Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia T1 312007008 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
A. ALASAN MEMILIH JUDUL
Keberadaan tanah adat dalam hukum positif Indonesia diakui dan
pengakuan ini antara lain terdapat dalam pasal 3 dan 5 UUPA. Namun dalam
pelaksanaan nya tetap saja terjadi penyimpangan dari undang-undang tersebut.1
Pengaturan mulai dari UUD, UU bahkan sampai peraturan perundangundangan lainnya masih mencantumkan pengecualian, batasan serta persyaratan
untuk dapat menerapkan hukum adat atau pengakuan terhadap masyarakat hukum
adat. Misalnya saja dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang. 2
Dengan demikian hal ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
penghormatan yang diberikan oleh Negara terhadap masyarakat hukum adat, yang
diberikan oleh Negara justru pembatasan-pembatasan yang mau tidak mau
menjadi sebuah keharusan untuk ditaati oleh warga Negara tak terkecuali
masyarakat hukum adat. Dengan adanya pembatasan tersebut pemerintah dalam
1

Vico, 2000, Skripsi, Implementasi Pengakuan Keberadaan Tanah Adat di Kab. Kotawaringin

Timur, Kalimantan Tengah, Fakultas Hukum Univ. Kristen Satya Wacana
2

Ahmad BIky, Disadur dari http://lpmprojustitia.blogspot.com/2010/06/pengakuan-ambivalenbagi-masyarakat.html. Tanggal akses: 22 juli 2010

1

politik hukumnya akan mengarahkan bahwa suatu saat nanti hak-hak adat akan
hilang atau dihilangkan. Bahkan yang lebih ekstrem lagi dengan adanya
pengakuan bersyarat dapat digunakan oleh pemerintah atau investor untuk
merampas tanah masyarakat hukum adat.
Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai
tanah oleh Negara disebut dengan hak menguasai Negara yang berisi seperti
dalam pasal 2 UUPA. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah
ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan antara perorangan dengan tanah melahirkan
hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan tersebut (hak menguasai tanah
oleh Negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis
dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan
tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak
jelas batas-batasnya kepada Negara untuk menguasai semua tanah yang ada

diwilayahnya Indonesia.
Beranjak dari persoalan diatas, yang menunjuk pada persoalan yang
dihadapi hukum positif untuk mengatur pengakuan hak atas tanah hukum adat,
mendorong penulis untuk mengkaji isu-isu tersebut dalam penelitian hukum
dengan judul :
“PENGAKUAN NEGARA TERHADAP HAK ATAS TANAH ADAT BAGI
MASYARAKAT ADAT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA.”

2

Definisi konsep:
Melihat judul tersebut dikemukakan definisi konsep judul sebagai berikut:
1. Pengakuan Negara adalah suatu perbuatan diakuinya sebagai
pengelola, pengguna, dan pemanfaat sumber daya alam nasional.
Pengakuan ini tertuang dalam peraturan-peraturan masyarakat adat.
Jadi pengakuan Negara dalam judul saya ini artinya adalah pengaturan
dalam perundang-undangan.
2. Tanah adat adalah tanah kepunyaan bersama,yang diyakini sebagai
karunia suatu kekuatan gaib / peninggalan Nenek Moyang kepada
kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur

pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa.3

B. LATAR BELAKANG MASALAH
Tanah adat adalah tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai
karunia suatu kekuatan gaib/ peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang
merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi
kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.4

3

Budi Harsono, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi,& pelaksanaannya, Djambatan, JilidI 2005, hal
181
4
Ibid.hal 181

3

Hak menguasai dari Negara berasal dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945
sebagai pasal yang mengatur tentang hukum Agraria di Indonesia yang mencakup

bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Bahwa Bumi, air,dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan
pasal 2 ayat(1) UUPA menyatakan bahwa dasar ketentuan pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud sebagai pasal1, bumi, air, dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.5
Kedudukan tanah dalam hukum adat sangatlah penting. Ada dua hal yan
menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum
adat, yaitu;
1. Karena sifatna yaitu satu-satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap
dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih
menguntungkan.
2. Karena fakta yaitu merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan
penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga
persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan, merupakan pula tempat

5


Sri Harini Dwiyatmi,Hukum Agraria,2008, FH,Salatiga, hlm 14

4

tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur
persekutuan.6
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat adat / komunal sebagai
realitas yang tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu ada baik seperti apa
pengakuan Indonesia merdeka dalam memahami realitas kemasyarakatan yang
bersifat komunal itu atau lebih dikenal dengan sebutan hukum adat dan
masyarakat adat itu sendiri, hal ini terdapat dalam Undang-undang no. 5 Tahun
1960 ( UUP. Agraria):
a. pasal 3 : “Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak hak yang serupa dengan itu dari masyarakat - masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang dan
Peraturan Peraturan lain yang lebih tinggi”
b. pasal 5: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasar atas persatuan bangsa , dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama.”

6

Surojo Wignjodipuro,SH.,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta.Hlm 197.

5

c. Dalam penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan, bahwa: “Dengan
sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum
rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum
adat, maka hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuanketentuan hukum adat sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan
dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan
sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam
pertumbuhanny tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial
yang kapitalis dan masya-rakat swapraja yang feodal.”

Pasal 3, 5 beserta penjelasannya serta penjelasan umum angka III (1)
tersebut memberi pemahaman bahwa pengakuan terhadap hukum adat tersebut
disertai syarat mengenai kenyataan eksistensi dan mengenai pelaksanaannya.
Dengan demikian pengakuan terhadap hukum adat sejatinya ada pembatasan bagi
keberlakuannya, namun tidak mengurangi pentingnya arti ketentuan pokok yang
diletakan dalam UUPA, bahwa hukum tanah nasional didasarkan pada Hukum
Adat.
Demikian pula harus dipahami bahwa hak ulayat tetap berlangsung
menurut ketentuan hukum adat sesuai dengan masyarakat adatnya masing-masing.
Sekalipun kepentingan masyarakat adat harus menyesuaikan dengan kepentingan
nasional, tidak berarti kepentingan masyarakat adat yang bersangkutan tidak akan
diperhatikan sama sekali, Sebagai contoh dalam pemberian suatu hak atas tanah
untuk keperluan proyek-proyek pembangunan, baik pemerintah maupun swasta

6

dimungkinkan penguasaan dan penggunaan bagian-bagian tanah/hutan ulayat
masyarakat hukum adat maka masyarakat hukum adat tersebut sebelumnya akan
didengar pendapatnya dan akan menerima “recognitie” serta pelepasannya harus
menurut ketentuan hukum adat dan masyarakat adat tersebut yaitu dengan izin

penguasa adat dan masyarakat hukum adat.
Fakta riil tentang hak atas tanah adat yang mendorong untuk
dilakukannnya pengaturan terhadap pengakuan hak atas tanah adat seperti :
- Dalam perkembangnya sekarang ini, banyak tanah adat yang berubah fungsi
menjadi bagian dari perkebunan skala besar, hal ini banyak terjadi di berbagai
daerah di Nusantara ini misalnya di Kalimantan Tengah, di Kotawaringin
Timur untuk kebun kelapa sawit7.
- Masyarakat Tau Taa Wana merupakan masyarakat adat yang bermukim di
hutan Morowali, di Kecamatan Petasia, Sulawesi Tengah8. Keberadaan
masyarakat To Wana diakui secara resmi oleh Pemerintah Indonesia sebagai
salah satu Komunitas Adat Terpencil yang ada di Sulawesi Tengah berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Sosial
No. 67 Tahun 2000 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT). Sampai
sekarang, anggota komunitas To Wana masih menganut agama lokal yang
disebut agama halaik.

7

Vico Aprae Ranan, Skripsi, Implementasi Pengakuan Keberadaan Tanah Adat di Kab.
Kotowinangun Timur, Kalimantan Tengah, 2000

8

Konstantin Rongko, 2005, Skripsi, Pemenuhan Hak Masyarakat Adat TO WANA Dalam
Pelaksanaan Social Forstry di Hutan Morowali, Kec. Petasia, Kab. Morowali (Suteng), Fakultas
Hukum, Univ. Kristen Satya Wacana.

7

- Kasus Bulukumba: terjadi antara PT PP Lonsum dengan masyarakat hukum
Adat Kajang. Masuknya PT PP Lonsum ke tanah Kajang telah mengusik
ketenangan penduduk. Para petani dan masyarakat adat dipaksa berganti dari
pemilik tanah menjadi petani penggarap/buruh tani di tanah leluhur mereka
sendiri. Sudah sejak tahun 1982, penduduk Kajang berperkara di Pengadilan
Negeri Bulukumba. Justru saat-saat eksekusi putusan yang memenangkan
gugatan penduduk Kajang, menjadi tidak jelas lagi. Akibat dari kekeliruan
eksekusi oleh Panitera PN yang kemudian justru dimentahkan kembali karena
tidak adanya kesepakatan tentang jumlah lahan dan batas-batas tanahnya9.
- Kasus Meratus ; Tukar guling Hutan Lindung Meratus.
Berdasar Perda No 9 Tahun 2000 Tanggal 21 Desember 2000 tentang RTRWP
Kalimantan Selatan ditetapkan alih fungsi Hutan Produksi seluas 66 ribu ha

yang terdiri dari milik PT Kodeco Timber (seluas 57 ribu ha) dan milik PT
Inhutani II (seluas 9000 ha) yang terletak di Das Sampanahan yang berstatus
hutan lindung dengan luas 46 ribu ha sebagai Hutan Produksi Terbatas. Tukar
guling lahan hutan yang sudah diproduksi oleh PT Kodeco di Das Batulicin
dengan Hutan Lindung di daerah Das Sampanahan seluas 46.270 ha menjadi
hutan Produksi Terbatas tersebut diprotes oleh banyak kalangan seperti LSM:
LPMA, AMAN, dan WALHI10.
- Masyarakat adat di Provinsi Bengkulu tersingkir dari lahan adat mereka yang
telah dihuni turun-temurun, menyusul masuknya perusahaan swasta besar yang

9

Lies Sugondo dalam Sri Harini Dwiyatmi, ADVANCED TRAINING, Hak-hak Masyarakat
Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia, Masyarakat Hukum
Adat Dalam Kerangka Hukum Nasional, Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007, hal 8
10
Lies Sugondo dalam Sri Harini Dwiyatmi, Ibid.

8


menguasai ribuan hektar lahan untuk usaha. Proses perizinan masuknya
investor oleh pemerintah yang tidak melibatkan masyarakat adat ditengarai
menjadi penyebabnya. Pada umumnya komunitas adat di Bengkulu
menghadapi konflik tanah dengan perusahaan swasta besar yang menanamkan
investasi di Bengkulu. Tanah adat mereka dicaplok oleh perusahaan swasta
yang telah mengantungi izin dari pemerintah. Proses penerbitan izin itu tidak
pernah melibatkan masyarakat adat. Saat ini di Bengkulu terdapat 26
komunitas adat yang tersebar, mulai dari Kabupaten Kaur di selatan Bengkulu
sampai ke Kabupaten Mukomuko di utara Bengkulu. Apabila persoalan tanah
antara perusahaan swasta besar dengan komunitas adat tidak diselesaikan,
maka dikhawatirkan dapat memicu persoalan sosial seperti kerawanan pangan,
pengangguran, bahkan kriminalitas. Karena itu, masyarakat adat

selalu

tersingkir padahal selama menguasai wilayah adatnya.11
- Dalam hasil penelitiannya tentang Sistem Sosial Budaya Kampung Kuta,
bahwa masyarakat adat dari sejak munculnya republik ini bahkan sampai
sekarang, masih diwarnai ketidakadilan dan dipandang “sebelah mata” dari
berbagai lini kehidupan. Namun saat ini, berangkat dari pengalaman
penderitaan masyarakat adat, telah menimbulkan kesadaran baru bahwa
kebijakan pembangunan dan hukum yang diproduksi oleh negara selama lebih
dari 30 tahun harus diperbaiki. Sedikitnya ada dua sumber ketidakadilan
hukum dan kebijakan pembangunan terhadap masyarakat adat. Pertama,
kebijakan-kebijakan pembangunan dan produk hukum yang mengawalnya

11

Haitami Sulani, disadur dari https://walhi.crowdmap.com/reports. tanggal akses: 9 februari 2012

9

sudah bias dengan semangat penyeragaman, bias formalitas, dan bias hukum
positif yang secara kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum
sebagaimana yang dikenal dalam beragam sistem sosial-budaya masyarakat
adat yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Kedua, berbagai produk
hukum yang mengatur atau berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat
dibuat saling kontradiktif satu sama lain atau dibuat mengambang (tidak jelas),
sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum yang bisa memberikan
pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dengan kondisi
ketidakpastian hukum ini, elit kekuasaan dapat melakukan intervensi
kekuasaan terhadap proses-proses hukum apabila proses-proses ini dianggap
mengganggu kepentingan dirinya dan kroni-kroninya. Namun dengan mulai
terbukanya kesadaran elemen-elemen semisal civil society, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan masyarakat adat sendiri ketidakadilan dan subordinasi
bisa diminimalisasi, bahkan mampu mengangkat daya indegenioustitas mereka
untuk bisa bersaing dengan masyarakat lainnya.12

C. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pengakuan Negara terhadap hak atas tanah adat bagi
masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum Indonesia?

12

Subhan Agung, disadur dari: http://mega.subhanagung.net/?p=50. Tanggal akses: 10 februari
2012

10

D. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui pengakuan yang ada dalam hak atas tanah adat bagi
masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum indonesia.

E. Metode Penelitian
1. Metode pendekatan
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach). Pendekatan ini akan memfokuskan pada peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat, dalam hal ini peraturanperaturan menyangkut masyarakat adat.13
2. Bahan hukum
a. Bahan hukum primer (primary legal materials) yang berupa bahan-bahan
hukum yang bersifat mengikat (authoritative). Bahan hukum primer yaitu
bahan hukum yang mengikat berupa norma dasar, peraturan dasar,
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti. antara lain :
1). Undang – Undang Dasar Negara RI tahun1945,
2). UU no. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria,
3). Instruksi Presiden No.1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan
Bidang
13

Peter Mahmud Marzuki, Pnelitian Hukum. Kencana, Jakarta, 2005, hal 96.

11

Keagrarian dengan Bidang Kehutanan,
4). UU no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
5). UU no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
6). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum
Adat,
7). UU no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
8). TAP MPR no. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan

Sumber Daya alam

9). UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
10). UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
11). UU no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral & batubara.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder
seperti kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar.

12

F. Unit Analisa
Unit analisa dalam penelitian ini meliputi pengakuan negara terhadap hak atas
tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum
Indonesia.

13

Dokumen yang terkait

HAK ATAS TANAH ANTARA MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU DAN NEGARA.

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam Sistem Hukum di Indonesia T1 312008033 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia T1 312006076 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia T1 312006076 BAB II

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia T1 312006076 BAB IV

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia T1 312006076 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia T1 312007008 BAB II

0 1 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia T1 312007008 BAB IV

0 0 2

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan T1 BAB I

0 0 15