Internasionalisasi Pendidikan di Indones

Internasionalisasi Pendidikan di Indonesia:

Telaah Terhadap Program RSBI

1 Moh. Mudzakkir

Pengantar

Istilah globalisasidengan berbagai pengertian yang dikandung di dalamnya merupakan wacana besar saat ini (Scholte, 2000) 2 . Kita menjalani kehidupan di dunia yang ditandai dengan saling terhubungnya sistem ekonomi, politik, budaya, lingkungan sosial mondial, inovasi teknologi yang cepat, dan kompleksitas konflik, kesenjangan, serta perubahan yang terus meningkat. Batasan antara ranah lokal dan global semakin kabur dan tidak jelas. Bila sesuatu hal terjadi di sebuah negara, maka akan cepat merembet dan berpengaruh ke negara lain bahkan ke seluruh penjuru dunia (Syukur, 2010).

Perdebatan tentang globalisasi sudah terjadi pada puluhan tahun yang lalu. Meskipun demikian, perdebatan tentang apa, bagaimana, siapa saja yang menjadi aktor utama atau yang terlibat hingga dampak yang disebabkan oleh globalisasi hingga kini masih mengemuka. Berbagai paradigma dan teori ilmu sosial memandang wacana ini dengan cara yang berbeda. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan manusia dikaitkan dengan proses globalisasi ini, misalnya ekonomi dan globalisasi, budaya dan globalisasi, agama dan globalisasi, politik dan globalisasi, masyarakat dan globalisasi, hingga pendidikan pun tidak luput dikaitkan dengan proses dandampak globalisasi.

Tulisan ini akan fokus pada kajian globalisasi dan pendidikan. Dalam perkembangannya, diskusi terkait globalisasi pendidikan tidak bisa lepas dari perbincangan tentang internasionalisasi pendidikan. Globalisasi dan Internasionalisasi merupakan dua istilah yang sering disamakan begitu saja, tanpa memperhatikan keunikan sekaligus perbedaan diantara keduanya. Terkadang banyak orang tanpa sadar menggunakan kedua istilah tersebut secara tidak tepat dan bahkan tertukar untuk menggambarkan sebuah realitas sosial dalam praktik pendidikan. Meskipun demikian keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, bahwa internasionalisasi merupakan konsekuensi dari proses globalisasi (Beck, 2000).

Kedua konsep penting di atas menjadi sangat penting untuk mengawali tulisan ini sebagai sebuah perspektif untuk membaca praktik pendidikan di Indonesia. Dalam perkembanganya, kedua istilah tersebut menjadi mantra dalam pembuatan kebijakan

1 Dosen Sosiologi Jurusan Ilmu Sosial FISH Universitas Negeri Surabaya. Artikel ini merupakan draft tulisan dalam buku bunga rampai yang akan diterbitkan oleh LIPI dan Yayasan Obor Indonesia dengan judul

Indonesia, Globalisasi, dan Global Village(2016). 2 Terminologi globalisasi memiliki beberapa makna seperti internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi,

westernisasi, dan deterritorialisasi, yang masing-masing mempunyai penekanan yang berbeda-beda dalam proses globalisasi. Bisa dicermati dalam Jan Aart Scholte. 2000. Globalization: A Critical Introduction. New York: Saint Martin Press. hlm. 46 westernisasi, dan deterritorialisasi, yang masing-masing mempunyai penekanan yang berbeda-beda dalam proses globalisasi. Bisa dicermati dalam Jan Aart Scholte. 2000. Globalization: A Critical Introduction. New York: Saint Martin Press. hlm. 46

Lebih lanjut, tulisan ini akan mencoba menyoroti bagaimana globalisasi mempengaruhi kebijakan dan praktik pendidikan menengah di Indonesia. Beberapa kebijakan pendidikan yang mencerminkan respon terhadap globalisasi dan upaya internasionalisasi diterapkan. Misalnya saja kebijakan tentang pelajaran bahasa Inggris, sebelum tahun 2000-an mata pelajaran ini tidak diajarkan di tingkat dasar. Namun, setelah tahun 2000-an, bahasa Inggris menjadi pelajar wajib di sekolah-sekolah dasar sebagai upaya memberikan dasar siswa atau generasi muda menghadapi era globalisasi. Bukan hanya itu, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh Bambang Sudibyo, pemerintah meluncurkan program Rintisan Sekolah Berstandar Internasional sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan menengah dihadapkan pada persaingan di tingkat regional dan internasional.

Globalisasi dan Pendidikan

Banyak ilmuwan sosial yang berusaha mendefinisikan dan memberikan pemaknaan terhadap globalisasi. Salah satunya adalah Anthony Giddens (2001), seorang sosiolog terkenal asal Inggris, memandang bahwa globalisasi merupakan realitas yang bersifat multidimensional dan tidak monolitik. Globalisasi berdimensi ekonomi, politik, teknologi, dan bidang-bidang kehidupan lainnya tidak termasuk di dalamnya pendidikan. Lebih lanjut, ia melihat perlunya upaya untuk merestrukturisasi lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat atau justru menciptakan sesuatu yang baru. Hal ini disebabkan karena globalisasi ini bukan hanya mempengaruhi pada level struktur sosial tapi juga dalam realitas kehidupan sehari-hari yang sangat privat sekalipun.

Shimon Peres mengambarkan kekuatan globalisasi seperti pengalaman seseorang yang bangun di pagi hari dan melihat sesuatu telah berubah dengan cepat. Banyak hal yang kita pikir biasa, banyak perspektif yang kita anggap suatu kebenaran tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa bekas (Tilaar, 2012). Itulah realitas globalisasi atau buananisasi yang terjadi dalam kehidupan manusia kontemporer. Banyak pakar dari berbagai disiplin mengakui bahwa perubahan kehidupan masyarakat saat ini sangat cepat. Arus globalisasi telah mengubah bukan hanya dalam bidang ekonomi an sich, akan tetapi juga dalam bidang politik, sosial, budaya, teknologi. Begitu dahsyatnya perubahan yang disebabkan gelombang globalisasi hingga akhirnya ada yang mengkhawatirkannya serta menyebutnya Shimon Peres mengambarkan kekuatan globalisasi seperti pengalaman seseorang yang bangun di pagi hari dan melihat sesuatu telah berubah dengan cepat. Banyak hal yang kita pikir biasa, banyak perspektif yang kita anggap suatu kebenaran tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa bekas (Tilaar, 2012). Itulah realitas globalisasi atau buananisasi yang terjadi dalam kehidupan manusia kontemporer. Banyak pakar dari berbagai disiplin mengakui bahwa perubahan kehidupan masyarakat saat ini sangat cepat. Arus globalisasi telah mengubah bukan hanya dalam bidang ekonomi an sich, akan tetapi juga dalam bidang politik, sosial, budaya, teknologi. Begitu dahsyatnya perubahan yang disebabkan gelombang globalisasi hingga akhirnya ada yang mengkhawatirkannya serta menyebutnya

Bukan rahasia lagi, bila globalisasi dalam bidang ekonomi mendapatkan sorotan paling dominan serta banyak menjadi bahan pembicaran.Globalisasi di bidang ekonomi merupakan suatu bentuk transformasi ekonomi global. Bila jauh sebelumnya ekonomi didasarkan pada produksi pertanian dan industri, saat ini telah berubah menjadi perekonominan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan (Tilaar, 2005). Perubahan ini berimplikasi bahwa ekonomi harus memiliki tatanan baru, yaitu tatanan yang didasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, dalam jenis ekonomi baru ini bobot imu pengetahuan dan teknologi dalam menghasilkan suatu produk ekonomi menjadi sangat penting dan dominan. Kemudian, sektor jasa akan meningkat sera peran teknologi informatika akan semakin strategis untuk meningkatkan produktivitas yang tinggi. Contoh paling jelas adalah e-commerce, praktik ekonomi yang berlandaskan iptek (Pangestu dalam Tilaar, 2012).

Lebih lanjut, Felipe Gonzales dalam Ma’ruf dkk (2000) melihat bahwa dalam globalisasi ekonomi ada beberapa kecenderungan yang terjadi. Yaitu pertama, bahwa ekonomi di era globalisasi bukan lagi urusan suatu negara atau beberapa negara saja tetapi sudah menjadi urusan global. Kedua, dalam proses globalisasi ekonomi arus modal menjadi sesuatu hal yang sangat penting dibandingkan dengan problematika pertumbuhan dalam perkembangan dan investasi di sektor riil. Ketiga, revolusi teknologi informasi dan komunikasi sangat berpengaruh dalam proses perubahan ekonomi global. Revolusi teknologi telah menghasilkan homogenitas budaya saat ini dan bahkan di masa yang akan datang. Serta kemungkinan hegemoni dan dominasi nilai, norma budaya dan peradaban satu dengan yang lain, kondisi tersebut mendorong munculnya kecemasan serta reaksi dari kelompok-kelompok nasionalis di berbagai belahan dunia. Akhirnya, revolusi teknologi bukan hanya merubah proses produksi, distribusi, konsumsi, tapi juga relasi antarmanusia, masyarakat bahkan antarnegara di dunia ini.

Gelombang globalisasi bukan hanya menimbulkan tantangan tetapi juga ancaman bagi suatu bangsa atau negara tertentu. Dalam proses ini muncul kekhawatiran bahwa ada sebagian negara atau kelompok masyarakat yang diuntungkan, tapi juga ada sebagian yang dirugikan. Setiap masyarakat di penjuru dunia ini tidak dapat mengelakkan diri gelombang globalisasi ini, suka atau tidak suka akan menjadi kenyataan. Akhirnya, istilah-istilah seperti persaingan, pasar bebas, keunggulan sumberdaya manusia menjadi slogan yang sangat popular di era ini. Persaingan dimaknai, barang siapa yang unggul maka ia akan dapat bertahan,bahkan memang dalam persaingan bebas. Lebih lanjut, kualitas sumberdaya manusia suatu kelompok masyarakat atau negara akan sangat menentukan keunggulan individu dan atau masyarakat, bangsa dan negaranya.

Dalam pandangan Tilaar (2012), kualitas sumber daya manusia yang unggul menjadi hal yang sangat penting di era ini. Dalam konteks global telah muncul apa yang disebut dengan headhunter untuk mencari manusia-manusia unggul dalam berbagai bidang seperti perdagangan, industri, teknologi, dan tentunya pendidikan. Secara objektif, era ini membutuhkan manusia-manusia yang unggul yang memiliki pemahaman multikultural, Dalam pandangan Tilaar (2012), kualitas sumber daya manusia yang unggul menjadi hal yang sangat penting di era ini. Dalam konteks global telah muncul apa yang disebut dengan headhunter untuk mencari manusia-manusia unggul dalam berbagai bidang seperti perdagangan, industri, teknologi, dan tentunya pendidikan. Secara objektif, era ini membutuhkan manusia-manusia yang unggul yang memiliki pemahaman multikultural,

Kualifikasi-kualifikasi menuntut adanya suatu program pelatihan dan atau pendidikan yang unggul dalam rangka menghasilkan sumber daya yang unggul yang dinamis, kreatif serta inovatif. Maka sangat wajar untuk menghasilkan tenaga-tenaga bertalenta tersebut, negara-negara maju dan beberapa negara berkembang memposisikan pendidikan sebagai proritas utama. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Singapura, misalnya telah lama menjadikan bidang pendidikan sebagai prioritas untuk meningkatkan daya saing di level global. Hal tersebut bisa dipahami, karena pembangunan ekonomi berdasarkan iptek membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan kemampuan unggul dan berdaya saing, khususnya dalam penguasan teknologi. Bukan hanya itu saja, namun juga perlu dibarengi dengan kekuatan karakter dan moralitas yang baik. Tanpa karakter dan moralitas utama, maka persaingan di era global dapat menjadi kompetisi bebas seperti dalam hukum rimba.

Kekuatan globalisasi yang melanda seluruh dunia ini tentu sangat berpengaruh bagi dunia pendidikan di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Arus globalisasi tentu memberikan berbagai dampak pada praktik dunia pendidikan di Indonesia. Lembaga- lembaga pendidikan sebagai objek perubahan sosial akan menanggung berbagai macam konsekuensi logis dari gelombang globalisasi tersebut. Pada hakikatnya, pendidikan di era globalisasi ini bertujuan akhir untuk menyediakan sumber daya manusia yang mempunyai daya saing di tingkat internasional. Untuk meraih hal tersebut, pemerintah atau negara membutuhkan inovasi yang cepat dalam dunia pendidikan. Singkatnya, pendidikan harus mampu menjadi jembatan untuk mengatasi segala macam kesenjangan antara proses, hasil, dan pengalaman belajar dalam masyarakat ketika menghadapi proses globalisasi (Suyanto, 2006).

Kalau dicermati lebih lanjut, perkembangan globalisasi membawa empat wacana besar dalam dunia pendidikan di Indonesia (Lie dalam Martono, 2011). Pertama, delokasi dan lokalisasi. Transfromasi budaya lokal dalam segala aspek sebagai interaksi dengan budaya luar (baca; asing) serta pengadopsian unsur-unsur budaya asing menjadi budaya lokal. Manifestasi dari wacana ini dalam praktik pendidikan di Indonesia bisa dilihat dari implementasi pengajaran bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dalam kurikulum pendidikan nasional, penggunaan buku-buku asing sebagai bahan ajar baik di sekolah maupun kampus. Bukan hanya itu, akan tetapi juga penggunaan kurikulum luar negeri serta pengadaptasian sistem pendidikan negara asing dalam pendidikan nasional. Pendidikan bahasa Inggris menjadi mata pelajar wajib sejak di tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan kemampuan bahasa Inggris pasif maupun aktif menjadi salah satu syarat utama yang dicatumkan oleh instansi pemerintah dan swasta ketika melakukan proses rekuitmen. Dalam konteks adopsi kurikulum asing misalnya, banyak sekolah favorit swasta maupun pemerintah menawarkan dua sistem, selain kurikulum nasional juga menawarkan sistem asing, seperti International Cambridge Program.

Kedua, wacana revolusi teknologi informasi-komunikasi. Situasi ini dapat dilihat dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir belahan dunia. Teknologi informasi, internet misalnya, memberikan perubahan dalam segala aspek bidang kehidupan manusia, termasuk dunia pendidikan. Dulu pengelolaan dan aktivitas pendidikan mungkin banyak dilakukan secara manual dan harus tatap muka. Namun pada saat ini, proses administrative bisa dilakukan lebih cepat dan mudah melalui internet. Dalam pembelajaran tidak lagi melalui tatap muka, akan tetapi dapat dijalankan melalui e- learning dan jarak jauh. Kegiatan belajar bisa menggunakan media sosial baru, seperti email, blog, skype, facebook, whatsapp, atau website sekolah.Meskipun demikian, teknologi informasi baru bukan tanpa masalah, karena banyak masalah muncul yang disebabkan pemanfaatan teknologi yang tidak sesuai, misalnya melaui internet menyebarkan pornografi, penipuan, serta bahkan hingga menimbulkan perilaku kejahatan di dunia maya (cybercrime). Oleh karena itu,membangun media literasi menjadi penting dihadapkan dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat tersebut.

Ketiga, muncul dan berkembangnya korporasi multinasional. Banyak kelompok masyarakat atau lembaga yang menjadikan bidang pendidikan sebagai bagian dari komoditas. Kesadaran ini berkembang karena pendidikan dapat menjadi lahan mencari keuntungan finansial.Apalagi didukung kenyataan bahwa pendidikan menjadi bagian penting dalam investasi sumberdaya yang berkualitas, hal ini disadari oleh semua kalangan. Banyak kelompok masyarakat yang rela harus mengeluarkan banyak biaya demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas bagi keluarga mereka. Masyarakat sangat membutuhkan pendidikan dari segala tingkatan; pendidikan berubah menjadi symbol status sosial. Bangkitnya korporasi multinasional ini ditandai dengan berkembangnya industry pendidikan. Dengan kata lain, lembaga pendidikan telah berganti fungsi hanya sebagai komoditas bisnis.

Keempat, adanya perkembangan pasar bebas dan privatisasi pendidikan. Peran dan fungsi negara semakin berkurang dalam memberikan pelayanan publik. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Peran negara dibatasi hanya sebagai pembuat dan penjaga regulasi semata. Privatisasi pendidikan pun tak terelakkan, sebagai konsekuensi mengurangi peran negara dalam belanja publik. Praktik pendidikan akhirnya diserahkan kepada mekanisme pasar, negara tidak banyak terlibat, karena hanya sebagai wasit. Maka tidak heran, kemudian setiap lembaga pendidikan, baik itu sekolah berlomba-lomba menjadi yang berkualitas sekaligus juga berlomba untuk mendapatkan keuntungan dari proses pendidikan tersebut. Murid atau mahasiswa bukan hanya sekedar dipandang sebagai peserta didik, tapi juga lebih dilihat sebagai konsumen yang harus dilayani dengan baik, karena memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi lembaga pendidikan.

Wacana tentang pentingnya belajar dan penerapan bahasa Inggris dalam dunia pendidikan menjadi salah satu praktik sosial yang sudah lama terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kemampuan bahasa Inggris dianggap penting karena menjadi jembatan penghubung antara dunia lokal dengan dunia internasional, akses meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta alat untuk melakukan mobilitas horizontal dan vertikal dalam masyarakat Indonesia.Pengadopsian kurikulum atau bahkan sistem pendidikan Wacana tentang pentingnya belajar dan penerapan bahasa Inggris dalam dunia pendidikan menjadi salah satu praktik sosial yang sudah lama terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kemampuan bahasa Inggris dianggap penting karena menjadi jembatan penghubung antara dunia lokal dengan dunia internasional, akses meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta alat untuk melakukan mobilitas horizontal dan vertikal dalam masyarakat Indonesia.Pengadopsian kurikulum atau bahkan sistem pendidikan

Sekolah yang berkualitas sekaligus memiliki orientasi global menjadi sangat strategis untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia. Hal itu sangat disadari bukan hanya oleh lembaga swasta, namun juga pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meskipun sebenarnya kesadaran dan praktik sekolah internasional tersebut diawali oleh sekolah swasta di kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Pemerintah kemudian mengadopsi konsep sekolah internasional tersebut sebagai sebuah eksperimentasi untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang siap berkompetisi di era global. Program tersebut bernama Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).

Sekolah Berstandar Internasional

Sebelum pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri favorit di berbagai daerah telah berusaha membangun kesadaran tentang perlunya mempersiapkan peserta didik dengan kompetensi yang mampu menjawab tantang global. Mereka mencoba membangun komunikasi dan kerjasama dengan sekolah-sekolah di luar negeri. Bahkan sebagian dari sekolah-sekolah tersebut mereduplikasi sistem persekolahan dari negara maju yang pernah mereka kunjungi atau yang mereka jadikan sebagai sister school.

Dalam perkembangannya ada beberapa modus operandi dalam membangun proses internasionalisasi pendidikan di antara sekolah-sekolah tersebut. Pertama, ada sebagian sekolah-sekolah swasta yang sejak awal berdiri membangun label sebagai sekolah internasional. Artinya mereka hampir secara keseluruhan, mengadopsi sistem pendidikan, kurikulum, buku-buku, serta sebagian pengajarnya bukan hanya berasal dari Indonesia tapi dari berbagai negara asing. Termasuk murid-muridnya pun bukan hanya berasal dari Indonesia, akan tetapi juga banyak berasal dari berbagai manca negara yang orang tua mereka bekerja di Indonesia. Sekolah-sekolah ini banyak berlokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan sekitar, Bandung, dan Surabaya.Bagi siswa yang berasal dari Indonesia tentu mereka berasal dari kalangan menengah atas. Tidak semua orang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah seperti ini. Mungkin mereka berfikir, dengan kualitas pengajaran, guru dan fasilitas yang mencukupi tidak perlu harus mengirimkan anak mereka sekolah di luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia, Australia atau negara-negara maju lainnya.

Kedua, sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, mendirikan kelas internasional sebagai program unggulan. Yaitu sekolah membangun kerjasama dengan lembaga sertifikasi pendidikan internasional tingkat dasar dan menengah. Mereka mendaftarkan diri serta membuka beberapa kelas di setiap tingkatan dengan menggunakan kurikulum Kedua, sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, mendirikan kelas internasional sebagai program unggulan. Yaitu sekolah membangun kerjasama dengan lembaga sertifikasi pendidikan internasional tingkat dasar dan menengah. Mereka mendaftarkan diri serta membuka beberapa kelas di setiap tingkatan dengan menggunakan kurikulum

Kedua bentuk proses pendidikan di atas sudah mulai berkembang dan dipraktikkan di berbagai sekolah negeri dan swasta sebelum munculnya kebijakanmembangun Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang dimulai oleh Pemerintahan SBY. Dalam rangka mempersiapkan Sekolah Berstandar Internasional tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional membentuk program Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang diberlakukan di seluruh Indonesia. Program ini bertujuan memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf internasional. Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasionalyang sering disingkat RSBI, adalah merupakan suatu program pendidikan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3, yang menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (Salim, 2011). Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan sekolah yang berkualitas di tengah persaingan global yang menempatkan Indonesia berada jauh di belakang dibanding dengan Singapura dan Malaysia misalnya.

Lebih lanjut, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan kelas standar nasional pendidikan yang ditujukan dengan penyelenggaraan pendidikan beserta segala aspek intensitas dan kualitas layanan yang ditata secara efektif, profesional untuk mencapai keunggulan mutu pendidikan baik nasional maupun internasional dengan karakteristik seperti penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar secara aktif dan penggunaan ICT (Information and Communication Technology) dalam pembelajaran (Astika, 2010). Muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; danmenerapkan standar kelulusan sekolah madrasah yang lebih tinggi dari Standar Kompetensi Lulusan. Secara esensial karakteristik SBI ditinjau dari komponen pendidikan meliputi: (i) lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, (ii) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (iii) lulusan SBI meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat terobsesi untuk melahirkan sekolah- sekolah bartaraf Internasional. Banyak dana stimulan diberikan kepada sekolah-sekolah dberi label internasional. Sekolah yang mengikuti proyek RSBI mendapatkan kuncuran dana bantuan sebesar Rp. 600 juta per-lembaga. Selain itu, mereka juga mendapatkan privilege untuk melakukan pungutan tambahan, dengan alasan karena untuk membiaya operasional RSBI/ SBI dibutuhkan biaya yang cukup banyak. Hal itu membuka peluang bagi sekolah-sekolah berkompetisi untuk menjadi sekolah RSBI/SBI. Mereka termotivasi selain meningkatkan kualitas, juga menambah pemasukan baik dari bantuan pemerintah serta dana pungutan siswa secara mandiri.

Dalam perkembangannya, menurut Darmaningtyas dan Edi Subkahan (2012) program RSBI ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaannya RSBI memunculkan sejumlah persoalan. Pertama, biaya RSBI yang mahal, jadi tidak semua siswa yang cerdas dan berpotensi dapat mengikuti kelas RSBI karena mereka dibebani biaya tambahan. Akhirnya,hanya mereka yang mampu membayar biaya RSBI-lah yang bisa berpartisipasi. Sehingga meskipun ada siswa yang potensial dan pintar, namun tidak memiliki biaya, maka dia tidak bisa bergabung. Konsekuensinya RSBI menciptakan pendidikan bias kelas sosial atau dengan bahasa lain ada yang menyebut sebagai bentuk kastanisasi pendidikan. Berdasarkan data ICW, dana sumbangan pembangunan yang harus dibayar di RSBI/SBI SD dan SMP rata-rata mencapai Rp. 6 juta, sedangkan untuk SMA mencapai Rp. 15 juta.

Kedua, sekolah yang menjadi RSBI/SBI mendapatkan subsidi lebih dibandingkan yang lainnya. Kondisi ini menimbulkan kastanisasi dalam pendidikan, karena sekolah yang berlabel RSBI akan mendapatkan jatah lebih besar dibandingkan yang hanya mempunyai status Sekolah Standar Nasional (SSN). Apalagi mereka yang tidak mempunyai status keduanya, tentu tidak mendapatkan seperti keduanya. Menurut Tilaar (2010), legalisasi RSBI oleh pemerintah seperti pengelolaan pendidikan di era colonial, saat itu dibedakan sekolah untuk kulit putih, China, dan pribumi. Akan tetapi sekarang dibedakan menjadi sekolah bagi orang kaya dan orang miskin.

Ketiga, ambiguitas referensi sistem pendidikan dalam RSBI dan SBI. Realitas di lapangan justru menunjukkan bahwa RSBI banyak merujuk pada konsep pendidikan dan kurikulum Cambridge, Inggris. Pemerintah Indonesia secara terbuka tertarik untuk membeli lisensi sistem tersebut. Menurut Mudjito, di beberapa daerah, seperti (DKI Jakarta dan DIY, pengadopsian sistem luar negeri tersebut, menjadikan siswa yang mengikuti program tersebut secara bersamaan harus belajar dengan menggunakan tiga kurikulum sekaligus, yaitu International General Certificate of Secondary Education (IGCSE), Cambridge, dan Kurikulum Nasional. Tentu bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk menerapkan ketiganya dalam satu proses kegiatan pembelajaran, baik bagi oleh guru maupun siswa. Hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam penggunaan kurikulum. Padahal seharusnya satu sekolah menggunakan satu kurikulum lengkap dengan segala macam perangkat turunannya. Obsesi untuk menjadi internasional menyebabkan pihak sekolah harus mengakomodir semuanya. Padahal, hal tersebut menyebabkan persoalan teknis di lapangan. Yang terjadi adalah penerapan kurikulum yang setangah-tengah.

Keempat, ideologi dan budaya yang melatarbelakangi gagasan RSBI dan praksis pembelajaran. Paradigma yang mendasari kemunculan RSBI dalam dunia pendidikan Indonesia adalah ideology NeoLiberalisme. Hal ini dapat dirujuk pada konsepsi dan kategorisasi yang dibangun oleh Dave Hill (2007) terkait tiga model dasar praksis pendidikan neoliberalisme. Ketiga model tersebut antara lain; (i) Capitalist plan for educationyang mengarahkan agar RSBI untuk menciptakan lulusan yang mempunyai kompetensi internasional, mampu memenangkan kompetisi dalam pasar kerja di level global. Singkatnya RSBI menjadi penyedia buruh berkualitas dalam sistem kapitalisme global. (ii) Capitalist plan in education yang mengorientasikan RSBI dikelola seperti korporasi dalam rangka mencari keuntungan melalui lembaga pendidikan. Dengan menggunakan logika korporasi, sekolah menjadi penjual jasa pendidikan, murid dan orang tua sebagai konsumen yang akan memberikan keuntungan secara financial. (iii)Capitalist plan for education corporation globally memahami pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan secara global. Contoh paling mudah adalah adanya jasa jual beli lisensi, seperti sertifikat Cambridge, TOEFL, IELTS dan lainnya.

Kalau kita melihat tiga model neoliberalisme pendidikan di atas, maka ketiganya telah dikontektualisasikan melalui program RSBI dan SBI. Bagi para pendukung program ini, internasionalisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari era globalisasi, maka modus operandi di atas tidak bisa dielakkan, bila pendidikan Indonesia ingin mengikuti perkembangan pendidikan di tingkat global. Sistem pendidikan yang dominan dianut oleh dunia internasional, yang tentunya bersifat neoliberal harus diterima. Tanpa menautkan diri dengan sistem pendidikan yang berkembang, maka Indonesia akan semakin jauh tertinggal.

Sebaliknya, kelompok yang tidak sepakat dengan proyek sekolah internasional justru melihat bahwa RSBI adalah wujud keminderan bangsa Indonesia dihadapkan dunia Internasional. Seakan-akan hal-hal yang berbau internasional dianggap pasti berkualitas

dan berkelas tentutnya. Padahal pemberian label taraf internasional merupakan hasil dorongan dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and

Development) yang bertujuan memberikan legitimasi kepada mereka untuk memasarkan produk hard ware dan soft ware ke negara-negara berkembang, Indonesia termasuk di dalamnya. Produk-produk tersebut misalnya seperti sistem kurikulum, mata pelajaran, soal dan pelaksanaan ujian, hingga tenaga kerja dari negara maju ke Indonesia. Namun, alasan lainnya yang tak kalah penting bagi kelompok ini adalah, adanya infiltrasi nilai, ideologi, dan budaya neoliberalisme melalui sekolah-sekolah bertarif internasional.

RSBI Belum Berhasil

Terlepas pro dan kontra kebijakan terkait RSBI, Pemerintah SBY tetap melanjutkan kebijakan pendidikan popular ini. Bahkan meskipun Menteri Pendidikan Nasional berganti, kebijakan sebagai upaya melakukan akselerasi internasionalisasi sekolah-sekolah di Indonesia tetap diteruskan. Pada periode kedua pemerintahan SBY, Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan tetap mempertahankan RSBI sebagai salah satu program penting bagi kementerian ini. Pada sisi lain, kelompok kontra kebijakan dari berbagai Terlepas pro dan kontra kebijakan terkait RSBI, Pemerintah SBY tetap melanjutkan kebijakan pendidikan popular ini. Bahkan meskipun Menteri Pendidikan Nasional berganti, kebijakan sebagai upaya melakukan akselerasi internasionalisasi sekolah-sekolah di Indonesia tetap diteruskan. Pada periode kedua pemerintahan SBY, Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan tetap mempertahankan RSBI sebagai salah satu program penting bagi kementerian ini. Pada sisi lain, kelompok kontra kebijakan dari berbagai

Walaupun sudah berjalan selama hampir dua periode kepemimpinan SBY saat itu, polemik tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) banyak menyita perhatian publik. Bahkan salah satu media nasional menjadikan tema ini sebagai headline, Program RSB) Gagal Total (Jawa Pos, 4/01/2012). Program yang telah diimplemetasikan oleh Pemerintah sejak tahun 2005 ini dinilai gagal atau dianggap belum memenuhi harapan pembuat kebijakan. Dari evaluasi Kemendikbud, program RSBI hingga awal 2012 belum ada satu pun RSBI yang lolos menjadi Sekolah Berstandar internasional (SBI). Hal ini disebabkan karena belum terpenuhinya keberadaan staff pengajar RSBI yang berijazah S2 (20% guru SMA dan 30% guru SMK), disamping juga masih minimnya kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki para guru yang berlabel RSBI.

Akan tetapi, Muhammad Nuh sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasionalmasih tetap optimis bahwa program RSBI belum berhasil bukan berarti gagal total karena memang program ini masih dalam proses. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ke depan program ini tetap dilaksanakan tentu dengan berbagai peningkatan dan perbaikan yang didasarkan pada evaluasi Kemendikbud. Wujud konkretnya pemerintah tetap akan memberikan subsidi sekolah-sekolah yang berlabel RSBI serta memberikan pendanaan bagi guru-guru RSBI yang belum menempuh S2. Pemerintah juga akan menghentikan sementara permohonan usulan RSBI baru di setiap jenjang pendidikan.

Dalam kasus ini, perlu diapresiasi keberanian Kemendikbud dalam merilis kegagalan Program RSBI yang didasarkan pada evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan-nya di awal tahun 2012 saat itu. Jarang sekali sebuah instansi yang secara jujur mengakui ketidakberhasilan program kerjanya. Tentu ini menunjukkan sebuah budaya good governance secara prosedural (akuntabilitas dan transparansi), meskipun secara subtansial bisa jadi kebijakan yang dibuat bertentangan dengan filosofi negara (baca; Pancasila dan UUD) bila dikaitkan dengan hak dasar warga negara, yaitu persamaan hak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap warga negara.

Lebih lanjut, bagi kelompok yang tidak sepakat dengan kebijakan RSBI beragurgmen bahwa program ini bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD, karena secara sadar Pemerintah telah melakukan diskriminasi pelayanan pendidikan, mengedepankan nilai- nilai internasionalisme daripada nasionalisme dan membiarkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Pemerintah juga tak kalah argumentasi, bahwa program RSBI ini merupakan derivasi dari amanat Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Sisdiknas . Dalam aturan tersebut dinyatakan; Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional .

Landasan hukum inilah yang membuat pemerintah (Kemendikbud) tetap percaya diri untuk melanjutkan program RSBI meskipun dianggap gagal dan mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai kalangan. Kelompok kontra (FSGI, LBH Pendidikan,Koalisi Pendidikan, ICW, YLBHI, Elsam) kebijakan ini pun juga tidak mau kalah langkah, mereka Landasan hukum inilah yang membuat pemerintah (Kemendikbud) tetap percaya diri untuk melanjutkan program RSBI meskipun dianggap gagal dan mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai kalangan. Kelompok kontra (FSGI, LBH Pendidikan,Koalisi Pendidikan, ICW, YLBHI, Elsam) kebijakan ini pun juga tidak mau kalah langkah, mereka

Selain perdebatan dasar hukum yang dijadikan titik berangkat, yang lebih menarik dalam perspektif penulis adalah argumentasi yang berkaitan dengan peningkatan prestasi siswa dan persaingan global. Hal ini seperti yang seringkali disampaikan oleh Mendikbud (saat itu) Muhammad Nuh, bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya RSBI adalah untuk menampung pelajar-pelajar Indonesia yang berprestasi. Menurutnya, diperlukan perlakukan khusus bagi siswa yang mempunyai keunggulan prestasi agar mereka dapat berkembang dan mampu bersaing di tingkat global. Maka, selain siswa memiliki nilai mata pelajaran yang memuaskan (dibuktikan dengan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tinggi), mereka juga mempunyai penguasaan bahasa Inggris yang mumpuni. Memperkuat argumentasi Muhammad Nuh, Suyanto, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah saat itu, juga pernah menyampaikan bahwa selain meningkatkankan kualitas pendidikan untuk bersaing di era global, RSBI diharapkan bisa menghemat pengeluaran devisa negara. Sebab, RSBI bisa menekan jumlah orang-orang (kelas menengah ke atas) menyekolahkan anaknya ke luar negeri (Jawa Pos, 8/01/2012).

Sadar atau tidak argumentasi yang dikemukan oleh pemerintah menunjukkan standpoint dalam wacana globalisasi. Pemerintah menerima globalisasi sebagai diskursus yang nyata dan bahkan kalau perlu mengimplementasikan globalisasi pra-syarat bagi kemajuan

bangsa. Kalau dalam persoalan ekonomi politik pemerintah kita sudah menganut doktrin globalisasi yang diboncengi neoliberalisme, pelan tapi pasti kebijakan di sektor pendidikan juga akan atau bahkan telah menganut paradigma neoliberal. Ambil contoh kasus UU Sisdiknas, bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan dikurangi, atas dalih mengajak partisipasi masyarakat agar lebih merasa memiliki. Justru sebaliknya, hal ini membawa konsekuensi pada terjadinya privatisasi dan komodifikasi di kalangan masyarakat.

Kemunculan RSBI pun tidak bisa lepas dari diskursus persaingan bebas di era globalisasi. Pemerintah dengan mendasarkan diri pada UU Sisdiknas mempunyai kewajiban untuk membentuk SBI (Sekolah Berstandar Internasional) yang sebelumnya dimulai dengan pembetukan RSBI. Dana khusus pun diberikan dalam rangka mengenjot program ini, untuk SD yang berlabel RSBI diberikan subsidi 500 juta/tahun, SMP subsidi 400 juta/tahun, SMA subsidi 600 juta/tahun dan SMK 950 juta/tahun. Belum lagi ditambah dengan beasiswa bagi guru yang mengajar di sekolah yang ber-label RSBI (Jawa Pos, 4/01/2012). Tentu sekolah yang berlabel RSBI adalah sekolah yang memang sudah cukup dan memang berkualitas di daerah masing-masing yang didukung dengan SDM dan finansial mencukupi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana nasib sekolah yang dianggap tidak favorit, pinggiran atau bahkan di daerah terpencil?

Tentu nasib mereka semakin mengenaskan, karena tidak menjadi perhatian utama atau prioritas kebijakan pemerintah. Padahal merekalah yang sebenarnya juga tidak kalah untuk diperhatikan. Fakta yang lebih menyakitkan lagi adalah meskipun anggaran pendidikan sudah ditambah ternyata banyak infrastruktur sekolah (yang dianggap pinggiran dan kurang berprestasi) baik di kota, desa dan daerah pinggiran cukup Tentu nasib mereka semakin mengenaskan, karena tidak menjadi perhatian utama atau prioritas kebijakan pemerintah. Padahal merekalah yang sebenarnya juga tidak kalah untuk diperhatikan. Fakta yang lebih menyakitkan lagi adalah meskipun anggaran pendidikan sudah ditambah ternyata banyak infrastruktur sekolah (yang dianggap pinggiran dan kurang berprestasi) baik di kota, desa dan daerah pinggiran cukup

Kalau dilihat dari perspektifkritis, RSBI jelas diperuntukan bagi masyarakat kelas menengah atas. Argumentasi bahwa RSBI dimaksudkan untuk menampung siswa yang berprestasi dan alasan menghemat devisa negara, karena meminimalisir orang-orang kaya menyekolahkan anak mereka ke luar negeri, jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah atas. Dan memang secara faktual, siswa yang masuk ke RSBI

adalah mereka yang berasal dari kasta sosial menengah atas. Tidak ada argumentasi khusus pemerintah tentang RSBI yang dikaitkan dengan kepentingan kelompok mayoritas

masyarakat yang tidak beruntung. Padahal pemerataan kualitas pendidikan bagi kelas sosial yang tidak beruntung inilah yang seharusnya diutamakan.

Sebagai program internasional RSB) tentu membutuhkan pendanaan yang juga bertarif internasional untuk mengembangkan kualitas suprastruktur, struktur dan infrastruktur

pendidikan. Meskipun pemerintah memberikan subsidi di masing-masing jenjang pendidikan, masih saja banyak ditemui sekolah yang ber- merk RSB) memungut tambahan biaya. Seakan-akan dengan label RSBI sekolah mendapatkan legitimasi untuk menarik biaya kepada siswa, dan bagi sekolah yang nakal menjadikan media menambah pemasukan tambahan. Bagi orang tua (kaya) yang terobsesi agar anaknya bisa

menyandang siswa berkelas internasional tentu dana bukan halangan. Kalau perlu, meskipun sebenarnya anaknya tidak terseleksi masuk sekolah/kelas internasional, mereka

akan berusaha merayu atau bahkan menyuap pihak sekolah demi social prestige (terjemahan).

Meskipun belum ada penelitian secara resmi tentang kelas sosial siswa yang masuk di RSB), tetapi saya berasumsi bahwa mayoritas berasal dari kelas sosial menengah atas. Ada beberapa argumentasi yang perlu dibuktikan; pertama; siswa yang siap masuk RSBI

adalah mereka anak-anak yang secara asupan gizi tercukupi atau bahkan lebih, sehingga mempengaruhi kesehatan dan kecerdasan anak secara biologis. Kedua; anak-anak secara akademik cukup baik, terutama dalam mata pelajaran matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), dan bahasa Inggris. Untuk menguasai mata pelajaran ini biasanya orang tua memberikan les tambahan atau kalau perlu les privat untuk menguasai mata pelajaran yang menjadi syarat utama masuk kelas Internasional. Ketiga, diperlukan tambahan dana khusus untuk mengikuti kelas internasional; mulai dari buku billingual, laptop, ujian internasional dan kebutuhan lainnya yang berbeda dengan sekolah/kelas reguler. Ketiga, budaya sekolah/kelas. Bagi siswa RSBI; misalnya siswa SMA Negeri Favorit, mereka seperti pindah kelas dari sekolah elit/favorit sebelumnya yang juga berlabel RSBI, yang juga mayoritas berasal dari kelas menengah atas, mereka akan sangat mudah menyesuaikan budaya belajar dengan sekolah/kelas internasional. Meskipun ada siswa dari kelas menengah bawah yang berprestasi ,jumlahnya relatif kecil yang dapat masuk RSBI. Kalau pun mereka bisa masuk ke kelas internasional, mereka akan mengalami shock culture ketika berinteraksi dengan teman-teman mereka yang berasal dari kelas menengah atas dengan life style(gaya hidup) yang berbeda (Mudzakkir, 2012).

Siswa-siswa alumni RSBI (nantinya SBI) akan dengan mudah masuk PTN favorit atau bahkan Perguruan Tinggi di luar negeri. Dengan label alumnus RSBI atau SBI tentu sangat mudah bagi mereka mengikuti pelajaran di perguruan tinggi. Di kampus-kampus ternama itulah mereka memperkuat modal budaya, sosial dan simbolik baik bergabung dengan organisasi intra kampus, organisasi ekstra, atau pun profesi, sehingga ketika mereka lulus kampus mereka sudah sangat siap untuk bersaing di dunia nyata. Dengan ilmu, skill dan social networking yang mereka miliki tentu sangat gampang kalau hanya sekedar untuk bekerja atau membangun bisnis. Hal itu pun akan dilakukan oleh anak-anak mereka, sehingga ketika anak mereka masuk sekolah/perguruan tinggi favorit, sebenarnya mereka hanya menjaga tradisi keluarga kelas menengah atas. Dan kalau pun mereka berprestasi, itu merupakan suatu hal yang wajar, dan bukan hal yang luar biasa karena mereka telah memiliki prasyarat untuk meraihnya. Kondisi ini akan sangat berbeda apabila terjadi pada anak kelas menengah bawah, mereka bukan menjaga tradisi tetapi melakukan “perjuangan kelas atau mobilitas vertikal .

Internasionalisasi yang Gagal

Upaya pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses internasionalisasi pendidikan melalui kebijakan RSBI ternyata tidak semulus seperti yang dibayangkan. Meskipun mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk yayasan atau lembaga pendidikan swasta yang menyelenggarakan RSBI, suara mereka tidak senyaring kelompok yang menolak. Berbagai kelompok masyarakat yang menolak kebijakan ini, khususnya yang dimotori oleh lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyakarat, akademisi dan

anggota Parlemen tetap bergerilya menghentikan kebijakan tersebut 3 . Hingga pada akhirnya kelompok ini mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi terkait Undang-undang yang menjadi dasar diberlakukannya RSBI.

Gerakan penolakan terhadap pemberlakukan RSBI mengalami puncaknya ketika Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengabulkan tuntutan Judicial Reviewyang diajukan oleh beberapa elemen masyarakat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan

tersebut dengan mendasarkan diri pada beberapa argumentasi yuridis maupun sosiologis 4 . Pertama, status-status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional tersebut memunculkan diskriminasi dalam pendidikan dan membuat sekat antara lembaga pendidikan.Penggolongan kasta dalam sekolah seperti SBI, RSBI dan Sekolah Reguler itu bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.Kedua, biaya tambahan karena sistem RSBI merupakan bentuk ketidakadilan

3 Kelompok masyarakat yang secara fokal menyerukan pembubaran RSBI mereka antara lain FSGI, LBH Pendidikan, Koalisi Pendidikan, ICW, YLBHI, ElSAM. Mereka secara kolektif mengajukan judicial review

terhadap landasan yuridis program unggulan ini. Sedangkan anggota parlemen yang juga ikut menolak adalah Fayakhun Andriadi, anggota Fraksi Partai Golkar di DPR RI. Ia mengingatkan pemerintah Indonesia tidak membuat `kastanisasi pendidikan` melalui RSBI karena mencederai keadilan masyarakat, terutama mereka yang kurang beruntung. (ANTARA News, 30/03/2010).

4 Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dengan dikabulkannya uji materi tersebut,

RSBI dibubarkan oleh MK. Dalam pembacaan amar putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

terhadap hak untuk memperoleh pendidikan yang setara. Hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI atau SBI yang merupakan sekolah kaya atau elit. Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum (sekolah miskin).

Lebih lanjut, ketiga, penekanan bahasa Inggris bagi siswa di sekolah RSBI atau SBI dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928. Sumpah pemuda tersebut dalam salah satu ikrarnya menyatakan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Sebab itu, lanjutnya, seluruh sekolah di Indonesia seharusnya menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Adanya aturan bahwa bahasa Indonesia hanya dipergunakan sebagai pengantar untuk di beberapa mata pelajaran seperti pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal di RSBI/SBI, maka sesungguhnya keberadaan RSBI atau SBI secara sengaja mengabaikan peranan bahasa Indonesia dan bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia.

Dengan dibatalkannya pasal 50 ayat 3 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka berdampak pula bagi kelanjutan program internasionalisasi pendidikan menengah di Indonesia, yaitu RSBI dan SBI. Padahal pasal tersebut telah menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan 1300-an sekolah berlabel RSBI. Dengan keputusan MK ini, berarti status RSBI harus dihapus dan penyelenggaraan satuan pendidikan berkurikulum

internasional tidak diperbolehkan lagi. Sebagai konsekuennyaturunannya, pemerintah harus segera mencabut Permendiknas No 78/2009 tentang Penyelenggaraan RSBI. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus melakukan revisi terhadap undang-undang sistem pendidikan nasional yang isi pasalnya sudah tidak lagi relevan (Kompas, 8/01/2013).

Pada lain ada kelompok yang tetap melihat RSBI memiliki dimensi positif dalam meningkatkan sekaligus melakukan akselerasi kualitas pendidikan Indonesia di tingkat regional maupun Internasional. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Nugroho (2013), bahwa sisi positif yang selama ini dikembangkan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) harus terus dilanjutkan.

" Meski RSB) sudah ’almarhum’ dengan keputusan Mahkamah Konstitusi MK , sisi positif yang ada di RSBI harus dilanjutkan. Kan tidak semua yang ada di RSBI jelek," kata Nugroho di Semarang, Selasa (Kompas, 8/1/2013).