Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia T1 312007008 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengantar

Bab ini akan membahas mengenai hukum hak atas tanah adat. Yang dimaksud dengan hukum hak atas tanah adat ini adalah tempat untuk menemukan pengertian hukum adat, hak adat, masyarakat adat, asas, dan prinsip-prinsip umum dalam hukum adat. Pembahasan yang dilakukan disini adalah dalam kaitan dengan tujuan penelitian penulis yang meliputi: mengetahui pengakuan yang ada dalam hak atas tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum indonesia.

B. Pengertian hukum adat, hak adat, masyarakat adat.

- Namun menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai

hukum kebiasaan. Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan itu memiliki perbedaan.


(2)

- Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan

hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das

sein das sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.

- Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori

keputusan) mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.

- C.van Vallenhoven menyebutkan adanya hukum adat golongan pribumi

dan hukum adat golongan timur asing.

- Syekh Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama

merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis


(3)

itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.

- Selanjutnya secara internasional Konvesi ILO 169 tahun 1989

merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam dinegara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.

- Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas.

- Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat

otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik,

ekonomi dsb) dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan

masyarakat adat yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan dibentuk oleh kekuatan lain misal kesatuan desa dengan LKMDnya. Kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional. Sehingga rumusan-rumusan mengenai Masyarakat Adat yang


(4)

dibuat pada masa sebelum kemerdekaan cenderung kaku dalam kondisi masyarakat adat yang statis tanpa tekanan perubahan, sedangkan rumusan tentang masyarakat adat yang dibuat setelah kemerdekaan lebih bersifat dinamis melihat kenyataan masyarakat adat saat ini dalam tekanan

perubahan.14

- Kusumadi Pudjosewojo menggunakan seburan “hukum Adat” sebagai

keseluruhan aturan hukum tidak tertulis. Hukum adat dalam pengertian ini bukan merupakan bidang hukum tersendiri disamping bidang-bidang hukum yang lain.

Dengan demikian hubungan hukum adat dengan masyarakat adat adalah hukum aslinya golongan pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan di dalam masyarakat adat.

C. Prinsip dan Asas dalam Hukum Tanah Nasional dan Hukum Adat 1. Pengertian

Dasar-dasar hukum agraria nasional diletakkan mulai pasal 1 sampai pasal 15 UUPA, sifat dari UUPA ialah nasional, baik formal maupun material. Formal nasional, karena dibuat oleh pembentuk undang-undang Indonesia, dan disusun

14Martua Sirait, disadur dari:

http://www.worldagroforestrycenter.org/sea/Publication/files/book/BK0047-04.PDF. tanggal akses: 28 november 2011


(5)

dalam bahasa Indonesia. Material Indonesia, karena berisi ketentuan yang sesuai

dengan asas-asas dan kepentingan nasional.15

2. Asas Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional

Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional antara lain adalah

a) Asas religiusitas (pasal1)

b) Asas kebangsaan (pasal 1,2,dan 9)

c) Asas demokrasi (pasal 9)

d) Asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial (pasal 6,7,10,11dan

13)

e) Asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (pasal 14dan

15)

f) Asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan tanah dan tanaman

yang ada diatasnya

3. Sifat-sifat Hukum Tanah Nasional.16

15 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta 1986, hal 200


(6)

a). Sifat Nasional formal

UUPA memulai dengan menyebut dalam konsideransnya cacat-cacat dan kekurangan-kekurangan Hukum tanah yang lama. Berhubung dengan itu Hukum Tanah yang lama tersebut harus diganti Hukum Tanah yang baru, Hukum Tanah Nasional. Hukum Tanah yang baru itu harus bersifat nasional, baik mengenai segi formal maupun materiilnya. Mengenai segi formalnya Hukum Tanah Nasional harus dibuat oleh pembentuk Undang-Undang Indonesia, dibuat di Indonesia dan disusun pula dalam Bahasa Indonesia. Lagipula Hukum Tanah Nasional berlaku diseluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada diwilayah tanah yang ada di wilayah Negara. UUPA memenuhi syarat nasional yang formal itu.

b). Sifat nasional materiil

Mengenai segi materiilnya Hukum Tanah yang baru harus nasional pula,yaitu berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem dan isinya. Dalam hubungan ini UUPA menyatakan pula dalam Konsideransnya, bahwa Hukum Agraria / Tanah harus:

1) Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah

2) Harus sederhana

3) Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia

4) Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum


(7)

5) Harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang-angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur

6) Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia

7) Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan

zaman dalam soal agraria

8) Harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha

Esa,Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai asas kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa, seperti yang tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

9) Harus merupakan pelaksanaan daripada Dekrit Presiden tanggal 5 juli

1959 dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960

10)Harus melaksanakan pula ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang

Dasar, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dalam memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, penggunaan itu bisa secara perseorangan maupun secara gotong royong.


(8)

4. Gambaran Hukum Tanah Nasional17

a) Hukum adat sebagai dasar

Bahwa Hukum Adat diakui sebagai dasar Hukum Tanah Nasional adalah sesuai dengan kepribadian bangsa kita, karena Hukum Adat adalah hukum asli kita. Dengan demikian, Hukum Adat tersebut masih harus dibersihkan dari cacatnya yang tidak asli dan kemudian disempurnakan hingga sesuai dengan tuntunan zaman.(penjelasan pasal 5 UUPA).

b) Hukum yang sederhana

Kesederhanan adalah sesuai dengan sifat dan tingkat pengetahuan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu hukumnya harus sederhana pula. Dengan menghapuskan dualisme dan memilih Hukum Adat sebagai dasar hukum baru, maka akan diperoleh kesederhanaan itu.

c) Jaminan kepastian hukum

Dengan bertambah majunya perekonomian rakyat dan perekonomian nasional kita bertambah pula keperluan akan kepastian mengenai soal-soal yang bersangkutan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi itu. Tanah rakyat tambah lama tambah banyak tersangkut dalam kegiatan-kegiatan tersebut, misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, pemberian kredit dan lain-lainnya. Berhubung dengan itulah makin lama makin terasa pula perlunya ada jaminan kepastian hukum dan kepastian hak di bidang pertanahan.


(9)

d) Unsur-unsur hukum agama

Bahwa Hukum Tanah Nasioanal tidak boleh mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama adalah sesuai dengan Pancasila, khususnya sila pertama. Bukankah Hukum Tanah harus mewujudkan pula penjelmaan dari Pancasila? Hubungan antara masyarakat dan orang-seorang anggota masyarakat dengan tanah dan bumi menurut Hukum Adat dan kepercayaan rakyat merupakan hubungan yang sifatnya bukan hanya sosial-ekonomis atau yuridis saja, tetapi juga apa yang dikatakan religio magis, suatu hubungan gaib, seperti; upacara panen, upacara jual-beli tanah dan sebagainya.

e) Fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dalam pembangunan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Betapa pentingnya fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam pembangunan masyarakat adil dan makmur, yang merupakan tujuan perjuangan kita, kiranya tidak memerlukan penjelasan lagi. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur perlu

dilakukan kegiatan-kegiatan pembangunan. Bagi penyelenggaraan

pembangunan fisik selalu diperlukan tanah. Bahkan bagi pembangunan dalam bidang-bidang tertentu yang memerlukan tanah yang luas (seperti perusahaan kebun besar, kawasan industri, perusahaan pembangunan perumahan) tersedianya tanah merupakan unsur yang menentukan apakah usaha yang direncanakan akan dapat dilaksanakan atau tidak.


(10)

Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan seperti dialami dimulai pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Pertama yang lalu (1969-1974) meningkat pula kebutuhan akan tanah. Hal ini tampak sekali didaerah-daerah dimana kegiatan pembangunan meningkat dengan cepat, seperti yang terjadi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan tanah bagi keperluan pembangunan itu secara memuaskan, dengan meningat pula penyediaannya untuk keperluan-keperluan lain, hingga tanah yang tersedia itu dapat dipergunakan secara efisien, diperlukan pengaturan, pengendalian dan pembinaan oleh Pemerintah, disamping jaminan kepastian hukum dan kepastian hak bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Hal-hal tersebut memerlukan landasan hukum dituangkan dalam Hukum Tanah yang efisien dan efektif.

f) Masyarakat Sosialis Indonesia dan unsur-unsur Sosialisme Indonesia

Pada waktu terbentuknya UUPA lazim dipergunakan kata-kata

“Revolusi”, “Sosialis Indonesia” dan “Masyarakat Sosialis Indonesia”.

Sebagai suatu Undang-Undang yang merupakan produk dari zamannya, didalam UUPA terdapat juga kata-kata tersebut. Dalam perkembangannya

sebutan “Sosialisme Indonesia” dalam Konsiderans dan berbagai pasalnya,

harus diartikan menurut pengertiannya pada tahun 1959-1960, yaitu tahun

disusunnya kembali Rancangan UUPA menjadi “Rancangan Sadjarwwo” dan


(11)

Dalam Konsiderans Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara no.II/MPRS/1960 terdapat penjelasan otentik mengenai pengertian

“Sosialisme Indonesia” tersebut. Dinyatakan bahwa “Masyarakat Sosialis Indonesia” adalah sama dengan “masyarakat-adil-dan-makmur-berdasarkan

Pancasila”. (Ringkasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara Republik Indonesia np. I dan II/MPRS/1960 terbitan Departemen Penerangan tahun 1962, halaman 51).

Dalam buku ringkasan tersebut diatas dimuat penjelasan mengenai

pengertian “Sosialisme Indonesia”, antara lain sebagai berikut: “Sosialisme

Indonesia adalah suatu ajaran gerakan tentang

tata-masyarakat-adil-dan-makmur berdasarkan Pancasila.

Tata-masyarakat-adil-dan-makmur-berdasarkan Pancasila adalan tuntunan Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia. Masyarakat-adil-dan-makmu berdasrkan Pancasila sebagai perwujudan Sosialisme Indonesia bersendi pokok pada Keadilan, Kerakyatan dan

Kesejahteraan”. Sosialisme Indonesia Indonesia yaitu tata

-masyarakat-adil-dan-makmur berdasarkan Pancasila”. Sosialisme Indonesia bukanlah

sosialisme seperti diartikan oleh negara-negara Barat atau seperti diartikan oleh negara-negara Sosialis asing, tetapi Sosialisme Indonesia berisi perpaduan yang laras dari unsur-unsur Sosialisme, yaitu Keadilan Sosial dan Kesejahteraan, dan unsur-unsur Indonesia, seperti tergambar dalam asas: Gotong-royong dan Kekeluargaan, yang merupakan ciri-ciri pokok dari kepribadian Indonesia.


(12)

Dalam melaksanakan Keadilan Sosial dan Kesejahteraan dengan berlandaskan Gotong-royong dan Kekeluargaan, tujuan yang dikejar dan akan dilaksanakan adalah: kesejahteraan bersama, dimana terdapat kemakmuran materiil dan spiritual dalam bentuk kekayaan umum bendaniah dan rohaniah yang melimpah-limpah serta pembagiannya yang rata dan merata sesuai dengan sifat perbedaan masing-masing warga dalam keluarga bangsa... Dalam bidang ekonomi Sosialisme Indonesia mengejar terwujudnya suatu tata-perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kekeluargaan, dimana Pemerintah dan Rakyat atau Negara dan Swasta bekerja bersama saling isi-mengisi untuk menjalankan produksi dan distribusi guna mewujudkan kekayaan umum yang berlimpah-limpah serta pembagiannya adil-merata. Dengan berpedoman, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang harus senatiasa diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang. Tata-perekonomian Sosialisme Indonesia berpedoman-dasar, bahwa tujuan dari segala usala dalam lapangan ekonomi dan keuangan adalah untuk mewujudkan keadilan dan melenyapkan penjajahan dalam bentuk apapun serta pemberantasan perbudakan yang memandang manusia hanya sebagai alat untuk kepentingan sendiri atau golongan sendiri. Kata-kata Sosialisme terdapat dalam UUPA dalam pasal 5 dan 14.

g) Harus sesuai dengan kepentingan rakyat

Hukum Tanah Nasional sudah barang tentu harus sesuai dengan kepentingan rakyat, artinya rakyat banyak, rakyat Indonesia. Bukan hanya rakyat orang-perorangan, apalagi rakyat asing. Hukum Tanah Nasional tidak


(13)

diadakan untuk hanya menjamin kepentingan orang-orang asing atau modal asing, seperti Agrarische Wet dahulu.

h) Harus memenuhi keperluan menurut permintaan zaman

Hukum Tanah Nasional bukan saja memenuhi keperluan-keperluan dewasa sekarang ini, tetapi harus memberi kemungkinan untuk menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan hari depan.

i) Harus mewujudkan penjelmaan daripada Pancasila

Bahwa Hukum Tanah Nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada Pancasila kiranya tidak memberikan penjelasan. Bukan hanya Hukum Tanah, bukan hanya Hukum Indonesia seluruhnya, tetapi seluruh kehidupan dan penghidupan Bangsa harus mewujudkan pancasila itu.

5. Hak Atas Tanah Adat

a). Pengertian Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang empunya hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Jadi, hak atas tanah adalah suatu hubungan hak yang berisi wewenang dan kewajiban dilihat dari ojeknya (tanahnya) merupakan status atau kedudukan hak yang masing-masing mempunyai sifat dan ciri-ciri tertentu yang


(14)

membedakan. Misalnya: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau

dengan hak lainnya. 18

b). Sifat dan ciri19

Dengan sifat dan ciri yang melekat pada setiap hak atas tanah tersebut terkandung hak dan kewajiban serta larangan. Hak bagi pemiliknya untuk menggunakan sesuai dengan sifat dan cirinya. Selain itu terdapat hak untuk menggunakan ruang diatas nama hak tersebut dan ruang di bawah hak tersebut yang dikenal dengan nama atau sebutan tubuh bumi sesuai dengan sifat dan ciri dari setiap hak.

Adapun dalam setiap hak melekat suatu kewajiban untuk memelihara agar dalam penggunaannya tidak bertentangan dengan sifat dan ciri hak tersebut serta tidak bertentangan dengan fungsi sosial dari setiap hak. Jenis hak atas tanah dalam pasal 16 UUPA menampakkan suatu sifat pengaturan hak atas tanah dalam hukum tanah nasional (UUPA). Sifat pengaturan hak atas tanah tersebut tampak pada perumusan pasal 16 ayat (1) huruf h bagian pertama yang berbunyi: selain

hak-hak tersebut diatas akan diatur dengan undang-undang……….. Dari

perumusan demikian memberikan pemahaman bahwa sifat pengaturan hak atas tanah dalam pasal 16 ini bersifat terbuka atau tidak limitative. Karena itu dimungkinkan timbulnya atau lahirnya hak atas tanah baru dengan pengaturan setingkat Undang-undang.

18 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1986, hal 229 19Sri Harini Dwiyatmi,.Hukum Agraria,2008, FH,Salatiga, hlm 19-22


(15)

Dengan demikian pasal 16 ini membuka kemungkinan lahirnya hak atas tanah baru. Dari perumusan tersebut sebenarnya tidak perlu lagi kuatir perlunya perubahan terhadap UUPA sebab pasal 16 memang memungkinkan lahirnya hak atas tanah baru ataupun namanya selama hal tersebut merupakan bagian dari permukaan bumi yang disebut tanah.

c). Macam-macam Hak Atas Tanah menurut UUPA20

Dalam UUPA diatur sekaligus ditetapkan tata jenjang atu hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, yaitu:

1) Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1 UUPA, sebagai hak

penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik

2) Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2 UUPA,

semata-mata beraspek publik

3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3 UUPA,

beraspek perdata dan publik

4) Hak-hak perseorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri

atas:

 Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya

secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam pasal 16 dan 53 UUPA


(16)

 Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan dalam pasal 49 UUPA

 Hak Jaminan atas Tanah yang disebut hak tanggungan dalam pasal

25, 33, 39, dan 51 UUPA

Sedangkan macam-macam Hak Atas Tanah, disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 dan 2, dan pasal 53 UUPA.

- Pasal 4 ayat 1 dan 2 bunyinya sebagi berikut:

(1). Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta bahan-bahan hukum

(2). Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi

- Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara tersebut diatur dalam


(17)

(1). Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat.

(2). Ketentuan dalam pasal 52 ayat 2 dan 3 UUPA berlaku terhadap peraturan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.

Selain hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang disebutkan diatas, dijumpai tanah-tanah lain yang juga dikuasai dengan hak-hak atas tanah primer, yang juga termasuk dalam pengertian tanah-tanah hak. Yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak-hak individual:

(1). Diatas tanah Hak Ulayat, yang diperoleh para warga masyarakat hukum adat bersangkutan, menurut Hukum Adat yang berlaku, setelah mengalami konversi

(2). Diatas tanah kaum, yang diperoleh para warganya menurut hukum adat Kaum yang bersangkutan, setelah mengalami konversi.

(3). Diatas tanah Hak Pengelolaan, yang atas permintaan pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan, diberikan Negara, dalam hal ini Bdan Pertanahan Nasional, kepada pihakpihak yang memerlukan.

(4). Diatas tanah yang termasuk Kawasan Hutan, yang dengan persetujuan Menteri Kehutanan, diberikan Negara,dalam hal ini Badan Pertanahan Nasiona,


(18)

kepada pihak-pihak yang memerlukan untuk kegiatan usaha yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan Hak Penguasaan Hutan,

Bagi pemegang hak-hak atas tanah yang disebutkan diatas juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Pada umunya dapat disimpulkan, bahwa selain memberikan kewenanganuntuk mempergunakan tanah yang dihaki, seperti halnya dalam Hukum Adat, hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional juga meletakkan kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang bersangkutan. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut yang bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah, diatur dalam:

(1). Pasal 6 yang menyatakan, bahwa: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial

(2). Pasal 15 UUPA dihubungkan dengan pasal 52 ayat 1 tentang kewajiban memelihara tanah yang dihaki

(3). Pasal 10 UUPA khusus mengenai tanah pertanian, yaitu tentang

kewajiban bagi pihak yang mempunyai untuk mengerjakan atau


(19)

D. Konsepsi dan Sistem Hukum Adat21

1. Konsepsi Hukum Adat

Hukum adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.

Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum Adat atas tanah, dalam kepustakaan umum disebut hak ulayat. Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan Masyarakat hukum Adat,sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah tampak sifat religious atau unsur keagamaan dalam hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya itu.

Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang umum disebut hak milik. Penguasaan dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan sendiri secara individual atau bersama-sama dengan warga kelompok lain. Tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Karena itu, penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.


(20)

Hak penguasaan yang individual tersebut merupakan hak yang bersifat pribadi, karena tanah yang dikuasainya diperuntukan bagi pemenuhan pribadi dan keluarganya. Bukan untuk pemenuhan kebutuhan kelompok. Kebutuhan kelompok dipenuhi dengan penggunaan sebagian tanah-bersama oleh kelompok dibawah pimpinan Kepala Adat Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan. Misalnya, tanah untuk tempat pengembalaan ternak bersama atau tanah untuk pasar dan keperluan bersama lainnya.

Dengan demikian, Hak Ulayat dari Masyarakat Adat tersebut:

a. Selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para

anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata.

b. Juga mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin

penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya, yang termasuk bidang hukum publik.

Tugas kewajiban mengelolah, mengatur dan memimpin penguasaan tanah-bersama, baik yang diperuntukkan bagi kepentingan kepentingan bersama oleh warga masyarakat Hukum Adat itu sendiri. Maka, sebagian tugas tersebut pelaksanaannya sehari-hari diserahkan kepada Kepala Adat atau bersama para Tetua Adat.

Hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan milik dalam arti yuridis, melainkan merupakan hak kepunyaan bersama. Maka, dalam rangka hak ulayat, dimungkinkan adanya Hak Milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh warga Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.


(21)

2.Sistem hak-hak penguasaan atas tanah22

Dalam hukum adat hak penguasaan atas tanah tertinggi adalah Hak Ulayat, yang mengandung 2 unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Subjek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik territorial ataupun genealogic, sebagai bentuk-bersama para warganya. Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Di bawah Hak Ulayat adalah Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, yang sebagai petugas masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur, pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaan tanah bersama tersebut. Tugas kewenangan ini beraspek hukum public semata.

Kemudian ada berbagai hak-hak atas tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Ulayat, sebagai hak-bersama.

Sebagai hak-hak perorangan yang merupakan hubungan hukum konkret pengaturannya termasuk bidang hukum perdata. Tetapi pengaturan penguasaan dan penggunaannya oleh masyarakat hukum adat dan Kepala Adat termasuk bidang hukum publik.

Maka Hukum Tanah Adat memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan baik Hukum Tanah Perdata maupun Hukum Tanah Administratif.

Dalam Hukum Tanah Adat tidak dikenal lembaga hak jaminan atas tanah dalam pengertian modern. Yaitu hak yang diberikan kepada kreditur untuk, jika debitur ingkar janji, menjual lelang tanah yang ditunjuk sebagai jaminan, dan


(22)

mengambil seluruh atau bagian dari hasil penjualan tersebut bagi pelunasan piutangnya, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Dalam

Hukum Adat dikenal lembaga “jonggolan”.

Dibandingkan dengan sistem-sistem hukum lain, akan jelas tampak perbedaannya. Sebagai telah dikemukakan diatas dalam Hukum Adat hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah Hak Ulayat, yang memungkinkan pemilik tanah secara individual yang bersifat pribadi.

Dalam sistem Hukum Tanah Barat yang berkonsepsi individualistik, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak milik pribadi, yang disebut Hak Eigendom. Tanah diseluruh wilayah Negara terbagi habis dalam tanah-tanah hak eigendom Negara. Hak-hak penguasaan yang lain bersumber pada hak eigendom perorangan dan hak eigendom Negara tersebut.

Dalam sistem Hukum Tanah yang berkonsepsi komunis, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak milik-bersama dari rakyat, yang untuk sementara diwakili oleh Negara. Hak milik-bersama tersebut meliputi semua tanah diseluruh wilayah Negara. Maka tidak dikenal hak milik pribadi atas tanah.

3.Asas-asas/konsepsi, lembaga-lembaga hukum, dan sistem hukum adat23

a. Asas-asas/konsepsi Hukum Adat yang diambil sebagai dasar.

- Menurut Konsepsi Hukum Adat, hubungan manusia dengan kekayaan

alam, seperti tanah mempunyai sifat “reliomagis”, artinya kekayaan

alam itu merupakan kekayaan yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang

23 Prof.Dr.H.Muchsin.SH.,Iman Koeswahyono,SH.,M.Hum.,Soimin,SH.,Hukum Agraria


(23)

Maha Esa pada masyarakat hukum adat. Konsep ini kemudian dimuat dalam pasal 1 ayat(2) UUPA

- Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dikenal hak ulayat. Hak

ulayat ini bukan hak untuk dimiliki, akan tetapi hanya merupakan hak menguasai. Hak ulayat ini kemudian dijadikan dasar dalam menetukan hubungan Negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. (pasal 2 UUPA).

- Di dalam konsep Hukum Adat disamping ada hak masyarakat hukum

adat yaitu hak ulayat, juga hak perseorangan atas tanah diakui. Artinya masing-masing individu mempunyai kesempatan untuk mempunyai hak atas tanah. Konsep ini kemudian dimuat dalam pasal 4 dan 16 UUPA

- Di dalam Hukum Adat dikenal suatu asas:”Di dalam hak-hak individu

selalu terlekat hak masyarakat”. Hal ini merupakan perwujudan dari sifat kemasyarakatan Indonesia. Asas ini mengandung arti bahwa penggunaan hak individu harus memperhatikan dan bahkan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Konsep ini kemudian dimuat dalam pasal 6UUPA.

- Dalam masyarakat hukum adat dikenal asas gotong royong. Setiap

usaha yang menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu dikatakan sebagai gotong royong. Hal ini untuk mencegah adanya persaingan dan pemerasan antara golongan yang mampu terhadap golongan yang tidak mampu. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam pasal 12 ayat (1)UUPA.


(24)

- Asas yang lain dari Hukum Adat adalah ada perbedaan antara warga masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dengan penguasaan, penggunaan kekayaan alam. Warga masyarakat dapat mengolah, memetik hasil hutan, dan bahkan mempunyai tanah. Sedangkan warga asing tidak mempunyai hak atas tanah, mereka hanya dapat memetik hasil hutan dan itupun dengan syarat harus memperoleh izin dari kepala adat masyarakat yang bersangkutan. Dalam konsepsi ini ada perbedaan kedudukan antara warga masyarakat dengan warga asing dalam hubungannya dengan penguasaan tanah tanah. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam pasal 9 UUPA.

b. Lembaga-lembaga Hukum Adat

Yang dimaksud lembaga hukum adat yang diambil sebagai dasar utama pembentuk Hukum Agraria Nasional adalah susunan macam-macam hak atas tanah yang ada dalam Hukum Adat seperti hak milik/hak yasan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak menikmati hasil hutan. Susunan macam-macam hak atas tanah yang demikian ini kemudian diangkat dan dijadikan dasar dalam penyusunan hak-hak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional sebagaimana yang diatur dalam pasal 16 UUPA.

Namun demikian, macam-macam hak atas tanah yang ada dalam hukum adat tersebut masih perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang menuju masyarakat modern. Penyempurnaan tersebut adalah adanya tambahan hak baru, yaiti hak guna usaha dan hak guna


(25)

bangunan. Juga adanya keharusan pendaftaran tanah terhadap macam-macam hak atas tanah tersebut.

c. Sistem Hukum Agraria Adat terutama mengenai sistematika hubungan

manusia dengan tanah.

Di dalam sistem hukum adat , tanah merupakan hak milik bersama masyarakat hukum adat atau yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ini merupakan hak yang tertinggi kedudukannya. Hak ulayat ini mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan artinya semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan, dan unsur kewenangan yaitu untuk mengatur, merencanakan, dan memimpin penggunaannya. Kemudian karena anggota masyarakat tidak mungkin melaksanakan pengurusan hak ulaya, maka tugas tersebut dilimpahkan kepada kepala adat. Namun yang perlu ditekankan pelimpahan itu hanya mengenai unsure kewenangan saja. Atas dasar kewenangan itu, kepala adat berhak memberikan hak-hak atas tanah kepada perseorangan seperti hak milik/hak yasan, hak pakai dan sebagainya.

Sebagai hukum adat ini diangkat sebagai sistem Hukum Agraria Nasional, yang dimuat dalam pasal 2, pasal 4 dan pasal 16 UUPA.

E. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat24 1. Hak Ulayat.

Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam


(26)

lingkungan wilayahnya. Sebagaimana telah kita ketahui, wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya.

Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai

“res nullius”.

Masyarakat hukum adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai Hak Ulayat, bukan orang seorang.

Hak Ulayat mempunyai kekuatan berlaku didalam dan keluar. Kedalam berhubungan dengan para warganya. Sedang kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut

“orang asing” atau “orang luar”.

2. Hak Ulayat dalam UUPA.25

Hak Ulayat diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disertai syarat yaitu

mengenai “eksistensinya” dan mengenai pelaksaannya, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, demikian pasal 3. Didaerah -daerah dimana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di


(27)

daerah-daerah dimana tidak pernah ada Hak Ulayat, tidak akan dilahirkan Hak Ulayat baru. Pelaksanaan Hak Ulayat diatur juga didalam pasal 3.

“Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan UndangUndang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi”, demikian pasal 3.

Pengalaman menunjukkan, bahwa ada kalanya Hak Ulayat itu

pelaksanaanya menghambat, bahkan merintangi usaha-usaha besar

Pemerintah. Sebagai contoh dapat dikemukakan kesukaran yang harus diatasi Pemerintah untuk mendapat tanah guna pelaksanaan usaha proyek pertanian modern di Waytuba (Sumatra Selatan) pada menjelang tahun 1960. Masyarakat hukum adat yang bersangkutan hanya bersedia menyerahkan tanahnya yang notabene berupa tanah alang-alang yang tidak mungkin dapat

diusahakan sendiri sendiri oleh anggota–anggota masyarakat hukum itu

dengan syarat-syarat yang bukan-bukan. Pengalaman pun menunjukkan bahwa Hak Ulayat ada kalanya merupakan penghambat pembangunan daerah itu sendiri. UUPA mendudukkan Hak Ulayat itu pada tempat yang sewajarnya dalam alam bernegara dewasa ini. Memori penjelasan (angka II/3) menegaskan, bahwa kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas. Hak Ulayat pelaksanaanya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidak dapat dibenarkan- demikian memori penjelasan jika dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum


(28)

adat masih mempertahankan isi dan pelaksanaan Hak Ulayat secara mutlak. Seakan-akan masyarakat hukum adat itu terlepas dari masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya, didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Seakan-akan anggota- anggota masyarakat hukum itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu. Seakan-akan tanah wilayahnya itu

hanya diperuntukkan bagi anggota–anggota masyarakat hukum adat itu

sendiri. Sikap yang demikian oleh UUPA dianggap bertentangan dalam pasal 1 dan 2.

UUPA berpangkal pada pengakuan Hak Ulayat dalam hukum Tanah yang

baru, tetapi pelaksanaannya dibatasi. Jika pemerintah akan memberikan

sesuatu hak atas tanah (umpama hak guna-usaha untuk usaha perkebunan), maka sebagai tanda pengakuan itu masyarakat hukum adat yang bersangkutan

sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang

memang ia berhak menerimanya sebagai pemegang Hak Ulayat. Contoh ini diberikan dalam Memori Penjelasan. Dari contoh ini kita dapat mengetahui

pula pendirian UUPA mengenai hubungan Hak Ulayat dengan “tanah Negara”. Menurut pasal 28 ayat 1 yang dapat diberikan dengan Hak

Guna-Usaha ialah tanah–tanah yang dikuasai oleh Negara”. Tanah–tanah demikian

itu disebut “tanah Negara”. Dalam contoh diatas tanah yang diberikan dengan

hak guna-usaha itu masih ada Hak Ulayatnya. Jadi tanah–tanah yang masih

ada Hak Ulayatnya pun menurut pengertian UUPA termasuk golongan “tanah

Negara”, termasuk golongan tanah yang “dikuasai langsung oleh Negara”. Pemberian “recognitie” bukanlah berarti, bahwa Hak Ulayat itu dilepaskan


(29)

oleh masyakat hukum adat yang bersangkutan. Tetapi justru merupakan suatu pengakuan adanya hak tersebut. Jika demikian apakah selama hak guna-usahanya berlangsung sampai 50-60 tahun sedang gejala-umumnya adalah bahwa Hak Ulayat karena berbagai faktor, baik intern maupun extern tambah lama tambah menjadi lemah atau hilang sama sekali. Bagaimana nasib Hak Ulayat sesudah Hak Guna-Usahanya berakhir kiranya akan tergantung pada keadaan dan kekuatan Hak-hak Ulayat di daerah sekitar areal Hak Guna-Usaha tersebut pada waktu itu.

UUPA dan Hukum Tanah Nasional kita tidak menghapus Hak Ulayat, tetapi juga tidak akan mengaturnya. Mengatur Hak Ulayat dapat berakibat

melanggengkan eksistensinya. Padahal perkembangan masyarakat

menunjukkan kecenderungan akan hapusnya Hak Ulayat tersebut melalui proses alamiah. Yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Kecenderungan tersebut tampak pada perkembangan tanah–tanah kaum di

Minangkabau, yang dimintakan perdaftaran sebagai tanah milik-bersama. Setelah didaftar sebagai milik-bersama, maka diadakan pemecahan menjadi tanah-tanah hak milik para anggota kaum masing-masing. Padahal hak penguasaan oleh para anggota kaum menurut hukum adat bukan hak milik,

melainkan “ganggam bauntuak”, yang dalam Hukum Tanah Nasional kita


(30)

3. Eksistensi Hak Ulayat26

UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Namun, kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah:

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat,

b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat;

c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hukum.

Dipenuhi ketiga persyaratan tersebut secara komulatif, kiranya cukup objektif sebagai penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, sehingga misalnya, walaupun ada masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, maka hak ulayat dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.

Pemenuhan kriteria tersebut sesuai rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di satu pihak, Bila hak ulayat memang sudah menipis atau sudah tidak ada lagi hendaknya hal ini menjadi kesadaran bersama, bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia sejak 17 agustus 1945. Tidaklah pada tempatnya untuk mencoba

26 Maria S.W. Sumarjono,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,Penerbit:


(31)

menghidupkan kembali hal-hal yang justru dapat mengamburkan kesadaran berbangsa dan bertanah air satu.

Dipihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada maka harus diberikan pengakuan atas hak tersebut disamping pembebanan kewajiban oleh Negara. Pengakuan atas hak itu tampak misalnya,apabila tanah ulayat diberikan untuk pembangunan ( sesuai dengan fungsi social yang melekat pada hak ulayat) maka pihak yang memerlukan tanah harus minta izin pada masyarakat hukum tersebut. Dan apabila diperlukan,juga memberikan pemulihan keseimbangan berupa apapun bagi seluruh anggota masyarakat hukum tersebut maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat hukum tersebut, antara lain berupa pemeliharaan tanah, penambahan kesuburannya, serta pelestarian lingkungannya.


(1)

lingkungan wilayahnya. Sebagaimana telah kita ketahui, wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya.

Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai “res nullius”.

Masyarakat hukum adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai Hak Ulayat, bukan orang seorang.

Hak Ulayat mempunyai kekuatan berlaku didalam dan keluar. Kedalam berhubungan dengan para warganya. Sedang kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut “orang asing” atau “orang luar”.

2. Hak Ulayat dalam UUPA.25

Hak Ulayat diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disertai syarat yaitu mengenai “eksistensinya” dan mengenai pelaksaannya, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, demikian pasal 3. Didaerah -daerah dimana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di


(2)

daerah-daerah dimana tidak pernah ada Hak Ulayat, tidak akan dilahirkan Hak Ulayat baru. Pelaksanaan Hak Ulayat diatur juga didalam pasal 3.

“Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan UndangUndang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi”, demikian pasal 3.

Pengalaman menunjukkan, bahwa ada kalanya Hak Ulayat itu pelaksanaanya menghambat, bahkan merintangi usaha-usaha besar Pemerintah. Sebagai contoh dapat dikemukakan kesukaran yang harus diatasi Pemerintah untuk mendapat tanah guna pelaksanaan usaha proyek pertanian modern di Waytuba (Sumatra Selatan) pada menjelang tahun 1960. Masyarakat hukum adat yang bersangkutan hanya bersedia menyerahkan tanahnya yang notabene berupa tanah alang-alang yang tidak mungkin dapat diusahakan sendiri sendiri oleh anggota–anggota masyarakat hukum itu dengan syarat-syarat yang bukan-bukan. Pengalaman pun menunjukkan bahwa Hak Ulayat ada kalanya merupakan penghambat pembangunan daerah itu sendiri. UUPA mendudukkan Hak Ulayat itu pada tempat yang sewajarnya dalam alam bernegara dewasa ini. Memori penjelasan (angka II/3) menegaskan, bahwa kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas. Hak Ulayat pelaksanaanya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidak dapat dibenarkan- demikian memori penjelasan jika dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum


(3)

adat masih mempertahankan isi dan pelaksanaan Hak Ulayat secara mutlak. Seakan-akan masyarakat hukum adat itu terlepas dari masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya, didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Seakan-akan anggota- anggota masyarakat hukum itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu. Seakan-akan tanah wilayahnya itu hanya diperuntukkan bagi anggota–anggota masyarakat hukum adat itu sendiri. Sikap yang demikian oleh UUPA dianggap bertentangan dalam pasal 1 dan 2.

UUPA berpangkal pada pengakuan Hak Ulayat dalam hukum Tanah yang baru, tetapi pelaksanaannya dibatasi. Jika pemerintah akan memberikan sesuatu hak atas tanah (umpama hak guna-usaha untuk usaha perkebunan), maka sebagai tanda pengakuan itu masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya sebagai pemegang Hak Ulayat. Contoh ini diberikan dalam Memori Penjelasan. Dari contoh ini kita dapat mengetahui pula pendirian UUPA mengenai hubungan Hak Ulayat dengan “tanah Negara”. Menurut pasal 28 ayat 1 yang dapat diberikan dengan Hak Guna-Usaha ialah tanah–tanah yang dikuasai oleh Negara”. Tanah–tanah demikian itu disebut “tanah Negara”. Dalam contoh diatas tanah yang diberikan dengan hak guna-usaha itu masih ada Hak Ulayatnya. Jadi tanah–tanah yang masih ada Hak Ulayatnya pun menurut pengertian UUPA termasuk golongan “tanah Negara”, termasuk golongan tanah yang “dikuasai langsung oleh Negara”. Pemberian “recognitie” bukanlah berarti, bahwa Hak Ulayat itu dilepaskan


(4)

oleh masyakat hukum adat yang bersangkutan. Tetapi justru merupakan suatu pengakuan adanya hak tersebut. Jika demikian apakah selama hak guna-usahanya berlangsung sampai 50-60 tahun sedang gejala-umumnya adalah bahwa Hak Ulayat karena berbagai faktor, baik intern maupun extern tambah lama tambah menjadi lemah atau hilang sama sekali. Bagaimana nasib Hak Ulayat sesudah Hak Guna-Usahanya berakhir kiranya akan tergantung pada keadaan dan kekuatan Hak-hak Ulayat di daerah sekitar areal Hak Guna-Usaha tersebut pada waktu itu.

UUPA dan Hukum Tanah Nasional kita tidak menghapus Hak Ulayat, tetapi juga tidak akan mengaturnya. Mengatur Hak Ulayat dapat berakibat melanggengkan eksistensinya. Padahal perkembangan masyarakat menunjukkan kecenderungan akan hapusnya Hak Ulayat tersebut melalui proses alamiah. Yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Kecenderungan tersebut tampak pada perkembangan tanah–tanah kaum di Minangkabau, yang dimintakan perdaftaran sebagai tanah milik-bersama. Setelah didaftar sebagai milik-bersama, maka diadakan pemecahan menjadi tanah-tanah hak milik para anggota kaum masing-masing. Padahal hak penguasaan oleh para anggota kaum menurut hukum adat bukan hak milik, melainkan “ganggam bauntuak”, yang dalam Hukum Tanah Nasional kita konversinya menjadi Hak Pakai (pasal VI Ketentuan-ketentuan Konversi).


(5)

3. Eksistensi Hak Ulayat26

UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Namun, kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah:

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat,

b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat;

c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hukum.

Dipenuhi ketiga persyaratan tersebut secara komulatif, kiranya cukup objektif sebagai penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, sehingga misalnya, walaupun ada masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, maka hak ulayat dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.

Pemenuhan kriteria tersebut sesuai rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di satu pihak, Bila hak ulayat memang sudah menipis atau sudah tidak ada lagi hendaknya hal ini menjadi kesadaran bersama, bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia sejak 17 agustus 1945. Tidaklah pada tempatnya untuk mencoba


(6)

menghidupkan kembali hal-hal yang justru dapat mengamburkan kesadaran berbangsa dan bertanah air satu.

Dipihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada maka harus diberikan pengakuan atas hak tersebut disamping pembebanan kewajiban oleh Negara. Pengakuan atas hak itu tampak misalnya,apabila tanah ulayat diberikan untuk pembangunan ( sesuai dengan fungsi social yang melekat pada hak ulayat) maka pihak yang memerlukan tanah harus minta izin pada masyarakat hukum tersebut. Dan apabila diperlukan,juga memberikan pemulihan keseimbangan berupa apapun bagi seluruh anggota masyarakat hukum tersebut maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat hukum tersebut, antara lain berupa pemeliharaan tanah, penambahan kesuburannya, serta pelestarian lingkungannya.


Dokumen yang terkait

HAK ATAS TANAH ANTARA MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU DAN NEGARA.

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam Sistem Hukum di Indonesia T1 312008033 BAB II

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia T1 312006076 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia T1 312006076 BAB II

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia T1 312006076 BAB IV

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia T1 312006076 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia T1 312007008 BAB I

0 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia T1 312007008 BAB IV

0 0 2

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan T1 BAB II

0 7 63