Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Dalam Pe

Pengelolaan Sumberdaya Kelautan
Dalam Perspektif Ekonomi
Gendewa Tunas Rancak/4113205004
Teknik Manajemen Pantai
Intstitut Teknologi Speuluh November

Bagaimana Formulasi Kekayaan Indonesia dalam perspektif
ekonomi?
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia. Beberapa asumsi mengatakan
bahwa Indonesia memiliki 17.480 pulau, sedangkan beberapa lainnya menyebutkan bahwa
Indonesia memiliki 17.504 Pulau. Garis pantai Indonesia sepanjang 81.000 km merupakan
yang terpanjang kedua di dunia setelah kanada. Namun, jika dilihat dari kondisi geografis
pantai Kanada yang berupa Green Island (didominasi oleh pulau es), maka Indonesia adalah
Negara dengan panjang garis pantai produktf terpanjang di dunia.
Namun demikian, Adriyanto & Wahyudin (2004) menyatakan bahwa seiring dengan
pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat khususny pada tahun 1970-an, tekanan terhadap
wilayah pesisir laut Indonesia semakin besar. Konsekuensinya, problem lingkungan yang
terkait dengan wilayah pesisir muncul dimana faktor pencetus (driven factors) secara umum
dapat diidentifikasi sebagai berikut (modifikasi dari Olsen, et al, 1989; Grigalunas and
Congar, 1995):








Pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir sangat cepat
Pertumbuhan singnifikan pada industri wisata bahari (termasuk wisata pantai) da
industry pesisir lainnya
Pengunaan areal pesisir sebagai tempat pembuangan limbah
Produktifitas yan tinggi dari ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun,
dan ekosistem produktif lainnya dalam kondisi terancam (at risk)
Sejumlah 324 Kota besar dan Kabupaten di Indonesia berada di wilayah pesisir,
dimana kepadatan penduduk tinggi, tingkat produktifitas tinggi, jumlah industri yang
tinggi, proses produksi-konsumsi tinggi, dan buangan limbah yang tinggi.

Problem dan isu lingkungan wilayah pesisir dan laut seperti yang disebutkan diatas tidak
jarang hanya berhenti pada tingkat identifikasi. Artinya, isu dan problem wilayah pesisir
tersebut tidak masuk dalam pertimbangan pengelolaan karena sifatnya yang tidak terukur
(intangible), sehingga sebagai input bagi kebijakan masih relative kurang diperhitungkan.

Selain itu, paradigma lama pengelolaan wilayah pesisir memang hanya memperhitungkan
faktor economic benefits disbanding environmental cost atau bahkan social costs yang terkait
dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah produktif ini.

Sementara itu, paradigm baru pengelolaan wilayah pesisir dan laut mengacu dengan konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menitikberatka pada
keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kualitas linkungungan dan sumber daya alam,
serta produktifitas (serta akses) pelayanan social. Kay dan Alder (1999) menggambarkan
paradigm ini melalui sebuah diagram yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.

Dari konteks perubahan paradigm tersebut, maka kelestarian ekosistem pesisir dan faktorfaktor (jasa lingkungan pesisir) yang mendukung menjadi sangat penting guna menjamin
keberlanjutan (sustainability) dari penelolaan wilayah pesisir dan laut. Konsekuensi dari
perubahan paradigma ini adalah bahwa dinamika ekosistem (tidak statis) harus dimasukkan
ke dalam pertimbangan pengelolaan termasuk pentingnya mengetahui nilai ekonomi sumber
daya sebagai salah satu faktor input kebijakan.
Pada titik inilah sebenarnya kebutuhan akan valuasi ekonomi menjadi penting. Sebagai
ilustrasi, contoh dengan menggunakan kasus wilayah pesisir hipotetik (Teluk Z) yang
digambarkan oleh Garigalunas dan Congar (1995).
Sebuah wilayah pesisir dan laut yang masuk ke dalam kategori teluk (bay) memerlukan
rencana pengelolaan sehinga sebuah kajian komprehensif perlu dilakukan. Kajian ini

dilakukan terhadap dinamika kegiatan ekonomi maupun dampak lingkungan, termasuk
didalamnya adalah lingkungan social yang menjadi sebuah kebutuhan. identifikasi
sumberdaya dan isu pengelolaan wilayah teluk hipotetik ini disajikan secara diagram pada
gambar berikut ini.

Dari gambar diatas maka dapat diidentifikasi 3 isu utama, yaitu (1) bahwa wilayah Teluk Z
memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat baik manfaat langsung
(perikanan dan wisata bahari/rekreasi) maupun tidak langsung (missal ekosistem mangrove
dan terumbu karang sebagai natural barier bagi keselamatan wisatawan dan terrestrial
pantai). Penilaian manfaat secara ekonomi menjadi perlu aar input kebijakan penelolaan
wilayah pesisir dan laut dilakukan secara komprehensif dalam konteks benefit and cosnt-nya.
Selanjutnya, potensi konflik antara pemanfaat dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut
juga perlu diperhatikan.
Isu yang ke (2) adalah ketersediaan data yang akan digunakan untuk menganalisis manfaat
sekaligus biaya dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut Teluk Z. Hal ini
terkait dengan analisis ekonomi (atau social ekonomi) terhadap problem ari pengelolaan
wilaya pesisir khususnya yang terkait dengan informasi ilmiah. Sebagai contoh, informasi
tentan perubahan kualitas air atau luasan terumbu karang yang dapat mempengaruhi
kelimpahan ikan atau keindahan ekosistem sebagi modal dasar bagi industry pariwisata
bahari. Kemudian, kesemuanya juga dihubungkan dengan lingkungan social masyarakat,

dimana tidak semua masyarakat hidup dari industry pariwisata. Kelimpahan ikan yang
berkurang akaibat luasan terumbu karang yang berkuran atau kualitas air memburuk akan
berdampak signifikan terhadap tingkat ekonomi masayrakat pesisir yangberprofesi sebagai
nelayan. Dalam konteksi ini, kolaborasi antara ilmu sosial, ilmu sains, dan ilmu alam menjadi
sebuah keharusan untuk dibawa ke tingkat kebijakan.
Isu ke (3) adalah intuisi dan pandangan dari pengambil keputusan. Pengelolan Teluk Z tentu
saha menginkan adanya pembangunan ekonomi di wilayahnya, namun demikian pada saat
yang sama mereka memahami pentingya kelestarian sumberdaya alam pesisir, dan pro
peningkatan kapasitas dan ekonomi masyarakat di Teluk Z. dengan kata lain, pengelola Teluk
Z diasumsikan memiliki tujuan untuk menetahui benefits and costs dari ekosistem teluk Z

yang nantinya dpat didistribusikan secara adil dan merata kepada seluruh stakeholder Teluk
Z. Dalam konteksi ini, pendekatan valuasi ekonomi mulai digunakan
Seluruh Dampak yang terjadi pada lingkungan dan manusia, akan berdampak pada
meningkatnya kebutuhan untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Naiknya kebutuhan
berarti secara tidak langsung menuntut pengeluaran yang lebih banyak. Permasalahannya
adalah, pengeluaran kerap banyak, kebutuhan meningkat terus, namun pemasukan atau
income yang di dapat tidak berubah. JIka demikian, penghitungan potensi dan permasalahan
berdasarkan valuasi ekonomi, akan membantu memanage meningkatkan tingkat resilient
masayaarakat dan lingkungan.


Mengapa pada outcomenya, kita gagal me manage?
Sumberdaya kelautan yang melimpah, garis pantai produktif terpanjang di dunia, Negara kepulauan

terbesar di dunia, cerminan Indonesia sebagai Negara maritime yang semestinya
berkelanjutan dalam memanfaatkan sumber daya kelautannya. Ironisnya, masayrakat miskin
justru nelayan yang notabene hidup di pesisir dan sumber dari kehidupannya adalah laut.
Data-data yang diperoleh oleh beberapa lembaga (institusi pemerintahan, akademis, NGO,
dan lainnya) perikanan tangkap skala industry lebih banyak melibatkanpihak ketiga dari
pada memberdayakan masyarakat, agar dapat mensuplai kebutuhan skala industry dan
memenuhi hajat kehidpan sehari-harinya. Kalaupun mepulibatkan masyarakat nelysn, akan
dilibatkan sebagai ‘buruh’ industry/pabrik dengan upah yang murah.
Jadi, Indonesia adalah Negara dengan pantai terpanjang terproduktif di dunia yang diukur
dalam skala keanekaragaman hayati melalui valuasi ekonomi. Jik adi ukur dari produktivitas
masyarakat, tidak mencerminkan Negara dengan garis panjang terroduktif, karena
pemanfaatannya lebih besar skala massive oleh industry, dari pada oleh masyarakatnya
sendiri, walaupun banyak juga yang melakukan perikanan budidaya. .
Kurangnya edukasi, pemberdayaan masayrakat, dan infratruktur memadai menjadi beberapa
alas an mengapa ini tidak termanage secara sustainable. Sebanyak sekitar 70 juta orang di
Indonesia masih belum menikmati fasilitas listrik misalnya. Untungnya, sebanyak 324 kota

dan kabupaten besar di Indonesia berada di wilayah pesisir, sehingga penadaan listrik
menjadi salah satu prioritas.
Edukasi juga menjadi bagian penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Edukasi
tidak berarti sekolah, namun pembelajaran dan pendidikan. Hal ini salah satunya dapat
ditempuh melalui sekolah. Membuang sampah pada tempatnya merupakan pendidikan yang
diterapkan berdasarkan kebiasaaan. Jadi pendidikan, tidak mesti sekolah dengan bangunan
dan fasilitas yang mewah. Namun untuk sekolah, jelas fasilitas harus dipenuhi sesuai dengan
standard.

Bagaimana dengan kualitas masyarakat? Setiap orang tua di rumah memiliki 1-2 bahkan
lebih orang penerus proses berjalannya bangsa Indonesia. Anak –anak pagi sekolah, siang
istiraht, sore hari (biasanya) masih bermain bola, tetapi malam hari tidak ada penerangan
akibat belum ada infrastruktur listrik yang memadai. Kembali berkaitan dengan hal yang
sebelumnya, karena permasalahan di Indonesia meman sperti siklus dan jejearing, selalu
terkoneksi dan berkaitan satu sama lain. jika demikian kasusnya, bagaimana si anak dapat
belajar dengan baik dengan keterbatasan fasilitas yang ada di daerahnya. Jika pada hasil
evaluasi pembelajaran si anak tidak begitu bagus atau biasa-biasa saja, masyarakat umumnya
meminta anaknya untuk berhenti sekolah saja dan mebantu orang tua bekerja.
Proses meng-edukasi masayrkat dan meningkatkan kapasitas masyarakat luput dilakukan dan
tidak dilakukan secara menyeluruh. Beberapa program pemerintah dalam pemberian bantuan

juga dirasa tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran. Sebagai contoh, di Lombok Utara,
kelompok petani malah mendapat bantuan mesin ‘ketinting’ (mesin tempel yang berada di
samping sampan/perahu), sebaliknya beberapa kelompok nelayan menadapatkan bantuan
pupuk.
Internalisasi di tingkat pemerintah menjadi pekerjaan rumah utama yang harus di benahi.
Seharusnya tidak lupa bahwa Pemerintah itu ada untuk rakyat, oleh rakyat, dan dari rakyat.
Seharusnya lebih mengayomi dan lebih serius menghadapi kasus-kasus in. Jika saja Indonesia
memiliki bank data yang lengkap, mungkin data terkati kasus akan menjadi data yang paling
banyak di akses. Permasalahannya, data yang ada saja tidak jelas bagaimana validasi,
distribusi dan aksesibiltasnya. Misalnya, untuk data suhu saja, ketika mengakses data suhu
Jawa TImur dari BMKG dan BPS dalam angka di tahun yang sama, data yang ada pun
berbeda. Walaupun perbedaan yan ada jika ditinjau dari segi lingkungan tidak mengalami
fluktuasi yang jauh berubah, namun display data dan informasi yang disampaikan dan
biasanya menjadi acuan dalam penentuan kebijakan ini merupakan kasus ‘klasik’ yang tidak
terpecahkan masalahanya sampai saat ini.
Penentuan kebijakan di setor kelautan juga menjadi sangat penting baik di level nasional
maupun di daerah otonom. Kebijakan yang ditetapkan seringkali tidak mengakomodir
kebutuhan pemanfaatan sumber daya kelautan untuk kemaslahatan masyarakat banyak,
namun lebih mengakomodir beberapa ‘kepentingan’. Penentuan kebijakan ini harus
dipikirkan secara matang dan komprehensif, tidak bisa setengah-setengah karena merupakan

suatu acuan dalam berkegiatan selama bberapa tahun kedepan. Salah dalam menentukan
kebijakan bisa berakibat fatal dan berfek domino, termasuk dalam kbijakan penganggaran
dan prioritas penganggan.
Priritas terhadap penanggulangan permasalahan pelanggaran pemanfaatan laut juga harus di
tindak tegas. Penggunaan destructive fishing, overfishing, dan pelanggaran izin oleh Nelayan
negara lain harus diatasi sesegera , seketat, dan seberkelanjutan mungkin. Penggunaan
destructive fishing akan menghentikan lanju pertumbuhan biota laut, ikan dan terumbu karan
gsalah satunya, yang merupakan sumber dari kehidupan nelayan. Memancing secara
berlebihan, apalagi oleh Negara lain tanpa izin, tidak jarang menggunakan bendera Indonesia
untuk dapat menikmati sumber daya kelautan di Indoensia. Seperti misalnya di Kabupaten

Morotai, Maluku Utara, beberapa nelayan Filipina seringkali masuk ke wilayah perairan
Maluku Utara dan melakukan overfishing. Nelayan Filipina memiliki peralatan tangkap yang
jauh lebih memadai daripada nelayan Morotai. Akibatnya, ketika di spot yang sama, nelayan
Morotai selalu tidak dapat bersaing dengan nelayan Filipina. Berpindah spot akan memakan
konsumsi bahan bakar minyak lebih banyak dari pada biasanya. Sedangkat pendapatan,
cenderung tetap, bahkan berkuran. Sampai saat ini, belum ada tindakan penegakan hukum
dalam pelanggaran keamanan seperti ini, dalam kasus di Kabupaten Morotai. Tidak
memungkiri bahwa ini juga terjadi di wilayah perairan Indonesia.
Pada intinya, permasalahan yang ada saat ini dalam pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya adalah permasalahan internalisasi dalam pemerintahan, kemudian penetapan
kebijakan yang kurang pro pemanfaatan sumber daya kelautan oleh masyarkat kecil,
destructive fishing, overfishing, dan permasalahan kemanan.
Ketidak sinkronan data yan berakar dari ego sektoral dan “project mind set” serta prinsip
“data saya yang paling valid” menjadi awal dari segala masalah yang ada. Karena
terakumulasi terlalu lama, maka tantangan kedepan yang dihadapi semakin berat. Namun
bukan berarti tidak dapat tterpecahkan, hanya saja memerlukan kesadaran dan tolereansi serta
proses yang tidak sebentar.

Upaya apa yang perlu dilakukan?
Upaya yang perlu dilakukan adalah integrasi seluruh stakeholder, baik di tingkat nasional
maupun daerah otonom dalam memenuhi kesesuaian data, kinerja, maupun hubungan
antarstakeholder. Stakeholder bukan berarti hanya pemegang kebijakan saja, namun para
pelaku yang terkait dengan Sumber daya tersebut, missal pelaku dalam menetapkan wilayah,
pelaku dalam memanfaatkan sumber daya kelautan, dan pelaku dalam proses distribusi dan
mekanisme pasar.
Transparansi dan akuntabilitas data dan penganggaran juga perlu dilakukan dan ditegakkan
untuk menumbuhkan kepercayaan terhadap public. Peningkatan kapasitas masyarakat,
pemberdayaan masyarakat dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan
secara berkelanjutan juga harus dilakukan. Secara garis besar, mekanisme yang seharusnya

terbentuk dalam hubungan management pengelolaan sumber daya kelautan dapat dilihat
dalam diagram pikir berikut ini.

sustainable
Partisipatif

MANAGEMENT
Politik

Teknokratik

Sosial /hak
EKONOMI
tangible
intangible

Valuasi
Budaya/
historis


Lingkungan

POTENSI

Sumber Daya KeLautan

Intangible

Problem

Non
renewable
resource
Kebutuhan

Multi stakeholder
Bottom - up

…La jut…

Teknologi
IPTEK

Mangrove
Padang
Lamun

Identifikasi
‘berdasarkan’

Kepe ti ga

Lokal Genius

Coral Reefs

tangible

Unsustainable
concept

Akses Informasi

Perikanan
tangkap
Perikanan
budidaya

MANAGEMENT
Top - Down

Renewable
Optimalisasi
Revitalisasi
dan
rehabilitasi

…La juta

Sumber Daya Kelautan

…Misal ya dala

be tuk

Blue
Economy
Kemandirian
Sustainable
Development

8 Strategi berdasarkan
komponen tersebut, dan
terintegrasi
keseluruhannya










Perhubungan laut
Industri kelautan
Perikanan
Pariwisata bahari
Energy dan sumberdaya
mineral
Bangunan kelautan
Jasa kelautan
Lintas sector bidang
kelautan

Productivity
increase

Kedaulatan
pangan
Kecukupan
air
ASAS
Kemandirian
Energi
Keberlanjutan
Mata
Pencaharian

Keberlanjutan
jasa lingkungan
Produktivitas
warga negara
Keselamatan
warganegara

Referensi
Adrianto, Luky., Mujio.,Wahyudin, Yudi. 2004. Modul: Pengenalan Konsep dan Metodologi
Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB
Kay, R. dan Alder, J. 1999. Coastal Management and Planning, E & FN SPON, NewYork

Grigalunas, Thomas and Richard Congar (eds.), 1995. Environmental Economics for
Integrated Coastal Area Management: Valuation Concepts and Policy Instrument. UNEP
Regional Seas Reports and Studies 164. Nairobi, Kenya: United Nations Environment
Programme, 165 pp.