Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau)

(1)

T E S I S

Oleh

ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG 037011006/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2009


(2)

ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN

AKIBAT PERCERAIAN (STUDI PADA PENGADILAN

NEGERI SIAK SRI INDRAPURA–RIAU)

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG 037011006/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA

PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN

(Studi Pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau)

Nama Mahasiswa : ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG.

Nomor Pokok : 037011006.

Program Studi : Magister Kenotariatan.

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH,MS,CN. K e t u a

Prof. Dr. Runtung Sitepu SH,M.Hum. Syafnil Gani, SH,M.Hum.

Anggota Anggota

Ketua Program Direktris Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. M. Yamin Lubis, SH,MS,CN Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,M.Sc NIP. 13166144 NIP. 130535852


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 19 Januari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum. 2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum. 3. Dr. Sunarmi, SH, MHum.


(5)

ABSTRAK

Perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan dapat saja terjadi, alasannya sangat bervariasi seperti masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan. Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : 1). Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian? 2). Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan? 3). Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Normatif dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1). Adapun faktor penyebab putusnya perkawinan karena perceraian yang sering dijadikan alasan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Siak pada pokoknya adalah karena suami yang melakukan tindakan kekerasan, kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Dan antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 2). Dengan terjadinya perceraian, maka status anak di bawah umur berubah menjadi status di bawah perwalian yang ditentukan oleh pengadilan, dan juga harta perkawinan yaitu harta bersama dibagi menurut ketentuan hukum agama, hukum adat masing-masing. Sedangkan harta bawaan tetap dikuasai masing-masing pihak suami maupun isteri. 3). Dalam setiap proses persidangan hakim selalu mengajak para pihak untuk berdamai, namun bila tidak dikehendaki para pihak maka hakim akan mengadili gugatan perceraian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Hakim menjatuhkan putusan dengan pertimbangan hukum dimana gugatan yang diajukan mempunyai bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi dan memiliki dasar hukum untuk dikabulkannya gugatan.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar 1). Dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perceraian, sebaiknya hakim memberikan pertimbangan hukum tidak semata-mata terpaku pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang membolehkan terjadinya perceraian dengan syarat-syarat tertentu. Sebaiknya Hakim dalam pertimbangannya juga memperhatikan aspek hukum agama yang dianut oleh para pihak apakah hukum agamanya membolehkan terjadinya perceraian atau tidak. Apabila melihat syarat sahnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan mengedepankan aspek moral agama, yakni perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama yang dianut, maka sebaiknya bilamana perkawinan akan dibubarkan, juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum agama yang dianut para pihak. 2). Dengan memperhatikan tujuan perkawinan


(6)

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia lahir-bathin, dan juga mengingat akibat yang dapat timbul terhadap anak yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan akan membawa dampak kurang baik terhadap perkembangan jiwa, moral dan psikologis anak, maka sebaiknya ada dibuat undang-undang tersendiri yang khusus mengatur hukum acara dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang sifatnya mempersulit terjadinya perceraian dengan cara misalnya lebih mengedepankan proses mediasi dan atau gugatan perceraian tidak dapat diperiksa oleh pengadilan apabila kedua belah pihak tidak hadir di persidangan dan pengadilan tidak boleh memutus perkara perceraian tanpa kehadiran pihak tergugat sebagaimana yang selama ini masih dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum. Andaikata tergugat memang tidak mungkin dapat hadir di persidangan, untuk menjatuhkan putusan versteek, sebaiknya dibuat kriteria khusus dalam hal bagaimana putusan versteek dalam perkara gugatan perceraian dapat dijatuhkan. Dengan keadaan yang terjadi saat ini dimana Hukum Acara Perdata memungkinkan putusan verstek tanpa kehadiran tergugat, timbul kesan seakan-akan gugatan perceraian gampang dikabulkan walaupun pihak tergugat tidak hadir. 3). Sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif bersama-sama dengan Pemerintah selaku lembaga eksekutif, segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang lebih memperhatikan nilai-nilai dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat yang salah satunya adalah membuat aturan dan kriteria-kriteria tertentu untuk lebih mempersulit terjadinya proses perceraian.


(7)

ABSTRACT

Divorce for a marital tie can occur for variable reasons such as the presence of third party within the marriage, different view of points about obligations of husband and wife in a household and separation frequently between husband and wife, the change in role of husband and wife, and prolonged quarrel and conflict so that it is impossible to keep the harmony and happiness of household. Based on the description of background above, the subject of problem can be formulated for further discussion : 1). What the causative factors of marital abrogation due to divorce? 2) What are the legal consequences for children and heritance of the divorced marriage through a decision of court ? 3) What are the legal considerations of a judge I the trial of divorce ? The methods used in this study included juridical normative and the study is a descriptive analysis.

The result of the study showed that 1). The causative factors of marital abrogation due to divorce frequently made for the reason of litigation to the Civil Court of Siak actually included the husband who often made a violation, prosecution, and heavy oppression leading to danger to others, and prolonged quarrel and conflict between husband and wife without expectation for harmony. 2). Given the divorce, status of preadolescent children became under legal guardian determined by court and property of marital is shared together according to the religious and custom laws. Whereas the heritage stayed to possess by individual party of the couple. 3). In the trial,the judges always adviced the parties to conflict to make a peace, however, if the parties disagree, the judges will justify the litigation of divorce based on the Laws of Marital. The judges make a decision by legal considerations in which the litigation has a set of evidences and statement of witnesses and even have legal foundation to agree the litigation.

Based on the result of the study, it is suggested that 1). In the trial and justification of a litigation of divorce case, the judges should make legal considerations not only rely on the statutory rules as stipulated in the Laws No. 1 of 1974 and the Governmental Rule o. 9 of 1975 that allow a divorce based on certain requirements. In their consideration, the judges also have to consider legal aspects of the religion adhered by the parties, whether the religion allow it or not. Viewed in the validation of marital in the Laws of Marital emphasizing the religious morality aspects, namely a marital is considered to be valid when it is carried out according to the religious doctrine, therefore, if a marriage will be abrogated, it should be in compliance with the religious values adhered by the parties. 2). Considering the objective of marriage as stipulated in the article 1 of the Laws No. 1 of 1974, the objective of marriage is to form a family which is peaceful and enjoyable spiritually and physically, and also by considering the possible legal consequences on the children due to divorce through the decision of court that has a negative impact on development of their morality and psychology, it is better to make a separated law especially governing the procedural law in the trial and justification of any case of divorce that make the divorce difficult, for example, by more emphasizing the


(8)

mediation process and/or the divorce process would not justified and decided by the court if both parties are absent in the trial and the court can not make the decision of divorce without the presence of the defendant as allowed previously in the Civil Case validating generally. If the defendant cannot present the trial, thus, in order to make a decision of verdict, a typical criterion should be made to make the verdict of divorce. In the present case in which the procedural law allows a verdict without the presence of the defendant, there is an impression as if the litigation of divorce is easy to agree regardless of the presence of the defendant. 3). The House of Representative as a legislative institution along with the government as an executive institution should immediately make a revision for the Laws No. 1 of 1974 that more emphasizing on values and dynamic of development in the society one of which is to make certain rules and criterions to make divorce process more difficult.


(9)

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama sekali, penulis memanjatkan segala puji dan syukur yang sebesar-besarnya kepada Bapa Yang Maha Pengasih Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, dimana atas Berkat dan Anugerah-Nya penulis memperoleh kesempatan dan kekuatan mulai dari awal mengikuti perkuliahan pada Tahun 2003 sampai pada akhir penyelesaian perkuliahan saat ini di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Atas Bimbingan dan Penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan karangan ilmiah ini berupa Tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN” (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA– RIAU), yang merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan untuk kemudian dituliskan dalam Tesis ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Dalam penulisan Tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, moril, masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Secara khusus disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak Ketua Komisi Pembimbing :


(10)

1. Bapak Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana sekaligus merupakan Ketua Komisi Pembimbing yaitu yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum 3. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

atas kesediaannya memberikan bimbingan penulisan yang baik juga arahan dan petunjuk demi kesempurnaan penulisan tesis ini mulai pemilihan judul, kolokium, seminar hasil, hingga ujian tertutup, dimana berkat bimbingan yang diberikan sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga ditujukan kepada Bapak dan Ibu dosen penguji yang terhormat dan amat terpelajar yaitu :

1. Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum

2. Bapak Notaris Syahril Sofyan SH, MKn

atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, arahan serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil dan sampai pada saat ujian tertutup, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.


(11)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Wakil Direktur beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Pembimbing dalam tesis ini, atas bantuan dan bimbingannya serta memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana beserta stafnya atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Para Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya pada Magister Kenotariatan yang telah memberikan ilmu pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

6. Para pegawai/staf/karyawan pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh hati, terutama untuk memperlancar urusan administrasi yang diperlukan.


(12)

7. Rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU Medan khususnya Angkatan 2003 group C dan Angkatan 2005 group C yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

8. Secara tulus ucapan terima kasih kepada Ayahanda tercinta dan Ibunda tersayang yang selalu memberikan semangat, dorongan, bantuan moril serta dukungan dan selalu mendoakan penulis hingga dapat merampungkan studi ini.

Selain itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga ditujukan kepada para atasan dan rekan-rekan penulis di lingkungan pekerjaan sehari-hari yang telah berperan mendukung dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk menempuh dan menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 2 (S.2) di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Bagir Manan, SH, M.Cl, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

2. Bapak Harifin Tumpa, SH, Wakil Ketua Bidang Non Yudisial selaku Pelaksana Tugas Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3. Ibu Prof. Rehngena Purba, SH, MS, Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum USU dan mantan Ketua Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU.

4. Bapak Mahdi Soroinda, SH,M.Hum, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang saat ini menjabat sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.


(13)

5. Bapak Cicut Sutiarso, SH,MH, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta para staf dan karyawan.

6. Ibu Maulida, SH, Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru.

7. Bapak Monang Siringo-ringo, SH, Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.

8. Bapak Viktor Selamat Zagoto, SH,M.Hum, Mantan Ketua Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Sorong.

9. Bapak Sujatmiko, SH, Mantan Ketua Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang saat ini menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang.

10. Rekan-rekan Hakim di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura khususnya yang berperan sebagai nara sumber untuk penulisan Tesis ini serta rekan-rekan Hakim di Pengadilan Negeri lainnya di seluruh wilayah Republik Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

11. Para staf dan karyawan pada Pengadilan Tinggi Medan, Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli dan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura serta kepada pihak-pihak lainnya yang telah berperan baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhirnya semoga segala budi baik, jasa-jasa dan semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dan pahala yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, 19 Januari 2009, Penulis,


(14)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama Lengkap : Anastasius Rico Haratua Sitanggang.

Tempat/Tgl. Lahir : Pematang Siantar, 08 Januari 1978.

Status : Belum Menikah.

Alamat : Komp. Citra Wisata Lake View IX/4

Medan 20143.

II. Keluarga

Nama Ayah : J.R. Sitanggang, SH

Nama Ibu : S.N. Br. Sitindaon, BA

III. Pendidikan

SD : Tahun 1984 s/d Tahun 1990.

SD Swasta Kristen Kalam Kudus Pematang Siantar.

SMP : Tahun 1990 s/d Tahun 1993.

SMP Swasta Kristen Kalam Kudus Pematang Siantar.

SMA : Tahun 1993 s/d Tahun 1996.

SMA Negeri 4 Pematang Siantar. Perguruan Tinggi/S.1. : Tahun 1997 s/d Tahun 2002.

Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara – Medan.

Perguruan Tinggi/S.2. : Tahun 2003 s/d Tahun 2009.

Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara – Medan.

IV. Pekerjaan

- CPNS/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, sejak

tanggal 01 Desember 2003 sampai dengan tanggal 31 Maret 2005.

- PNS/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, sejak

tanggal 01 April 2005 sampai dengan tanggal 18 Desember 2006.

- Panitera Pengganti di luar Tanggungan Negara pada Pengadilan Negeri

Tebing Tinggi Deli, sejak tanggal 17 Mei 2006 sampai dengan tanggal 06 Desember 2006.

- Hakim Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau, sejak tanggal 19 Desember 2006 sampai sekarang.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR SINGKATAN... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Keaslian Penelitian... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

G. Metode Penelitian... 31

BAB II PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA... 34

A. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura ... 34

B. Faktor Penyebab Putusnya Perkawinan Karena Perceraian ... 43


(16)

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA

PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN ... 59

A. Akibat Hukum Terhadap Anak ... 59

B. Akibat Hukum Terhadap Harta Perkawinan ... 71

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN DAN PERKARA PERDATA PADA UMUMNYA ... 82

A. Persentuhan Hukum Agama dengan UUP No. 1 Tahun 1974 ... 82

B. Dasar Yuridis... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan... 109

B. Saran... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Penduduk Kabupaten Siak... 35

2. Jumlah Perkara 23 Pebruari 2006 s/d Desember 2006... 37

3. Dasar Hakim Memberi Pertimbangan Hukum... 94


(18)

DAFTAR SINGKATAN

AB : Algemene Bepalingen

BW : Burgerlijk Wetboek

HIR : Herjiene Inland Reglement

HR : Hoge Raad

IR : Inlands Reglement

KUHPdt : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia

No. : Nomor

PN : Pengadilan Negeri

PT : Pengadilan Tinggi

PP : Peraturan Pemerintah

Rbg : Rechtsreghment buiten gewesteren

Stb : Staatblad

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar Tahun 1945

UU : Undang-Undang

UUP : Undang-Undang Perkawinan


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir sampai meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lain, atau manusia tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya.1 Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu, manusia juga punya hasrat untuk bermasyarakat.

Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat.2

Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi.3

Setelah dewasa, keinginan untuk melakukan perkawinan telah terbayang di dalam pikirannya. Kemauan ini semakin terasa apabila manusia tersebut telah

1

Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 3, 2004, hal. 1.

2

Ibid.

3

Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3.


(20)

mempunyai penghasilan dan mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga sendiri.

Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.4 Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Perkawinan menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak (suami-isteri), keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda, menyangkut hubungan masyarakat melalui kontak sosial, hubungan hukum melalui kontak negara. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah hukum baik perdata maupun pidana yang tidak mungkin dicakup secara keseluruhan pada saat sekarang ini.

Perkawinan secara umum dilaksanakan berdasarkan hukum agama atau hukum adat (yang juga bercampur dengan hukum agama). Perkawinan yang tertua di Indonesia adalah berdasarkan hukum agama Hindu, Budha, Islam dan hukum adat untuk suku-suku yang tidak menganut agama Hindu, Budha dan Islam. Sungguhpun demikian, karena agama Islam kemudian dianut oleh mayoritas penduduk, maka hukum perkawinan yang banyak diikuti adalah Hukum Islam.

4

Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan I, 1988, hal. 97.


(21)

Bagi masyarakat Indonesia, sudah menjadi pegangan hidup atau pandangan hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.5 Orang yang taat pada agamanya tidak mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan kepercayaannya. Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-peraturan yang memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati.6 Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang besar dalam kehidupan seseorang, juga bagi orang tua anak gadis, perkawinan anaknya itu sangat mengharukan, dimana orang tua tersebut melepaskan anak mereka yang dicintainya itu, lalu berangkat menempuh hidup baru bersama suaminya.7

Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-isteri.8 Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga

5

Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, 1990, Jakarta, hal. 11.

6

Chainur Arrasjid, Op.Cit., hal. 5. 7

Retnowulan Sutanto, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi

Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 35.

8

Rifyal Ka’bah, Hakim Agung MARI, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271, Makalah, Juni 2008, hal. 7. Perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti ‘aqd (kontrak), tetapi kemudian berarti jima’ (persetubuhan). Di Indonesia kontrak atau perjanjian disebut akad nikah (perjanjian, pernikahan atau perkawinan). Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir-batin dengan melahirkan anak-cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat dirujuskan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian.


(22)

yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dalam pembentukan peradaban.

Mulai secara tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum. Sementara itu isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal di rumah, melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Konsep perkawinan sebagai kontrak yang sah seperti ini sampai sekarang belum berubah, tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti hukum kehidupan maka kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut tidak lagi persis seperti pada masa lalu.9

Maka perkawinan bukanlah barang mainan yang suatu waktu dapat diganti dan ditukar dengan yang lain. Untuk melangsungkan suatu perkawinan, undang-undang telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Di dalam undang-undang perkawinan ditetapkan beberapa azas dan prinsip, salah satunya adalah azas untuk mempersulit terjadinya penyimpangan, karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Dalam suasana dimana masyarakat menghadapi perubahan sosial ekonomi yang serba cepat, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi hukum lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial.

Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.10

9

Ibid., hal. 7.

10

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 1994, hal. 1.


(23)

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.11 Akan tetapi pembagian peran sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat 3 dan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP) bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan adalah seimbang.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa Hukum dengan tegas mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antar kepentingan-kepentingan para warga masyarakat.12

Dari kenyataan tersebut, maka pembuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 Ayat 1). Agama yang dimaksud adalah merujuk kepada Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing.13

Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat dan justru pembagian tugas inilah yang sedang mengalami proses perubahan dalam lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan

11

Retnowulan Sutanto, Op.Cit., hal. 35. 12

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di

Indonesia, Penerbit UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1983, hal. 4.

13


(24)

satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja dan karena itu mempunyai waktu lebih sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga.

Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain.14

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari, alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara suami isteri dalam keluarga mulai berubah. Jika memang ada kecenderungan pergeseran nilai, maka formulasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk undang-undang perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu nampaknya perlu dilihat apakah proses itu benar terjadi dan kalau seandainya terjadi hanya bersifat sementara saja atau sesuatu yang semakin lama semakin cenderung meningkat.

Setiap pasangan tidak selamanya dapat menyelesaikan konflik-konflik yang mereka alami, dan mengundang orang yang dianggap lebih tua menjadi penengah belum tentu efektif karena pertimbangannya berbeda. Oleh karena itu mungkin

14


(25)

dibutuhkan semacam lembaga yang memberi pelayanan konsultasi yang sungguh-sungguh mengerti perubahan yang terjadi dan tidak hanya mempertimbangkan aspek normatif saja. Kualifikasi yang sama mungkin juga dibutuhkan oleh orang-orang yang karena pekerjaannya menangani konflik keluarga seperti hakim, pengacara dan sebagainya.

Pada kenyataannya perceraian tidak juga dapat dihindarkan, walaupun berbagai usaha dan upaya telah dikerahkan ke arah itu. Padahal perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan mengingat perbuatan tersebut adalah dilarang dan aib sifatnya kecuali dalam keadaan benar-benar terpaksa.

Keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan-persoalan yang menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan pada penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan yang baru tersebut.15 Di samping itu, perkembangan dan perubahan yang sangat besar akibat peranan teknologi dan industrialisasi menghendaki agar hukum melakukan adaptasi pada keadaan demikian itu. Akibatnya, hampir semua aspek dalam kehidupan ditemui adanya peraturan-peraturan hukum.16

Akibatnya lembaga-lembaga peradilan pada hakekatnya tidak begitu saja dengan mudah mengabulkan gugatan perceraian walaupun alasan-alasan perceraian tersebut telah dipenuhi oleh salah satu pihak. Hakim pada dasarnya berusaha agar kedua belah pihak merenungkan kembali dan disarankan agar sejauh mungkin

15

Bambang Sunggono, Op.Cit., hal. 1. 16


(26)

perceraian dihindarkan karena berakibat luas, apabila keluarga tersebut telah mempunyai keturunan (anak). Tetapi apabila usaha dan upaya itu gagal, maka dengan terpaksa gugatan tentang perceraian harus diputus dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan. Masalah perceraian ini di dalam peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang lembaga-lembaga yang berwenang menerima, memeriksa, dan memutus perkara tersebut. Bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, lembaga yang berwenang memeriksa dan memutusnya adalah Pengadilan Agama untuk peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama untuk peradilan tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi, sedangkan beragama lain peradilan yang berhak memeriksa adalah Pengadilan Negeri dimana tergugat bertempat tinggal.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah merupakan hasil produk perundang-undangan nasional, yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka hukum agama dan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dan dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian nasional dimana hukum adat yang dapat diterima untuk dimasukkan ke dalam undang-undang perkawinan tersebut adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan diri serta dapat mengikuti perkembangan zaman menuju kepada negara yang maju dan modern. Di dalam undang-undang tersebut memang tidak tegas digunakan istilah hukum adat, namun tidak berarti bahwa undang-undang ini terlepas sama sekali dari hukum adat.


(27)

Hal ini dapat dilihat misalnya pada Bab VII Pasal 35-37 UUP tentang harga benda di dalam perkawinan masih juga digunakan istilah Harta Bersama dan Harta Bawaan. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing. Di dalam penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Secara keseluruhan undang-undang perkawinan maupun aturan pelaksanaannya hanya mengenal dua jenis proses perceraian yaitu perceraian dengan talak dan cerai gugat.

Selanjutnya dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa tujuan sidang pengadilan dimaksud dalam Pasal 14 PP tersebut hanyalah untuk menyaksikan perceraian tersebut. Dalam Pasal 17 PP tersebut dikatakan bahwa sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

Dari ketentuan tersebut di atas jelaslah bahwa yang diajukan suami bukanlah surat permohonan, akan tetapi surat pemberitahuan bahwa ia akan bercerai (menceraikan) isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan di tempat tinggalnya untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu. Dan jika sudah terjadi perceraian di muka pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian (bukan surat penetapan atau putusan).

Ketentuan mengenai akibat perceraian yang diatur oleh Pasal 41 ayat b dan c UUP mengatakan suami yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan untuk itu, jika suami dalam kenyataan tidak dapat


(28)

memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Beban akibat perceraian terutama yang bersifat finansial yang sekarang ini terutama menjadi kewajiban suami, nampaknya perlu juga dipertimbangkan. Dalam kenyataan cukup banyak isteri yang berpenghasilan lebih banyak atau sama dengan suami. Undang-Undang perkawinan mengantisipasi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat saat ini, seperti yaitu pengaturan pembagian peran antara suami isteri, dan gugatan perceraian (isteri yang meminta cerai). Kalaupun banyak perceraian yang diajukan oleh pihak isteri, tidak menyebabkan bertambah rendahnya perceraian yang diajukan isteri. Oleh karena itu mempersulit prosedur tidak menjadi alasan untuk mengurangi angka perceraian. Undang-undang perkawinan yang mengatur antara lain soal peran suami isteri dan prosedur perceraian sudah perlu dipertimbangkan kembali setidak-tidaknya di dalam penerapannya.

Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang dulunya merupakan wilayah dari Pengadilan Negeri Bengkalis. Pengadilan Negeri ini diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan berfungsi sejak 23 Pebruari 2006. Dengan berfungsinya Pengadilan Negeri ini, tentunya para penegak hukum khususnya hakim sangat diharapkan profesionalnya dalam mengadili perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri, khususnya perkara perceraian.

Dari uraian di atas yang menjadi fokus pembahasan adalah perceraian yang diputus oleh Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura.


(29)

B. Permasalahan

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu :

1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian? 2. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan

perceraian melalui putusan pengadilan ?

3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura – Riau ?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan.

3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :


(30)

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk ilmu pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya tentang hukum perkawinan.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman kepada masyarakat serta kepada aparat penegak hukum terkait dalam proses perceraian serta pemahaman atas nilai-nilai hukum perkawinan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau) belum ada. Maka dengan demikian penelitian ini adalah asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,17, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya

17

J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203.


(31)

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19 bagi peneliti Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian.

Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal, selanjutnya perkawinan hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga 10 (sepuluh) tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.20

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Zina (overspel)

b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating)

c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan, dan

d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 KUHPerdata).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979, Pasal 19 menyebutkan ada enam alasan tentang perceraian yaitu :

a. Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

b. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

18

Ibid., hal. 16.

19

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 20

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, Cetakan XVII, 1983, hal. 42.


(32)

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayaka pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya perkawinan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1993 tentang Peradilan Agama dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Putusnya perkawinan berdasarkan Pasal 113 Undang-Undang Peradilan Agama perkawinan putus karena :

a. Kematian b. Perceraian, dan

c. Atas putusan Pengadilan.

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dalam Undang-Undang Peradilan Agama dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 dinyatakan perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Putusnya perkawinan apabila 5 (lima) tahun telah lewat waktu dan tidak juga ada perdamaian kembali antara suami dan isteri, masing-masing pihak dapat meminta kepada hakim supaya perkawinan diputuskan dengan perceraian.21

Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan

21


(33)

memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.22 Adanya UUP tentang Perkawinan, berlaku untuk setiap warga negara Indonesia di seluruh nusantara, merupakan undang-undang unifikasi.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”. Melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik.23 Dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut UUP), Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Jika ditinjau dari pengertian perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian memperlihatkan kepada masyarakat umum dan istilah suci merupakan pernyataan dari sudut agama.

Menurut Pasal 1 UUP No. 1 Tahun 1974, pengertian perkawinan telah dirumuskan sebagai berikut : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

22

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ketiga, 2005, hal. 6.

23

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 2006, hal. 231.


(34)

Dalam penjelasan UUP menegaskan bahwa :

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.24

Pernyataan tersebut memberi arti bahwa dalam suatu perkawinan dimana perkawinan bukan hanya merupakan hubungan jasmani dan rohani antara wanita dan pria, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan mempunyai dan membesarkan keturunan mereka.

Di dalam hidup bersama orang harus biasa mengindahkan sejumlah besar peraturan-peraturan. Dari peraturan-peraturan tersebut sebagian besar sama sekali tidak ada hubungan dengan “hukum”. Hanya sedikit sajalah yang ada sangkut pautnya dengan hukum. Misalnya mengenai kebanyakan aturan-aturan kesopanan dan juga mengenai berbagai kewajiban-kewajiban kepatutan. Hal-hal ini dapat saja dilanggar tanpa memperoleh hukuman.25

Persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang profesi mereka sebagai hakim,26 kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum itu dari sudut pandang profesi keilmuwan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka, dan sebagainya.

24

Sudarsono, Op.Cit., hal. 9. 25

H.F.A. Vollmar, (Terjemahan I.S. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan 2, 1989, hal. 1.

26

Jenis putusan yang terbanyak dijumpai yang tidak memerankan hokum sebagai “a tool of

social engineering” antara lain :

a. Penafsiran terhadap Pasal 49 KUHP terlihat dalam putusan HR tanggal 27 Mei 1935 “Apabila dengan jelas ternyata bahwa terdakwa tidak akan berbuat lain daripada yang dilakukannya, maka ia tidak berbuat karena pembelaan terpaksa”.

b. Penafsiran terhadap Pasal 49 KUHP, terlihat dalam putusan HR tanggal 29 Desember 1913 : “Membalas suatu serangan dengan suatu serangan balasan bukan merupakan tindakan membela diri”.


(35)

Hukum kata Viktor Hugo adalah kebenaran dan keadilan. Hukum kata Meyers adalah keseluruhan daripada norma-norma dan penilaian-penilaian mengenai tentang harga diri, kesusilaan yang mempunyai hubungan yang erat dengan perbuatan-perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat, norma-norma dan penilaian-penilaian mana oleh penguasa negara harus dipakai pedoman dalam menunaikan tugasnya.27

Menurut Oxford English Dictionary, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali bahwa pengertian hukum yaitu “Law is the body of rules, whether formally enacted or customary, which a state or community recognises as binding on ist members or subjects”. (Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya).28

Sedangkan menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali bahwa : Pengertian hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.29

Berarti hukum bukan hanya sekedar kaidah melainkan juga sebagai gejala sosial dan sebagai sesi kebudayaan. Sedangkan Achmad Ali memberikan pengertian hukum yaitu :

Hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta

27

R. Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 9, 1986, hal. 50.

28

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 31.

29


(36)

benar-benar dilakukan oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.30

Persoalan tujuan hukum dikaji melalui tiga sudut pandang, antara lain :

a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis dogmatic, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya.

b. Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan.

c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya.31

Tujuan hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kelompok teori antara lain :

a. Ajaran Konvensional

1) Ajaran etis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.

2) Ajaran utilitis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaa warga.

3) Ajaran normatif-dogmatif yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. b. Ajaran Modern

1) Ajaran prioritas baku yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

2) Ajaran prioritas kasuistis bahwa mungkin untuk kasus-kasus lain justru kebutuhan kemanfaatanlah yang diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian begitu juga sebaliknya.32

Jadi secara konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam hal ini diupayakan ketiganya dapat

30

Ibid., hal. 35.

31

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, Cetakan I, 1993, hal. 60.

32


(37)

diwujudkan seluruhnya secara bersama-sama karena memungkinkan pertentangan-pertentangan di antara ketiga tujuan itu.

Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan, keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).33

Penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.34

Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam

33

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 1. 34

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 24.


(38)

perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparansi, supreme hukum dan promosi dan perlindungan HAM35 dikesampingkan.

Penegakan hukum menurut Badan Kontak Profesi Hukum Lampung menyatakan bahwa :

a. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan menilai dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering) dan mempertahankan (social control) dan keadamaian pergaulan hidup.

b. Penegakan hukum merupakan perpaduan dari sistem nilai-nilai (warden system) dan sistem aturan-aturan perilaku (gedragregelen system).36

Kondisi yang diresahkan masyarakat saat ini tidak semata-mata terletak pada ketidakpuasan terhadap praktek peradilan (yang dapat disebut sebagai penegakan hukum dalam arti sempit), tetapi justru ketidakpuasan terhadap penegakan hukum dalam arti luas, yaitu penegakan seluruh norma/tatanan, kehidupan masyarakat (di bidang politik, sosial, ekonomi, pertahanan-keamanan dan sebagainya).

Penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum. Budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum diperlukan untuk mendukung reformasi hukum harus diupayakan bersama oleh seluruh aparat penegak hukum, masyarakat/asosiasi profesi hukum, lembaga pendidikan hukum, dan bahkan oleh seluruh aparat pemerintah dan warga masyarakat pada

35

Keseluruhan HAM, dilihat dari sudut hokum pada hakekatnya merupakan “kepentingan hokum” yang sepatutnya mendapat perlindungan, antara lain perlindungan lewat hokum pidana.

36

Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan


(39)

umumnya. Namun, undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas. Meskipun tidal lengkap atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan.

Jadi dalam hal penegakan hukum juga perlu dibahas mengenai aparat penegak hukumnya seperti Polisi disebut sebagai “alat negara penegak hukum”, Jaksa disebut sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.

Menurut ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.


(40)

Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 mewajibkan Hakim menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.

Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukumpun mengadakan penemuan hukum, hanya kalau hasil penemuan hukum itu hakim itu adalah hukum, aka hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum melakukan ilmu atau doktrin.

Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus juga penciptaan dan pembentukan hukum. Kegiatan hakim perdata biasanya menjadi model untuk teori-teori penemuan hukum yang lazim. Sebabnya ialah oleh karena hakim perdata dalam penemuan hukum lebih luas ruang geraknya daripada hakim pidana. Pasal 1 KUHPidana membatasi ruang gerak hakim pidana. Hakim perdata mempunyai kebebasan yang relatif besar dalam penemuan hukum. Tidak mengherankan bahwa teori-teori yang ada tentang penemuan hukum terutama berhubungan dengan tindakan hakim perdata.

Pada dasarnya setiap manusia menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan untuk selama-lamanya, namun dalam kenyataannya


(41)

harapan itu tidak selalu dapat diwujukan. Menurut K. Wantjik Saleh seperti yang dikutip oleh Rachmadi Usman bahwa perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.37 Dalam kenyataannya sering terjadi suami isteri tidak memahami hak dan kewajibannya dalam rumah tangga sehingga menimbulkan pertengkaran yang dapat menyebabkan hubungan suami isteri tidak harmonis. Ketidak harmonisan dalam rumah tangga ada kalanya masih dapat diatasi tetapi ada juga yang harus diakhiri dengan perceraian. Sama halnya dengan perkawinan, perceraian juga merupakan masalah keluarga yang tidak hanya melibatkan suami isteri saja melainkan pada kebiasaannya seluruh keluarga ikut serta menyelesaikannya.38 Putusnya hubungan perkawinan akan selalu membawa pengaruh yang buruk pada keluarga.

Dalam Pasal 38 UUP, disebukan bahwa perkawinan dapat putus karena : a. Kematian

b. Perceraian

c. Atas keputusan Pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dari suami ataupun isteri sudah jelas merupakan suatu takdir yang tidak dapat dihindari oleh siapapun, sehingga secara otomatis sejak saat itu perkawinan putus. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan ketat, sehingga suatu pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain

37

Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 270. 38


(42)

tidak dapat ditempuh lagi.39 Putusnya perkawinan karena kematian bukanlah atas kehendak bersama dari suami isteri atau kehendak salah satu pihak melainkan atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan oleh siapapun.

Pengadilan yang berhak membatalkan suatu perkawinan, selain ditentukan Pasal 63 ayat (1) a (absolut kompetensi), juga ditunjuk oleh Pasal 25 (relatif kompetensi) yakni Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami isteri, suami atau isteri, dan kepada Pengadilan inilah permohonan pembatalan perkawinan harus diajukan.40

Dalam Pasal 39 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa untuk dapat melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi dengan alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lai selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

39

K. Wantjik Saleh, Op.Cit., hal. 15. 40

H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan 3, 1985, hal. 106.


(43)

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.41

Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang sejalan dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini terbukti dari ketentuan Pasal 39 ayat (1, 2) UUP dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Perceraian menurut garis hukum apapun dan dalam bentuk apapun hanya boleh dipergunakan sebagai jalan terakhir, sesudah usaha perdamaian telah dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan lain kecuali hanya perceraian itu.

Dalam UUP maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak ada satu pasal pun yang secara tegas memberi defenisi ataupun pengertian tentang perceraian tetapi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah pemutusan hubungan perceraian antara suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perceraian hanya sebagai way out/pintu darurat semata-mata.

Menurut UUP putusnya hubungan perkawinan karena terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum terhadap anak, bekas suami isteri dan harta bersama. Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP yaitu :

41

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan

Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,


(44)

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan biaya yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Dari ketentuan Pasal 41 UUP, jelas memberi perlindungan terhadap anak dimana kedua orang tua harus bertanggungjawab dalam hal pemeliharaan anak bahkan ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan anak apabila bapak tidak mampu.

Mengenai harta bersama, Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa : “Bila terjadi perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dari bunyi Pasal 37 UUP ini dapat diketahui bahwa akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencaharian ini UUP menyerahkan penyelesaiannya kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan jika tidak ada kesepakatan antara kedua pihak, hakim dapat mempertimbangkannya menurut rasa keadilan yang sewajarnya. Hal ini berarti undang-undang membuka kemungkinan berlakunya hukum lain yakni Hukum Agama, BW, Hukum Adat dan Hukum Adat


(45)

yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropah, golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropah serta golongan Pribumi.

Menurut Dadang Hawari bahwa :

Perceraian itu berdampak luar biasa yang mesti diperhatikan oleh pasangan suami-isteri yang akan bercerai mengenai psikologis anak dimana akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan mental dan bahkan berdampak lebih buruk lagi. Oleh sebab itu pasangan suami-isteri yang akan bercerai terlebih dahulu memikirkan psikologis dan masa depan anak-anak.42

Dengan demikian dapat dipahami bahwa sangat diperlukan sumber data/informasi tentang putusnya perkawinan akibat perceraian pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting yang dapat diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai.43

Konsepsi juga dapat diketemukan di dalam putusan-putusan pengadilan termasuk putusnya perkawinan akibat perceraian.44 Oleh karena dalam penelitian ini harus didefenisikan mengenai konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan, yaitu :

a. Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :

42

Dadang Hawari, Psikiater dan Konsultan Pernikahan, Cek & Ricek No. 447/Thn. IX/Rabu, 21-27 Maret 2007.

43

Rusdi Malik, Op.Cit., hal.15. 44

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, FH-Universitas Airlangga, Surabaya, Cetakan I, 2005, hal. 139.


(46)

1) Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin, berarti secara formal merupakan suami-isteri, baik hubungan antara mereka sendiri maupun dengan masyarakat.

2) Antara seorang pria dengan seorang wanita. 3) Sebagai suami isteri

4) Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.45

Menurut K. Wantjik Saleh berpendapat bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.46

Menurut Hilman Hadi Kusuma mengutip pendapat Ter Haar yang menyatakan : “Perkawinan itu urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi”.47

b. Pengertian perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Bab V, Pasal 29 yaitu :

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.48

c. Perkawinan menimbulkan akibat hukum pada suami isteri menurut Pasal 30 – 34 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :

45

Sudarsono, Op.Cit., hal. 7. 46

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 9. 47

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980, hal. 8. 48

M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit CV. Zahir Trading Co, Medan, Cetakan I, 1975, hal. 84.


(47)

1) Suami isteri memikul kewajiban-kewajiban hukum untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2) Suami isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

3) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat. 4) Suami isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 5) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. 6) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

7) Suami itu harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama.49

Menurut Pasal 42 UUP anak sah adalah anak yang dilahirkan dan/atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan menurut Pasal 43 UUP anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual.50 Sedangkan tujuan perkawinan menurut perundang-undangan adalah untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (ke-orangtua-an).51 d. Pencatatan perkawinan menurut Stb. 1917 No. 130 jo Stb 1919 No. 81 Pasal 69

ayat (1) pencatatan perkawinan adalah tindakan administratif yang mengharapkan pegawai catatan sipil untuk melakukan pencatatan tentang peristiwa penting yang dimuat dalam register perkawinan.

49

F.X. Suhardana, Hukum Perkawinan, Penerbit Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal. 102. 50

Lili Rasyid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal. 105.

51


(48)

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

Perpisahan meja dan ranjang adalah suami isteri dibebaskan dari kewajibannya untuk tinggal bersama dan dengan sendirinya membawa pemisahan kekayaan di samping perpisahan meja dan tempat tidur tidak berakibat hapusnya kekuasaan orang tua (outderlijke macht) kekuasaan mana tetap ada, sehingga di sini tidak ada wali ataupun wali pengawas. Hakim harus menetapkan oleh siapa, ayah atau ibu, kekuasaan itu dijalankan terhadap masing-masing anak.

e. Gugatan perceraian adalah yang diajukan oleh suami-isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, dalam hal hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

f. Menurut Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat :

1) Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suaminya.

2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.


(49)

3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Putusnya perkawinan akibat perceraian menurut Pasal 39 ayat (1) UUP adalah bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil. Selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa untuk dapat melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.

Perkawinan hapus adalah jikalau satu pihak meninggal selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya mendapatkan tempat tinggalnya hingga 10 (sepuluh) tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya, akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.52 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.

52


(50)

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis,53 deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian, akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan jika terjadi perceraian melalui putusan pengadilan dan pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif54 dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, putusan hakim, yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Lokasi Penelitian dan Sumber Data

Lokasi penelitian yang dilakukan dan ditetapkan adalah di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau.

Untuk melengkapi data tersebut didukung dengan data melalui informan yaitu: para Hakim di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yang dilakukan dengan cara wawancara (depth interview) kepada para informan.

53

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskriptif pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.

54

Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 12. Menyebutkan penelitian hokum normatif atau penelitian hukum doktrinal dibedakan atas: a) Penelitian inventarisasi hukum positif, b) Penelitian terhadap asas-asas hukum, c) Penelitian untuk menemukan hukum in concreto, d) Penelitian terhadap sistematik hukum, e) Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.


(51)

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan 2 (dua) cara yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data primer dengan wawancara, dilakukan secara langsung kepada informan, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara, agar lebih mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.

4. Analisa Data

Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu setelah data primer diperoleh dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan, dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diperoleh suatu kesimpulan terhadap penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti.


(52)

BAB II

PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA

A. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura

Kabupaten Siak mencakup area seluas 8.881,56 km2, bertitik pusat di daerah Minas sampai ke pantai Timur Sumatera bagian tengah yang ditandai dengan Kecamatan Siak Sri Indrapura yang merupakan Ibukota Kabupaten Siak, merupakan tempat Kesultanan masa lalu, sebuah Kerajaan Islam Melayu di Riau. Beberapa kota penting lainnya di Kabupaten Siak adalah Perawang yaitu kota yang memiliki perkembangan industri yang cepat, dan Minas, salah satu kota pusat pengeboran minyak di Indonesia.

Secara geografis, Kabupaten Siak terletak di antara 10 16’30” – 00 20’49” Lintang Utara dan 1000 54’21” – 1020 10’59” Bujur Timur, dan berbatasan dengan : a. Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkalis.

b. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Kampar dan Pelalawan. c. Sebelah Barat dengan Kabupaten Kampar dan Pekanbaru. d. Sebelah Timur dengan Kabupaten Bengkalis dan Pelalawan.

Kabupaten Siak memiliki karakteristik dataran rendah dengan iklim tropis sepanjang tahun yang digunakan untuk bercocok tanam. Menurut laporan Inventarisasi Data Kecamatan, pada bulan Desember 2006, jumlah penduduk Kabupaten Siak sebanyak 312.086 jiwa, yang tersebar di 13 Kecamatan.


(53)

Tabel 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Siak

Jenis Kelamin

No. Kecamatan Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 Bungaraya 21.087 10.691 10.396

2 Dayun 23.262 12.050 11.212

3 Koto Gasib 15.411 7.966 7.445

4 Kandis 43.053 22.752 20.751

5 Kerinci Kanan 18.944 9.950 8.994

6 Lubuk Dalam 13.662 7.106 6.556

7 Minas 17.670 9.382 8.288

8 Siak Sri Indrapura 14.074 7.420 6.654

9 Sungai Mandau 4.377 2.227 2.150

10 Sungai Apit 21.854 10.923 10.931

11 Tualang 96.297 49.536 46.761

12 Mempura 3.315 6.715 6.600

13 Sabak Auh 9.080 4.679 4.401

J u m l a h 312.086

Sumber Data : Laporan Kantor Kependudukan Kab. Siak, Desember 2006.

Ibukota Kabupaten Siak, bila ditempuh dari Pekanbaru dengan menempuh perjalanan selama 2 jam, baik melalui jalan darat maupun sungai dengan menggunakan ferry cepat dan speedboat. Satu jalur masuk utama di Kabupaten Siak adalah Pelabuhan Tanjung Buton. Pelabuhan ini direncanakan untuk dikembangkan sebagai pelabuhan internasional untuk kawasan industri. Adapun fasilitas dan infrastruktur yang dikembangkan saat ini antara lain :

a. Listrik; Kebutuhan listrik di Siak disediakan oleh PLN dan beberapanya dimiliki oleh Perusahaan Swasta besar yang beroperasi di Siak.

b. Telekomunikasi; Fasilitas pelayanan komunikasi di Siak sudah tersedia untuk seluruh kecamatan, begitu pula untuk layanan pos. Sementara itu juga, telepon selular dapat dilayani di Kota Siak, Perawang, dan Minas. c. Pariwisata :

1) Kompleks Kesultanan Kerajaan Siak

2) Istana Kerajaan Sultan Siak berdiri selama masa pemerintahan Sultan Assyayidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin Syah (Sultan ke 11)


(54)

pada tahun 1889 yang dinamakan Assirayatul Hasyimiah. Berdasarkan bangunannya, konstruksinya berbau Eropa, campuran antara Belanda dengan Jerman, di bagian lain juga terdapat campuran antara gaya Arab dengan Melayu.

3) Interior istana ini penuh dengan benda-benda budaya yang memiliki nilai seni yang tinggi, termasuk aksesori untuk upacara acara raja-raja, seperti mahkota emas bertabur berlian, keris emas, dan perlengkapan pribadi Sultan Syarif Qasim, seperti komet, kotak musik.

4) Balai Kerapatan Tinggi, Mesjid Kesultanan, dan Kompleks Pekuburan Keluarga Kerajaan.

d. Kota Minas;

Minas merupakan kota tempat pengeboran minyak dalam jumlah yang sangat besar. Kota Minas terletak tidak jauh dari kota Pekanbaru.

e. Wisata Alam;

Danau Zamrud (akan dikembangkan dengan membangun resort), Danau Pulau Atas, Pulau Bawah, Tasik Rawa, Ketialau, Air Hitam, Besi, dan Tembatu Sonsang.

f. Wisata Agronomi;

Daerah perkebunan, lahan pertanian hasil panen, cagar alam. g. Potensi Daerah;

Hasil Panen Agrikultur dan Holtikultura; h. Perkebunan;

Komoditas perkebunan di Kabupaten Siak, antara lain karet, minyak kelapa sawit, kelapa, dan kopi.

i. Kehutanan;

Hampir seluruh bagian di Kabupaten Siak ditutupi oleh hutan, yang terdiri dari hutan produksi, hutan konversi, hutan mangrove, hutan cagar alam, dan beberapa hasil hutan seperti kayu lapis, kayu gelondongan dan lain-lain. j. Peternakan Hewan;

Ternak hewan memiliki prospek yang bagus untuk proyek pengembangan dan penggemukan sapi, unggas, dan kerbau, serta produksi telur.

k. Pertambangan;

Kabupaten Siak dikenal sebagai penghasil minyak utama di Riau, yaitu di daerah Sungai Apit dan Minas yang dikelola oleh PT. Cevron Pacific Indonesia (dahulu PT. Caltex Pacific Indonesia) dan PT. Kondur Petroleum SA.

l. Kawasan Industri;

Kawasan industri terletak di sepanjang Sungai Siak memiliki peranan penting untuk meningkatkan dan mengembangkan perekonomian masyarakatnya.

m. Industri Kecil dan Menengah; Industri ini bergerak di bidang kehutanan dan agronomi dengan bisnis sebanyak 60 dan pekerja sebanyak 23.692 orang.55

55


(1)

pertimbangannya juga memperhatikan aspek hukum agama yang dianut oleh para pihak apakah hukum agamanya membolehkan terjadinya perceraian atau tidak. Apabila melihat syarat sahnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan mengedepankan aspek moral agama, yakni perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama yang dianut, maka sebaiknya bilamana perkawinan akan dibubarkan, juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum agama yang dianut para pihak. 2. Dengan memperhatikan tujuan perkawinan sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia lahir-bathin, dan juga mengingat akibat yang dapat timbul terhadap anak yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan akan membawa dampak kurang baik terhadap perkembangan jiwa, moral dan psikologis anak, maka sebaiknya ada dibuat undang-undang tersendiri yang khusus mengatur hukum acara dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang sifatnya mempersulit terjadinya perceraian dengan cara misalnya lebih mengedepankan proses mediasi dan atau gugatan perceraian tidak dapat diperiksa oleh pengadilan apabila kedua belah pihak tidak hadir di persidangan dan pengadilan tidak boleh memutus perkara perceraian tanpa kehadiran pihak tergugat sebagaimana yang selama ini masih dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum. Andaikata tergugat memang tidak mungkin dapat hadir di persidangan,


(2)

untuk menjatuhkan putusan versteek, sebaiknya dibuat kriteria khusus dalam hal bagaimana putusan versteek dalam perkara gugatan perceraian dapat dijatuhkan. Dengan keadaan yang terjadi saat ini dimana Hukum Acara Perdata memungkinkan putusan verstek tanpa kehadiran tergugat, timbul kesan seakan-akan gugatan perceraian gampang dikabulkan walaupun pihak tergugat tidak hadir.

3. Sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif bersama-sama dengan Pemerintah selaku lembaga eksekutif, segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang lebih memperhatikan nilai-nilai dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat dalam bidang perkawinan yang salah satunya adalah membuat aturan dan kriteria-kriteria tertentu untuk lebih mempersulit terjadinya perceraian.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002.

Arrasjid, Chainur, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 3, 2004.

Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi ke-3, 2005.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading Co, Medan, 1975.

Kertasapoetra, Rien, G, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan 1, 1988.

Ka’abah, Rifyal, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271, Makalah, Juni 2008.

Latif, H.M. Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Malik, Rusdi, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 1990.

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, FH-Universitas Airlangga, Surabaya, Cetakan I, 2005.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993.


(4)

---, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, Cet. 2, 1999.

Prakoso, Djoko, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Prawiroharmidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit Alumni, Bandung, Cetakan 3, 1986.

Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989.

Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Bandung, 1983.

Rasyidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982.

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. ---, Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan,

Ikhtiar Baru, Jakarta, 1995.

Siregar, Bismar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta, 1986.

Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1983.

---, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1986.

Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Soepomo, R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.

Subekti, R. Dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 9, 1986.

---, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 22, 1987.


(5)

Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, Cetakan XVII, 1983.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan 3, 2005.

Suhardana, F.X., Hukum Perkawinan, Penerbit Prenhallindo, Jakarta, 2001.

Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 1994.

---, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Sutanto, Retnowulan, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979.

Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 1, 2006.

Vollmar, H.F.A (Terjemahan I.S. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan 2, 1989.

Wasis, SP, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, Cetakan 1, 2002.

Wuisman, J.J.J. M. dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. ---, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.

---, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


(6)

C. Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 10/Pdt.G/2007/PN.Siak, tanggal 9 Oktober 2007. Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 02/Pdt.G/2007/PN.Siak, tanggal 2 April 2007.

D. Majalah/Internet

Buku Panduan Kadarkum, diterbitkan Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1998. Cek & Ricek No. 447/Thn. IX/Rabu, 21-27 Maret 2007.