Hak Waris Anak Masyarakat Tionghoa Yang Pindah Ke Agama Islam Di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat

(1)

HAK WARIS ANAK MASYARAKAT TIONGHOA YANG PINDAH KE AGAMA ISLAM DI KELURAHAN KUTA PADANG KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KOTA MEULABOH KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

KEUMALA MEUTIA 110200030

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM REGULER

MEDAN

2015


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya serta diberikannya kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU Medan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul : HAK WARIS ANAK MASYARAKAT TIONGHOA

YANG PINDAH KE AGAMA ISLAM DI KELURAHAN KUTA PADANG KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KOTA MEULABOH KABUPATEN ACEH BARAT

Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan, wawasan, serta bahan-bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk kriktik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca untuk mencapai kesempurnaan tulisan ini.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum USU Medan, yaitu:

1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.


(3)

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH., M.Hum., DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum USU Medan

4. Bapak Dr. O.K, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU Medan. 5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan

USU Medan.

6. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan USU Medan.

7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum., selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Perdata BW.

8. Bapak Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku Dosen Pembimbing I, yang sabar membimbing saya mulai dari titik awal penulisan skripsi sampai dengan selesainya penulisan. Terima kasih banyak Bapak.

9. Ibu Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yang sabar membimbing saya mulai dari titik awal penulisan skripsi sampai dengan selesainya penulisan. Terima kasih banyak Ibu.

10.Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan staf Fakultas Hukum USU Medan yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.

11.Buat Winarko Triasmoyo terima kasih atas dukungan serta semangatnya, semoga Allah SWT membalas semuanya.

12.Buat teman-teman terdekat yang terbaik, “Meli Liasta, Nopi Aryani Siregar, Fitri Arifah, Syarah Ermayanti, Kayaruddin, Rizky Syahbana A Harahap, Agung Rahmatullah, M. Ikhwan Adabi, Rendra Hanafi, dan Devi Damayanti Pohan”. Terima kasih atas semangat yang selalu diberikan kepada penulis, semoga kita menjadi orang yang sukses.


(4)

13.Teman-teman Stambuk 2011, khusus teman-teman grup E, senang bisa mengenal kalian semua (Tata, Hime, Apre, Marni, Christi, Icha, Febri, Rahmansyah, Abdel, Husein, Rasyid, Eka) dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu lagi.

Terima kasih buat Papa Ir.H. Adi Irwansyah dan Mama Hj. Seri Peraini, yang terkasih dan tercinta karena telah memberikan semangat, doa, rasa cinta dan kasih sayang pada anaknya karena dengan keikhlasan dan ketulusan serta pengorbanannya anaknya dapat menjadi apa yang diharapkan oleh orang tua dan buat abang Reza Adiguna terima kasih semangat dan dorongannya semoga nantinya kita bisa bersama-sama memperoleh kesuksesan dan membanggakan orang tua kita. Buat seluruh keluarga besar Maksah dan seluruh keluarga besar Husin terima kasih atas doa serta dukungannya.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Medan, 2 Agustus 2015

Hormat Saya,


(5)

Keumala Meutia.*

Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA,.** Dr. Yefrizawati,S.H,. M.Hum. ***

ABSTRAK

Secara letak geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, kondisi ini sangat mempengaruhi terhadap pluralitas sistem hukum di Indonesia. Dimana disetiap pulaunya terdapat suku yang memiliki kultur hukum yang berbeda satu sama lain, begitu juga pada hukum warisnya. Oleh karena itu ada bermacam-macam hukum waris di Indonesia seperti hukum waris yang berdasarkan hukum adat, hukum Islam, dan KUHPerdata. Bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami berbagai pertukaran budaya pada saat berinteraksi sosial. Salah satunya adalah suku Tionghoa yang berada di Indonesia sebagian dari mereka ada yang memeluk agama Islam karena telah menikah dengan orang yang beragama Islam. Walaupun seorang anak telah menganut agama yang berbeda dengan orang tuanya tetapi tentu saja tidak terlepas dari permasalahan hukum yang timbul dalam keluarga salah satunya adalah hukum waris. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hak waris anak yang telah berbeda agama tersebut dan bagaimanakah penyelesaian sengketa warisan apabila terjadi sengketa.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatis dan metode penelitian yuridis empiris yang bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara.

Hasilnya adalah bahwa anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat tetap mendapatkan hak waris dari orang tuanya tanpa ada perbedaan dengan anggota keluarga yang lain. Pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat menganut sistem pewarisan secara patrilineal, jadi anak laki-laki lebih di istimewakan sehingga secara otomatis hak waris anak laki-laki lebih banyak dari pada anak perempuan, tetapi anak perempuan berhak atas seluruh emas dan perhiasan yang dimiliki oleh orang tuanya. Hal ini tetap berlaku sekalipun ada anak laki-laki atau perempuan yang pindah agama ke agama Islam. Jika ada sengketa waris yang terjadi pada masyarakat Tionghoa diderah ini diselesaikan dengan cara bermusyawarah dengan keluarga.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1Permasalahan 4 B. ... Tujuan Penulisan ... 4

C. ... Manfaat Penulisan ... 5

D. ... Metode Penulisan ... 5

E. ... Keaslian Penulisan ... 9

F. ... Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS A. Pengertian Hukum Waris ………...……12

B. Ketentuan Hukum Waris Di Indonesia ………...…...17

1. Menurut Hukum Adat...18

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam...35

3. Menurut KUHPerdata...36

C. Ketentuan Hukum Waris Menurut Adat Tionghoa..….………43

BAB III PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Unsur-unsur Kewarisan...47

1. ... Pewaris... ...47

2. ... Ahli waris...50

3. ... Harta warisan...55

B. Pembagian warisan...57

C. Penyelesaian sengketa warisan...63

BAB IV HAK WARIS ANAK MASYARAKAT TIONGHOA YANG PINDAH KE AGAMA ISLAM DI KELURAHAN KUTA PADANG KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KOTA MEULABOH KABUPATEN ACEH BARAT


(7)

A. ... Hak Waris Anak Masyarakat Tionghoa yang Pindah ke Agama Islam Di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat...65

B. ... Penyelesaian Sengketa Warisan Pada Anak Masyarakat Tionghoa yang Pindah ke Agama Islam Di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh

Johan Kabupaten Aceh Barat...72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. ... Kesimpulan 74 B. ... Saran 75


(8)

Keumala Meutia.*

Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA,.** Dr. Yefrizawati,S.H,. M.Hum. ***

ABSTRAK

Secara letak geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, kondisi ini sangat mempengaruhi terhadap pluralitas sistem hukum di Indonesia. Dimana disetiap pulaunya terdapat suku yang memiliki kultur hukum yang berbeda satu sama lain, begitu juga pada hukum warisnya. Oleh karena itu ada bermacam-macam hukum waris di Indonesia seperti hukum waris yang berdasarkan hukum adat, hukum Islam, dan KUHPerdata. Bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami berbagai pertukaran budaya pada saat berinteraksi sosial. Salah satunya adalah suku Tionghoa yang berada di Indonesia sebagian dari mereka ada yang memeluk agama Islam karena telah menikah dengan orang yang beragama Islam. Walaupun seorang anak telah menganut agama yang berbeda dengan orang tuanya tetapi tentu saja tidak terlepas dari permasalahan hukum yang timbul dalam keluarga salah satunya adalah hukum waris. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hak waris anak yang telah berbeda agama tersebut dan bagaimanakah penyelesaian sengketa warisan apabila terjadi sengketa.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatis dan metode penelitian yuridis empiris yang bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara.

Hasilnya adalah bahwa anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat tetap mendapatkan hak waris dari orang tuanya tanpa ada perbedaan dengan anggota keluarga yang lain. Pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat menganut sistem pewarisan secara patrilineal, jadi anak laki-laki lebih di istimewakan sehingga secara otomatis hak waris anak laki-laki lebih banyak dari pada anak perempuan, tetapi anak perempuan berhak atas seluruh emas dan perhiasan yang dimiliki oleh orang tuanya. Hal ini tetap berlaku sekalipun ada anak laki-laki atau perempuan yang pindah agama ke agama Islam. Jika ada sengketa waris yang terjadi pada masyarakat Tionghoa diderah ini diselesaikan dengan cara bermusyawarah dengan keluarga.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keanekaragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Penduduk Indonesia tersebar dan tinggal di pulau-pulau, mereka juga mendiami wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Selain itu, adanya pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragam jenis kebudayaan yang ada di Indonesia.1

Salah satu kebudayaan luar yang mempengaruhi proses asimilasi di Indonesia adalah kebudayaan China. Catatan-catatan kesusastaraan China menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia telah mengadakan hubungan yang erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang-barang dari China ke Indonesia dan sebaliknya.2

China sering juga disebut Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Tionghoa di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dala

Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Di Indonesia penduduk yang

1

Takiddin. “Manfaat Keanekaragaman dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika”.

2


(10)

termasuk keturunan Tionghoa digolongkan sebagai warga negara Indonesia keturunan asing. Keturunan Tionghoa di Indonesia berasal dari berbagai suku bangsa Tionghoa, tapi kebanyakan berasal dari provinsi Fukien dan Kwangtung.3

Para perantau ini membawa kebudayaan dari bahasa aslinya sendiri-sendiri. Bahasa Tionghoa yang dikenal di Indonesia paling tidak terbagi atas empat kelompok bahasa yaitu Hokkien (Hokkian), Tiu-Chiu (Teo-Chiu), Hakka (Khek), dan Kanton (Kwong Fu), yang masing-masing merupakan bahasa etnik yang berbeda dan saling tidak dipahami.4

Berdasarkan Volkstelling

Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.5

Dalam

sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.6

Keturunan Tionghoa di Indonesia lebih mempunyai keleluasaan memeluk berbagai agama, karena di antara mereka selain memeluk agama Budha, ada pula yang menganut sistem kepercayaan berdasarkan ajaran Kong Hu-Cu, Tao, Kristen, Katolik, dan Islam.7

3

http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia. di akses pada tanggal 20 Maret 2015

4

Anggo, Putra. “ Sejarah Suku Bangsa Cina di Indonesi 2015

5

http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia. di akses pada tanggal 20 Maret 2015

6 7

Anggo, Putra. “ Sejarah Suku Bangsa Cina di Indonesia”. 2015


(11)

Begitu banyak alasan yang kuat untuk memeluk suatu agama pada masyarakat keturunan Tionghoa, alasan spiritual, keinginan hati, atau pun logika bahkan cinta bisa merupakan salah satu alasan bagi masyarakat Tionghoa untuk memeluk suatu agama.

Dalam memeluk suatu agama keturunan Tionghoa tentu saja dapat menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu misalnya apabila terjadi kematian akan timbul masalah kewarisan di dalam keluarganya. Sistem kewarisan yang berlaku bagi orang Timur Asing Tionghoa adalah sesuai dengan adat dan etnis mereka tersendiri.8

Sudah cukup lama keturunan Tionghoa ada di Indonesia tidak sedikit pula yang memeluk agama Islam. Namun beberapa masyarakat sering memandangnya sebelah mata. Ada pula yang menimbulkan sengketa dalam keluarganya.

Jika keturunan Tionghoa tersebut memeluk agama Islam, maka pasti akan dikaitkan juga dengan sistem kewarisan Islam.

9

Oleh karena itu pembahasan ini menjadi suatu kajian penting yang perlu diteliti sekaligus menegaskan mengenai hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam.

B. Permasalahan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam?

2. Bagaimana cara penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam ?

8

Alfinanda. “Sejarah dan Perkembangan Muslim Tionghoa Indonesia”. pada tanggal 26 Desember 2014

9


(12)

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang akan dicapai dari penulisan ini adalah untuk mengetahui:

1. Untuk mengetahui bagaimana hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam

2. Untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian sengketa pewarisan pada anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Penulisan skripsi ini dapat dijadikan bahan kajian untuk menambah pengetahuan berkaitan dengan perkembangan hukum di Indonesia dalam masalah pewarisan, terutama hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam.

2. Secara praktis

Memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada para mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum yang berminat untuk mengetahui lebih dalam tentang hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskritif analitis, yaitu memberikan gambaran dan memaparkan sebagian atau keseluruhan dari objek yang akan diteliti.10

10


(13)

2. Sifat penelitian

Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode yuridis normatif yaitu suatu bentuk penelitian yang tidak terlepas dari norma-norma dan asas-asas hukum yang ada.11

Metode yuridis empiris yaitu cara prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan.

Hal ini dilakukan dengan menganalisa bahan-bahan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku dan karya ilmiah serta bahan dari internet yang berkaitan erat dengan peraturan pewarisan di Indonesia, khususnya hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah agama ke agama Islam.

12

3. Jenis data

Metode yuridis empiris ini berupaya mengamati fakta-fakta hukum yang berlaku di tengah masyarakat, titik tolak pengamatan ini berada pada kenyataan atau fakta-fakta sosial yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai budaya hidup masyarakat. Fakta di lapangan (dalam hal ini di Kecamatan Johan Pahlawan Kelurahan Kuta Padang, Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat) dalam hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam. Metode ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam, untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam.

Data yang digunakan sebagai bahan analisa di dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian lapangan.13

Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari berbagai sumber yang telah ada.

14

11

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 41

Data sekunder, dalam hal ini dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :

12

Ibid. h. 42

13


(14)

a. Bahan hukum primer, yaitu segala bentuk peraturan produk perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas;15

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku hasil penelitian dan atau karya ilmiah serta bahan-bahan dari internet yang relevan terhadap permasalahan yang diteliti.16

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti, kamus dan ensiklopedia.17

4. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur dengan sumber data berupa bahan hukum primer dan atau pun bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Penelitian lapangan yaitu mengumpulkan data-data dengan terjun langsung ke lapangan. Data diperoleh dengan cara wawancara. Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka, ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seorang narasumber. Dalam hal ini narasumber yang diwawancarai adalah :

1. Anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam

2. Saudara kandung dari anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam 3. Masyarakat suku Tionghoa

14

Ibid. h. 112

15

Ibid. h. 113

16

Ibid. h. 114

17


(15)

5. Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah pedoman wawancara. Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.

6. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di dalam hal ini di Kecamatan Johan Pahlawan Kelurahan Kuta Padang, Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Sebelum pemekaran, Aceh Barat mempunyai luas wilayah 10.097.04 km2 atau 1.010.446 Ha dan merupakan bagian wilayah pantai barat kepulauan Sumatera yang membentang dari barat ke timur mulai dari kaki gunung Geurutee (perbatasan dengan Aceh Besar) sampai ke sisi Kreung Seumayam (perbatasan Aceh Selatan) dengan panjang garis pantai sejauh 250 km. Sesudah dimekarkan luas wilayah menjadi 2.927,25 km2. Jumlah penduduk 185.577 jiwa. Mata pencaharian pokok penduduk di Meulaboh adalah petani di sawah dan ladang, dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain tetapi pada umumnya yang bermukim di sekitar pantai adalah nelayan, namun ada juga yang berdagang. Penduduk di Meulaboh dominan adalah orang Aceh asli dan ada juga para pendatang seperti Tionghoa dan lain-lain yang memang memilih menetap di Meulaboh-Aceh Barat.18

7. Analisa Data

Data yang digunakan kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

18


(16)

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penulisan skripsi dengan judul “Hak Waris Anak Masyarakat Tionghoa yang Pindah ke Agama Islam” belum pernah ditulis sebelumnya. Judul terkait Hak Waris Tionghoa adalah : Elmas Dwi Ainsyiyah Tanjung, dengan NIM 080200336 menuliskan skripsi yang berjudul

“Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Tionghoa (Studi di Kota Binjai)”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah :

1. Siapa saja ahli waris pada masyarakat Tionghoa dikota Binjai ?

2. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat Tionghoa dikota Binjai ?

3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa pewarisan pada masyarakat Tionghoa dikota Binjai ?

Dengan demikian, berdasarkan perumusan masalah serta tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya yang asli dan bukan merupakan hasil jiplakan dari skripsi orang lain. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran sendiri, referensi dari buku-buku, undang-undang, makalah-makalah, serta media elektronik yaitu internet dan juga mendapat bantuan dari berbagai pihak. Berdasarkan asas-asas keilmuan yang rasional, jujur, dan terbuka, maka penelitian dan penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematik. Penulisan sistematik ini dibagi beberapa bagian yang disebut dengan bab yang mana masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun masih


(17)

dalam konteks yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara sistematis materi pembahasan keseluruhannya ditempatkan ke dalam lima (5) bab yang terperinci sebagai berikut :

Bab I berisi pendahuluan, yang menguraikan gambaran hal-hal yang bersifat umum, yang dimulai dengan latar belakang kemudian dilanjutkan dengan permasalahan dan tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode penulisan. Bab ini ini ditutup dengan memberikan sistematika dari penulisan skripsi.

Bab II mengenai tinjauan umum tentang hukum waris. Pada bab ini sesuai dengan judul yang dikemukakan, maka bab ini akan menguraikan pengertian hukum waris, serta ketentuan-ketentuan hukum waris di Indonesia menurut hukum adat, menurut hukum Islam dan menurut KUHPerdata.

Bab III menguraikan penjelasan tentang pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam, membahas mengenai unsur-unsur kewarisan seperti pewaris, ahli waris, dan harta warisan, dalam bab ini juga membahas penyelesaian sengketa warisan.

Bab IV menguraikan tentang hak waris anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam, serta penyelesaian sengketa warisan pada anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam.

Bab V berisi kesimpulan dari berbagai hal penting yang dibahas pada bab-bab sebelumnya, serta menyampaikan saran sebagai wujud rekomendasi dari skripsi berdasarkan analisis yang dilakukan.


(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS

A. Pengertian Hukum Waris

Berbicara tentang warisan, di Indonesia terdapat tiga hukum waris yaitu menurut Hukum Adat, menurut Kompilasi Hukum Islam, dan menurut KUHPerdata (BW). Ketiganya mempunyai ciri dan peraturan yang berbeda-beda, berikut uraiannya:

1) Hukum waris adat

Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia. Hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.19

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.

20

Berikut beberapa pengertian hukum waris adat menurut para ahli :

19

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, h. 7

20


(19)

Menurut Ter Haar :

“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”21

Menurut Soepomo :

“Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya”22

Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para ahli warisnya.

Menurut Wirjono :

“Pengertian warisan ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”23

Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, di mana manusia yang wafat itu meninggalkan harta

21

Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Haji Masagung, 1988, h. 161

22

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012, h. 259

23


(20)

kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akibat dari kematian seseorang. 24

Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing-masing merupakan unsur yang esensial (mutlak), yakni:

1) Seorang peninggal warisan yang pada saat wafatnya meninggalkan harta kekayaan.

2) Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan ini.

3) Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.25

Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam hidup.26

2. Hukum waris menurut KHI

Berdasarkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku II tentang hukum kewarisan Pasal 171 butir a, yang dimaksud dengan:

24

Oemarsalim,Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,2012.h. 50

25

Prodjojo Hamidjojo, Hukum Waris Indonesia, Jakarta : Stensil, 2000. h. 37

26


(21)

“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.”

Dari pengertian di atas, maka hukum waris menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris

2. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

3. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

4. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris

5. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing ahli waris

Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah yang akan dibahas lebih mendalam pada pembahasan berikutnya.

3. Hukum waris menurut KUHPerdata

Dalam KUHPerdata hukum waris diatur pada buku II, jumlah Pasal yang mengatur hukum waris sebanyak 300 pasal, yang dimulai dari Pasal 830 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata.

Dalam KUHPerdata tidak ditemukan pengertian hukum waris, tetapi yang ada hanya konsep-konsep tentang pewarisan, orang yang berhak dan tidak berhak


(22)

menerima warisan.27

Jadi jelaslah bahwa kematian seseorang tersebut merupakan syarat utama dari terjadinya pewarisan dalam KUHPerdata. Dengan meninggalnya seseorang tersebut maka seluruh harta kekayaannya beralih kepada ahli waris. Pada asasnya dalam konsep KUHPerdata, yang dapat diwariskan hanya hak-hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja.

Terjadinya pewarisan (warisan terbuka) dapat dilihat dari Pasal 830 BW yang menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian.

28

B. Ketentuan Hukum Waris di Indonesia

Di Indonesia, dewasa ini masih terdapat beraneka ragam sistem Hukum Kewarisan yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia.

Pertama, sistem hukum adat yang beraneka ragam sistemnya, yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di pelbagai daerah lingkungan hukum adat. Hukum adat, pada beberapa daerah masih sangat kuat diterapkan oleh masyarakat. Hukum adat berlaku bagi semua orang bumi putera (Indonesia asli), terkecuali mereka yang telah masuk suatu golongan hukum lain. Tergolong juga mereka yang dahulu golongan hukum lain tetapi sejak lama dianggap atau diterima sebagai orang bumi putera. Hukum adat juga tidak berlaku bagi seseorang Indonesia asli yang beragama Kristen dalam hal ordonansi telah menentukan hukum lain.29

Terdapat juga hukum adat Timur asing yang tunduk pada peraturan ini adalah orang Asia lain, misalnya orang Tionghoa, orang Arab, orang India, orang Pakistan.

27

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta : Sinar Grafika, 2014. h. 137

28

Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris menurut BW. Bandung : Refika Aditama, 2012. h. 2

29


(23)

Hukum adat Timur asing tidak berlaku bagi seseorang Timur Asing yang beragama Kristen dalam hal ordonansi telah menentukan hukum lain.30

Kedua, sistem hukum kewarisan Islam yang juga terdiri atas pelbagai macam aliran serta pemahamannya, khususnya dalam skripsi ini hanya membahas yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

Ketiga, sistem kewarisan perdata Barat (Eropa) yang tertuang dalam BW atau KUHPerdata, yang berlaku bagi: (a) orang Belanda (b) orang lain yang berasal dari Eropa (misalnya, seorang Jerman, seorang Inggris) (c) orang Jepang dan orang lain yang tidak termasuk sub a atau sub b tetapi juga tunduk pada suatu hukum keluarga yang asas-asasnya dalam garis besar seperti asas-asas hukum keluarga yang terdapat dalam KUHPerdata (hukum keluarga Belanda yang berdasarkan asas monogami) misalnya, seorang Amerika, seorang Australia (d) mereka yang lahir sebagai anak dari mereka yang disebut pada sub a, b, c, dan keturunan mereka. 31

1. Menurut Hukum Adat

Sampai saat ini, hukum waris adat pada masing-masing daerah di Indonesia masih diatur berbeda-beda. Misalnya: ada hukum waris adat Minangkabau, hukum waris adat Batak, hukum waris adat Jawa, hukum waris adat Kalimantan, dan sebagainya.

a. Unsur-unsur hukum waris adat

1) pewaris

2) harta warisan

30

Ibid. h. 168

31


(24)

3) ahli waris32

1) Pewaris

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarga yang masih hidup, baik keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah tangga. Pengalihan harta kepada keluarga yang disebutkan terakhir ini, biasanya bersifat jaminan keluarga yang diberikan oleh ahi waris melalui pembagiannya. Oleh karena itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah :

a) Orang tua (ayah dan ibu)

b) Saudara-saudara yang belum berkeluarga atau yang sudah berkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan

c) Suami atau istri yang meninggal dunia33

2) Harta warisan

Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan menurut hukum adat adalah harta warisan dapat berupa harta benda maupun yang bukan berwujud benda, misalnya gelar kebangsawanan. Harta warisan yang berupa harta benda menurut hukum waris adat adalah harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh sebelum masa perkawinan dan harta bawaan.34

Harta bawaan yaitu harta yang diperoleh sebelum masa perkawinan maupun harta yang berasal dari warisan. Menurut hukum adat, selama pasangan suami isteri belum mempunyai keturunan, harta pencaharian dapat dipisahkan. Namun, bila pasangan suami isteri telah

32

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 2

33

Ibid

34

F. Satriyo Wicaksono, Hukum Waris Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan, Jakarta : Visimedia, 2011, h. 7


(25)

mempunyai keturunan, harta pencaharian menjadi bercampur.35

1. Harta peninggalan

Harta asal adalah semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki oleh pewaris sejak pertama masuk ke dalam perkawinan dan kemungkinan bertambah sampai akhir hayatnya. Harta asal itu terdiri dari :

a) Peninggalan yang tidak dapat dibagi

Biasanya berupa benda pusaka peninggalan turun-temurun dari leluhur dan merupakan milik bersama keluarga.

b) Peninggalan yang dapat terbagi

Akibat adanya perubahan-perubahan dari harta pusaka menjadi harta kekayaan keluarga serumah tangga yang dikuasai dan dimiliki oleh ayah dan ibu karena melemahnya pengaruh kekerabatan, maka dimungkinkan untuk terjadinya pembagian, bukan saja terbatas pembagian hak pakai, tetapi juga pembagian hak miliknya menjadi perseorangan.36

Terbaginya harta peninggalan dapat terjadi ketika pewaris masih hidup atau sesudah wafat. Ketika pewaris masih hidup terdapat pemberian dari sebagian harta yang akan ditinggalkan pewaris kepada ahli waris untuk menjadi bekal kehidupan para ahli waris selanjutnya.37

2. Harta bawaan

Harta bawaan dapat berarti harta bawaan dari suami maupun istri, karena masing-masing suami dan isteri membawa harta sebagai bekal ke dalam ikatan perkawinan yang bebas dan berdiri sendiri. Harta asal yaitu sebagai harta bawaan yang isinya berupa harta peninggalan (warisan). Harta bawaan yang masuk menjadi harta perkawinan yang akan menjadi harta warisan.

35

Ibid

36

Ibid. h.156-157

37


(26)

3. Harta pemberian

Harta pemberian adalah juga harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan atau suatu tujuan. Pemberian dapat dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau suami istri bersama atau sekeluarga rumah tangga. Pemberian dapat terjadi secara langsung dapat pula melalui perantara, dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Dapat pula terjadi pemberian sebelum terjadinya pernikahan atau setelah berlangsungnya pernikahan.38

4. Harta pencarian

Harta pencarian adalah harta yang didapat suami istri selama perkawinan berlangsung berupa hasil kerja suami ataupun istri.

5. Hak kebendaan

Apabila seseorang meninggal dimungkinkan pewaris mewariskan harta yang berwujud benda, dapat juga berupa hak kebendaan. Sesuai dengan sistem pewarisannya ada hak kebendaan yang dapat terbagi ada pula utang tidak terbagi.39

3) Ahli waris

Ahli waris menurut hukum waris adat dibedakan dalam tiga sistem kekeluargaan, yaitu patrilineal, matrilineal dan parental. Ahli waris dalam hukum waris adat yang sistem kekeluargaan patrilineal menentukan bahwa hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris

38

Ibid

39


(27)

dari orang tuanya. Namun, anak laki-laki tidak dapat menentang jika orang tua memberikan sesuatu kepada anak perempuannya.40

Ahli waris dalam sistem patrilineal ini yaitu sebagai berikut : a) Anak laki-laki

Semua anak laki-laki yang sah mempunyai hak untuk mewarisi harta pencaharian dan harta pusaka.

b) Anak angkat

Anak angkat berkedudukan sama dengan anak kandung tetapi sebatas harta pencaharian. c) Ayah dan ibu serta saudara-saudara sekandung

Apabila tidak ada anak kandung laki-laki maupun anak angkat, orang tua beserta sudara-saudara kandung pewaris merupakan ahli waris.

d) Keluarga terdekat dalam derajat tidak tertentu

Apabila ahli waris tersebut sebelumnya tidak ada, keluarga terdekat dalam derajat tidak tertentu adalah ahli warisnya.

e) Persekutuan adat

Apabila tidak ada ahli waris sebagaimana di atas, harta warisan jatuh ke persekutuan adat. 41

Hukum waris adat dengan sistem kekeluargaan matrilineal menentukan bahwa anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibu, baik harta pencaharian maupun harta bawaan (harta pusaka).

Ahli waris dalam sistem kekeluargaan parental adalah anak laki-laki dan anak perempuan dengan hak yang sama atas harta warisan dari orang tuanya, sebagai berikut : a) Anak laki-laki dan anak perempuan

b) Orang tua apabila tidak ada anak

40

Ibid. h. 9

41


(28)

c) Saudara-saudara apabila tidak ada orang tua

d) Apabila tidak ada ahli waris, harta warisan diserahkan ke desa

e) Anak angkat hanya berhak mewarisi harta pencaharian dari orang tua angkatnya42

Dalam proses pewarisan pada hukum adat, agar penerusan atau pembagian harta warisan dapat dilaksanakan dengan baik, terdapat beberapa asas-asas kewarisan adat, yaitu :

1) Asas ketuhanan dan pengendalian diri

Yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ridha Tuhan bila seorang meninggal dan meninggalkan harta warisan, maka para ahli waris itu menyadari dan menggunakan hukum-Nya untuk membagi harta warisan mereka, sehingga tidak berselisih dan saling berebut harta warisan karena perselisihan di antara para ahli waris memberatkan perjalanan arwah pewaris untuk menghadap kepada Tuhan. Oleh karena itu, terbagi atau tidak terbaginya harta warisan bukan tujuan tetapi yang penting adalah menjaga kerukunan hidup di antara para ahli waris dan semua keturunannya.43

2) Asas kesamaan dan kebersamaan hak

Yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan kewajiban bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta warisan. Oleh karena itu, memperhitungkan hak dan kewajiban setiap ahli waris bukanlah berarti

42

Ibid. h. 10

43


(29)

pembagian harta warisan itu mesti sama banyak, melainkan pembagian itu seimbang berdasarkan hak dan kewajiban.44

3) Asas kerukunan dan kekeluargaan

Yaitu para ahli waris mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tentram dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.45

4) Asas musyawarah dan mufakat

Yaitu para ahli waris membagi harta warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.46

5) Asas keadilan

Yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan, dan jasa, sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan, baik bagian sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota keluarga pewaris.47

Berdasarkan asas-asas kewarisan adat yang diuraikan di atas, ditemukan warga masyakat yang melaksanakan pembagian harta warisannya memahami

44

Ibid .h. 9

45

Ibid

46

Ibid

47


(30)

bahwa hukum waris berkaitan dengan proses pengalihan harta peninggalan dari seseorang (pewaris) kepada ahli warisnya.

Tolok ukur dalam proses pewarisan itu, supaya penerusan atau pembagian harta warisan dapat berjalan dengan rukun, damai, dan tidak menimbulkan silang sengketa di antara para ahli waris atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris.48

Sistem pewarisan menurut hukum waris adat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatannya atau kekerabatan yang terdiri dari sistem patrilineal (sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis keturunan ayah), sistem matrilineal yaitu sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis keturunan ibu, sistem parental atau bilateral yaitu sistem kekerabatan ditarik menurut garis bapak dan ibu.

49

Ada beberapa sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu :

1. Sistem keturunan

Yakni pada garis besarnya mengatur mengenai cara penarikan garis keturunan yang menentukan siapa kerabat dan bukan kerabat.50

Terdapat jenis-jenis keturunan berdasarkan sifatnya, yaitu :

Cara penarikan garis ini berbeda-beda pada setiap daerah. Penarikan garis keturunan yang berbeda-beda tersebut selanjutnya akan menentukan hukum kewarisannya siapa pewaris dan ahli waris, serta cara atau sistem kewarisannya juga sangat ditentukan oleh sistem keturunan yang berlaku pada masing-masing masyarakat adat tersebut.

48

Ibid. h.10

49

Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.Jakarta: Kencana,2014, h. 51

50


(31)

a. Garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, yakni seseorang yang merupakan langsung keturunan dari orang yang lain, misalnya antara bapak dan anak atau antara kakek, bapak dan anak, cucu, cicit dan seterusnya lurus ke bawah.

b. Garis keturunan menyimpang atau bercabang, yakni apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek dan lain sebagainya.51

Penentuan garis keturunan ini adalah bagian dari sistem kekerabatan yang menunjukkan apakah seseorang tersebut masuk ke dalam keluarga yang sama dengan ibu dan bapaknya atau hanya dengan salah satu pihak, ibu atau bapak saja.

Dalam masyarakat adat, sistem kekerabatan dalam arti penarikan garis keturunan tersebut, dapat dibagi menjadi dua, yakni menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja (unilateral), dan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak (bilateral). Selanjutnya unilateral dapat dibedakan menjadi dua pula, yakni yang menarik garis keturunan hanya dari pihak laki-laki (patrilineal) saja, dan yang menarik garis keturunan hanya dari pihak perempuan (matrilineal) saja.52

1) Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), di mana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain)

2) Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, di mana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).

51

Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, h. 4.

52


(32)

3) Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, di mana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).53

2. Sistem pewarisan individual

Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan di mana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu dibagi, maka masing- masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati maupun dijual kepada sesama ahli waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain.54

Sistem ini banyak berlaku di kalangan sistem kekerabatan parental, atau di kalangan masyarakat yang kuat dipengaruhi hukum Islam. Adapun faktor yang menyebabkan pembagian sistem individual ini dilakukan, yaitu karena tidak ada lagi yang ingin memiliki harta secara bersama, karena para ahli waris yang tidak lagi berada dalam satu lingkungan yang sama atau di rumah orang tua dan masing-masing para ahli waris sudah berpencar sendiri-sendiri.55

Kebaikan sistem pewarisan secara individual adalah dengan kepemilikan masing-masing ahli waris, maka dapat dengan bebas menguasai dan memiliki harta bagiannya untuk dipergunakan sebagai modal kehidupannya tanpa dipengaruhi ahli waris yang lain.

Kelemahan dari sistem pewarisan secara individual ini adalah pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan yang dapat menimbulkan hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri. Sistem pewarisan individual ini mengarah pada

53

Zainuddin Ali, Op. Cit. h. 23

54

Hiksyani Nurkhadijah, Sistem Pembagian Harta Warisan, Skripsi, Universitas Hasanudin, Makassar, 2013, h. 20

55


(33)

nafsu yang bersifat individualistis dan materialistis, yang mana akan menyebabkan timbulnya perselisihan antara para ahli waris.56

3. Sistem pewarisan kolektif

Pewarisan dengan sistem kolektif adalah di mana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi penguasaan dan kepemilikannya. Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan dan menggunakan serta mendapatkan hasil dari harta peninggalan tersebut.

Cara penggunaan untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing ahli waris diatur bersama atas musyawarah mufakat oleh para ahli waris yang berhak atas harta peninggalan tersebut. Ada kemungkinan sistem kewarisan kolektif ini berubah ke sistem kewarisan individual, apabila para ahli waris menghendakinya.57

Kebaikan dari sistem waris secara kolektif ini adalah apabila fungsi harta warisan tersebut diperuntukkan untuk kelangsungan hidup keluarga tersebut untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, tolong menolong antara yang satu dengan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang bertanggung jawab penuh untuk memelihara, membina dan mengembangkan. Kelemahan sistem waris kolektif adalah menumbuhkan cara berfikir yang kurang terbuka bagi orang luar. Karena tidak selamanya suatu kerabat memiliki pemimpin yang dapat diandalkan dan aktivitas hidup yang mulai berkembang dari ahli waris.58

4. Sistem pewarisan mayorat

Sistem pewarisan mayorat sebenarnya termasuk dalam kewarisan yang bersifat kolektif, tetapi penerusannya dan pengalihan hak penguasaan atas harta warisan yang tidak terbagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin yang menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.

56

Ibid

57

Ibid. h. 31-32

58


(34)

Anak tertua sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang telah wafat, wajib mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat memiliki rumah tangga sendiri dan berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka yang turun-temurun. Sama halnya dengan sistem kolektif di mana setiap ahli waris dari harta bersama tersebut memiliki hak memakai dan menikmati harta tersebut secara bersama-sama.59

Kelemahan dan kelebihan sistem pewarisan secara mayorat ini terdapat pada kepemimpinan anak tertua di mana dalam hal ini kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah wafat dalam mengurus harta kekayaannya dan memanfaatkannya guna kepentingan seluruh ahli waris. Anak tertua yang memiliki tanggung jawab penuh akan dapat mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarganya sampai seluruh ahli waris dapat membentuk keluarga sendiri.60

Proses penerusan pewarisan adalah proses bagaimana cara peralihan (penyerahan) dan pembagian harta warisan dari pewaris beralih kepada ahli waris, atau bagaimana proses peralihannya dari pewaris ke ahli waris, menurut hukum waris adat proses pewarisan dapat dilakukan ketika pewaris masih hidup atau pun telah meninggal, yaitu :

a) Hibah

Hibah dalam pengertian hukum adat adalah pemberian keseluruhan ataupun sebagian daripada harta kekayaan semasa pemiliknya masih hidup. Hibah ini telah lama dipraktekkan oleh masyarakat adat sampai sekarang, karena mereka menghendaki agar harta tersebut dapat diberikan sesuai dengan kehendak pemilik harta dan menentukan langsung kepada siapa harta itu ingin diberikan.61

59

Ibid. h. 32-33

60

Ibid. h. 33

61


(35)

Hibah bertujuan untuk dasar kehidupan materil anggota-anggota keluarga. Penghibahan itu cirinya ialah penyerahan barangnya berlaku dengan seketika.62 Hibah dalam hukum adat juga dikenal dengan istilah hibah wasiat, yang maksudnya adalah orang tua membagi-bagi hartanya dengan cara yang layak menurut anggapannya, ketika ia masih hidup.63

Menurut hukum adat bahwa orang tua itu terikat pada aturan, yakni semua anak harus mendapat bahagian yang patut daripada harta peninggalan. Selain daripada itu ia bebas dalam hal caranya membagi dan menentukan besar kecilnya bahagian masing-masing.

Penghibahan ini dilakukan untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi harta peninggalannya kemudian hari.

64

Menurut Soepomo bahwa sasaran hibah itu sebagai berikut:

1) Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris, yaitu istri dan anak-anak.

2) Orang tua yang mewariskan itu, meskipun terikat oleh peraturan, bahwa setiap anak harus mendapat bagian yang layak hingga tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris seorang anak adalah bebas di dalam menetapkan barang-barang manakah akan diberikan kepada anak A dan barang-barang anak kepada anak B atau kepada istri.65

Menurut hukum adat bahwa penghibahan itu:

62

Ibid., h.211

63

Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit., h. 174

64

Ter Haar, Op. Cit., h. 211

65


(36)

(a) Harus dilakukan secara terang supaya mendapat perlindungan hukum. (b) Pengakuan menurut kenyataan.

(c) Pemberitahuan atas terjadinya hibah kepada kaum kerabat.66

Dalam prakteknya, hibah dalam masyarakat adat terdapat dua macam cara penghibahan, yakni:

Pertama, pemberian hak pakai, sekaligus juga hak milik atas suatu harta hibah kepada seseorang.

Kedua, pemberian hak pakainya saja, sedangkan hak milik atas harta hibah tersebut tetap dipegang oleh pemilik harta.67

b) Wasiat

Dalam hukum adat, wasiat adalah pemberian yang dilaksanakan oleh seseorang kepada ahli warisnya atau orang tertentu yang pelaksanaannya dilakukan setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal. Adanya wasiat karena berbagai alasan yang biasanya adalah untuk menghindarkan persengketaan, perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat. Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiat yang dinyatakan atau telah diikrarkan.

Pelaksanaan wasiat dalam hukum adat tidak perlu dilakukan di hadapan notaris, tetapi cukup diucapkan secara lisan di hadapan keluarga atau ahli waris yang hadir pada waktu pernyataan wasiat dilaksanakan. Adapun di dalam hukum adat yakni mengenai wasiat, di mana wasiat juga merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan yang semasa hidupnya keinginannya untuk terakhir kali

66

Ter Haar, Op. Cit., h. 210

67


(37)

tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli warisnya dan wasiat ini baru akan berlaku setelah kelak ia meninggal dunia.68

Maksud dari wasiat ini adalah agar para ahli waris mempunyai kewajiban untuk membagi-bagi harta peninggalan orang tuanya sesuai dengan cara yang telah ditetapkan dalam wasiat tersebut. Maksud yang kedua ialah untuk mencegah perselisihan, keributan dan/atau cekcok diantara para ahli waris dalam membagi harta peninggalan orangtuanya tersebut kelak kemudian hari

Selain itu dengan wasiat si peninggal warisan menyatakan secara mengikat sifat-sifat barang-barang yang akan menjadi harta warisan seperti barang pusaka, barang yang disewa, barang yang dipegang dengan hak gadai, dan sebagainya.69

Setelah mengetahui cara peralihan warisan maka akan dibahas lagi bagaimana cara pembagian warisan menurut hukum adat, menurut Dominikus Rato ada beberapa cara pelaksanaan pembagian harta warisan, yakni :

1. Harta warisan dibagi sama dengan pengertian bahwa setiap ahli waris memperoleh bagiannya masing masing. Pengertian “sama” tidak berarti sama jumlahnya sebagaimana pengertian matematis, pengertian yang dimaksud dengan sama adalah setiap ahli waris memperoleh bagiannya masing masing. Pembagian yang terpenting menurut hukum waris adat, bukan jumlahnya, melainkan sudah sesuai asas kepatutan, serta sesuai dengan daya guna harta warisan, dan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

2. Jika seorang anak mendapat sebidang tanah yang secara matematis lebih sempit tetapi terletak pada lokasi yang strategis, maka dalam hal ini berarti sama dengan seorang anak dengan bagian tanah yang lebih luas tetapi pada letak yang kurang strategis.

68

Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit., h. 177

69


(38)

3. Jika seorang anak mendapat sebidang tanah yang lebih sama daripada saudaranya yang lain dengan letak yang sama-sama kurang strategis, maka anak yang bagiannya lebih sedikit atau kecil itu akan ditambah dengan tegalan, pekarangan, atau pohon atau hewan ternak sehingga bagian masing-masing menjadi seimbang (bukan sama).

4. Jika ada sisa tanah, maka tanah ini dikerjakan oleh orang tua untuk bekal hidup mereka dia hari tua sebelum meninggal dunia. Tanah sisa ini jika kelak jika orang tua meninggal dapat dilakukan pembagian lagi dengan modal sebagai berikut.

a. Jika tanah itu tidak cukup dibagi, maka tanah dapat dikelola secara bersama. b. Dijual dan hasilnya dibagi rata.

c. Dikerjakan secara bergantian

d. Diserahkan kepada salah satu ahli waris atau orang lain yang merawat orang tua mereka sejak sakit hingga meninggal dunia. 70

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Ada 3 (tiga) unsur pewarisan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), yakni: 1. Pewaris

Pewaris merupakan orang yang pada saat meninggal, meninggalkan ahli waris dan harta warisan. Pasal 171 butir b Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa: “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal

berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”.

70

Djamanat Samosir . Hukum Adat, Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum Indonesia, Bandung : CV Nuansa Aulia, 2013.h. 337


(39)

Dengan demikian, pewaris baru dikatakan ada jika yang bersangkutan meninggal dunia dan memiliki harta peninggalan serta ahli waris.

2. Ahli waris

Dalam Pasal 171 butir c Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris

3. Harta warisan

Kompilasi Hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dan harta waris. Dalam Pasal 171 butir d Kompilasi Hukum Islam :

“Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya”.

Dan pada Pasal 171 butir Kompilasi Hukum Islam :

“Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat”.

Ketiga unsur-unsur pewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam diatas akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.

3. Menurut KUHPerdata

Dalam KUHPerdata, pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia atau orang yang diduga meninggal dunia yang meninggalkan harta yang dimiliki semasa hidupnya.71

71


(40)

Sesuai dengan unsur-unsur pewarisan, dalam KUHPerdata terdapat juga ahli waris yaitu orang yang menerima harta warisan dari pewaris. Pada dasarnya tidak semua ahli waris mendapat warisan dari pewaris. Orang-orang yang tidak berhak mendapat warisan dari pewaris adalah :

1. Mereka yang telah telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si yang meninggal (Pasal 838 ayat (1) KUHPerdata). 2. Mereka dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena memfitnah telah mengajukan

pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat (Pasal 838 ayat (2) KUHPerdata).

3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan tidak mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya ( Pasal 838 ayat (3) KUHPerdata)

4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal (Pasal 838 ayat (4) KUHPerdata).

Orang-orang yang berhak menerima warisan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) Ditentukan oleh undang-undang

(2) Ditentukan pada wasiat72

Ahli waris karena undang-undang adalah orang berhak menerima warisan, sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Ahli waris karena undang-undang ini diatur di dalam Pasal 832 KUHPerdata. Pasal 832 KUHPerdata menentukan orang-orang yang berhak menjadi ahli waris, yang terdiri dari :

1. Para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin 2. Suami atau istri yang hidup terlama

72


(41)

Ahli waris karena hubungan darah ini ditegaskan kembali dalam Pasal 852 KUHPerdata. Ahli waris karena hubungan darah ini adalah anak atau sekalian keturunan mereka, baik anak sah maupun anak luar kawin. Pitlo membagi ahli waris menurut undang-undang menjadi empat golongan, yaitu :

1. Golongan pertama, terdiri dari suami/istri dan keturunannya

2. Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara dan keturunan saudara 3. Golongan ketiga, terdiri dari leluhur lain-lainnya

4. Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam73

Apabila golongan pertama masih ada, maka golongan berikutnya tidak mendapat apa-apa dari harta peninggalan pewaris. Apabila semua golongan ahli waris itu tidak ada, maka segala harta peninggalan dari si yang meninggal menjadi milik negara. Negara wajib melunasi utang-utang dari si meninggal sepanjang harta untuk itu mencukupi.74

Ahli waris menurut wasiat adalah ahli waris yang menerima warisan, karena adanya wasiat (testamen) dari pewaris kepada ahli waris, yang dituangkannya dalam surat wasiat. Surat wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali (Pasal 875 KUHPerdata).75

Untuk bagian yang diterima ahli waris KUHPerdata mengatur : 1. Bagian keturunan dan suami-istri (Pasal 852 KUHPerdata)

Pasal 852 KUHPerdata telah menentukan, bahwa orang yang pertama kali dipanggil oleh Undang-undang untuk menerima warisan adalah anak-anak dan suami atau istri. Bagian yang diterima oleh mereka adalah sama besar antara satu yang lainnya. Tidak ada perbedaan antara

73

Pitlo.A, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Jakarta : Intermassa,1986.h. 41

74

Ibid

75


(42)

laki-laki dan perempuan, dan juga tidak ada perbedaan antara yang lahir pertama kali dengan yang lahir berikutnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keturunan, suami atau istri mendapat bagian yang sama besar di antara mereka.76

2. Bagian bapak, ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan (Pasal 854 sampai dengan Pasal 856 KUHPerdata)

Pasal 854 KUHPerdata mengatur secara tegas tentang hak bapak, ibu, saudara laki-laki dan perempuan. Apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka mereka (bapak dan ibu) mendapat 1/3 dari warisan, sedangkan saudara laki-laki atau perempuan 1/3 bagian. Pasal 855 KUHPerdata juga menentukan bagian dari bapak atau ibu yang hidup terlama. Bagian mereka tergantung pada kuantitas dari saudara laki-laki atau saudara perempuan dari pewaris.

a. Apabila pewaris meninggalkan seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan, maka hak dari bapak atau ibu yang hidup terlama adalah ½ bagian.

b. Apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara laki-laki dan perempuan, maka yang mejadi hak dari bapak dan ibu yang hidup terlama adalah 1/3 bagian.

c. Apabila pewaris meninggalkan lebih dari dua saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka yang menjadi hak dari bapak atau ibu yang hidup terlama adalah ¼ bagian.77

Sisa dari harta warisan itu menjadi hak dari saudara laki-laki dan saudara perempuan dari pewaris. Bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan adalah sama besar di antara mereka. Bagian dari saudara laki-laki dan saudara perempuan ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 856 KUHPerdata. Apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan, suami atau istri, sedangkan bapak atau ibu telah meninggal lebih dahulu, maka yang berhak menerima seluruh hart warisan dari pewaris adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan.

3. Bagian anak luar kawin (Pasal 862 sampai dengan Pasal 871 KUHPerdata)

76

Ibid. h. 142

77


(43)

Pada dasarnya hak anak luar kawin yang diakui oleh bapak atau ibunya tidak sama dengan anak sah. Bagian anak luar kawin yang diakui adalah :

a. Jika yang meninggal, meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri maka bagian dari anak luar kawin adalah 1/3 bagian dari yang sedianya diterima, seandainya mereka anak sah (Pasal 863 KUHPerdata)

b. Jika pewaris tak meninggalkan keturunan maupun suami istri, akan tetapi meninggalkan keluarga sederajat dalam garis ke atas atau pun saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka, maka anak luar kawin mendapat ½ bagian warisan (Pasal 863 KUHPerdata)

c. Jika pewaris hanya meninggalkan sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka bagian dari anak luar kawin adalah ¾ bagian (Pasal 863 KUHPerdata)

d. Jika pewaris tidak meninggalkan pewaris lainnya, maka anak luar kawin mendapat seluruh harta warisan (Pasal 865 KUHPerdata)

e. Jika salah seorang keluarga sedarah tersebut meninggal dunia dengan tak meninggalkan sanak saudara dalam derajat yang mengizinkan pewarisan maupun suami atau istri yang hidup terlama, maka anak luar kawin berhak untuk menuntut seluruh harta warisan dengan mengesampingkan negara (Pasal 873 KUHPerdata)78

Kelima ketentuan itu mengatur hak-hak anak luar kawin. Pasal 866, Pasal 870, dan Pasal 871 KUHPerdata juga mengatur tentang warisan yang ditinggalkan oleh anak luar kawin. Pembagian warisan anak luar kawin, dikemukakan berikut ini.

a. Jika anak luar kawin meninggal terlebih dahulu, maka sekalian anak dan keturunan yang sah berhak mendapat warisan dari pewaris (Pasal 866 KUHPerdata).

78


(44)

b. Jika anak luar kawin meninggal dunia tidak meninggalkan keturunan maupun suami istri, maka yang berhak mendapat warisan itu adalah bapak atau ibu yang mengakuinya dan mereka masing-masing mendapat ½ bagian (Pasal 870 KUHPerdata).

c. Jika anak luar kawin meninggal dunia tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan orang tua yang mengakuinya telah meninggal lebih dahulu, barang-barang yang dulu diwariskan dari orang tua itu, diserahkan kepada keturunannya yang sah dari bapak atau ibu yang mengakuinya (Pasal 871 KUHPerdata)

d. Apabila anak luar kawin meninggal dunia, tanpa meninggalkan suami atau istri, bapak atau ibu yang mengakuinya maupun saudara laki-laki atau saudara perempuan atau keturunan mereka tidak ada, dengan mengesampingkan negara, warisan itu diwariskan oleh para keluarga sedarah yang terdekat dari bapak atau ibu yang mengakuinya, dengan catatan, hak dari keluarga dari garis bapak atau ibu, masing-masing ½ bagian (Pasal 873 KUHPerdata).79

4. Anak zina (Pasal 867 KUHPerdata)

Pada dasarnya anak zina tidak mendapat warisan dari pewaris, tetapi anak zina hanya berhak untuk mendapatkan nafkah seperlunya. Nafkah diatur selaras dengan kemampuan bapak atau ibunya, dan dikaitkan dengan jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah.80

Harta warisan menurut hukum waris KUHPerdata adalah keseluruhan harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris, baik piutang-piutang maupun utang-utangnya.81

79

Ibid. h. 145

Untuk pengurusan harta warisan, seseorang tidak diwajibkan menerima pekerjaan pengurusan tersebut. Apabila seseorang menerima pekerjaan pengurusan harta warisan, ia harus menyelesaikan sampai tuntas. Upah yang ia terima dalam pekerjaan pengurusan harta warisan tersebut adalah seperti yang telah ditentukan oleh pewaris semasa hidupnya. Apabila tidak

80

Ibid

81


(45)

ditentukan sebelumnya, ia berhak mendapat upah sebesar 3% dari seluruh pendapatan, 2% dari pengeluaran, dan 1,5% dari jumlah modal (Pasal 411 KUHPerdata).82

Kadalurwarsanya harta warisan dikenal dalam Pasal 835 KUHPerdata, yaitu batas akhir waktu untuk mengajukan gugatan terhadap mereka yang menguasai sebagian ataupun seluruh harta warisan supaya diserahkan kepada ahli waris, dengan tenggang waktu selama tiga puluh tahun.

83

C. Ketentuan Waris Menurut Hukum adat Tionghoa

Orang Tionghoa pada umumnya untuk ketentuan warisnya mereka tunduk pada hukum adat. Orang Tionghoa yang merupakan etnis yang masih mempunyai adat yang sangat kental dengan kebudayaan-kebudayaan mereka, sering kali menentukan masalah pewarisan sesuai dengan adat yang mereka yakini.

Adanya perkawinan dengan suku yang berbeda juga menjadikan ketentuan waris mereka menjadi berubah, contohnya sebuah pembauran yang menarik terjadi ketika sejumlah pedagang Tionghoa bujangan kawin dengan wanita Talang mamak di pegunungan Bukit tiga puluh, diperbatasan Riau dan Jambi. Pedagang Tionghoa ini mengawini wanita-wanita Talang mamak yang menganut paham matrilineal.84

Pada masa kini berbagai perubahan kebudayaan telah melanda sebagian besar orang Tionghoa. Generasi Tionghoa sekarang cenderung membentuk keluarga batih monogami yaitu yang hanya merupakan keluarga inti. Sifat hubungan kekerabatan juga lebih bersifat bilateral. Kekuasaan dan pemilikan harta, serta kedudukan sosial antara laki-laki dan wanitanya juga sudah sama. Bahkan diperkirakan perubahan

82

Ibid. h. 8-9

83

Ibid. h. 8

84

Zulyani Hidayah,Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.h.101


(46)

sosial seperti ini lebih cepat terjadi pada orang Tionghoa dari pada suku-suku bangsa lainnya.85

Tetapi terdapat perbedaan yang bermacam-macam dalam cara pandang suku Tionghoa diberbagai daerah di Indonesia. Pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat, sebagian besar mengistimewakan anak laki-laki karena menganut sistem keturunan patrilineal, termasuk juga dalam pewarisan mereka memiliki jumlah yang lebih besar untuk didapatkan dari pada anak perempuan. Anak perempuan hanya mendapatkan sekedarnya saja serta emas dan perhiasan milik keluarga akan diberikan pada anak perempuan tetapi ada juga yang tidak mendapatkan hak waris sama sekali karena berasal dari keluarga miskin sehingga harta tidak mecukupi untuk di bagikan.

86

Alasan anak laki-laki lebih istimewa adalah karena anak laki-laki menjadi penerus marga untuk generasi berikutnya oleh karena itu memiliki anak laki-laki adalah suatu kebanggaan bagi suku Tionghoa di daerah tersebut dan alasan untuk bagian warisan yang didapatkan lebih besar adalah karena anak laki-laki memiliki tanggung jawab menafkahi dalam keluarganya karena ia memiliki anak dan istri. Sementara anak perempuan telah memiliki suami yang akan bertanggung jawab dalam keluarganya. Jika anak-anak pewaris belum menikah hal ini tetap akan berlaku. 87

Anak perempuan ketika mereka menikah juga akan diberikan emas atau pun perhiasan dari orang tuanya. Hal ini sudah menjadi adat kebiasaan yang biasa

85

Ibid. h. 103

86

Hasil wawancara dari masyarakat suku Tionghoa di Meulaboh, Lina wati (Marga Lou), tanggal 22 Juni 2015

87

Hasil wawancara dari masyarakat suku Tionghoa di Meulaboh, Lina wati (Marga Lou), tanggal 22 Juni 2015


(47)

dilakukan pada masyarakat Tionghoa di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. 88

Harta warisan dalam masyarakat Tionghoa di daerah ini bisa berupa uang, emas, perhiasan, benda-benda peninggalan leluhur, serta juga benda-benda lainnya yang dimiliki pewaris seperti rumah, sebidang tanah, dan lain-lain tergantung pada kekayaan yang dimiliki oleh pewaris semakin kaya maka semakin banyak harta warisan yang dibagikan.

Jika pewaris merupakan keluarga miskin dan harta yang ditinggalkan hanya sedikit maka akan dimusyawarahkan mengenai pembagian harta warisan tersebut dan akan dilakukan tindakan yang adil, sesuai dengan kesepakatan bersama antar sesama ahli waris. 89

Seberapa banyaknya porsi laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan harta warisan akan berbeda-beda pada tiap-tiap keluarga suku Tionghoa ini bergantung pada kesepakatan dan harta yang pewaris miliki tetapi sudah menjadi hal dominan bila laki-laki mendapat porsi yang lebih banyak. 90

Jika sang bapak meninggal terlebih dahulu, warisan sementara dipegang atau dikelola sang ibu dan setelah sang ibu meninggal atau sebaliknya, anak-anaknya harus terlebih dahulu membiayai segala kebutuhan kematiannya, suku Tionghoa memiliki banyak kebutuhan dalam kematiannya karena dominan di daerah ini beragama Budha. Kebutuhan kematian ialah seperti membeli peti, baju mayat, dan

88

Hasil wawancara dari masyarakat suku Tionghoa di Meulaboh, Lina wati (Marga Lou), tanggal 22 Juni 2015

89

Hasil wawancara dari masyarakat suku Tionghoa di Meulaboh, Lina wati (Marga Lou), tanggal 22 Juni 2015

90

Hasil wawancara dari masyarakat suku Tionghoa di Meulaboh, Sion (Marga Chen), tanggal 23 Juni 2015


(48)

kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam adat Tionghoa sampai pemakaman dan memperbagus makamnya dengan keramik, membuat nisan sang mayat seluruhnya akan ditanggung terlebih dahulu dengan harta peninggalan yang ditinggalkan, ada juga anak yang memberikan bantuan secara sukarela untuk biaya kematian ini. 91

Setelah dana yang dikeluarkan telah memenuhi seluruh kebutuhan kematian orang tua atau pun dananya telah dipisahkan untuk biaya pemakaman seperti biaya memperingati hari-hari tertentu kematian, seperti 7 hari, 40 hari, dan 100 hari setelah kematian, maka warisan tersebut dapat dibagi-bagikan sesuai wasiat orang tuanya, langsung atau setelah hari-hari tersebut. Tetapi segala hutang piutang pewaris tetaplah menjadi tanggung jawab para ahli waris.92

Perwarisan Tionghoa di daerah ini biasanya dilakukan dengan secara adat dan bermusyawarah dan bersifat tertutup hanya dihadiri oleh para ahli waris. Biasanya anak pertama atau anak lainnya yang dianggap bijaksana, memberitahukan kepada saudara-saudaranya untuk berkumpul membahas dan membagi harta warisan yang ditinggalkan orang tuanya sesuai wasiat orang tuanya.

Jika tidak ada wasiat maka akan dimusyawarahkan sesuai kebutuhan dan kesepakatan para ahli waris. Ahli waris menurut adat Tionghoa pada daerah ini hanya mencakup keluarga inti saja, yaitu hanya anak-anak pewaris dan anak angkat juga berhak menerima warisan. Sangat jarang ada masalah yang timbul jika ada, biasanya diselesaikan dengan bermusyawarah secara kekeluargaan.93

91

Hasil wawancara dari masyarakat suku Tionghoa di Meulaboh, Sion (Marga Chen), tanggal 23 Juni 2015

92

Hasil wawancara dari masyarakat suku Tionghoa di Meulaboh, Sion (Marga Chen), tanggal 23 Juni 2015

93

Hasil wawancara dari masyarakat suku Tionghoa di Meulaboh, Sion (Chen) dan Lina Wati (Lou), tanggal 23 Juni 2015


(49)

BAB III

PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Unsur-unsur kewarisan

Unsur-unsur hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pelaksanaan hukum kewarisan masyarakat muslim yang mendiami negara Republik Indonesia terdiri atas tiga unsur yang perlu diuraikan, yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Yang telah dibahas juga pada bab sebelumnya, ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut.

1. Pewaris

Pewaris merupakan orang yang pada saat meninggal, meninggalkan ahli waris dan harta warisan. Pasal 171 butir b Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa: “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal

berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”.

Subchan Bashori mengemukakan bahwa :

“Muwarrits adalah orang yang pada saat meninggal dunia beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris”. 94

94

Mukti Arto . Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo : Balqis Queen , 2009.h. 10


(50)

Bagi pewaris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan sepenuhnya, dan ia telah benar-benar meninggal dunia. Kematian pewaris menurut para ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam :

1. Mati hakiki (sejati)

Dapat dipahami sebagai kematian yang terjadi dengan segala sebab yang mengakibatkan ia mati sebagai orang yang pernah hiup. Kematian di sini dianggap hal biasa dan pasti dialami oleh setiap orang. Istilah hakiki hanya menunjukkan kepada pengertian bahwa kematian orang tersebut dapat dibuktikan secara nyata, dapat disaksikan secara faktual dengan segala ciri indikasi keadaan orang yang telah mati. Sedangkan segala sebab yang mengakibatkan ia mati tidaklah menjadi maksud dari istilah hakiki yang memfaktakan keberadaan seseorang apa adanya tanpa memperhatikan latar sebab kematiannya.

2. Mati hukmi (berdasarkan keputusan hakim)

Merupakan kematian yang dipersangkakan secara yuridis oleh suatu lembaga hukum legal yang menangani perkara yang diajukan kepadanya untuk memintakan keputusan hukum. Istilah ini hanya menunjuk sebagai hasil ketetapan dan keputusan lembaga hukum yang diminta untuk menilai tentang keberadaan seseorang. Boleh jadi orang yang menjadi objek penilaian tidak benar-benar mati tetapi memiliki fakta yuridis berdasarkan penilaian hakim suatu lembaga hukum legal yang dalam konteks sekarang seperti di Indonesia adalah Pengadilan Agama. Indikasi pembuktian tertentu yang walaupun hampir secara keseluruhan membuktikan seseorang mati tetap merupakan suatu anggapan dan penilaian yang karenanya ia disebut mati hukmi. Koleksi khazanah intelektual ulama klasik, keberadaan seseorang yang dapat dimintakan penetapan putusan hakim dalam kasus mati

hukmi adalah peristiwa seorang yang dianggap hilang atau selama sekian waktu hingga

saat diperkarakan ke pengadilan orang dimaksud tidak diketahui kabar keberadaan hidup atau matinya (biasa disebut dengan istilah mafqud) dan dapat pula terhadap orang yang


(51)

dalam tawanan musuh yang tidak diketahui lagi tentang mati dan hidupnya dalam waktu yang lama hingga perkara itu diajukan ke pengadilan untuk ditetapkan keberadaannya (biasa disebut dengan istilah asir) dengan kata lain, kedua istilah di atas penetapannya harus berdasarkan yurisdiksi suatu lembaga hukum yang legal.

3. Mati taqdiry (menurut dugaan)

Dapat dipahami sebagai kematian seseorang atas persangkaan yang dianggap pasti dengan segala kecenderungan kepastian kebenarannya seperti seorang ibu hamil yang meminum racun yang akan mematikan anak dalam kandungannya yang dalam hal ini anak dianggap telah mati berdasarkan dugaan umum tentangnya atau berdasarkan kepastian keterangan dokter ahli bidang tersebut. Istilah ini hanya memberi arti kematian yang bersifat spesifik dengan sebab-sebab tertentu yang dapat dipastikan sebab-sebab tersebut jelas-jelas berakibat kematian dan didukung oleh kenyataan-kenyataan tertentu secara medis.95 Menurut Mukti Arto syarat-syarat pewaris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah: a. Bersifat perorangan

Artinya, bahwa pewaris haruslah perorangan atau individual. b. Telah meninggal dunia atau dinyatakan meninggal dunia.

Pewaris haruslah orang yang sudah meninggal atau dinyatakan meninggal . c. Beragama Islam

Syarat ini untuk mempertegas asas personalitas keislaman. Bila pewaris tidak beragama Islam sudah barang tentu tidak berlaku KHI.

d. Meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan 96

Seseorang yang meninggal dunia akan menjadi pewaris jika ia meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Apabila ia hidup sebatangkara dan meninggal tanpa meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau

95

Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni) . Yogyakarta : Aswaja Pressindo,2013.h. 40-43

96


(52)

tidaknya, maka harta peninggalannya atas putusan pengadilan agama diserahkan penguasaannya pada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI). 97

2. Ahli waris

Sesuai dengan buku II KHI tentang hukum kewarisan pada Bab I Pasal 171 butir c ketentuan-ketentuan pasal ini menjelaskan bahwa mengenai ahli waris bahwa ada dua aspek yang perlu mendapat penekanan. Pertama, adanya hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya. Ketentuan yang ideal dalam hukum antara ahli waris dengan pewaris itu hanya ditentukan oleh dua jalur kekerabatan saja, yakni :

(a) Kekerabatan karena hubungan perkawinan

(b) Kekerabatan melalui hubungan nasab (darah)

Hal ini didasarkan kepada nash Al-Quran surat An-Nisa’ [4] : 11 dan 12.98

Kedua, Kompilasi Hukum Islam menghendaki persyaratan bagi seorang ahli waris adalah tidak melakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam yang menyebabkan ia terhalang mewaris, ketentuan pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;

b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”

97

Ibid

98


(53)

Kemudian Subchan Bashori menjelaskan bahwa:

“Ahli waris atau waritsun (ahli waris laki-laki) dan waritsat (ahli waris perempuan) adalah orang-orang yang mempunyai hubungan pewarisan dengan mayit (muwarrits), dan masih hidup pada saat kematian mayit, meskipun setelah itu ahli waris tersebut mati sebelum harta warisan dibagi, dan beragama Islam, serta tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.99

Dari rumusan Pasal 173 butir a Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dipahami bahwa pembunuhan yang dinyatakan menggugurkan hak mewaris adalah semua macam pembunuhan, baik pembunuhan biasa, pembunuhan yang dilakukan secara sengaja/berencana, percobaan pembunuhan, maupun pembunuhan yang dilakukan karena tersalah/tidak sengaja. 100

1. Dipersalahkan telah membunuh pewaris. Kejahatan ini dapat berupa pembunuhan biasa yang disengaja, atau pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu, atau pembunuhan karena bersalah. Seorang ahli waris yang dipersalahkan telah membunuh tersebut baru dapat dinyatakan terhalang menerima warisan dari orang yang dibunuhnya (pewaris) manakala telah ada suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang menyatakan bahwa ahli waris tersebut telah nyata melakukan suatu tindak pidana pembunuhan terhadap pewaris. Selama belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka seseorang belum dapat dinyatakan terhalang mewaris.

Pada Pasal 173 butir a Kompilasi Hukum Islam tersebut mengandung tiga aspek yang menyebabkan seseorang terhalang menerima warisan dari pewaris, yaitu :

2. Mencoba untuk melakukan pembunuhan terhadap pewaris. Tindakan percobaan untuk membunuh merupakan makar, dan dihukum menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku. Namun demikian, selama belum ada suatu putusan pengadilan yang mempunyai

99

Ibid .h. 7

100


(1)

kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Anak masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Islam di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat tetap mendapatkan hak waris dalam keluarganya. Perpindahan agama ini tidak menjadi penghalang seorang anak untuk mendapat hak waris dalam keluarganya. Jika anak laki-laki tetap mendapatkan hak waris yang lebih banyak sesuai adat Tionghoa didaerah ini dan anak perempuan tetap berhak mendapatkan emas dan sedikit harta warisan dari pewaris.

2. Sengketa warisan pada anak masyarakat Tionghoa pindah ke agama Islam di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat ini akan diselesaikan secara bermusyawarah secara adat antara para ahli waris. Apabila persengketaan tidak dapat diselesaikan secara bermusyawarah dengan keluarga maka para pihak menyelesaikan persengketaan di pengadilan setempat.


(3)

B. Saran

1. Diharapkan kepada orang tua dari anak masyarakat Tionghoa yang telah pindah ke agama Islam untuk melakukan penghibahan kepada anaknya sebelum meninggal dunia, agar hubungan orang tua dan anak tetap ada dan tidak terjadi hukum yang menyimpang dalam agama.

2. Diharapkan pada pemeluk agama Islam, termasuk juga para mualaf untuk memperhatikan dan mempelajari aturan-aturan hukum yang ada pada agama Islam khususnya pada hukum waris agar kelak yang didapatkan adalah harta yang halal dan diridhoi oleh Allah SWT.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A, Pitlo, 1986, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Intermassa, Jakarta

Ali As-Shabuni, Muhammad, 2014, Hukum Kewarisan Menurut Al-Quran dan Sunnah, Dar al-kutub al Islamiyah, Jakarta.

Ali, Zainuddin, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Amanat, Anasitus, 2000, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW ,

Raja Grafindo Persada , Jakarta.

Anshary MK, HM, 2013, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Arto, Mukti, 2009, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Balqis Queen, Solo.

Bisri Syakur, Ahmad, 2015, Mudah Memahami Hukum Waris Islam, Visi Media Pustaka, Jakarta.

Haar, Ter, 1985, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradynya Paramita, Jakarta. Hadikusuma, Hilman, 2003, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Jakarta.

Halim, A Ridwan , 1989, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hamidjojo, Prodjojo, 2000, Hukum Waris Indonesia, Stensil, Jakarta.

Hidayah, Zulyani, 2015, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta

Hiksyani, Nurkhadijah, 2013, Sistem Pembagian Warisan, Skripsi, Universitas Hasanuddin, Makassar.

HS, Salim, 2014, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta. Mardani, 2014, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Bushar, 2006 , Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Muhibbin M, Wahid Abdul, 2009, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.


(5)

Mustari Pide, Suriyaman , 2014, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Kencana, Jakarta.

Nasution, Amin Husein, 2014, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Oemarsalim, 2012, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia., Rineka Cipta, Jakarta. Perangin, Effendi, 2014, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Poesponoto, Soebekti, 1960, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat, Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum Indonesia, CV Nuansa Aulia, Bandung.

Sarmadi, Sukris, 2013, Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni), Aswaja Pressindo, Yogyakarta.

Sasmita Komar, Ananda, 1984, Pokok-pokok Hukum Waris, IMNO Unpad, Jakarta. Soekanto, Soejono, 2012, Hukum Adat Indonesia, Raja Persindo Persada, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2009, Metode Penelitian Hukum, Raja Persindo Persada, Jakarta. Suratman, 2003 , Metodologi Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung.

Tanuwidjaja, Henny, 2012, Hukum Waris menurut BW, Refika Aditama, Bandung. Utrecht, E, 1983, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT Icthiar Baru, Jakarta.

Wicaksono, F. Satriyo, 2011, Hukum Waris Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan, Visimedia, Jakarta.

Wignojodipoero, Soerojo, 1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat , Toko Gunung Agung, Jakarta.

B. Website

Diakses pada tanggal 20 Maret 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia. Diakses pada tanggal 20 Maret 2015


(6)

C. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kompilasi Hukum Islam


Dokumen yang terkait

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu oleh Ibu Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Johan Pahlawan Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat

1 84 70

STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN PADA SMA NEGERI 3 MEULABOH KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT

0 2 1

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu oleh Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Johan Pahlawan, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat

0 4 70

Hak Waris Anak Masyarakat Tionghoa Yang Pindah Ke Agama Islam Di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat

1 1 7

Hak Waris Anak Masyarakat Tionghoa Yang Pindah Ke Agama Islam Di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat

0 0 1

Hak Waris Anak Masyarakat Tionghoa Yang Pindah Ke Agama Islam Di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat

0 1 9

Hak Waris Anak Masyarakat Tionghoa Yang Pindah Ke Agama Islam Di Kelurahan Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat

0 0 3

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu oleh Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Johan Pahlawan, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat

0 0 9

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu oleh Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Johan Pahlawan, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat

0 0 1

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu oleh Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Johan Pahlawan, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat

0 0 5