Tinjauan Yuridis Pengelolaan Pewakafan Tanah Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tanah mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah, manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Seiring dengan perkembangan yang begitu pesat dalam pembangunan di berbagai bidang, menjadikan kedudukan tanah menjadi modal yang paling utama dalam kehidupan kemasyarakatan di Indonesia. Peran penting dari tanah tersebut dalam kehidupan masyarakat dapat diperolehnya selain dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pinjaman dan lain-lainnya dapat juga diperoleh melalui cara atau jalan wakaf. Masalah tanah ini diatur dalam Hukum Agraria Nasional, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan ditindak lanjuti oleh berbagai peraturan perundangan-undangan yang lainnya. Dalam salah satu konsiderannya disebutkan bahwa “berhubung dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi se luruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Wakaf tanah merupakan salah satu ibadah sosial di dalam Islam yang sangat erat kaitannya dengan keagrariaan, artinya bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang dalam hal ini


(2)

adalah tanah, demikian juga tanah wakaf termasuk dalam bagian dari Hukum Agraria. Mengingat akan arti pentingnya persoalan tentang wakaf ini, maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 telah mencantumkan adanya suatu ketentuan khusus sebagaimana tersebut di dalam Pasal 49 ayat 3 yang menyatakan bahwa1

Masalah tanah ini diatur dalam Hukum Agraria Nasional, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah Wakaf kemanfaatannya banyak dirasakan oleh masyarakat, karenanya pemerintah berkepentingan untuk mengatur pelaksanaan wakaf agar dilakukan sesuai dengan syariat Islam, untuk kepentingan ini pemerintah mengeluarkan regulasi di bidang wakaf, diantaranya melalui Peraturan Pemerintah Nomor : 28 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan wakaf tanah hak milik dan undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang “wakaf”, namun masih ada masyarakat yang belum mengetahui, memahami, mentaati, dan melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga timbul permasalahan dalam pelaksanaannya. Permasalahan yang timbul antara lain misalnya tanah-tanah wakaf tidak diurus (ditelantarkan), tidak dimanfaatkan (difungsikan) dan tidak adanya tanda-tanda bukti tanah wakafnya serta tidak didaftarkan sehingga tidak ada catatan yang menerangkan bahwa tanah tersebut adalah tanah wakaf, kemungkinan lain timbul permasalahan yang berkaitan dengan perwakafan tanah jika tidak memperhatikan dan melaksanakan perwakafan sebagaimana ketentuan atau sayarat-syarat yang dikehendaki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

1

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria), Jakarta : Djambatan, 1999, hal. 350


(3)

Agraria dan ditindak lanjuti oleh berbagai peraturan perundangan-undangan yang lainnya. Dalam salah satu konsiderannya disebutkan bahwa “berhubung dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Salah satu hal yang bersandar pada hukum agama yang menyangkut tanah ini adalah perwakafan tanah.2

2

H. Taufik Hamami, Perwakafan Tanah (Dalam Politik Hukum Agraria Nasional), Jakarta : Tatanusa, 2003, hal. 3.

Wakaf tanah merupakan salah satu ibadah sosial di dalam Islam yang sangat erat kaitannya dengan keagrariaan, artinya bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang dalam hal ini adalah tanah, demikian juga tanah wakaf termasuk dalam bagian dari Hukum Agraria.

Meskipun peran dan fungsi perwakafan tanah begitu penting dan begitu besar kemaslahatannya dalam kehidupan bermasyarakat akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pelaksanaannya sangatlah sederhana sekali yaitu cukup dilandasi dengan adanya rasa kepercayaan semata dan dengan terpenuhi unsur dan syarat-syarat tertentu saja, yaitu pelaksanaannya cukup diikrarkan kepada Nazhir disaksikan oleh beberapa orang saksi dan telah` melaksanakan wakaf tersebut.


(4)

Perwakafan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa Kota Medan dengan prosedur dan tata caranya tidak rumit dan tidak berbelit-belit, sehingga memudahkan masyarakat untuk melaksanakan perwakafan tanah milik. Namun dalam penerapannya, pengelolaan wakaf pada masyarakat Tionghoa Kota Medan masih kurang optimal, sehingga masih banyak harta atau benda wakaf yang kurang produktif bahkan banyak pula yang tidak terawat. Agar wakaf yang diberikan oleh masyarakat tionghoa dapat memberikan kontribusi.

Akibat yang ditimbulkan dengan tidak diaturnya pelaksanaan wakaf ini secara tegas dan tuntas, maka perwakafan tanah oleh masyarakat Tionghoa tersebut, menimbulkan adanya penyimpangan dan penyelewengan dari hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri. Dengan diaturnya masalah perwakafan tanah pada masyarakat Tionghoa Kota Medan tersebut dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf, maka dalam pelaksanaannya tidak hanya cukup dilaksanakan secara lisan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu bahwa ikrar wakafnya harus diucapkan di hadapan pejabat khusus untuk itu harus dituangkan dalam sebuah akta resmi, dan tanah wakaf harus diserahkan kepada seorang pengelola khusus yang telah mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang agar tanah wakaf tersebut dapat terkelola secara tertib dan teratur, disamping itu juga tanah yang telah diwakafkan harus segera didaftarkan dan dicatatkan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten / Kotamadya setempat.


(5)

Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, telah mengesahkan dan memberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.3

B. Perumusan Masalah

Dengan demikian perwakafan tanah milik pengaturannya didasarkan atas ketentuan undang-undang tersebut, sehingga diharapkan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 ini dapat memenuhi hakekat dan tujuan dari perwakafan itu.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik mengangkat topik tersebut menjadi sebuah penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pengelolaan Pewakafan Tanah Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan.”

Atas uraian seperti yang dikemukakan di dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan wakaf tanah masyarakat Tionghoa di Kota Medan? 2. Apakah pengelolaan perwakafan tanah pada masyarakat Tionghoa berdasarkan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf?

3. Apakah pelaksanaan wakaf tanah sudah memberikan perlindungan hukum pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini yakni sebagai berikut:

3

Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Jakarta, : Harvarindo, 2005, hal. V.


(6)

a) Untuk mengetahui pengaturan wakaf tanah masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

b) Untuk mengetahui pengelolaan perwakafan tanah pada masyarakat Tionghoa.

c) Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tanah wakaf pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

2. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan ada 2 (dua) manfaat yang dapat dihasilkan yaitu yang bersifat teoritis dan bersifat praktis yaitu:

a) Bersifat teoritis, yakni hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang dapat memberikan andil bagi peningkatan pengetahuan dalam disiplin Ilmu Hukum khususnya dalam hal pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tanah wakaf pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

b) Bersifat Praktis, yakni hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi kepada masyarakat luas khususnya perwakafan tanah pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul skripsi ini adalah Tinjauan Yuridis Pengelolaan Pewakafan Tanah Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan merupakan judul skripsi yang belum pernah ditulis sebelumnya, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(7)

E. Tinjauan Kepustakaan

Bagi negara agraris, seperti halnya negara Indonesia, tanah merupakan barang yang amat vital. Setiap kegiatan yang dilakukan di negara itu, baik oleh seorang warga negara perorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun oleh pemerintah pasti melibatkan soal tanah. Dengan tanah dan diatas tanah itu semua kegiatan (phisik) dilakukan oleh Bangsa Indonesia. Pembangunan dilakukan oleh Bangsa Indonesia adalah sebagai upaya mencapai kehidupan yang sejahtera lahir batin dalam suasana masyarakat yang adil dan makmur. Berdasarkan pancasila, sejalan dengan predikat yang telah melekat pada Negara Indonesia yaitu sebagai Negara hukum, maka semua kegiatan pembangunan di dalam negara Indonesia harus didasarkan pada suatu ketentuan hukum. kehadiran hukum memang mutlak diperlukan agar pembangunan itu dapat berjalan lancar dan dapat dihindarkan perbenturan kepentingan, khususnya pembenturan kepentingan dalama soal tanah.4

Tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan, yang berisi tetap dalam keadaannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tanah tidak dapat musnah. Ketiadaan kemungkinan mengerjakan tanah itu, hanya bersifat sementara saja. Kalau air bah sudah surut kembali, muncullah tanah sebagai benda perekonomian yang berangkali malahan lebih subur dan lebih gemuk daripada sebelumnya.5

Pengertian wakaf menurut hukum adat dapat disebutkan pendapat dari Koesoema Atmadja, wakaf adalah : Suatu perbuatan hukum dengan mana perbuatan suatu barang / barang keadaan telah telah dikeluarkan/ diambil

4

Sudjito, Prona: Persetifikatan Tanah secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang bersifat Strategis, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1987, hal 1

5

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, Jakarta : Penerbit PT Intermasa,1986, hal 22


(8)

kegunaannya dalam lalu lintas masyarakat semula, guna kepentingan seseorang/ orang tertentu atau guna seseorang maksudnya / tujuan / barang tersebut sudah berada dalam tangan yang mati.6

Menurut Ter Haar wakaf merupakan suatu perbuatan hukum yang rangkap maksudnya adalah : Perbuatan itu disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi dilain pihak seraya itu perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.7 Selanjutnya wakaf yang telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia dalam perkembangannya banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan itu disebabkan oleh penyelewengan harta wakaf oleh nadzir atau keturunan nadzir dengan mengaku kepemilikan harta wakaf. Selain itu penyimpangan juga dapat terjadi dalam bentuk penyimpangan kegunaan atau fungsi wakaf. Oleh karena itu pemerintah membuat suatu peraturan tentang wakaf yang bertujuan untuk mengamankan harta wakaf serta mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan wakaf sebagai perwujudan dari melaksanakan ibadah.8

Sebenarnya perwakafan tanah ini dapat dimasukkan dalam kategori pengasingan tanah (land alienation) karena pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentinganna guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum

6

Abdurrahman, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan tanah wakaf di negara kita, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 15

7

Ibid, hal 16 8

Jefri Ira Wansusianto, Problem Tanah Wakaf Masjid Perumahan, melalui


(9)

menurut syariah. Namun dalam kaitannya dengan administrasi pendaftaran tanah, wakaf masuk ke dalam kategori penetapan hak atas tanah karena terdapat kegiatan penetapan tanah wakaf tersebut melalui keputusan pejabat yang berwenang.9

Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakaf tanah dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat Tionghua yang penggunaannya

Dalam undang-undang RI tentang wakaf diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 yang menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonnesia yang pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk memenuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pembangunanpembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data-data tanah menunjukkan bahwa masih ada daerah terdapat peta-peta dengan gambaran tanah terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orangorang yang menggarapnya.

9

Mhd Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2010, hal 266


(10)

menyimpang dari akad wakaf. Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakaf setelah wakif tersebut meninggal dunia. Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris masyarakat Tionghua. Namun khusus untuk wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali. Selanjutnya mengenai dikuasainya tanah wakaf oleh masyarakat Tionghua secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini kurangnya pengawasan dari instansi yang terkait. Ahli waris atau keturunan masyarakat Tionghua beranggapan bahwa tanah tersebut milik masyarakat Tionghua sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri. Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris masyarakat Tionghua.10

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :

10

Achmad Ichsan, Permasalahan Wakaf Tanah di Indonesia, melalui diakses tanggal 22 April 2015


(11)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan yuridis normatif (penelitian hukum normatif)11

2. Sumber Data Penelitian

, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaipijakan normatif.

Pada penelitian yang berupa yuridis normatif, maka sumber-sumber data yang dikumpulkan berasal dari data kepustakaan yang ada dibedakan atas :12

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria (UUPA), KUH Perdata, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku, makalah, jurnal, surat kabar, internet dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, yaitu kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan teknik pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, dilakukan

11

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal 163

12

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Rajawali Pers, 2006, hal 113


(12)

dengan mempelajari dan menganalisis yang berkaitan dengan topik penelitian, sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.13

13 Ibid., hlm. 24-25.


(1)

E. Tinjauan Kepustakaan

Bagi negara agraris, seperti halnya negara Indonesia, tanah merupakan barang yang amat vital. Setiap kegiatan yang dilakukan di negara itu, baik oleh seorang warga negara perorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun oleh pemerintah pasti melibatkan soal tanah. Dengan tanah dan diatas tanah itu semua kegiatan (phisik) dilakukan oleh Bangsa Indonesia. Pembangunan dilakukan oleh Bangsa Indonesia adalah sebagai upaya mencapai kehidupan yang sejahtera lahir batin dalam suasana masyarakat yang adil dan makmur. Berdasarkan pancasila, sejalan dengan predikat yang telah melekat pada Negara Indonesia yaitu sebagai Negara hukum, maka semua kegiatan pembangunan di dalam negara Indonesia harus didasarkan pada suatu ketentuan hukum. kehadiran hukum memang mutlak diperlukan agar pembangunan itu dapat berjalan lancar dan dapat dihindarkan perbenturan kepentingan, khususnya pembenturan kepentingan dalama soal tanah.4

Tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan, yang berisi tetap dalam keadaannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tanah tidak dapat musnah. Ketiadaan kemungkinan mengerjakan tanah itu, hanya bersifat sementara saja. Kalau air bah sudah surut kembali, muncullah tanah sebagai benda perekonomian yang berangkali malahan lebih subur dan lebih gemuk daripada sebelumnya.5

Pengertian wakaf menurut hukum adat dapat disebutkan pendapat dari Koesoema Atmadja, wakaf adalah : Suatu perbuatan hukum dengan mana perbuatan suatu barang / barang keadaan telah telah dikeluarkan/ diambil

4

Sudjito, Prona: Persetifikatan Tanah secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang bersifat Strategis, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1987, hal 1

5


(2)

kegunaannya dalam lalu lintas masyarakat semula, guna kepentingan seseorang/ orang tertentu atau guna seseorang maksudnya / tujuan / barang tersebut sudah berada dalam tangan yang mati.6

Menurut Ter Haar wakaf merupakan suatu perbuatan hukum yang rangkap maksudnya adalah : Perbuatan itu disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi dilain pihak seraya itu perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.7 Selanjutnya wakaf yang telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia dalam perkembangannya banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan itu disebabkan oleh penyelewengan harta wakaf oleh nadzir atau keturunan nadzir dengan mengaku kepemilikan harta wakaf. Selain itu penyimpangan juga dapat terjadi dalam bentuk penyimpangan kegunaan atau fungsi wakaf. Oleh karena itu pemerintah membuat suatu peraturan tentang wakaf yang bertujuan untuk mengamankan harta wakaf serta mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan wakaf sebagai perwujudan dari melaksanakan ibadah.8

Sebenarnya perwakafan tanah ini dapat dimasukkan dalam kategori pengasingan tanah (land alienation) karena pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentinganna guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum

6

Abdurrahman, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan tanah wakaf di negara kita, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 15

7Ibid

, hal 16

8

Jefri Ira Wansusianto, Problem Tanah Wakaf Masjid Perumahan, melalui

diakses tanggal 22 April 2015


(3)

menurut syariah. Namun dalam kaitannya dengan administrasi pendaftaran tanah, wakaf masuk ke dalam kategori penetapan hak atas tanah karena terdapat kegiatan penetapan tanah wakaf tersebut melalui keputusan pejabat yang berwenang.9

Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakaf tanah dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat Tionghua yang penggunaannya

Dalam undang-undang RI tentang wakaf diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 yang menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonnesia yang pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk memenuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pembangunanpembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data-data tanah menunjukkan bahwa masih ada daerah terdapat peta-peta dengan gambaran tanah terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orangorang yang menggarapnya.

9


(4)

menyimpang dari akad wakaf. Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakaf setelah wakif tersebut meninggal dunia. Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris masyarakat Tionghua. Namun khusus untuk wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali. Selanjutnya mengenai dikuasainya tanah wakaf oleh masyarakat Tionghua secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini kurangnya pengawasan dari instansi yang terkait. Ahli waris atau keturunan masyarakat Tionghua beranggapan bahwa tanah tersebut milik masyarakat Tionghua sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri. Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris masyarakat Tionghua.10

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :

10

Achmad Ichsan, Permasalahan Wakaf Tanah di Indonesia, melalui


(5)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan yuridis normatif (penelitian hukum normatif)11

2. Sumber Data Penelitian

, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaipijakan normatif.

Pada penelitian yang berupa yuridis normatif, maka sumber-sumber data yang dikumpulkan berasal dari data kepustakaan yang ada dibedakan atas :12

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria (UUPA), KUH Perdata, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku, makalah, jurnal, surat kabar, internet dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, yaitu kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan teknik pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, dilakukan

11

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal 163

12


(6)

dengan mempelajari dan menganalisis yang berkaitan dengan topik penelitian, sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.13

13Ibid