HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PERAN AYAH DENGAN PENALARAN MORAL REMAJA.

(1)

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan

Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Siti Maisyaroh

B07212030

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi peran ayah

dengan penalaran moral pada remaja. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan

menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala persepsi peran ayah dan penalaran

moral. Subjek penelitian ini adalah SMK Wira Maritim Surabaya berjumlah 50 orang dengan

kriteria berusia 13 atau 14 tahun sampai 18 tahun dan subjek yang masih mempunyai ayah

dari jumlah populasi sebanyak 106 orang melalui teknik pengambilan sampling purposive

sampling.

Hasil penelitian yang dilakukan pada remaja di SMK Wira Maritim menunjukkan

bahwa ada hubungan antara persepsi peran ayah dengan penalaran moral pada remaja. Hal ini

dapat dilihat dari hasil koefisien korelasi (r) sebesar 0,604 dengan taraf kepercayaan 0,05

(5%).


(7)

The aim of this research used to know the relation between father’s role perception

and moral reasoning to the teenagers. This research was correlation research using data

collection technique namely scale purception of father’s role and the moral reasoning. The

research subject was surabaya vocational high school wira maritim totally 50 people with 13

years old student or 14 years old student until 18 years old student and the subject that had

father from total population of 106 people with the purposive sampling collection technique.

The result of research which done to the teenagers at vocational high school wira

maritim showed that there was correlation between father’s role perception and moral

reasoning to the teenagers. Itcould be seen from correlation coefficient result (r) with

confidence level 0,05 (5%).


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

... i

DAFTAR ISI

... iii

DAFTAR TABEL

... .... v

DAFTAR GAMBAR

...vi

DAFTAR LAMPIRAN

... .... vii

INTISARI

... ... viii

ABSTRACT

... ...xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... ... 1

B. Rumusan Masalah ... ... 9

C. Tujuan Penelitian ... .... 9

D. Manfaat Penelitian ... ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Pengertian Remaja ... ... 18

2. Tugas perkembangan Remaja ... ... 19

3. Ciri-ciri Perkembangan Remaja ... ... 20

B. Penalaran Moral

1. Pengertian Penalaran Moral ... ... ... 24

2. Tahap-tahap Penalaran Moral ... ... 26

3. Unsur-unsur Penalaran Moral ... ... 31

4. Faktor-faktor penalaran Moral ... ... 31

5. Cara pendidikan dalam mengembangkan aspek moral ... ... 33

C. Persepsi Peran Ayah

1. Pengertian Persepsi ... .... 34

2. Pengertian Peran Ayah ... .... 36

3. Persepsi Peran Ayah ... 38

4. Tugas seorang ayah terhadap perkembangan anak ... .... 38

5. Dimensi keterlibatan ayah ... 40

6. Ketiadaan peran ayah ... ... 41

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran ayah ... .... 42

8. Manfaat keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak ... 43

D. Hubungan antara Persepsi Peran Ayah dengan Penalaran Moral Remaja

... 45

E. Kerangka Teoritik ... ... 54

F. Hipotesis ... 56

BAB III METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian ... ... 57


(9)

B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

1. Populasi ... ... 59

2. Sampel ... 59

3. Teknik Sampling ... ... 59

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Skala Penalaran Moral ... ... 61

2. Skala Persepsi Peran Ayah ... 63

D. Validitas dan Reabilitas

1. Validitas ... ... 64

2. Reabilitas ... 64

E. Analisis Data ... ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subjek ... .... 71

2. Pengujian Hipotesis ... 73

B. Pembahasan ... 76

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA

... ... 82


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue Print Skala Penalaran Moral Remaja... 62

Tabel 3.2 Blue Print Skala Persepsi Peran Ayah... ... 63

Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Skala Persepsi Peran Ayah ... 64

Tabel 3.4 Uji Validitas Aitem Persepsi Peran Ayah ... ... 65

Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Skala Penalaran Moral Remaja ... ... 67

Tabel 3.6 Uji Validitas Aitem Penalaran Moral Remaja ... ... 67

Tabel 4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 73

Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas ... ... 74

Tabel 4.3 Hasil Uji Linearitas ... ... 75


(11)

DAFTAR GAMBAR


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

A. Lampiran 1

1. Skala Uji Coba Pendahuluan Persepsi Peran Ayah dan Penalaran Moral

Remaja ... 85

2. Tabulasi Data Mentah Skala Uji Coba Pendahuluan Persepsi Peran Ayah

dan Penalaran Moral Remaja ... ... 91

3. Skoring Data Skala Uji Coba Pendahuluan Persepsi Peran Ayah dan

Penalaran Moral Remaja ... ... 95

4. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Uji Coba Pendahuluan Persepsi Peran

Ayah dan Penalaran Moral Remaja ... 99

B. Lampiran 2

1. Skala Terpakai Persepsi Peran Ayah dan Penalaran Moral Remaja.... . 103

2. Tabulasi Data Mentah Terpakai Persepsi Peran Ayah dan Penalaran Moral

Remaja ... 107

3. Skoring Data Skala Terpakai Persepsi Peran Ayah dan Penalaran Moral

Remaja ... 112

4. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Terpakai Persepsi Peran Ayah dan

Penalaran Moral Remaja ... .... 117

5. Uji Normalitas, Uji Linearitas, Uji Hipotesis ... 120

C. Lampiran 3

1. Surat Ijin Penelitian


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Moral memiliki peranan yang sangat penting untuk tumbuh dan

berkembang di lingkungannya, seperti yang diungkapkan oleh Gunarsa

(2003) bahwa pada hakekatnya para orang tua mengharapkan anak-anak

mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada

di lingkungannya agar mereka tidak mudah terjerumus dalam perbuatan

yang akan merugikan dirinya.

Faktanya masih banyak remaja yang belum sesuai dengan

nilai-nilai moralnya, hal tersebut bisa terjadi karena ketidaktahuan remaja atau

kesengajaan melanggar patokan aturan di lingkungannya. Seringkali

mendengar nilai moral adalah etika di masyakarat, sekolah, maupun di

sekitar lingkungan. Ada beberapa moral etika yang diketahui oleh

kebanyakan orang antara lain : moral perilaku, cara berbicara, penampilan,

maupun gerak gerik.

Akhir-akhir ini banyak pemberitaan tentang kenakalan remaja yang

masih minim akan perkembangan moralnya. Seperti yang dilansir pada

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) oleh Davit Setyawan (2014)

mengatakan bahwa kasus pemerkosaan, tawuran, dan tindakan-tindakan

kriminal yang seringkali menyebabkan jatuhnya korban, baik itu korban

luka-luka hingga berujung kematian. Yang membuat lebih miris dari


(14)

semua itu adalah usia pelaku yang masih berstatus pelajar bahkan banyak

juga yang masih duduk dibangku sekolah dasar.

Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di

antara pelajar. Bahkan bukan

“hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah

melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa

berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja, seperti halnya pada Komisi

Nasional Perlindungan Anak oleh Arist (2011) sepanjang tahun 2011 ini,

kasus tawuran cukup banyak mendapat sorotan dan menjadi topik hangat

ditengah-tengah masyarakat. Maraknya peristiwa kekerasan antar sesama

anak sekolah merupakan fenomena sosial yang berkembang

ditengah-tengah masyarakat remaja. Sementara itu, sepanjang tahun 2011, Komisi

Nasional Perlindungan Anak mencatat ditemukan 339 kasus tawuran.

Kasus tawuran antar pelajar di Jabodetabek meningkat jika

dibanding 128 kasus yang terjadi pada ahun 2010. Komisi Nasional

Perlindungan Anak oleh Arist (2011) mencatat dari 339 kasus kekerasan

antar sesama pelajar SMP dan SMA ditemukan 82 diantaranya meninggal

dunia, selebihnya luka berat dan ringan. Dalam tribunnews.com oleh

Wahyu (2013), Arist ketua KomNas anak mengatakan berdasarkan data

Komisi Nasional Perlindungan Anak, selain kasus kekerasan seksual

terhadap anak, kasus paling menonjol dan banyak menyita perhatian

publik di tahun 2014 adalah kasus tawuran pelajar.

Dalam BKKBN oleh Rijalihadi hasil survey demografi kesehatan

Indonesia (SDKI 2007) menunjukkan kondisi remaja di Indonesia saat ini


(15)

dapat digambarkan sebagai berikut : pernikahan usia remaja, sex pra

nikah, aborsi 700-800 ribu adalah remaja, HIV/AIDS 1283 kasus, miras

dan narkoba. Dari Suaramerdeka.com oleh Parawansa di Jakarta 3

Februari tahun 2000 dulu pernah mengungkapkan, 64 dari 1024 SMU di

Jakarta terdapat 290 kasus yang menyebabkan muridnya terpaksa

dikeluarkan dari sekolah karena ketergantungan narkoba dan menjadi

pengedar narkoba. Bahkan di Jakarta ada suatu perguruan tinggi terkenal

yang menurut perkiraan dosennya 50% mahasiswanya terlibat narkoba.

Departemen pendidikan nasional juga mengungkapkan, 97% korban

narkoba berusia 13-25 tahun. Masa itu adalah masa perkembangan remaja.

Berdasarkan dari gagasan Piaget (dalam Santrock 2003) masa

remaja adalah masa yang penting dalam perkembangan moral dimana

individu berpindah dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan, dimana remaja

dihadapkan dengan kontradiksi antara konsep moral yang telah mereka

terima dari lingkungan keluarga dan tetangga. Diperkuat oleh Siti Khotijah

(2015) dalam berita Pendidikan.id bahwa pendidikan moral itu penting

diterapkan terutama dalam lingkungan keluarga, dilansir oleh Ella (2012)

dalam AntaraNews.com, Rinekso mengatakan bahwa pendidikan moral

dan etika bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di sekolah,

namun keberadaan dan contoh dari orang tua maupun lingkungan juga ikut

berperan dalam memmbentuk sikap serta karakter anak, katanya.

Kurangnya perhatian dari lingkungan seperti yang di lansir oleh

Wahyu (2016) dalam tribunnews.com keributan dari suatu pertandingan


(16)

atau perlombaan sekolah, perilaku yang dikembangkan senior kepada

junior di sekolah, lemahnya antisipasi aparat keamanan, serta kurangnya

perhatian orangtua dan pihak sekolah. Jika seperti ini, tawuran antar

pelajar bukan lagi sekedar kenakalan anak-anak.

Dari beberapa kasus yang dikemukakan di atas, kasus-kasus

tersebut terjadi karena minimnya pendidikan moral pada remaja. Hal ini

sesuai dengan berita kompasiana oleh Erny (2015), Salah satu problem

yang mendasar dalam pendidikan adalah terkait dengan pendidikan moral.

Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pendidikan moral akan

semakin memperparah dan memperpuruk kondisi masyarakat. Diperkuat

oleh Wahyu (2013) dalam TribunNews.com dalam berita tentang marak

perkosaan, moral remaja kian merosot. Menurut Arist, maraknya kejahatan

seksual yang menimpa bocah maupun gadis ABG dan pelakunya juga

remaja, di antaranya disebabkan turunnya degradasi moral, kurangnya

pendidikan agama dan sosial yang ada di masyarakat.

Dalam Antaranews.com, Rinekso mengatakan bahwa pendidikan

moral dan etika dalam beberapa tahun terakhir mulai terabaikan dari

pelajaran sekolah. Terutama sekolah umum hanya fokus untuk mengejar

prestasi akademik, sehingga pendidikan yang menyangkut etika dan moral

terabaikan. Akibatnya secara perlahan mulai mengalami disfungsi sosial

maupun etika, mereka juga mulai berani “menabrak” etika dan norma

-norma yang selama ini dilarang agama dan ditabukan oleh lingkungan

masyarakat.


(17)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pendidikan moral salah

satunya faktor keluarga. Seperti yang dilansir oleh Wahyu (2013) dalam

berita Tribunnews.com Untuk menekan kasus kejahatan seksual, Arist

menambahkan keluarga dapat memperkuat landasan agama, etika moral

dan sosial di rumah masing-masing.

Pendidikan moral yang diajarkan pada remaja akan sangat

berpengaruh terhadap karakternya. Orang tua yang bersedia terlibat dalam

percakapan dan mendorong anaknya untuk menbicarakan hal-hal yang

berhubungan dengan nilai-nilai akan membuat anak memiliki pemikiran

moral yang tinggi. Seperti penelitian Walker (dalam Santrock 2003)

bahwa diketahui perkembangan moral anak juga terkait dengan

keterlibatan antara orang tua dan anak dalam hal mengajukan pertanyaan

ataupun diskusi.

Ditta M. Oliker Ph.D. seorang psikolog klinis dari Los Angeles

(2011) dalam berita Liputan6.com mengatakan bahwa anak yang

mengalami relasi intensif dengan ayahnya semenjak lahir akan tumbuh

menjadi anak yang memiliki emosi yang aman (

emotionally secure

),

percaya diri dalam mengeksplorasi dunia sekitar, dan ketika tumbuh

dewasa mereka akan dapat mampu membangun relasi sosial yang baik.

Kecenderungan ayah secara umum yang berinteraksi dengan anak

khususnya lewat aktivitas bermain ternyata akan memfasilitasi anak dalam

mengelola emosi dan perilaku mereka. Ahli lain yakni Rosenberg, Jeffrey

& Wilcox (2006) mengungkapkan bahwa ayah yang terlibat aktif dalam


(18)

pengasuhan anak di masa kecilnya akan mendorong anak lebih berprestasi

secara akademis di masa dewasanya. Penelitian yang dilakukan

menunjukkan bawa anak-anak yang pengasuhannya melibatkan peran

ayah secara aktif akan berprestasi lebih baik khususnya dalam kemampuan

verbal, fungsi intelektual dan kecapaian akademisnya (Liputan6.com).

Lamb (dalam Maharani 2003) menjelaskan bahwa keberadaan

ayah dalam kehidupan anak akan memudahkan dalam pemantapan

hubungan dengan orang lain, penyesuaian perilaku, dan sukses dalam

menjalin hubungan dengan lawan jenis. Senada dengan hal tersebut, Lamb

(dalam Maharani 2003) menjelaskan bahwa seorang ayah yang tidak

berada dalam kehidupan anak akan mempengaruhi peran jenis, moralitas,

prestasi, dan psikososial anak.

Azhar (2009) mengatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan moral pada remaja, remaja yang tidak memiliki

kecerdasan moral yang baik sehingga baik sikap, pribadi maupun perilaku,

remaja tersebut akan menjadi buruk. Faktor-faktor tersebut, yaitu 1. Faktor

ketidakhadiran orangtua secara emosional, 2. Faktor ketiadaan keterlibatan

ayah, dan 3. Faktor kekerasan di usia balita. Salah satu faktor yang

mempengaruhi moral itu baik ataupun buruk adalah ketiadaan keterlibatan

ayah.

Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2013) menunjukkan bahwa

ketiadaan peran ayah kerugian di kemudian hari. Terdapat tujuh masalah

utama yang dapat timbul dari latar belakang tersebut, yakni (1) identitas


(19)

yang tidak lengkap, (2) ketakutan yang tidakteratasi, (3) kemarahan yang

tidak terkendali, (4) depresi yang tidak terdiagnosa, (5) perjuangan

melawan perasaan kesepian, (6) kesalahpahaman seksualitas, dan (7)

kegagalan dalam hal keterampilan pemecahan masalah.

Peran ayah sangat mempengaruhi moral remaja diberitakan pada

liputan6.com oleh Heri Widodo (2015) bahwa ayah ternyata memiliki

peran khas dalam pengasuhan anak. Dalam suatu survey di Amerika

Serikat (Nesbitt, 2012), lemahnya atau ketiadaan ayah atau figur ayah

yang menggantikannya (kakek, paman, dsb) dalam keseharian hidup anak

berhubungan dengan perilaku tidak adaptif atau perilaku nakal

(delinquency) pada anak. Pada anak laki-laki, lemahnya atau ketiadaan

figur ayah akan memaksanya menjalankan peran sebagai lelaki dirumah

secara dini. Hal ini mengancam beban emosional tersendiri. Beberapa

terdorong menjalankan perilaku negatif seakan-akan berhubungan dengan

perilaku yang umum dilakukan orang dewasa misalnya merokok,

mengkonsumsi minuman keras, dan semacamnya. Sementara itu bagi anak

perempuan lemahnya atau ketiadaan figur ayah dalam hidupnya akan

mendorong munculnya rasa tidak aman, beberapa kasus seks usia dini dan

kehamilan pra nikah merupakan salah satu efeknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Johansen (dalam Maharani 2003),

menunjukkan bahwa remaja yang mendapat dukungan dan adanya

komunikasi yang intensif dengan ayahnya memiliki kebebasan yang lebih

besar untuk berusaha, bereksplorasi, untuk menjadi dirinya sendiri,


(20)

menemukan jati dirinya, mencoba kemampuan dirinya, memperkuat

penilaiannya sendiri terhadap pilihan-pilihan yang dibuat, dan

mempertimbangkan kemungkinannya menghadapi orang lain dalam

merencanakan masa depannya.

Penelitian Mukhoyyaroh (2012), tentang penalaran moral remaja

perempuan ditinjau dari konformitas dan lingkungan tempat tinggal.

Mengatakan bahwa orang tua diminta untuk beradaptasi dengan perubahan

dunia remaja, baik itu berhubungan dengan sekolah, teman sebaya atau

yang lain. Kesempatan alih peran akan diperoleh remaja apabila orangtua

mendorong terjadinya dialog, khusunya mengenai nilai-nilai.

Keterlibatan

peran

ayah

sangat

diperlukan

dalam

hal

perkembangan moral, Lamb (dalam Syarifah, dkk 2012) mengatakan

bahwa keterlibatan ayah dapat memberikan pengaruh positif langsung bagi

perkembangan anak. Beberapa hal tersebut yaitu, perkembangan kognitif,

emosional, sosial, dan moral anak, gaya interaksi ayah dan juga kelekatan

ayah pada anaknya. Senada dengan pendapat Bloir (dalam Hani, dkk

2012) mengatakan bahwa keterlibatan ayah penting bagi perkembangan

pribadi anak, baik sosial, emosional, maupun intelektualnya. Selain itu

akan

menyebabkan

terbentuknya

identitas

gender

yang

sehat,

perkembangan moral dan nilai positif, serta penyesuaian diri yang positif

sehingga remaja akan sukses dalam keluarga atau karirnya kelak.


(21)

Dari beberapa kasus dan uraian di atas, maka peneliti ingin

menguji dan mengetahui adakah Hubungan Antara Persepsi Peran Ayah

Dengan Penalaran Moral Remaja.

B. Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar penelitian ini

tidak terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan

permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut :

Hubungan Antara Persepsi Peran Ayah Dengan Penalaran Moral Remaja.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan

Antara Persepsi Peran Ayah Dengan Penalaran Moral Remaja.

D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan diadakanannya penelitian yang telah dipaparkan di atas,

maka adapun manfaat penelitian, yaitu :

a. Manfaat secara teoritis

Penelitian

ini

diharapkan

dapat

bermanfaat

bagi

pembelajaran, dalam rangka mengembangkan ilmu Psikologi

Perkembangan dan Psikologi Keluarga.

b. Manfaat secara praktis

1. Bagi para orang tua, terutama ayah diharapkan bersedia terlibat

dalam

percakapan

dan

mendorong

anaknya

untuk

membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai

agar membuat anak memiliki pemikiran moral yang tinggi.


(22)

2. Bagi para remaja, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

tentang penalaran agar dapat tercapainya pemikiran moral yang

tinggi.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang menggunakan variabel persepsi peran ayah dan

penalaran moral sudah banyak dilakukan sebelumnya. Hanya saja yang

mengkorelasikan kedua variabel antara peran ayah dengan penalaran

moral sepengetahuan peneliti belum ada.

Adapun penelitian yang menggunakan penalaran moral yang

dilakukan oleh Tarigan, dkk (2013) meneliti tentang gambaran penalaran

moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik mengatakan bahwa

perilaku yang baik ditunjukkan dengan menuruti harapan kelompok sosial

yang ditandai dengan adanya konformitas pada lingkungan sosial yang

mendukung seperti keluarga.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Patria (2009) tentang

hubungan antara pemakaian bahasa krama dan locus of control dengan

penalaran moral pada penutur bahasa krama, hasil dari penelitian tersebut

bahwa ada hubungan antara bahasa krama dengan penalaran moral.

Diketahui pula ada hubungan positif yang signifikan antara

locus of

control

dengan penalaran moral. Semakin tinggi tingkat

locus of control

maka semakin tinggi pula penalaran moral

Hidayat (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh harga diri

dan penalaran moral terhadap perilaku seksual remaja berpacaran di SMK


(23)

Negeri 5 Samarinda mengatakan bahwa tidak ada pengaruh antara

pengaruh antara penalaran moral terhadap perilaku seksual remaja

berpacaran. Dari penelitian tersebut dikatakan bahwa penalaran moral

bukan satu-satunya penentu perilaku bagi seksual tersebut.

Penelitian yang dilakukan Setiawati, dkk (2012) tentang perbedaan

tingkat perkembangan penalaran moral ditinjau dari status identitas pada

mahasiswa fakultas hukum universitas sebelas Maret angkatan 2012

mengatakan bahwa tidak ada perbedaan penalaran moral ditinjau dari

status identitasnya, dikarenakan ada faktor yang lebih dominan. Hal-hal

yang mempengaruhi tidak signifikannya penelitian ini adalah karena

sebagian besar subjek berada pada

low-profile identity status

, sehingga

menggunakan alternatif sistem etis selain penalaran moral kohlberg ada

faktor usia dan pencapaian pendidikan yang relatif sama mempengaruhi

pencapaian penalaran moral.

Penelitian yang dilakukan oleh Qudsy (2007), tentang hubungan

antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia

akhir menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan

antara keberfungsian keluarga dan perkembangan moral pada anak usia

akhir. Semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin

tinggi tingkat perkembangan moral pada anak usia akhir. Dalam penelitian

tersebut, diperlihatkan bahwa kelompok sebaya dan sekolah memiliki

kemampuan yang kuat dalam merangsang perkembangan moral tanpa

adanya pengaruh dari keluarga.


(24)

Yuh-Ling Shen, etc (2013) melakukan penelitian tentang

relations

between parental discipline, empathy-related, traits, and prosocial moral

reasoning

menunjukkan bahwa adanya

hubungan antara induksi orangtua

dan penalaran moral prososial sebagian dipengaruhi oleh perspektif

mengambil keputusan dan simpati, hukuman juga memiliki hubungan

langsung ke prososial penalaran moral. Selain itu, beberapa perbedaan

kelompok etnis ditemukan sehingga remaja awal Taiwan melaporkan

induksi orangtua kurang dan efek lemah lebih berfokus pada sosialisasi

penalaran moral prososial seluruh kelompok budaya .

Penelitian Di You, etc (2011) tentang

Assessing students’ moral

reasoning of a values-based education

mengatakan kurikulum agama

tampaknya meningkatkan penalaran moral siswa. Secara keseluruhan,

temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pendaftaran

disekolah-sekolah berfasilitasi agama tidak menghalangi penalaran moral siswa.

Sebaliknya, penalaran moral siswa dipupuk , namun ada beberapa siswa

cenderung mengandalkan atau mempertahankan aturan dan ketertiban

tidak dengan penalaran moralnya.

Diperkuat oleh Keltikangas, etc (1999) meneliti tentang

moral

reasoning among estonion and finish adolescents

menunjukkan hasil

bahwa faktor yang sama penalaran moral yang ditemukan dikedua sampel

:

legitimasi (menghubungkan tanggung jawab untuk faktor eksternal),

relativisme, kemutlakan, dan universalitas standar moral yang tinggi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penalaran moral peserta Finlandia


(25)

memiliki konsistensi internal yang lebih tinggi, sedangkan dua tingkat

yang mungkin ada di Estonia: satu set standar universal untuk apa yang

orang harus lakukan dan yang berbeda untuk aplikasi pribadi. Temuan ini

dibahas dalam hal prinsip-prinsip utama pendidikan kolektif (yaitu,

kesadaran kolektif, sebuah tidak penting relatif dari keluarga dan orangtua,

dan kurangnya konteks perkembangan primer).

Dalam Penelitian Michael, etc (1999)

tentang

predicting

adolescent moral reasoning from family climate

mengatakan bahwa Tiga

langkah iklim keluarga yang diperoleh, termasuk gaya pengasuhan

otoritatif konstruk Baumrind, ukuran dialog transaktif dari Berkowitz dan

Gibbs, dan indeks novel tanggap terhadap "suara anak" dalam cerita-cerita

yang diceritakan oleh orang tua tentang sosialisasi moral, berdasarkan

teori sosial budaya dari Vygotsky dan Bakhtin. Lebih besar digunakan

bertransaksi operasional dalam waktu 1 diskusi dengan ayah adalah

prediksi keuntungan dalam penalaran moral untuk anak-anak dari 2 tahun.

Untuk ibu, indikasi kuat dari tanggap terhadap suara anak dalam

cerita-cerita ketika anak-anak usia 14 tahun juga diperkirakan keuntungan dari

waktu ke waktu dalam penalaran moral bagi remaja. Sebagian besar

umumnya, hasil menunjukkan kebutuhan untuk

menggambarkan lebih

lengkap peran setiap orang tua dalam proses sosialisasi moral.

Penelitian yang menggunakan variabel peran ayah yang dilakukan

oleh Hidayati, dkk (2011) tentang

Per

an ayah dalam pengasuhan anak”,


(26)

(

fathering

), tanggung jawab kebersamaan ayah dan ibu dalam

menjalankan peran pengasuhan cukup tinggi, karena 86% responden

menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas bersama. Temuan

mengenai rata-rata waktu yang digunakan ayah dalam berinteraksi dengan

anak adalah 6 jam. Secara kuantitas dapat dikatakan bahwa waktu ayah

bersama anak cukup memadai untuk melakukan aktifitas bersama dengan

anak. Salah satu peran penting ayah di keluarga adalah

economic provider

,

sehingga di hari libur kerja beberapa masih melakukan aktifitas untuk

mencari nafkah dengan kerja sampingan.

Dalam penelitian Maharani, dkk (2003) tentang

hubungan antara

dukungan sosial ayah dengan penyesuaian sosial pada remaja laki-

laki”

menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial ayah

dengan penyesuaian sosial remaja laki-laki. Yang artinya semakin tinggi

dukungan sosial yang diperoleh remaja laki-laki dari ayah, makin tinggi

pula penyesuaian sosialnya. Dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki

tingkat penyesuaian sosial yang tinggi atas dukungan ayah.

Selain itu, Syarifah, dkk (2012) meneliti tentang

“Hubungan

Antara Persepsi Terhadap Keterlibatan Ayah Dalam Pengasuhan Dengan

Kematangan Emosi Pada Remaja di SMA Negeri "X" menunjukkan

bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi terhadap

keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan kematangan emosi pada

remaja di SMA Negeri X, hasil tersebut mengatakan semakin positif

persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan maka semakin


(27)

tinggi kematangan emosi. Persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam

pengasuhan memberikan sumbangan efektif terhadap variabel kematangan

emosi.

Damayanti, dkk (2015) telah melakukan penelitian tentang

hubungan antara persepsi keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan

kesejahteraan psikologis pada remaja di SMK Negeri X Surabaya. Hasil

yang diperoleh dari penelitian adalah persepsi keterlibatan ayah dalam

pengasuhan dengan kesejahteraan psikologis menunjukkan ada hubungan

yang signifikan dan berjalan searah.

Penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan perkembangan

moral yang dibuktikan dalam penelitian Ahyani, dkk (2010) yaitu metode

dongeng dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan moral anak usia

prasekolah.

Hasil menunjukkan bahwa

anak yang mendapatkan

penyampaian nilai-nilai moral melalui metode dongeng memiliki tingkat

kecerdasan moral yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak

mendapatkan penyampaian nilai moral melalui metode dongeng. Selain

itu, tingkat kecerdasan moral setelah mendapatkan penyampaian nilai

moral melalui metode dongeng lebih tinggi dibandingkan tingkat

kecerdasan moral sebelum mendapatkan penyampaian nilai moral melalui

metode dongeng.

Vera (2013) meneliti tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan

jarak jauh remaja mengatakan bahwa peran ayah sangat penting untuk

perkembangan remaja, salah satunya perkembangan moral. Mengatakan


(28)

bahwa Pola asuh adalah kunci paling penting dalam penanaman nilai-nilai

dan membentuk karakter remaja. Pelaksanaan pola asuh tidak hanya

melibatkan ibu melainkan juga ayah. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan

akan menjadikan anak mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk

menjalin hubungan dengan ayahnya dan selanjutnya mengalami proses

yang kaya dalam perkembangannya karena stimulasi yang diberikan ayah

berbeda dari yang diberikan oleh ibu.

Allgood (2012) melakukan penelitian tentang

the role of father

involvement in the perceived psychological well-being of young adult

daughters: a retrospective study

mengatakan bahwa keterlibatan ayah

dalam keluarga itu terdiri dari (a) Disiplin, (b) memberikan penghasilan,

(c) melindungi, (d) pekerjaan rumah, (e) mengembangkan tanggung

jawab, (f) perkembangan karir, (g) mengembangkan karir. keterlibatan

ayah dalam proses perkembangan moral remaja sangat dibutuhkan.

Peneliti lebih tertarik menggunakan hubungan penalarn moral.

Karena moral berperan penting bagi pengembangan prinsip moral. Pada

penalaran moral diharapkan seorang remaja yang menghadapi

dilema-dilema moral secara reflektif mengembangkan prinsip-prinsip moral

pribadi yang dapat bertindak sesuai dasar moral yang diyakini dan bukan

merupakan tekanan sosial. Banyak sumber mengatakan salah satu problem

yang mendasar dalam pendidikan adalah terkait dengan pendidikan moral.

Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pendidikan moral akan

semakin memperparah dan memperpuruk kondisi masyarakat.


(29)

Peneliti mengambil subjek remaja, karena menurut Piaget masa

remaja adalah masa yang penting dalam perkembangan moral dimana

mereka dihadapkan dengan kontradiksi antara konsep moral yang telah

mereka terima dari lingkungan keluarga dan tetangga. Sehingga

perkembangan moral masa remaja dapat diketahui dari keterlibatan ayah.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya

adalah dari segi penggunaan variabel bebas yang mempengaruhi penalaran

moral. Pada penelitian sebelumnya variabel bebas yang digunakan adalah

locus of control

, harga diri, dan keberfungsian keluarga.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan di atas,

sejauh ini peneliti belum menemukan adanya penelitian yang sama dengan

judul penelitian yang peneliti akan teliti yaitu hubungan persepsi peran

ayah dengan penalaran moral remaja.


(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja merupakan bagian dari penduduk Indonesia,

angkanya pada saat ini mencapai 43.548.576 orang dari penduduk

Indonesia (BPS, 2010). Jumlah ini tidak sedikit, maka diperlukan

perhatian yang cukup besar karena remaja adalah penerus bangsa.

Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 1999), masa remaja

adalah masa topan badai dan stres (

strom and stres

), karena remaja

telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri

sendiri. Kalau terarah dengan baik, maka remaja akan menjadi

seorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab, tetapi kalau

tidak terbimbing, maka bisa menjadi seorang yang tak memiliki

masa depan dengan baik.

Remaja relatif masih sangat peka terhadap perubahan

lingkungan dan suasana yang dihadapinya, sehingga mudah

terkena dampak perkembangan dan teknologi, karena pada masa

ini remaja mengalami masa transisi atau peralihan dari masa

kanak-kanak ke masa dewasa (Gunarsa, 2006)

Menurut Dariyo (2004), remaja (

adolescence

) adalah masa

transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa


(31)

yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan

psikososial.

Menurut Piaget (dalam Santrock 2003), masa remaja adalah

masa yang penting dalam perkembangan moral dimana individu

berpindah dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan, dimana remaja

dihadapkan dengan kontradiksi antara konsep moral yang telah

mereka terima dari lingkungan keluarga dan tetangga. Masa remaja

yang berusia 13 tahun atau 14 tahun hingga 18 tahun.

Masa remaja sering bersikap kritis, menentang nilai-nilai

dan dasar-dasar hidup orang tua. Akan tetapi ini tidak berhenti

mengurangi kebutuhan akan suatu sistem nilai yang tetap dan

memberi rasa aman kepada remaja, remaja tetap menginginkan

suatu sistem nilai yang akan menjadi pegangan dan petunjuk bagi

perilakunya.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Adapun tugas perkembangan masa remaja menurut Havighurst

(dalam Hurlock, 1980), antara lain ;

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang

dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

c. Menerima

keadaan

fisiknya

dan

menggunakan

tubuhnya secara efektif.


(32)

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang

bertanggung jawab.

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan

orang-orang dewasa lainnya.

f.

Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

g. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai

pegangan untuk berperilaku.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dicapai pada

masa remaja adalah tahap perkembangan moral berdasarkan Piaget

(dalam

Santrok,

2003),

remaja

diharapkan

mampu

mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan

suatu masalah dan mempertanggungjawabkan berdasarkan suatu

hipotesis. Jadi, remaja memandang masalahnya dari beberapa

sudut pandang dan menyelesaikannya dengan banyak faktor

sebagai dasar pertimbangan.

3. Ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock (1980):

1. Masa Remaja sebagai periode yang penting

Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah

penting, namun kadar kepentinggannya berbeda-beda. Ada

beberapa periode yang lebih penting dari pada beberapa

periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap

sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena


(33)

akibat-langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada

periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena

akibat sikologis.Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama

penting

2. Masa remaja sebagai masa peralihan

Peralihan tidak berarti putus dengan atau berubah dari apa yang

telah terjadi sebelumnya, melainkan sebuah peralihan dari satu

tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang

telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya ada apa

yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Bila anak-anak

beralih dari masa kanak-kanak ke masa ddewasa anak-anak

harus “meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak

-kanak an: dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap

baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah

ditinggalkan.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa

remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal

masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat,

perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau

perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku

menurun juga.


(34)

Setiap periode mempunyai masalah sendiri-sendiri, namun

masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik

oleh anak laki-laki maupun anak perempuan terdapat dua

alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa

kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua

dan

guru-guru,

sehingga

kebanyakan

remaja

tidak

berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para

remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi

masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Sepanjang usia geng pada akhir masa kanak-kanak,

penyesuaian diri dengan standart kelompok adaah jauh lenih

penting bagi anak yang lebih besar dari pada individualitas.

Seperti telah ditunjukkan, dalam hal pakaian, berbicara dan

berperilaku anak yang lebih besar ingin cepat seperti

temna-teman gengnya. Tiap penyimpangan dari standart kelompok

dapat mengancam keanggotaannya dalam kelompok

6. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan

Seperti yang ditunjukkan oleh Majeres, “banyak anggaan

populer tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan

sayangnya, banyak diantara nya yang bersifat negatif “.

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak

yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung


(35)

merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa

yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja

mudah takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik

terhadap perilaku remaja yang normal.

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca

berwarna merah jambu. Remaja melihat dirinya sendiri dan

orang lain sebagai mana yang remaja inginkan dan bukan

sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita

yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi

juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan

meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa

remaja.semakin tidak reslistik cita-citanya semakin menjadi

marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain

mengecewakannya atau kalau remaja tidak berhasil mencapai

tujuan yang ditetapkannya sendiri.

8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para

remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan

tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah

hampir dewasa. Berpakaian dan bertinfdak seperti orang

dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja

memulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan


(36)

dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras,

menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan sex.

Remaja menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra

yang diinginkan.

Kesimpulannya, masa remaja adalah remaja yang berumur

13 tahun atau 14 tahun - 18 tahun, masa yang sangat penting dalam

perkembangan moral, karena remaja mulai berpikir secara logis,

abstrak, dan melakukan penalaran deduktif

B. Penalaran Moral

1. Pengertian Penalaran Moral

Perkembangan moral (

moral development

), menurut

Santrock (2003), berhubungan dengan peraturan-peraturan dan

nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam

interaksinya dengan orang lain. Piaget (dalam Santrock, 2003)

yakin bahwa remaja mulai berpikir secara formal operasional,

remaja tidak lagi terikat pada fenomena yang kongkrit namun

remaja ini menjadi lebih logis, abstrak, dan melakukan penalaran

deduktif.

Menurut Kohlberg (dalam Santrock, 2003), perkembangan

moral adalah tingkah laku yang dikontrol secara eksternal menjadi

tingkah laku yang dikontrol oleh standar dan prinsip internal.

Kohlberg juga percaya bahwa perkembangan moral didasarkan

pada penalaran moral.


(37)

Kohlberg (dalam

Santrock, 2003), penganut teori

perkembangan sosio-kognitif, menegaskan bahwa moral bukan

merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai

baik dan buruk atau benar dan salah. Moral bukan berkenaan

dengan jawaban atas pertanyaan apa yang baik dan buruk

melainkan berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan

bagaimana orang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap

baik atau buruk dan lebih menekankan pada alasan yang mendasari

suatu tindakan.

Dari perkembangan moral ini, anak akan mengetahui

bagaimana berpikir mengenai konsep benar dan salah, dan

bagaimana mereka bertindak juga melalui suatu proses. Proses

itulah yang dinamakan dengan penalaran moral (suatu pemikiran

mengenai benar atau salah) yang nantinya akan melahirkan

perilaku moral, yaitu suatu tindakan benar dan salah yang sesuai

dengan norma dalam masyarakat.

Istilah yang sering digunakan Kohlberg untuk menerangkan

moral adalah

moral reasoning, moral thinking

dan

moral judgment

.

Istilah ini sering digunakan secara bergantian dan diberi pengertian

yang sama. Istilah tersebut bila dialih bahasakan dapat diartikan

sebagai penilaian atau pertimbangan. Proses penilaian dan

pertimbangan ini melibatkan penalaran yang digunakan seseorang


(38)

dalam menentukan putusan moral. Oleh karena itu, istilah tersebut

diartikan sebagai penalaran moral.

Moralitas pada dasarnya dipandang sebagai pertentangan

mengenai yang baik dan buruk, benar dan salah. Keadaan konflik

ini mencerminkan keadaan yang harus diselesaikan antara dua

kepentingan, yakni kepentingan diri dan orang lain, atau dapat juga

dikatakan sebagai keadaan konflik antara hak dan kewajiban.

Kohlberg (dalam Santrock, 2003) percaya bahwa seluruh

tingkatan dan tahap penalaran moral terjadi secara berurutan sesuai

dengan usia. Hurlock (1980) Penalaran moral remaja terjadi ketika

pada tahap konvensional yaitu berusia 13 tahun atau 14 tahun - 18

tahun.

Jadi dapat disimpulkan, penalaran moral remaja adalah

penalaran yang digunakan untuk

pertanyaan mengapa dan

bagaimana remaja sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap

baik atau buruk dan lebih menekankan pada alasan yang mendasari

suatu tindakan tersebut.

2. Tahap-Tahap Penalaran Moral

Kohlberg (dalam Santrock, 2003), menyusun tiga tingkatan

perkembangan moral, yang setiap tingkatannya terdiri dari dua

tahap yaitu ;


(39)

Penalaran Prakonvensional adalah tingkatan terendah dalam

teori perkembangan moral kohlberg. Pada tingkatan ini

individu tidak menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai

moral, penalaran moral dikendalikan oleh hadiah atau

reward

dan hukuman eksternal.

a. Tahap 1 ; Orientasi hukuman dan kepatuhan adalah

tahap pertama dalam teori perkembangan moral

Kohlberg. Pada tahap ini pemikiran moral

didasarkan pada hukuman. Sebagai contoh, remaja

mematuhi orang dewasa karena orang dewasa

menyuruh remaja untuk patuh.

b. Tahap 2 ; Individualisme dan tujuan adalah tahap

kedua dari teori perkembangan moral. Pada tahap

ini pemikiran moral didasarkan pada hadiah atau

reward dan minat pribadi. Sebagai contoh, remaja

bersikap patuh bila remaja mau mematuhinya dan

jika apa yang harus remaja patuhi menguntungkan.

Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan

apa yang menghasilkan

reward

.

2) Tingkatan 2 Kohlberg : Penalaran Konvensional

Penalaran Konvensional adalah tingkatan kedua, atau

menengah, dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada

tingkatan ini internalisasi sifatnya menengah. Individu


(40)

mematuhi beberapa standar tertentu (internal), tetapi standar

tersebut merupakan standar orang lain (eksternal), misalnya

orang tua atau hukum yang berlaku di masyarakat.

c. Tahap 3 ; Norma interpersonal adalah tahap ketiga

dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada

tahap ini individu menganggap rasa percaya, rasa

sayang, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai

dasar untuk melakukan penilaian moral. Remaja

pada tahap ini seringkali mengambil standar moral

orang tua, hal ini dilakukan karena remaja ingin

orang tua menganggap sebagai “anak yang baik”.

d. Tahap 4 ; Moralitas sistem sosial adalah tahap

keempat dari teori perkembangan moral Kohlberg.

Pada tahap ini penilaian moral didasarkan pada

pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan, dan

tugas

sosial.

Sebagi

contoh,

remaja

dapat

mengatakan bahwa supaya suatu komunitas dapat

bekerja secara efektif, maka komunitas tersebut

perlu dilindungi oleh hukum yang ditaati oleh

seluruh anggota keluarga.

3) Tingkatan 3 Kohlberg : Penalaran Postkonvensional

Penalaran

postkonvensional

adalah

tingkatan

tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada


(41)

tingkatan ini moralitas diinternalisasi sepenuhnya dan tidak

lagi didasarkan pada standar orang lain. Individu

mengetahui adanya pilihan moral yang lain sebagai

alternatif, memperhatikan pilihan-pilihan tersebut, dan

kemudian memutuskan sesuai dengan kode moral

pribadinya.

e. Tahap 5 : Hak komunitas vs hak individu adalah

tahap kelima dari teori perkembangan moral

Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang memiliki

pemahaman bahwa nilai dan hukum adalah relatif

dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda

dengan orang lain. Sebagai contoh, menyadari

bahwa hukum memang penting bagi suatu

masyarakat namun hukum sendiri dapat diubah.

Dan percaya bahwa beberapa nilai, seperti

kebebasan, lebih penting daripada hukum.

f.

Tahap 6 ; Prinsip etis Universal adalah tahap

keenam dan tertinggi dari teori perkembangan moral

Kohlberg. Pada tahap ini seseorang sudah

membentuk standar moral yang didasarkan pada hak

manusia secara universal. Ketika dihadapkan pada

suatu konflik antara hukum dan kata hati, maka


(42)

akan mengikuti hatunya, walaupun keputusan ini

dapat memunculkan resiko pada dirinya.

Menurut Piaget (Santrock, 2003) berkesimpulan bahwa anak-anak

berpikir melalui dua cara yang berbeda mengenai moralitas, tergantung

pada kematangan perkembangannya, yaitu :

a. Moralitas heteronom (

heteronomous morality

) adalah tahap

pertama dari perkembangan moral dalam teori Piaget, yang

berlangsung antara usia 4 hingga 7 tahun. Keadilan dan

aturan-aturan dipandang sebagai sifat-sifat mengenai dunia

yang tidak dapat diubah, dihilangkan dari kontrol manusia.

b. Moralitas otonom (

autonomous morality

) adalah tahap

kedua dari perkembangan moral dalam teori Piaget, yang

diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih besar (sekitar 10

tahun keatas). Anak menjadi menyadari aturan-aturan dan

hukum-hukum yang diciptakan oleh orang, dan bahwa

dalam memutuskan suatu tindakan, seseorang seharusnya

mempertimbangkan intensi aktor maupun konsekuensinya.

Anak-anak yang berusia hingga 20 tahun yang berada

dalam masa transisi di antara dua tahap ini memperlihatkan

sejumlah ciri dari kedua tahap.

Kesimpulan dari beberapa pernyataan di atas, menurut

Kohlberg bahwa tahap-tahap penalaran moral remaja yaitu : tahap


(43)

penalaran moral prakonvensional, tahap penalaran konvensional

dan tahap penalaran postkonvensional.

3. Unsur-Unsur Penalaran Moral

Unsur-unsur penalaran moral menurut Menurut Brooks dan Kann

(dalam Qudsyi, 2007) yaitu :

a) Honesty : kejujuran meliputi jujur terhadap dirinya sendiri

maupun orang lain, misalnya anak tidak berbohong.

b) Kindness : kebaikan hati terhadap orang lain misalnya suka

menolong, dan tidak sombong.

c) Respect : rasa menghormati misalnya hormat kepada lawan

jenis, terhadap orang yang lebih tua dan santun dalam

bertindak.

d) Responsibility : maksudnya yaitu belajar tanggung jawab

dan disiplin.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penalaran Moral Remaja

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peralihan dalam

tahap-tahap moral antara lain; modeling, konflik kognitif, orang tua,

relasi dengan kawan, dan peluang pengambilan peran (Santrock,

2003). Kohlberg percaya bahwa jenis-jenis tertentu dari pengalaman

orang tua-anak dapat menyebabkan anak dan remaja berpikir dalam

tingkat pemikiran moral yang lebih tinggi. Secara khusus, orang tua

yang membiarkan atau mendorong percakapan yang menyangkut


(44)

isu-isu berbasis nilai, dapat mengembangkan pemikiran moral yang lebih

tinggi pada anak dan remajanya.

Faktor-faktor dalam perkembangan moral (Panuju, 1999) :

a. Pada anak sekolah, tingkah lakunya sesuai dengan

peraturan yang berlaku, apa yang boleh dan yang tidak

boleh dilakukan. Perbuatannya dikaitkan dengan ancaman

hukuman bila terjadi pelanggaran. Dan dengan hadiah bila

mengikuti peraturan

b. Pada anak yang meningkat remaja, ada keinginan untuk

menjalankan peraturan yang berlaku dalam kelompok

sebayanya atau masyarakat sekitarnya.

c. Pada remaja, kecenderungan membentuk prinsip moral

yang otonomi. Prinsip yang berlaku bagi remaja sendiri,

walaupun tidak sesuai dengan prinsip kelompok maupun

atasan.

Faktor-faktor yang menyokong perkembangan moral (Panuju,

1999) adalah :

a. Kelompok keluarga, dapat menyokong perkembangan

moral dengan cara mengikutsertakan anak dalam beberapa

pembicaraan dan dalam mengambil keputusan keluarga.


(45)

b. Dalam kelompok sebaya, turut sertanya secara aktif, dalam

tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan

kelompok akan menyokong perkembangan moral.

c. Kelompok yang berkaitan dengan status sosial-ekonomis.

Partisipasi yang membantu perkembangan ini tidak selalu

diperoleh. Misalnya sekolah atau tempat pekerjaan yang

tidak

memberikan

kesempatan

berpartisipasi

untuk

mengembangkan aspek moral.

Dari beberapa faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral adalah modeling, konflik

kognitif, orang tua, relasi dengan kawan, dan peluang pengambilan

peran.

5. Beberapa cara pendidikan dalam mengembangkan aspek moral

anak

:

a. Pendidikan berorientasi pada kasih sayang : orang tua-anak, yang

baik hubungannya. Hubungan kasih sayang ini akan mendekatkan

anak dengan orang tuanya, memudahkan orang tua memberi

hadiah dan hukuman yang sepadan. Orientasi ini berhasil bagi

remaja dini, remaja dan dewasa muda. Bilamana orang tua secara

berlebihan memberi kasih sayang tanpa syarat, orang tua akan

kehilangan pengendalian terhadap anaknya, orang tua kurang

berwibawa terhadap anaknya.


(46)

b. Pendidikan berorientasi pada penalaran : aspek paling penting

adalah induksi. Induksi artinya pada dasarnya menunjukkan kepada

anak yang melanggar, akibat-akibat dari perilakunya bagi orang

lain. Memberi alasan-alasan pada anak untuk menerangkan

mengapa harus berbuat atau tidak berbuat.

c. Pengawasan orang tua atau pendidik : melalui supervisi dan

dorongan. Pengawasan orang tua dikurangi pada masa remaja dini

dan lebih banyak diberikan kesempatan kepada anak untuk melatih

pengendalian diri, pada masa remaja kehangatan orang tua,

bimbingan dan saran-saran sangat diperlukan.

d. Hukuman : hukuman orang tua ada 2 macam : teknik menunjukkan

kuasa dan tidak memberikan kasih sayang

e. Behavior training : orang tua dan para pendidik pembimbing

biasanya sibuk mencari cara yang efektif untuk mengubah perilaku

anak yang tidak diinginkan.

C. Persepsi Peran Ayah

1. Pengertian Persepsi

Menurut Leavitt (dalam Sobur, 2003) persepsi (

perception

)

dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimna cara seseorang

melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau

pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau

mengartikan sesuatu. Menurut De Vito (dalam Sobur, 2003)

persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya


(47)

stimulus yang memengaruhi indra kita. Menurut Yusuf (dalam

Sobur, 2003) menyebut persepsi sebagai “pemaknaan hasil

pengamatan”.

Menurut Rakhmat (dalam Sobur, 2003) menyatakan bahwa

persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa,

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

menafsirkan pesan. Menurut Atkinson (dalam Sobur, 2003)

persepsi adalah proses saat kita mengorganisasikan dan

menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan. Menurut Verbeek

(dalam Sobur, 2003) persepsi dapat dirumuskan sebagai suatu

fungsi yang manusia secara langsung dapat mengenal dunia riil

yang fisik.

Menurut Brouwer (dalam Sobur, 2003) menyatakan bahwa

persepsi (pengamatan) ialah suatu replika dari benda diluar

manusia yang intrapsikis, dibentuk berdasar

rangsangan-rangsangan dari objek. Menurut Pareek (dalam Sobur, 2003)

memberikan definisi yang lebih luas ihwal persepsi ini, dikatakan,

“Persepsi

dapat

didefinisikan

sebagai

proses

menerima,

menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan

memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindra atau data”.

Persepsi disebut inti komunikasi, persepsi bila dikatakan

sebagai inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah

inti persepsi, yang identik dengan penyandian-balik (decoding)


(48)

dalam proses komunikasi. Hal ini tampak jelas pada definisi John

R. Wenburg (dalam Sobur, 2003) persepsi dapat didefinisikan

sebagai cara organisme memberi makna. Persepsi dikatan sebagai

inti komunikasi karena jika persepsi kita tidak akurat, kita tidak

akan mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang

menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan

yang lain.

Proses persepsi berhubungan dengan unsur dan proses yang

merupakan perantara rangsangan di luar organisme dengan

tanggapan fisik organisme yang dapat diamati terhadap

rangsangan. Proses terjadi persepsi adalah rangsangan, persepsi,

pengenalan (ada penalaran dan perasaan) maka terjadilah

tanggapan individu tersebut.

Jadi, persepsi adalah bagaimana seseorang memandang

atau mengartikan sesuatu dan memberikan reaksi kepada

rangsangan pancaindra.

2. Pengertian Peran Ayah

Peran ayah merupakan peran yang dilakukan seseorang

yang berkaitan dengan anak, bagian dari sistem keluarga,

komunitas, dan budaya (Setyowati, 2013). Peranan ayah dalam

keluarga yang umum adalah sebagai kepala keluarga, selain itu

peran yang lainnya adalah sebagai pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan di keluarga lebih menekankan pada


(49)

interaksi antara anggota keluarga sebagai upaya dalam negosiasi

atau pengambilan keputusan.

Inayati (dalam Maharani, 2003) menjelaskan bahwa dalam

konteks keluarga, ibu dan ayah mempunyai peran yang berbeda

namun saling mendukung. Peran ibu selama ini didefinisikan

begitu lengkap dan detail, sedangkan peran

ayah kurang

diperhatikan. Hal ini ada kecenderungan anggapan bahwa ayah

hanyalah pencari nafkah dalam keluarga. Inayati (dalam Maharani,

2003) mengemukakan bahwa orang kurang menyadari bahwa ayah

selain mencari nafkah masih ada peran yang lebih besar berkaitan

dengan proses pengasuhan anak.

Lamb (dalam Maharani, 2003) menjelaskan bahwa

keberadaan ayah dalam kehidupan anak akan memudahkan dalam

pemantapan hubungan dengan orang lain, penyesuaian perilaku,

dan sukses dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Senada

dengan hal tersebut, Lamb (dalam Maharani 2003) menjelaskan

bahwa seorang ayah yang tidak berada dalam kehidupan anak akan

mempengaruhi peran jenis, moralitas, prestasi, dan psikososial

anak.

Dari beberapa pernyataan diatas, maka peran ayah adalah

partisipasi aktif ayah dalam pengasuhan anak yang mengandung

dimensi fisik, kognisi, dan afeksi dalam semua area perkembangan

anak yaitu fisik, emosi, sosial, intelektual dan moral.


(50)

3. Persepsi peran ayah

Persepsi adalah bagaimana seseorang memandang atau

mengartikan sesuatu dan memberikan reaksi kepada rangsangan

pancaindra.

Peran ayah adalah partisipasi aktif ayah dalam pengasuhan

anak yang mengandung dimensi fisik, kognisi, dan afeksi dalam

semua area perkembangan anak yaitu fisik, emosi, sosial,

intelektual dan moral.

Dapat disimpulkan bahwa pesepsi peran ayah adalah

bagaimana seseorang memandang atau mengartikan tentang

partisipasi aktif ayah dalam pengasuhan anak yang mengandung

dimensi fisik, kognisi, dan afeksi dalam semua area perkembangan

anak yaitu fisik, emosi, sosial, intelektual dan moral.

4. Tugas seorang ayah terhadap perkembangan anak

Tugas seorang ayah terhadap perkembangan anak

(Gunarsa, 2001) :

1) Ayah sebagai pencari nafkah

Tugas seorang ayah adalah mencari nafkah untuk

keluarga, ketika anak melihat ibu dan ayah bekerja atau

ayah saja yang bekerja mereka akan tahu bahwa

tanggung jawab dan kewajiban harus dilaksanakan

secara rutin. Dengan demikian anak mengetahui bahwa


(51)

kewajiban dan tanggung jawab harus dilaksanakan

tanpa paksaan.

2) Ayah sebagai suami yang penuh pengertian akan

memberi rasa aman

Ayah sebagai suami yang memberikan keakraban,

dan kemesraan bagi istri. Hal seperti ini kadang suami

kurang memperhatikan dan melaksanakannya. Jika istri

sebagai ibu kurang mendapatkan keakraban dan

kemesraan dari suaminya maka istri akan cepat

marah-marah sehingga merusak suasana keluarga. Sehingga

perlu tercipta hubungan yang baik antara suami-istri.

3) Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak

Peranan ayah dikeluarga sangat penting, terutama

bagi anak laki-laki ayah menjadi model, teladan untuk

perannya kelak sebagai seorang laki-laki. Bagi anak

perempuan, fungsi ayah juga sangat penting yaitu

sebagi pelindung. Ayah yang memberi perlindungan

kepada puterinya memberi peluang bagi anaknya kelak

memilih

seorang

pria

sebagai

pendamping,

pelindungnya.

4) Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas,

bijaksana, mengasihi keluarga


(52)

Seorang ayah adalah pelindung dan tokoh otoritas

dalam keluarga, dengan sikapnya yang tegas dan penuh

wibawa menanamkan pada anak sikap-sikap patuh

terhadap otoritas, dan disiplin. Disiplin orang tua dalam

berbagai aspek, akan dicontoh oleh anak, sehingga

menjadi sikap disiplin pada anak.

Disiplin merupakan cara masyarakat mengajarkan

kepada anak-anak perilaku moral yang diterima

kelompok. Tujuannya adalah memberitahukan kepada

anak-anak perilaku mana yang baik dan mana yang

buruk dan mendorongnya untuk berperilaku sesuai

dengan standar-standar ini.

5. Dimensi Keterlibatan Ayah

Lamb (dalam Damayanti, 2015), mengenalkan

dimensi-dimensi keterlibatan ayah :

a.

Paternal

Engagement

.

Engangement/interaction

adalah

pengasuhan secara langsung, interaksi satu lawan satu

dengan anak, mempunyai waktu untuk bersantai atau

bermain. Interaksi ini meliputi kegiatan seperti memberi

makan, mengenakan baju, berbincang, dan bermain.

b.

Paternal accessibility

.

Accessibility

adalah

meliputi

kehadiran serta ketersediaan ayah untuk anak.


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

81

identitas yang tidak lengkap, ketakutan yang tidak teratasi, kemarahan

yang tidak terkendali, kesalahpahaman seksualitas.


(2)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

82

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

positif antara persepsi peran ayah dengan penalaran moral pada remaja.

Artinya semakin positif persepsi remaja terhadap peran ayah maka

semakin tinggi pula penalaran moral remaja. Maka dalam hal ini hipotesis

penelitian diterima.

B. Saran

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti

memberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Bagi remaja

Agar remaja mempunyai penalaran yang lebih tinggi disarankan untuk

memperbanyak pengetahuan tentang moral misalnya dengan diskusi

kelompok.

2. Bagi orang tua

Saran yang dapat diberikan kepada orang tua adalah agar orang tua

dapat memberikan waktu luang untuk anak dalam hal keterlibatan,

perhatian dan tanggung jawab kepada anak mereka sehingga persepsi

remaja terhadap ayah menjadi positif dan dapat meningkatkan

penalaran moral remaja.


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

83

3. Bagi pihak sekolah

Adanya proses bimbingan kepada anak didik secara berkala dari pihak

sekolah akan dapat meminimalisir adanya perilaku-perilaku yang

menyimpang dari anak didik. Pihak sekolah juga hendaknya senantiasa

menjalin kerja sama dan keterikatan dengan orangtua atau wali murid

yang dapat diwadahi dalam bentuk komite sekolah

4. Bagi peneliti selanjutnya

Penalaran moral antara remaja laki-laki dan perempuan kemungkinan

dapat berbeda. Maka disarankan untuk peneliti selanjutnya agar

membandingkan penalaran moral antara laki-laki dan perempuan. Agar

dapat menghubungkan dengan variabel lainnya seperti persepsi peran

ayah dengan dukungan sosial.


(4)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

84

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sri. Tanpa Tahun.

Keterlibatan Ayah Dalam Pengasuhan Anak

(Paternal Involvement) : Sebuah Kajian Teoritis

. Universitas Mercu

Buana Yogayakarta.

Ahyani, Latifah N. 2010. Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak usia Prasekolah.

Jurnal Psikologi Universitas

Muria Kudus.

Vol. 1 No. 1.

Allgood, Scot. 2012. The Role Of Father Involvement In The Perceived

psychological Well-Being Of Young Adult Daughters : A Retrospective

Study.

North American Journal Of Psychology

. Vol. 14 No. 1, 95-110.

Arikunto, S. (2010).

Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi

V

. Jakarta: Rineka Cipta.

Arist, M. 2011. KNPA.com yang diakses tanggal 6 Mei 2016 jam 12:35.

Astuti, dkk 2013. Keterlibatan Ayah Dalam Pengasuhan Jarak Jauh Remaja

.

Prosiding Seminar Nasional Parenting

. Hal 121-131.

Azhar, dkk. 2009. Kecerdasan Moral Pada Remaja Yang Mengalami Deviasi

Mothering.

Jurnal Psikologi

. Vol 2, No.2.

Azwar, Saifuddin. 2010.

Metode Penelitian

. Yogyakarta : Pustaka Persada.

Azwar, Saifuddin. 2012.

Penyusunan Skala Psikologi

. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

Dagun, Save. 1990.

Psikologi Keluarga (Peranan Ayah Dalam Keluarga)

. Jakarta

: Rineka Cipta.

Damayanti, dkk (2015). Hubungan Antara Persepsi Keterlibatan Ayah Dalam

Pengasuhan Dengan Kesejehateraan Psikologis Pada Remaja di SMK

Negeri X Surabaya.

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan.

Vol. 04 No. 03.

Dariyo, Agoes. 2004.

Psikologi Perkembangan Remaja

. Bogor : Ghalia Indonesia.

Di You, etc. 2011. Assessing Students

’ Moral Reasoning Of a Values-Based

Education.

Psychology Research

. Vol. 1 No. 6, 385-391.

Ella, S. 2012. AntaraNews.com yang diakses 6 Mei 2016 jam 22:14.

Elliot, S.N., Kratochwill, T.R., Cook, J.L., Travers, J.F. (2000).

Educational

Psychology : Effective Teaching, Effective Learning

. Singapore :

McGraw-Hill Book Co.


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

85

Erny. K. 2015. Kompasiana.com yang diakses 6 Mei 2016 jam 22:21.

Gunarsa, dkk. 2001.

Psikologi Praktis : Anak, Remaja, dan Keluarga

. Jakarta :

Gunung Mulia.

Gunarsa, dkk. 2003.

Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja

. Jakarta :

Gunung Mulia.

Gunarsa, dkk. 2006.

Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.

Jakarta :

Gunung Mulia.

Hidayat, Khafri. 2013. Pengaruh Harga Diri Dan Penalaran Moral Terhadap

Perilaku Seksual Remaja Berpacaran Di SMK Negeri 5 Samarinda.

E-Journal Psikologi.

Vol. 1, No. 1.

Hidayati,dkk (2011). Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak.

Jurnal Psikologi

Undip.

Vol. 9, No. 1.

Hurlock. 1980.

Development Psychology : A Life-Span Approach, Fifth Edition

.

Jakarta : Erlangga.

Jacobs, J. N & Kelly, M. L. 2006.

Predictors of Paternal Involvement in

Childcare in Dual-earner Families with Young Children.

Michigan :

Farmington Hills.

Khotijah, Siti. 2015. Pendidikan.id yang diakses 6 Mei 2016 jam 22:15.

Liisa, etc. 1999. Moral Reasoning Among Estonion and Finnish Adolescents.

Journal Of Cross-Cultural Psychology.

Vol. 30 No. 3, 267-290.

Maharani, dkk. 2003. Hubungan Antara Dukungan Sosial Ayah Dengan

Penyesuaian Sosial Pada Remaja Laki-Laki.

Jurnal Psikologi

. No.1,

23-35.

Michael, etc. 1999. Predicting Adolescent Moral Reasoning from Family Climate

: A Longitudinal Study.

The Journal Of Early Adolescence

. Vol. 19 No.

2, 148-175.

Muhid, Abdul. 2012.

Analisis Statistik, 5 Langkah Praktis Analisis Statistik

Dengan SPSS for Windows

. Sidoarjo : Zifatama.

Mukhoyyaroh, Tatik. 2012. Penalaran Moral Remaja Perempuan Ditinjau dari

Konformitas dan Lingkungan Tempat Tinggal.

Jurnal Penelitian

Psikologi.

Vol.03, No. 01, 355-366.

Narbuko, dkk. 2009.

Metodologi Penelitian

. Jakarta : Bumi Aksara.

Panuju, dkk. 1999.

Psikologi Remaja

. Yogya : Tiara Wacana.


(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

86

Patria, Nur P. 2009. Hubungan Antara Pemakaian Bahasa Krama Dan Locus Of

Control Dengan Penalaran Moral Pada Penutur Bahasa Krama.

Indigenous,

Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi

. Vol. 11, Mei : 78-87.

Qudsyi, dkk. 2007. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Penalaran

Moral Pada Anak Usia Akhir.

Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala

Psikologi.

Vol. 9 N0. 1 : 44-61.

Santrock, J.W. 1999.

Child Development.

Boston : Mc Graw-Hill International

Edition.

Santrock, John W. 2003.

Adolescence (Perkembangan Remaja)

. Jakarta :

Erlangga.

Santrock, John W. 2007.

Remaja, edisi kesebelas

. Jakarta : Erlangga.

Setiawati, dkk. 2012.

Perbedaan Tingkat Perkembangan Penalaran Moral

Ditinjau Dari Status Identitas Pada Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Angkatan 2012

.

Setyawan, D. 2014. KPAI.com yang diakses tanggal 6 Mei 2016 jam 12:33.

Setyowati, dkk. 2013. Hubungan Peran Ayah di Keluarga dengan Keikutsertaan

Balita Usia 2-24 Bulan dalam Pelaksanaan Imunisasi DPT di Desa Pace

Kecamatan Silo Kabupaten Jember.

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian

Mahasiswa 2013.

Sobur, Alex. 2003.

Psikologi Umum

. Bandung : Pustaka Setia.

Surachmad, Winarno. 1989.

Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi

Ilmiah

. Bandung : Tarsito.

Syarifah, dkk. 2012. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Keterlibatan Ayah

Dalam Pengasuhan Dengan Kematangan Emosi Pada Remaja di SMA

Negeri

“X”.

Proceeding Temu Nasional VIII IPPI

. Yogyakarta,

230-238. Yogyakarta.

Tarigan, dkk. 2013. Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja Yang Tinggal Di

Daerah Konflik.

Psikologia.

Vol. 8, hal 79-88.

Wahyu, Aji. 2013. Tribunnews.com yang diakses 12 Maret 2016 jam 13:29.

Widodo, Heri. 2015. Liputan6.com yang diakses 9 Maret 2016 jam 12:15

Yuh-Ling Shen, etc. 2013. Relations Between Parental Discipline,

Empathy-Related Traits, and Prosocial Moral Reasoning.

The Journal Of Early

Adolescence.

Vol. 33 No. 7, 994-1021.