PENGUATAN KETAHANAN PANGAN DAERAH UNTUK

PENGUATAN KETAHANAN PANGAN DAERAH
UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Mewa Ariani
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Abstrak
Ketahanan pangan merupakan salah satu program utama di Indonesia. Tujuan paper
ini menganalisis ketahanan pangan nasional saat ini dan kaitannya dengan penguatan ketahanan
pangan daerah. Hasil kajian ketahanan pangan nasional membaik dengan ditunjukkan oleh
peningkatan produksi pangan, ketergantungan pangan terhadap impor sangat kecil dan
peningkatan konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan. Namun hal itu tidak
menjamin di daerah, kasus busung lapar menunjukkan adanya permasalahan ketahanan pangan
di daerah. Oleh karena itu, diperlukan penguatan ketahanan pangan daerah dengan melakukan
advokasi kembali yang lebih intensif kepada pemerintah daerah sesuai dengan tugas, wewenang
dan kesepakatan yang telah dibuat. Selain itu pemerintah daerah harus terus berupaya untuk
mensosialisasi kelembagaan ketahanan pangan daerah yang telah terbentuk dan mendorong
keikutsertaan swasta dan masyarakat agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk
mewujudkan ketahanan pangan daerah dengan memperhatikan aspek ketahanan pangan.
Kata kunci : penguatan, ketahanan pangan daerah, ketahanan pangan nasional


PENDAHULUAN
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals
(MDG) terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator menegaskan bahwa tahun 2015
setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun
1990. Salah satu tujuan besar dari kesepakatan tersebut adalah mengurangi bencana
kelaparan dan kemiskinan (http://millennium indicators.un.org). Membicarakan masalah
kemiskinan tidak terlepas dari membahas masalah ketahanan pangan bahkan juga
ketahanan gizi, karena kedua hal tersebut saling terkait.
Disisi lain mengabaikan ketahanan pangan berarti membiarkan rendahnya
kualitas sumberdaya manusia. Dari Human Development Report (HDR) tahun 2003
diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia (yang ditentukan
dengan indikator tingkat ekonomi, pendidikan dan kesehatan) hanya menempati urutan
ke 112 dari 175 negara, merosot dari urutan ke 105 pada HDR tahun 1999 (Irawan,
2004).

23

Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar (215 juta orang),
masalah pangan selalu merupakan masalah yang sensitif. Sering terjadi gejolak politik
karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu tidaklah

mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga menjadi
komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas (Sambutan Menko
Perekonomian, 2005) Ketahanan pangan telah menjadi komitmen nasional berdasarkan
pada pemahaman atas peran strategis dalam pembangunan nasional. Tiga aspek
peran strategis tersebut antara lain adalah : 1) Akses terhadap pangan dan gizi yang
cukup merupakan hak yang paling azasi bagi manusia. 2) Peranan penting pangan bagi
pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas dan 3) Ketahanan pangan
merupakan salah satu pilar utama yang menopang ketahanan pangan ekonomi dan
ketahanan nasional ( Anonimous, 2003).
Komitmen Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan tertuang pada
Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia (PP) No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Ketahanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau.
Berkaitan dengan ketahanan pangan juga terdapat dalam Peraturan Presiden
No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang salah
satunya bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan baik pada tingkat rumah
tangga, daerah maupun nasional. Pada tanggal 11 Juni 2005, pemerintah
mencanangkan strategi kebijakan yang disebut Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan (RPPK). Strategi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, nelayan dan petani-hutan; meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan
dan kehutanan; serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan dan
kehutanan (Kantor menko Perekonomian dkk, 2005). RPPK diawali dengan penegasan
dan pengakuan atas posisi strategis dan peran multi fungsi pertanian, perikanan dan
kehutanan yang salah satunya dikaitkan dengan ketahanan pangan. Makalah ini
membahas situasi ketahanan pangan saat ini dan kaitannya dengan ketahanan pangan
daerah.
SITUASI KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Secara definisi, konsep ketahanan pangan telah jelas seperti telah disebutkan
terdahulu. Namun dalam penjabarannya terdapat variasi dikarenakan konsep ketahanan
pangan memang luas dan komplek menyangkut berbagai hal. Menurut Pribadi (2005)
cakupan ketahanan pangan adalah : (1) Ketersediaan pangan yang mencakup produksi,
cadangan dan pemasukan, (2) Distribusi/aksesibilitas mencakup fisik (mudah dijangkau)
dan ekonomi (terjangkau daya beli), serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan

24

serta kecukupan gizi individu. Terdapat empat elemen untuk mencapai ketahanan
pangan yaitu : (1) Tersedianya pangan yang cukup yang sebagian besar berasal dari

produksi sendiri; (2) Stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, tanpa pengaruh
musim; (3) Akses atau keterjangkauan terhadap pangan yang dipengaruhi oleh akses
fisik dan ekonomi terhadap pangan, dan (4) Kualitas konsumsi pangan serta keamanan
pangan.
Dalam bagian ini akan dianalisis perkembangan: (1) Ketersediaan dan
kemandirian pangan; dan (2) Tingkat dan Kualitas konsumsi pangan. Dengan
menganalisis aspek konsumsi pangan rumah tangga secara implisit sudah tercermin
aspek keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan, atau sudah masuk aspek harga
pangan dan pendapatan rumah tangga karena faktor utama yang mempengaruhi
konsumsi pangan adalah daya beli rumah tangga yang merupakan gabungan dari aspek
pendapatan rumah tangga dan harga pangan. Analisis konsumsi merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dengan upaya mencapai sasaran ketahanan pangan secara
keberlanjutan karena analisis konsumsi pangan adalah “entry point” analisis ketahanan
pangan, khususnya di tingkat rumah tangga.
Perkembangan Produksi dan Kemandirian Pangan
Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan
konsumsi, namun dinilai belum mencukupi (necessary but not sufficient) dalam konteks
ketahanan pangan, karena masih banyak variabel yang berpengaruh untuk mencapai
ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga. Oleh karena itu, berbagai upaya
telah dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri

(domestik). Bila terjadi kelebihan (surplus), pangan tersebut dapat diperdagangkan
antar wilayah terutama bagi wilayah yang mengalami defisit pangan dan ekspor.
Sebaliknya bila terjadi defisit, sebagian pangan untuk konsumsi dalam negeri dapat
dipenuhi dari pasar luar negeri atau impor.
Gambaran perkembangan produksi dan kemandirian pangan dapat dilihat
pada Tabel 1 dan 2. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan ketahanan pangan
melalui berbagai kebijakan yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan pangan.
Bahkan pemerintah telah menetapkan kebijakan swasembada pangan untuk lima
komoditas penting yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula. Pada tahun 2004,
Indonesia telah berswasembada beras dan terus diupayakan keberlanjutannya,
sementara target swasembada jagung pada tahun 2007, gula tahun 2009, daging sapi
tahun 2010 dan kedelai tahun 2015 (Dewan Ketahanan Pangan dan FAO, 2005).
Seperti terlihat pada Tabel 1, produksi beberapa jenis pangan sumber pangan
nabati dan hewani di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Laju
peningkatan pertumbuhan sekitar 1-13 persen per tahun selama periode 2001-2004
dengan peningkatan terkecil untuk komoditas beras dan terbesar komoditas buahbuahan. Permasalahan beras memang rumit karena beras yang harus disediakan untuk

25

memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam jumlah yang besar sebagai akibat

peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pengolahan pangan dengan
bahan baku beras. Di sisi lain, upaya peningkatan produksi beras menghadapi berbagai
tantangan seperti konversi lahan sawah, rusaknya saluran irigasi dan stagnasi teknologi
yang mampu meningkatkan produktivitas padi.
Tabel 1. Perkembangan Produksi Pangan, 2000-2004 (000 Ton)
2000

2001

2002

2003

2004

Laju
(%/th)

51.899


50.461

51.490

52.138

54.341

1,26

Jagung

9.677

9.347

9.654

10.886


11.355

4,81

Kedelai

1.018

827

673

672

731

-9,30

737


710

718

786

834

3,57

Ubikayu

16.089

17.055

16.913

18.524


19.507

4,71

Ubijalar

1.828

1.749

1.772

1.991

1.876

1,83

Sayuran


7.559

6.920

7.145

8.575

8.699

5,06

Buah-buahan

8.413

9.959

11.664

13.551

13.936

12,72

M.kelapa sawit

7.581

9.097

10.020

10.683

12.366

11,21

Gula

1.691

1.725

1.755

1.632

2.020

3,20

Daging sapi

386

382

373

410

426

2,73

Daging unggas

804

900

1.083

1.117

1.142

8,85

Telur

786

850

946

974

1.051

7,10

Susu

496

480

493

553

596

5,21

5.107
Ikan
Sumber : BPS, Berbagai tahun

5.353

5.516

5.841

6.231

4,88

Komoditas
Pangan nabati
Padi

Kacangtanah

Pangan hewani

Beras terlanjur sebagai pangan pokok utama bahkan juga pertama di berbagai
daerah termasuk daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok non beras
seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Selain itu beras terlanjur sebagai komoditas
politik dan publik yang melibatkan banyak pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi.
Walaupun terjadi peningkatan produksi pangan namun tetap harus waspada
terutama dalam aspek kestabilan pangan jangka panjang baik dari segi harga, volume
maupun kestabilan antara wilayah. Kestabilan tersebut akan berpengaruh tidak hanya
memacu terwujudnya ketahanan pangan tetapi juga ketahanan nasional, sebagai upaya
untuk meredam timbulnya konflik-konflik yang muncul akibat kelangkaan pangan.

26

Banyak kasus, huruhara yang terjadi di beberapa daerah atau kriminalitas akibat
kelangkaan pangan atau harga pangan yang mahal.
Kemandirian pangan yang diukur dengan ketergantungan ketersediaan
pangan terhadap impor dapat digunakan sebagai indikator kemampuan negara untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Dari angka rasio pada Tabel 2, ketergantungan
pangan Indonesia terhadap impor sangat kecil. Impor beras pada tahun 2003 hanya 2,2
persen dari total ketersediaan beras domestik, sedangkan pada tahun 2004 penurunan
menurun hanya 1,83 persen. Hanya komoditas jagung, kedelai, dan susu yang
mempunyai rasio relatif tinggi dibandingkan jenis pangan yang lain. Kinerja ini lagi-lagi
menunjukkan keberhasilan upaya pemerintah untuk terus memacu peningkatan
produksi domestik.
Tabel 2. Perkembangan Rasio Impor Pangan terhadap Ketersediaan Pangan Domestik, 20012004 (%)
Komoditas
2001
2002
2003
Pangan nabati
2,16
2,64
0,99
Beras
12,50
15,00
14,20
Jagung
15,11
21,20
18,60
Kedelai
Pangan hewani
0,00
0,00
0,00
Daging unggas
35,00
34,00
39
Susu
2,12
2.00
2,00
Ikan
Sumber : BPS dalam Deptan 2004 dan Dewan Ketahanan Pangan, 2005

2004
1,83
10,95
62,29
0,09
91,31
2,78

Keberhasilan dalam peningkatan produksi pangan juga terlihat dari tingkat
ketersediaan energi dan proteinnya. Ketersediaan energi dan protein pada tahun 2004
masing-masing sebesar 3000 Kalori dan 74 gram per kapita per hari. Secara nasional,
ketersediaan ini melebihi patokan ketersediaan energi dan protein yang dianjurkan hasil
rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII, 2004 yaitu 2200
Kalori/kap/hari dan 57 gram/kap/hari.
Perkembangan Tingkat dan Kualitas Konsumsi Pangan
Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan
konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan.
Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil menunjukkan kemampuan rumah
tangga dalam mengakses pangan. Perkembangan tingkat konsumsi pangan secara
implisit merefleksikan variabel pendapatan atau daya beli masyarakat. Variabel ini
sebagai faktor utama dalam menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh
rumah tangga (Tabel 3).

27

Pada kondisi sebelum krisis ekonomi, tingkat konsumsi pangan mengalami
peningkatan, sebaliknya waktu krisis ekonomi terjadi penurunan konsumsi pangan.
Pada masa krisis ekonomi terjadi penyesuaian (adjustment) strategi dalam pencapaian
pemenuhan kebutuhan pangan. Dengan daya beli yang menurun, masyarakat telah
mengurangi jenis pangan yang harganya mahal dan mensubstitusi dengan jenis pangan
dengan harga yang relatif murah seperti ditunjukkan oleh penurunan konsumsi pangan
hewani dan peningkatan konsumsi tahu+tempe. Sehingga pada kondisi tersebut
konsumsi pangan hewani yang harganya relatif mahal menurun dan sebaliknya
konsumsi tahu dan tempe terjadi peningkatan. Karena sifat pangan hewani yang sangat
elastis terhadap perubahan pendapatan, maka pada periode pemulihan ekonomi (19992002), konsumsi pangan hewani meningkat dan konsumsi tahu dan tempe menurun
kembali. Secara umum, konsumsi pangan menunjukkan peningkatan seperti terlihat dari
laju pertumbuhan yang bernilai positif.
Tabel. 3. Perkembangan Tingkat Konsumsi Pangan Secara Nasional Menurut Wilayah dan Jenis
Pangan,1993-2002
Jenis Pangan

Tingkat konsumsi (Kg/kap/th)
1993
1996
1999
2002

Kota
89,7
96,0
108,9
- Beras
113,5
5,4
7,7
5,6
7,1
- Ubikayu
2,8
2,1
2,6
0,2
- Mie instant
18,6
15,9
13,4
13,6
- Tahu+tempe
0,9
0,8
1,2
1,4
- Daging sapi
4,4
2,5
5,2
3,6
- Daging ayam
6,6
5,0
7,4
6,0
- Telur ayam
14,5
14,8
19,0
13,8
- Ikan segar
1,9
1,5
1,7
1,9
- Ikan olahan
Desa
109,6
111,8
121,0
- Beras
123,7
14,4
12,2
9,8
15,8
- Ubikayu
1,5
1,0
1,2
0,1
- Mie instant
13,9
10,8
10,0
8,6
- Tahu+tempe
0,3
0,3
0,3
0,3
- Daging sapi
1,5
1,2
2,7
1,6
- Daging ayam
3,9
3,1
4,6
3,3
- Telur ayam
12,6
12,2
14,6
11,8
- Ikan segar
2,7
2,4
2,8
3,0
- Ikan olahan
Sumber : BPS, Susenas 1993,1996,1999,2002 (diolah)

Laju Pertumbuhan (%)
93-96
96-99
99-02
-4,1
-21,1
1200
-1,5
14,3
44,4
23,3
37,7
-10,5

-11,8
37,5
-26,9
18,7
-33,3
-51,9
-32,4
-22,1
-11,8

-6,6
-9,9
33,3
17,0
12,5
76,0
32,0
2,0
26,7

-2,2
-38,0
1100
16,3
0,0
68,8
39,4
23,7
6,7

-7,6
24,5
-16,7
8,0
0,0
-55,6
-32,6
-16,4
-14,3

-2,0
18,0
50,0
28,7
0,0
25,0
12,9
3,3
12,5

Pencapaian ketahanan pangan tingkat rumah tangga juga dapat dilihat dari
tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein. Konsumsi energi dan protein rumah
tangga dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan bahkan sudah melebihi

28

anjuran terutama untuk kebutuhan protein. Berdasarkan hasil WNPG VI, tahun 1998,
rata-rata konsumsi energi dan protein yang dianjurkan untuk penduduk Indonesia adalah
2200 Kalori/kapita/hari dan 48 gram/kapita/hari.
Sebetulnya tingkat kecukupan konsumsi energi menunjukkan peningkatan
pada kondisi sebelum krisis yaitu dari 87,4 persen menjadi 94,0 persen; namun dengan
adanya krisis ekonomi, konsumsi energi menurun hampir 10 persen baik di kota maupun
di desa. Walaupun pada periode1999-2002, tingkat konsumsi energi meningkat sekitar 6
persen namun tingkat konsumsi energi masih belum kembali seperti pada waktu
sebelum krisis ekonomi.
Tabel 4. Perkembangan Konsumsi Energi dan Protein Secara Nasional Menurut Wilayah, 19932002
Wilayah
Energi(Kal/kap/hr)
Kota
Desa
Kota + Desa

1993

1996

1999

2002

1763
(82,0)
1937
(90,1)
1879
(87,4)

1983
(92,3)
2040
(94,9)
2019
(94,0)

1802
(81,9)
1879
(85,5)
1849
(84,0)

1954
(88,8)
2013
(91,5)
1987
(90,3)

Protein (gr/kap/hr)
Kota

55,9
49,3
55,9
45,3
(116,7)
(102,7)
(121,0)
(98,3)
53,2
48,2
53,7
Desa
45,6
(110,8)
(100,4)
(116,2)
(98,7)
54,4
48,6
54,5
Kota + Desa
45,5
(113,3)
(101,5)
(118,0)
(98,5)
Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan tingkat kecukupan Energi dan Protein .
Sumber : BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)

Kualitas konsumsi pangan yang diukur dengan konsep Pola Pangan Harapan
(PPH), juga menunjukkan peningkatan. Skor mutu pangan terus meningkat dari 66,2
tahun 1993 menjadi 69,8. Namun pada waktu krisis ekonomi, kualitas konsumsi pangan
menurun menjadi 62,4. Hal yang menggembirakan walaupun tingkat konsumsi energi
pada tahun 2002 masih lebih kecil dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis ekonomi
namun kualitas konsumsi pangannya menunjukkan kebalikannya. Kondisi pemulihan
ekonomi telah mampu meningkatkan kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan
dengan skor mutu pangan mencapai 71,8. Hal ini juga mengindikasikan bahwa
masyarakat telah mulai berubah dalam konsep pangan yang sudah mengarah pada
terjadinya diversifikasi konsumsi pangan dengan menganekaragamkan jenis pangan
yang dikonsumsi. Seperti terlihat pada Tabel 5, konsumsi energi dari pangan hewani,
kacang-kacangan dan sayur+buah meningkat secara signifikan.

29

Tabel 5. Perkembangan Konsumsi Energi dan Kualitas Konsumsi Pangan Menurut Pola Pangan
Harapan (PPH), 1993-2002
Konsumsi energi (Kalori/kapita/hari)
1993
1996
1999
2002
1
Padi - padian
1348
1328
1240
1246
2
Umbi – umbian
101
68
69
68
3
Pangan hewani
97
124
88
128
4
Minyak + lemak
155
175
171
202
5
Buah/biji berminyak
62
51
41
50
6
Kacang – kacangan
53
62
54
73
7
Gula
97
100
92
103
8
Sayur + buah
82
83
70
84
9
Minuman dan bumbu
41
29
26
34
Total
2035
2022
1851
1988
Skor PPH
66,2
69,8
62,4
71,8
Sumber : BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)
Keterangan: Skor PPH merupakan penjumlahan dari persentase konsumsi energi masingmasing kelompok pangan dikalikan dengan pembobotnya
No.

Kelompok Pangan

PERLUNYA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN DAERAH
Situasi ketahanan pangan secara nasional dari waktu ke waktu telah membaik.
Sebagian besar produksi pangan mengalami peningkatan dan rasio impor pangan
terhadap ketersediaan pangan dalam negeri juga relatif kecil. Bahkan ketersediaan
pangan dalam bentuk energi dan protein sudah melebihi dari yang dianjurkan. Namun
dengan memperhatikan kinerja ketahanan pangan secara nasional saja tidaklah cukup.
Kenyataannya permasalahan kurang gizi dan kualitas sumberdaya manusia muncul
dimana-mana.
Munculnya kembali kasus gizi buruk yang pada awalnya terjadi di Provinsi
Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kemudian diikuti oleh provinsi-provinsi
lainnya menunjukkan bahwa walaupun secara nasional ketersediaan pangan membaik
namun masih terjadi masalah gizi di masyarakat. Dari Tabel Lampiran 1 menunjukkan
bahwa keragaan jumlah anak dengan gizi buruk antar daerah atau provinsi adalah
berbeda. Data Departemen Kesehatan tentang prevalensi anak gizi buruk, terdapat
provinsi yang dengan kategori rendah, tinggi dan sangat tinggi. Secara nasional, pada
tahun 2003 terdapat sekitar 27,5 persen balita menderita gizi kurang, namun demikian
terdapat 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi kurang (termasuk gizi buruk)
diatas 30 persen, yang menurut WHO dikelompokkan sangat tinggi (Depkes, 2004).
Gizi buruk atau dalam masyarakat sering disebut busung lapar adalah bentuk
terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Gizi buruk yang disertai
dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor. Gizi buruk secara

30

langsung maupun tidak langsung akan menurunkan kecerdasan anak, mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan serta menurunkan produktivitas, yang pada akhirnya
menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Dari aspek penyebab, gizi buruk sangat
terkait dengan kondisi daya beli keluarga, tingkat pendidikan dan pola asupan gizi
keluarga serta keadaan kesehatan.
Sementara itu kualitas sumberdaya manusia di setiap provinsi yang diukur
dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga masih jelek dan berbeda antar
provinsi. Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia yang IPMnya
menduduki ranking 1, sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang merupakan
lumbung pangan, ranking IPMnya paling rendah yaitu 30 (Tabel Lampiran 2).
IPM merupakan indeks komposit yang terdiri dari umur harapan hidup, tingkat
melek huruf dan pendapatan perkapita. Kondisi ini menunjukkan bahwa di setiap daerah
mempunyai permasalahan yang berbeda-beda sebagai akibat perbedaan penguasaan
teknologi, kelembagaan pendukung, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan
infrastruktur fisik yang berbeda.
Adanya perbedaan-perbedaan permasalahan dan potensi atau sumberdaya di
setiap daerah tersebut mengharuskan kebijakan pangan terutama terkait dengan
ketahanan pangan tidak bisa lagi dilihat secara general atau nasional tetapi harus
spesifik daerah agar program-program dapat dilaksanakan dengan baik, tepat sasaran,
dan berdampak nyata. Apalagi Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan
kemiskinan seperti yang diamanatkan oleh MDG. Jumlah penduduk yang harus
dientaskan dari kemiskinan adalah 7 juta orang per tahun selama 10 tahun (Dewan
Ketahanan Pangan dan FAO, 2005).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 tahun 2002 tentang
ketahanan pangan dalam Bab VI Pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas bahwa
“Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau Pemerintah Desa
melaksanakan kebijakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan
pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma,
standar, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat”. Untuk menguatkan peran
dan tanggung jawab pemerintah daerah juga ada kesepakatan bersama Gubernur/ketua
Dewan Ketahanan Pangan Provinsi yang salah satunya adalah “Untuk mengembangkan
berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif serta
berkesinambungan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional”. Program
dan kegiatan tersebut menjadi prioritas program pembangunan daerah.
Dengan memperhatikan hal tersebut diatas seharusnya kasus munculnya busung
lapar tidak akan terjadi, karena kesepakatan telah dibuat dua tahun sebelum kasus
tersebut muncul. Hal ini menunjukkan telah terjadi penyimpangan dari kesepakatan
yang telah dibuat oleh Pemerintah Daerah. Situasi peningkatan ketahanan pangan
tingkat daerah memang menghadapi kendala karena aparat tingkat daerah masih
disibukkan oleh masalah politik terkait dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara
langsung dan sebagainya.

31

Kegiatan tersebut telah menyita waktu dan dana pemerintah daerah, sehingga
pembangunan ketahanan pangan dan pembangunan daerah secara umum ada kesan
agak terabaikan. Seorang aparat di provinsi Nusa Tenggara Timur mengatakan tidak
ada yang mikir ketahanan pangan, tetapi yang dipikir adalah bagaimana bisa menjadi
kepala daerah. Juga dana untuk program ketahanan pangan dipakai untuk hajatan
pilkada, sehingga alokasi dana APBD untuk program ketahanan pangan berkurang.
Situasi seperti tersebut di atas tidak boleh terus menerus terjadi karena
dampaknya akan besar tidak hanya terjadinya rawan pangan pada masyarakat tetapi
dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif pada kualitas sumberdaya manusia,
yang pada gilirannya menurunkan daya saing bangsa Indonesia di kancah pergaulan
dunia. Oleh karena itu penguatan ketahanan pangan daerah adalah solusi untuk
mewujudkan ketahanan nasional dan upaya untuk mencapai kualitas sumberdaya
manusia yang berkualitas tinggi.
Sejalan dengan otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 dan PP
No. 25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di
pusat dan daerah yang dijabarkan dalam program pembangunan sistem ketahanan
pangan, diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah. Berkaitan dengan
penguatan ketahanan pangan daerah maka :
1. Pemerintah pusat meningkatkan advokasi kembali kepada pemerintah daerah
tentang tugas, tanggung jawab dan pentingnya ketahanan pangan daerah
seperti yang diamanatkan dalam PP no. 68 dan kesepakatan bersama
Gubernur/Ketua Dewan ketahanan Pangan Provinsi. Pemerintah daerah
mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya rawan pangan yang berarti
terus berupaya untuk meningkatan ketahanan pangan daerah. Jika diperlukan
pemerintah pusat dapat memberi sangsi kepada pemerintah daerah apabila
pemerintah daerah tidak melakukannya,sebaliknya pemerintah pusat memberi
penghargaan apabila ketahanan pangan daerah dapat terwujud.
2. Penguatan kelembagaan ketahanan pangan daerah. Terwujudnya ketahanan
pangan daerah adalah tugas bersama, pemerintah, swasta dan masyarakat
dari tingkat provinsi sampai tingkat desa. Di daerah telah terbentuk lembaga
ketahanan pangan seperti Dewan Ketahanan Pangan Provinsi, namun
tampaknya lembaga ini masih belum berfungsi optimal dan belum melibatkan
berbagai unsur dalam masyarakat. Sehingga sering muncul konsep ketahanan
pangan yang salah dengan menganggap ketahanan pangan identik dengan
beras dan yang bertanggung jawab adalah Dinas Tanaman Pangan. Untuk itu,
pemerintah daerah harus terus berupaya untuk mendorong mensosialisasi
kelembagaan tersebut dan mendorong keikutsertaan swasta dan masyarakat
agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk mewujudkan
ketahanan pangan daerah.
3. Sesuai dengan tugas yang diembannya, pemerintah pusat berperan dalam
memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif melalui penetapan kebijakan

32

makro yang terkait langsung dan tidak langsung dengan terwujudnya
ketahanan pangan nasional serta memberi peluang kepada masyarakat dan
swasta untuk berkiprah dalam pembangunan ketahanan pangan.
Dengan memperhatikan simpul-simpul tersebut, diharapkan terjadinya penguatan
peran lembaga ketahanan pangan daerah dan peningkatan partisipasi masyarakat dan
swasta untuk meningkatkan ketahanan pangan daerah. Yang harus diperhatikan bahwa
ketahanan pangan mencakup berbagai aspek dari ketersediaan pangan, distribusi
pangan sampai ke konsumsi tingkat rumah tangga dan individu. Dengan demikian
kebijakan dan program yang ditetapkan juga harus mengacu pada aspek-aspek
tersebut.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Produksi pangan nabati dan pangan hewani di Indonesia menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan. Laju peningkatan pertumbuhan sekitar 1-13 persen
per tahun selama periode 2001-2004 dengan peningkatan terkecil untuk komoditas
beras dan terbesar komoditas buah-buahan. Ketersediaan energi dan protein pada
tahun 2004 sebesar 3000 Kalori dan 74 gram per kapita per hari, lebih tinggi dari yang
dianjurkan pada WNPG VIII (2004). Kemandirian pangan yang dilihat dari
ketergantungan pangan Indonesia terhadap impor sangat kecil. Hanya komoditas beras,
kedelai dan susu yang mempunyai rasio relatif tinggi dibandingkan jenis pangan yang
lain.
Pada kondisi sebelum krisis ekonomi, tingkat konsumsi pangan mengalami
peningkatan, namun pada waktu krisis ekonomi sebagian besar jenis pangan
mengalami penurunan. Pemulihan ekonomi mampu meningkatkan konsumsi pangan
yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan tahun 1999-2002 bernilai positif. Konsumsi
energi, protein dan kualitas konsumsi pangan juga membaik pada tahun 2002.
Konsumsi pangan hewani, sayur+buah dan kacang-kacangan lebih tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya.
Prevalensi gizi buruk dan kualitas sumberdaya manusia adalah berbeda di
setiap daerah sesuai dengan permasalahan dan potensi daerahnya. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional harus dimulai dengan penguatan
ketahanan pangan daerah yaitu dengan melakukan advokasi kembali yang lebih kepada
pemerintah daerah.
Implikasi Kebijakan
Meskipun kemandirian pangan cukup baik, namun ketergantungan terhadap
impor beberapa komoditas pangan beras, jagung, kedelai, dan susu relatif tinggi perlu

33

mendapatkan perhatian serius. Kebijakan operasional untuk ketiga komoditas tersebut
diarahkan pada percepatan inovasi dan adopsi teknologi baik pada aspek
perbenihan/pembibitan, teknologi budidaya spesifik lokasi, serta revitalisasi pada industri
pengolahan hasil, sehingga produktivitas dan mutu hasil dapat ditingkatkan. Kebijakan
proteksi melalui penerapan tarif impor serta kebijakan subsidi input dan kebijakan
insentif lainnya dapat terus dilakukan sejauh dalam batas-batas kesepakatan GATT.
Pentingnya melakukan kebijakan stabilisasi makro ekonomi baik melalui
kebijakan moneter maupun fiskal yang mampu menggerakkan sektor riil terutama sektor
pertanian dan agroindustri di pedesaan serta penataan sektor informal di perkotaan
yang dapat membuka kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, sehingga sektor
UKM tidak rentan terhadap gejolak eksternal.
Penguatan ketahanan pangan daerah dilakukan dengan melakukan advokasi
kembali yang lebih intensif kepada pemerintah daerah karena sesuai PP No.68 tentang
Ketahanan Pangan, pemerintah daerah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk
mewujudkan ketahanan pangan daerah. Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah
daerah harus terus berupaya untuk mensosialisasi kelembagaan ketahanan pangan
daerah yang telah terbentuk dan mendorong keikutsertaan swasta dan masyarakat turut
berperan untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2003. Analisis Ketahanan Pangan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah.
Kerjasama Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan dengan Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian, Deptan.
Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. 2003.
BPS. 1993. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statisik. Jakarta.
BPS. 1996. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statisik. Jakarta.
BPS. 1999. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statisik. Jakarta.
BPS. 2002. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statisik. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Jakarta
Departemen Pertanian. 2004. Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2000-2003. Jakarta.
Dewan Ketahanan Pangan dan FAO. 2005. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan. Makalah
disampaikan pada Perumusan Program Ketahanan Pangan Nasional, di Hotel
Kemang, tanggal 12 September 2005.
Irawan,P.B. 2004. Peranan Pembangunan Manusia dalam Mendukung Pemantapan
Ketahanan Pangan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 17-19 Mei. LIPI,
Jakarta

34

Menko Perekonomian, Departemen Pertanian,Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kehutanan. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005. Ringkasan.
Jatiluhur. 11 Juni.
Pribadi, N. 2005. Program Ketahanan Pangan : Konsep dan Implementasinya. Makalah
disampaikan pada Penyusunan Indikator Kinerja Program Ketahanan Pangan di
Bappenas, tanggal 15 Agustus 2005.
Sambutan Menko Bidang Perekonomian. Rapat Koordinasi Evaluasi Inpres 2/2005 dan
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Bidang Pangan. 20 Juli 2005. Jakarta
Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Hasil Konperensi Dewan Ketahanan Pangan 2002.
Jakarta.
Statistics Division. Millenium Development Goal Indicators Database. 30 July 2005.
http://millennium indicators.un.org.

35

Tabel Lampiran 1. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang Menurut Provinsi di Indonesia, 2003
Gizi Buruk +
Gizi
Gizi
Gizi
Gizi
Lebih Gizi Kurang
Baik
Kurang
Buruk
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
1 Bali
3,58
12,60
80,84
2,99
16,18
2 DI Yogyakarta
4,04
12,46
81,08
2,42
16,49
3 Jambi
2,75
18,37
77,06
1,82
21,12
4 DKI-Jaya
5,93
15,60
72,77
5,70
21,53
5 Sultra
5,93
16,60
74,63
2,84
22,52
6 Jatim
5,88
17,05
74,71
2,36
22,92
7 Jabar
5,46
17,74
73,38
3,42
23,20
8 Sulut
8,37
16,40
70,23
5,00
24,77
9 Jateng
5,80
19,12
73,28
1,80
24,91
10 Maluku Utara
8,89
16,48
66,88
7,75
25,36
11 Sumbar
7,03
18,39
73,02
1,56
25,42
12 Kaltim
8,47
17,64
72,89
1,00
26,11
13 Bengkulu
7,52
18,68
70,62
3,19
26,20
14 Banten
8,17
18,37
70,74
2,72
26,54
15 Riau
9,86
17,23
70,95
1,96
27,09
16 Lampung
7,40
20,39
69,72
2,48
27,79
17 Kalteng
9,05
19,16
68,11
3,68
28,21
18 Bangka Belitung 9,30
20,00
67,04
3,66
29,30
19 Sumsel
10,15
19,59
66,78
3,48
29,75
20 Maluku
8,89
21,20
68,89
1,03
30,09
21 Sulteng
9,34
21,27
65,88
3,51
30,61
22 Sulsel
10,07
20,59
67,97
1,37
30,66
23 Papua
14,32
16,44
64,13
5,11
30,76
24 Sumut
12,35
18,59
66,49
2,57
30,94
25 Kalsel
9,35
22,72
64,92
3,01
32,07
26 NTB
10,43
23,83
63,51
2,23
34,26
27 Kalbar
13,28
24,13
60,54
2,05
37,41
28 NTT
12,52
25,93
60,10
1,46
38,44
29 Gorontolo
21,48
24,62
52,01
1,88
46,11
Total
8,31
19,19
70,04
2,46
27,50
Sumber: Depkes 2004, Aceh tidak dikumpulkan data antropometri
Provinsi

36

Status
provinsi
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi

Tabel Lampiran 2. Status Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia, 2003
Provinsi
IPM
Urutan
Jakarta
75,6
1
SULUT
71,3
2
Yogyakarta
70,8
3
KALTIM
70,0
4
Riau
69,1
5
KALTENG
69,1
6
SUMUT
68,8
7
SUMBAR
67,5
8
Bali
67,5
9
Jambi
67,1
10
Banten
66,6
11
Maluku
66,5
12
JATENG
66,3
13
Bengkulu
66,2
14
NAD
66,0
15
SUMSEL
66,0
16
Malut
65,8
17
JABAR
65,8
18
Lampung
65,8
19
BABEL
65,4
20
SULSEL
65,3
21
SULTENG
64,4
22
KALSEL
64,3
23
SULTRA
64,1
24
JATIM
64,1
25
Gorontalo
64,1
26
KALBAR
62,9
27
NTT
60,3
28
Papua
60,1
29
NTB
57,8
30
Keterangan : IPM = Indeks komposit yang terdiri dari umur harapan hidup, tingkat melek huruf
dan pendapatan per kapita.

37