Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil

(1)

BAB II

Konsepsi Dissenting opinion dalam Putusan Pengadilan

C.Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan 5. Proses pembuatan putusan pengadilan

Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut hakim harus meyakini apakah seseorang terdakwa telah melakukan tindak pidana atau tidak. Setelah menerima dan memeriksa perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.17

Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana (vrijspraak), dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsverloging), dalam hal

17

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Keempat, 1993, hlm. 174.


(2)

perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi

perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.18

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah hukum (legal problem identification), memecahkan masalah (legal problems solving), dan mengambil putusan (decision making).19

Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu Pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi; Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan struktur

Oleh karena itu, dibutuhkan penalaran hukum dalam pembuatan putusan sehingga dapat menyelesaikan masalah hukum tersebut.

18

Pasal 191 ayat (1) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Pasal 191 ayat (2) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”.

Pasal 191 ayat (3) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

19

Sudikno Mertokusumo, Pendidikan Hukum Di Indonesia dan Sorotannya, (dalam) M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 86.


(3)

aturan yang koheren. Keempat, menghubungan struktur aturan dengan

struktur kasus.Kelima, mencari alternatif penyelesaian yang

mungkin.Keenam, menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk

kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.20

Dalam pandangan Herman Bakir proses pembuatan putusan merupakan prosedur yang sangat riil teoritikal dan ilmiah, sehingga kita dapat melihat situasi kedekatam relasional antara subjek interpretator (hakim), fakta dan kaidah hukum terjalin. Menurut pandangan beliau ada

beberapa fase dalam pembuatan putusan tersebut, antara lain:21

a) Fase perumusan masalah-masalah yuridik.

Pada fase ini perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi interpretator dalam hal ini berangakat dari asumsi bahwa, sengketa-sengketa yuridik adalah masalah yang berderajat ‘amenable’ yaitu dapat dipertanggungjawabkan atau dapat diterima untuk diterapkan metode-metode interpretasi, bahwa masalah yuridik adalah masalah ‘resolvable’ yaitu dapat dipecahkan, dan yang terakhir bahwa hukum adalah sesuatu yang majemuk (sehingga hakim bebas menetapkan metode mana yang akan dipakai).

b) Fase penetapan faktor-faktor yang mendukung fase perumusan masalah dengan jalan mengompilasikan fakta-fakta.

20

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam konteks KeIndonesiaan, (dalam) M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 87.

21

Herman Bakir, Kastil Teori Hukum, PT. Indeks kelompok Gramedia, Jakarta, 2005, hlm.66-72.


(4)

Dalam tahap ini, hakim dituntut memperlakukan fakta-fakta.Pentingnya fakta-fakta dalam hal interpretasi sering tidak memperoleh tanggapan yang memadai dari banyak interpretator, padahal fakta-fakta inilah yang pada gilirannya diasumsikan sebagai penyebab dari terjadinya peristiwa yang menimbulkan problema hukum itu. Dengan mendasarkan diri pada situasi problematik, si interpretator akan melakukan pendekatan pada fakta, yang artinya ia akan mulai menginventarisasi dan mengompilasi fakta-fakta dengan selengkap mungkin. Setiap masalah selalu akan menampilkan dirinya dalam bentuk fakta-fakta, fakta-fakta itu mesti dipaparkan secara skematis (sejelas mungkin). Interpretasi aturan hukum itu pada dasarnya berkenaan dengan penilaian atas kaidah-kaidah itu dapat diterapkan pada kejadian konkrit, maka terlebih dahulu ditetapkan apa yang sesungguhnya harus dirumuskan sebagai situasi faktual, apa yang dari situasi faktual itu dapat dipandang relevan secara yuridik.

c) Fase klasifikasi atau identifikasi sumber hukum yang aplikabel

Sumber hukum akan diklasifikasi dan diidentifikasi yang dianggap paling aplikabel diantara keseluruhannya. Sumber penemuan hukum tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.

d) Fase analisis atas sumber-sumber hukum.

Analisis ini dilakukan untuk menetapkan aturan hukum mana yang mau disorotatas situasi problematik yang terjadi, sumber hukum mana


(5)

yang sebetulnya paling aplikabel (yang paling mungkin diterapkan). Dalam fase ini si interpretator menemukan aspek kebijakan (policies) yang melandasi aturan-aturan hukum tersebut, dan menemukan tujuan kemasyarakatan dari aturan-aturan tersebut. Ketika muncul persoalan dimana terdapat lebih dari satu aturan hukum maka si interpretator akan mensintetisasi aturan-aturan hukum yang aplikabel kedalam struktur-struktur yang koheren supaya jangan selalu bertentangan diantaranya. Bahwa aturan yang spesifik ditempatkan dibawah aturan yang general, supaya jelas yang mana termasuk kelompok kaidah yang lebih umum dan yang mana kelompok kaidah yang lebih spesifik. Sehingga ketika terjadi pertentangan maka akan lebih mudah untuk menetapkan mana yang bisa dikesampingkan (diderogasi) dan mana yang akan dimajukan.

e) Fase analisis dan kualifikasi atas fakta-fakta yang diperoleh.

Pada fase ini fakta-fakta akan ditampilkan untuk diuraikan dan distrukturkan atau dikonstruksi sehingga menjadi jelas format konspirasi fakta-fakta yang membentuk peristiwa hukum. Dengan begitu aturan hukumnya dapat disesuaikan dengan peristiwa hukumnya.

f) Fase mempersiapkan metode-metode interpretasi

Ketika interpretator telah menelusuri atau setidaknya pada pendekatan terhadap masalah yang sedang dihadapi sudah menetapkan kaidah-kaidah hukum mana saja yang akan diterapkan pada suatu fakta-fakta. Pada tahap ini si interpretator dituntut untuk menggali dan menganalisis kedalam aturan-aturan tertentu, menentukan luas sempitnya


(6)

wilayah jangkauan, terapan dan kaidah-kaidah hukum yang dikonfrontasinya. Selain itu interpretator bebas menetapkan pilihan metode interpretasi apa yang akan dipakai, atau sama sekali ia hanya bersandar pada penilaian kelayakan semata, yang merujuk pada ‘appeal to emotion’ atau ‘apple to reason’, pada dasarnya hal tersebut diperbolehkan. Dalam hal ini, hakim telah dilimpahkan otonomitas atau kemerdekaan yang sedemikian luas,

g) Fase memformulasikan dalam bentuk klaim yuridik (statement, proposisi kaidah).

Pada fase ini si interpretator berusaha menerapkan struktur aturan-aturan tersebut yang telah disintetiskan pada fase ketiga dan keempat, dan pada fakta-fakta relevan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban dengan mengacu pada kebijakan yang melandasi aturan-aturan tersebut.Kebijakan ini sangat penting dalam menginpretasikan terutama pada waktu melaksanakan aturan itu kedalam situasi konkrit.

Hal ini dapat berupa requisitor (putusan hukum dari jaksa yang belum mempunyai kekuatan mengikat) dalam perkara pidana, Pledoi (pembelaan) dari para pihak dalam pidana, semua hal tersebut merupakan putusan hukum dari para pihak yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya vonis.


(7)

h) Motivering (pengajuan alasan atau pertimbangan)

Bagian ini merupakan posisi sentral dalam upaya pertanggungjawaban dan presentasi putusan yang akan ditetapkan dari seluruh fase yang digelar dalam interpretasi.

Menurut Moelyatno terdapat beberapa tahapan dalam penjatuhan putusan, antara lain tahap menganalisis perbuatan pidana, tahap

menganalisis tanggungjawab pidana, dan tahap penentuan pemidanaan.22

a) Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana.

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat tersebut. Maka perbuatan pidana secara mutlak harus mengandung unsur formil dan unsur materiil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum (rechtwirdigkeit).

Dalam menganalisis suatu tindak pidana, hakim menganalisis unsur tindak pidana, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.Unsur subjektif menyangkut orangnya, atau pelakunya yang dirumuskan dalam KUHP dengan kata-kata barang siapa, sedangkan unsur objektifnya dirumuskan dalam unsur batas pengertian suatu delik.

b) Tahap menganalisis tanggungjawab pidana.

22

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (dalam) Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oelh


(8)

Unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut selanjutnya dianalisis hakim guna mengetahui apakah pelaku dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.Dalam analisis ini, dapat dipidannya seseorang harus memenuhi dua syarat yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan.

Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana untuk membuktikan adanya penggaran pidana yang dilakukan oleh

terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:23

1) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).

2) Diatas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab.

3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan.

4) Tidak ada alasan pemaaf.

c) Tahap Penentuan Pemidanaan.

Berangkat dari keyakinan hakim bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga dia dinyatakan bersalah atas perbuatannya dengan meminta pertanggungjawaban si pelaku. Selanjutnya hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku. Terkait beban pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam KUHP, dimana dalam KUHP telah mengatur pemidanaan maksimal yang

23


(9)

dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.Hal inilah sebagai bentuk kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya.

Menurut H. Taufiq, Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan

dan penerapan hukum yaitu:24

a) Tehnik Analitik.

Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum acara secara lengkap. Dalam pertimbangan hukum, hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut. b) Tehnik Equatable.

Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat bukti yang diajukan.Apabila alat-alat bukti itu telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).

c) Tehnik Silogisme.

Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini

24


(10)

umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan hukumnya, dan premis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio.Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.Proses tahapan-tahapan metodologi ini sebagai berikut:

1) Perumusan masalah atau pokok sengketa

Perumusan masalah dari suatu perkara dapat disimpulkan dari informasi baik dari jaksa penuntut umum maupun dari penasehat hukum. Dari persidangan tahap inilah hakim yang memeriksa perkara tersebut memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang diperkarakan oleh para pihak. Peristiwa inilah yang merupakan pokok masalah dalam suatu perkara. Perumusan pokok masalah dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari proses tersebut. Kalau pokok masalah sudah salah rumusannya, maka proses selanjutnya juga akan salah.


(11)

2) Pengumpulan data dalam proses pembuktian.

Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk diolah guna rnenemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang dianggap salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya.

3) Analisa data untuk menemukan fakta.

Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat dan benar. Menurut Black's Law Dictionary sebagaimana yang ditulis oleh H. Taufiq

“fakta adalah kegiatan yang dilaksanakan atau sesuatu yang dikerjakan, atau kejadian yang sedang berlangsung, atau kejadian yang benar-benar telah terwujud, atau kejadian yang telah terwujud dalam waktu, dan ruang atau peristiwa fisik atau mental yang telah menjelma dalam ruang”.

Jadi fakta itu dapat berupa keadaan suatu benda, gerakan, kejadian, atau kualitas sesuatu yang benar-benar ada.Fakta bisa berbentuk eksistensi suatu benda, atau kejadian yang benar-benar wujud dalam kenyataan, ruang, dan waktu.Fakta berbeda dengan angan-angan, fiksi dan pendapat seseorang.Fakta ditentukan berdasarkan pembuktian.Fakta berbeda dengan hukum, hukum merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian.Fakta ditemukan dari pembuktian suatu peristiwa dengan mendengarkan


(12)

keterangan para saksi dan para ahli.Fakta ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks, ada yang ditemukan dengan hanya dari keterangan para saksi, tetapi ada juga yang harus ditemukan dengan penalaran dari beberapa fakta

4) Penentuan hukum dan penerapannya.

Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim menemukan dan menerapkan hukumnya.Menemukan hukum tidak hanya sekadar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan hukumnya untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang konkrit.Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan.Untuk menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit.Jika peristiwa konkrit itu telah ditemukan hukumnya maka langsung menerapkan hukum tersebut, jika tidak ditemukan hukumnya maka hakim harus mengadakan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Sekiranya interpretasi tidak dapat dilakukannya maka ia harus mengadakan konstruksi hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas.


(13)

5) Pengambilan keputusan.

Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang disebut dengan putusan. Hasil proses sebagaimana yang telah diuraikan di atas, para hakim yang menyidangkan suatu perkara menuangkannya dalam bentuk tulisan yang disebut dengan putusan. Putusan tersebut merupakan suatu penulisan argumentatif dengan format yang telah ditentukan undang-undang.Dengan dibuat putusan tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran peristiwa hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan secara tepat dalam perkara yang diadili tersebut.

6. Teori pembuatan putusan

Teori pembuatan putusan sangat relevan dengan tugas hakim dalam membuat putusan di pengadilan.Putusan tersebut bertujuan untuk menentukan bersalah tidaknya terdakwa yang diajukan ke muka persidangan.Di samping itu juga untuk menentukan sanksi pidana yang diterima oleh terdakwa jika sudah terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana.

Dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana maka hakim dapat menggunakan beberapa teori pembuatan putusan pidana seperti halnya teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan institusi, teori pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman, teori ratio decidensi, danteori kebijaksanaan.


(14)

Menurut pendapat Mackenzie sebagaimana diutip oleh Ahmad Rifai

dalam bukunya25

a. Teori Keseimbangan

, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan pembuatan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan atau yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban.

Dalam praktik peradilan pidana keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang memberatkan dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal yang meringankan.Pertimbangan terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa.

b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi.

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim dengan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana baik terdakwa maupun penuntut

25


(15)

umum.Pendekatan seni ini digunakan hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau instuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

Dalam praktik peradilan, teori ini digunakan hakim dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dengan memperhatikan sistem pembuktian yang dianut yaitu minimum dua alat bukti dan harus disertai keyakinan hakim.Keyakinan hakim pada dasarnya bersifat subjektif yang hanya didasarkan kepada naluri hakim saja. Disatu sisi kita menyadari bahwa hakim merupakan manusia biasa seperti manusia pada umumnya yang terdiri atas jasmani dan rohani yang adakalanya menempatkan naluri pada posisi yang kurang benar, sehingga dikuatirkan akan terjadi kekeliruan atau kesesatan dalam putusan yang dijatuhkan hakim, sehingga akan menjadi putusan yang salah atau sesat yang dapat menimbulkan polemik dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati dalam menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan pada seni dan instuisi semata dari hakim sendiri.

c. Teori Pendekatan Keilmuan.

Teori ini didasarkan kepada pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan sejenis peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata,


(16)

tetapi harus dilengkapi dnegan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.Oleh karena itu, hakim harus dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu pengetahuan non hukum lainnya, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh hakim.

Dalam teori ini, kemandirian hakim dalam menguasai berbagai teori dalam ilmu hukum maupun non hukum sangat diperlukan untuk membuat putusan yang mencerminkan cita hukum itu sendiri. Dalam persidangan, hakim sering meminta keterangan para ahli yang berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi dari suatu perkara yang diiajukan kepadanya untuk didengar keterangannya di depan persidangan. Dari keterangan ahli tersebutlah, hakim dapat menambah pemahaman terkait perkara yang sedang diperiksa untuk selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan. d. Teori Pendekatan Pengalaman.

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang sangat membantu dalam menghadapi perkara yang dihadapi.Melalui pengalaman yang dimilikinya, hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara baik yang berkaitan dengan pelaku,


(17)

korban, maupun masyarakat secara umum sebagai akibat yang ditimbulkan penjatuhan putusan tersebut.

Pengalaman hakim merupakan bekal yang bagi para hakim dalam bersikap professional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya yang mendorong hakim untuk lebih berhati-hati dalam menjatuhkan putusan.

e. Teori Ratio Decidendi.

Selain teori yang telah dikemukakan diatas, dikenal juga suatu teori yang disebut sebagai teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasarkan dan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan.

Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara dipengadilan anak.Landasan dari teori ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta nilai kekeluargaan harus ditanam, dipupuk dan dibina.Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, dan melindungi anak,


(18)

agar kelak dapat menajdi manusia yang berguna bagi keluarga,

masyarakat dan bagi bangsanya.26

1) Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman sutau kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya.

Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan yang pertama, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, yang kedua sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana, yang ketiga untuk memupuk solidaritas antara keluarga dnegan masyarakat dalam rangka membina dan memelihara dan mendidik pelaku tindak pidana anak, dan keempat sebagai pencegahan umum dan khusus.

Menurut Ahmad Rifai, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yatu sebagai berikut:

2) Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari.

3) Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya.

4) Memeprsiapkan mental amsyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

26

Made Sadhi Astuti, Pemidanaan anak sebagai Pelaku Tindak Pidana, (dalam) Ahmad Rifai, hlm. 112.


(19)

Teori penjatuhan pidana sebagaimana dikemukan oleh Made tersebut pada dasarnya lebih ditujukan pada penjatuhan putusan dalam perkara anak akan tetapi makna kebijaksanaan dalam teori ini dapat juga dipergunakan dalam penjatuhan putusan terhadap perkara pidana lainnya. Melalui kebijaksanaan hakim dapat menemukan hukum yang berdimensi substantif dengan mengelaborasinya dengan wawasan pengetahuan yang luas, intuisi yang tajam dan peka, pengalaman yang luas serta etika dan moralitas yang baik dan terjaga dari pengaruh buruk.

7. Aspek yang terkandung dalam putusan

Dalam pedoman perilaku (code of conduct) hakim yang dikeluarkan Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice),

keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).27

Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator undang-undang harus memahami undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.Hakim harus menilai apakah undang-undang tersebut adil, bermanfaat, atau memberikan kepastian hukum jika

27

Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct), Kode Etik Hakim Dan Makalah Berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006, hlm. 2.


(20)

ditegakkan sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan.

Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis memuat pertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dimasyarakat.Penerapan aspek filosofis dan sosiologis harus mampu mengikuti perkembangan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat.Pencantuman ketiga aspek tersebut sebagai upaya penegakan nilai keadilan dan dapat diterima oleh masyarakat.

Dalam ketiga aspek tersebut harus terkandung tujuan dari hukum yang dalam pandangan Achmad Ali dapat diklasifikasikan kedalam tiga tujuan hukum, yaitu:

1) Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.

2) Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptkan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat.

3) Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.

Pandangan yang menggap bahwa tujuan hukum semata-mata hanyalah keadilan belaka menuai pertentangan karena keadilan sebagai sesuatu yang abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan ada pula yang melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi pelaksanaan


(21)

hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan. Aliran etis dapat dianggap sebagai morai idea atau ajaran moral teoritis.Penganut aliran

ini ialah Aristoteles, Justianus, Eugen Erlich.28

Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh para penganutnya, yaitu diantaranya Jeremy Bentham, James Mill, Jhon Stuart Mill.Bahkan Bentham berpendapat bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.Kemudian menurut Jhon Rawls dengan teorinya yang disebut teori Rawls atau Justice as Fairness (keadilan sebagai kejujuran) menyatakan bahwa hukum itu haruslah menciptakan masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the greatest happiness of the greatest number people).29

Aliran normatif yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada positivistis yang beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam hal ini untuk sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran ini selanjutnya, walaupun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan

28

Ibid.,hlm. 86.

29


(22)

manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal tersebut tidaklah

menjadi masalah, asalkan kepastian hukum dapat ditegakkan.30

Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkrit dan tidak boleh ada penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus). Kepastian hukum memberikan perlindungan kepada yustisiabel dari tindakaan sewwenang-wenang pihak lain dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban dalam

masyarakat.31

Hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum.Jangan sampai terjadi dalam pelaksanaan dan penegakan hukum timbul keresahan dalam

masyarakat.32

Selain itu masyarakat juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan atau penegakan hukum itu, memperhatikan nilai-nilai keadilan.Akan tetapi, harus diingat bahwa hukum itu tidak identik dengan keadilan, karena hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, dan bersifat menyamaratakan atau tidak membeda-bedakan keadaan, status ataupun perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Bagi hukum, setiap kejahatan oleh pelaku tindak pidana atau pelanggaran hukum oleh pihak yang berperkara, maka dijatuhkan pidana yang sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal dalam

30

Ibid., hlm. 94.

31

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Op.cit.,hlm. 2. 32


(23)

undang, sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan

keadian moral atau keadilan masyarakat.33

Tujuan hukum tersebut pada dasarnya sama dengan yang diungkapkan oleh Gustav Radbruch sebagai tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Selanjutnya Radbruch mengajarkan penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan yang terakhir nilai

kepastian hukum.34

Hakim dalam memutus perkara secara kasuistis selalu dihadapkan pada ketiga asas tersebut, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan. Sebagaimana menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi yaitu dengan cara

menerapkannya secara seimbang atau proporsional.35

Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.jika diibaratkan dalam sebuah garis hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu berdiri pada titik

Sehingga tidak perlu mengikuti asas prioritas sebagaimana yang diungkapkan oleh Radbruch, tetapi seharusnya mengikuti asas prioritas yang kasuistis atau sesuai dnegan kasus yang dihadapi.

33

Ibid., hlm. 2.

34

Ibid., hlm 96.

35


(24)

keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri

berada diantara keduanya.36

Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah pada asas kepastian hukum, maka otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya jika hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah pada keadilan, makas secara otomatis hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas-batas kebebasan hakim, dimana hakim hanya dapat bergerak diantara dua titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di titik keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam memeriksa

dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.37

Penekanan terhadap asas kepastian hukum lebih cenderung mempertahankan norma-norma hukum tertulis, pola berpikir seperti ini akan mengalami kendala pada saat ketentuan tertulis dapat menjawab persoalan yang diajukan kepada hakim, sehingga dalam posisi seperti itu hakim harus menemukan hukum untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Penekanan Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas, asas yang terkandung dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang diperiksa.

36

Ahmad Rifai, Op.cit.,hlm. 132. 37

Lontung O. Siahaan, Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan

Hukum pada Era Reformasi dan Transformasi, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke XXI


(25)

terhadap asas ini lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan

ketertiban masyarakat.38

Selain keadilan hukum yang hendak diwujudkan dikenal juga keadilan moral dan keadilan sosial yang harus diterapkan hakim.Dalam pelaksanaan Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada pemenuhan tujuan hukum bagi masyarakat banyak.

Penekanan pada asas keadilan maka hakim harus mempertimbangkan hukum yang hidup dimasyarakat.Putusan hakim harus mampu mengakomodir rasa keadilan individu, kelompok, masyarakat yang belum tentu sama dengan masyarakat lainnya.

Dalam aspek tersebut harus terkandung nilai keadilan hukum yaitu keadilan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.Dalam arti hakim hanya memutuskan perkara hanya berdasarkan hukum positif yang berlaku.Keadilan seperti ini disebut dengan keadilan berdasarkan aliran legalistic positivism.Dalam menegakkan keadilan ini hakim atau pengadilan hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber hukum diluar hukum tertulis dan hakim hanya dipandang menerapkan undang-undang pada setiap perkara konkrit. Dengan kata lain hakim merupkan corong undang-undang.

Keadilan hukum yang berdasarkan undang-undang pada dasarnya berlaku pada kondisi tertentu, hal ini tidak berlaku ketika terjadi perubahan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat atau terjadi dinamika sosial yang mengakibatkan pemahaman tentang keadilan mengalami pergeseran.

38


(26)

tugas dan wewenang seorang hakim dipandang perlu menegakkan nilai kebenaran dan keadilan dengan berpegang kepada hukum undang-undang, nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.Dalam diri hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan ketidakadilan, maka hakim berkewajiban berpihak kepada keadilan moral dan mengenyampingkan hukum dan peraturan perundang-undangan.Karena hukum yang baik adalah hukum yang bersesuaian dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang merupakan cerminan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.Keadilan yang dimaksud disini bukan merupakan keadilan proseduril melainkan keadilan substantif.

Menurut Daniel S.Lev keadilan menggunakan istilah proseduril dan substantif.Sedangkan Schuyt menggunakan istilah formil dan materiil.Keadilan proseduril diartikan sebagai keadilan yang didapatkan dari putusan-putusan lembaga resmi yang dibentuk menurut undang-undnag negara termasuk putusan pengadilan.Sedangkan keadilan substantif menyangkut hak-hak sosial serta menandai penataan politik, ekonomi dalam

masyarakat.39

Dalam penerapannya dimasyarakat, tuntutan masyarakat lebih menekankan pada penegakan keadilan substantif dibandingkan keadilan proseduril. Hal ini sejalan dengan pandangan para penganut hukum moralitas yang mengkehendaki penegakan prinsip kebajikan dan moralitas.

39

Mulyana W. Kusuma, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman


(27)

Karena menurut pandangan ini, hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip moralitas bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas boleh atau bisa tidak ditaati berdasarkan suatu hak moral (moral right).

Selain memperhatikan aspek substantif seperti aspek yuridis, filosofis dan sosiologis, putusan hakim juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP. Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2), dapat mengakibatkan putasan batal demi hukum.Suatu putusan yang batal demi hukum mengakibatkan mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolah-olah terdakwa tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana. Kedudukan terdakwa pulih dalam keadaan semula sebelum ia diperiksa dan didakwa. Demikian fatalnya akibat yang akan dialami oleh putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 197 ayat (1). Putusan yang dijatuhkan, tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan tidak mempunyai kekuatan daya eksekusi.Putusan yang batal demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh penuntut umum, karena putusan itu

sendiri tidak mempunyai akibat hukum.40

1) Putusan pemidanaan harus memuat semua ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP. Putusan pemidanaan akan terhindar dari ancaman batal demi hukum sebagaimana yang diancam pasal 197 ayat (2), apabila putusan memuat semua ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP.

Hal tersebut dapat dilihat dalam:

40

M.Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, kasasi dan Peninjauan Kembali.Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,


(28)

a) Berkepala: Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan falsafah yang dianut penegakan hukum yang dicita-citakan bangsa Indonesia keadilan berdasarkan ketuhanan,artinya hukuman atau putusan yang dijatuhkan bukan berdasarkan kehendak hakim atau undnag-undnag maupun penguasa, akan tetapi sekaligus dalam upaya penegakan hukumitu tersirat kehendak Tuhan.

b) Identitas terdakwa, identitas meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. Huruf b menentukan agar dalam putusan jelas dan terang diuraikan identitas terdakwa, guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yangs sedang diadili. Oleh karena itu, identitas yang tertera dalam putusan harus sama dengan identitas yang tertera dalam berita acara persidangan.

c) Dakwaan, dalam putusan memuat seluruh isi surat dakwaan yang

dibuat penuntut umum yang terdapat dalam surat dakwaan. Dakwaan yang terdapat dalam surat dakwaan diambil alih secara keseluruhan kedalam putusan secara keseluruhan sesuai yang diuraikan penuntut umum. Hal ini sesuai dengan pasal 197 ayat (1) huruf c.

d) Pertimbangan yang lengkap, fakta dan keadaan harus diuraikan jelas sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Karena landasan yang digunakan dalam menentukan berat


(29)

ringannya hukuman pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa tidak terlepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau meringankan si terdakwa.Pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaaan di sidang yang menjadi dasar penentuankesalahan terdakwa juga harus dimuat secara lengkap. Pembuktian tersebut akan dipertimbangankan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang mendukung kesimpulan pertimbangan hakim.

e) Tuntutan pidana penuntut umum. Setelah uraian dakwaan maka

dimuat ketentuan tuntutan pidana. Argumentasi fakta dan alat pembuktian dikonfrontir oleh hakim dengan argumentasi tuntutan pidana penuntut umum dan pembelaan terdakwa, konfrontasi semua argumentasi ini yang harus jelas terbaca dalam putusan hukum.

f) Putusan undang-undang yang menjadi dasar pertimbangan. Menurut

ketentuan ini, putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah hakim. Hal ini memuat

tanggal hari pemusyawaratan dan tanggal hari pengucapan pengumuman putusan.

h) Pernyataan kesalahan terdakwa berupa penegasan telah terpenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan tindak pidana disertai


(30)

dengan kualifikasi dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan. Biasanya pernyataan yang disebut pada huruf h ini dicantumkan dalam amar putusan.

i) Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti. Ketentuan

yang dimuat dalam huruf i menyangkut dua ketentuan yang berhubungan dengan pembebanan biaya perkara dan besarnya biaya perkara dan mengenai alat bukti serta cara pengembalian barang bukti, pemusnahan maupun perampasan barang bukti tersebut.

j) Penjelasan tentang surat palsu, jika dalam persidangan ditemukan

surat palsu maka akan dijelaskan dalam putusan.

k) Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan. Hal ini dimuat sebagai upaya mencegah terjadinya kelalaian hakim yang berakibat putusan batal demi hukum.

l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang

menuntut dan panitera. Hal ini ditempatkan sesudah amar putusan.

8. Tehnik Pengambilan Putusan

Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan dan penerapan hukum yaitu:

a. Tehnik Analitik.

Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum acara secara lengkap.Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat


(31)

khusus, lalu ditarik kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan deduktif).Dalam pertimbangan hukum, hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut.

b. Tehnik Equatable.

Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat.Apabila alat-alat bukti itu telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian mencari hukumnya.

c. Tehnik Silogisme.

Tehnik ini paling banyak dipakai oleh hakim karena ia sederhana dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan hukumnya, dan primis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio.Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat


(32)

bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.

D.Konsepsi Dissenting Opinion

4. Sejarah Penerapan Konsep Dissenting Opinion

Konsep dissenting opinion pada dasarnya terbentuk tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut oleh kekuasaan peradilan suatu negara. Konsep ini lebih dahulu dikenal dalam tradisi hukum common law system yang dianut oleh negara-negara anglo saxon. Dalam sistem common law putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum.Melalui putusan-putusan tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang lainnya juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.

Peraturan dan segala putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh karena itu, hakim memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara sejenis.Hal inilah yang disebut dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim terikat pada sistem hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari


(33)

perkara-perkara sejenis.41

Konsep dissenting opinion yang dianut oleh negara Indonesia juga tidak terlepas dari sistem hukum eropa kontinental, sistem ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus.Kodifikasi ini merupakan kumpulan dari

Namun apabila dalam yurisprudensi tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.

Berangkat dari konsep hukum yang ditetapkan dalam sistem hukum common law, maka setiap putusan hakim harus menjelaskan pertimbangan dan argumentasi pengambilan keputusan, sehingga hakim-hakim yang akan datang dapat memahami jalan berpikir dari hakim-hakim terdahulu yang akan mengikat menjadi preseden. Dengan kata lain hakim harus memberikan alasan atau pertimbangan mengapa satu keputusan dipilih mengingat ada sejumlah alternatif lain yang tersedia, demikian pula bila ada perbedaan pendapat, seorang hakim harus memberikan pertimbangan yang melandasi ketidaksetujuannya dengan pandangan koleganya.

Dalam sistem ini, putusan hakim tidak dipresentasikan sebagai pandangan atau opini bersama, olehnya tidak ada keharusan bagi hakim untuk memaparkan argumentasi dari penalaran yang diambilnya, hanya argumentasi yang terpenting saja yang dikemukakan yang disebut ‘apodictish’, sedangkan argumentasi dari suara minoritas tidak dimuat.

41

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm.184.


(34)

berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut dengan Corvus Juris Civilis.Corvus Juris Civilis dijadikan sebagai dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum.

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa.

Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom. Hal ini berdampak terhadap pergeseran dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan (einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi pergeseran pola berpikir yang mengacu kepada sistem (systeemdenken) kearah berpikir mengacu kepada


(35)

masalah (problem oriented).42

Pergeseran ini didasarkan kepada dinamika sosial yang terjadi, antara lain:Pertama, undang-undang bersifat langsung konservatif. Dalam penerapannya di masyarakat dihadapkan kepada kenyataan bahwa undang-undang yang dibuat dan diundang-undangkan langsung bersifat konserfatif, karena segera menjadi rumusan huruf mati dan langsung menjadi statis ketika berhadapan dengan perubahan sosial yang terus berjalan. Disisi lain dalam kehidupan sosial yang mengalami perubahan, ekonomi, dan moral berpacu mengalami perubahan persfektif (the social, economic, and moral almost change their persfektif).

membuka ruang kepada hakim untuk membentuk hukum ‘judge made law’.

43

Kedua, pada dasarnya tidak ada satupun undang-undang yang sempurna.Pada saat undang-undang dibuat orang berpendapat bahwa undang-undang tersebut baik dan sempurna. Akan tetapi ketika dinamika sosial yang bersifat konkrit terjadi yang tidak terpikirkan pada saat perumusan undang tersebut antara lain berupa rumusan

undang-Untuk mengakomodir dinamika sosial tersebut, hakim berwenang untuk mengaktualkan penerapan undang-undang yang dibuat oleh parlemen dengan tujuan agar hukum atau undang-undang yang dibuat dapat mengikuti perubahan dan perkembangan masyarakat dan mentransformasikan nilai-nilai dan kebutuhan perkembangan sosial, ekonomi, budaya, dan moral yang terjadi sehingga dapat berfungsi sebagai hukum yang hidup (living law).

42

Ibid. Hlm. 210.

43

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm 209.


(36)

undang sering kali sulit dipahami (elusive term); tidak jelas artinya (unclear term); kabur dan samar (vague outline); atau mengandung pengertian yang ambiguitas (ambiquity) hal ini dapat menghambat penemuan kebenaran materiil. Selain itu undang-undang mungkin bertentangan dengan konstitusi (unconstitusional) atau bisa melanggar atau mengancam hak asasi manusia; atau isinya bertentangan dengan akal sehat (contrary to common sense); dan adakalanya pula ketentuan undang-undang menimbulkan akibat yang tidak layak karena undang-undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Paul Scholten yang

mengemukakan bahwa:44

a) Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah

sebelum badan pembuat undnag-undang mengubahnya. Artinya, undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada.

b) Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan dalam hukum, yaitu: 1) Kekosongan hukum sendiri, yaitu jika hakim mengatakan bahwa ia

menemukan suatu kekosongan karena ia tidak mengetahui bagaimana ia harus memberi putusannya.

2) Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu dengan konstruksi hukum dan penalaran logispun, problemnya masih tetap tidak

44

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Pratama, Jakarta, hlm. 164.


(37)

terpecahkan, dalam hal itu harus mengisi kekosongan ini seperti ia berada pada kedudukan sebagai pembuat undang-undang dan memberi putusannya seperti halnya jika pembuat undang-undang itu akan memberikan putusannya dalam menghadapi kasus seperti itu. Berangkat dari gagasan perlunya penerapan dissenting opinion dalam putusan hakim maka pembahasan materi Rancangan Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 memuat penambahan substansi baru mengenai “Pendapat hakim yang berbeda” (dissenting opinion). Adapun pertimbangan dimasukkannya substansi ini adalah “…Dalam rangka pengawasan intern di lingkungan peradilan sebagai langkah mendapatkan hakim yang berkualitas, bermoral, dan berdedikasi tinggi dalam melaksanakan tugasnya, dan dalam rangka pengawasan ekstern yaitu agar masyarakat mengerti mengenai putusan perkara yang diberikan kepadanya berdasarkan pertimbangan atau pendapat tertulis yang diberikan oleh hakim yang memeriksa perkara dalam sidang pengadilan”.

Rumusan ini merupakan terobosan baru untuk menguatkan konsep dissenting opinion dalam sistem peradilan di Indonesia, mengingat tugas hakim yang sangat kompleks dalam menemukan kebenaran materiil agar dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Sebagaimana yang dimuat dalam pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang


(38)

Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dengan demikian, terdapat kewajiban bagi para hakim untuk tidak menolak setiap perkara yang diajukan ke pengadilan.

Sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana jika dalam sidang permusyawaratan majelis hakim tidak tercapai mufakat, maka para anggota majelis hakim yang berbeda pendapat dengan hasil rapat permusyarakatan hakim, wajib dimuat dalam putusan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan tersebut.

Penerapan konsep dissenting opinion dalam sistem hukum Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Dalam Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)45

45

Pasal 182 ayat (5) KUHAP “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya”.

Pasal 182 ayat (6) KUHAP “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”.

Pasal 182 ayat (7) KUHAP “pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”.

mengatur bahwa suatu putusan pengadilan harus dilandasi suatu permufakatan bulat para anggota majelis hakim apabila dengan sungguh-sungguh permufakatan bulat tidak dapat dicapai maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak dengan tetap memperhatikan prinsip “yang paling menguntungkan


(39)

terdakwa”. Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP juga menegaskan bahwa hal itu dicatat dalam berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia.

Sifat kerahasiaan musyawarah hakim dalam pembuatan putusan pada dasarnya menutup kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui pendapat yang berkembang dalam musyawarah hakim, artinya dimungkinkan pendapat-pendapat yang dipandang lebih mendekati pada nilai kebenaran justru kalah dalam musyawarah tersebut. Mengenai hal ini, Utrecht mengatakan bahwa ada 3 sebab maka seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lainnya atas dasar: Pertama, alasan psikologis; Kedua, alasan praktis; Ketiga, alasan karena adanya kecocokan atau kesesuaian dengan perkara yang ditangani dengan perkara sebelumnya dan putusan telah diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang

dipandang dapat dipertanggungjawabkan.46

Disatu sisi kita meyakini bahwa pencantuman dissenting opinion pada dasarnya tidak bertentangan dengan sifat independensi kekuasaan kehakiman dan sifat kerahasiaan dari musyawarah hakim dalam memutus

Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pencantuman perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam forum musyawarah hakim dalam menentukan putusan justru jauh dari semangat independensi personal hakim dalam memberikan pendapat dalam rangka penegakan supremasi hukum di Indonesia khususnya dalam menciptakan peradilan yang terbuka dan transparan.

46

E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV.Penerbitan Dan balai Buku Indonesia, Jakarta, 1953, hlm.74.


(40)

perkara justru hal ini bersesuaian dengan semangat keterbukaan publik, transparansi dan akuntabilitas dalam rangka mengawal tegaknya sistem check and balance kekuasaan kehakiman.

Hal ini sesuai dengan konsep independensi yang diatur dalam undang-undang 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan milliter, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 4 (3) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas merumuskan bahwa : segala campur tangan dalam peradilan oleh pihak luar diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI Tahun 1945, disamping itu Hakim harus melaksanakan disiplin tinggi dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 215/KMA/SK/XIII/2007 Pasal 8 butir 2 yang berbunyi: “Hakim Berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan


(41)

hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan”.

5. Dinamika Penerapan Dissenting Opinion di Indonesia

Pengaturan perbedaan pendapat sudah diterapkan pada Pengadilan Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model pencantuman Dissenting opinion terpisah dari putusan. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. sehingga diperlukan penyeragaman model pencantuman dissenting opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang dissenting opinion tersebut.

6. Konsep Dissenting Opinion Di Berbagai Negara

Penerapan konsep dissenting opinion diberbagai negara pada dasarnya memiliki perbedaaan sesuai dengan tradisi hukum setempat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan institusi Europarl dalam jurnal penelitiannya mengemukakan terdapat 27 negara eropa yang menganut konsep dissenting opinion, sementara terdapat negara yang tidak menerapkan kosnep

tersebut.47

a. Belgia

Negara-negara tersebut antara lain:

Sistem peradilan Belgia terinspirasi oleh prinsip kerahasiaan musyawarahyang melarang publikasi pendapat individu. Pengadilan kasasi telah mengakui bahwa kerahasiaan musyawarah adalah prinsip

47

Dissenting opinions in the Supreme Courts of the Member States, Jurnal,


(42)

hukum Belgia danmenegaskan bahwa hakim wajib melestarikannya, bahwa setiappelanggaran rahasia tersebut, termasuk dengan menerbitkan pandanganindividu para hakim terkait putusan yang akan diambil dapat dihukumpidana.

b. Perancis

Sistem peradilan Perancis menganut prinsip kerahasiaan musyawarah yang secara eksplisit ditafsirkan dengan melarang publikasi perbedaan pendapat. Pengadilan Prancis mengakui bahwa prinsipkerahasiaan adalah prinsip umum hukum publikPrancis yang melarang publikasi keputusan bulat, karena ini akanmengakibatkan mengungkapkan suara individu masing-masinghakim dalam mengambil bagian dalam pembuatan putusan.

Pada prinsipnya musyawarah hakim mengikat tidak hanya padahakim biasa, tetapi juga pada hakim konstitusi yang bersumpah untukmenjagakerahasiaan pertimbangan dan penilaian dan tidak mempublikasikannya. Prinsip kerahasiaan musyawarah hakim konstitusi terakhir ini mengalami perdebatan luas denganmempertimbangkan perubahan konsep tersebut dalam praktek peradilan, sepanjang tidak berpotensi membahayakan otoritas, kredibilitas dan kolegialitas hakim. Dengan alasan perlu menjamin transparansi dan pertimbangan hukum yang lebih baik.


(43)

c. Italia

Italia mengikuti prinsip kerahasiaan pertimbangan dan pendapat hakim baik dipengadilan biasa maupun pengadilan konstitusi. Prinsip kerahasiaan secara tegasdiakui oleh hukum, baik di pengadilan perdata danpengadilan pidana, sehingga pelanggaran terhadap prinsip tersebut merupakan bagian dari kejahatan.Namun,sejak tahun 1988(ketika hukum baru tentang tanggung jawab perdata hakim diundangkan), maka prinsip itu mengalami pergeseran dimana pendapat yang berbeda dapat dicatat atas permintaan ingkartetapidalam pendapat berbeda tersebut disimpan dan disegel.

Prinsip yang sama berlaku padapengadilan kasasi dan Mahkamah Konstitusi. Keputusan untukmemperthankan konsep “kebulatan suara jelas” sudah dibahas berulang kali dalam bentuk draf RUU oleh parlemen negara tersebut sejak tahun 1990. Kebanyakan sarjanatampaknya mendukung pengenalan pendapat terpisah. Selain itu, beberapa amandemenaturan prosedur pengadilan telah menyebabkan kemungkinan secara tidaklangsung mengungkapkan pendapat berbeda dalam lingkup internmeskipun tidak disertai alasan.

d. Luksemburg

Sampai tahun 1997, judicial review tidak dikenal di Luksemburg, seperti pengadilan biasa telahmenolakgagasan bahwa mereka mungkin akandiizinkan untuk meninjau kompatibilitas hukum terhadapKonstitusi. Padatahun 1996 konstitusdirubah namun peradilan masih mengikuti


(44)

praktek tradisional kerahasiaanpertimbangan dan penilaian .Pada tahun 1997 Undang-UndangtentangMahkamah Konstitusi, pembahasan yang

terakhir membahas tentangkerahasiaan musyawrah

(Pasal12).Prinsiprahasia musyawarah, ditafsirkan sebagai upaya

memperluas pendapat individu.prinsip ini berlaku diseluruh lingkup peradilan di negara tersebut.

e. Malta

Semua pengadilan melindungi kerahasiaanpertimbangan dan penilaian keputusan yang diambil olehmayoritas dan keputusan mayoritas harus membentuk putusan yang akandisampaikansebagai putuan akhir pengadilan .

f. Belanda

Pengadilan Belanda mengikuti prinsipkerahasiaan darimusyawarah, yang juga didukung oleh undang-undang dan ditafsirkansebagaimelarang publikasi opinion individu.

g. Austria

Austria ketat mematuhi kerahasiaan pertimbangan. Menurut undang-undang tentang MahkamahKonstitusi, musyawarah danpenilaian tidak terbuka untuk umum. Larangan serupa jugaberlaku pada undang-undang tentangpengadilan administratif, danpengadilan lainnya dengan mengikuti prinsip yangsama. Sementara dissentinghakim diperbolehkan dalam internal pengadilan itu sendiri yang disimpan sebagai bentuk arsip yang bersifatrahasia dalam pengadilan.Tradisi kerahasiaan pada dasarnya


(45)

tidak pernah mengalami perubahan.Sejak tahun 1960an, para sarjanatelah berulang kali menyuarakan untuk melakukan perubahan tetapi tetap tidak diperbolehkan.

Selanjutnya terdapat beberapa praktek penerapan perbedaaan pendapat di negara anggota Uni Eropa, di manaperbedaanpendapat diperbolehkan. Hakimmemiliki hak untukmempublikasikan perbedaan pendapat dan pada

Subbab ini akanmenyajikan praktek 20 anggotanegara Uni

Eropayangmemperbolehkan pendapat individu dan menentukansejauh mana ruang lingkup penerapan aturan pada pendapat terpisah.

a. Bulgaria

Konsep Dissenting opinion diBulgariasama seperti negara-negara Eropa Tengah dan Timur yangtelah mengadopsi sistem judicial review pada Mahkamah Konstitusi yang dibentuk pada tahun 1991. Dissenting opinion dan concurring opinion secara tegas disebutkan dalam Peraturan Organisasi Mahkamah Konstitusi. Menurut Pasal 32,pengadilan dalam membuatkeputusan melalui pemungutan suara terbuka, hakim yang tidak setuju dengan keputusan atau dengan resolusi yang ditolak tersebut dapat melampirkandissenting opinion tertulis.Selain itu, hakim yang berpendapat mayoritas juga dapat menerbitkanconcurring opinion. Pendapat terpisah tidak dibolehkan jika keputusan yang akan diambildalampemungutan suara berkaiatan dengan kekebalanhakim atau mengenai impeachmentpresiden. Putusanmahkamah konstitusi yang diterbitkan dalam jurnal resmi dalamlimabelas hari sejak musyawarah


(46)

disertai dengan alasan setiapdissenting opinion dan concurring opinion.Publikasi juga diperbolehkandalam pengadilan biasa, dimana hakim minoritas harus menandatanganiputusan suara mayoritas dan menandatangani pendapat yang berbeda yang dilampirkannya.

b. RepublikCeko

Republik Ceko mengadopsi undang-undang tentang Mahkamah Konstitusitanggal 16 Juni 1993, tidak lamasetelah pembagian Cekoslowakia. MenurutPasal 14 dan 22 seorang hakim yang tidak setujudengan keputusan musyawarah memiliki hak untuk berbeda pendapat, dissenting opinion tersebutdimuat dalam catatan diskusi dan dicantumkan kedalam keputusan yang disebut sebagaipendapat terpisah, selanjutnya yang diterbitkan dalam reporter pengadilan sendiri. Dibagian bawah putusan dicantumkan catatan yang menyebutkanexistence.

c. Denmark

Mengenai dissentingopinion,sistem Denmark telah berkembang perlahan-lahan.Secara tradisional,penilaian dan opini hakim bersifat rahasia, tetapi pada tahun 1930 sistembaru diberlakukanyang

memungkinkan untuk menyertakanperbedaan pendapat dengan

menyebutkan pandanganyang berbedadalam musyawarah hakim secara anonim. Selanjutnya konsep anonym tersebuttelah ditinggalkan sejak tahun 1958 bahwa keputusan sepenuhnya bersifattransparan dan terbuka. Oleh karena itu, dalam semua lingkuppengadilan pendapat individu


(47)

diterbitkan sebagai bagian dariputusan, denganmencantumkan nama hakim yang mengeluarkan dissentingopinion.

d. Jerman

Jerman adalah salah satu contoh yang paling terkenal dari negaramengikuti tradisi hukum sipiltetapi memperbolehkan hakim konstitusi untuk mengeluarkan pendapat terpisah. Sementara hakim yang duduk dipengadilan biasa terikat untuk menghormati kerahasiaan

pertimbangan danpenilaian hakim dalam musyawarah,

konstitusionalhakim merupakan pengecualian untuk aturan ini.

Dalam beberapa kasus Pengadilan membuat publikasi hasil pemungutansuara, denganmelanggar konsep kebulatan suara dengan tetap menjaga rahasiaidentitas hakim yang berbeda pendapat dan alasanhakim minoritas. Pada tahun 1966, keputusan diambil dengan suara 4-4 untuk pertama kalinya. Oleh karena itu pengadilanmemutuskan untuk menggabungkan pandangan dari kedua kelompokhakim dalam putusan.Hal yang sama terjadi lagi pada tahun 1969,akhirnya mengarah ke perubahan hukum. Dalam teks saat ini,sebagaimana telah diubah pada tahun 1970, undang-undang tentangMahkamah Konstitusi secara eksplisitmemberikan hakim minoritas hakuntuk mempublikasikan pendapat terpisah mereka (Sondervotum). Sementarahak ini awalnya digunakan secara luas (pada tahun pertamasetelah amandem, 17 dissenting opinion dikeluarkan dari total 72 putusan, antusiasme untuk penggunaan dissenting opinion selanjutnya mengalamipenurunan. Saat


(48)

ini, pendapatterpisah terpasang sekitar 6 % dari semua keputusan,hal ini biasanya terjadi pada kasus-kasus yang paling kontroversial (melibatkan isu-isu politikyang sensitif, sepertiaborsi atau suaka, atau pertanyaan hukum yangrumit). Jika institusi pendapat terpisah awalnya cukup kontroversial,sekarang jugaditerima dan kegunaannya tidak lagi dipertanyakan.

Hakim terikat oleh kewajiban kesetiaan kepada Pengadilan dan perbedaan pendapat yang sangat polemikharus dihindari. Pada saat yang sama, para hakimtampaknya telahmenemukan kompromi terpuji antara kerahasiaan dan meluasnyapenggunaankonsep kesepahaman dengan memegang tradisi kolegialitas dalam prosespengambilan keputusan hakimmelakukan upaya keras untuk mencapai solusi umum dan mengadopsi keputusan bulat. Namun, ketika upaya-upaya tersebut tidak

berhasil, ketidaksepahaman tidak perlu disembunyikan,

tetapidapatdipublikasikan, yang memungkinkan untuk penalaran lebih koheren dalam pengambilan putusan dan memastikantransparensi. Selain itu, dalam kasus yang menimbulkan ketidaksepahaman telah terbukti berguna sebagai dasar dalam melakukan penafsiran pada kasus selanjutnya.

e. Estonia

Estonia memungkinkan publikasi dissenting opinion peradilan hampir di semuaperadilan tersebut. Sementaranegara tidak memiliki Mahkamah Konstitusi khusus, constitutional review dilaksanakan


(49)

olehbagian khusus dari MahkamahAgung. Menurut peraturan pelaksanaMahkamah Konstitusi, pendapatterpisah mungkinmelekat pada penilaian akhir dan opini yang objektiftentang penafsiran Konstitusi. Keputusan yang diadopsi sesuai dengankerahasiaan musyawarah dengan mayoritas sederhanamemilih. Meskipundemikian seorang hakim yang tidaksetuju dengan pendapat mayoritasmaka dapat melampirkan dissentingopinion.Dissenting opinion harus diserahkansaat pernyataan pendapat dan itu harus ditandatangani oleh semua hakim yang berpendpaat berbeda.Selain itu,perbedaan pendapat dapat dipublikasikan kepada publikmaupun dalam uji administrasi. Dalam sistemn pengadilan pidana konsep dissenting opinion agak berbeda, karenaKUHAP memungkinkan hakimuntuk memiliki perbedaan pendapatmereka direkam, namuntidak diterbitkan.Dalam prakteknya, perbedaan pendapat telah diterbitkan oleh hakim yangberada di semua bagian dariMahkamah Agung, meskipun paling sering di bagian konstitusional.Pendapat tersebutditerbitkan bersama-sama dengan pengadilan, baikdalam jurnal resmi dan di websitePengadilan. Pada tingkat yang lebih rendah, perbedaan pendapat jugadiperbolehkan tetapikonsep tersebut jarang digunakan.

f. Irlandia

Mengenai perbedaan pendapat, sistem hukum Irlandia mengatur pengecualian yang langka, karenakonstitusi secara eksplisit melarang


(50)

konstitusional.Sementara hakim biasadan Mahkamah Agung dapat mengeluarkan pendapat terpisah.Menurut Pasal 26 dan 34 UUD bahwa Mahkamah Agung ketika memutuskankonstitusionalitas hukum baik atas permintaan presidenatau pada saat banding dari pengadilanyang lebih rendah dapat mengeluarkan pendapattunggal.Tidak dikenal ada pendapat lain, apakah menyetujui aturan atau berbeda pendapat. Tidak adanya perbedaan pendapat dalam hal-hal konstitusional telah dikritik olehsarjana Irlandia, yang melihatnya sebagaihambatan serius yang menghambat perkembangan yurisprudensi pengadilan dan pembatasan terhadapinterpretasi terhadap aturan hukum.

g. Yunani

Di Yunani publikasi perbedaan pendapat merupakan amanat konstitusi. Pasal 93 ayat (3)menyatakan bahwa “Publikasi dissenting opinion bersifat wajib. Hukum harus menetapkanhal-hal mengenai perbedaan pendapatdan prasyarat publisitas dissentingopinion”.Namun, dalam publisitas dissenting opinion harusmenyertakan alasan berbeda pendapat tanpamenyebutkan identitas hakim yang menyertakan dissenting opinion tersebut.

h. Spanyol

Di Spanyol, dalam hukum perdata tradisional, semua

hakimmemiliki hak untuk mempublikasikan dissentingpendapat. Secara historis,hakim yang berbeda pendapatmemuat dapat pendapat mereka dan dicatat dalam daftar yang terpisah yang disimpan ketua pengadilan


(51)

yang telah bersumpah untuk menjaga dissenting opinion dengan rahasia. Praktek yang disebutvoto reservado tersebut masih dipertahankan dalam hukum acara perdata dan dalamprosedurPidanasampai saat ini.Dissenting opinion hanya dapat diungkapkan dalam kasus banding.

Di sisi lain, adajuga beberapa kasus (terisolasi) di mana pendapat terpisah yang dipublikasikan pada tahun1978, secara eksplisit memberikan publikasi perbedaanpendapatbersama-samadengan putusan dari pengadilan konstitusional (Pasal 164)makahakim berhak untuk mempublikasikan pendapat merekasesuai konsititusi. Aturan ini yang tidak termasuk dalam draft aslikonstitusi inidiadopsi dengan suara bulat karena itu dianggap sebagaijaminan transparansi dan sebagai bentuk pembatasan atas kekuasaanhakim yang mayoritas.

Undnag-undang organik lebih lanjut menetapkan

bahwapendapatterpisah mencakup baik dissenting dan concurring opinions. Selanjutnya, kemungkinan mengadopsi pendapat terpisah juga telah diperluas untukpengadilan biasa. Sejak tahun 1985, undang-undang

organiktentang Peradilan memungkinkan hakim biasa untuk

mempublikasikan opinionmereka secara terpisah, reformasi inidipicu oleh praktek hakim konstitusi, serta semangat publikasi publik.

Penggunaan pendapat terpisah oleh hakim Konstitusi Spanyol telah berkembangterus-menerus mencapailevel sekitar 3% dari jumlah penilaian pada 1992-1993dan sekitar 4% dari semuakeputusan diadopsi antara tahun 1980 dan 2008. Sementara beberapahakimcenderung untuk


(52)

memanfaatkan kemungkinan penyusunan suatupendapat terpisah lebih sering. Pendapat terpisah biasanyamelekatpenilaian menentukan isu-isu yang sangat sensitif. Menurut paraahli, penggunaan terpisahpendapat tidak mempengaruhi kredibilitas ataukewenangan Mahkamah Konstitusi, meskipun pendapat kemudianmenjadipendapat mayoritas, yang mengarah ke perkembangan penafsiran hukum.

i. Siprus

Di Siprus,Mahkamah Agung saat ini juga diberikannya kewenangankonstitusional, menyimpang dari ketentuan konstitusi yang memperbolehkan hakim untuk menerbitkan dissentingopinion.

j. Latvia

Di Latvia, hakim pengadilan biasa tidak diizinkan

untukmempublikasikan perbedaan pendapat mereka ketika memutuskanperkara. Hakim yang telah memilihmenentang pendapat yang merupakan hasil musyawarah “akan memuat dissenting opinion dan

akan dicantumkan ke kasus tapitidak dideklarasikan di

pengadilan”.Perbedaanpendapat harus ditulis,ditandatangani dan

disampaikan kepada ketua sidang di pengadilandalamwaktu dua minggu (paling lambat) dari pengumuman putusan (Peraturan 221).Dissenting opinion dipublikasikan dijurnal resmi dalamlima hari sejak musyawarah hakim, dissenting opinion pertamakali beredar di kalangan majelis hakim yang memutuskan perkara (Peraturan 222) dan kemudian diterbitkan ke publik.


(53)

k. Lithuania

Lithuania telah mengikuti model Jerman, namunawalnya tidak memungkinkan hakim konstitusi untukmempublikasikan pendapat terpisah, sementara hakim penagdilan biasa diberikan kemungkinan untuk menyampaikan dissentingopinion.Undang-undang tentang mahkamah konstitusidiamandemen pada tahun 2008 dan sekarang memungkinkan publikasipendapat terpisah. Menurut Pasal 55 “seorang hakim mahkamahkonstitusi, yangtidak setuju dengan musyawarah mayoritas hakim, berhak untuk dituangkan secara tertulis disertai alasan dissenting opinion dalam waktu tiga hari kerja setelahpengumuman dariputusan yang diucaokan dalam ruang sidang. Perbedaan pendapat harus dilampirkandengan kasus dan pihak yangberpartisipasi dalam kasus dan media massa harus diberitahutentang fakta ini.

l. Hongaria

Hakim konstitusi di Hongaria diperbolehkan untuk memberikan pendapat masing-masing yang diterbitkan bersama-sama dengan final judgment. Pasal 66 dari Undang-Undang tentangMahkamah KonstitusiPengadilan (diadopsi pada tahun 2011), sebagai akibat dari reformasi konstitusional baru) secara eksplisit memungkinkan

untukpublikasi pendapat individu, baik dissenting opinion

maupunconcurring opinion.Pendapat terpisah (yang mungkin disusun oleh semua hakimyang berbeda pendapat, atau oleh salah satumereka


(54)

yang kemudian bergabungdengan hakim yang berbeda pendapat lainnya) dapat disampaikan dalam jangka waktu empat hari setelahkeputusanfinal.

Dissenting opinion mencerminkan pandangan politik dan ideologi para hakim yangmenyusun putusan, dan dalambanyak kasus dissenting opinion mempengaruhi yurisprudensi berikutnya,meskipun mereka tidak pernah tegas dikutip. Kemungkinan mengeluarkandissenting opinion telahbanyakdigunakan dalam praktek.Di pengadilan biasa dissenting opinion tidak dipublikasikan meskipun mereka dapatdicatat dalamamplop tertutup. Pengadilan yang lebih tinggi memiliki akses untuk mengetahui dissenting opinion yang berkembang.

m.Polandia

Mahkamah Konstitusi Polandia dibentuk pada tahun 1982, berdasarkanamandemen konstitusi.Sejak tahun 1997

keputusannyabersifat akhir dan mengikat. Pasal 190

Konstitusimenyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi diambil oleh suara mayoritas, sementaradalam Undang-Undang 1 Agustus 1997 rincian aturanyang berlaku untuk dissentingopinions.Menurut Pasal 68,putusan harus ditandatangani oleh semua hakim yang memeriksa perkara, termasuk yang hakim minoritas yang berbeda pendapatsebelum pengumuman keputusan, mengekspresikan pendapatindividu, dijelaskan dalammenulis dan ditunjukkan dalam putusan.Pendapat tersebut juga dapat merujuk pada penalaran saja. Dengan demikian, Pasal 68 memberikan dasar hukum yang kuat untuk kedua konsep pendapat


(55)

terpisah yaitudissenting opinion dan concurring opinion.Pendapat terpisah juga dapat diterbitkan dalam pengadilan biasa.

n. Portugal

Di Portugal, kedua hakim konstitusi dan hakim biasa dimungkinkan memberikandissenting opinion.Jika ingkar telah ditunjuk sebagai hakimyang berbeda pendapat, ketua pengadilan akanmenunjuk hakim lain untuk menyusun keputusan akhir dari mayoritas.dalam kode acara perdata dan acara pidana ini juga memungkinkan merekauntuk mempublikasikan pendapat masing-masing, yang melekat padakeputusan mayoritas.

o. Rumania

Setelah jatuhnya rezim komunis, Rumania mengadopsi sistem peradilan terpusat. Mahkamah Konstitusi didirikan berdasarkan UUD 1989. Pengadilan awalnyamengikuti model Italia dan Perancis, dan opini yang terpisahtidak diizinkan. Namun,konsep dissenting opinion telah diperkenalkan dari waktu ke waktu. Saat ini, hakim konstitusi dapat memberikandissenting opinion atau concurring opinion, yang diterbitkan dalam jurnal resmi bersama-sama denganputusan.Pendapat terpisah juga diperbolehkan di pengadilan biasa, sesuai dengan Kode SipilProsedur (Pasal 258).

p. Slovenia

Hakim di Mahkamah Konstitusi Slovenia memiliki hak untukmempublikasikan pendapat terpisah, sepertitegas dinyatakan dalam


(56)

UUPengadilan Konstitusi dan peraturan pengadilan. Menurut Art. 40 Mahkamah Konstitusi UU, MK memutuskan perkara bersifat tertutup, setiaphakim yang tidak setuju dengan keputusan atau penalaran dapatmenyatakan bahwaia akan menulis pendapat terpisah. Peraturan lebih lanjut menentukan bahwa pendapat terpisahterdiri dua bentuk

(dissenting opinion dan concurring opinion) yangdisampaikan

olehsekelompok hakim, atau oleh seorang hakim bergabung oleh orang lain.Pendapat terpisah disusun sekali dan diserahkan kepada hakim konstitusilainnyadalam waktu tigahari, balasan terhadapkomentar tersebut juga diperbolehkan (Pasal 72).Pendapat terpisah biasanya disajikan bersama dengan keputusanyang dilampirkan. Ketika yang terakhir disajikan,menyebutkan harus memuat dari identitas hakim yang berpendapat berbeda.Mengenai publikasi, pendapat terpisahyang diterbitkan bersama-sama dengan keputusan,selanjutnya dimuat dalam websiteMahkamah Konstitusi, atau database komputer lainnya. Namun, pendapat terpisah tidakdipublikasikan dalam jurnal resmi, karena dipandang terlalumahal untuk publikasi.Publikasi pendapatterpisah terbatas pada hakim konstitusi,hakim biasatidak bisa mempublikasikan pendapat mereka yang berbeda dari mayoritas hakim.

q. Slovakia

Slowakia awalnya berpegang pada tradisi Cekoslowakia tentang kerahasiaan darimusyawarah.Akibatnya, hakim yang berbeda pendapat mencantumkan perbedaan pendapat mereka dalam daftarpemungutan


(1)

memanfaatkan kemungkinan penyusunan suatupendapat terpisah lebih sering. Pendapat terpisah biasanyamelekatpenilaian menentukan isu-isu yang sangat sensitif. Menurut paraahli, penggunaan terpisahpendapat tidak mempengaruhi kredibilitas ataukewenangan Mahkamah Konstitusi, meskipun pendapat kemudianmenjadipendapat mayoritas, yang mengarah ke perkembangan penafsiran hukum.

i. Siprus

Di Siprus,Mahkamah Agung saat ini juga diberikannya kewenangankonstitusional, menyimpang dari ketentuan konstitusi yang memperbolehkan hakim untuk menerbitkan dissentingopinion.

j. Latvia

Di Latvia, hakim pengadilan biasa tidak diizinkan untukmempublikasikan perbedaan pendapat mereka ketika memutuskanperkara. Hakim yang telah memilihmenentang pendapat yang merupakan hasil musyawarah “akan memuat dissenting opinion dan akan dicantumkan ke kasus tapitidak dideklarasikan di pengadilan”.Perbedaanpendapat harus ditulis,ditandatangani dan disampaikan kepada ketua sidang di pengadilandalamwaktu dua minggu (paling lambat) dari pengumuman putusan (Peraturan 221).Dissenting opinion dipublikasikan dijurnal resmi dalamlima hari sejak musyawarah hakim, dissenting opinion pertamakali beredar di kalangan majelis hakim yang memutuskan perkara (Peraturan 222) dan kemudian diterbitkan ke publik.


(2)

k. Lithuania

Lithuania telah mengikuti model Jerman, namunawalnya tidak memungkinkan hakim konstitusi untukmempublikasikan pendapat terpisah, sementara hakim penagdilan biasa diberikan kemungkinan untuk menyampaikan dissentingopinion.Undang-undang tentang mahkamah konstitusidiamandemen pada tahun 2008 dan sekarang memungkinkan publikasipendapat terpisah. Menurut Pasal 55 “seorang hakim mahkamahkonstitusi, yangtidak setuju dengan musyawarah mayoritas hakim, berhak untuk dituangkan secara tertulis disertai alasan dissenting opinion dalam waktu tiga hari kerja setelahpengumuman dariputusan yang diucaokan dalam ruang sidang. Perbedaan pendapat harus dilampirkandengan kasus dan pihak yangberpartisipasi dalam kasus dan media massa harus diberitahutentang fakta ini.

l. Hongaria

Hakim konstitusi di Hongaria diperbolehkan untuk memberikan pendapat masing-masing yang diterbitkan bersama-sama dengan final judgment. Pasal 66 dari Undang-Undang tentangMahkamah KonstitusiPengadilan (diadopsi pada tahun 2011), sebagai akibat dari reformasi konstitusional baru) secara eksplisit memungkinkan untukpublikasi pendapat individu, baik dissenting opinion maupunconcurring opinion.Pendapat terpisah (yang mungkin disusun oleh semua hakimyang berbeda pendapat, atau oleh salah satumereka


(3)

yang kemudian bergabungdengan hakim yang berbeda pendapat lainnya) dapat disampaikan dalam jangka waktu empat hari setelahkeputusanfinal.

Dissenting opinion mencerminkan pandangan politik dan ideologi para hakim yangmenyusun putusan, dan dalambanyak kasus dissenting opinion mempengaruhi yurisprudensi berikutnya,meskipun mereka tidak pernah tegas dikutip. Kemungkinan mengeluarkandissenting opinion telahbanyakdigunakan dalam praktek.Di pengadilan biasa dissenting

opinion tidak dipublikasikan meskipun mereka dapatdicatat

dalamamplop tertutup. Pengadilan yang lebih tinggi memiliki akses untuk mengetahui dissenting opinion yang berkembang.

m.Polandia

Mahkamah Konstitusi Polandia dibentuk pada tahun 1982, berdasarkanamandemen konstitusi.Sejak tahun 1997 keputusannyabersifat akhir dan mengikat. Pasal 190 Konstitusimenyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi diambil oleh suara mayoritas, sementaradalam Undang-Undang 1 Agustus 1997 rincian aturanyang berlaku untuk dissentingopinions.Menurut Pasal 68,putusan harus ditandatangani oleh semua hakim yang memeriksa perkara, termasuk yang hakim minoritas yang berbeda pendapatsebelum pengumuman keputusan, mengekspresikan pendapatindividu, dijelaskan dalammenulis dan ditunjukkan dalam putusan.Pendapat tersebut juga dapat merujuk pada penalaran saja. Dengan demikian, Pasal 68 memberikan dasar hukum yang kuat untuk kedua konsep pendapat


(4)

terpisah yaitudissenting opinion dan concurring opinion.Pendapat terpisah juga dapat diterbitkan dalam pengadilan biasa.

n. Portugal

Di Portugal, kedua hakim konstitusi dan hakim biasa dimungkinkan memberikandissenting opinion.Jika ingkar telah ditunjuk sebagai hakimyang berbeda pendapat, ketua pengadilan akanmenunjuk hakim lain untuk menyusun keputusan akhir dari mayoritas.dalam kode acara perdata dan acara pidana ini juga memungkinkan merekauntuk mempublikasikan pendapat masing-masing, yang melekat padakeputusan mayoritas.

o. Rumania

Setelah jatuhnya rezim komunis, Rumania mengadopsi sistem peradilan terpusat. Mahkamah Konstitusi didirikan berdasarkan UUD 1989. Pengadilan awalnyamengikuti model Italia dan Perancis, dan opini yang terpisahtidak diizinkan. Namun,konsep dissenting opinion telah diperkenalkan dari waktu ke waktu. Saat ini, hakim konstitusi dapat memberikandissenting opinion atau concurring opinion, yang diterbitkan dalam jurnal resmi bersama-sama denganputusan.Pendapat terpisah juga diperbolehkan di pengadilan biasa, sesuai dengan Kode SipilProsedur (Pasal 258).

p. Slovenia

Hakim di Mahkamah Konstitusi Slovenia memiliki hak untukmempublikasikan pendapat terpisah, sepertitegas dinyatakan dalam


(5)

UUPengadilan Konstitusi dan peraturan pengadilan. Menurut Art. 40 Mahkamah Konstitusi UU, MK memutuskan perkara bersifat tertutup, setiaphakim yang tidak setuju dengan keputusan atau penalaran dapatmenyatakan bahwaia akan menulis pendapat terpisah. Peraturan lebih lanjut menentukan bahwa pendapat terpisahterdiri dua bentuk (dissenting opinion dan concurring opinion) yangdisampaikan olehsekelompok hakim, atau oleh seorang hakim bergabung oleh orang lain.Pendapat terpisah disusun sekali dan diserahkan kepada hakim konstitusilainnyadalam waktu tigahari, balasan terhadapkomentar tersebut juga diperbolehkan (Pasal 72).Pendapat terpisah biasanya disajikan bersama dengan keputusanyang dilampirkan. Ketika yang terakhir disajikan,menyebutkan harus memuat dari identitas hakim yang berpendapat berbeda.Mengenai publikasi, pendapat terpisahyang diterbitkan bersama-sama dengan keputusan,selanjutnya dimuat dalam websiteMahkamah Konstitusi, atau database komputer lainnya. Namun, pendapat terpisah tidakdipublikasikan dalam jurnal resmi, karena dipandang terlalumahal untuk publikasi.Publikasi pendapatterpisah terbatas pada hakim konstitusi,hakim biasatidak bisa mempublikasikan pendapat mereka yang berbeda dari mayoritas hakim.

q. Slovakia

Slowakia awalnya berpegang pada tradisi Cekoslowakia tentang kerahasiaan darimusyawarah.Akibatnya, hakim yang berbeda pendapat mencantumkan perbedaan pendapat mereka dalam daftarpemungutan


(6)

suara, tapi ini dirahasiakan dan tidak diungkapkan kepada publik. Sejak bulanAgustus 2000, praktek telah diubah dan perbedaan pendapatsekarang dapat dipublikasikan.Perubahan itu dipicu oleh preseden pentingdi mana keputusan itu begitu kontroversialbahwa salah satu Hakim memiliki perbedaan pendapat yang diterbitkan. Menurut § 32 UU tentang Organisasi Mahkamah Konstitusi, hakim yangtidak setuju dengan keputusan berhak untukmemilikinya dissenting opinion yang dicatat dalamcatatan voting,serta diserahkan dan diterbitkan. Di pengadilan biasa hakimdiperbolehkan untuk memiliki perbedaan pendapat.

r. Finlandia

Hakim Finlandia diperbolehkan untukmenerbitkan pendapat terpisah, aturan yang sama tentang dissenting opinion berlaku ketika mereka melaksanakan fungsi peradilan biasa danreviewkonstitusional.

s. Swedia

Di Swedia, semua pengadilan biasadapat menguji konstitusionalitashukum, dan tidak ada terpusatmahkamah konstitusi Hakim dapat mengeluarkan terpisahpendapatdalam semua kasus baik perkara bisa maupunconstitusionaljurisdiction.

t. Inggris

Di Inggris, kebebasan dalam menyampaikan pendapat masing-masing secara terpisah pada dasarnya diperbolehkan.