Piala Dunia dalam Politik Negara
Harian Rakyat Aceh, 26 Juni 2014.
PIALA DUNIA DALAM POLITIK NEGARA
Danil Akbar Taqwadin, MSc.
Beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan pergelaran sepakbola terbesar sejagad yang
diadakan di Brazil, Piala Dunia atau World Cup 2014. Turnamen ini akan dimeriahkan oleh 32
negara yaitu; Brazil, Kroasia, Mexico, Kamerun, Spanyol, Belanda, Chili, Australia, Kolombia,
Yunani, Pantai Gading, Jepang, Uruguay, Kosta Rika, Inggris, Italia, Swiss, Ekuador, Perancis,
Honduras, Argentina, Bosnia Herzegovina, Iran, Nigeria, Jerman, Portugal, Ghana, Amerika
Serikat, Belgia, Aljazair, Russia, dan Korea Selatan.
Jutaan pasang mata diprediksi akan menyaksikan turnamen akbar ini. Walaupun berbeda
nationality tetap saja setiap orang di belahan dunia manapun memiliki tim yang diusung untuk
menjuarai turnamen ini. Para produsen jersey timnas mengharapkan meraup keuntungan sebesarbesarnya dalam momentum ini. Berbagai produk entertainment berkaitan World Cup menjadi
best seller dan hot topic yang dapat dijual mahal.
Di Indonesia sendiri, momen World Cup selalu disambut antusias dan gempita. Masyarakat
antusias menyambut pergelaran akbar yang diadakan 4 tahun sekali ini. Kafe dan resto telah
mempersiapkan konsep dan tempat yang layak untuk menyambut penikmat sepakbola. Berbagai
media massa juga telah “menghitung mundur” pergelaran ini. Kolom dan durasi telah disediakan
khusus oleh awak media untuk menyampaikan perkembangan seputar World Cup 2014.
Sepakbola : Kehidupan Politik, Ekonomi dan Sosial
Sepakbola, sebagai olahraga universal dan trans-boundary, mempengaruhi kehidupan politik,
ekonomi dan sosial masyarakat sebuah negara atau antar negara. Sepakbola dapat digunakan
sebagai instrumen perdamaian dan pemersatu bangsa. Menurut Marty Natalegawa, Menteri Luar
Negeri Indonesia dalam tabloid Diplomasi (15 Juli – 14 Agustus 2013), “Olahraga (termasuk
Sepakbola) adalah bagian dari diplomasi publik dan sarana untuk menjalin persahabatan dan
perdamaian antar negara.” Oleh karena itu, olahraga dapat mengisi gap antar actor negara,
mempromosikan kerjasama, dialog dan pembangunan. Prinsipnya, Sepakbola dapat
menyebarkan nilai-nilai positive seperti sportifitas, disiplin, toleransi dan welas asih (Murray,
2012). Selain itu menurut Deyo (2013), sepakbola, dapat menginspirasi revolusi yang
menyebabkan perang, atau mengangkat harkat dan martabat sebuah bangsa dan masyarakat.
Tahukah anda, bahwa sepakbola pernah dinominasikan sebagai peraih penghargaan nobel
perdamaian? Lars Gustafsson, seorang berkebangsaan Swedia, menominasikan sepakbola
sebagai pemenang nobel perdamaian pada tahun 2001. Alasannya, “Sepakbola telah dan akan
terus memainkan peran pentingnya dalam arena global, ketika berusaha menciptakan
kesepahaman antar manusia” (Cronin dalam LATimes.com/13/7/2010). Faktanya, terkadang
negara yang saling bermusuhan bertemu dalam sebuah pergelaran pertandingan sepakbola, dan
orang berpikir bahwa ini adalah hal yang ganjil. Salah satu contoh yang menarik terjadi pada
World Cup 1998 di Perancis. Pada saat itu, tim Amerika Serikat bertemu dengan tim Iran di
babak kualifikasi grup F. Dalam pertandingan di dalam grup F yang mempertemukan kedua
negara tersebut, Iran merupakan tim B dan Amerika Serikat adalah tim A. Saat pertandingan
Harian Rakyat Aceh, 26 Juni 2014.
akan berlangsung, menurut aturan FIFA, tim B seharusnya berjalan menuju tim A dan
bersalaman. Namun, pemimpin tertinggi Iran saat itu, Ayatollah Khomeini, memberikan perintah
tiba-tiba melarang pemain Iran menyalami pemain US sebelum pertandingan, namun hal tersebut
dapat diselesaikan setelah tim US bersedia untuk memberi salam “duluan” kepada para pemain
Iran. Bahkan kedua tim bersedia berfoto bersama sebelum pertandingan berlangsung (Longman
dalam NYTimes.com/18/6/1998). Dalam pertandingan yang berlangsung alot tersebut, Iran
berhasil mengalahkan US dengan skor 2-1. Hal ini disambut gempita oleh seluruh rakyat Iran.
Bahkan saat tim sepakbola pulang ke negaranya, mereka disambut langsung oleh President
Mohammed Khatami, dan mengeluarkan fatwa bahwa rakyat harus meniru persatuan dan disiplin
yang telah dilakukan oleh tim sepakbola ini (Goldblatt, 2008). Walaupun gagal, para pemain US
menganggap bahwa mereka telah menjadi tonggak sejarah hubungan yang lebih baik dengan
Iran. Lalu, 18 bulan kemudian, kedua tim bertanding kembali di dalam laga persabahatan di
Pasadena, California, yang menandakan mulai terjalinnya komunikasi antar kedua negara. Hal
ini menjadi salah satu alasan “Sepakbola” berhasil menjadi salah satu nominator dalam Nobel
Peace Prize pada tahun 2001 (Deyo, 2013).
Selain itu, tahukah anda bahwa hak untuk mengadakan World Cup menjadi rebutan negaranegara di dunia, termasuk Indonesia? Dari sisi ekonomi, pergelaran World Cup menjadi salah
satu event yang paling banyak meraup keuntungan bagi negara dan masyarakat secara instan.
Buktinya, Pemerintah Afrika Selatan yang menggelar World Cup 2010 mengklaim bahwa hampir
dari 3,2 milyar penonton menyaksikan pergelaran akbar ini. Sehingga, pemerintah Afrika Selatan
berusaha membuat negaranya atraktif dengan segala infrastruktur. Dalam pembangunan untuk
World Cup 2010, Pemerintah Afrika Selatan menyediakan 400,000 lapangan pekerjaan. Dalam
hal ini termasuk pembangunan kereta api cepat, sistem transportasi bus, infrastucture teknologi
komunikasi dan informasi. Selain itu, revenue sektor wisata dan retail mengalami peningkatan
yang signifikan, diperkirakan 350,000 supporters berkunjung ke Afrika Selatan selama bulan
Juni - Juli 2010 dan menggelontorkan 405 juta US Dollar selama rentang periode ini. Selama
periode ini pula, brand produk Afrika Selatan meraup keuntungan sekitar 223 juta dollar US.
Pembangunan stadion-stadion megah pula, menarik minat para promotor dan musisi dunia untuk
menggelar konser di Afrika Selatan (Wilson dalam BBC.co.uk/12/7/2010). Pembangunan
ekonomi World Cup ini pula yang melandasi undangan untuk bergabung dengan grup Ekonomi
BRIC antara Brazil, Russia, India dan China pada bulan desember 2010 (Cherian, Roubini, &
Ziemba dalam Forbes.com/17/6/2010).
Dari sisi sosial masyarakat, salah satu contoh kasus mungkin dapat dilihat pada dampak perang
falkland antara Argentina dan Inggris pada tahun 1983. Kekalahan Argentina dalam merebut
pulau Falkland berdampak pada jatuhnya image masyarakat terhadap Pemerintahan Argentina
yang pada saat itu diperintah oleh Leopoldo Galtieri, yang memerintahkan invasi terhadap
kepulauan Falkland yang dikuasai Inggris (Laucirica, 2000). Jatuhnya citra Argentina dalam
interaksi sosial negara-negara di dunia akibat kekalahannya dengan Inggris. Namun,
kemenangan Argentina dalam Piala Dunia 1986 berhasil mengangkat martabat dan harga diri
Pemerintah dan Rakyat Argentina di mata internasional. Pemain yang paling berjasa akan hal ini
adalah Diego Armando Maradona. Hingga saat ini, Maradona masih dianggap sebagai
“pahlawan nasional” Argentina dan sang legenda yang mampu mengangkat harga diri
pemerintah dan bangsa dalam ranah internasional (Wisnu dalam KoranSindo, 11/11/2013).
Harian Rakyat Aceh, 26 Juni 2014.
Sepakbola sebagai Soft-power Indonesia
Sepakbola sebagai cabang olahraga, juga dipercaya menjadi bagian dari soft-power sebuah
negara. Soft power sendiri dianggap sebagai kemampuan persuasi suatu pihak dengan cara damai
meyakinkan pihak lain untuk melakukan apa yang diinginkannya. Memang dalam era globalisasi
sekarang ini, tidak normatif tampaknya apabila mengedepankan penggunaan hard-power
(militer) dalam relasi hubungan antar negara. Oleh karena itu, tingkat kecermelangan sebuah
negara dalam bidang olahraga juga dipercaya dapat meningkatkan level soft-powernya, yang
mengedepankan ide-ide normatif, citra positif suatu negara dan pada akhirnya negara lain tertarik
melakukan kerja sama atau mampu melakukan persuasi kepada negara lain ( Wisnu dalam
KoranSindo,11/11/2013).
Dalam konteks Indonesia, walaupun masih termasuk dalam ranah “low-politics,” banyak
perubahan yang dilakukan oleh Kementerian Olahraga dalam menangani permasalahan
bagaimana mengangkat citra sepakbola Indonesia di mata internasional. Salah satunya dengan
menggembleng Timnas U-19 yang diproyeksikan dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa
Indonesia di ranah Internasional. Upaya-upaya untuk mendongkrak rating, competitiveness,
professionalisme sepakbola dalam level domestik juga telah dilakukan oleh instansi terkait.
Namun, apakah hal ini cukup untuk meningkatkan level soft-power Indonesia dalam bidang
olahraga, dan meningkatkan rasa nasionalisme bangsa melalui sepakbola? Tentu saja tidak!
Banyak hal yang harus dilakukan untuk sepakbola Indonesia, bukan hanya pemerintah sendiri,
tetapi juga masyarakatnya.
Hemat saya, sepakbola sepatutnya dapat membangun citra Indonesia di level internasional
sebagaimana cabang olahraga bulutangkis yang telah lama mapan. Besarnya nama sepakbola
Indonesia bukan hanya dapat meningkatkan level soft-power Indonesia di mata dunia, tetapi juga
dapat menjadi salah satu instrumen politik pemerintah untuk mengembalikan rasa nasionalisme
bangsa yang sudah lama ‘koyak’ dengan berbagai permasalahan yang ada. Pertanyaannya,
dengan segudang kebijakan dan secercah cahaya apakah ‘mimpi’ tampil di World Cup bagi
Indonesia dapat terjadi?
Danil Akbar Taqwadin, BIAM., MSc.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNSYIAH. Peneliti pada Lembaga Kajian Hukum Aceh.
Email : [email protected]
PIALA DUNIA DALAM POLITIK NEGARA
Danil Akbar Taqwadin, MSc.
Beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan pergelaran sepakbola terbesar sejagad yang
diadakan di Brazil, Piala Dunia atau World Cup 2014. Turnamen ini akan dimeriahkan oleh 32
negara yaitu; Brazil, Kroasia, Mexico, Kamerun, Spanyol, Belanda, Chili, Australia, Kolombia,
Yunani, Pantai Gading, Jepang, Uruguay, Kosta Rika, Inggris, Italia, Swiss, Ekuador, Perancis,
Honduras, Argentina, Bosnia Herzegovina, Iran, Nigeria, Jerman, Portugal, Ghana, Amerika
Serikat, Belgia, Aljazair, Russia, dan Korea Selatan.
Jutaan pasang mata diprediksi akan menyaksikan turnamen akbar ini. Walaupun berbeda
nationality tetap saja setiap orang di belahan dunia manapun memiliki tim yang diusung untuk
menjuarai turnamen ini. Para produsen jersey timnas mengharapkan meraup keuntungan sebesarbesarnya dalam momentum ini. Berbagai produk entertainment berkaitan World Cup menjadi
best seller dan hot topic yang dapat dijual mahal.
Di Indonesia sendiri, momen World Cup selalu disambut antusias dan gempita. Masyarakat
antusias menyambut pergelaran akbar yang diadakan 4 tahun sekali ini. Kafe dan resto telah
mempersiapkan konsep dan tempat yang layak untuk menyambut penikmat sepakbola. Berbagai
media massa juga telah “menghitung mundur” pergelaran ini. Kolom dan durasi telah disediakan
khusus oleh awak media untuk menyampaikan perkembangan seputar World Cup 2014.
Sepakbola : Kehidupan Politik, Ekonomi dan Sosial
Sepakbola, sebagai olahraga universal dan trans-boundary, mempengaruhi kehidupan politik,
ekonomi dan sosial masyarakat sebuah negara atau antar negara. Sepakbola dapat digunakan
sebagai instrumen perdamaian dan pemersatu bangsa. Menurut Marty Natalegawa, Menteri Luar
Negeri Indonesia dalam tabloid Diplomasi (15 Juli – 14 Agustus 2013), “Olahraga (termasuk
Sepakbola) adalah bagian dari diplomasi publik dan sarana untuk menjalin persahabatan dan
perdamaian antar negara.” Oleh karena itu, olahraga dapat mengisi gap antar actor negara,
mempromosikan kerjasama, dialog dan pembangunan. Prinsipnya, Sepakbola dapat
menyebarkan nilai-nilai positive seperti sportifitas, disiplin, toleransi dan welas asih (Murray,
2012). Selain itu menurut Deyo (2013), sepakbola, dapat menginspirasi revolusi yang
menyebabkan perang, atau mengangkat harkat dan martabat sebuah bangsa dan masyarakat.
Tahukah anda, bahwa sepakbola pernah dinominasikan sebagai peraih penghargaan nobel
perdamaian? Lars Gustafsson, seorang berkebangsaan Swedia, menominasikan sepakbola
sebagai pemenang nobel perdamaian pada tahun 2001. Alasannya, “Sepakbola telah dan akan
terus memainkan peran pentingnya dalam arena global, ketika berusaha menciptakan
kesepahaman antar manusia” (Cronin dalam LATimes.com/13/7/2010). Faktanya, terkadang
negara yang saling bermusuhan bertemu dalam sebuah pergelaran pertandingan sepakbola, dan
orang berpikir bahwa ini adalah hal yang ganjil. Salah satu contoh yang menarik terjadi pada
World Cup 1998 di Perancis. Pada saat itu, tim Amerika Serikat bertemu dengan tim Iran di
babak kualifikasi grup F. Dalam pertandingan di dalam grup F yang mempertemukan kedua
negara tersebut, Iran merupakan tim B dan Amerika Serikat adalah tim A. Saat pertandingan
Harian Rakyat Aceh, 26 Juni 2014.
akan berlangsung, menurut aturan FIFA, tim B seharusnya berjalan menuju tim A dan
bersalaman. Namun, pemimpin tertinggi Iran saat itu, Ayatollah Khomeini, memberikan perintah
tiba-tiba melarang pemain Iran menyalami pemain US sebelum pertandingan, namun hal tersebut
dapat diselesaikan setelah tim US bersedia untuk memberi salam “duluan” kepada para pemain
Iran. Bahkan kedua tim bersedia berfoto bersama sebelum pertandingan berlangsung (Longman
dalam NYTimes.com/18/6/1998). Dalam pertandingan yang berlangsung alot tersebut, Iran
berhasil mengalahkan US dengan skor 2-1. Hal ini disambut gempita oleh seluruh rakyat Iran.
Bahkan saat tim sepakbola pulang ke negaranya, mereka disambut langsung oleh President
Mohammed Khatami, dan mengeluarkan fatwa bahwa rakyat harus meniru persatuan dan disiplin
yang telah dilakukan oleh tim sepakbola ini (Goldblatt, 2008). Walaupun gagal, para pemain US
menganggap bahwa mereka telah menjadi tonggak sejarah hubungan yang lebih baik dengan
Iran. Lalu, 18 bulan kemudian, kedua tim bertanding kembali di dalam laga persabahatan di
Pasadena, California, yang menandakan mulai terjalinnya komunikasi antar kedua negara. Hal
ini menjadi salah satu alasan “Sepakbola” berhasil menjadi salah satu nominator dalam Nobel
Peace Prize pada tahun 2001 (Deyo, 2013).
Selain itu, tahukah anda bahwa hak untuk mengadakan World Cup menjadi rebutan negaranegara di dunia, termasuk Indonesia? Dari sisi ekonomi, pergelaran World Cup menjadi salah
satu event yang paling banyak meraup keuntungan bagi negara dan masyarakat secara instan.
Buktinya, Pemerintah Afrika Selatan yang menggelar World Cup 2010 mengklaim bahwa hampir
dari 3,2 milyar penonton menyaksikan pergelaran akbar ini. Sehingga, pemerintah Afrika Selatan
berusaha membuat negaranya atraktif dengan segala infrastruktur. Dalam pembangunan untuk
World Cup 2010, Pemerintah Afrika Selatan menyediakan 400,000 lapangan pekerjaan. Dalam
hal ini termasuk pembangunan kereta api cepat, sistem transportasi bus, infrastucture teknologi
komunikasi dan informasi. Selain itu, revenue sektor wisata dan retail mengalami peningkatan
yang signifikan, diperkirakan 350,000 supporters berkunjung ke Afrika Selatan selama bulan
Juni - Juli 2010 dan menggelontorkan 405 juta US Dollar selama rentang periode ini. Selama
periode ini pula, brand produk Afrika Selatan meraup keuntungan sekitar 223 juta dollar US.
Pembangunan stadion-stadion megah pula, menarik minat para promotor dan musisi dunia untuk
menggelar konser di Afrika Selatan (Wilson dalam BBC.co.uk/12/7/2010). Pembangunan
ekonomi World Cup ini pula yang melandasi undangan untuk bergabung dengan grup Ekonomi
BRIC antara Brazil, Russia, India dan China pada bulan desember 2010 (Cherian, Roubini, &
Ziemba dalam Forbes.com/17/6/2010).
Dari sisi sosial masyarakat, salah satu contoh kasus mungkin dapat dilihat pada dampak perang
falkland antara Argentina dan Inggris pada tahun 1983. Kekalahan Argentina dalam merebut
pulau Falkland berdampak pada jatuhnya image masyarakat terhadap Pemerintahan Argentina
yang pada saat itu diperintah oleh Leopoldo Galtieri, yang memerintahkan invasi terhadap
kepulauan Falkland yang dikuasai Inggris (Laucirica, 2000). Jatuhnya citra Argentina dalam
interaksi sosial negara-negara di dunia akibat kekalahannya dengan Inggris. Namun,
kemenangan Argentina dalam Piala Dunia 1986 berhasil mengangkat martabat dan harga diri
Pemerintah dan Rakyat Argentina di mata internasional. Pemain yang paling berjasa akan hal ini
adalah Diego Armando Maradona. Hingga saat ini, Maradona masih dianggap sebagai
“pahlawan nasional” Argentina dan sang legenda yang mampu mengangkat harga diri
pemerintah dan bangsa dalam ranah internasional (Wisnu dalam KoranSindo, 11/11/2013).
Harian Rakyat Aceh, 26 Juni 2014.
Sepakbola sebagai Soft-power Indonesia
Sepakbola sebagai cabang olahraga, juga dipercaya menjadi bagian dari soft-power sebuah
negara. Soft power sendiri dianggap sebagai kemampuan persuasi suatu pihak dengan cara damai
meyakinkan pihak lain untuk melakukan apa yang diinginkannya. Memang dalam era globalisasi
sekarang ini, tidak normatif tampaknya apabila mengedepankan penggunaan hard-power
(militer) dalam relasi hubungan antar negara. Oleh karena itu, tingkat kecermelangan sebuah
negara dalam bidang olahraga juga dipercaya dapat meningkatkan level soft-powernya, yang
mengedepankan ide-ide normatif, citra positif suatu negara dan pada akhirnya negara lain tertarik
melakukan kerja sama atau mampu melakukan persuasi kepada negara lain ( Wisnu dalam
KoranSindo,11/11/2013).
Dalam konteks Indonesia, walaupun masih termasuk dalam ranah “low-politics,” banyak
perubahan yang dilakukan oleh Kementerian Olahraga dalam menangani permasalahan
bagaimana mengangkat citra sepakbola Indonesia di mata internasional. Salah satunya dengan
menggembleng Timnas U-19 yang diproyeksikan dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa
Indonesia di ranah Internasional. Upaya-upaya untuk mendongkrak rating, competitiveness,
professionalisme sepakbola dalam level domestik juga telah dilakukan oleh instansi terkait.
Namun, apakah hal ini cukup untuk meningkatkan level soft-power Indonesia dalam bidang
olahraga, dan meningkatkan rasa nasionalisme bangsa melalui sepakbola? Tentu saja tidak!
Banyak hal yang harus dilakukan untuk sepakbola Indonesia, bukan hanya pemerintah sendiri,
tetapi juga masyarakatnya.
Hemat saya, sepakbola sepatutnya dapat membangun citra Indonesia di level internasional
sebagaimana cabang olahraga bulutangkis yang telah lama mapan. Besarnya nama sepakbola
Indonesia bukan hanya dapat meningkatkan level soft-power Indonesia di mata dunia, tetapi juga
dapat menjadi salah satu instrumen politik pemerintah untuk mengembalikan rasa nasionalisme
bangsa yang sudah lama ‘koyak’ dengan berbagai permasalahan yang ada. Pertanyaannya,
dengan segudang kebijakan dan secercah cahaya apakah ‘mimpi’ tampil di World Cup bagi
Indonesia dapat terjadi?
Danil Akbar Taqwadin, BIAM., MSc.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNSYIAH. Peneliti pada Lembaga Kajian Hukum Aceh.
Email : [email protected]