Prevalensi Osteoartritis Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang di Rawat Jalan di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2014

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pankreas
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas
Pankreas adalah suatu organ yang berbentuk pipih terletak di belakang
rongga abdomen dan di bawah lambung yang terdiri dari jaringan eksokrin dan
endokrin (Sloane, 2004). Bagian eksokrin pankreas mengeluarkan larutan basa
encer dan enzim-enzim pencernaan melalui duktus pankreatikus kedalam lumen
saluran pencernaan tepatnya di ampula vateri. Diantara sel-sel eksokrin pankreas
tersebar kelompok-kelompok atau pulau-pulau sel endokrin yang juga dikenal
sebagai pulau-pulau langherhans (islets of langerhans).

Jenis sel endokrin

pankreas yang paling banyak dijumpai adalah sel beta dimana pada sel beta ini
merupakan tempat sintesis dari hormon insulin. Selain itu terdapat juga sel alfa
yang menghasilkan glukagon dan sel delta adalah sel untuk mensintesis
somatostatin sedangkan sel endokrin yang paling jarang yang ada pada pankreas
adalah sel PP ,sel ini berfungsi untuk mengeluarkan polipeptida pankreas.
Hormon pankreas yang paling penting untuk mengatur metabolisme tubuh adalah

insulin dan glukagon (Sherwood, 2007).
fungsi fisiologis hormon insulin adalah sebagai berikut :


Insulin menyediakan glukosa untuk sebagian besar sel tubuh,
terutama untuk otot dan adiposa, melalui peningkatan aliran



glukosa yang melewati membrane sel dalam mekanisme carier.
Insulin memperbesar simpanan lemak dan protein dalam tubuh
pertama dengan cara meningkatkan transport asam amino dan asam
lemak dari darah kedalam sel yang kedua meningkatkan sintesis
protein dan lemak, serta menurunkan katabolisme protein dan



lemak.
Insulin meningkatkan penggunaaan karbohidrat untuk energy
(Sloane, 2004).


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Anatomi Pankreas
Sumber : Netter, F., 2006

2.2.

Diabetes Melitus

2.2.1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Purnamasari, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2.


Etiologi dan Patogenesis
Menurut Price (2012) etiologi penyakit diabetes melitus bermacam-

macam. Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses perusakan
imunologik sel-sel beta pankreas yang menghasilkan insulin. Manifestasi klinis
diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak.
Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan
dengan tipe-tipe histokompatibilitas (Human Lekocyte Antigen ) tipe dari gen
histokompabilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan
dengan tipe (DW3 dan DW4) adalah yang memberi kode kepada protein yang
berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit.
Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal
dari respons imun jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan
berperan penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans,
sedangkan pada diabetes melitus tipe 2 penyakitnya mempunyai pola yang
familial diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja
insulin. Pada awalnya terjadi resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.
Insulin mula-mula mengikatkan dirinya kepada reseptor-reseptor permukaaan sel

tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi
pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus
membran sel.
Pada pasien-pasien diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan
insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah
tempat reseptor pada membran sel yang selnya respon terhadap insulin atau
ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel
beta dengan menurunnnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai
untuk memppertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Sekitar 80%
pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas, karena obesitas berkaitan dengan
resistensi insulin sehingga pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan
perbaikan sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA 2009)


I.Diabetes Melitus tipe 1
Destruksi sel beta pankreas , umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut . A.Melalui proses imunologi
B.Idiopatik
II. Diabetes Melitus tipe 2
Bervariasi mulai predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin .
III.Diabetes Melitus tipe lain
A.Defek genetik fungsi sel beta
 Kromosom 12,HNF-Alfa(dahulu MODY 3)
 Kromosom 7 ,Glukokinase (dahulu MODY 2)
 Kromosom 20 , HNF-Alfa(dahulu MODY 1)
 Kromosom 13,insulin promoter faktor
 Kromosom 17,HNF-1Beta
 Kromosom 2,neuro D1
 Lainnya
Tabel
2.1.
Klasifikasi

B.Defek genetic
kerjadiabetes
insulin: melitus
Sumber
: Buku
ajartipe
ilmu
dalam PAPDI
V mendelhall.
jilid III
Resistensi
insulin
A,Ipenyakit
eprecehaunism,
sindromedisi
rapson
C.Penyakit Eksokrin pankreas :pancreatitis , trauma/pankreatektomi,
neoplasma , fibrosis kistik , hemokromatosis , pankreaktopati, dan
lainnya.
D.Endokrinopati :Akromegali ,sindrom cushing ,

feokromositoma,hipertiroidisme somatostatinoma , aldosteronoma.
E.Karena obat atau zat kimia :vakor , fentanidine , asam nikotina
glukokortikoid , Hormon tiroid .
F.Infeksi :rubella congenital ,CMV.
G. Imunologi sindroma stiffman .
H.sindroma genetik lainnya
IV.Diabetes Kehamilan

Tabel 2.1. Klasifikasi diabetes mellitus
Sumber : Buku ajar ilmu penyakit dalam PAPDI edisi V jilid III

Universitas Sumatera Utara

2.2.4.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi

metabolik diabetik insulin sehingga tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
yang normal dalam darah atau hiperglikemia. Jika hiperglikemia berat dan

melebihi ambang batas filtrasi ginjal akan terjadi glikosuria yaitu diuresis osmotik
yang megakibatkan poliuria (meningkatnya pengeluaran urin) hal ini akan
mengakibatkan timbul rasa haus yang berlebihan (polidipsi) sehingga merangsang
untuk minum secara terus menerus. Karena glukosa hilang bersama urin, maka
pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang
sehingga rasa lapar yang timbul akan semakin besar (polifagi) akibat kehilangan
kalori (Price, 2012).
Keluhan lain yang tidak khas pada diabetes melitus adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya (Rani, 2009).
2.2.5. Diagnosis Diabetes Melitus
Berdasarkan buku panduan pelayanan medik-PAPDI Diagnosis DM dapat
ditegakan dari anamnesa, pemeriksaan, fisik lengkap dan laboratorium :
A. Anamnesis
PERKENI(Perhimpunan Endokrinologi Indonesia) membagi alur
diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala
khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria , polidipsi , polifagi , dan
berat badan menurun tanpa sebab yang jelas sedangkan keluhan yang
tidak khas pada DM adalah adalah lemah , kesemutan , gatal, mata kabur
, disfungsi ereksi pada pria yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi tinggi badan, berat
badan, tekanan darah, lingkar pinggang, tanda neuropati, pemeriksaan
visus, gigi mulut, keadaan kaki, kulit dan kuku.

Universitas Sumatera Utara

C . Pemeriksaan penunjang atau laboratorium










Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah
Glukosa darah puasa dan dua jam setelah makan, Hb A1c

Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam , kreatinin
SGPT, SGOT, albumin
Kolesterol total , kolesterol LDL , kolesterol HDL ,
trigliserida .

Pada gambar dibawah ini akan ditaampilkan alur diagnosis DM

Gambar 2.2. Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa terganggu
Sumber : Buku ajar ilmu penyakit dalam PAPDI edisi V jilid III

Universitas Sumatera Utara

2.2.6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Menurut Price tahun 2012 penatalaksanaan DM didasarkan pada :
Rencana diet
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
:karbohidrat 60-70% , Protein 10-15% , dan lemak 20-25%. Jumlah
kandungan kolestrol disarankan kurang dari 300 mg/hari. Diusahakan

lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh ( MUFA = Mono
Unsaturated Fatty Acid) dan membatasi asam lemak jenuh . Jumlah

kandungan serat yang disarankan lebih kurang 25 gram perhari ,


diutamakan serat larut (Rani, 2009).
Latihan fisik
Latihan fisik mempermudah transport glukosa kedalam sel dan
meningkatkan kepekaan terhadap insulin (Price, 2012). Prinsip jasmani
pada diabetes persis sama dengan prinsip latihan jasmani secara umum
yang memenuhi beberapa hal seperti : frekuensi, intensitas, durasi dan
jenis latihan jasmani. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang
disenangi serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya
melibatkan otot-otot besar (Yunir, 2009). Latihan jasmani yang teratur



kira-kira 3-4 kali semingggu dengan durasi 30 menit (Rani, 2009).
Farmakoterapi
Bila terapi diet dan latihan fisik tidak dapat mengontrol kadar gula
darah maka peran dari obat anti hiperglikemi oral memiliki peranan yang
penting. Terdapat tiga kelas besar obat anti diabetes oral yaitu :
pemicu sekresi insulin yaitu : sulfonilurea (Tolbutamit, glibenklamid,
glipizid, gliklazid, glimipirid ) dan glinid (nateglinid, repaglinid).
a. Penambah sensitivitas terhadap insulin : Biguanid (Medformin)
b. Penghambat absorbsi glukosa atau penghambat glukosidase alfa
contohnya : acarbose

Universitas Sumatera Utara

c. Insulin : indikasi pemberian insulin adalah penurunan berat badan
yang cepat, hiperglikemia yang berat, ketoasidosis diabetik, gangguan
fungsi ginjal atau hati yang berat (Rani, 2009).

2.2.7. Komplikasi Diabetes Melitus
A. Akut



Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan kompensasi –metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemi, asidosis, dan ketosis. KAD
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. Pada KAD juga
biasanya didapati dehidrasi berat dan bahkan dapat menyebabkan syok



(Soewondo, 2009).
Hiperosmolar non ketotik
Hiperosmolar non ketotik merupakan komplikasi akut

yang

emergensi pada diabetes melitus. HHNK ditandai oleh hiperglikemia


hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis (soewondo, 2009).
Hipoglikemi
Hipoglikemi merupakan keadaan emergensi dari komplikasi akut
diabetes melitus akibat dari hipoglikemi dapat terjadi disfungsi sistem
saraf gangguan kognisi dan koma.hal ini karena jaringan saraf dan otak
sangat ketergantungan

pada asupan glukosa yang kontinu (Soemaji,

2009).


B. Kronik
Makroangiopati
Makroangiopati merupakan proses aterosklerosis yang menyerang
makrovaskular yang dapat mengenai organ-organ vital seperti jantung
dan otak .Penyebab aterosklerosis pada pasien DM bersifat multifaktorial
, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti
hiperglikemi, hiperlipidemia, stress oksidatif dan perubahan-perubahan
dalam proses koagulasi dan fibrinolisis (Shahab, 2009).

Universitas Sumatera Utara



Mikroangiopati
Mikroangiopati

merupakan

proses

aterosklerosis

pada

mikrovaskular. Organ-organ yang dapat diserang adalah retina dan ginjal.
Komplikasi kronik lainnya pada diabetes adalah neuropati, rentan infeksi
dan disfungsi ereksi (Pandelaki, 2009). Diabetes melitus yang menahun dapat
menyebabkan perubahan kuantitas dan kualitas struktur jaringan ikat interstisial
meliputi tulang, sendi, kulit, dan jaringan periartikular. Berbagai kelainan
musculoskeletal (reumatik) yaitu reumatik artikular dan ekstra artikular sering
menyertai DM. Kelainan reumatik artikular yang sering menyertai DM adalah
osteoarthritis, artritis gout, osteopenia, hyperostosis, osteolitik diabetik, sendi
neuropatik. Sedangkan reumatik ekstra artikular adalah frozen shoulder,
keterbatasan lingkup gerak sendi, tenosinovitis, sindroma terowongan karpal dan
tendinitis (Purnomo, 2002).
Menurut (Setiawan, 2006) Gangguan muskuloskeletal yang muncul pada
populasi diabetes diantaranya adalah osteoartritis terutama pada lutut,pzmggul dan
tulang belakang: osteoporosis: osteolisis lutut dan panggul; pseudogout; gout;
bursitis; sendi charcot; diabetic hand syndrome, frozen shoulder dan kontraktur
dupuytren. Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang menduduki rangking

pertama penyebab nyeri dan disabilitas (ketidakmampuan) pada lansia.
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang ditandai dengan
menipisnya rawan sendi secara progresif, disertai dengan pembentukan tulang
baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya rawan sendi dan tulang baru
pada tepi sendi (osteofit). Secara histopatologik proses OA ditandai dengan
menipisnya rawan sendi disertai pertumbuhan dan remodeling tulang disekitarnya
(bony overgrowth) diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang disekitatnya.
Diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi
kronik jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Faktor-faktor yang berpengaruh pada tingkat kejadian kelainan
mikrovaskular (pembuluh darah subkondral) antara lain: hiperglikemia (lamanya
dan kendalinya), tekanan darahnya, kegemukan, jenis kelamin, dan umur.
Peningkatan stress oksidatif akan menyebabkan terjadinya peningkatan
proses glikasi protein yang kemudian berlanjut dengan meningkatnya produk

Universitas Sumatera Utara

glikasi lanjut. Peningkatan stress oksidatif pada glirannya akan menyebabkan
pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sel endotel pembuluh darah
yaitu dengan terjadinya peroksidasi membrane lipid, aktivasi faktor transkripsi
(NF-kB), Peningkatan oksidasi LDL dan kemudian juga pembentukan produk
glikasi lanjut .
Berbagai jalur biokimiawi tersebut pada akhirnya menyebakan terjadinya
disfungsi endotel, mengganggu dan mengubah sifat berbagai protein penting dan
kemudian akan memacu terbentuknya sitokin pro inflamasi serta faktor
pertumbuhan seperti Transforming growth factor –beta , vascular endothelial
growth factor, insuline like growth factor 1 , basic fibroblast growth factor . Salah

satu sitokin proinflamasi kuat yang mampu menginduksi kondrosit dan sel-sel
sinovial untuk mensintesis MMP adalah interleukin-1.
IL-1 menekan sintesis kolagen tipe-III dan proteoglikan, dan menghambat
transformasi faktor-bata pertumbuhan yang distimulasi proliferasi kondrosit.selain
itu IL-1 juga mendorong produksi nitrit oxide(NO) dimana efek NO terhadap
kondrosit meliputi : inhibisi produksi kolagen, dan proteoglikan, aktivasi
metalloproteinase,

meningkatkan

kepekaan

trauma

oksidasi

lain(H2O2).

Menurunkan ekspresi IL-1 reseptor antagonis. Inhibisi polimerasi aktin dan sinyal
IL-1 integrin, apoptosis. IL-1 bukan hanya secara aktif meningkatkan degradasi
kartilago, tetapi juga menekan upaya-upaya perbaikan.
Faktor-faktor pertumbuhan secara lokal diproduksi di kartilago dan
sinovium, serta kemungkinan besarberkontribusi pada remodeling kartilago lokal
dengan menstimulasi sintesis kolagen dan proteoglikan dari awal. Transformasi
Growth Factor-beta(TGF-beta) memberi ciri terbaik, dan paling manjur untuk
pertumbuhan kondrosit. Bukan hanya TGF-beta menstimulasi sintesis matrix
mulai dari awal, tetapi juga menetralkan degradasi kartilago, dengan menurunkan
pengaturan ekspresi reseptor IL-1 dengan meningkatkan pelepasan antagonis
reseptor IL-1 dan ekspresi TIMP. Timbulnya remodeling yang mendorong
terbentuknya osteofit, yang disertai adanya degenerasi kartilago merupakan tandatanda terbentuknya osteoartritis pada sendi.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Osteoartrititis
2.3.1. Definisi Osteoartritis
Osteoartritis (OA)

yang di definisikan oleh American College of

Rheumatology (ACR) merupakan kumpulan kondisi yang berpengaruh pada sendi

dengan tanda dan gejala berhubungan dengan rusaknya integritas kartilago
artikular (Marpaung, 2010). Menurut Soeroso OA merupakan penyakit sendi
degenerative yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi vertebra, panggul,
lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena OA (Soeroso, 2009). Diketahui
bahwa OA diderita oleh 151 juta jiwa diseluruh dunia dan mencapai 24 juta jiwa
di kawasan asia tenggara (Suhendriyo, 2014). Untuk di Indonesia prevalensi
Osteoarthritis jumlahnya tidak diketahui dengan pasti namun hasil penelitian yang
dilakukan oleh Zeng QY et al prevalensi penyakit rematik di Indonesia mencapai
23,6% sampai 31,3% dimana 50% - 60% penyakit rematik tersebut adalah OA
(Nainggolan, 2009).

2.3.2. Patogenesis Osteoartritis
Patogenesis OA saat ini diyakini tidak hanya proses degeneratif saja
namun juga melibatkan berbagai unsur dalam proses inflamasi terutama sinovitis
serta keterlibatan subkondral . Oleh karenanya manifestasi klinis OA tidak nyeri,
namun juga kekakuan sendi, dan gangguan pergerakan (Marpaung, 2010).
Jika kerusakan terjadi pada kartilago sendi, integritas permukaan sendi dan
hubungan antara serabut serabut kolagen dalam matriks akan hilang. Kerusakan
matriks akan menghasilkan peningkatan tekan osmotik, selanjutnya akan makin
merusak matriks kolagen dan perangkat mekanis kartilago. Osteofit dan sklerosis
subkondral pada OA diperkirakan merupakan cara kompensasi tubuh atas
hilangnya kartilago (Nainggolan, 2009) .

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Patogenesis Osteoartritis
Sumber : The lancet seminars
Menurut

Soeroso

(2009)

berdasarkan

patogenesisnya

osteoartritis

dibedakan menjadi dua yaitu: OA primer dan OA sekunder. Osteartritis primer
disebut juga OA idiopatik primer yang penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada
hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada
sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin
inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta
imobilisasi yang terlalu lama.
2.3.3. Manifestasi Klinis Osteoartritis
Menurut soeroso (2009) Manifestasi klinis dari OA adalah :


Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama yang membawa pasien
datang kedokter .nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit
berkurang dengan istirahat . Nyeri pada OA juga dapat berupa penjalaran
atau akibat radikulopati, misalnya pada OA servikal dan lumbal.

Universitas Sumatera Utara



Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelanpelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.



Kaku pagi
Pada beberapa pasien nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah
imobillitas , seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup


lama atau bahkan setelah bangun tidur.
Krepitasi
Krepitasi adalah Rasa gemeretak(kadang-kadang dapat terdengar)
pada sendi yamg sakit.krepitasi ini terjadi akibat pergesekan kedua sendi



yang mengalami OA saat bergerak.
Pembesaran sendi (deformitas)
Pasien mungkin menunjukan bahwa salah satu sendinya(sering



kali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan membesar.
Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir
semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut, atau panggung
berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi
sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian
pasien OA yang umumnya berusia tua.

2.3.4. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis OA dilakukan dari anamnesa , pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan buku
panduan pelayanan medis-PAPDI penegakan OA dibagi secara 3 bagian besar
yaitu :



Penegakan diagnosa OA sendi lutut :
1. Nyeri lutut , dan
2. Salah satu dari tiga kriteria berikut :
a.Usia lebih dari 50 tahun
b.Kaku sendi < 30 menit
c.Krepitasi

Universitas Sumatera Utara



Penegakan diagnosa sendi tangan
1. Nyeri tangan atau kaku , dan
2. Tiga dari empat kriteria berikut :
a.Pembesaran jaringan keras dari dua atau lebih dari sepuluh sendi
tangan tertentu

(DIP II dan III kiri dan kanan , CMC I kiri dan

kanan )
b.Pembesaran jaringan keras dari dua atau lebih sendi DIP
c.Pembengkakan pada < 3 sendi MCP


d.deformitas pada minimal satu dari sepuluh sendi tangan tertentu
Penegakan diagnosa sendi pinggul
1. Nyeri pinggul , dan
2. Minimal dua dari criteria berikut :
a.LED < 20 mm/jam
b.Radiologi:terdapat osteofit oada femur atau asetabulum
c.Radilogi :terdapat penyempitan celah sendi (Superior , aksial ,
atau medial .

2.3.5. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnostik OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiologi
serta pemeriksaan laboratorium (Seoroso, 2009). Berikut ini akan dijelaskan
secara singkat tentang pemeriksaan radiografi dan laboratorium pada OA.


Pemeriksaan radiografi
Pada sebagian kasus , radiografi pada sendi yang terkena OA sudah
cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih.
Gambaran radiografis sendi yang menyokong diagnostik OA adalah:
a. Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris
b. Peningkatan densitas atau sklerosis tulang subkontra
c. Kista tulang
d. Osteofit pada sendi
e. Perubahan sruktur anatomi pada sendi.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan

perubahan-perubahan

radiografi

diatas,

secara

radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan berdasarkan kriteria
Kellgren-Lawrence.

Gambar 2.4.

Derajat Kerusakan Sendi pada OA berdasarkan kriteria KellgrenLawrence

Sumber : Medscape, 2013


Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak
berguna . Darah tepi (Hemoglobin, leukosit, laju endap darah ) dalam
batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan
artritis peradangan. Pemeriksaan immunologi (ANA, faktor rheumatoid,
dan komplemen ) juga normal.

Universitas Sumatera Utara

2.3.6. Tatalasaksana Osteoartritis
Penatalaksanaan OA sampai saat ini lebih banyak ditujukan untuk
mengatasi rasa nyeri, inflamasi, dan perbaikan fungsi sendi. Sementara perbaikan
secara struktur lebih sulit dicapai (Marpaung, 2010). Penatalaksanaaan OA
berdasarkan atas distribusinya dan berat ringannya sendi yang terkena.
Penatalaksanaannya terdiri dari tiga hal (Seoroso, 2009):


Terapi non-farmakologis
a. Edukasi
Maksud dari edukasi adalah agar pasien mengetahui tentang selukbeluk penyakitnya , bagaimana menjaga agar penyakitnya tidak
bertambah berat serta persendiaanya tetap dapat dipakai
b. Terapi fisik dan rehabilitasi
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.
c. Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan
memperberat penyakit OA, oleh karenanya berat badan harus selalu dijaga
agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka harus
diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin mendekati bert badan
ideal (soeroso, 2009). Cara lain yang dapat digunakan untuk membantu
tongkat atau alat pembantu berjalan dapat mengurangi berat badan yang
harus ditanggung oleh sendi lutut dan panggul secara cukup berarti (Price,



2012).
Terapi Farmakologis
a. Analgesik oral non-opiat
pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri
penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa
sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual bebas yang mampu
mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari
iklan pada media massa (soeroso, 2009).
b. Analgesik topikal

Universitas Sumatera Utara

Analgesic topical dengan mudah kita dapat dipasaran dan banyak
sekali yang dijual bebas.pada umumnya pasien telah mencoba terapi
dengan cara ini, sebelum memakai obat-obatan per-oral lainnya.
c. Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
Apabila dengan cara-cara tersebut diatas tidak berhasil pada
umunya pasien mulai datang ke dokter. Pada kondisi seperti ini kita
pikirkan untuk pemberian OAINS oleh karena obat golongan ini
disamping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi.
Pasien OA kebanyakan berusia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis
ini harus sangat berhati-hati, jadi sebaiknya kita memberikan obat yang
memiliki efek samping yang minimal dan cara pemakaian yang sederhana
(Soeroso, 2009).
d. Chondroprotektif agent

Yang dimaksud chondroprotectif agent adalah obat-obatan yang
dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi
pada pasien OA. Sebagian peneliti menggolongkan Obat-obatan tersebut
dalam disease modifying anti osteoarthritis drugs (DMOADS) (soeroso,
2009). DMOADS merupakan bagian dari modalitas farmakologi klinik
dalam

penatalaksanaan

OA

antara

lain

:

kondroitin

sulfat,

glikosaminoglikan, vitamin c, superoksida dismutase, dan lain-lain
(Marpaung, 2010).


Terapi bedah
Penatalaksananaan osteoartritis dengan cara operasi ditujukan
untuk memperbaiki jaringan penyokong yang rusak, atau mengganti
seluruh sendi. Bentuk operasi lain yang dapat dipakai untuk mengatasi
OA adalah Osteotomi angulasi. Hal ini dapat dipaki untuk mengobati OA
pada lutut yang mempengaruhi satu kompartemen saja (Price, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Banyak obat yang sudah digunakan untuk OA lutut tetapi sulit
untuk dilakukan evaluasi hasil pengobatannya. Hal imi terjadi karena
terdapat kesulitan dalam menilai progesivitas penyakit OA (Marpaung,
2010). Latihan fisik memiliki pengaruh terhadap terapi OA secara
langsung dengan cara meningkatkan mobilitas sendi dan memperkuat
otot yang menyokong dan melindungi sendi serta laihan fisik juga dapat
mengurangi kekakuan pada sendi (Fitzgerald, 2004).

Universitas Sumatera Utara