang menghambatnya dalam menemukan kebenaran materiil. Kebebasan eksistensial hakim bukan merupakan kebebasan tanpa batas melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara. Kebebasan ini merupakan kebebasan yang berdimensi pancasila.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan merupakan esensi kebebasan personal hakim dalam menemuan kebenaran materiil.Perbedaan pendapat merupakan cerminan independensi kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsinya dan sebagai instrumen untuk mengetahui apakah suatu tindak pidana benar-benar dinilai dan dievaluasi dalam rangka menegakkan cita hukum (rechtsidee) yang bernuansa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Dissenting opinion sebagai bentuk kebebasan eksistensial hakim yang merupakan salah satu jenis kebebasan yang paling tinggi dan mencakup seluruh eksistensi dan pribadi hakim yang tidak terbatas terhadap satu aspek saja.Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan pandangannya secara otonom, mandiri, berdikari dan tanpa adanya tekanan yang menghambatnya berkreasi dalam menemukan kebenaran materiil.

Makna kebebasan eksistensial hakim bukan merupakan kebebasan tanpa batas melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan


(11)

negara. Sehingga meskipun bebas, tetapi tidak sampai melanggar norma-norma, etika, hukum, serta hak dan tanggung jawab selaku warga negara.

Melalui kebebasan tersebut, hakim melakukan penemuan hukum yang merupakan bentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.Praktik penemuan hukum tidak terlepas dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” (penemuan kebenaran).

Dalam rangka mewujudkan waarheidsvinding, hakim tidak terlepas dari sistem hukum eropa kontinental yang dianut oleh Indonesia.Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Selain peraturan perundang-undangan, terdapat juga beberapa sumber hukum lain yang dijadikan hakim sebagai sumber penemuan hukum, antara lain hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.

Dalam menetapkan hukum terhadap pihak yang diajukan kepersidangan, hakim melakukan penyesuaian norma-norma yang dimuat dalam sumber-sumber hukum dengan kejadian konkrit.Dalam pelaksanaan hukum acara pidana, adakalanya sumber hukum berupa undang-undang sering kali sulit dipahami (elusive term); tidak jelas artinya (unclear term); kabur dan samar (vague outline); atau mengandung pengertian yang ambiguitas (ambiquity), hal ini dapat menghambat penemuan kebenaran materiil. Selain itu undang-undang adakalanya bertentangan dengan konstitusi (unconstitusional) atau bisa


(12)

melanggar atau mengancam hak asasi manusia; atau isinya bertentangan dengan akal sehat (contrary to common sense); dan adakalanya pula ketentuan undang-undang tidak mengatur permasalahan yang terjadi dimasyarakat serta menimbulkan akibat yang tidak layak karena undang-undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian, begitu juga sumber hukum lainnya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan peranan hakim yang bersifat lebih aktif dalam rangka menemukan kebenaran materiil.

Oleh karena itu apabila undang-undang tidak dapat diterapkan hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undang, maka hakim harus menafsirkan undang-undang itu.Apabila undang-undang tidak jelas, maka hakim wajib melakukan penemuan huku, sehingga dapat dibuat suatu keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum.

Dalam menetapkan hukum, terdapat banyak metode yang digunakan oleh hakim antara lain metode interpretasi dan juga metode konstruksi hukum. Pada tahap inilah hakim dapat mengekspresikan filsafat keilmuannya, keyakinannya, kepribadian, pengalaman dan pandangannya.Konsekuensi logis dari kebebasan eksistensial hakim ini adalah terjadinya perbedaan pendapat dalam pembuatan keputusan.

Perbedaan pendapat yang terjadi dalam musyawarah majelis hakim pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum acara pidana, justru dalam KUHAP dimuat aturan yang memperbolehkan perbedaan pendapat dalam musyawarah


(13)

hakim sebagai cerminan kebebasan hakim.Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 182 ayat (5) “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya”. Selanjutnya dalam pasal 182 ayat (6), “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”. Pasal 182 ayat (7) KUHAP “Pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”.

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) memberikan kesempatan terjadinya perbedaan pendapat para hakim dalam memeriksa suatu perkara, apabila terdapat perbedaan pendapat diantara hakim maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan


(14)

dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh ketua pengadilan negeri dan bersifat rahasia.

Kebebasan hakim (independency of judiciary) dalam berpendapat terkait perkara yang ditangani dan pencantuman perbedaan pendapat sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 sebagai payung hukum pranata dissenting opinion tersebut, pada dasarnya merupakan hakikat kebebasan eksistensial hakim yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara.

Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji bagaimana pengaturan tentang konsepsi dissenting opinion dan penerapannyadalam peraturan perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan dan mengkaji mengenai kebebasan hakim dalam membuat putusan pengadian guna menemukan kebenaran materiil

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul: “Dissenting opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam

Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil ”.

B.Perumusan Masalah

Berangkat dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:


(15)

1. Bagaimanakah konsepsi dissenting opiniondalam peraturan perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan?

2. Bagaimanakah konsepsi kebebasan hakim dalam membuat putusan pengadilan guna menemukan kebenaran materiil?

3. Bagaimanakah penerapan konsepsidissenting opinion dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia sebagai bentukkebebasan eksistensial hakim?

C.Tujuan Penelitian

Perumusan tujuan penulisan berkaitan erat dalam menjawab permasalahan yang menjadi fokus penulisan. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis konsepsi dissenting opiniondalam peraturan perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis konsepsi kebebasan hakim dalam membuat putusan pengadian guna menemukan kebenaran materiil.

3. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis penerapan konsepsidissenting opinion dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia sebagai bentukkebebasan eksistensial hakim.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ilmu hukum mempunyai dua aspek yaitu praktikal dan teoritis. Menurut Alvi Syahrin, Fungsi praktikal memberdayakan sistem hukum dalam menyelesaikan problem hukum yang penelitiannya menjadi dasar bagi profesi hukum untuk meligitimasi kasusnya dengan kegiatan argumentasi dengan mengacu kepada


(16)

bahan-bahan hukum. Sedangkan fungsi teoritikal bertujuan menghasilkan doktrin yang memberikan preskripsi tentang bagaimana interpretasi seharusnya dilakukan terhadap suatu kaidah dalam sistem hukum yang penelitiannya akan lebih banyak mengacu kepada doktrin-doktrin hukum yang dikembangkan oleh yuris terkemuka dalam rangka menghasilkan konsep/teori baru atau mempertajam konsep/teori lama dengan mengacu kepada bahan-bahan hukum yang kebayakan berupa buku-buku hukum seperti treatise, rechtsboek bukan wetboek, tulisan pada jurnal hukum, hasil penelitian hukum dari para yuris.1

1. Menjawab rumusan masalah yang diajukan penulis terkait konsepsi dissenting opinion dalam putusan pengadilan, persfektif kebebasan hakim dalam penemuan kebenaran materiil dan konsepsidissenting opinion sebagai bentukkebebasan eksistensial hakim.

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:

2. Memberikan sumbangsih pemikiran akademis atau teoritis terhadap upaya pengkajian, penelaan, pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan substansi penerapan konsep dissenting opinion, kebebasan hakim dalam penemuan kebenaran materiil di Indonesia.

3. Menstimulus akademisi untuk lebih giat lagi dalam mengkaji dan menelaah konsep dissenting opinion, kebebasan hakim dalam penemuan kebenaran materiil dalam sistem hukum Indonesia.

E.Metodologi Penelitian

Metode merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam pelaksanaan kegiatan penelitian agar dapat terarah dan tidak menyimpang sehingga dapat diperoleh hasil yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan

1

Alvi Syahrin, Penelitian Hukum: Fungsi Penelitian Hukum, Jurnal, 2014,


(17)

pemilihan rumusan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum/normatif (legal research).

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).Melalui pendekatan ini dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu digunakan pendekatan lain yang diperlukan. Penggunaan beberapa pendekatan dalam penelitian pada dasarnya untuk mempertajam analisis ilmiah dalam penelitian ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Cambell dar Glasson sebagaimana yang diktip oleh Valerine2

2. Spesifikasi Penelitian

“There is no single technique that is magically ‘right’ for all problem. Beberapa pendekatan tersebut antara lain pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan perbandingan (historical approach).

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis, dimana analisis dilakukan secara kritis dengan menggunakan berbagai teori dalam penyusunan konsep dissenting opinion, konsep penemuan kebenaran materiil, konsep putusan hakim, serta persfektif kebebasan hakim. Selanjutnya dari seluruh bahan yang telah diperoleh tersebut dilakukan berbagi proses identifikasi dan klasifikasi

2

Valerine J.L.K, Metode Penelitian Hukum (Kumpulan Bahan Bacaan Untuk Mata Kuliah


(18)

secara sistematis, kemudian dilakukan analisis yang hasilnya akan disajikan secara deskriptif.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.3

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Bahan Primer, yang terdiri dari:

Selain bahan hukum, dalam penelitian ini juga menggunakan bahan non hukum yang relevan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti dalam mengkaji rumusan permasalahan yang tidak bersifat dominan dibandingkan bahan hukum.

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang No 48 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman

3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009, hlm. 141.


(19)

5) Wet Algemene Bepalingan (wAB).

6) Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 5/1959 tanggal 20 April 1959. 7) Surat Edaran Mahkamah AgungNo. I/1962 tanggal 7 Maret 1962. 8) Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 15/KMA/SK/XIII/2007. b. Bahan Sekunder yang merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yang bersumber dari media cetak dan elektronik, yang meliputi buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, hasil karya ilmiah para sarjana, yurisprudensi dan hasil-hasil simposium yang berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan Tersier, yaitu bahan hukum yang bersifat menunjang bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder seperti rancangan KUHAP, kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan lain-lain

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian tehnik pengumpulan bahan merupakan prosedur yang dilakukan secara sistematis untuk dapat memecahkan permasalahan. Adapun prosedur pengumpulan bahan penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan (library researce), dilakukan dengan cara mengumpulkan, memahami, mengutip dan menganalisis bahan pustaka yang didapat dari berbagai literatur atau buku-buku dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini.


(20)

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara analisis kualitatif dengan menguraikan hasil penelitian tentang konsep, azas, doktrin secara deskriptif sehingga diperoleh gambaran yang jelas atas permasalahan yang diteliti dengan menggunakan penalaran deduktif.

6. Pengambilan Kesimpulan dan Perumusan Rekomendasi

Berpegang pada karakter ilmu hukum sebagai ilmu terapan dan preskriptif, maka preskripsi yang diberikan dalam penelitian ini berupa argumentasi baru terkait rumusan permasalahan serta merumuskan rekomendasi yang relevan yang dapat diterapkan.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori dasar, asas, konsep dan pendekatan baru yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji.Oleh karena itu secara lebih rinci tinjauan pustaka ini memuat unsur kebebasan hakim, penemuan hukum, penemuan kebenaran materiil, dissenting opinion dan putusan pengadilan.

1. Kebebasan Hakim

Bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa). Membebaskan bermakna melepaskan dari ikatan, tuntutan, tekanan, hukuman, kekuasaan.Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan bebas.


(21)

Istilah kebebasan sering kali disebut sebagai bentuk ekspresi manusia yang menandakan mahluk merdeka.Ia melekat sekaligus berwujud dalam segala tingkah laku manusia. Kebebasan adalah fitrah sekaligus kebutuhan yang utuh yang mendasari perjalanan hidup, pengarahan diri.Dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk memenuhi atau memperoleh pilihan itu.Dalam hidup setiap orang, kebebasan merupakan unsur hakiki, semua orang mengalami kebebasan karena hal tersebut melekat sebagai sifat manusia.Kesulitannya mulai muncul ketika orang ingin mengungkapkan pengalaman itu pada taraf refleksi.

Kess Bertens sebagaimana dikutip oleh Ahmad Kamil mengemukakan ragam kebebasan kedalam beberapa kategori yaitu:4

Kedua, kebebasan fisik.Disini bebas berarti tidak ada paksaaan atau rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Orang yang diborgol atau dipasung tentu tidak akan bebas. Selama meringkuk dipenjara, seorang narapidana tidak bebas, tetapi ketika masa tahanannya lewat ia kembali menghirup udara kebebasan.

Pertama, kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan.Terkadang kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan. Individu dikatakan bebas bila ia berbuat dengan sesuka hati; terlepas dari ikatan dan kewajiban, sehingga menabrakkan rambu-rambu kepentingan maupun hak orang lain.

4

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm 23-25.

4


(22)

Ketiga, kebebasan yuridis.Hal ini berkaitan erat dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum.Kebebasan yuridis merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Jika orang berbicara persoalan kebebasan dalam arti ini, berarti ia berbicara tentang orang-orang yang dirampas haknya.

Keempat, kebebasan psikologis.Melalui kebebasan psikologis, manusia mampu mengembangkan dan mengarahkan hidupnya sendiri.Kemampuan ini menyangkut kehendak bahkan merupakan ciri khasnya. Oleh karena itu, nama lain dari kebebasan psikologis adalah free will. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berasio.Ia mampu berpikir sebelum bertindak. Orang yang bebas adalah orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis.Orang yang menderita kelainan jiwa seperti kleptomania jelas tidak bebas.Ia seperti pencuri sungguhan, namun ia tidak bisa menentukan dirinya. Karena itu perbuatannnya dianggap tidak bebas.

Kelima, kebebasan moral, yaitu kebebasan yang terlepas dari paksaan moral. Bila seseorang ditodong dengan senjata tajam, ia tentu tidak sepenuhnya bebas dalam menyerahkan harta bendanya. Ia memang menentukan diri, menyerahkan kekayaannya merupakan keputusannnya, tapi ia melakukannya dengan paksaan. Begitu perasaan moral itu hilang dengan kedatangan teman yang melumpuhkan si penjahat, ia akan berbuat lain.

Keenam, kebebasan eksistensi, kebebasan ini merupakan bentuk kebebasan yang paling tinggi dan mencakup seluruh eksistensi dan pribadi


(23)

manusia, tidak terbatas pada salah satu aspek saja.Orang yang bebas secara eksistensial seakan-akan memiliki dirinya sendiri.Ia mencapai taraf otonom, kedewasaan dan kematangan rohani.

Orang yang bebas seutuhnya dapat mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan hal-hal tersebut secara otonom. Hal ini didorong oleh keinginan akan kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan. Kehendak untuk merdeka inilah yang disebut dengan kebebasan yang luhur.Kebebasan inilah yang menuntun manusia untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya secara mandiri, berdikari dan kreatif tanpa adanya tekanan yang menghambatnya dalam berkreasi.

2. Penemuan Kebenaran Materiil

Hukum pidana materiil tidak dapat tegak tanpa dilengkapi ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penyelesaian pelanggaran terhadap hukum materiil, hal inilah yang disebut dengan hukum acara pidana. Dengan kata lain hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana materiil. Norma-norma yang dimuat dalam hukum pidana formil pada dasarnya tidak mengatur tentang tingkah laku yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan tugasnya dalam penegakan hukum.

Pada dasarnya KUHAP tidak memberikan definisi hukum acara pidana melainkan hanya bagian-bagiannya saja seperti penyidikan, penyelidikan, penuntutan mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penahanan, dan lain-lain.


(24)

Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Amir Hamzah5

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;

bahwa ilmu hukum acara pidana itu mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai berikut :

2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan jika perlu menahannya;

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan pada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut;

5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;

6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;

7. Melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.

Dalam pandangan Wirjono Prodjodikoro bahwa hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaiman badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan

5


(25)

harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.6

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman menyebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana sebagai berikut yaitu mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:

b. Pemberian keputusan oleh hakim; c. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi itu yang paling penting adalah fungsi mencari kebenaran, setelah menemukan kebenaraan yang diperoleh dari bukti-bukti yang dipertunjukan, hakim akan sampai pada putusan, yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.

Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari upaya penemuan hukum yang berkembang di masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai

6

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967, Hlm. 13.


(26)

aliran maupun metode penemuan hukum.Penemuan kebenaran materiil merupakan esensi dari kebebasan, yang diberikan kepada hakim sebagai langkah menerobos tercapainya tujuan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yakni tercapainya nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum secara serasi.

Dalam penemuan kebenaran materiil hakim harus bersifat aktif melalui sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia.Sistem pembuktian yang dimaksud adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Selanjutnya dalam pasal 15 ayat (2) KUHAP ditegaskan bahwa “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Rumusan KUHAP tersebut memuat ketentuan yang sama dengan Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut “Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”


(27)

Sebelum pemberlakuan KUHAP, dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman pasal 6 berbunyi: “Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atau perbuatan yang dituduhkan kepada dirinya”.

Dalam sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubble en grondslag) yaitu pada peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim, dimana dasar keyakinan hakim tersebut bersumber kepada undang-undang. Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan yaitu: Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua, ada faedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.7

a. Keterangan saksi;

Dalam pembuktian tersebut hakim berpatokan kepada alat-alat bukti yang diatur pada pasal 184 KUHAP yaitu:

7


(28)

b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Konsep penemuan kebenaran materiil pada dasarnya tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut. Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.8

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam

Dengan adanya sistem tersebut maka akan tercipta harmonisasi sehingga tidak terjadi lagi kontradiksi diantara bagian-bagian tersebut.

Penemuan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum eropa kontinental yang dianut.sistem ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus. Kodifikasi ini merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut dengan Corvus Juris Civilis.Corvus Juris Civilis dijadikan sebagai dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda).

8

J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hlm. 35.


(29)

kodifikasi.Kodifikasi lahir karena keberatan-keberatan yang disebabkan oleh ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum timbul karena keragu-raguan tentang apa sumber hukum, bagaimana sumber-sumber hukum itu berhubungan satu sama lain secara hierarki dan tentang isi setiap sumber hukum itu.

Sejak pemberlakuan Wet Algemene Bepalingan Nederland (Wet AB), undang-undang dipandang untuk menata hukum, tetapi undang-undnag tidak boleh menjadi tekanan, yang menghambat tumbuhnya kekuatan-kekuatan yang berguna bagi masyarakat.

Dalam mengadili setiap perkara hakim harus mengadili menurut undang-undang, hakim tidak boleh menyertakan pendapat pribadinya tentang kelayakan dan kebenaran undang-undang, dan apabila hakim berpendapat bahwa undnag-undnag bungkam tentang suatu persoalan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka itu tidak benar, sebab undang-undang itu jelas dan lengkap. Pada akhirnya hakim hanya boleh memutuskan peristiwa yang bersifat in konkrito.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa.


(30)

Sistem hukum eropa kontinental ini memiliki perbedaan dengan sistem hukum Anglo Saxon atau yang lebih sering dikenal dengan common law yang mula-mula berkembang di Inggris, Amerika Utara, kanada, Amerika Serikat dan negara jajahannya. Perbedaan tersebut terletak pada sumber hukum yang diterapkan, bahwa dalam sistem hukum anglo saxon putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum. Melalui putusan tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang lainnya juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.Peraturan dan segala putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh karena itu, hakim memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara sejenis.Hal inilah yang disebut dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim terikat pada sistem hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis.9

Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem

Namun apabila dalam yurisprudensi tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.

9

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm.184.


(31)

dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sistem hukum tersebutlah yang menjadi panduan dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.Seiring waktu, bahwa penundukan diri terhadap kekuasaan undang-undang mulai dilepaskan dan berupaya mencari sumber hukum lainnya yang dipandang lebih mendekati kepada nilai keadilan dengan menyerap kelebihan sistem nonkodifikasi.

Penemuan hukum lahir sebagai upaya untuk mengakomodir seluruh perkembangan dinamika sosial yang terjadi.Dinamika sosial tersebut bergerak sangat cepat seiring perkembangan peradaban manusia, dan peraturan perundang-undangan adakalanya tidak dapat mengakomodir seluruh dinamika sosial yang menghasilkan peristiwa hukum tersebut.Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka mengawal tegaknya cita hukum maka perlu dilakukan penemuan hukum, penemuan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi kepada penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Di dalam perkembangannya kedua sistem penemuan hukum ini saling mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom.Bahkan cenderung bergeser kearah penemuan hukum yang otonom, hal ini disebabkan oleh pembentukan undang-undang yang bersifat umum bukan kasuistis. Hal ini berdampak terhadap pergeseran dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan (einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi


(32)

pergeseran pola berpikir yang mengacu kepada sistem (systeemdenken) kearah berpikir mengacu kepada masalah (problem oriented).10

10

Ibid. Hlm. 210.

Dalam penemuan hukum yang dianut dalam hukum positif Indonesia terdapat beberapa sumber penemuan hukum, hal ini tidak terlepas dari pergeseran paradigma penemuan hukum yang telah dipengaruhi penemuan hukum otonom dan juga kelemahan dari peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sumber penemuan hukum tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian nternasional, dan doktrin.

Dalam ajaran penemuan hukum bahwa sumber penemuan hukum memiliki hierarki yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.Dalam ajaran tersebut memandang peraturan perundang-undangan merupakan sumber terpenting dan utama.Akan tetapi perlu diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik.Pada dasarnya bukan hal yang mudah untuk memahami maksud dari undang-undang, karena memahami peraturan perundang undangan bukan sebatas membaca bunyi kata-katanya saja (naar de letter van de wet), tetapi harus mencari makna atau tujuan perundang-undangan. Jika dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak memuat ketentuan yang mengatur peristiwa hukum maka barulah mencari kepada sumber hukum lainnya.


(33)

Dalam penemuan hukum terdapat bebrapa aliran yang mempengaruhi hakim dalam menemukan kebenaran materiil yaitu aliran hukum Legisme, Mazhab Historis, aliranBegriffsjurisprudenz, aliranInteressenjurisprudenz.

Dalam penemuan hukum terdapat banyak metode yang digunakan antara lain metode interpretasi (penafsiran) dan juga metode konstruksi. Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang menuju pada pelaksanaan yang dapat diterima masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.Metode interpretasi merupakan sarana untuk mengetahui makna undang-undang, untuk merealisasikan fungsinya agar hukum positif tersebut dapat diberlakukan.

Metode interpretasi ini merupakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yangs sering digunakan oleh hakim dalam memutus perkara yang selanjutnya dapat dibedakan atas metode interpretasi gramatikal, interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi historis, interpretasi sistematis atau logis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristik serta interpretasi restriktif dan eksensif.11

3. Putusan Pengadilan

Putusan hakim merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan di persidangan dan

11


(34)

bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.12

Didalam literatur Belanda dikenal istilah “vonis” dan “gewijsde”.Yang dimaksud dengan vonis ialah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa, sedangkan gewijsde ialah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum khusus.

Putusan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum diucapkan oleh hakim dipersidangan.Putusan yang diucapkan dipersidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonis).Dalam Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. I/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai, maksud surat edaran ini ialah untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara dan mencegah perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang tertulis.

13

Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan.Dalam pasal 182 ayat (5) KUHAP disebutkan bahwa “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya”.

12

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Keempat, 1993, hlm. 174.

13


(35)

Selanjutnya dalam pasal 182 ayat (6), “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”.

Pelaksanaan pengambilan keputusan dicatat dalam sebuah buku sebagaimana yang dimuat dalam pasal 182 ayat (7) “pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”.

Bahwa pengambilan keputusan didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan dan putusan itu sah secara hukum apabila diucapkan disidang terbuka untuk umum.

Setelah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu:14 a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;

b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo Pasal 233 ayat (2) KUHAP);

14


(36)

c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) KUHAP jo Undang-Undang Grasi);

d. Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana maksud dalam pasal 196 ayat (2) KUHAP, pasal 196 ayat (3) jo pasal 233 ayat (2) KUHAP;

e. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir a dalam wkatu seperti yang ditentukan dalam pasal 235 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oelh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat (3) KUHAP).

4. Dissenting opinion

Kata dissenting berasal dari kata bahasa Latin, dissentiente, dissentaneus, dissentio, kesemuanya bermakna tidak setuju, tidak sependapat atau berbeda dalam pendapat.

Secara harafiah “dissenting opinion” dalam kamus bahasa Inggris merupakan kata kerja yang berasal dari kata “dissent” yang berarti berselisih paham dan kata “opinion”yang berarti sebagai pendapat, pikiran, perasaan. Jadi dissenting opinion dapat disimpulkan sebagai pendapat dari satu atau lebih hakim dalam membuat pernyataan yang memperlihatkan


(37)

ketidaksetujuan terhadap putusan dari mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan dala musyawarah hakim.15

Menurut Pontang Moerad dissenting opinion merupakan pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yang tidak setuju (disagree) dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.16

Selain itu, dissenting opinion lahir dari upaya penemuan kebenaran materiil dalam hukum acara pidana yang tertuang dalam putusan pengadilan dalam rangka memenuhi tuntutan akuntabilitas bagi pencari keadilan

Lahirnya konsep dissenting opinion tidak terlepas dari adanya kebebasan hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan sumber hukum yang dianut oleh Indonesia. Perbedaan pendapat dalam musyawarah hakim merupakan konsekuensi logis dari penerapan konsep kebebasan dalam penemuan hukum, kebebasan yang dimaksud bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya melainkan kebebasan yang terbatas, artinya kebebasan tersebut dibatasi oleh aturan hukum yang berlaku berdasarkan nilai-nilai pancasila dan pandangan hidup masyarakat dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum untuk menjamin tegaknya cita hukum (rechtsidee).

15

Wojowasito, S. dan WJS. Porwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, dan

Indonesia Inggris. Penerbit Hasta. Bandung, 2001.

16

Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam


(38)

(justiabele) serta sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim secara pribadi terhadap perkara pidana yang diajukan kepadanya. Melalui dissenting opinion para pencari keadilan dapat mengetahui latar belakang putusan, hal ini sangat penting untuk membantu masyarakat untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menangani perkara. Dengan mengetahui dasar pertimbangan hakim, maka hal ini akan mempermudah bagi para pihak yang berperkara untuk selanjutnya mengajukan upaya hukum ketingkatan yang lebih tinggi, selain itu hal ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk mengetahui apakah putusan tersebut mencerminkan cita hukum atau tidak. Adakalanya dissenting opinion benar dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, tetapi adakalanya tidak tepat atau tidak memenuhi cita hukum dan justru pendapat mayoritaslah yang memenuhi cita hukum tersebut.

Didalam undang-undang 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan milliter, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.


(39)

Pasal 4 (3) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas merumuskan bahwa : segala campur tangan dalam peradilan oleh pihak luar diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI Tahun 1945, disamping itu Hakim harus melaksanakan disiplin tinggi dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 215/KMA/SK/XIII/2007 Pasal 8 butir 2 yang berbunyi: “Hakim Berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan”.

Dalam Pasal 19 Undang-UndangNo.4 Tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (Dissenting opinion).

Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam dalam putusan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap


(40)

perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan dissenting opinion pada lembaga yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencantuman dissenting opinion itu sendiri.

Pengaturan perbedaan pendapat sudah diterapkan pada Pengadilan Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model pencantuman Dissenting opinion terpisah dari putusan. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab, dimana antara bab yang satu saling berhubungan dengan bab yang lainnya.

BAB I: Pendahuluan

Dalam hal ini akan diuraikan beberapa hal mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II: Konsepsi Dissenting Opinion Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dalam Membuat Putusan Pengadilan

Dalam Bab II ini akan dibahas tentang tinjauan tentang Putusan pengadilan yang memuat konsep proses penjatuhan putusan


(41)

pengadilan, teori pembuatan putusan, aspek yang terkandung dalam putusan, faktor yang mempengaruhi pembuatan putusan konsepsi. Selanjutnya dalam sub bab berikutnya membuat konsepsi dissenting opinion yang terdiri dari sejarah penerapan konsep dissenting opinion, dinamika penerapan dissenting opinion di Indonesia, konsep dissenting opinion di berbagai negara, makna penting penerapan konsepsi dissenting opinion

BAB III:KonsepsiKebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadila guna Menemukan Kebenaran Materiil

Dalam Bab III akan mengkaji konsepsi kebebasan hakim yang memuat, tinjauan tentang kebebasan, kebebasan dalam persfektif pancasila, sejarah kebebasan hakim di Indonesia, kebebasan personal hakim, independensi kekuasaan kehakiman.

Dalam sub bab berikutnya membahas persfektif hakim dalam penemuan kebenaran materiil, yang memuat hakikat penemuan hukum, aliran penemuan hukum, metode penemuan hukum, teori pengambilan keputusan

BAB IV: Penerapan Dissenting Opinion dalam Putusan Pengadilan di Indonesia sebagai Bentuk Kebebasan Eksistensial Hakim

Dalam Bab IV ini memaparkan penerapan dissenting opinion dalam berbagai putusan pengadilan. Selanjutnya dalam sub bab berikutnya memuat makna penting penerapan dissenting opinion sebagai bentuk kebebasan eksistensial hakim.


(42)

BAB V: Penutup

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran kesimpulan diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai masalah yang dikemukakan, selanjutnya memberi saran yang mungkin dapat berguna oleh pihak-pihak yang berkepentingan.


(43)

BAB II

Konsepsi Dissenting opinion dalam Putusan Pengadilan

C.Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan 5. Proses pembuatan putusan pengadilan

Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut hakim harus meyakini apakah seseorang terdakwa telah melakukan tindak pidana atau tidak. Setelah menerima dan memeriksa perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.17

Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana (vrijspraak), dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsverloging), dalam hal

17

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Keempat, 1993, hlm. 174.


(44)

perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.18

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah hukum (legal problem identification), memecahkan masalah (legal problems solving), dan mengambil putusan (decision making).19

Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu Pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi; Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan struktur

Oleh karena itu, dibutuhkan penalaran hukum dalam pembuatan putusan sehingga dapat menyelesaikan masalah hukum tersebut.

18

Pasal 191 ayat (1) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Pasal 191 ayat (2) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”.

Pasal 191 ayat (3) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

19

Sudikno Mertokusumo, Pendidikan Hukum Di Indonesia dan Sorotannya, (dalam) M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 86.


(45)

aturan yang koheren. Keempat, menghubungan struktur aturan dengan struktur kasus.Kelima, mencari alternatif penyelesaian yang mungkin.Keenam, menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.20

Dalam pandangan Herman Bakir proses pembuatan putusan merupakan prosedur yang sangat riil teoritikal dan ilmiah, sehingga kita dapat melihat situasi kedekatam relasional antara subjek interpretator (hakim), fakta dan kaidah hukum terjalin. Menurut pandangan beliau ada beberapa fase dalam pembuatan putusan tersebut, antara lain:21

a) Fase perumusan masalah-masalah yuridik.

Pada fase ini perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi interpretator dalam hal ini berangakat dari asumsi bahwa, sengketa-sengketa yuridik adalah masalah yang berderajat ‘amenable’ yaitu dapat dipertanggungjawabkan atau dapat diterima untuk diterapkan metode-metode interpretasi, bahwa masalah yuridik adalah masalah ‘resolvable’ yaitu dapat dipecahkan, dan yang terakhir bahwa hukum adalah sesuatu yang majemuk (sehingga hakim bebas menetapkan metode mana yang akan dipakai).

b) Fase penetapan faktor-faktor yang mendukung fase perumusan masalah dengan jalan mengompilasikan fakta-fakta.

20

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam konteks KeIndonesiaan, (dalam) M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 87.

21

Herman Bakir, Kastil Teori Hukum, PT. Indeks kelompok Gramedia, Jakarta, 2005, hlm.66-72.


(46)

Dalam tahap ini, hakim dituntut memperlakukan fakta-fakta.Pentingnya fakta-fakta dalam hal interpretasi sering tidak memperoleh tanggapan yang memadai dari banyak interpretator, padahal fakta-fakta inilah yang pada gilirannya diasumsikan sebagai penyebab dari terjadinya peristiwa yang menimbulkan problema hukum itu. Dengan mendasarkan diri pada situasi problematik, si interpretator akan melakukan pendekatan pada fakta, yang artinya ia akan mulai menginventarisasi dan mengompilasi fakta-fakta dengan selengkap mungkin. Setiap masalah selalu akan menampilkan dirinya dalam bentuk fakta-fakta, fakta-fakta itu mesti dipaparkan secara skematis (sejelas mungkin). Interpretasi aturan hukum itu pada dasarnya berkenaan dengan penilaian atas kaidah-kaidah itu dapat diterapkan pada kejadian konkrit, maka terlebih dahulu ditetapkan apa yang sesungguhnya harus dirumuskan sebagai situasi faktual, apa yang dari situasi faktual itu dapat dipandang relevan secara yuridik.

c) Fase klasifikasi atau identifikasi sumber hukum yang aplikabel

Sumber hukum akan diklasifikasi dan diidentifikasi yang dianggap paling aplikabel diantara keseluruhannya. Sumber penemuan hukum tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.

d) Fase analisis atas sumber-sumber hukum.

Analisis ini dilakukan untuk menetapkan aturan hukum mana yang mau disorotatas situasi problematik yang terjadi, sumber hukum mana


(47)

yang sebetulnya paling aplikabel (yang paling mungkin diterapkan). Dalam fase ini si interpretator menemukan aspek kebijakan (policies) yang melandasi aturan-aturan hukum tersebut, dan menemukan tujuan kemasyarakatan dari aturan-aturan tersebut. Ketika muncul persoalan dimana terdapat lebih dari satu aturan hukum maka si interpretator akan mensintetisasi aturan-aturan hukum yang aplikabel kedalam struktur-struktur yang koheren supaya jangan selalu bertentangan diantaranya. Bahwa aturan yang spesifik ditempatkan dibawah aturan yang general, supaya jelas yang mana termasuk kelompok kaidah yang lebih umum dan yang mana kelompok kaidah yang lebih spesifik. Sehingga ketika terjadi pertentangan maka akan lebih mudah untuk menetapkan mana yang bisa dikesampingkan (diderogasi) dan mana yang akan dimajukan.

e) Fase analisis dan kualifikasi atas fakta-fakta yang diperoleh.

Pada fase ini fakta-fakta akan ditampilkan untuk diuraikan dan distrukturkan atau dikonstruksi sehingga menjadi jelas format konspirasi fakta-fakta yang membentuk peristiwa hukum. Dengan begitu aturan hukumnya dapat disesuaikan dengan peristiwa hukumnya.

f) Fase mempersiapkan metode-metode interpretasi

Ketika interpretator telah menelusuri atau setidaknya pada pendekatan terhadap masalah yang sedang dihadapi sudah menetapkan kaidah-kaidah hukum mana saja yang akan diterapkan pada suatu fakta-fakta. Pada tahap ini si interpretator dituntut untuk menggali dan menganalisis kedalam aturan-aturan tertentu, menentukan luas sempitnya


(48)

wilayah jangkauan, terapan dan kaidah-kaidah hukum yang dikonfrontasinya. Selain itu interpretator bebas menetapkan pilihan metode interpretasi apa yang akan dipakai, atau sama sekali ia hanya bersandar pada penilaian kelayakan semata, yang merujuk pada ‘appeal to emotion’ atau ‘apple to reason’, pada dasarnya hal tersebut diperbolehkan. Dalam hal ini, hakim telah dilimpahkan otonomitas atau kemerdekaan yang sedemikian luas,

g) Fase memformulasikan dalam bentuk klaim yuridik (statement, proposisi kaidah).

Pada fase ini si interpretator berusaha menerapkan struktur aturan-aturan tersebut yang telah disintetiskan pada fase ketiga dan keempat, dan pada fakta-fakta relevan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban dengan mengacu pada kebijakan yang melandasi aturan-aturan tersebut.Kebijakan ini sangat penting dalam menginpretasikan terutama pada waktu melaksanakan aturan itu kedalam situasi konkrit.

Hal ini dapat berupa requisitor (putusan hukum dari jaksa yang belum mempunyai kekuatan mengikat) dalam perkara pidana, Pledoi (pembelaan) dari para pihak dalam pidana, semua hal tersebut merupakan putusan hukum dari para pihak yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya vonis.


(49)

h) Motivering (pengajuan alasan atau pertimbangan)

Bagian ini merupakan posisi sentral dalam upaya pertanggungjawaban dan presentasi putusan yang akan ditetapkan dari seluruh fase yang digelar dalam interpretasi.

Menurut Moelyatno terdapat beberapa tahapan dalam penjatuhan putusan, antara lain tahap menganalisis perbuatan pidana, tahap menganalisis tanggungjawab pidana, dan tahap penentuan pemidanaan.22 a) Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana.

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat tersebut. Maka perbuatan pidana secara mutlak harus mengandung unsur formil dan unsur materiil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum (rechtwirdigkeit).

Dalam menganalisis suatu tindak pidana, hakim menganalisis unsur tindak pidana, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.Unsur subjektif menyangkut orangnya, atau pelakunya yang dirumuskan dalam KUHP dengan kata-kata barang siapa, sedangkan unsur objektifnya dirumuskan dalam unsur batas pengertian suatu delik.

b) Tahap menganalisis tanggungjawab pidana.

22

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (dalam) Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oelh


(50)

Unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut selanjutnya dianalisis hakim guna mengetahui apakah pelaku dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.Dalam analisis ini, dapat dipidannya seseorang harus memenuhi dua syarat yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan.

Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana untuk membuktikan adanya penggaran pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:23

1) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum). 2) Diatas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab.

3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.

4) Tidak ada alasan pemaaf. c) Tahap Penentuan Pemidanaan.

Berangkat dari keyakinan hakim bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga dia dinyatakan bersalah atas perbuatannya dengan meminta pertanggungjawaban si pelaku. Selanjutnya hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku. Terkait beban pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam KUHP, dimana dalam KUHP telah mengatur pemidanaan maksimal yang

23


(51)

dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.Hal inilah sebagai bentuk kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya.

Menurut H. Taufiq, Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan dan penerapan hukum yaitu:24

a) Tehnik Analitik.

Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum acara secara lengkap. Dalam pertimbangan hukum, hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut. b) Tehnik Equatable.

Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat bukti yang diajukan.Apabila alat-alat bukti itu telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).

c) Tehnik Silogisme.

Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini

24


(52)

umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan hukumnya, dan premis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio.Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.Proses tahapan-tahapan metodologi ini sebagai berikut:

1) Perumusan masalah atau pokok sengketa

Perumusan masalah dari suatu perkara dapat disimpulkan dari informasi baik dari jaksa penuntut umum maupun dari penasehat hukum. Dari persidangan tahap inilah hakim yang memeriksa perkara tersebut memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang diperkarakan oleh para pihak. Peristiwa inilah yang merupakan pokok masalah dalam suatu perkara. Perumusan pokok masalah dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari proses tersebut. Kalau pokok masalah sudah salah rumusannya, maka proses selanjutnya juga akan salah.


(53)

2) Pengumpulan data dalam proses pembuktian.

Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk diolah guna rnenemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang dianggap salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya.

3) Analisa data untuk menemukan fakta.

Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat dan benar. Menurut Black's Law Dictionary sebagaimana yang ditulis oleh H. Taufiq

“fakta adalah kegiatan yang dilaksanakan atau sesuatu yang dikerjakan, atau kejadian yang sedang berlangsung, atau kejadian yang benar-benar telah terwujud, atau kejadian yang telah terwujud dalam waktu, dan ruang atau peristiwa fisik atau mental yang telah menjelma dalam ruang”.

Jadi fakta itu dapat berupa keadaan suatu benda, gerakan, kejadian, atau kualitas sesuatu yang benar-benar ada.Fakta bisa berbentuk eksistensi suatu benda, atau kejadian yang benar-benar wujud dalam kenyataan, ruang, dan waktu.Fakta berbeda dengan angan-angan, fiksi dan pendapat seseorang.Fakta ditentukan berdasarkan pembuktian.Fakta berbeda dengan hukum, hukum merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian.Fakta ditemukan dari pembuktian suatu peristiwa dengan mendengarkan


(54)

keterangan para saksi dan para ahli.Fakta ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks, ada yang ditemukan dengan hanya dari keterangan para saksi, tetapi ada juga yang harus ditemukan dengan penalaran dari beberapa fakta

4) Penentuan hukum dan penerapannya.

Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim menemukan dan menerapkan hukumnya.Menemukan hukum tidak hanya sekadar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan hukumnya untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang konkrit.Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan.Untuk menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit.Jika peristiwa konkrit itu telah ditemukan hukumnya maka langsung menerapkan hukum tersebut, jika tidak ditemukan hukumnya maka hakim harus mengadakan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Sekiranya interpretasi tidak dapat dilakukannya maka ia harus mengadakan konstruksi hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas.


(55)

5) Pengambilan keputusan.

Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang disebut dengan putusan. Hasil proses sebagaimana yang telah diuraikan di atas, para hakim yang menyidangkan suatu perkara menuangkannya dalam bentuk tulisan yang disebut dengan putusan. Putusan tersebut merupakan suatu penulisan argumentatif dengan format yang telah ditentukan undang-undang.Dengan dibuat putusan tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran peristiwa hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan secara tepat dalam perkara yang diadili tersebut.

6. Teori pembuatan putusan

Teori pembuatan putusan sangat relevan dengan tugas hakim dalam membuat putusan di pengadilan.Putusan tersebut bertujuan untuk menentukan bersalah tidaknya terdakwa yang diajukan ke muka persidangan.Di samping itu juga untuk menentukan sanksi pidana yang diterima oleh terdakwa jika sudah terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana.

Dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana maka hakim dapat menggunakan beberapa teori pembuatan putusan pidana seperti halnya teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan institusi, teori pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman, teori ratio decidensi, danteori kebijaksanaan.


(56)

Menurut pendapat Mackenzie sebagaimana diutip oleh Ahmad Rifai dalam bukunya25

a. Teori Keseimbangan

, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan pembuatan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan atau yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban.

Dalam praktik peradilan pidana keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang memberatkan dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal yang meringankan.Pertimbangan terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa.

b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi.

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim dengan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana baik terdakwa maupun penuntut

25


(57)

umum.Pendekatan seni ini digunakan hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau instuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

Dalam praktik peradilan, teori ini digunakan hakim dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dengan memperhatikan sistem pembuktian yang dianut yaitu minimum dua alat bukti dan harus disertai keyakinan hakim.Keyakinan hakim pada dasarnya bersifat subjektif yang hanya didasarkan kepada naluri hakim saja. Disatu sisi kita menyadari bahwa hakim merupakan manusia biasa seperti manusia pada umumnya yang terdiri atas jasmani dan rohani yang adakalanya menempatkan naluri pada posisi yang kurang benar, sehingga dikuatirkan akan terjadi kekeliruan atau kesesatan dalam putusan yang dijatuhkan hakim, sehingga akan menjadi putusan yang salah atau sesat yang dapat menimbulkan polemik dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati dalam menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan pada seni dan instuisi semata dari hakim sendiri.

c. Teori Pendekatan Keilmuan.

Teori ini didasarkan kepada pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan sejenis peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata,


(58)

tetapi harus dilengkapi dnegan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.Oleh karena itu, hakim harus dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu pengetahuan non hukum lainnya, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh hakim.

Dalam teori ini, kemandirian hakim dalam menguasai berbagai teori dalam ilmu hukum maupun non hukum sangat diperlukan untuk membuat putusan yang mencerminkan cita hukum itu sendiri. Dalam persidangan, hakim sering meminta keterangan para ahli yang berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi dari suatu perkara yang diiajukan kepadanya untuk didengar keterangannya di depan persidangan. Dari keterangan ahli tersebutlah, hakim dapat menambah pemahaman terkait perkara yang sedang diperiksa untuk selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.

d. Teori Pendekatan Pengalaman.

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang sangat membantu dalam menghadapi perkara yang dihadapi.Melalui pengalaman yang dimilikinya, hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara baik yang berkaitan dengan pelaku,


(59)

korban, maupun masyarakat secara umum sebagai akibat yang ditimbulkan penjatuhan putusan tersebut.

Pengalaman hakim merupakan bekal yang bagi para hakim dalam bersikap professional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya yang mendorong hakim untuk lebih berhati-hati dalam menjatuhkan putusan.

e. Teori Ratio Decidendi.

Selain teori yang telah dikemukakan diatas, dikenal juga suatu teori yang disebut sebagai teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasarkan dan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan.

Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara dipengadilan anak.Landasan dari teori ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta nilai kekeluargaan harus ditanam, dipupuk dan dibina.Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, dan melindungi anak,


(60)

agar kelak dapat menajdi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.26

1) Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman sutau kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya.

Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan yang pertama, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, yang kedua sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana, yang ketiga untuk memupuk solidaritas antara keluarga dnegan masyarakat dalam rangka membina dan memelihara dan mendidik pelaku tindak pidana anak, dan keempat sebagai pencegahan umum dan khusus.

Menurut Ahmad Rifai, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yatu sebagai berikut:

2) Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari.

3) Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya.

4) Memeprsiapkan mental amsyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

26

Made Sadhi Astuti, Pemidanaan anak sebagai Pelaku Tindak Pidana, (dalam) Ahmad Rifai, hlm. 112.


(61)

Teori penjatuhan pidana sebagaimana dikemukan oleh Made tersebut pada dasarnya lebih ditujukan pada penjatuhan putusan dalam perkara anak akan tetapi makna kebijaksanaan dalam teori ini dapat juga dipergunakan dalam penjatuhan putusan terhadap perkara pidana lainnya. Melalui kebijaksanaan hakim dapat menemukan hukum yang berdimensi substantif dengan mengelaborasinya dengan wawasan pengetahuan yang luas, intuisi yang tajam dan peka, pengalaman yang luas serta etika dan moralitas yang baik dan terjaga dari pengaruh buruk.

7. Aspek yang terkandung dalam putusan

Dalam pedoman perilaku (code of conduct) hakim yang dikeluarkan Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).27

Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator undang-undang harus memahami undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.Hakim harus menilai apakah undang-undang tersebut adil, bermanfaat, atau memberikan kepastian hukum jika

27

Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct), Kode Etik Hakim Dan Makalah Berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006, hlm. 2.


(62)

ditegakkan sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan.

Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis memuat pertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dimasyarakat.Penerapan aspek filosofis dan sosiologis harus mampu mengikuti perkembangan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat.Pencantuman ketiga aspek tersebut sebagai upaya penegakan nilai keadilan dan dapat diterima oleh masyarakat.

Dalam ketiga aspek tersebut harus terkandung tujuan dari hukum yang dalam pandangan Achmad Ali dapat diklasifikasikan kedalam tiga tujuan hukum, yaitu:

1) Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.

2) Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptkan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat.

3) Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.

Pandangan yang menggap bahwa tujuan hukum semata-mata hanyalah keadilan belaka menuai pertentangan karena keadilan sebagai sesuatu yang abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan ada pula yang melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi pelaksanaan


(1)

BAB V

Kesimpulan dan Saran

A.Kesimpulan

1. Konsepidissenting opinion dalam putusan pengadilan pada dasarnya sudah dimuat dalam Pasal 182 ayat (6) dan ayat (7) KUHAP dan Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No 48 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan kesempatan terjadinya perbedaan pendapat para hakim dalam memeriksa suatu perkara, tetapi dalam kedua norma tersebut mengatur bahwa dissenting opinion bersifat rahasia dan disimpan oleh ketua pengadilan. Dalam tataran praktik, terdapat beberapa putusan yang menerapkan konsep dissenting opinion merupakan satu kesatuan dengan putusan pengadilan.

2. Dalam menerapkan dissenting opinion maka hakim diberikan kebebasan yang berdimensi pancasila, yakni kebebasansecara personal maupun institusionaldalam penemuan kebenaran materiil yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara. Dalam pelaksanaan kebebasan tersebut hakim dihadapkan pada berbagai kendala baik dalam hal struktural, kekuasaan, peraturan perundang-undangan, pemahaman, dan kendala yang berasal dari masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari berbagai


(2)

B.Saran

1. Perlu dilakukan pengaturan dissenting opinion secara tegas, disertai mekanisme penerapannya dalam hukum positif Indonesia, dengan melakukan kajian perbandingan terhadap penerapan dissenting opinion di berbagai lembaga negara yang telah terlebih dahulu menerapkannya dan juga pada negara lain yang menerapkannya, untuk mendapatkan konsep dissenting opinion yang ideal diterapkan dalam sistem peradilan di Indonesia secara khusus bidang pidana.

2. Dissenting opinion dapat terlaksana dengan baik jika hakim diberikan

kebebasan secara personal maupun institusional dalam mengadili perkara yang diajukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian tentang kebebasan eksistensial hakim yang berdimensi pancasila untuk selanjutnya diatur dalam hukum positif sebagai landasan hakim dalam penemuan kebenaran materiil.


(3)

Daftar Pustaka

A.Buku

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,Candra Pratama, Jakarta.

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Antonius Sudirman, Hati nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan

dari Persfektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim bismar Siregar, Citra Aditya Bakti, Bandung.

E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan kesepuluh, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1983.

______, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV. Penerbitan Dan balai Buku Indonesia, Jakarta, 1953 .

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan, 2006.

Herman Bakir, Kastil Teori Hukum, PT. Indeks kelompok Gramedia, Jakarta, 2005.

J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.


(4)

M.Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, kasasi dan Peninjauan Kembali.Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct), Kode Etik Hakim Dan Makalah Berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006.

Mulyana W. Kusuma, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis, Alumni, bandung, 1981.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009.

Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2005.

M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Keempat, 1993.

______, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001. Valerine J.L.K, Metode Penelitian Hukum (Kumpulan Bahan Bacaan Untuk

Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum), Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta,2009.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967.


(5)

B.Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No 48 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Wet Algemene Bepalingan (wAB).

Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 5/1959 tanggal 20 April 1959. Surat Edaran Mahkamah AgungNo.I/1962 tanggal 7 Maret 1962. Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 15/KMA/SK/XIII/2007.

C.Artikel

Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama, Makalah disampaikan pada acara Rakemas Mahkamah Agung RI tanggal 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Abdul Rifai Siregar, Suatu Tinjaun Terhadap Penerapan Dissenting Opinion Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan

Cut Asmaul Husna, Penemuan dan Pembentukan Hukum “The Living Law” Melalui Putusan Hakim, Makalah, Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Aceh.


(6)

Dissenting opinions in the Supreme Courts of the Member States, Jurnal, 2014.

H.Insyafli, Ikhtisar Permusyawarah Majelis Haki

Kusnu Goesniadhie S, Prinsip Pengawasan Independensi Hakim, Jurnal Hukum No. 3 VOL 14 Juli 2007.

Mohammad Fajrul Falaakh, Transparansi dan Akuntabilitas Yudikatif di Indonesia, Materi Pelatihan HAM bagi Jejaring Komisi Yudisial (Denpasar, 22 – 26 Juni 2010 dan Bandung, 29Juni -3 Juli 2010). Diselenggarakan oleh PUSHAM UII bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR).

Putra Akbar Saleh,Tinjauan Yuridi Terhadap Putusan Hakim Yang Mengabaikan Bukti Keterangan Saksi Di Dalam Persidangan, Buletin Le et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mart/2013.

Sunarmi, Dissenting Opinion Sebagai Wujud Transparansi Dalam Putusan Peradilan, Jurnal Equality, Vol 12 No.2 Agustus 2007.

Tata Wijaya dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat Dalam Putusan-Putusan Di Penagdilan Negeri Yogyakarta dan Penagdilan Negeri Sleman, Mimbar Hukum Volume 2, Nomor 1, Februari 2011.