TELAAH KONSEP PEMIKIRAN TAN MALAKA DALAM POLITIK PENDIDIKAN BERKARAKTER KE-INDONESIAAN PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM.

(1)

SKRIPSI

Oleh:

Fajar Rotin Fitriyah

NIM.D31212102

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2016


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Tarbiyah dan Keguruan

Oleh:

Fajar Rotin Fitriyah

NIM. D31212102

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2016


(3)

tangan di bawah ini saya:

\ama

\IM

Fakultas / prodi

Judul Skripsi

Dengan sungguh-sungguh adalah hasil penelitian atau

dirujuk sumbernya.

: Fajar Rotin Fitriyah

: D31212102

: Pendidikan Agama Islam

: Telaah Konsep pemikiran Tan Malaka

dalam politik

Pendidikan Berkarakter Ke_Indonesiaan perspektif

Pendidikan Islam

menyatakan bahwa SKRIpSI

ini

secara keseluruhan

karya saya sendiri, kecuali pada bagian_bagian yang

Surabaya, 23 Desemb er 2015 Saya yang menyatakan


(4)

I

F,.\],\R ROTIN FITRIYAH

D3t212102

TI]LAAH

KONSEP PEMIKIRAN

TAN

MALAKA

DALAM

P OLITIK PENDIDIKAN BERKARAKTER

K.E_ INDONESIAAN PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

:-: l.l:rh diperiksa dan disetujui untuk diujikan

Surabaya, 23 Desembet 2015

Pembirnbing,

'#

t'kq'

Dr.Rubeidi-Lrl.:\g

NIP.1 97 106102000031 003


(5)

Mengesahkan

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Sunan

Alpel

Surabaya

Penguji

\

61 98903 1 003

NIP: 1971061 00003 I 003

s1989031001

Drs. H. Actwradh,aini"MA


(6)

vii

Pendidikan Islam. Ada dua pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini : (1) Konsep pemikiran Tan Malaka dalam politik pendidikan berkarakter ke-Indonesiaan (2) Bagaimana perspektif pendidikan Islam dalam melihat konsep pemikiran Tan Malaka dalam politik pendidikan berkarakter ke-Indonesiaan.

Jenis penelitian ini menekankan Riset Perpustakaan (library research) dengan metode intepretasi, dan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan konsep pemikiran Tan Malaka dalam politik pendidikan berprinsip kerakyatan sebagai landasan filosofis dalam praksis pendidikan. Dalam konsep Tan Malaka bahwa pendidikan tak dapat terpisah dalam mempelajari hakekat realita yang merupakan pusat dari setiap konsep pendidikan. Mendidik murid mempunyai kemandirian dalam berkarya, membentuk kepribadian tangguh, percaya diri dalam segala hal dan rasa tanggung jawab. Dan berorientasi ke bawah, artinya mendidik murid untuk mencintai kaum kromo dan pekerjaannya (bertani, berladang, bertukang).

Sosok Tan Malaka dikenal sebagai tokoh komunis tulen, namun apabila dilihat kembali visi pendidikan yang ingin ditanamkannya sangat mendekati tujuan pendidikan Islam dimana tujuan pendidikan Islam yaitu untuk menciptakan manusia yang mempunyai akhlakul karimah dan menjadi insan kamil. Meskipun seperti dikatakan oleh Poeze bahwa sekolah rakyat didirikan oleh Tan Malaka tersebut hasil dia berkelana ke Belanda dan Rusia. Namun teryata itu tidak sepenuhnya, pendidikan pesantren tradisional ala Nahdliyin juga menginspirasi bagi pendirian sekolah rakyat yang didirikan Tan Malaka tersebut. Selain pola pendidikan berasrama yang diperuntukkan bagi kaum tidak mampu, hal yang juga mengispirasi Tan Malaka adalah peran Mbah Hasyim dalam menanamkan benih-benih kemandirian. Secara tersirat konsep politik pendidikan berkarakter Tan Malaka dengan pendidikan Islam dapat dikembalikan pada dimensi teosentris, yaitu seruan untuk membaca (iqra’), membaca diri sendiri atau andir (analisis diri), dan membaca alam sekitar atau ansos (analisis sosial). Dan ini dalam pendidikan Islam merupakan fungsi paling utama.


(7)

xi

Sampul Dalam ... i

Pernyataan Keaslian ... ii

Lembar Persetujuan Pembimbing ... iii

Lembar Persetujuan Dan Pengesahan ... iv

Motto ... v

Persembahan ... vi

Abstrak ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... xi

Pedoman Transliterasi ... xv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 18

C.Tujuan Penelitian ... 19

D.Kegunaan Penelitian ... 19

E.Penelitian Terdahulu ... 20

F. Definisi Operasional ... 23

G.Sistematika Pemabahasan ... 26

BAB II KAJIAN TEORI A.Pemikiran Pendidikan Islam ... 28


(8)

xii

BAB III SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRAN TAN MALAKA

A.Biografi Sosial Tan Malaka ... 51

1. Masa Pendudukan Belanda (1898-1942) ... 54

2. Masa Pendudukan Jepang (1942-1948) ... 66

3. Pasca Kemerdekaan (1945-1949)... 72

B.Karya dan Pemikiran Tan Malaka ... 86

C.Landasan Konsep Politik Pendidikan Berkarakter Ke-Indonesiaan .. 98

1. Agama ... 104

2. Alam ... 107

D.Tujuan Politik Pendidikan Berkarakter Tan Malaka ... 109

1. Pintar Sekaligus Terampil ... 110

2. Berkepribadian dan Bertanggung Jawab ... 111

3. Berakhlaqul Krimah ... 113

BAB IV METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 116

B.Sumber Data ... 117

C.Pendekatan Penelitian ... 118

D.Teknik Pengumpulan Data ... 119


(9)

xiii

MALAKA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

A.Upaya Yang Dilakukan Tan Malaka ... 122 1. Politik Pendidikan Berkarakter Tan Malaka dan Humanisme ... 132 2. Politik Pendidikan Berkarakter Tan Malaka dan Perjuangan

Kemerdekaan ... 135 3. Politik Pendidikan Berkarakter Tan Malaka dan Jiwa

Kepribadian ... 148 4. Politik Pendidikan Berkarakter Tan Malaka dan Bekal Hidup ... 154

BAB VI PENUTUP

A.Kesimpulan ... 157 B. Saran... 159 DAFTAR PUSTAKA ... 161


(10)

1 A.Latar Belakang Masalah

Sosok Tan Malaka, adalah tokoh kontroversi dalam sejarah revolusi nasional Indonesia. Di mata banyak kalangan khususnya kaum Marxis, Tan Malaka telah menjadikannya sebagai momok zaman yang kontroversial. Sepak terjang yang penuh intrik dan konsekuen terhadap nilai-nilai pergerakan serta ideologi marxis yang diyakininya, telah menjadikan dia salah satu tokoh revolusioner besar dunia. Tan Malaka yang tak pernah merasakan nikmatnya perjuangan, hidup dalam kejaran waktu dan musuh seakan telah menjadi bagian episode takdir kehidupan yang harus dilewatinya, jeruji penjara kaum penjajah dan penentang akan ide serta perjuangannya tak lagi mampu untuk menyekat kreatifitas berfikir dan meredam semangat yang berkobar untuk membebaskan negeri ini dari kungkungan cengkeraman kaum penjajah.

Dalam menyimak keterlibatannya dalam komunis internasional (komintern) dan PKI, rasanya sulit menolak anggapan bahwa dirinya komunis. Namun adakah citra lain yang dapat dilekatkan kepadanya selain seorang komunis, yang seakan-akan itu adalah sesuatu yang sudah mestinya (taken for granted)?. Kalau kita membaca karya-karyanya sejak awal dan mengikuti perjalanan hidupnya yang revolusioner, kita akan jumpai Marxisme yang ada dalam dirinya tidaklah


(11)

dianggap sebagai dogma yang beku, yang selalu saja menuruti tafsiran Lenin dan Stalin. terbukti pasca pemberontakan PKI 1926/1927 dan pendirian PARI, Tan Malaka mulai memperlihatkan independesinya dalam menerjemahkan Marxisme dan mulai bergerak mendekati nasionalisme.

Tan Malaka juga seorang nasionalis; komitmen dia terhadap pembebasan negerinya begitu jelas terlihat dalam pemikiran dan tindakannya. Belum pernah dia terlihat secara saklek menginginkan perjuangan kelas yang mengambil posisi penting dalam pemikiran Marxisme untuk diterapkan mentah-mentah di Indonesia.1 Bagi Tan Malaka untuk memerdekakan Indonesia secara 100% (seratus persen) adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, walaupun nyawa harus menjadi taruhannya.

Berbicara tentang Tan Malaka, maka kita berbicara mengenai tokoh legendaris. Tan Malaka adalah pejuang paling misterius sepanjang sejarah kemerdekaan. Selama hidupnya ia hanya beberapa tahun saja merasakan kebebasan dan berjuang di tengah-tengah rakyat, dan selebihnya ia berada dalam penjara. Terhitung sejak pertama kali ia terjun dalam aktifitas politik yang sebenarnya, yaitu semenjak kepindahannya dari Sumatera (pulang dari Belanda) ke Jawa pada juni 1921 dan setelah itu bergabung dengan PKI, serta jabatan wakil ketua Komitern untuk Asia Timur sempat di tangannya.2

1

Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka(Kajian terhadap perjuangan sang kiri nasionalis),(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003),cet.Ke-1,h.vi-vii

2


(12)

Suatu hal yang menarik dalam pemikiran politik Tan Malaka bahwa meski dirinya diklaim sebagai gerakan kiri/komunis, namun dalam sejarahnya Tan Malaka seorang Islam dan tertarik pada Islam sebagai basis pembebasan sosial dan orang yang berjuang membela Islam.3

“walaupun revolusi Bolsywik 1917 banyak mengobarkan semangat sanubari saya diusia muda, membawaku menjauh dan menyeretku untuk mengikuti

kekinian, namun minatku terhadap Islam terus hidup”.4

Tan Malaka dibesarkan dalam situasi adat yang pekat dan religius. Diceritakan, sang ayah adalah termasuk orang yang sangat taat menjalankan tarikat. Konon dalam suatu waktu, ayah Tan Malaka yang “mabuk rohani” ketika mengambil air wundhu di kolam, didapati tenggelam dengan badan setengah didalam air dalam keadaan pingsan. Ketika siuman ayahnya menceritakan bahwa ia bertemu dengan Tan Malaka berada di Negara Belanda. Sedangkan ibunya yang bernama Sinah adalah seorang penganut Islam yang teguh. Apabila sakit, Ibunya membaca Surat Yasin berkali-kali dan ayat-ayat suci al-Qur’an lainnya untuk menentang datangnya malaikat maut.5

Menurut CC.Berg “Hinduisme di Sumatera berpengaruh kecil dibandingkan

di Jawa, sehingga Islam di Sumatera lebih murni dibandingkan di Jawa.6 Aliran pembaharuan Islam, yang mencapai kepulauan Indonesia pada abad XIX menurut

3

Badruddin, Kisah Tan Malaka Dari Balik Penjara dan Pengasingan,(Yogyakarta:Araska,2014),cet.Ke-1,h,41

4

Rudolf Mrazek, Tan Malaka,(Yogyakarta: Bigraf Publishing,1999),cet,Ke-2,h.50 5

Tan Malaka, MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika),(Jakarta:Pusat Data Indikator,1999),cet.Ke-1,h.381

6


(13)

Deliar Noer pertama kali diterima masyarakat Minangkabau. Islam lah yang menjadi ekspresi ideologis kelenturan ekonomi dan keberanian berusaha pedagang minangakabau yang luar biasa. Tak diragukan lagi bahwa islam dikenal sebagai kekuatan pendorong pergerakan nasionalis Indonesia, Intelektual Minangkabau cenderung melihat Islam sebagai simbol superioritas budaya mereka dalam pergerakan seluruh Indonesia.7

Tidak terlepas dari itu, tindakan yang dilakukannya berdasar pada Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, meskipun Tan Malaka telah mengenal Marx, Hegel, Egles, dan terjun kedalam PKI, namun Islam yang sejak kecil ia percayai tetap merupakan benteng kokoh yang mempertahankan dari berbagai pengaruh lingkungan dimanapun ia berada. Karena seperti yang telah diakuinya, bahwa Islam yang ada dalam subconsciousness (alam bawah sadar) selalu membangun kembali ingatannya tentang Islam. Pendapat Tan Malaka yang menyatakan agama Islam adalah agama yang konsekuen dan konsisten memperjuangkan keesaan Tuhan (Allah) yang secara jelas tersurat dalam al-Quran surat al-Iklas ayat 1. Dan dalam Madilog ia mengatakan bahwa seseorang yang konsisten dan konsekuen meng-Esakan Tuhan, pasti orang itu mengesakan kekuasaan Allah.8 Dengan demikian tidak diragukan lagi para intelektual Minangkabau (Tan Malaka) banyak

7

Ibid.,h51-52 8

Contoh, kalau seketika satusaja kekuasaan dikurangi dipindahkan pada anaknya seperti pada nabi Isa, (anaknya Tuhan)atau Maryam, dan sedetik saja kekuasaan si atom itu bisa dipegang diluar Tuhan dengan tidak izinnya Tuhan, maka kekuasaan Tuhan itu tiada absolut. Padahal kekuasaan Tuhan itu absolut. Madilog Ibid.h, 390


(14)

mempergunakan semangat Islam pembaharuan dalam mengorientasikan segala tindakannya.

Selain itu banyak orang mengenal Tan Malaka lewat pemikiran dan karya-karya tulisnya, yang meliputi semua bidang kemasyarakatan dan kenegaraan – politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek).9 Namun banyak orang tidak mengetahui, kalau Tan Malaka juga memiliki pemikiran tentang pendidikan, dan ini tertuang dalam brosur SI Semarang dan Onderwijs. Sehingga Tan Malaka yang memprakarsai berdirinya Sekolah Sarekat Islam Semarang pada waktu itu, terlupakan oleh sejarah.10

Berbicara konsep pendidikan kritis, emansipatoris, dan berciri khas kebangsaan biasanya lebih dikenal sosok Paulo Freire. ”Pendidikan Kaum

Tertindas” dan ”Gerakan Kebudayaan untuk Kemerdekaan”, ”Politik Pendidikan”,

adalah buku karangan Paulo Freire yang terus dipelajari peminat dan penggerak pendidikan emansipatoris. Ketika berbicara tentang sejarah pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara selalu menjadi tokoh utama. Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa Tan Malaka juga aktif dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia, dan telah lebih dulu memiliki konsep pendidikan kritis, emansipatoris, dan berciri khas kebangsaan. Tan Malaka tidak hanya terjebak dalam filsafat dan teori-teori pendidikannya, tetapi terlibat aktif dalam

9Wasid Suwarto, “Memperkenalkan Tan Malaka, Pahlawan Kemerde

kaan Nasional Yang Paling

Tidak Dikenal,” dalam kata pengantar buku MADILOG, (Jakarta: Pusat Data Indikator,1999). h. xvi 10

Lihat dalam kata pengantar; Tan Malaka, SI Semarang dan Onderwijs, (Jakarta: Yayasan Massa, 1987), h. ix-xiii


(15)

memperjuangkan politik pendidikan sebagai media penyadaran pembebasan dari penindasan kolonialisme.

Jauh sebelum pendidikan keterampilan belum dikembangkan di Nusantara, Tan Malaka sangat menekankan bahwa pendidikan anak-anak tidak hanya sebatas kognitif, seperti mempelajari Sejarah, Ilmu bumi, dan Ilmu hitung yang sangat ditekankan di sekolah-sekolah Eropa pada masa itu. Tan Malaka memandang bahwa sebuah kewajiban untuk menanamkan etos kerja, dan keterampilan praktis yang akan menimbulkan rasa mencintai kerja kepada pribumi, dan seharusnyalah pendidikan memberikan nilai tambah.

Jadi, usaha Tan Malaka ingin pendidikan semestinya mendahulukan kearifan lokal, agar masyarakat memperoleh bekal bagi penghidupannya. Oleh karena itu pendidikan kejuruan seperti: pertanian, perdagangan, teknik, dan administrasi harus dibenahi kualitasnya. Pendidikan praxis Tan Malaka diwujudkannya di sekolah Sarekat Islam. Sekolah SI berprinsip bahwa harus lebih sehat dan memiliki karakter keindonesiaan yang membedakan dengan sekolah Eropa. Konsep pendidikan Tan Malaka yang sangat sederhana tersebut merupakan hal luar biasa pada masa Tan Malaka merintis sekolah SI.

Dalam merintis pendidikan untuk rakyat Indonesia pada saat itu mayoritas orang miskin, tujuan utamanya adalah usaha besar dan berat untuk mencapai Indonesia Merdeka. Karena Tan Malaka berkeyakinan bahwa kemerdekaan rakyat


(16)

hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan untuk menghadapi kekuasan kaum modal yang berdiri atas didikan yang berdasarkan kemodalan.

Sementara itu, bagi Tan Malaka pendidikan juga sebuah alat. Alat untuk berjuang melawan ketertindasan. Hal ini jelas dalam tujuan pendidikan kerakyatan Tan Malaka, bahwa pendidikan harus bisa menghadapi tantangan jaman, juga dapat mengembangkan fitrah yang dimilikinya dan memiliki kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, dan cinta kepada rakyat miskin. Juga harus selalu membantu kepada rakyat yang lemah dan membutuhkan.11

Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati bangsa dan rakyat Indonesia. Tan Malaka berkeyakinan bahwa kekuatan pendorong pergerakan Indonesia terletak pada seluruh lapisan dan golongan rakyat melarat Indonesia, tidak peduli apakah ia seorang Islam, seorang nasionalis ataupun seorang sosialis. Kesemuanya itu bermuara pada satu tujuan, yaitu menuju manusia yang merdeka dan mahluk yang mulia, atau dengan istilah humanisme. Seperti yang diungkapkan Ibn Miskawih

“bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia agar tidak terjerambab

pada derajat hewani, sebagai wadah sosialisasi individu dan menanamkan

rasa malu”12

11

Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam; (Paradigma Humanisme Teosentris,)(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h, 21

12

Ibn Miskawih dalam sampul Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia,(Yogyakarta:Ar-Ruzz Media,2013),cet,Ke-2


(17)

Jadi semangat yang Tan Malaka gagas, ternyata bisa menjawab tantangan rakyat pada saat itu. Dengan bekal kerakyatan, mendekatkan pada realitas yang terjadi serta mengembangkan kepribadian atau potensi diri yang dimiliki, maka output dari pendikan tersebut bisa hidup bersama rakyat untuk mengangkat rakyat jelata dan kaum tertindas. Karena bagi Tan Malaka membela rakyat jelata adalah tugas mulia, seperti dalam al-Quran, surat al-Balad; ayat 12-18.

Artinya: Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada harikelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yangsangat fakir. Dan dia (Tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpes an untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, mereka itu adalah golongan kiri.

Sehingga generasi-generasi muda pada saat itu, memiliki jiwa pembebasan dari belenggu imperialisme penjajah. Sebagai orang yang mempunyai cita-cita kemerdekaan terhadap bangsanya, maka Tan Malaka mengusahakan pendidikan bagi anak – anak kuli. Tujuan pendidikan ini, menurut Tan Malaka adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan. Selain pendidikan kecerdasan, kemauan dan perasaan seperti yang dikatakan Tan Malaka.

“ Bahwa maksud pendidikan anak kuli terutama, ialah mempertajam

kecerdasan serta memperhalus perasaan si murid, seperti ditujukan kepada anak bangsa dan golongan apapun. Selain pendidikan kecerdasan, kemauan dan perasaan itu mesti ditanam kemauan kebiasan bekerja tangan adalah pekerjaan penting dan bagi masyarakat tak kurang mulianya daripada otak semata-mata. Senembah Mij khususnya dan Deli uumnya tidak akan rugi, kalau disekitarnya banyak buruh halus dam kasar yang benar-benar cakap,


(18)

efesien dan mempunyai keinginan hidup yang tingi. Mungkin pada permulaan senembah Mij harus membayar biaya yang seakan-akan percuma, tapi lama-kelamaan biaya itu akan kembali berlipat ganda,

efisiensi naik dan konsumsi bertambah,”13

Tan Malaka juga menjelaskan bahwa disekolahnya pekerjaan tangan sangat diberi penghargaaan, karena pekerjaan tangan sangat diberi penghargaan, karena pekerjaan tangan sama mulianya dengan kerja otak, atau orang yang bekerja dengan pena. Sebagai bentuk semangat nasionalisme, politik pendidikan dan kebudayaanya, dalam pidatonya diforum rapat buruh disemarang tanggal 22 Januari 1922, Tan Malaka mengkritik keras orang Barat ataupun orang pribumi yang kebarat-baratan yang lebih dihormati dan disegani karena intelektualitas

mereka serta menghina orang yang bekerja tangan. “Anak kuli juga manusia,”

begitulah kata Tan Malaka dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak kuli di Deli.14

Tan Malaka mengungkapkan itu karena dalam pandangan tuan-tuan besar, para mandor dan atasan pabrik dan perkebunan, sekolah bagi anak-anak kuli tidak ada gunanya dan hanya membuang- buang saja. Apa gunanya mendidik anak-anak kuli itu, mereka bisa lebih brutal dari bapaknya. Dalam pandangam para elit Belanda, para kuli yang kebanyakan warga pribumi tidak ada manfaatnya membuat mereka melek huruf. Meski mayoritas para kuli itu Buta huruf, mereka

13

Badruddin, Kisah Tan Malaka Dari Balik Penjara dan Pengasingan,(Yogyakarta:Araska,2014),cet.Ke-1,h,73

14


(19)

bisa menanam tembakau. Karena itu bagi para elit Belanda, suruh saja anak-anak kuli itu untuk mencangkul.

Berdasarkan pemaparan itu, maka Belanda sebenarnya tidak ingin warga pribumi itu pandai secara intelektual. Warga pribumi dibiarkan bodoh, tetapi tetap terampil, tetap bisa bertani, mengurus listrik, menyirami tanaman merawat hasil perkebunan, bisa mencangkul dan sebagainya. Sebab jika warga pribumi itu pandai intelektualnya, maka akan melakukan tindakan –tindakan kkritis pada Belanda kalau para buruh itu pemikirannya kritis muncul, mereka akan tahu hak-haknya sebagai manusia. Sehingga mereka akan menggugat dan tidak mau diperbudak oleh Belanda. Karenannya, biarkan warga pribumi itu tetap Bodoh, tetapi pintar dalam hal-hal teknik dan keterampilan. Sebab, keterampilan inilah yang memang dibutuhkan oleh Belanda untuk memenuhi tenaga-tenaga kasar di pabrik dan perkebunan.

Maka kalau sampai ini terjadi, membuka pendidikan anak-anak kuli kontrak itu hanya akan menjadi senjata makan tuan. Meskipun oleh para elit dan tuan-tuan besar Belanda dianggap sebagai sesuatu yang idealis dan bodoh.15 Keguncangan dunia pendidikan itu sendiri dimulai ketika mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai tokoh pendidikan yang kemudian mengkritisi bahwa di dalam nilai pendidikan yang penuh kebajikan, mengandung juga bentuk-bentuk penindasan.16

15

Badrudiin,Kisah Tan Malaka,Ibid,h.65 16

Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan,danPembebasan),(Yogyakarta:Read,2002),cet.Ke-4,h.8


(20)

Tokoh-tokoh pendidikan seperti Paolo Freire dan Ivan Illich pada abad ke 20 menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini di anggap sakral ternyata menyajikan nilai-nilai dehumanisasi kehidupan.17

Terkait dengan pandangan Freire dan Illich soal pendidikan sebagai legitimasi kelompok yang berkuasa, bentuk-bentuk penindasan tersebut juga pernah dialami oleh Indonesia bahkan jauh sebelum Freire dan Illich hidup. Indonesia yang selama 350 tahun dijajah Belanda, diwarnai oleh sistem pendidikan yang cenderung rasis atau berdasarkan kelas-kelas sosial. Pendidikan yang bersifat rasis dapat dilihat dari dibentuknya sekolah orang Eropa (Europeesche Lagere School) dan sekolah anak pribumi (Lagere School). Keberadaan sekolah untuk masyarakat pribumi tak bisa dilepaskan dari diberlakukannya politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu, yang muncul atas desakan kelompok Kristen di Parlemen Belanda.

Muncul kapitalisme merupakan hasil dari sistem feodal yang telah lama berakar di Indonesia. Kapitalisme yang tumbuh akibat penjajahan Belanda melahirkan kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia yang tak jauh berbeda dengan kapitalisme di negara-negara Eropa yang melahirkan posisi borjuis dan proletar. Borjuis di sini mewakili pemilik modal, bangsawan, dan orang-orang yang memiliki jabatan dalam pemerintahan. Proletar mewakili para buruh, petani dan para rakyat jelata yang bekerja untuk perusahaan dan perkebunan para borjuis.

17


(21)

Kapitalisme merupakan perkakas asing yang digunakan penjajah untuk mendesak

sistem produksi maysarakat Indonesia untuk kepentingannya sendiri.18

Pendidikan adalah sumber dan simbol kemajuan suatu bangsa. Kemajuan peradaban, kesejahteraan hidup masyarakat, pertumbuhan ekonomi, ketentraman dalam menjalani hidup dan keberlangsungan hidup, tatanan masyarakat yang tertib dan aman, dan dinamika politik yang rapi dan bersih adalah produk-produk dari pendidikan yang berhasil. Keberhasilan pendidikan sangat ditentukan oleh sistem dan paradigma pendidikan yang dibangun, termasuk di dalamnya proses pembelajaran yang baik sebagai ujung tombak dari kesuksesan pendidikan. Peranan pendidikan sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan perkembangan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat menyiapkan dan membekali warga negara untuk mampu menghadapi segala bentuk tantangan masa depannya. Dengan demikian, tidak salah apabila orang berpendapat bahwa buruk tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh pendidikan saat ini.

Pendidikan adalah gerbang menuju perubahan, agar terlepas dari belenggu kebodohan. Sehingga bisa mencapai manusia yang merdeka, seperti dalam cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Cita-cita-cita yang melandasi kehidupan Negara

18

Mansour Fakih Komodifikasi Pendidikan sebagai Ancaman Kemanusiaan,dalam kata pengantar

“Kapitalisme Pendidikan (Antara kompetisi dan Keadilan),(Yogyakarta:INSIST PRESS,2001),cet.Ke-2,h.xi


(22)

Kesatuan Republik Indonesia.19 Cita-Cita yang melandasi kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, adalah merdeka dari kemiskinan, dan kebodohan, sehingga bisa menjadi bangsa yang mandiri dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Dengan kemerdekaan yang dimiliki tersebut, dapat menjadi alat dan medan perjuangan bagi terselenggarannya kehidupan bangsa yang cerdas, adil, makmur, sejahtera.20 Namun ironisnya, di Indonesia teryata dalam masalah pendidikan belumlah mendapatkan kemerdekaan.

Rumusan tentang tujuan pendidikan nasional dengan tegas tertuang dalam Undang-Undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 , dinyatakan bahwa,

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.21

Berpijak pada bunyi UU di atas, adalah sangat wajar apabila pendidikan dipandang sebagai wahana yang paling efektif dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan pesan-pesan dibalik amanat konstitusi. Selain itu, pendidikan merupakan sarana yang sangat tepat dalam membangun watak bangsa

19

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Yogyakarta: Media Wacana Pers), h.7 20Musa Asy’ari, “ Kemerdekaan dan Pendidikan, “ Koran Kompas, 17 Agustus 2004, h.1 21

Akhmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter Di Indonesia, (Jogyakarta : AR-Ruzz Media, 2013),cetakan ke II,h. 12


(23)

(national character building).22 Kontribusi pendidikan terhadap pembangunan suatu bangsa adalah sangat besar. Masyarakat yang cerdas sebagai output pendidikan memberi nuansa kehidupan yang lebih berkualitas dan secara progresif akan membentuk kemandirian. Masyarakat bangsa yang demikian merupakan suatu potensi besar bagi investasi dalam perjuangan keluar dari krisis multidimensi dan tantangan dunia global.

Anak didik yang berkarakter sebagaimana yang diharapkan tersebut baru dibangun dari karakter dasar, yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Belum lagi jika ditambah karakter selanjutnya yang ada dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yakni sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Masa depan generasi bangsa adalah masa depan suatu bangsa itu sendiri. Dalam konteks ke-Indonesiaan, masa depan bangsa Indonesia terletak pada pondasi jati diri dan karakter bangsa Indonesia yang dibangun secara berkesinambungan dalam diri setiap generasi. Bangsa Indonesia akan tetap bertahan dan tetap jaya jika mampu memberi respon pada logika perkembangan historisnya sendiri, dan akan hancur berantakan jika gagal. Hal tersebut bisa

22

Fatikul Himani,et al, Civic Education (Pendidikan Kewarnegaran), (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014), h.9


(24)

didapat melalui keberhasilan ranah pendidikan dalam mencetak generasi yang berkarakter.23

Pemerintah kolonial hanya memberikan akses pendidikan kepada pribumi sebagai strategi memenuhi kebutuhan mereka terhadap kerja-kerja klerikal, buruh, dan mandor-mandor perkebunan. Masa kolonial akses pendidikan yang dibatasi dan selalu dipersulit, semata-mata untuk terus memerangkap Indonesia dalam jurang kebodohan. Dengan kebodohan abadi tersebut, Imperialisme semakin mencengkramkan kekuasaan mengeksploitasi Indonesia.

Kebodohan yang masih menjajah Indonesia tersebut dapat dilihat dari data bahwa kekayaan Indonesia hanya dikuasai 0,2% oleh penduduk. Fakta kemiskinan dalam aspek penguasan kekayaan Indonesia ini mencerminkan bahwa bangsa Indonesia belum merdeka, karena masih dikuasai oleh pihak asing. Pertanyaan yang muncul, mengapa ini bisa terjadi? Apakah pendidikan yang dibangun selama ini tidak cukup membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat dinegeri sendiri? Apakah sedemikian bodohnya bangsa Indonesia sehingga tidak dapat mengeksplorasi kekayaan dan mengelola kekayaannya sendiri?

Pendidikan sebagai social capital yang akan menggerakkan roda pembangunan harus dipandang sebagai kebutuhan pokok. Namun pendidikan yang diberikan jangan mengabaikan prinsip-prinsip karakter bangsa dan humanisme. Fenomena melunturnya nasionalisme dapat dijadikan sebuah premis

23Wahyu Triyono, “Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam http://www.kompasiana.com/posts/ type/opinion/ Diakses 1 Juli 2015


(25)

bahwa penanaman pemikiran kebangsaan, keindonesiaan belum terselenggara dengan baik. Betapa mengerikan kondisi Indonesia di masa beberapa tahun mendatang, ditengah arus informasi teknologi dan budaya pop hedonisme, generasi muda terjebak dalam perangkap ketidakpastian.24

Implikasi atas cara pandang, kultur dan pola berpikir yang hanya membenarkan kenyataan empiris sangat mempengaruhi dan menentukan sistem pendidikan yang mereka kembangkan, sebuah sistem pendidikan yang mengacu pada paradigma liberalisme. Dengan begitu, maka lahirlah sebuah generasi yang mengagungkan kebebasan, lepas dari dataran etis, norma dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa, pengembangan sains dan teknologi melalui sistem pendidikan yang begitu pesat di Barat, juga diiringi dengan munculnya generasi yang justru merendahkan martabat kemanusiaannya sendiri.

Kenyataannya, negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, secara latah dan tanpa merasa segan justru mengimpor dan mengadopsi konsep dan sistem pendidikan yang dikembangkan di Barat, sistem pendidikan yang hanya memikirkan kebebasan tanpa mementingkan tanggung jawab dan mengabaikan usaha memperkokoh kehidupan akhlak dan agama.25 Sebuah sistem pendidikan

yang justru ‘membunuh’ martabat kemanusiannya sendiri (dehumanisasi).

24

Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta : PT Bina Aksara,1986),h.27 25

Fadhil al-Jamil, Menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam, terj. Arifin (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), h. 39


(26)

Tan Malaka, seorang bapak bangsa yang menghabiskan hidupnya untuk menuju Republik Indonesia. Republik yang dimaksud Tan Malaka adalah sebuah negara yang 100% (seratus persen) mengatur diri sendiri, mengatur perekonomian sendiri, politik yang bebas menegakkan demokrasi, serta martabat bangsa sejajar dengan negara-negara lain. Tan Malaka sebagai ahli propaganda, politikus, dan sebagai seorang pendidik rakyat sangat ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan proses penyadaran progresif revolusioner dilakukan terus menerus untuk memperkuat kesadaran rakyat.

Tan Malaka merupakan ancaman berbahaya bagi pemerintahan kolonial, karena Tan Malaka dianggap menganggu ketertiban umum dengan berbagai kegiatan politik dan kegiatan pendidikan untuk rakyat. Pendidikan harus sebagai proses mewujudkan peserta didik menjadi orang baik dan bajik yang akan memberi kekuatan kepada peserta didik. Karena itulah pendidikan akhlak harus menjadi tujuan utama selain pendidikan keterampilan hidup, pergaulan sosial, dan tanggung jawab sosial. Rakyat Indonesia belajar memberi nilai yang tepat pada moral mereka dan bersumbangsih bagi peradaban bangsa Indonesia. Tan Malaka masuk ke pergerakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia melalui jalur Politik pendidikan. Bagi Tan Malaka, pendidikan akan dapat mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang kokoh dan mandiri.

Seorang tokoh yang berjuang melawan imperialisme penjajahan tersebut adalah Tan Malaka. Bagi Tan Malaka, pengusiran penjajah dari bumi pertiwi


(27)

belum menyelesaikan problem bangsa Indonesia. Ada hal lain, yang bagi Tan Malaka sangat krusial untuk segera dituntaskan, yakni feodalisme dari cara berpikir manusia Indonesia. Oleh karena itu Tan Malaka yang merupakan lulusan guru dari Belanda, mendirikan sekolah rakyat sebagai antitesis dari sekolah kolonial Belanda yang menindas.

Oleh karena itu penulis membahas pemikiran dan aksi Politik Pendidikan Berkarakter Keindonesiaan Tan Malaka yang dapat menambah khasanah sejarah pendidikan di Indonesia dan sebagai upaya restorasi nilai-nilai keindonesiaan. Dan usaha untuk memberikan kontribusi konseptual bagi pendidikan Islam agar lebih berperan dan mampu menjawab tantangan masa depan, dan dapat menjadikan orang yang berkepribadian, mandiri dalam berkarya untuk menghadapi masa depan.

B.Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penulis mencoba untuk menyajikan rumusan masalah yang dapat mendukung diangkatnya judul skripsi ini. Adapun rumusan masalah yang penulis angkat adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep pemikiran Tan Malaka dalam politik pendidikan berkarakter ke-Indonesiaan?


(28)

2. Bagaimana perspektif pendidikan Islam dalam melihat konsep pemikiran Tan Malaka dalam politik pendidikan berkarakter ke-Indonesiaan ?

C.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui konsep pemikiran Tan Malaka dalam politik pendidikan

berkarakter ke-Indonesiaan.

2. Mengetahui perspektif pendidikan Islam dalam melihat konsep pemikiran Tan Malaka dalam politik pendidikan berkarakter ke-Indonesiaan.

D.Kegunaan Penelitian

Kegunaan dalam penelitian ini ada dua, yaitu kegunaan secara teoritik-akademik dan kegunaan praktik.

1. Kegunaan secara teoritik-akademik ini adalah :

a. Sebagai sumbangan pemikiran untuk memperkaya khasanah ilmu secara teoritis terhadap pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan karakter Bangsa Indonesia.

b. Memberi sumbangan materi pendidikan dalam rangka pembentukan kemandirian untuk kehidupan di era globalisasi yang semakin mengalami persaingan ketat.


(29)

c. Mewujudkan Tri dhamara perguruan tinggi dan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana strata satu pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah khususnya di Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.

2. Kegunaan secara praktis dari penelitian ini adalah :

a. Memberikan informasi dan masukan kepada semua pihak yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan, dalam memaksimalkan peran pendidikan sebagai solusi menghadapi tantangan dunia.

b. Menggugah generasi muda untuk lebih memahami pentingnya berorganisasi untuk mencapai kemandirian.

c. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memberikan informasi secara teoritik-historis tentang perkembangan pendidikan dan pembaharuannya dalam upaya pembangunan karakter bangsa

E.Penelitian Terdahulu

Kajian tentang Pendidikan Berkarakter memang sudah banyak diulas. Penelitian (baca: skripsi) di UIN Sunan Ampel, Demikian telah banyak menelaah tentang pemikiran dan aksi Tan Malaka sudah banyak dikaji. Karya- karya yang disajikan dalam penelitian ini, penulis anggap mewakili berbagai hasil kajian tentang sosok Tan Malaka dan perannya dalam Negara Republik Indonesia.


(30)

Namun, dalam pengamatan penulis belum pernah ada yang meneliti dan mengakaji Telaah Konsep Pemikiran Tan Malaka dalam Politik Pendidikan Berkarakter Ke-Indonesiaan, terlebih jika pemikiran tersebut di lihat dalam perspektif Pendidikan Islam. Hal ini memposisikan penelitian ini diantara celah penelitian yang sudah ada.

Beberapa contoh hasil penelitian terdahulu yang meneliti tentang isu yang sama dapat dipetakan sebagaimana dibawah ini,

Peneliti Salman Al-Farisi, Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat Politik Islam tahun 2012. Skripsi ini berjudul Pemikiran Politik Ekonomi Tan Malaka ( Studi Pustaka Gerilya Politik Ekonomi Tan Malaka) pada penelitian yang dilakukan oleh Salman Al-Farisi bahwa dalam skripsi ini bahwa dalam revolusi Indonesia tidak berhenti pada revolusi politik semata-mata, namun revolusi yang lebih global sifatnya, mulai dari revolusi menghapuskan feodalisme, revolusi kemerdekaan dan revolusi sosial. Dalam pandangan politiknya Tan Malaka menginginkan Indonesia menganut ideology sosialime, karena Tan Malaka menganggap sosialismelah yang pas dengan kondisi cultur dan pemikiran rakyat Indonesia. Sedangkan kapitalisme menurut Tan Malaka di anggap sebagai monopoli barat terhadap negara dunia ketiga yang dalam hal ini adalah Indonesia. Secara konseptual sistem ekonomi Indonesia adalah kerakyatan (Pancasila), dalam prakteknya mempunyai kecenderungan kearah sistem ekonomi kapitalistik yang meliberalisasikan seluruh sumber daya ekonomi yang ada.


(31)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Huda, Fakultas Ushuludin Jurusan Aqidah Filsafat tahun 2007. Skripsi ini berjudul Gerakan Politik Nasionalisme Tan Malaka, hasil penelitian ini mengemukakan bahwa Gerakan Politik Nasionalisme Tan Malaka merupakan suatu proses perjuangan yang tiada habis – habisnya urtuk melawan kolonialisrne Belanda di lndonesia. Gerakan sebagai wujud membuka kesadaran Bangsa lndonesia akan pentingnya kemerdekaan atas sebuah Bangsa. Dengan kesatuan dan persatuan yang kokoh, maka Bangsa Indonesia akan mampu untuk melepaskan diri dan cengkeraman penjajah Belanda selama berabad - abad. Hal ini terbukti didalam gerakan - gerakan politiknya ia berusaha untuk mempersatukan kekuatan antar kelompok yaitu kelompok Nasionalis, komunis dan kelompok Islam. Ia tidak menafsirkan ajaran Marxisme secara dogmatis akan tetapi lebih dikontekstualisasikan melalui realitas keindonesiaan. Oleh karena itu gerakan politik Tan Malaka merupakan sarana lahirnya kekuatan Nasionalisme di Indonesia.

Peneliti Ahmad Yusuf, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan tahun 2014. Skripsi ini berjdul Studi Komparasi Konsep Pendidikan Karakter Imam Al Ghazali

Dengan Ki Hajar Dewantara, hasil penelitian ini mengemukakan konsep

pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, menggunakan “Sistem Among” Dalam Sistem Among, maka setiap guru (pamong) sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun


(32)

Karsa, Tutwuri Handayani. Sedangkan Al-Ghazali tujuan pendidikan berorientasi pada pembinaan akhlak yang holistik yakni akhlak yang menyeluruh, meliputi akhlak kepada Allah Swt (habl min Allah), diri sendiri dan orang lain (habl min al-nas).

Belum ada yang melakukan fokus kajian tentang “Telaah Konsep Pemikiran Tan Malaka dalam Politik Pendidikan Berkarakter Ke-Indonesiaan Perspektif Pendidikan Islam” yang ingin diangkat dalam penelitian ini masih mempunyai nilai yang sangat signifikan. Terlebih lagi, banyak sekali orang yang mengatakan bahwa Tan Malaka adalah murni tokoh politik. Belum mengetahui bahwa sosok Tan Malaka tokoh revolusioner, ternyata mempunyai konsep pemikiran tentang pendidikan.

F. Definisi Operasional

Demi mempermudah dalam memahami judul skripsi ini dan mengetahui arah dan tujuan pembahasan skiripsi ini, maka berikut ini akan dipaparkan definisi operasional sebagai berikut:

1. Konsep

Konsep, merupakan pengambilan dari bahasa asing (inggris) concept,

yang mempunyai arti konsep, bagan, rencana, pengertian. Sedangkan menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia –KBBI,26 konsep mempunyai arti ide atau

26


(33)

pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Sedangkan yang dimaksud konsep dalam penelitian ini adalah sebuah gagasan terencana yang bersifat konkret dan merupakan langkah alternatif atau solusi terkait atas suatu permasalahan.

2. Tan Malaka

Tan Malaka adalah sosok kelahiran Suliki, Sumatra Barat pada tanggal 02 Juni 1897 dengan nama asli Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka. Anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur ini merupakan tamatan

Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun di tahun 1913, dan dilanjutkan ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda. Tan Malaka secara langsung maupun tidak langsung, sudah menjadi guru para revolusioner dan tokoh pergerakan. Secara langsung, tidak jarang tokoh - tokoh kemerdekaan bertanya kepada Tan Malaka tentang arah perjuangan, sedangkan secara tidak langsung tokoh-tokoh tersebut mengikuti perkembangan pemikiran dan arahan Tan Malaka melalui buku-buku yang banyak ditulisnya.

3. Politik Pendidikan

Politik memiliki arti (ilmu) ketatanegaraan, garis haluan, kebijakan, strategi. Dalam kamus ilmiah populer, politik yaitu ilmu kenegaraan/tata Negara; sebagai kata kolektif yang menunjukkan pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan atau merujuk pada prinsip-prinsip dan


(34)

norma-norma moral yang mengontrol perilaku politik.27 Yang dimaksud dengan politik pendidikan adalah suatu upaya sadar yang dilakukan antara pemerintah atau anggota masyarakat secara terencana dengan pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication).

4. Berkarakter Ke-Indonesiaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter juga bisa dipahami sebagai tabiat atau watak. Dengan demikian, orang yang berkarakter adalah orang yang memiliki karakter, mempunyai kepribadian atau berwatak. Menanamkan kembali jati diri dan budaya bangsa Indonesia sejak dini yang sudah mulai tergerus. Dalam Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yakni sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam pendidikan karakter anak didik memang sengaja dibangun karakternya agar mempunyai nilai-nilai kebaikan sekaligus mempratikkanya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu kepada Tuhan yang Maha Esa, dirinya sendiri, sesama manusia, lingkungan, sekitar bangsa, negara, maupun hubungan internasional sebagai sesama penduduk dunia.

5. Pendidikan Islam

27


(35)

Pendidikan Islam adalah sebagai usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.28 Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dibekali akal untuk berfikir dan mengembangkan potensi yang dimilikinya sejak lahir, potensi tersebut dinamakan fitrah.29

Salah satu potensi yang bisa dikembangkan adalah bahwa makhluk yang bisa berpikir (mengambil pelajaran), berpolitik,30 mempunyai kebebasan dan kemerdekaan.

G.Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran yang utuh dan mudah tentang pembahasan penelitian ini, penulis akan membagi beberapa bagian pembahasan.

Bab Pertama pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, definisi operasional, dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua membahas mengenai tiga pokok bahasan yaitu, memahami konsep sosialisme, sosialisme dan konsep pendidikan berkarakter, dan konsep sosialisme tentang pendidikan berkarakter dalam perspektif pendidikan Islam.

28

Achmadi, Islam sebagai paradigma Ilmu Pendidikan ,(Yogyakarta :Aditya media, 1992), h.20 29

M.Suyudi,Pendidikan Dalam Prespektif al-Qur’an (Yogyajkarta : Penerbit Mikraj,2005) h.45 30


(36)

Bab Ketiga Metode Penelitian yang berisi jenis penelitian, sumber data, pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data

Bab Keempat membahas tentang konsep pemikiran Tan Malaka, namun sebelum membahas konsep pemikiran Tan Malaka terlebih dahulu penulis menampilkan kehidupan sosok Tan Malaka secara komprehensif, pendapat Tan Malaka tentang manusia dan alam juga tidak lupa pendapatnya tentang Agama (Islam). Hal ini dilakukan karena erat kaitannya dengan pendidikan Islam, agar memudahkan penulis dalam memahami serta menganalisis pemikirannya, terkhusus tentang konsep politik pendidikan berkarakter ke-Indonesiaan.

Bab Kelima berisi analisis konsep politik pendidikan berkarakter ke-Indonesiaan Tan Malaka Perspektif pendidikan Islam

Bab Keenam Penutup pada bab terakhir ini berisi kesimpulan yang menjawab semua rumusan masalah dan berisikan saran-saran.


(37)

28 BAB II KAJIAN TEORI

A.Pemikiran Pendidikan Islam

Pendidikan Islam adalah upaya normatif yang berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka dari itu pendidikan Islam harus didasarkan pada nilai-nilai keislaman yang berdasarkan pada Quran dan al-Hadits.1 Sehingga bagaimanapun juga mengetahui tentang keislaman Tan Malaka secara elaboratif diperlukan dalam pembahasan ini.

Dari berbagai pandangan Tan Malaka tentang Islam yang menyangkut pembelaannya terhadap Islam di Moskow, kisahnya tentang Nabi Muhammad, dan juga pengakuannya bahwa Islam adalah agama yang benar dan paling konsisten diantara agama monotheisme lainnya, maka penulis sependapat dengan Hamka, dan menganggap bahwa Tan Malaka adalah sosok tokoh Islam. dengan karya MADILOG yang mengajarkan untuk berpikir kritis dalam setiap melakukan tindakan. Bertolak dari hal tersebut di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Tan Malaka adalah orang Islam dan orang yang berjuang membela Islam. Tidak terlepas dari itu, tindakan yang dilakukannyapun berdasar pada Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits. Bukti dari pendapat ini adalah: Pertama; pengakuan Tan Malaka bahwa Islam adalah agama yang menjadi sumber hidup dalam

1

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Paradigma Humanisme Teosentris) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005),h.83


(38)

dirinya. Artinya segala sesuatu yang ia lakukan berdasarkan pada Islam.2 Kedua; meskipun Tan Malaka telah mengenal Marx, Hegel, Egles, dan terjun kedalam PKI, namun Islam yang sejak kecil ia percayai tetap merupakan benteng kokoh yang mempertahankan dari berbagai pengaruh lingkungan dimanapun ia berada. Karena seperti yang telah diakuinya, bahwa Islam yang ada dalam

subconsciousness (alam bawah sadar) selalu membangun kembali ingatannya tentang Islam.3 Ketiga; pendapat Tan Malaka yang menyatakan agama Islam adalah agama yang konsekuen dan konsisten memperjuangkan keesaan Tuhan (Allah) yang secara jelas tersurat dalam al-Quran surat al-Ikhlas ayat 1. Dan dalam Madiolg ia mengatakan bahwa seseorang yang konsisten dan konsekuen mengesakan Tuhan, pasti orang itu mengesakan kekuasaan Allah.

Dalam Madilog Tan Malaka adalah orang yang konsisten dan konsekuen mengesakan kekuasan Tuhan, berarti Tan Malaka orang yang mengesakan Tuhan, dan percaya pada ke Esaan Tuhan beserta kekuasaanNya.4 Keempat; bagi Tan Malaka agama Islam merupakan agama yang menentang kasta, mengajarkan tentang persamaan manusia dihadapan Tuhan, dan memerangi penindasan terhadap orang miskin. Islam menempatkan semua manusia setara dihadapan Tuhan, tanpa memandang kekayaan, pangkat, jabatan, status sosial, jenis kelamin, warna kulit, suku dan yang lainnya. Satu-satunya yang membedakan manusia

2

Rudolf Mrazek, Tan Malaka,(Yogyakarta: Bigraf Publishing,1999),cet,Ke-2,h.50 3

Ibid.,h.89 4

Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, (Jakarta: Teplok Press, 1999),h.359-360


(39)

antara satu dengan yang lainnya dihadapan Tuhan hanyalah Taqwannya.5Kelima; Ajaran Islam dalam perspektif MADILOG, Tan Malaka menegaskan:”Yang Maha

Kuasa itulah bisa lebih kuasa dari Undang-Undang alam (hukum alam).6Keenam;

Tan Malaka dalam mengkonsep pendidikan terinspirasi dari Hadratussyaikh Kyai

Haji Hasyim Asy’ari,dalam menanamkan benih-benih kemandirian.7

Bertolak dari penjelasan diatas, maka penulis berpendapat bahwa konsep politik dasar pendidikan berkarakter Tan Malaka sesuai dengan konsep dasar Pendidikan Islam, yang berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Karena Islam sebagai sumber hidup dalam dirinya, sehingga segala pemikiran dan perbuatannya berdasarkan pada al-Quran dan al-Hadits.

1. Konsep Politik Pendidikan berkarakter Tan Malaka dengan Tujuan Pendidikan Islam.

Konferensi Internasional yang pertama tentang pendidikan Islam di Mekkah pada tanggal 8 April 1977, telah berhasil merumuskan tentang tujuan pendidikan Islam, sebagai berikut:

“Pendidikan harus diarahkan mencapai pertumbuhan keseimbangan

kepribadian manusia menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelek, rasio, perasaan dan penghayatan. Karena itu pendidikan harus menyiapkan pertumbuhan manusia dalam segala seginya: spiritual, intelektual, imajinatif, jasmani, ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif,

5

Badruddin, Kisah Tan Malaka Dari Balik Penjara Dan Pengasingan,(Yogyakarta:Araska,2014),cet,Ke-1,h.84

6

Ibid.,h.49 7


(40)

dan semua itu didasari motivasi ibadah, karena tujuan akhir dari pendidikan islam terletak pada (aktifitas) merealisasikan pengabdian

dan kemanusiaan.”

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah memahami statusnya sebagai seorang mahluk atau manusia, dan hubungannya dengan mahluk atau manusia lainnya (sosial), serta dengan alam sekitarnya. Hal tersebut merupakan pengetahuan dan wawasan (kognitif), menyadari tanggung jawab sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya (afektif), dan melaksanakan kegiatan (amal) sesuai dengan pemahaman dan kesadaran akan tanggung jawabnya tersebut (psikomotorik). Semua itu. merupakan kemampuan yang diperlukan untuk ma’rifatullah dan taat beribadah kepadaNya.8

Kalau kita melihat kembali pengertian pendidikan Islam, akan terlihat jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya

menjadi “Insan kamil” dengan pola takwa Insan kamil artinya manusia utuh

rohani dan jasmani, saat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran

8

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Paradigma Humanisme Teosentris) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005),h.102-103


(41)

Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam.9

Sementara itu dalam tujuan politik pendidikan berkarakter Tan Malaka dimana tujuan pendidikan Islam yaitu untuk menciptakan manusia yang mempunyai akhlakul karimah dan menjadi “Insan Kamil”. Pendidikan harus sebagai proses untuk mewujudkan peserta didik menjadi orang yang baik dan bajik. Pendidikan menciptakan manusia yang baik dan bajik akan memberi kekuatan kepada peserta didik. Karena itulah menurut Tan Malaka pendidikan akhlak harus menjadi tujuan utama. Selain itu politik pendidikan berkarakter Tan Malaka terkandung: Pertama; memberi materi pelajaran yang cukup, agar dapat dipergunakan bekal dalam kehidupannya terlebih menghadapai dunia kemodalan. Kedua; memberikan sepenuhnya hak-haknya murid, yaitu tentang kegemaran atau kesukaan hidup (hobi), dengan jalan pergaulan atau perkumpulan (vereeniging). Ketiga; menunjukkan kewajibannya kelak setelah selesai. Yaitu kewajiban menolong kepada sesama rakyat, terutama terhadap rakyat miskin yang teraniaya dan tertindas. Pemaparan tentang tujuan politik pendidikan berkarakter Tan Malaka menekankan kepada pengenalan terhadap diri pribadi, strating point yang dilakukannya adalah dengan memberikan bahan pengetahuan yang sebanyak-banyaknya –berhitung, bahasa, sejarah dan sebagainya– dengan tujuan

9


(42)

mereka mendapatkan banyak bekal setelah mereka besar. Tan Malaka juga menggali potensi yang dimiliki para murid dan setelah itu ditumbuh kembangkannya. Hal ini bagi penulis adalah tujuan Tan Malaka untuk mengarahkan murid-murid agar dapat mengerti tentang hakikat Sang Pencipta, yaitu Allah. Karena barang siapa mengenali dirinya, maka dia akan mengenali Tuhannya (Allah).

Ikhwan Al-Shafa berpendapat10 bahwa tujuan pendidikan yang paling luhur adalah pengenalan diri. Karena mengenali Tuhan hanya dapat diraih dengan kemampuan mengenali dirinya sendiri. Dan orang yang paling mampu mengenali dirinya sendiri adalah orang yang paling mengenali Tuhannya. Di samping Tan Malaka mendidik murid-muridnya untuk mengenali diri dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya, selanjutnya ia juga mengenalkan mereka dengan lingkungan dan alam sekitarnya, mereka dikenalkan dengan rakyat Indonesia yang masih tertindas oleh kekejaman Belanda dan bagaimana memanfaatkan alam dengan kemampuan yang dimiliki. Ini dilakukan Tan Malaka agar mereka menyadari tanggung jawab sesuai dengan pemahaman yang telah dipelajari. Tujuannya agar ketika mereka besar atau kelak setelah mereka selesai dalam pendidikan di sekolah, pendidikan yang mereka dapatkan tidak hanya sebuah hitam diatas putih (tertulis di buku) atau sebagai kenang-kenangan saja, melainkan

10

Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 24-25


(43)

menjadi watak dan kebiasan masing-masing murid untuk suka menolong rakyat.

Penjelasan di atas memafhumkan bahwasannya tujuan politik pendidikan Tan Malaka juga mempunyai relevansi dengan tujuan pendidikan

Islam, baik tujuan tertinggi atau terakhir, yaitu ma’rifatullah, ataupun tujuan

secara umum, yaitu bersifat empirik dan realistis, atau realisasi diri (self realization).

2. Konsep Politik Pendidikan berkarakter Tan Malaka dengan Dasar Pendidikan Islam

Islam sebagai pandangan hidup yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah,

baik yang termuat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat trasendental, universal dan eternal (abadi). Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pendidikan Islam adalah sebuah upaya normatif yang berfungsi memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman yang berdasar al-Quran dan al-Hadits. Islam sebagai way of life memiliki nilai-nilai Ilahiyah baik yang termuat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.

Nilai paling dasar dalam al-Quran adalah tauhid atau iman-tauhid (pengakuan keesaan Allah), dan formulasi tauhid yang paling singkat namun sangat tegas adalah Kalimah Tayyibah: La Ilāha Illa Allah.”Yang berarti


(44)

“tidak ada Tuhan selain Allah,” Kalimah tayyibah tersebut merupakan penegas dan pembebas bagi manusia dari segala pengkultusan dan penyembahan, penindasan, dan perbudakan sesama mahluk atau manusia, dan menyadarkan manusia bahwa ia memiliki derajat yang sama dengan manusia lain. Sehingga dengan tauhid, sudah dapat dijadikan dasar bagi terwujudnya asas demokrasi dalam pendidikan.

Melihat penjelasan di atas –dasar pendidikan Islam sudah cukup dengan Tauhid karena merupakan sumber paling tinggi atau fundamental– maka dasar dari pendidikan Islam adalah harus komprehensif, artinya dengan melibatkan semua bidang kehidupan sebagai instrumental. Pertama; dengan adanya penghargaan hak dan martabat manusia, persamaan dalam memperoleh pendidikan, humanis. Kedua; kesatuan umat manusia dalam mewujudkan kesejahteraan, keselamatan, dan keamanan manusia. Ketiga; keseimbangan, karena pada dasarnya prinsip ini tidak dapat dipisahkan dari prinsip ketauhidan. Seimbang antara dunia dan akhirat, kebutuhan jasmani dan rohani, kepentingan individu dan sosial, ilmu dan amal. Artinya harus ada keadilan, adil bagi diri sendiri dan orang lain. Keempat;


(45)

sumber daya manusia dalam rangka mewujudkan kemajuan hidup yang nantinya berujung pada rahmatanli-al-‘alamin.11

Dalam konsep politik pendidikan berkarakter Tan Malaka juga menekankan adanya sebuah peghargaan atas hak manusia dalam memperoleh pendidikan, memperjuangkan persamaan, menghilangkan kasta pembeda, meningkatkan sumber daya manusia untuk meningkatkan kesejahteraanya, karena baginya manusia merupakan makhluk yang dapat mengetahui realitas yang sebenarnya dan dengan ilmu pengetahuan manusia dapat merdeka dan mengalami kemajuan. Konsep politik Pendidikan berkarakter Tan Malaka berusaha untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan, dan kebodohan, menjadikan hidup lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan sekitarnya, tidak ada lagi kasta dan pembeda kelas-kelas, mendidik anak-anak bangsa agar berjiwa merdeka, mandiri tidak bisa dianggap sebagai robot dalam proses pendidikan dan menjadi mesin kapitalis.

Jadi konsep politik pendidikan berkarakter Tan Malaka memiliki relevansi dengan dasar pendidikan Islam yang secara intrinsik mengacu pada nilai tauhid. Dan secara nilai instrumentalnya yaitu: Pertama; kemanusiaan, politik pendidikan berkarakter Tan Malaka adalah berdasarkan kerakyatan, persamaan terhadap hak-hak rakyat dalam mendapatkan pendidikan (dengan menerima rakyat sebagai murid yang tidak diperbolehkan sekolah di

11

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Paradigma Humanisme Teosentri)s (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005),h.84-85


(46)

sekolahan Belanda, menghilangkan disparitas ekonomis, etnis, agama, ras, dan status sosial. Kedua; Tan Malaka mendidik murid-muridnya memberikan kesukaan atau kegemarannya, memberikan materi-materi yang dibutuhkan untuk kehidupannya kelak. Hal ini sebagai keinginan Tan Malaka agar pada nantinya mereka bisa sejahtera, bagi diri sendiri dan masyarakatnya. Ketiga; keseimbangan juga diperhatikan oleh Tan Malaka dalam mendidik, selain menekankan kepada murid-muridnya untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki, dia juga menekankan kepada murid-murid akan pentingnya kebersihan dan kesehatan. Ini adalah sebuah upaya Tan Malaka dalam menjaga keseimbangan antara jasmanai dan rohani.

3. Konsep Politik Pendidikan berkarakter Tan Malaka dengan Pendekatan Pendidikan Islam

Mengingat pentingnya pendekatan yang digunakan maka sudah seharusnya dapat mengantarkan subyek didik ke tujuan pendidikan yang tertinggi dan terakhir. Ismail Al-Faruqi menegaskan bahwa kesatuan ilmu pendidikan Islam harus mencapai kebenaran, dan jalan yang ditempuh tidak ada lain kecuali dengan mempelajari (membaca atau mengamati) alam secara


(47)

cerdas (kritis), dan membaca wahyu Tuhan sebagai pencipta keduanya (manusia dan alam).12

Seperti sudah dijelaskan di atas, untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang tertinggi dan terakhir dapat dengan cara pengenalan terhadap diri pribadi. Terkait dengan hal ini, kurikulum pendidikan kerakyatan Tan Malaka yang didasarkan pada realita menyerap kebutuhan rakyat Indonesia saat itu bertujuan agar murid dapat menjadi manusia-manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya terlebih dapat memanfaatkan alam sekitar sebagai anugrah yang diberikan Allah kepada mahluknya. Meskipun materi pelajaran yang diberikan Tan Malaka berupa pelajaran umum (bahasa, sejarah, ilmu pasti, ketrampilan, olah raga, dan sebagainya), namun materi-materi pelajaran tersebut sangat berguna dan bermanfaat bagi pengembangan akal pikiran manusia. Sehingga mempelajari ilmu berhitung (pasti) merupakan al-suluk (pembentukan karakter diri) yang menjembatani ke arah penguasaan alam semesta dan bermuara pada hakikat ketuhanan (teologis).13

Ini semua menegaskan bahwa pendekatan politik pendidikan berkarakter Tan Malaka mempunyai relevansi dengan pendidikan Islam, yakni mengantarkan manusia untuk mengenali dirinya sendiri atau dapat menganalisis dirnya sendiri (andir) dan membaca sekitarnya (alam dan

12

Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h.145

13

M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), h. 152


(48)

manusia) sehingga dapat menganalisis sosial (ansos). karena mendorong subyek didik untuk berpikir kritis seperti yang dikatakan Ismail Al-Faruqi. bahwasannya dalam pendekatan, terdapat komponen yang disebut metode yakni cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaran kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Metode merupakan langkah-langkah yang diambil pendidik untuk membantu peserta didik merealisasikan tujuan tertentu pendidikan, sehingga dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan metode merupakan hal yang sangat dibutuhkan, karena tanpa metode materi pelajaran tidak dapat berproses dengan maksimal, efisien, dan efektif. 14

Di dalam al-Quran ada beberapa isyarat tentang metode pendidikan Islam, dan secara global dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Pertama;

metode pemahaman, Kedua; metode penyadaran. Ketiga; metode praktek. Dalam metode pemahaman memerlukan penggunaan akal (rasio) bagi murid, karena metode ini sama halnya dengan dialektika, yaitu mengoptimalkan akal untuk berpikir mencari illat di balik persoalan. Untuk memudahkan metode pemahaman bisa menggunakan sebuah perumpamaan. Ini digunakan dalam memudahkan sesuatu yang sukar dicerna oleh akal (rasio), sehingga dengan menggunakan perumpamaan murid dapat dengan mudah ini merupakan salah agar manusia menggunakan akalnya secara optimal untuk mencari kebenaran,

14


(49)

sehingga ia dapat mengoptimalisasikan logika untuk melihat kebenaran dan kesalahan serta untuk membedakan antara yang haq dan bathil yang semata-mata didasarkan pada kajian empirik dan bukan taklid buta.

Seperti dalam al-Quran surat al-Ankabut ayat: 43.



















Artinya : Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.

Bagi Suyudi, dialektika adalah sebuah metode yang sangat baik dalam pendidikan Islam, karena ia mencoba mengungkap kebenaran mengoptimalkan akal untuk berpikir mencari illat di balik yang diwahyukan Allah. Sebagaimana entitas lain, kecerdasan dialektis juga berfluktuatif sejalan dengan tingkat kedewasaan perspektif dan keberterimaan realitas yang kita miliki. Kecerdasan dialektis, pada satu titik merupakan puncak kearifan manusiawi dalam memandang harmonisasi hidup; Jika kecerdasan dialektis berkembang baik, maka kemampuan kita menghadapi dan mengelola kenyataan akan baik pula, termasuk untuk membumikan makna hubungan transendental kita kepada Rabb dan substansi dasar relasi horizontal kita dengan makhluk-Nya yang lain.


(50)

Metode yang kedua adalah penyadaran. Metode ini dikonsentrasikan untuk memberikan kesadaran terhadap murid dalam menyerap nilai-nilai pendidikan. Untuk mengarah ke metode ini biasanya dilakukan melalui jalan

amar ma’ruf nahi munkar.15 Dalam metode penyadaran juga diperlukan

tahapan-tahapan, seperti yang dianjurkan oleh al-Qur’an, yakni untuk menyenangi terlebih dahulu, kemudian mempelajari dan setelah itu baru berusaha melaksanakannya dalam kehidupan. Setelah kedua metode di atas, metode selanjutnya adalah metode praktek. Metode praktek merupakan hasil dari metode pemahamana dan perumpamaan. Melalui penjelasan tentang metode-metode pendidikan Islam di atas, dapat penulis simpulkan bahwa metode yang digunakan harus melalui tiga proses, yaitu proses pemahaman (kognitif), proses penyadaran (afektif).16

Karena untuk menanamkan kebiasaan yang baik, al-Quran menganjurkan untuk selanjutnya adalah mempraktekkannya semisal dengan memberi kebebasan untuk membuat peraturan dalam sebuah perkumpulan, praktek berpidato. Maka dengan demikian, pendekatan politik pendidikan berkarakter Tan Malaka dalam mendidik murid-muridnya mempunyai relevansi dengan pendidikan Islam.

15M. Suyudi, “

Pendidikan Dalam Perspektif al-Quran” (Yogyakarta: Penerbit Mikraj, 2005),h.78 16


(51)

B.Politik Pendidikan Berkarakter

Pendidikan praxis Tan Malaka diwujudkannya di sekolah Sarekat Islam. Sekolah SI berprinsip bahwa hawa (geest) harus lebih sehat dan memiliki karakter keindonesiaan yang membedakan dengan sekolah Eropa. Anak-anak didik dituntut mencari kepandaian membaca, menulis dan berhitung sebagai modal penghidupan. Konsep pendidikan Tan Malaka yang sangat sederhana tersebut merupakan hal luar biasa pada masa Tan Malaka merintis sekolah SI. Kaum intelektual menurut pandangan Tan Malaka pada masa itu jauh dari kehidupan dan penderitaan rakyat. Tidak adanya semangat pengorbanan dan pengabdian dikarenakan kebingungan posisinya antara rakyat dan pemerintah kolonial. Kaum ientelektual yang terasing dari kehidupan rakyat tersebut dikarenakan exclusivisme Budi Utomo dan National Indische Party yang pada masa itu dianggap Tan Malaka masih sangat lambat dan masih berdiri jauh dari kehidupan rakyat serta keaktifan politik. Permasalahan intelektualisme yang ibarat menara gading tidak akan banyak berdampak bagi rakyat tetapi butuh perbuatan dan bukti-bukti, salah satunya adalah keaktifan dalam pergerakan dan politik. 17 Pandangan Tan malaka, apabila kaum intelek tidak terlibat revolusi mereka tidak akan terlepas dari penderitaan pada masa berikutnya, dimana

17

Badruddin, Kisah Tan Malaka Dari BalikPenjara dan Pengasingan,(Yogyakarta :Araska, 2014),cet.Ke-1,h.64


(52)

pemikiran dan tenaga mereka akan dipakai oleh penjajah yang selanjutnya akan dicampakkan seperti kaum proletar, hal ini terjadi di India, Inggris, dan Jepang. Kaum intelektual harus tanggap terhadap gerakan perubahan, dimana barisan rakyat sedang merebut kemerdekaan, jangan tutup mata dan tidak perduli terhadap keadaan.

Kaum intelektual tidak bisa hanya menjadi penonton yang berpangku tangan, sementara mereka juga akan menikmati perjuangan kemerdekaan. Kaum intelektual harus berbesar hati melepaskan baju intelektual yang dirasanya lebih terhormat, dan harus ikut berkeringat bersama rakyat. Dengan terlibat dalam revolusi, kaum intelektual dapat mengabdikan moral dan intelektualitas mereka guna memperlancar revolusi, disitulah mereka akan rasakan manisnya kerja sosial. Sangat berbeda apabila mereka menjadi kaum individualis, mereka akan terperangkap dalam kesunyian kapitalisme.

Dengan keterlibatan kaum intelektual dalam barisan rakyat, makin kokohlah barisan perjuangan. Ilmu pengetahuan akan lebih baik jika digunakan bangsa sendiri, bukan untuk membantu raksasa imperialis dalam eksploitasi. Keterlibatan kaum intelektual akan membantu proses perwujudan kebangkitan ekonomi, sosial, intelektual dan kebudayaan. Seruan Tan Malaka kepada kaum intelektual tidak menjanjikan imbalan apa-apa kecuali satu, kemerdekaan bagi Indonesia. Bagi Tan Malaka perjuangan bangsa-bangsa yang tertindas di Timur hanya akan berhasil menggempur imperialisme apabila kaum buruh, kaum tani


(53)

dan cendikiawan bersatu padu. Sikap Tan Malaka sangat tegas, kemerdekaan harus direbut, jangan pernah mengharap belas kasihan dari pihak penguasa kolonial. Kaum terpelajar harus bergabung memperkuat revolusi, dan merasakan perjuangan bersama rakyat.

Tan Malaka merupakan sosok cerdas yang tegas menyatakan Hindia terlepas dari Belanda. Tan Malaka bergerak dari segala sudut kehidupan masyarakat, yang membuat dia terus mendapat tekanan dan pembuangan. Soal pendidikan dengan sengaja diabaikan oleh Belanda, sehingga kaum intelektual menjadi terbatas.18 Kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak membatasi pendidikan bagi pribumi, tentunya pada masa pejajahan derajat kaum intelektual Indonesia jauh berbeda. Akan banyak posisi strategis yang akan diisi oleh pribumi, seperti saudagar, tuan tanah, dan pegawai bumiputera. Indonesia tidak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkungan imperialisme Belanda. Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan politik ada ditangan rakyat. Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak dengan apapun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan tidak mau tunduk. Tentulah perangkat revolusi tersebut adalah pendidikan rakyat.19

18

Tan Malaka, Massa Aksi (Jakarta: Narasi, 2008), h, 7 19


(54)

Belanda ingin memformat pedidikan yang ada harus meniru pendidikan di Belanda secara utuh, karena bagi Belanda, lembaga pendidikan khususnya universitas yang ada di Belanda adalah yang terbaik dari universitas manapun. Hal ini tanpa memperhatikan karakter dan budaya Indonesia. Akibat politik pendidikan Belanda tersebut, Perguruan Rendah, Menengah, dan Tinggi masa penjajahan tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta.20

Politik pendidikan pemerintah kolonial dalam soal pengajaran dapat

diungkapkan dengan: ”Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketentraman

dan keamanan umum terpelihara.” Pergerakan pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, mereka dimasukkan ke penjara. Petani kebanyakan buta huruf dan bodoh, mereka ditekan dalam satu kontrak yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak disebutkan mereka tidak boleh berorganisasi dan mogok. Agar dapat mengadakan pemerasan atas kelas buruh yang jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya lebih kecil mempergunakan pendidikan untuk melemahkan perjuangan buruh.

Kalaupun pendidikan diberikan kepada rakyat, Belanda tetap menanam kepentingan kapitalistis. Rakyat diajar melupakan pertentangan kebangsaan, melupakan adat budaya, dan jati diri sebagai bangsa. Sehingga menyerahkan hidupnya kepada kemodalan kolonialis. Bangsa Hindia yang terpelajar telah

20


(55)

”berdamai” dengan Belanda dan melupakan bangsanya sendiri. Inilah politik etis

Belanda, memberikan pendidikan kepada kaum tertindas tetapi tetap berimbas kepada penindas dengan menjadi alat industri. Dalam kondisi masyarakat seperti inilah, menurut Tan Malaka reformasi bukan jalan terbaik. Seperti juga katanya adalah mustahil mencapai kesejahteraan bangsa apabila kekuasaan politik belum dicapai. Kemerdekaan politik adalah start menuju kemerdekaan segala bidang. Pandangan Tan Malaka, Indonesia yang maju harus terlepas dari logika mistis, lepas dari kekuatan-kekuatan gaib dan mulai mempergunakan ilmu pengetahuan. Sebagai patokan sains dan teknik maka Barat adalah acuan.

Menurut Franz Magnis Suseno, Tan Malaka tidak malu mengakui bahwa dia adalah murid Barat, karena di zaman modern Baratlah dirintis pemikiran materialistis, dialektik, dan logika. Indonesia harus merdeka berpikir dan berikhtiar, sudah saatnya berdiri atau berubah dengan mengerahkan daya upaya dengan kecakapan, perasaan dan kemauan. Manusia sebagai individu atau bangsa harus mempergunakan pemikiran dan tenaga buat memajukan kebudayaan manusia. Tan Malaka secara keras menyatakan bahwa manusia ataupun bangsa yang tidak menggunakan pemikiran dan tenaga bagi kemanusiaan maka tidak layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tidak ada perbedaan dengan binatang.

Pengagungan Tan Malaka terhadap ilmu pengetahuan Barat dalam konteks masa kolonial, tentu tidak dapat disalahkan. Karena kondisi masa itu, pribumi


(56)

nusantara benar-benar dalam kondisi kritis, jauh dari sikap ilmiah dan rasional. Sehingga belajar ke Barat menjadi solusi untuk membangun kesadaran merdeka dan bangsa bermartabat, bukan bangsa yang terjebak tahayul. Kritik Tan Malaka terhadap tidak berkembangnya sikap ilmiah dikalangan pribumi, ditulisnya secara detail dalam buku Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).

Jika dibandingkan sekarang, arah pendidikan di Indonesia hanya cenderung diwarnai arus menyambut globalisasi dan mengesampingkan cita-cita dan akar kebudayaan bangsa. Pendidikan yang hanya berorientasi globalisasi dikhawatirkan dapat melunturkan jiwa nasionalisme bangsa dan menafikan kepentingan bersama, rakyat Indonesia. Pendidikan yang mencetak pribadi yang kompetitif, lebih diatas namakan pribadi bukan lagi mengatasnamakan bangsa. Keberhasilan yan diraih dalam pendidikan hanya merujuk pada kepentingan pribadi. Akan lebih ironis sekali ketika keberhasilan yang diperoleh dalam pendidikan akan melahirkan penjajah-penjajah baru yang berasal dari saudara sendiri yang tentunya sangat bertentangan dengan jiwa sosialisme.

Dalam pendidikan berbasis Sosialisme, tujuan pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum proletar sebagai kaum yang tertindas. Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis, radikal, dan revolusioner yang pada akhirnya mampu mencetak


(57)

manusia yang sungguh-sungguh mau memperjuangkan orang yang tertindas.21 Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk kepentingan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan.

Tujuan pendidikan Marxisme dapat dilihat pada konsep sejarah dan analisis kritis yang mengatakan bahwa masyarakat harus diubah dari kapitalis ke sosialis. Di beberapa negara yang berpaham Marxisme-Leninisme, tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkan kesadaran seseorang untuk menjadi sosialis dan membentuk suatu masyarakat sosialis maka dari untuk mencapai tujuan maka pendidikan harus dilaksanakan.22

Dengan demikian, pendidikan karakter yang dimaksud membentuk insan manusia yang memiliki komitmen humaniter sajati, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, ia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demikemaslahatan masyarakatnya.

Konsep perjuangan membela kaum tertindas yang diasosiasikan pada rakyat miskin menunjukkan adanya pertautan antara nilai-nilai keagamaan dalam Islam mengandung nilai-nilai sosialisme dan pendidikan karakter Apabila dilihat kembali

21

Nurani Soyomukti, Metode Pendidikan Marxis Sosialis : (antara teori dan praktik),(Yogyakarta:Ar Ruzz Media,2012),h.221

22

Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan (Tradisional, (Neo) Liberal, marxis-Sosialis, Postmodern), (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2013),h.302


(58)

visi sosialime tentang pendidikan berkarakter yang ingin ditanamkannya sejalan dengan tujuan pendidikan Islam dimana tujuan pendidikan Islam yaitu untuk menciptakan manusia yang mempunyai akhlakul karimah dan menjadi Insan Kamil. Pendidikan harus sebagai proses untuk mewujudkan peserta didik menjadi orang yang baik dan bajik. Sosialisme tentang pendidikan berkarakter menciptakan manusia yang baik dan bajik akan memberi kekuatan kepada peserta didik. Karena itulah pendidikan akhlak harus menjadi tujuan utama.23

Politik Pendidikan dengan berbasis karakter ke-Indonesiaan adalah sebuah usaha untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan, dan ketidaktahuan, menjadikan hidup lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan sekitarnya, tidak ada lagi kasta dan pembeda kelas-kelas. Pendidikan didasarkan pada pembebesan rakyat tertindas, memperjuangkan kemerdekaan, kemakmuran dan persamaan sejati, pemerataan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari ketertindasan, dan merdeka dari penjajahan. Jadi sistem pendidikan yang bersifat untuk melawan penjajahan pada saat itu.

Lewat pendidikannya ini, Tan Malaka ingin menyatukan seluruh kekuatan rakyat untuk menumbangkan kolonialisme Belanda di Negara Indonesia. Dengan persatuan inilah, Tan Malaka tidak ragu-raguuntuk terjun dalam dunia pendidikan masyarakat Islam (Serikat Islam).24 Dalam hal merintis pendidikan kerakyatan tersebut, tujuan utamanya adalah usaha besar dan berat mencapai Indonesia

23

Ibid.,h121 24


(59)

Merdeka. Karena Tan Malaka berkeyakinan bahwa kemerdekaan rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan untuk menghadapi kekuasan kaum modal yang berdiri atas didikan yang berdasarkan kemodalan. Jadi, usaha Tan Malaka secara aktif ikut merintis pendidikan kerakyatan adalah menyatu dan tidak terpisah dari usaha besar memperjuangkan kemerdekaan sejati bangsa dan rakyatIndonesia.


(1)

Badruddin, Kisah Tan Malaka Dari Balik Penjara dan Pengasingan, (Yogyakarta:Araska,2014)

Beilhars, Peter, Teori-Teori Sosial, (Yogyakarta :Pustaka Belajar,2005) Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara,2006)

Dinas P & K ,Kamus Besar Bahasa Indonesia ,(Jakarta : Balai Pustaka , 2003) Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Gramedia, 2006)

Edwin, Fogelman, dan William Ebenstein, Isme-isme Dewasa Ini,(Jakarta : Erlangga 1990)

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi, (Surabaya: FITK, 2013)

Freire, Paulo, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembahasan), (Yogyakarta: Read, 2002)

Fromm, Erich¸ Konsep Manusia Menurut Marx,terjemahan: Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004)

Gie, Soe Hok, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan,(Yogyakarta : Bentang,2005)

Himani, Fatikul, Civic Education (Pendidikan Kewarnegaran), (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014)


(2)

Huda, Syamsul. Gerakan Politik Nasionalisme Tan Malaka, (Fakultas Ushuludin Jurusan Aqidah Filsafat,2007)

Kementerian Agama RI, Al-Qur;an dan Tafsirnya ( jakarta : Widya Cahaya)

Lihat di http:// Surat Kapar API dalam Harry A. Poeze. Pergulatan Menuju Republik 1897-1925. Jakarta: Grafiti. 2000. h. 121

Lihat di http://www.Biografi Terbesar Pahlawan Terlupakan dalam Sejarah Indonesia yg Dihargai di Eropa.html. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2015

Lihat di http://www.Ismail Banne Ringgi' Marxisme dan Pendidikan.htm. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2015

Lihat di http://www.sosialismedisuatunegara.htm.Diakses pada tanggal 2 Oktober 2015

Lihat di www.urbanhistoria.html.diakses pada tanggal 1 Nopember 2015

Lihat Tan Malaka. Naar De Republiek Indonesia. http://www.marxis.org/indonesia diakses pada tanggal 12 Desember

Makin, Moh, dan Baharuddin, Pendidikan Humanistik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006)

Malaka, Tan, Dari Penjara Ke Penjara III, (Jakarta: Teplok Press, 2000) , Dari Penjara Ke Penjara II, (Jakarta: Teplok Press, 2000)


(3)

, Islam Dalam Tinjauan Madilog, (Jakarta: Penerbit Wijaya, 2000) , Pandangan Hidup, (Jakarta: Penerbit Wijaya, 1952)

, SI Semarang dan Onderwijs, (Jakarta: Yayasan Massa, 1987)

,MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika),(Jakarta:Pusat Data Indikator,1999)

, Dari Penjara Ke Penjara I, ( Jakarta: Teplok Press,2000) , Massa Aksi (Jakarta: Narasi, 2008), h, 7

,Gerpolek:Gerilya-Politik-Ekonomi, (Yogyakarta:Narasi,2011

Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2007)

Mintarja, Endang, Politik Berbasis Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) Moelang, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosda Karya.

2002)

Mrazek, Rudolf, Tan Malaka,(Yogyakarta: Bigraf Publishing,1999)

Noer, Deliar, Pemikiran Poloitik di Negara Barat, (Bandung : Mizan,1999) Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda,( Jakarta: Grramedia,1898 )

Poesponogero, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975)


(4)

Poeze, Harry A, Tan Malaka,Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia,(Jakarta :Yayasan Obor Indonesia dan KITLV,2008)

, Pergulatan Menuju Republik, (Jakarta : Pustaka Utama Graffiti, 2000) Prabowo, Hary, Perspektif Marxisme Tan Malaka; Teori dan Praksis Menuju

Republik, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2000)

Prasetyo, Eko, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan,( Yogyakarta: INSIST PRESS, 2002)

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam ,(Jakarta: Kalam Mulia, 2004)

Rambe, Safrizal, Pemikiran Politik Tan Malaka (Kajian terhadap perjuangan sang kiri nasionalis),(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003)

Ridla, M. Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002)

Ritzer, George,Teori Sosiologi Modern, (Jakarta:Kencana, 2011) Sa’dulloh, Uyoh , Filsafat Pendidikan. (Bandung: Alfabeta, 2009)

Sargent, Lyman Tower, Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta : PT Bina Aksara,1986)


(5)

Soyomukti, Nurani, Metode Pendidikan Marxis Sosialis : (antara teori dan praktik), (Yogyakarta:Ar Ruzz Media,201)

, Teori-Teori Pendidikan (Tradisional, (Neo) Liberal, marxis-Sosialis, Postmodern), (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2013)

Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam, Pemikiran Ali Syari’ati, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003)

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo,1992)

Suroso, Suar, Marxisme Sebuah Kajian. (Tanpa tempat penerbitan: Hasta Mitra, 2009)

Suyudi, M, “Pendidikan Dalam Perspektif al-Quran” (Yogyakarta: Penerbit Mikraj, 2005)

Syaifuddin, Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)

Syam, Fidaus, Pengantar Ideologi dan Prinsip-Prinsip Kemasyarakaatan Dalam Islam, (Jakarta: HMI Cabang Jakarta 1985)

, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta : PT Bumi Aksara,2007)

Tobroni, Pendidikan Islam (paradigma teologis, filosofis dan spiritualis), (Malang:UMM Press,2008)


(6)

Triyono, Wahyu, “Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam http://www.kompasiana.com/posts/ type/opinion/ Diakses 1 Juli 2015

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Yogyakarta: Media Wacana Pers)

Zubair, Charis Ahmad dan Anton Bakker, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:Kanisius,1990)