Fikih prioritas antara menikah dan belajar ditinjau dari segi masalahnya: studi pemuda pemudi masyrakat Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo.

(1)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Dirasah Islamiyah

Oleh:

Maghfirotul Falahah NIM: F02212008 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. HM. Roem Rowi, MA

NIP. 194710031977011001

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Abstraksi

Judul : Fikih Prioritas antara Menikah dan Belajar Ditinjau Dari Segi Maslahahnya (studi pemuda pemudi desa Wedi kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo)

Penulis : Maghfirotul Falahah

Pembimbing : Prof. Dr. HM. Roem Rowi, MA. Kata Kunci : Mas}lah}ah dan Fikih prioritas

Tesis ini mengkaji tentang fikih prioritas, dalam pembahasannya mencakup tentang implementasi dari fikih prioritas yang kemudian dibahas dengan pendekatan teori Mas}lah}ah, kaidah-kaidah fikih dan dipertimbangkan

dengan kaidah-kaidah fikih prioritas. Dalam tesis ini, penulis membahas tentang realitas sosial sebagai bentuk aplikasi dari fikih prioritas dengan menganalisa fakta yang telah terjadi pada masyarakat desa Wedi kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo, yaitu pertimbangan prioritas antara menikah dan melanjutkan studi yang kemudian dianalisa dari segi kemaslahatan kedua masalah tersebut.

Untuk memudahkan pemahaman dan pembahasan masalah ini, penulis membuat rumusan masalah yaitu bagaimana fikih menikah dan fikih belajar? Dan bagaimana prioritas antara menikah dan belajar di desa Wedi kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo dalam tinjauan mas}lah}ah}.

Tesis ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan agar data yang diperoleh lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel dan bermakna sesuai hakikat penelitian kualitatif. Adapun analisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif kualitatif karena masalah penelitian belum begitu jelas, sehingga untuk mendapatkan informasi dan data peneliti langsung masuk ke obyek atau subyek penelitian, dengan berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai responden.

Adapun aplikasi konsep fikih prioritas dalam masalah pemilihan antara melanjutkan studi atau menikah pada pemuda pemudi masyarakat desa Wedi, sebagai salah satu contoh, adalah dengan mempertimbangkan maslahat dan

mad}arat ketika mendahulukan salah satu dari kedua masalah tersebut. Analisis

data dengan metode kualitatif pada aplikasi konsep fikih prioritas pada penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat desa Wedi pada tahun 2014 sebanyak 60 % dari 30 responden yang memilih melanjutkan studi dan 40 % memilih menikah. Hal tersebut didasari dengan beberapa alasan diantaranya 14 pemuda pemudi memilih mengejar cita-cita, 3 memilih alasan karena permintaan orang tua dan 1 memilih alasan lainnya. Adapun pemuda pemudi yang memilih menikah terdapat 7 pemuda pemudi memilih alasan tidak memiliki biaya, 1 tidak adanya kemauan untuk melanjutkan studi dan 4 pemuda pemudi memilih alasan lainnya.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

ABSTRAKSI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritik ... 6

1. Prioritas dalam Kajian Hukum Islam ... 6

2. Mas}lah}ah ... 9


(8)

b. Kriteria Mas}lah}ahyang Valid Secara Syar’i dalam Pandangan

Ulama>’ ... 10

E. Penelitian Terdahulu ... 12

F. Metode Penelitian ... 14

1. Penentuan Subyek, Lokasi, dan Waktu Penelitian ... 14

2. Data yang akan digali ... 16

3. Sumber Data ... 16

4. Populasi dan Sampling ... 17

5. Teknik Pengumpulan Data ... 18

a. Wawancara ... 19

b. Kuesioner (angket) ... 20

c. Kajian Pustaka ... 20

6. Pengolahan dan Analisis Data ... 21

G. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II: KAJIAN TEORI A. Pernikahan Menurut Hukum Islam ... 24

1. Pengertian Pernikahan ... 24

2. Hukum Pernikahan ... 26

3. Dasar Hukum Pernikahan ... 28


(9)

B. Urgensi Ilmu ... 38

C. Prioritas dalam Kajian Hukum Islam ... 45

1. Penggagas Fikih Prioritas ... 46

2. Definisi dan Posisi Fikih Prioritas dalam Diskursus Hukum Islam ... 49

3. Landasan Fikih Prioritas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam ... 54

D. Mas}lah}ah ... 63

1. Pengertian Mas}lah}ah secara Bahasa dan Istilah ... 63

2. Pembagian Mas}lah}ah Berdasarkan Tingkatannya ... 64

3. Mas}lah}ah Menurut Pandangan al-Bu>t}i ... 67

4. Syarat Pemakaian Mas}lah}ahal-Mursalah ... 68

5. Peran Mas}lah}ah Ketika Terjadi Pertentangan antara Dua Mas}lah}ah dan Antara Mas}lah}ah dan Mafsadah ... 70

E. Qawa>’id Fiqhiyyah... 76

BAB III: PAPARAN DATA DAN BEBERAPA ARGUMEN A. Pendeskripsian Implementasi Menikah pada Desa Wedi Gedangan ... 86

1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 86

2. Profil Singkat Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo ... 86


(10)

B. Paparan Data Tentang Beberapa Argumen Pemuda Pemudi

Desa Wedi yang Lebih Memilih Menikah ... 92 C. Paparan Data Tentang Beberapa Argumen Pemuda Pemudi

Desa Wedi yang Lebih Memilih Melanjutkan Studi ... 93 BAB IV: ANALISA FIKIH PRIORITAS ANTARA MENIKAH DAN MELANJUTKAN STUDI DENGAN MENINJAU DARI SEGI KEMASLAHATANNYA

A. Analisis Tradisi Menikah di Desa Wedi Kecamatan Gedangan

Kabupaten Sidoarjo ... 95 B. Analisis Fikih Prioritas dari tinjauan Mas}lah}ah dengan

Memprioritaskan Satu Masalah ... 97 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 108 B. Saran ... 108 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

A. Data Penduduk di Desa Wedi, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014 ... I

B. Kuesioner di Desa Wedi, Kecamatan Gedangan,


(11)

C. Daftar Responden di Desa Wedi, Kecamatan Gedangan,

Kabupaten Sidoarjo ... VI

D. Hasil Jawaban Responden Kuesioner di Desa Wedi,

Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo ... VII


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Setiap orang yang mengamati kehidupan ini dalam berbagai aspeknya – baik aspek materil maupun imateril, pemikiran, sosial, ekonomi, politik, atau lainnya- maka akan menemukan kekacauan yang serius dalam hidupnya, khususnya dalam hal neraca prioritas. Sering kali kita temukan kenyataan yang sangat mengherankan, yaitu adanya kecenderungan mendahulukan hal-hal yang terkait dengan masalah seni atau bahkan kemewahan materi daripada hal-hal yang terkait dengan masalah ilmu dan pendidikan.

Dalam kaitannya dengan aktivitas masyarakat kita misalnya, khususnya kaum wanita yang berdomisili di desa kerap kali dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu menikah atau melanjutkan studi setelah menyelesaikan bangku SMA (Sekolah Menengah Atas). Bahkan yang lebih mengharukan, kaum wanita yang sudah menyelesaikan studi S1 (strata satu) seakan tidak lagi memiliki hak dalam memilih, dengan dalih mereka sudah berumur lebih dari dua puluh tahun, sudah saatnya menikah, dan tidak boleh lagi ada istilah ― jual mahal ‖. Selain itu, masih banyak lagi dalih yang kami temukan, seperti halnya kaum wanita yang melanjutkan studinya hanya akan membuang waktu karena gelar apapun yang didapatkan tidak bisa mengubah kodrat dan tabiat seorang wanita yaitu di ― dapur


(13)

Di samping masalah kodrat, masih ada lagi alasan yang kerap kali kami dengar. Dari pada melanjutkan studi, menghabiskan banyak biaya, lebih baik menikah dan mencari kerja agar bisa ikut serta membantu menafkahi keluarga, dan lain sebagainya. Ironis sekali, beberapa masyarakat yang memiliki pemikiran seperti ini masih meyakini bahwa dengan membuat keputusan menikah lebih awal dari pada melanjutkan studi, bisa menaikkan derajat atau bisa mempermudah mereka dalam mendapatkan materi.

Tampaknya pemikiran seperti ini tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat awam saja atau mereka yang menjauhkan diri dari ajaran agama Islam. Namun, hal ini juga terjadi pada penganut agama lain, dan itu semua disebabkan karena tidak adanya fikih yang berpedoman kepada petunjuk dan ilmu pengetahuan yang benar.

Ilmu yang dimaksud di sini adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang amal-amal yang ra>jih{ dari yang lain, yang lebih utama dari yang lain, yang s{ah{i>h{ dari pada yang rusak, yang diterima dari pada yang ditolak, yang disunnahkan dari pada yang bid‟ah.

Suatu amal terkadang menjadi utama dalam suatu kondisi dan menjadi tidak utama pada kondisi yang lain, atau ra>jih{ pada suatu kondisi marju>h{ pada kondisi yang lain. Akan tetapi karena keterbatasan ilmu dan pemahaman, mereka tidak membedakan antara dua waktu yang berbeda atau antara dua kondisi yang tidak sama.


(14)

Dengan ini, umat Islam pada umumnya, dan kaum wanita pada khususnya harus mengetahui dan memahami dengan baik fikih prioritas yang terkandung dalam ajaran agama Islam berikut dalil-dalilnya, sehingga dapat memahami dan meluruskan pikiran. Sehingga orang-orang yang membuat perbandingan dapat memperoleh petunjuk yang kemudian mampu membedakan apa yang seharusnya didahulukan oleh agama dan apa yang harus diakhirkan. Selain itu, mereka juga bisa lebih memahami apa makna dan kemaslahatan yang terkandung dalam setiap hal yang memiliki porsi hukumnya masing-masing tersebut.

Jika dilihat dari kemaslahatannya, melanjutkan studi seharusnya lebih diprioritaskan dari pada menikah, namun dengan syarat hukum menikah belum berubah pada tahap wajib maupun fard}u. Seperti yang akan peneliti ulas pada bab dua nanti tentang teori mas}lah}ah yaitu melihat kemaslahatan sesuai kepentingannya. Melanjutkan studi lebih diutamakan karena bisa mencakup seluruh komponen mas}lah}ah dengan menjaga agama, akal maupun harta seseorang. Sedangkan menikah masuk dalam komponen menjaga agama dan nasab saja. Adapun urutan dari lima komponen mas}lah}ah lebih mendahulukan antara menjaga akal dari pada menjaga nasab.

Dengan demikian, tidak akan ada lagi masyarakat muslim, khususnya yang tinggal di desa Wedi yang berpikir praktis dan melakukan tindakan di luar batas kewajaran, ataupun yang sama sekali tidak memenuhi syarat dalam ajaran agama Islam. Tidak akan ada lagi pembicaraan ―miring‖ terhadap para gadis desa


(15)

yang menunda pernikahannya dan lebih memilih untuk melanjutkan studi hingga strata satu, dua bahkan tiga. Menikah masih tetap memiliki hukum sunnah selama para gadis desa mampu menahan nafsu dan menjaga diri mereka.1

Begitu juga dengan para pemuda desa Wedi, karena kondisi lingkungan sekitar dikelilingi dengan berbagai macam industri (pabrik), mereka mengira dengan umur yang sudah dianggap layaknya orang dewasa, mereka lebih tertarik bekerja dan menikah. Karena tanpa belajar pun mereka bisa mendapatkan pekerjaan (buruh pabrik). Seharusnya mereka tidak perlu khawatir dengan tanggung jawabnya. Karena dengan melanjutkan studi, sama saja dengan mereka berinvestasi untuk masa depan mereka sendiri. Sebuah instansi tidak akan menolak sarjana muda yang ulet bekerja, bertanggung jawab, dan berakhlak mulia. Bukan satu dua orang saja yang sukses ketika mereka kuliah dengan bekerja untuk memenuhi biaya kuliahnya. Dengan kata lain, pemikiran masyarakat desa Wedi yang masih meyakini kalau melanjutkan studi hanya akan menghabiskan banyak biaya, dan mereka tidak akan mendapat balasan apapun dikemudikan hari bisa ditepis dengan mempelajari dan memahami beberapa kemaslahatan yang ada di balik masalah ini, tentunya dilihat dari kajian fikih prioritasnya.

Pada awalnya memang masalah ini sering dianggap remeh oleh banyak kalangan, namun dengan berjalannya waktu semakin menggelitik penulis dan

1 Hukum asal menikah adalah sunnah, yaitu selama mukallaf tidak khawatir dan takut akan berbuat maksiat atau berzina selama tidak menikah. Lihat, Amin Abd al-Ma’bu>d Zaghlu>l, Ah{ka>m al-Usrah fi> al-Tashri>‟ al-Isla>miy (Mesir: Da>r al-Andalu>s li al-Thaba>’ah, 2007), 32.


(16)

dengan penelitian ini penulis berusaha membuka tabir dan meluruskan pola pikir yang sudah tertanam pada kebanyakan masyarakat desa dengan menggunakan fikih prioritas. Karena fikih prioritas bisa mendekatkan berbagai macam pandangan orang yang memahami dan memperjuangkan Islam. Oleh karenanya dengan ini penulis akan membuat beberapa rumusan masalah tentang fikih perioritas antara menikah dan belajar yang ditinjau dari segi mas{lah{ahnya sehingga masalah di atas bisa dibahas secara runtun.

B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan pemahaman dan pembahasan penelitian ini, maka rumusan masalah akan penulis uraikan sebagai berikut:

1. Bagaimana fikih menikah dan fikih belajar?

2. Bagaimana prioritas antara menikah dan belajar di desa Wedi kec. Gedangan kab. Sidoarjo dalam tinjauan mas{lah{ah?

C. Tujuan Penelitian

Untuk menyempurnakan penelitian ini, tentunya tidak terlepas dari beberapa tujuan agar penelitian tentang hukum yang dilihat dari segi fikih prioritas ini bisa diaplikasikan pada masyarakat khususnya yang berdomisili di desa Wedi, sehingga bisa sedikit mengubah pola pikir yang sudah membudaya dan salah kaprah. Adapun tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut:


(17)

2. Mendeskripsikan implementasi menikah yang ada pada masyarakat desa Wedi dengan menyertakan beberapa argument yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan mereka.

3. Mendeskripsikan mas{lah{ah dan mad{a>rat dengan terlebih dahulu melakukan perbandingan dan melakukan analisa menggunakan fikih prioritas antara masyarakat desa Wedi yang lebih memilih melanjutkan studi dengan masyarakat yang menikah.

D. Kerangka Teoritik

1. Prioritas dalam Kajian Hukum Islam

Salah satu pakar fikih, Yusuf Qard{a>wi membuat sebuah konsep tentang fikih yaitu fiqh al-awlawiyya>t atau fikih prioritas. Dalam kitabnya beliau mengatakan bahwa fikih prioritas dimaksudkan sebagai berikut:

"

لدعلا هتبترم ى ئيش لك عضو

,

لامعأا و مَيِقلا و ماكحأا نم

,

ىوأاف ىوأا مِّدقي ّم

....

اف

مهما ىلع مهما رغ مّدقي

,

م أا ىلع مهما او

,

حجارلا ىلع حوجرما او

,

لضافلا ىلع لوضفما او

,

لضفأ وأ

.

مدقّتلا هّقح ام مّدقي لب

,

رخأّتلا هّقح ام رّخَؤُ ي و

"....

2

― Meletakkan segala sesuatu sesuai dengan skala urutannya secara proporsional (adil), baik dalam segi hukum, nilai, ataupun perbuatan. Langkah berikutnya memberikan prioritas apa yang seharusnya diprioritaskan .... Oleh karena itu, sesuatu yang tidak penting tidak boleh didahulukan dari sesuatu yang penting, sesuatu yang penting tidak boleh didahulukan dari sesuatu yang lebih penting, sesuatu yang kuat dasarnya tidak boleh didahulukan dengan sesuatu yang lebih kuat dasarnya, sesuatu yang utama tidak boleh didahulukan dengan yang lebih utama. Apa yang harus didahulukan hendaknya didahulukan, dan apa yang harus diakhirkan haruslah diakhirkan.‖


(18)

Dalam al-Qur’a>n surat al-Rah{ma>n ayat 7-9, Allah SWT berfirman:









































































― Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.‖3

Dasar pemikiran ini menunjukkan bahwa nilai, hukum, perbuatan, takli>f (pembebanan) Allah mempunyai peringkat yang tegas dalam pandangan hukum Islam, dan tidak berada dalam satu tingkatan.

Fikih prioritas ini dimunculkan karena ada beberapa hal yang diamati oleh Yusuf Qard{a>wi salah satunya adalah karena melihat adanya kemunduran pada umat Islam, antara lain:4

a. Umat Islam –dalam batas maksimal- telah mengabaikan fardlu kifayah yang berkaitan dengan persoalan umat, seperti lebih fokus mendalami ilmu, industri dan perang, sehingga setiap umat bisa menguasainya dengan benar. Contohnya adalah berijtihad dalam fikih dan menarik kesimpulan hukum, menyebarkan dakwah Islam.

b. Mereka mengabaikan sebagian fard{u „ain atau mereka kurang memberikan perhatian seperti terhadap kewajiban amar ma‟ru>f nahi

munkar.

3 Kementrian Agama RI, Alqur’a>n Terjemahan, (Semarang, CV. Toha Putra, 1989), 875.


(19)

c. Mereka lebih memperhatikan sebagian rukun-rukun dari sebagian yang lainnya. Mereka lebih banyak yang memperhatikan puasa dari pada shalat. Demikian pula banyak orang yang lebih memperhatikan shalat dari pada menunaikan zakat.

d. Mereka lebih banyak memperhatikan ibadah yang sunnah dari pada ibadah-ibadah yang wajib. Seperti, lebih banyak berdzikir dari pada berbuat baik kepada orang tua, mempererat tali persaudaraan, dan berlaku baik kepada tetangga.

e. Mereka lebih memperhatikan ibadah-ibadah yang bersifat individual seperti dzikir dari pada ibadah yang bersifat sosial yang mempunyai manfaat lebih luas, seperti mendamaikan dan merukunkan orang, bekerja sama dalam hal kebaikan dan ketakwaan.

f. Sebagian besar orang lebih memperhatikan cabang-cabang amal ( al-far‟) dari pada pokoknya (al-us{u>l). pokok yang dimaksud adalah akidah, iman, tauhid, dan keikhlasan beragama.

g. Kebanyakan umat sibuk dalam hal yang makruh, subhat dibandingkan dengan masalah yang jelas diharamkan dan yang wajib diabaikan. Ada juga yang lebih suka menyibukkan diri dengan masalah-masalah

khila>fiyah (masalah yang menjadi perselisihan) dan lalai terhadap

persoalan-persoalan besar.

Banyak kerancuan yang terjadi pada umat Islam saat ini, sehingga persoalan yang besar dianggap kecil dan yang kecil dibesar-besarkan, yang


(20)

penting diremehkan, yang awal diakhirkan, begitu juga sebaliknya, yang fardlu diabaikan sedangkan yang sunnah dilestarikan, dosa kecil dianggap besar, sedangkan dosa besar dianggap ringan. Dengan demikian, umat Islam sangat membutuhkan ―fikih prioritas‖ untuk kemudian didiskusikan dan diperjelas sehingga bisa mengarahkan umat terhadap hal dan perbuatan yang terbaik.

Dalam permasalahan yang penulis angkat, kaitannya dengan fikih prioritas. Kami ingin meneliti dan menganalisa lebih dalam lagi fikih prioritas antara menikah dan melanjutkan studi. Jika keduanya memiliki mas{lah{ah, hal mana yang harus diutamakan antara keduanya, dan jika keduanya memiliki

mafsadah, hal mana yang paling sedikit mafsadah –nya.

2. Mas{lah{ah

a. Pengertian Mas}lah}ah

Secara bahasa, al-mas}lah}ah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-mas{lah{ah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah dan adakalanya dilawankan dengan kata

al-mad{arrah, yang mengandung arti: kerusakan.5

Mas{lah{ah menurut Al-Ghaza>li (w. 505 H), adalah mewujudkan kemanfaatan atau menghindari kemudaratan (jalb al-manfa„ah atau daf„

al-madarrah). Menurut al-Ghaza>li, yang dimaksud mas{lah{ah, dalam arti

terminologis-syar’i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam


(21)

(Shari’ah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Ghaza>li bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasikan sebagai mas{lah{ah. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai al-mafsadah, maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasikan sebagai mas}lah}ah.6

b. Kriteria Mas}lah}ah yang Valid Secara Syar’i dalam Pandangan Ulama

Al-Ghaza>li membuat batasan operasional mas}lah}ah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam; pertama, mas}lah}ah tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, mas}lah}ah tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’a>n, al-Sunnah dan ijma>‟. Ketiga, mas}lah}ah tersebut menempati level d{aru>riyah (primer) atau h}a>jiyah (sekunder) yang setingkat dengan d{aru>riyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat}‟i atau z}ann yang mendekati qat}‟i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qat}‟iyah, d}aru>riyah,dan kulliyah.7

Berbeda dengan Imam al-Ghazali, al-Sha>thibi hanya membuat dua kriteria agar mas}lah}ah dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. Pertama,

6Al-Ghaza>li dalam- Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq

al-Shatibi‟s Life and Thought, (Islamabad: Pakistan Islamic Research Institute, t.th), 149. 7Al-Ghaza>li dalam- Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, 150.


(22)

mas}lah}ah tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan shara‟, karena itu maslahat yang tidak sejalan dengan jenis tindakan shara‟ atau yang berlawanan dengan dalil shara‟ (al-Qur’a>n, al-Sunnah dan ijma>) tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, mas}lah}ah seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut al-Sha>t}ibi termasuk dalam kajian qiya>s.8

Al-Sha>t}ibi dalam kitabnya al-Muwa>faqa>t fi> Us{u>l al-Shari>‟ah mengemukakan bahwa tujuan pokok disyari’atkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun akhirat.9 Menurut pandangan al-But}i, kriteria mas}lah}ah yang valid secara syar’i itu mencakup 5 (lima) hal,

pertama, sesuatu yang akan dinilai itu masih berada dalam koridor nas} shara‟.

Kedua, sesuatu tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n. Ketiga, tidak

bertentangan dengan Sunnah. Keempat, tidak bertentangan dengan al-qiya>s.

Kelima, ia tidak mengorbankan mas}lah}ah lain yang lebih penting.10

Dari beberapa uraian pendapat ulama tentang mas{lah{ah di atas, penulis lebih cenderung kepada pandangan Sa’i>d Ramad{a>n al-Bu>t{i, karena dalam permasalahan yang akan penulis teliti nantinya terdapat dua aspek mas{lah{ah yang akan diuraikan dan dicari kejelasannya, agar tidak ada mas{lah{ah yang lebih penting yang dikorbankan, seperti konsep mas{lah{ah yang telah dikemukakan al-Bu>t{i>.

8Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, 162.

9 Abu Isha>q al-Sha>t{ibi>, al-Muwa<faqat fi> > Us{u>l al-Shari>‟ah (Beirut, Da>r al-Ma‟rifah, 1975), 6. 10Muhammad Sa’i>d Ramada>n al-Bu>t}i, Dawa>bit al-Mas}lah}ah fi al-Syar>„ah al-Isla>miyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1421 H/2000 M), 110, 118, 144, 190, dan 217.


(23)

E. Penelitian Terdahulu

Penelusuran penulis terhadap penelitian terdahulu menemukan bahwa beberapa peneliti berusaha menyajikan fikih prioritas dengan permasalahan dan pembahasan yang berbeda. Di antaranya adalah Nasfa Alif Diana, Fikih Prioritas

Antara Umrah dan Kuliah (Tesis-- UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015). Pada

penelitian ini, menyajikan analisis fikih prioritas dalam permasalahan umrah dan kuliah. Perbedaan pembahasan yang diangkat saudari Nasfah dengan pembahasan penulis adalah, penulis akan meneliti fikih prioritas antara menikah dan belajar dengan ditinjau dari segi mas{lah{ah{nya, sehingga permasalahannya beruntun dan kesimpulan analisis yang didapat akan menjadi jelas.

Selain itu, ada juga peneliti yang menitikberatkan kajian fikih prioritas pada segi teorinya seperti yang telah ditulis oleh Nasrun Jauhari, Fikih Prioritas

Sebagai Instrumen Ijtihad Maqa>s{idiy (Tesis-- UIN Sunan Ampel, Surabaya,

2013). Pada penelitian tersebut dia menguraikan tentang adanya beberapa bagian fikih seperti fikih minoritas dan fikih prioritas yang layak dijadikan sebagai instrumen dalam berijtihad. Menurutnya, posisi fikih prioritas dalam kajian hukum Islam adalah menempati bagian dari perkembangan konsep ijtihad hukum Islam yang berbasis maqa>s}id al-shari>‟ah yang lebih berorientasi pada fikih dakwah. Dari sini sudah terlihat jelas adanya perbedaan pembahasan yang dibahas saudara Nasrun dengan pembahasan penulis.


(24)

Ditemukan sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Muh}ammad al-Waki>li>, (Tesis—Universitas Muh}ammad al-Kha>mis) yang berjudul Fiqh al-Awlawiyya>t; Dira>sah fi> D}awa>bit (Fikih Prioritas; Sebuah Kajian Metodologis). Hasil kerja penelitian akademik di bawah bimbingan T}a>ha Ja>bir al-Alwa>ni> ini telah diterbitkan oleh The International Institute of Islam Thought, Hendon-Virginia, pada tahun 1997. Objek kajiannya, seperti yang terlihat pada judulnya yaitu membahas fikih prioritas dari segi metodologi dan landasan shari>’ahnya, sangat berbeda dengan penelitian yang akan penulis teliti. Walaupun demikian, tesis tersebut diapresiasi oleh al-Alwa>ni> sebagai satu-satunya kajian terbaik tentang fikih prioritas pada segi kerangka metodologi dari segi kondisi sebelumnya yang masih terpencar-pencar.11

Adapun beberapa kitab yang menyuguhkan kajian fikih prioritas secara aplikatif, salah satunya adalah karangan Yu>suf al-Qard}a>wi> yang berjudul Fi> Fiqh al-Awlawiyya>t, al-S}ah}wat al-Isla>miyyah baina al-Juh}u>d wa al-Tat}arruf,12 dan al-S}ah}wat al-Isla>miyyah min al-Mura>haqah ila> al-Rushd.13 Karya Majdi> Hila>li> yang

berjudul Min Fiqh al-Awlawiyya>t fi> al-Isla>m.14

11 Ta>ha Ja>bir al-Alwa>ni>, maqa>s}id al-Shari>’ah (Beirut: Da>r al-Hadi>, 2001), 129.

12 Yu>suf al-Qard}a>wi, al-S}ah}wah al-Isla>miyyah bayna al-Juh}u>d wa al wah -Tat}arruf, (Kairo: Da>r

al-Shuru>q, 2001).

13 Yu>suf al-Qard}a>wi, al-S}ah}wah al-Isla>miyyah min al-Mura>haqah ila> al-Rushd, (Kairo: Da>r

al-Shuru>q, 2006).

14 Majdi> Hila>li>, Min Fiqh al-Awlawiyya>t fi> al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Tawzi>’ wa al-Nashr


(25)

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang Fikih Prioritas Antara menikah Dan Belajar Ditinjau Dari Segi Mas{lah{ahnya (Studi Pemuda Pemudi Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo), sesuai dengan rumusan masalah, maka dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan penelitian kualitatif.

Penggunaan metode kualitatif ini bertujuan agar data yang diperoleh lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel dan bermakna sesuai hakikat penelitian kualitatif yang menekankan pada pengamatan atas orang dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan penafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.15 Demikian halnya dengan penelitian ini yang bermaksud ingin memahami alasan masyarakat khususnya pemuda pemudi yang lebih memilih menikah dari pada melanjutkan sekolah atau sebaliknya. Faktor-faktor apa yang mendorong mereka memilih untuk melakukannya dan bagaimana pandangan fikih prioritas terhadap permasalahan tersebut dengan mempertimbangkan mas{lah{ah dan mad{a>rah-nya.

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penentuan Subyek, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo, subyeknya adalah pemuda pemudi di desa tersebut.


(26)

penentuan lokasi penelitian ini dilandasi beberapa pertimbangan di antaranya:

Pertama Desa Wedi menurut penulis berbeda dengan desa lainnya, karena

letaknya yang strategis, yaitu dekat dengan area industri. Sehingga banyak pemuda pemudi masyarakat Desa Wedi yang lebih memilih bekerja di pabrik, setelah mereka merasa mampu mendapatkan penghasilan maka mereka akan menikah dan akhirnya tidak melanjutkan pendidikannya. Kedua, masyarakat yang tinggal di daerah desa Wedi termasuk masyarakat yang heterogen, terdiri dari masyarakat yang berasal dari berbagai daerah yang ingin bekerja dalam sektor industri. Hal ini akan membawa pengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap perkembangan masyarakat di desa Wedi. Ketiga, masih adanya anggapan bahwa bekerja lebih penting dari pada sekolah terutama bagi kaum perempuan, hal ini dikarenakan tingkat ekonomi masyarakat desa Wedi yang berada pada tingkat menengah ke bawah sehingga semakin mendorong pemuda-pemudi desa Wedi lebih memilih bekerja dan enggan melanjutkan pendidikannya. Keempat, desa Wedi kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo adalah tempat tinggal penulis sehingga penulis lebih memahami kondisi masyarakat desa Wedi dan penulis ingin menggali informasi serta memberikan kajian tentang fikih prioritas antara menikah dan belajar ditinjau dari segi maslahatnya.

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari bulan April, Mei, dan Juni 2014. Pada bulan April dan pertengahan Mei penulis menggali data dari Balai Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo, dan pada awal hingga pertengahan Juni 2014 penulis akan menyebarkan angket dan melakukan


(27)

wawancara kepada subyek penelitian. Pada akhir bulan Juni penulis akan mengolah dan menganalisa data-data yang sudah didapatkan secara signifikan.

2. Data yang akan digali

a. Informasi tentang kondisi lingkungan dan masyarakat desa Wedi termasuk jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan mata pencaharian masyarakat.

b. Pendapat dan alasan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk menikah atau belajar dengan menyertakan faktor-faktor yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan mereka.

3. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah dari mana data dapat diperoleh.16 Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bersumber pada wawancara, penyebaran angket dan ditunjang dengan kepustakaan.

Berdasarkan data di atas, maka yang menjadi sumber data adalah: a. Sumber data primer yaitu:

Masyarakat sebagai pelaku, artinya pemuda pemudi yang memilih menikah dari pada belajar dan sebaliknya.

b. Sumber data sekunder, yaitu:

1) Kitab yang berkaitan dengan Masalah, yaitu:

16Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 129


(28)

a) Yusuf Qard{a>wi, Fiqh al-Awlawiyya>t, penerbit: Maktabah Wahbah.

b) Abu> Ish{a>q al-Sha>t{ibi>y, al-Muwa>faqa>t fi> Us{u>l al-Syari>‟ah, penerbit: Da>r al-Ma‟rifah.

c) Muhammad Sai>d Ramad}a>n al-But>}i>, d}awa>bit al-mashlahah fi Sha>ri>‟ah al-Isla>miyah, penerbit: Muassasah ar-Arisa>lah

d) Sa>lih bin Gha>nim al-Sadla>n, al-Qawa>‟id al-Fiqhiyah al-Kubra> wa al-Tafarru‟ „anha>,penerbit: Da>r al-Balansiah.

e) Muhammad Zuh{aili, Qawa>id Fiqhiyyah „ala> Madzhab al-H{anafi> wa al-Sya>fi‟i penerbit:Majlis al-Nashr al-Ilmi>.

4. Populasi dan Sampling

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah pemuda-pemudi desa Wedi. Istilah pemuda-pemudi didefinisikan remaja yang berusia antara 16 – 24 tahun.17 Sedangkan jika mengacu pada ketentuan dalam Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa batas usia minimal menikah adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.18 Berdasarkan keterangan tersebut maka peneliti menentukan populasi dalam penelitian ini adalah pemuda-pemudi desa Wedi yang berusia 19 – 24 tahun baik yang sudah menikah maupun belum menikah yang diperoleh dari data pemerintahan Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten

17Wikipedia, Youth, Terminology and Definitions dalam http://en.m.wikipedia.org/wiki/Youth,

(22 Mei 2014).

18 Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam

http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf&cd=1&ved=0CC4QFjAA&usg=AF


(29)

Sidoarjo yaitu sebanyak 257 orang yang terdiri dari 137 pemuda-pemudi yang telah menikah atau sebesar 53,3 % dari jumlah populasi dan 120 pemuda-pemudi yang belum menikah atau sebesar 46,7 % dari jumlah populasi.

Sampel merupakan sebagian atau wakil populasi yang diteliti, dalam penelitian ini pengambilan sampel berpedoman pada pendapat Suharsimi Arikunto, yang menyebutkan bahwa untuk sekedar ancer-ancer apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sehingga penelitian merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah lebih dari 100, maka dapat diambil 10% sampai 15% atau 20% sampai 25%.19 Oleh karena itu jumlah sampel pada penelitian ini ditentukan sebesar 10 % dari jumlah populasi, sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebesar 25,7 orang yang dibulatkan menjadi 26 orang, terdiri dari 14 orang pemuda-pemudi yang telah menikah atau sebesar 53,3 % dari jumlah sampel dan 12 orang pemuda-pemudi yang belum menikah atau sebesar 46,7 % dari jumlah sampel.

5. Teknik Pengumpulan Data

Idealnya dalam sebuah penelitian kualitatif terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang lazim digunakan, yaitu observasi berperan serta

(participant observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan

dokumentasi.20 Dalam penelitian kali ini penulis mengumpulkan data-data penelitian dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, 102 20Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, 63


(30)

a. Wawancara

Esterberg mendefinisikan interview/wawancara sebagai berikut: “Interview is a meeting of two persons to exchange information and idea trough question and responses, resulting and communication and joint construction of

meaning about of particular topic”. wawancara merupakan pertemuan dua orang

untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.21

Nasution mendefinisikan Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi atau percakapan antara dua orang lebih guna memperoleh informasi. Seorang peneliti bertanya langsung kepada subjek atau responden untuk mendapatkan informasi yang diinginkan guna mencapai tujuannya dan memperoleh data yang akan dijadikan sebagai bahan laporan penelitiannya.22 Wawancara berfungsi deskriptif yaitu melukiskan atau menggambarkan dunia nyata yakni suatu kehidupan seperti yang dialami oleh orang lain.23

Demikian halnya dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk mendapatkan data primer sebagai sumber data pokok. Yakni dengan cara terjun langsung kelapangan dan bertemu langsung dengan para pemuda pemudi desa Wedi yang masuk dalam kategori memilih menikah dari pada melanjutkan belajar dan sebaliknya, Data-data yang dikumpulkan dengan metode wawancara dalam penelitian ini adalah seputar faktor-faktor penyebab mengapa pemuda pemudi

21Sugiyono, Memahami, 72.

22S. Nasution, Metode Recearch (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 113. 23S. Nasution, Metode Recearch, 114.


(31)

desa Wedi memilih menikah dan tidak melanjutkan belajar, serta mengapa ada juga dari sebagian mereka yang memilih belajar dan menunda menikah, kemudian bagaimana efek yang terjadi setelah memutuskan pilihan tersebut, serta bagaimana hukum Islam dalam arti fikih tentang menikah dan belajar setelah mempertimbangkannya dengan mas{lah{ah, mana yang lebih diprioritaskan.

b. Kuesioner (Angket)

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Pada penelitian ini penulis menggunakan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh responden, hal ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pola pikir memilih menikah dan memilih belajar.

c. Kajian pustaka

Yaitu dengan mengkaji kitab-kitab tentang fikih menikah Abdul Wahab Khalaf, Sayyid T{ant{a>wi, dan Amin Abd al-Ma’bu>d Zaghlu>l. Fikih prioritas Yusuf Qard{a>wi, konsep mas}lah}ah Sai>d Ramada} >n al-Bu>t{i>, Sha>t{ibi, >dan juga mengkaji tentang qawa>‟id fiqhiyyah Muh{ammad Zuh{ayli untuk mempertimbangkan fikih prioritas antara kedua masalah yang penulis angkat.


(32)

6. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh gambaran secara jelas mengapa masyarakat desa Wedi khususnya pemuda pemudi memilih menikah dan tidak melanjutkan belajar dan yang sebaliknya, kemudian mengelompokkan dan menganalisanya dengan fikih prioritas dengan meninjau mas{lah{ahnya.

Adapun alasan-alasan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif ini karena masalah penelitian belum begitu jelas, Sehingga untuk mendapatkan informasi dan data peneliti langsung masuk ke obyek atau subyek penelitian. Dengan berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai responden. Dengan kualitatif, kebenaran data yang telah diperoleh akan dapat lebih dipastikan. Karena peneliti akan langsung berinteraksi dengan subyek penelitian.24

Dengan analisis data kualitatif ini penulis ingin mengetahui, menilai dan menganalisis dari fikih prioritas segi mas{lah{ahnya di desa Wedi, secara terperinci. Penarikan kesimpulan dilakukan dalam maksud untuk mengambil hipotesis yang kemudian akan ditindak lanjuti dengan mengumpulkan data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan lagi. Proses ini dilakukan secara berulang-ulang hingga titik kulminasi kejenuhan dan akurasinya kemudian disusun secara naratif sesuai keseluruhan hasil penelitian yang telah dilakukan.


(33)

G. Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan ini tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan dan lebih sistematis susunannya, peneliti membaginya dalam lima bab yang sistematikanya sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang mengupas tentang latar belakang masalah mengenai fikih prioritas antara melanjutkan studi dan menikah, serta beberapa alasan mengapa masalah ini perlu kami bahas dan kami teliti. Agar masalah ini tidak melebar ke mana - mana, maka kami buat rumusan masalah yang berisi hal-hal apa sajakah yang perlu kami bahas dalam masalah ini. Kajian pustaka tentang hukum asal menikah dan mencari ilmu yang kemudian dihubungkan dengan kajian fikih prioritas antara keduanya dan mas{lah{ah yang terkandung dengan memprioritaskan belajar. Tujuan penelitian, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tinjauan umum tentang pernikahan menurut Islam yang meliputi pengertian pernikahan menurut agama Islam, dasar-dasar hukum pernikahan, syarat dan rukun dalam pernikahan. Penulis juga akan memaparkan pengertian ilmu beserta dalil-dalil baik dari al-Qur’an maupun hadith yang mengarahkan pada urgensi ilmu dan orang-orang yang mempelajarinya, serta pengertian mas}lah}ah secara bahasa dan istilah, pengertian mas}lah}ah dari berbagai pandangan ulama, macam-macam mas}lah}ah dan mas}lah}ah yang valid secara syar’i, pertentangan antara maslahat dan mafsadah, dan qawa>id fiqhiyah.


(34)

Bab ketiga berisi uraian tentang laporan hasil penelitian meliputi implementasi menikah pada pemuda pemudi Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo dengan menyertakan beberapa argument masyarakat yang melatarbelakangi pola pikir dan tindakan mereka dalam hal lebih memilih menikah dari pada melanjutkan belajar dan yang sebaliknya.

Bab keempat berisi analisis terhadap tradisi menikah pada pemuda pemudi yang berdomisili di Desa Wedi yang menomor duakan atau bahkan tidak sama sekali memberi prioritas pada masalah keilmuan, dan yang lebih memilih melanjutkan studinya ditinjau dari fikih prioritas dan mempertimbangkan kandungan mas{lah{ah dan mafsadah masalah tersebut.

Bab kelima penutup meliputi kesimpulan terhadap pembahasan di atas beserta analisisnya dan beberapa saran dari penulis kepada para cendekiawan, juru dakwah, tokoh masyarakat dan kepada masyarakat desa Wedi kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo.


(35)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pernikahan Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Pernikahan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “ kawin” yang menurut bahasa artinya penyatuan dalam bersetuah; melakukan pernikahan, pertalian antara laki-laki dan perempuan dalam nikah.25

Pernikahan menurut istilah sama dengan perkawinan dalam ilmu fikih yaitu

جاوزلا

و حاكنلا

. Kata al-nika>h{ memiliki arti yang sama dengan al-zawa>j. Kata

al-nika>h lebih sering dipakai di dalam Al-Qur’a>n seperti yang tertulis pada firman

Allah pada surat al-Baqarah ayat 235, sebagai berikut:







































































“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”26

25Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Appolo, 1997), 11. 26Kementrian Agama RI, Alqur’a>n Terjemahan, 53.


(36)

Syekh Azhar Muhammad Sayyid Tantawi dalam bukunya menyatakan bahwa :

ةغللا ى ان م جاوّزلا ظ ل

:

نارقإا و امضنإا و عامت إا

.

27

“Nikah menurut pengertian bahasa adalah berkumpul, bergabung, dan berdekatan”.

Al-Zawa>j secara bahasa berarti mendekatkan satu hal dengan yang lain

dan mengumpulkan keduanya setelah keduanya saling berjauhan.28 Sehingga bisa disimpulkan bahwa kata al-zawa>j berarti mendekatkan seorang laki-laki dengan perempuan dan keduanya saling terikat selama-lamanya.

Seperti firman Allah pada surat al-Sa>ffa>t ayat 22, sebagai berikut:





























“ Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah.”29

Bahwa kata

"

جاَوْزَأ

"

di atas dimaksud dengan teman, sahabat karib, atau sahabat dekat.

Sayyid Sa>biq dalam Fikih Sunnah mendefinisikan nikah sebagai akad yang menjadikan halalnya menggapai kenikmatan bagi masing-masing suami istri atas dasar ketentuan yang disyari‟atkan Allah SWT.30

Sedangkan beberapa ulama fikih masing-masing memiliki pengertian tentang pernikahan sesuai dengan tujuan menikah itu sendiri, di antaranya:31

27Muhammad Sayyid Tantawi, Al-Fiqh al-Muyassar (Kairo: t.p., 2001), 321. 28Amin Abd Zaghlu>l, Ah{ka>m al-Usrah, 26.

29 Kementrian Agama RI, Alqur’a>n Terjemahan, 709.

30Al-Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, juz II (Kairo: Da>r al-Fath{ li al-Ila>m al-„Arabiy, 1999), 5. 31Amin Abd Zaghlu>l, Ah{ka>m al-Usrah, 27.


(37)

a. H{anafiyah

Sebuah akad yang sengaja dibuat agar orang laki-laki bisa mengambil kesenangan dari seorang perempuan.

b. Selain ulama>‟ H{anafiyah

Sebuah akad yang sengaja dibuat oleh syari‟at yang bertujuan untuk menghalalkan suami istri “ bersenang-senang” sesuai dengan syari‟at.32 Adapun beberapa hikmah menikah menurut Amin Zaghlu>l antara lain:

1) Menghibur diri setelah mengalami kebosanan hidup sendiri.

2) Dengan menikah, suami istri bisa mempelajari beberapa sifat terpuji di antaranya; menyayangi orang lain, mengetahui mana hak dan mana kewajibannya.

3) Menjaga keturunan.

4) Suami dan istri bisa saling menenangkan dan menenteramkan hati. 5) Suami istri halal mengambil “ kesenangan” satu sama lain.

2. Hukum pernikahan

Terlepas dari beberapa pandangan ulama fikih mengenai definisi dan tujuan menikah, menikah hukumnya adalah sunnah menurut jumhu>r al-„ulama>‟,

sedangkan menurut al-Dza>hiriyyah, menikah hukumnya wajib.33

32Amin Abd Zaghlu>l, Ah{ka>m al-Usrah, 27.

33 Ibn Rushd al-Qurt{u>by, Bida>yah al-Mujtahid, juz II, (Beirut: Da>r al-Kutub al-„Ilmiyah, t.th.),


(38)

Perbedaan pendapat para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum menikah dapat berubah sesuai dengan „illah34 hukumnya. Adapun lima tingkatan hukum tersebut yaitu:35

a. Wajib

Jika seorang mukallaf sudah terhitung mampu menafkahi istri dan keluarganya kelak dan khawatir bahwa dirinya akan terjerumus dalam perzinaan jika tidak menikah.

b. Fard{lu

Jika seorang mukallaf sudah terhitung mampu menafkahi istri dan keluarganya kelak dan yakin bahwa dirinya akan terjerumus dalam perzinaan jika tidak menikah.

c. Sunnah

Jika seorang mukallaf sudah terhitung mampu menafkahi istri dan keluarganya kelak, tidak khawatir dan bahkan meyakini bahwa dirinya tidak akan terjerumus dalam perzinaan meskipun tidak menikah.

d. Haram

Jika sudah dipastikan dan meyakini bahwa jika dia menikah, tidak bisa menafkahi dan akan menzalimi pasangannya.

34 Illat adalah sesuatu yang ditetapkan pada hukum ashal (pokok) dan dihubungkan atau

disamakan hukum tersebut dengan furu‟ (cabang). Lihat Alaiddin Kotto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 91.

35 Abdul Wahab Khalaf, Ah{ka>m al-Ah{wa>li al-Shakhs{iyyah fi> Shari>‟ah al-Isla>miyyah (Kuwait: Da>r


(39)

e. Makruh

Jika khawatir jika dia menikah, akan menzalimi pasangannya.

3. Dasar hukum pernikahan

Pernikahan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup dan perkembangannya, untuk itu Allah melalui utusan-Nya memberikan suatu tuntutan mengenai pernikahan ini sebagai dasar hukum. Adapun dasar pernikahan dalam Islam adalah firman Allah dalam al-Qur‟a>n diantaranya :

Firman Allah dalam surat an-Nu>r ayat 32 :

























































“kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”36

Dan firman Allah pada surat al-Nisa>‟ ayat 3 :








































































(40)

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”37

Firman Allah dalam surat al-Ru>m ayat 21 :























































“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”38

Dalam hadith Nabi telah menyebutkan bahwa anjuran menikah berlaku bagi siapapun yang sudah mampu, dengan menikah umat Islam diharapkan dapat menyempurnakan separuh dari agamanya dan dapat menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Dengan melaksanakan pernikahan, maka seseorang diharapkan agar lebih menjaga diri dan kehormatannya.

َيِضَر َِا ِدْبَع َعَم يِشْمَأ َََأ اَنْ يَ ب َلاَق َةَمَقْلَع ْنَع َميِاَرْ بِإ ْنَع ِشَمْعَْْا ْنَع َةَزََْ َِِأ ْنَع ُناَدْبَع اَنَ ثدَح

ِرَصَبْلِل ضَغَأ ُهنِإَف ْجوَزَ تَ يْلَ ف َةَءاَبْلا َعاَطَتْسا ْنَم َلاَقَ ف َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص ِِّبنلا َعَم انُك َلاَقَ ف ُهْنَع َُا

ٌءاَ ِو ُهَل ُهنِإَف ِ ْ صلِ ِهْيَلَ َ ف ْعِطَتْ َ َْ ْنَمَو ِجْرَ ْلِل ُنَصْحَأَو

39

Telah menceritakan kepada kami 'Abdan dari Abu Hamzah dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah berkata; Ketika aku sedang berjalan bersama 'Abdullah radliallahu 'anhu, dia berkata: Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang ketika itu Beliau bersabda: "Barangsiapa yang sudah mampu (menafkahi keluarga), hendaklah dia

37Kementrian Agama RI, Alqur’a>n Terjemahan, 111. 38Ibid., 234.

39 Muh{ammad ibn „Isa> ibn Saurah ibn Mu>sa> ibn al-Dah{ {a>k al-Tirmidhi, Al-Ja>mi‟ al-S{ah{i>h{Sunan al-Tirmidhi, Vol III. (Mesir: Maktabah wa Mat}ba‟ah Must}afa> al Babi al H}alabi>, 1975), 382.


(41)

kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup (menikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng baginya”.

َِِأ ْنَع ِلاَمِّشلا َِِأ ْنَع ٍل ُحْكَم ْنَع ِجاجَْْا ْنَع ٍثاَيِغ ُنْب ُصْ َح اَنَ ثدَح ٍعيِكَو ُنْب ُناَيْ ُس اَنَ ثدَح

ُكاَ ِّ لاَو ُرطَ تلاَو ُءاَيَْْا َنِلَسْرُمْلا ِنَنُس ْنِم ٌعَبْرَأ َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َِا ُل ُسَر َلاَق َلاَق َب َأ

ُحاَكِّنلاَو

40

“Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Al Hajjaj dari Mahkul dari Abu Asy Syimal dari Abu Ayyub berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Empat hal yang termasuk sunnah para rasul: malu, memakai wewangian, siwak, dan nikah.”

4. Syarat dan Rukun Nikah

Menurut UU perkawinan bab 1 pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa, perkawinan itu dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan masing-masing kepercayaannya itu.41

Bagi umat Islam, perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan Islam, suatu akad perkawinan dipandang sah apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh hukum Shar‟.

40Muh{ammad ibn „Isa> ibn Saurah ibn Mu>sa> ibn al-D{ah{a>k al-Tirmidhi, Al-Ja>mi‟ al-S{ah{i>h{Sunan al-Tirmidhi, Vol III. (Mesir: Maktabah wa Mat}ba‟ah Must}afa> al Babi al H}alabi>, 1975), 383. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari 'Utsman, Tsauban, Ibnu Mas'ud, Aisyah, Abdullah bin 'Amr, Abu Najih, Jabir dan 'Akkaf." Abu Isa berkata; "Hadits Abu Ayyub merupakan hadits hasan gharib. Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khidays Al Baghdad telah menceritakan kepada kami 'Abbad bin Al Awwam dari Al Hajjaj dari Makhul dari Abu Asy Syimal dari Abu Ayyub dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits Hafs." Abu Isa berkata; Husyaim, Muhammad bin Yazid Al Wasithi, Abu Mu'awiyah dan yang lainnya meriwayatkan hadits ini dari Al Hajjaj dari Makhul dari Abu Ayyub dan mereka tidak menyebutkan di dalamnya dari Abu Asy Syimal. Hadits Hafs bin Ghiyats dan 'Abbad bin Al Awam yang lebih sahih."

41 Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam

http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf&cd=1&ved=0CC4QFjAA&usg=AF QjCNG1ha9IUsU-w2qGJSrcM-L-HxFHzQ, (22 Mei 2014).


(42)

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara pernikahan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Dalam arti pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun.

Rukun akad perkawinan ada lima, yaitu :42

a. Adanya mempelai putra (suami), syarat-syaratnya : 1) Beragama Islam

2) Jelas laki-laki 3) Tertentu orangnya.

4) Tidak sedang berihram haji/umrah.

5) Tidak mempunyai istri empat, termasuk istri yang masih dalam menjalani iddah talak raj'iy.

6) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan mempelai perempuan, termasuk istri yang masih dalam menjalani iddah thalak

raj'iy.

42 ‘Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, Al-Fiqh ‘ala> Madza>hib al-Arba’ah, (Kairo: Da>r ibn Haitham, 2003),


(43)

7) Tidak dipaksa

8) Calon istri bukan mahramnya sendiri b. Adanya mempelai putri (istri), dengan syarat :

1) Calon suami bukan mahramnya sendiri 2) Suaminya jelas (tertentu)

3) Terbebas dari larangan menikah c. Adanya wali nikah dengan syarat :

1) Tidak karena dipaksa 2) Laki-laki

3) Baligh 4) Berakal

5) Harus yang adil dan bukan seorang yang fasiq

6) Bukan yang mah}ju>r „alaih (dilarang bertransaksi) karena kebodohan atau atau ketidaktahuannya

7) Bukan yang kehilangan penglihatan

8) Bukan yang menyimpang dari agama Islam 9) Bukan juga seorang budak

d. Adanya dua orang saksi dengan syarat : 1) Merdeka

2) Laki-laki 3) Adil


(44)

e. S}i>ghah dengan syarat :

1) Pembicaraan (Khit}a>b) ditujukan kepada kedua belah pihak yang sedang melakukan akad

2) Khit}a>b harus dengan kalimat sedang mengajak orang lain bicara ( بطاخ لا ل ج)

3) Harus menyebutkan jumlah harga atau mahar (wali)

4) Al-„A>qida>ni (wali dan suami) harus sama-sama memiliki niat

(maksud) memiliki dan mengambil alih kepemilikan

5) Saat ijab kabul tidak boleh diselahi dengan perkataan orang lain 6) Saat ijab kabul tidak boleh diselahi dengan diam yang lama, karena

hal tersebut seolah menunjukkan bahwa suami enggan untuk menerima ijabnya

7) Ijab tidak boleh berubah hingga suami menerima ijabnya

8) Perkataan kedua belah pihak harus bisa didengar oleh para tamu yang hadir, di sekitar tempat ijab kabul

9) Antara ijab dan kabul harus sesuai

10)Tidak menghubung-hubungkan antara s}i>ghah dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan beberapa syarat sebelumnya

11)Tidak boleh membatasi dengan waktu

12)Perkataan “qabu>l” harus diucapkan oleh orang yang diajak bicara (suami) saat itu juga oleh wali


(45)

13)Antara ijab dan kabul harus saling bersambung (terus menerus dan tidak terputus)

Syarat akad pernikahan :

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak atau menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walau sangat dekat dengannya.

Calon mempelai laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun, jumlah, bentuk, dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan hukum di dalam al-Qur‟a>n maupun hadith, mengenai jumlah maksimal dan jumlah minimal pemberian mahar dari calon mempelai.

Mahar bukanlah rukun dalam pelaksanaan pernikahan melainkan salah satu syarat sahnya suatu hubungan dalam pernikahan.

Menurut Sayyid Sa>biq43, mahar adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh seorang mempelai pria dengan sebab nikah atau watha‟. Penyebutan mahar hukumnya sunnat, baik dari segi jumlah maupun bentuk barangnya dalam suatu akad perkawinan. Apapun barang yang bernilai adalah sah untuk dijadikan mahar.

43Al-Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 7.


(46)

Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri atas dasar hukum yang diambil dari al-Qur‟a>n dan dasar hukum dari As-Sunnah dilengkapi oleh pendapat ulama tentang kewajiban membayar mahar oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan.

Dalam al-Qur‟a>n, surat An-Nisa ayat 4, Allah SW. berfirman :









































“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang

sedap lagi baik akibatnya.”44

Ayat di atas menyebutkan “Mahar” dengan istilah “s}ida>q” yang dimaknakan sebagai pemberian yang penuh keikhlasan.

Dalam surat an-Nisa>’ ayat 25, Allah SWT. berfirman sebagai berikut : ……





















…….

“Oleh Karena itu, kawinilah mereka dengan seizin tuan meraka dan berikanlah maskawin mereka menurut yang patut”.45

Dalam ayat di atas digunakan istilah ajrun atau ujurahun. Istilah tersebut yang makna asalnya upah, dalam konteks ayat itu bermakna mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, yang di samping harus atas izin tuannya, juga harus dibayar maharnya. Dengan semikian, dalam konteks hak atas mahar, tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan

44 Kementrian Agama RI, Alqur’a>n Terjemahan, 111. 45 Ibid., 117.


(47)

perempuan tersebut dapat pula dipahami bahwa dari sisi kesetaraan gender, Islam telah melakukannya secara adil, terutama dalam upaya membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan sosial budaya.

Demikian pula, dalam surat an-Nisa>’ ayat 20-21, Allah SWT berfirman :

ِۡ

ُ ܆د َ

َ

ٱ

َا َ ۡ ِ ۡ

ٖ ۡ َ

َِ َ ܅

ٖ ۡ َ

ۡ ُ ۡ َا َ َ

܅ ُ ٰ َ ۡ ِ

اٗ ا َطنِق

َ َ

ْ

ُ ُ

ۡ

َا

ُ ۡنِ

ۡ َ

ًت ۚ

ُ َو ُ ُ

ۡ

َا

َ

ۥ

اٗنٰ َ ۡ ُب

اٗمۡث

اٗن ِ ܆

َ ۡ َ َ

ُ َو ُ ُ

ۡ

َا

ۥ

ۡ َقَ

ٰ َ ۡ

َ

ۡ ُ ُ ۡ َب

ٰ

َ

ِ

ٖ ۡ َب

َِۡ َ

َ

َ

ُ نِ

اًقٰ َ ِ

ا ٗظ ِلَغ

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.46

Dalam surat al-Baqarah ayat 237 disebutkan :













































































































“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Fikih menikah dan fikih belajar digunakan sebagai salah satu aplikasi yang relevan dengan konsep fikih prioritas yang mana pada penelitian ini hasilnya ditinjau dari segi mas}lah}ah}nya.

2. Menurut analisa dengan metode deskriptif kualitatif, peneliti menyimpulkan bahwa masyarakat desa Wedi kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo dengan berkembangnya ilmu dan teknologi yang ada, berkembang pula pemikirannya. Penelitian tahun 2014 masyarakat desa Wedi lebih banyak memilih melanjutkan studi sebesar 60 % dari 30 responden dengan beberapa alasan, diantaranya 14 memilih alasan mengejar cita-cita, 3 memilih alasan karena permintaan orang tua dan 1 memilih alasan lainnya. Adapun pemuda pemudi yang memilih menikah sebesar 40 % dengan alasan 7 pemuda pemudi tidak memiliki biaya, 1 tidak adanya kemauan untuk melanjutkan studi dan 4 pemuda pemudi memilih alasan lainnya.

B. Saran

Penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tesis ini sebaik mungkin. Namun tetap saja ada kekurangan serta kelalaian penulis. Oleh karena itu, penulis menyarankan beberapa hal, yakni :


(2)

1. Penelitian ini bersifat kualitatif, padahal di dalam penelitian ini juga membahas data-data yang bersifat kuantitatif, oleh karena itu diharapkan adanya tindak lanjut penelitian ini yang bersifat kuantitatif agar penelitian yang dikaji lebih komprehensif.

2. Penulis menyarankan kepada semua kalangan khususnya para juru dakwah dan tokoh masyarakat desa Wedi kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo, agar lebih memperhatikan dan sekaligus memberi pemahaman khusus kepada masyarakat setempat tentang fikih prioritas demi terwujudnya pengamalan ajaran Islam yang berkualitas dan relevan menurut ruang dan zamannya.

3. Dikarenakan pembahasan mengenai fikih prioritas terbilang baru dan masih belum banyak tersosialisasikan di Indonesia, penulis mengajak kepada para akademisi untuk membaca lebih lanjut wacana seputar fikih prioritas dan membuka dialog-dialog ilmiah, termasuk perbincangan mengenai pengembangan teori-teori maqa>s}id shari>’ah yang memiliki prospek positif dalam menciptakan kebaikan umat.


(3)

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

_____________________, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2013. _____________________, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Alwa>ni> (al), Ta>ha Ja>bir, Maqa>s}id al-Shari>’ah, Beirut: Da>r al-Hadi>, 2001.

Azdi (al), Abu> Daud Sulayma>n ibn Ish}a>k ibn Bashi>r ibn Shida>d ibn „Amr, Sunan Abu> Daud, Vol III. Beirut: Maktabah al-„As}riyah, t.th.

Badakhshi> (al), Muh}ammad ibn al-H}asan Mana>hij al-‘Uqu>l fi> ‘Ilm al-Us}u>l,

Beirut: Da>r al-Fikr, 2000.

Baqi>’ (al), Muh}ammad Fu’a>d ‘Abd al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Alqur’a>n

al-Kari>m, Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>t hal-‘Arabi>, t.th.

Bukha>ri>> (al), Muh}ammad ibn Isma>’i>l Abu> ‘Abdulla>h al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h al-Mukhtas{ar (S}ah}i>h} al-Bukha>ri>), Ju>z 1, Beirut, Da>r ibn Kathi>r, 1987.

Bu>t}i (al), Muhammad Sa’i>d Ramada>n, Dawa>bit al-Mas}lah}ah fi al-Syar>‘ah al

-Isla>miyyah, Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1421 H/2000 M.

Da>rimi (al), Abdulla>h ibn Abd al-Rah{man Abu> > Muh{ammad, Sunan al-Da>rimi,Vol I, Beirut: Da>r al-Kita>b al-„Arabi>, t.th.

Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya: Appolo, 1997.

Fad}lullah, Mahdi, al-Aql wa al-Shari’ah, Beirut: Da>r al-T}ali>’ah, 1995.

Ghaza>liy (al), Abi> Ha>mid, Ihya{ >’ ‘ulu>mu al-Di>n, Kairo: Ba>b al-Isa al-Halabi, 1975. __________, al-Mawqi’ al-Fikri> wa al-Ma’a>rik Fikriyyah, Kairo: Da>r al-Sala>m, 2009.

Ghaza>lin> (al), Muh}ammad, Kaifa Nata’a>mal ma’a al-Qur’a>n, Kairo: Nahd}ah

Misr, 2005.

Hila>li>, Majdi>, Min Fiqh al-Awlawiyya>t fi> al-Isla>m, Kairo: Da>r al-Tawzi>’ wa al -Nashr al-Isla>miyyah, 1994.


(4)

‘Ima>rah, Muh}ammad, Shakhs}isya>t Laha> Ta>rikh, Kairo: Da>r al-Sala>m, 2008.

Ishbah, Muhammad Taqi, Importance of Problems of World View, terj. Zainal Abidin dalam al-Hikmah, Voll III, No. 3 Juli-Oktober, 1991.

Jazi>ri> (al), ‘Abd al-Rah}ma>n, Al-Fiqh ‘ala> Madza>hib al-Arba’ah, Kairo: Da>r ibn Haitham, 2003.

Kemenag, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf&cd=1&ved= 0CC4QFjAA&usg=AFQjCNG1ha9IUsU-w2qGJSrcM-L-HxFHzQ, (22 Mei 2014).

Khallaf, Abdul Wahab, Ah{ka>m al Ah{wal al Shakhs> {iyyah fi> shari>’at al Isla>miyyah,

Kuwait: Da>r al Qalam, 1990.

Khashami> (al), ‘A>jil, al-Tadarruj fi> Tat}bi>q al-Ah}ka>m al-Shar’iyyah, (Kuwait,

Ja>mi’ah al-Kuwayt, 1993.

Kotto, Alaiddin, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Madku>r, Ibra>hi>m, al-Mu’jam al-falsafi>, Kairo: al-Hay’ah al-‘A>mmah li Shu’u>n

al-Mat}a>bi’ al-Ami>riyyah, 1983.

Mariniy (al), Al-Jila>liy, Al- Qawaid al-Usuliyah ‘inda al-Ima>m al-Sha>tibi min

Hi}la>l Kita>bih al-Muwa>faqa>t , Kairo: Da>r Ibnu Affa>n, 2001.

Manz{u>r, Ibn., Muhammad ibn Mukrim, Lisa>n al-‘Arab, Vol 4. Kairo: Da>r al-Ma‟rifah, t.th.

Mas‟ud, Muhammad Khalid, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq

al-Shatibi’s Life and Thought, Islamabad: Pakistan Islamic Research Institute, t.th.

Namlah (al), Abdul Kari>m bin ‘Ali bin Muhammad, Itha>f Dzawi al-Bas}a>’ir,

(Riya>d}: Da>r al-‘A>s}imah, 1996.

Nasution, S., Metode Recearch (Penelitian Ilmiah), Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Qard{a>wi, Yusuf, Fiqh al-Awlawiyya>t, Kairo: Maktabah Wahbah, 1996.

_____________, al-S}ah}wat al-Isla>miyyah bayna al-Juh}u>d wa al-Tat}arruf, Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2001.


(5)

Qard{a>wi, Yusuf, al-S}ah}wat al-Isla>miyyah min al-Mura>haqah ila> al-Rushd, Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2006.

_____________, Fiqh al-Awlawiyya>t; Dira>sah Jadi>dah fi Daw’i al-Qur’a>n wa al-Sunnah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005.

_____________, Taysi>r al-Fiqh li al-Muslim al-Mu’a>s}r fi> D}aw’i al-Qur’a>n wa al-Sunnah, cet. II, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004.

_____________, Kaifa Nata’a>mal ma’a al-Sunnat Nabawiyyah, Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2002.

_____________,_Awlawiyya>t al-H}arakah al-Isla>miyyah fi> marh}alat al-Qa>dimah, t.t., t.p., t.th.

Qazwi>ni (al), Muh{ammad ibn Yazi>d Abu> „Abdulla>h, Sunan ibn Ma>jah, Vol I. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.

Qurt{u>by (al), Ibn Rushd Bida>yat al-Mujtahid, Vol. 2. Beirut: Da>r Kutub al-„Ilmiyah, t.th.

Ramada>n al-Bu>t}i, Muhammad Sa‟i>d, Dawa>bit al-Mas{lah}ah fi al-Syari>‘at al-Isla>miyyah, Beirut: Mu‟assasah al-Risa>lah, 2000.

Ru>shah, Kha>lid al-Sayyid, Lazzat al-‘Iba>dah, Iskandariyah: Da>r al-S}afa> wa al-Marwah, 2005.

Sa>biq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, juz II, Kairo: Da>r al-Fath{ li al-I‟la>m al-„Arabiy, 1999.

Sadla>n (al), Sa>lih bin Gha>nim, al-Qawa>’id al-Fiqhiyat al-Kubra> wa al-Tafarru’ ‘anha>, Riyadh: Da>r al-Balansiah, 1418 H.

Sala>m (al), Al-‘Izz bin Abd, al-Qawa>’id al-S}ughra>, Damaskus: Da>r al-Fikr, 1996.

________, Qawa>’id al-Ahka>m fi> Isla>h al-Ana>m, Damaskus: Da>r al-Qalam, t.th.

Sha>t{ibi> (al), Abu Isha>q, al-Muwa<faqa>t fi> Us{u>l al-Shari>’ah, Beirut, Da>r al-Ma’rifah, 1975.

________, al-Muwa>faqa>t, Kairo: Da>r al-Hadith, 2006.

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2008.

________, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2014.


(6)

Tantawi, Muhammad Sayyid, Al-Fiqh al-Muyassar, Kairo: t.pn., 2001.

Tirmidhi (al), Muh{ammad ibn „Isa> ibn Saurah ibn Mu>sa> ibn al-D{ah{a>k, Al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h{ Sunan al-Tirmidhi, Vol V. Beirut: Da>r Ih{ya>‟ Tura>th al-„Arabiy, t.th.

_________, Al-Ja>mi’ al-S{ah{i>h{ Sunan al-Tirmidhi, Vol III. Mesir: Maktabah wa Mat}ba‟ah Must}afa> al Babi al H}alabi>, 1975.

_________, Al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h} Sunan al-Tirmidhi,Vol IV.Beirut: Da>r Ghurb al-Isla>miy, 1998.

Umar (al), Na>s}iri bin Sulayma>n, Fiqh al-Wa>qi’, t.t.: t.p., t.th.

Waki>li> (al), Muh}}ammad, Fiqh al-Awlawiyya>t Dira>sah fi> al-D}awa>bit, cet. I,

Hendon-Virginia : The International Institute of Islamic Tought, 1997.

Wikipedia, “Youth, Terminology and Definitions” dalam http://en.m.wikipedia.org/wiki/Youth, (22 Mei 2014).

Yu>nus, Muhammad, Tajdi>d al-Fikr al-Isla>mi ‘ala> Masha>riq Qarn Jadi>d Qira>’ah fi> Tajribat al-Shaykh Muh}ammad al-Ghaza>li>, Kairo: Da>r al-Qalam, 1999.

Zarnu>ji (al), Ta’li>m al Muta’allim, Surabaya: Alhidayah, t.th.

Zaghlu>l, Amin Abd al-Ma‟bu>d, Ah{ka>m al-Usrah fi> al-Tashri>’ al-Isla>miy, Mesir: Da>r al-Andalu>s li al-Thaba>‟ah, 2007.

Zuh{aili, Muhamammad al-Qawa>id al-Fiqhiyyah ‘ala> al-Madzhab al-H{anafi> wa al-Sya>fi’i>, Kuwait: Majlis al-Nashr al-Ilmi>,2004.

Zuh}ayli (al), Muh}ammad Mus}t}afa,> al-Tadarruj fi> al-Tashri>’ wa al-Tat}bi>q fi>

al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, Kuwait: Lajnah al-Istisha>riyyah al-‘Ulya> li