Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Perawat Panti Jompo "X" Cimahi.

(1)

i Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada perawat panti jompo X Cimahi. Penelitian ini dilakukan kepada populasi berjumlah 19 orang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff. Penghitungan validitas dan reliabilitas dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan teknik korelasi dari Pearson dan Alpha Cronbach dengan 14 item valid dengan nilai 0.339-0.666 dan reliabilitas 0.650 yang tergolong sedang. Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa perawat panti jompo X Cimahi yang memiliki derajat self-compassion rendah sebanyak 79% dan perawat panti jompo X Cimahi yang memiliki derajat self-compassion tinggi sebanyak 21%. Saran yang diberikan peneliti adalah melakukan penelitian dengan pertanyaan terbuka mengenai faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion dan memperbanyak subjek penelitian.


(2)

ii Universitas Kristen Maranatha

Abstract

The research was conducted tto determine the degree of self-compassion of nurse in Nursing Home X Cimahi. The population for this research are all the nurse form Nursing Home X that consist of 19 people. The mothod in this research is descriptive with survey technique. The instrument that being use to collect data created by Neff (2003) which has been translated into Indonesian by Riasnugrahani and has been approved by Neff. Validity and reliability calculation done by researcher using Pearson correlation and Cronbach alpha and the result was 14 item were valid with value 0.339-0.666 and this instrument has 0.650 reliability (average). Based on the result of data processing it is know that 79% nurses of Nursing Home X Cimahi has a low degree of self-compassion and 21% nurses of Nursing Home X Cimahi has a high degree of self-compassion. Advice from researcher is to give an open question about factors that measure self-compassion and to expand subject of research.


(3)

vi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

ABSTRACT...ii

LEMBAR PENGESAHAN...iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR BAGAN...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

DAFTAR BAGAN LAMPIRAN...xiii

Bab I Pendahuluan...1

1.1.Latar Belakang Masalah...1

1.2.Identifikasi Masalah...9

1.3.Maksud dan Tujuan Penelitian...9

1.3.1.Maksud Penelitian...9

1.3.2.Tujuan Penelitian...9

1.4.Kegunaan Penelitian...9

1.4.1. Kegunaan Teoritis...9

1.4.2.Kegunaan Praktis...10

1.5.Kerangka Pemikiran...10

1.6.Asumsi...18


(4)

vii Universitas Kristen Maranatha

2.1.Self-Compassion...19

2.1.1.Pengertian Self-Compassion...19

2.1.2.Komponen-Komponen Self-Compassion...20

2.1.2.1. Self-Kindness...20

2.1.2.2. Common Humanity...22

2.1.2.3. Mindfulness...23

2.1.2.4. Korelasi antar Komponen...25

2.1.3.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion...26

2.1.3.1. Personality...26

2.1.3.2. Jenis Kelamin...29

2.1.3.3. Attachment...30

2.1.3.4. Pola Asuh Orangtua...32

2.1.3.4.1. Maternal Critisicm dan Maternal Support....32

2.1.3.4.2. Modeling Parents...34

2.1.3.5. The Role of Culture...35

2.1.4.Kegunaan Self-Compassion...37

2.1.5.Perbedaan Pengertian Compassion dengan Pity, Self-Indulgence, dan Self-Esteem...43

2.2.Perawat...45

Bab III Metodologi Penelitian...46

3.1. Rancangan Penelitian...46

3.2. Bagan Rancangan Penelitian...46


(5)

viii Universitas Kristen Maranatha

3.3.1.Variabel Penelitian...47

3.3.2.Definisi Operasional...47

3.4. Alat Ukur...48

3.4.1.Alat Ukur Self-Compassion...48

1.4.1.1.Kisi-kisi Alat Ukur...48

1.4.1.2.Sistem Penilaian...50

3.4.2.Data Pribadi dan Data Penunjang...51

3.4.3.Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...51

3.4.3.1.Validitas Alat Ukur...51

3.4.3.2.Reliabilitas Alat Ukur...52

3.5. Populasi dan Teknik Penarika Sampel...52

3.5.1.Populasi Sasaran...52

3.5.2.Karakteristik Populasi...52

3.5.3.Teknik Penarikan Sampel ...53

3.6. Teknik Analisis Data...53

Bab IV Hasil dan Pembahasan...55

4.1. Gambaran Responden...55

4.2. Hasil Penelitian...56

4.3. Pembahasan...59

Bab V Simpulan dan Saran...72

5.1. Simpulan...72

5.2. Saran...72


(6)

ix Universitas Kristen Maranatha

5.2.2. Saran Praktis...73

Daftar Pustaka...74

Daftar Rujukan...75


(7)

x Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur...49 Tabel 3.2 Sistem Penilaian Setiap Komponen Self-Compassion...51


(8)

xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Kerangka Pikir...17 Bagan 3.1 Bagan Rancangan Penelitian...46


(9)

xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alat Ukur Self-Compassion...xvii

Lampiran 2 Alat Ukur Faktor-Faktor Self-Compassion...xx

Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas Self-Compassion...xxii

Lampiran 4 Kisi-Kisi Alat Ukur Self-Compassion...xxiii

Lampiran 5 Hasil Data Mentah Self-Compassion...xxviii


(10)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL LAMPIRAN

Tabel L.1 Tabulasi Silang Extraversion dengan Self-Compassion...xxxi

Tabel L.2 Tabulasi Silang Agreeableness dengan Self-Compassion...xxxi

Tabel L.3 Tabulasi Silang Conscientiousness dengan Self-Compassion...xxxii

Tabel L.4 Tabulasi Silang Neuroticism dengan Self-Compassion...xxxii

Tabel L.5 Tabulasi Silang Maternal Support dengan Self-Compassion...xxxiii

Tabel L.6 Tabulasi Silang Maternal Criticism dengan Self-Compassion.xxxiii Tabel L.7 Tabulasi Silang Attachment dengan Self-Compassion...xxxiv

Tabel L.8 Tabulasi Silang Modeling Parent dengan Self-Compassion...xxxiv

Tabel L.9 Tabulasi Silang Budaya dengan Self-Compassion...xxxv

Tabel L.10 Tabulasi Silang Jenis Kelamin dengan Self-Compassion...xxxv

Tabel L.11 Tabulasi Silang Extraversion dengan Common Humanity...xxxvi

Tabel L.12 Tabulasi Silang Agreeableness dengan Common Humanity...xxxvi

Tabel L.13 Tabulasi Silang Agreeableness dengan Self-Kindness...xxxvii

Tabel L.14 Tabulasi Silang Neuroticism dengan Mindfulness...xxxvii

Tabel L.15 Tabulasi Silang Lama Bekerja dengan Self-Compassion...xxxvii

Tabel L.16 Tabel Observasi...xxxviii


(11)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Panti jompo merupakan rumah tempat memelihara dan merawat orang lanjut usia atau lansia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Keberadaan panti jompo di tengah masyarakat perkotaan sebenarnya bisa membantu meringankan tugas keluarga untuk merawat orang tua dan memberi kesempatan pada lansia beraktivitas bersama teman baru yang sebaya (pesona.co.id, 8 November 2013).

Beberapa alasan lansia tinggal di panti jompo di antaranya adalah mereka merupakan lansia yang terlantar karena tidak memiliki keluarga lagi atau keluarga lansia yang sebagian besar berasal dari ekonomi menengah ke bawah tidak dapat lagi memberikan perawatan yang baik seperti memberikan obat-obatan yang dibutuhkan, serta agar lansia tidak merasa kesepian karena di panti jompo terdapat perawat dan teman-teman lansia yang sebaya. Lansia yang tinggal di panti jompo diberikan jadwal setiap harinya seperti pada pagi hari mereka akan senam bersama, berjemur, atau membuat kerajinan. Lansia yang produktif diberikan jadwal piket, misalnya untuk membersihkan pekarangan bersama petugas kebersihan (wawancara pengurus panti jompo “X” Cimahi).

Panti jompo menyediakan sarana dan fasilitas untuk merawat lansia antara lain juru masak, cleaning service, dan perawat lansia yang bertugas untuk membantu memenuhi kebutuhan lansia setiap harinya, seperti menyediakan


(12)

2

Universitas Kristen Maranatha makanan dan obat-obatan, memandikan, membersihakan sisa-sisa makanan lansia yang berserakan di meja makan, dan membersihkan kotoran lansia. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut seringkali perawat mengalami kendala, seperti lansia yang tidak kooperatif sehingga menyebabkan hilangnya kesabaran perawat. Sikap lansia yang tidak kooperatif membuat beberapa perawat merasa kesal dan tidak jarang bersikap keras dengan cara memarahi lansia. Pada saat memberikan perawatan kepada lansia, perawat perlu memiliki sikap empati kepada orang lain di samping memperhatikan diri sendiri (Heffernan, Mary et al, 2010).

Perilaku lansia yang sering menggugah emosi seperti bertindak egosentris, keras kepala, dan tidak mengikuti aturan membuat perawat seringkali berusaha membujuk dan sabar dalam menghadapi perilaku lansia. Maka dari itu, dalam merawat lansia perawat perlu memiliki kesediaan untuk membantu dan mengasihi orang lain yang oleh Neff disebut sebagai compassion for others, di samping memperhatikan kebutuhan diri sendiri (self-compassion). Menurut Neff (2011) seseorang tidak akan optimal dalam memberikan compassion for others bila ia memiliki derajat self-compassion yang rendah. Oleh karena itu, agar dapat melakukan tugasnya dengan optimal maka perawat perlu memiliki derajat

self-compassion yang tinggi.

Neff (2003) mendefinisikan self-compassion sebagai keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindari penderitaan itu, memberikan kebaikan dan pengertian kepada diri sendiri, tidak menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Self-compassion tersusun dari tiga


(13)

3

Universitas Kristen Maranatha komponen, yaitu self-kindness yang merupakan kemampuan untuk bersikap lembut dan memahami diri sendiri tanpa melakukan penilaian terhadap kekurangan, kegagalan, dan pengalaman yang menyakitkan, common humanity yang merupakan kemampuan individu untuk memandang kesulitan sebagai bagian dari hidup manusia dan merupakan sesuatu yang dialami semua orang, dan

mindfulness yang merupakan kemampuan untuk menyadari dan menilai perasaan

yang dirasakan saat mengalami suatu kegagalan atau pengalaman yang menyakitkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan perasaannya itu. Ketiga komponen self-compassion tersebut saling berkaitan sehingga jika keseluruhan derajat komponen tinggi, maka akan menghasilkan derajat self-compassion yang tinggi, namun jika salah satu atau lebih dari komponen tersebut rendah derajatnya, maka derajat self-compassion akan rendah.

Pada penelitian kali ini, peneliti ingin melihat gambaran self-compassion pada perawat di panti jompo X. Perawat yang bekerja di panti jompo mayoritas merawat orang-orang yang berusia di atas 65 tahun. Perbedaan yang mencolok antara perawat yang bekerja di rumah sakit umum dengan perawat yang bekerja di panti jompo adalah pasien yang dirawat sehingga tingkat kesabaran dan keahlian yang dibutuhkan ketika merawat pasien pun berbeda. Perawat panti jompo setiap harinya dalam jangka waktu yang lama hanya merawat dan menghadapi lansia. Di panti jompo, terdapat lansia yang produktif dimana lansia tersebut dapat beraktivitas dan mengurus diri mereka sendiri tanpa memerlukan bantuan dari perawat, dan ada juga lansia yang non-produktif dimana lansia tersebut


(14)

4

Universitas Kristen Maranatha memerlukan bantuan orang lain untuk beraktivitas dan mengurus diri mereka sendiri.

Berdasarkan observasi dan wawancara yang telah dilakukan di panti jompo X Cimahi dapat diperoleh informasi bahwa lansia yang tinggal di panti jompo X berjumlah 43. Banyaknya lansia yang tinggal di panti tidak sebanding dengan jumlah perawat sebanyak 19 perawat yang dibagi ke dalam tiga shift. Sebagian dari lansia yang tinggal di panti jompo “X” sudah sulit untuk mengurus diri mereka sendiri dan beberapa dari mereka mengalami kepikunan. Berbagai macam perilaku lansia seperti membantah, memarahi perawat, bahkan terkadang terdapat lansia yang sampai memukul perawat harus mereka hadapi setiap harinya. Oleh karena itu perawat panti jompo juga diharapkan lebih bersabar dalam menghadapi perilaku lansia yang bermacam-macam, seperti lansia yang mudah marah dan lansia yang tidak mau menuruti perkataan perawat karena bagaimanapun lansia adalah orang yang lebih tua dari perawat.

Dalam melakukan tugasnya, perawat setiap harinya dibagi ke dalam tiga

shift, masing-masing shift terdiri dari enam perawat. Shift pagi dimulai dari pukul

07.00 – pukul 14.00, dilanjutkan dengan shift siang yang dimulai dari pukul 14.00 pukul 20.00, dan shift malam dimulai dari pukul 20.00 – pukul 7.00. Kurangnya jumlah perawat pada setiap shift tersebut berdampak pada kondisi fisik dan psikis perawat yang sering kali merasa lelah merawat lansia dengan segala tingkah lakunya. Terkadang pada hari-hari tertentu salah satu perawat yang bertugas tidak datang ke panti sehingga perawat yang lainnya harus menggantikan pekerjaan rekan perawat tersebut. Pada saat mereka menggantikan tugas rekannya, beban


(15)

5

Universitas Kristen Maranatha pekerjaan lebih berat. Perawat harus merawat lebih banyak lansia dari yang seharusnya ia rawat. Saat seperti itu, perawat seringkali merasa kesal dan memarahi lansia. Panti jompo memberikan ijin untuk cuti pada setiap perawat sebanyak satu kali dalam seminggu. Saat perawat mengambil jatah cuti, mereka dapat meminta tolong rekan perawat lain untuk menggantikan tugas mereka pada

shift tersebut atau meminta tolong rekan satu shift-nya untuk menggantikan

tugasnya. Selain dari jumlah perawat yang tidak sebanding dengan banyaknya lansia di panti, upah yang perawat terima jauh di bawah UMR saat ini. Beberapa perawat mencari pekerjaan tambahan di luar jam shift mereka untuk menambah penghasilan, namun hal tersebut terkadang membuat mereka kelelahan saat harus merawat lansia. Selain itu, banyak masalah yang terjadi pada lansia yang tinggal di panti jompo X, yaitu masalah fisik seperti kesulitan untuk berjalan dan gangguan pendengaran, dan juga masalah psikis, yang membuat lansia membutuhkan banyak bantuan dan perawatan secara khusus yang dilakukan oleh perawat. Beberapa perawat di panti jompo “X” tidak mendapatkan pendidikan keperawatan. Perawat dengan jenis kelamin laki-laki mayoritas hanya lulusan SMK sehingga ada kemungkinan bagi mereka lebih sulit untuk merawat lansia.

Selain tugas utama perawat untuk merawat dan memenuhi kebutuhan lansia setiap harinya, lansia juga terkadang meminta perawat untuk mendengarkan cerita mereka tentang kehidupannya dahulu. Lansia juga akan sering menangis saat berharap dapat menelpon keluarganya. Saat lansia merasa tidak mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan dari perawat, lansia akan menjadi lebih sensitif dan mudah marah. Pada saat lansia marah, ada perawat yang tetap membujuk


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha lansia untuk tidak marah lagi, namun ada juga yang ikut merasa kesal dan meninggalkan lansia seorang diri.

Berdasarkan survei awal kepada 5 perawat lansia, didapatkan informasi bahwa dalam melakukan tugasnya, perawat sering mengalami konflik antar sesama rekan kerja dan melakukan kesalahan dalam memberikan perawatan kepada lansia. Sebanyak dua dari lima perawat mencoba menenangkan diri dan tidak menganggap diri buruk saat mereka melakukan kesalahan dalam memberikan perawatan pada lansia, seperti lalai memberikan obat atau vitamin yang dibutuhkan lansia dan menolak mendengarkan atau menemani lansia karena perawat merasa lelah atau merasa berbincang dengan rekan perawat lain lebih menyenangkan (self-kindness), perawat juga mengatakan bahwa kesulitan dan kesalahan yang hampir serupa juga pernah dialami oleh rekan kerja lain (common

humanity), dan mereka mencoba mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi,

seperti meminta maaf pada lansia, menemani dan membujuk lansia agar menuruti apa yang perawat katakan sehingga perawatan yang diberikan oleh perawat dapat optimal (mindfulness). Tindakan perawat tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki derajat self-compassion yang tinggi.

Satu dari lima perawat tidak menyalahkan diri sendiri saat ia melakukan kesalahan dalam memberikan perawatan kepada lansia seperti kelalaian yang dilakukan dalam memberikan obat sehingga lansia mengalami kesakitan

(self-kindness), namun perawat tidak menceritakan hal tersebut kepada rekan lainnya

karena merasa takut ditegur oleh kepala panti karena ia merasa bahwa rekan lainnya belum pernah melakukan kesalahan dalam memberikan obat (isolation),


(17)

7

Universitas Kristen Maranatha perawat mencoba untuk memperbaiki kesalahannya dengan membuat catatan obat mana yang diperlukan dan aturan waktunya agar tidak salah kembali dalam memberikan obat karena ia menyadari akibat dari perbuatannya akan merugikan lansia (mindfulness). Tindakan seorang perawat tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki derajat self-compassion yang rendah.

Satu dari lima perawat sempat merasakan perasaan bersalah karena kesalahan yang dilakukan dan berpikir bahwa ia tidak mampu merawat lansia karena ia bukanlah orang yang sabar (self-judgement), namun seiring berjalannya waktu perawat melihat bahwa bukan hanya dirinya yang melakukan kesalahan melainkan beberapa dari rekannya pun melakukan kesalahan dan juga perawat merasa senasib dengan rekan lain mengenai kesulitan pekerjaan dengan tingkat upah yang diterima (common humanity), walau masih terdapat kesalahan yang perawat lakukan namun ia tetap mencoba melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin karena merasa empati dengan keadaan lansia yang ditinggalkan keluarganya di panti (mindfulness). Tindakan seorang perawat tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki derajat self-compassion yang rendah.

Sedangkan, satu dari lima perawat lainnya tidak merasa bahwa dirinya buruk pada saat membiarkan lansia yang menangis karena bertengkar dengannya (self-kindness), perawat merasa bahwa perbedaan pendapat antara perawat dan lansia kerap terjadi, hanya saja perawat yang sudah bekerja lebih lama di panti bersedia membujuk lansia hingga tidak terjadi keributan, berbeda dengan dirinya dan beberapa perawat baru yang kurang sabar dalam memberikan perawatan terlebih saat lansia tidak mendengarkan perkataannya (common humanity).


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha Pertengkaran dengan lansia yang terjadi terkadang membuat perawat menjadi malas dalam melakukan perawatan pada lansia yang bersangkutan, sehingga kerap kali juga perawat sering meminta tolong perawat lain untuk menggantikan tugasnya (over identification). Tindakan seorang perawat tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki derajat self-compassion yang rendah.

Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan dapat dilihat perbedaan antara perawat dengan derajat self-compassion yang tinggi dan perawat dengan derajat self-compassion yang rendah. Perawat dengan derajat self-compassion yang tinggi memperlakukan lansia dengan lebih sabar, lebih memperhatikan kebutuhan lansia, juga menunjukan rasa empati kepada lansia. Ketika terdapat lansia yang sedang menangis, perawat langsung menghampiri lansia dan mencoba untuk menenangkan lansia. Sedangkan perawat dengan derajat self-compassion yang rendah, terlihat kurang mempedulikan lansia. Kondisi ini nampak saat mereka telah berusaha membujuk lansia namun lansia tetap menolak,maka perawat akan merasa kesal lalu meninggalkan lansia tanpa menyelesaikan tugasnya.

Berdasarkan hasil survei awal melalui observasi dan wawancara pada lima perawat panti jompo dapat terlihat bahwa dua dari lima (40%) perawat memiliki derajat self-compassion yang tinggi, sedangkan tiga dari lima (60%) perawat memiliki derajat compassion yang rendah. Keberagaman derajat

self-compassion yang dimiliki oleh perawat akan mempengaruhi keoptimalan perawat


(19)

9

Universitas Kristen Maranatha yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai gambaran derajat self-compassion pada perawat di panti jompo “X” Cimahi.

1.2. Identifikasi Masalah

Bagaimana gambaran mengenai derajat self-compassion pada perawat di Panti Jompo “X” Cimahi.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran tentang derajat self-compassion pada perawat di Panti Jompo “X” Cimahi.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran derajat self-compassion pada perawat di Panti Jompo “X” Cimahi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi

self-compassion.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis

Memberikan informasi bagi bidang ilmu psikologi positif mengenai

self-compassion perawat panti jompo.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion dikaitkan dengan variabel lain pada perawat di panti jompo.


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.4.2. Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada Kepala Panti Jompo “X” Cimahi mengenai

self-compassion yang dimiliki oleh perawat, yang dapat digunakan sebagai

masukan dan bahan evaluasi bagi kepala panti guna membantu meningkatkan atau mengembangkan self-compassion perawat agar perawat dapat memiliki derajat self-compassion tinggi yang dapat mendukungnya untuk memberikan perawatan yang optimal bagi lansia.  Penelitian ini juga dapat memberikan gambaran bagi perawat panti jompo

“X” mengenai derajat self-compassion yang mereka miliki, sebagai

evaluasi diri dalam rangka mengoptimalkan pelayanan mereka kepada lansia.

1.5. Kerangka Pemikiran

Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai perawat panti jompo, perawat membutuhkan compassion for others. Menurut Neff, compassion

for others adalah kemampuan untuk mengakui dan menjadi tergerak oleh

penderitaan orang lain, meliputi keinginan untuk membantu orang yang menderita dan tidak menghakimi orang lain. Hal ini diperlukan oleh perawat di panti jompo “X” Cimahi agar dapat secara optimal memberikan perawatan kepada lansia, namun perawat tidak akan optimal dalam memberikan compassion for others tanpa ditunjang oleh derajat self-compassion yang tinggi (Hefernnan, Quinn et al., 2010).


(21)

11

Universitas Kristen Maranatha

Self-Compassion adalah kemampuan para perawat panti jompo “X” untuk terbuka dan sadar terhadap kegagalan dalam menghadapi tuntutan pekerjaan, tanpa menghindari kegagalan yang ia alami, memberikan pengertian pada diri sendiri akan masalah yang sedang dihadapinya di dalam pekerjaannya tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua teman perawat yang lain. Menjadi seorang perawat mengharuskan mereka untuk memiliki kemampuan untuk mengasihi diri mereka sendiri karena tanpa kemampuan untuk mengasihi diri sendiri, perawat mungkin tidak siap untuk menunjukkan kasih sayang kepada orang yang mereka rawat (Hefernnan, Quinn et al, 2010).

Terdapat tiga komponen dalam self-compassion, yaitu self-kindness, a

sense of common humanity, dan mindfulness. Ketiga komponen tersebut tidak

dapat dipisahkan, saling berkaitan, dan menyatu menciptakan kerangka pikir

self-compassion. Self-Kindness akan membuat perawat lebih menyayangi diri sendiri

dengan tidak mengatakan hal buruk untuk diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan. Hal itu berguna bagi perawat untuk dapat terus memberikan perawatan yang optimal bagi lansia, tanpa perlu melebih-lebihkan perasaan yang dirasa atau menghindari tugas mereka (mindfulness). Perawat juga akan merasa lebih baik karena dengan tidak menyalahkan diri sendiri dan terus melakukan tugasnya, ia juga dapat melihat dengan lebih jelas bahwa rekan perawat lainnya pun mengalami hal serupa seperti yang ia alami (common humanity). Keterkaitan antar komponen tersebut menyebabkan apabila komponen yang satu tinggi dan yang lain juga tinggi akan menghasilkan derajat self-compassion yang tinggi pula.


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha Sedangkan jika salah satu atau lebih komponen rendah, akan menghasilkan derajat self-compassion yang rendah (Barnad & Cury, 2011).

Perawat yang memiliki self-kindness tinggi mampu memahami dan menerima diri apa adanya, bersikap toleran dan sabar ketika menghadapi permasalahan atau kesalahan yang terjadi saat bekerja. Tindakan tersebut membantu meringankan beban pikiran sehingga perawat pada akhirnya dapat melihat permasalahannya dengan lebih jelas dan dengan pikiran yang jernih. Sedangkan, perawat yang memiliki derajat kindness yang rendah (lebih

self-judgment) justru menghukum diri berlebihan dengan cara melontarkan kata-kata

yang kasar dan menyakitkan untuk dirinya sendiri saat menghadapi saat-saat yang sulit dalam pekerjaannya. Perawat melabel diri buruk ketika mereka gagal dalam memberikan perawatan terhadap lansia. Tindakan tersebut dapat menurunkan semangat dan membuat perawat kehabisan energi untuk dapat memberikan perawatan optimal pada lansia.

Selain itu perawat juga memiliki common humanity, yaitu kemampuan memandang kelemahan, kegagalan, atau kesulitan dalam pekerjaannya sebagai situasi yang dialami juga oleh perawat lain. Perawat dengan common humanity yang tinggi merasakan dirinya merupakan bagian dari rekan perawat lain, sehingga lebih dapat bersimpati kepada dirinya sendiri pada saat mengalami masalah atau kegagalan. Sedangkan, perawat yang justru memandang diri paling malang, paling sulit hidupnya dibandingkan dengan orang lain hingga merasa sendiri dikatakan mengalami isolation. Jika perawat terus terfokus pada masalah


(23)

13

Universitas Kristen Maranatha dan kekurangan mereka, pandangan mereka juga akan menyempit dan akan menambah kesulitan mereka dalam menghadapi masalah hidup mereka.

Perawat dengan mindfulness yang tinggi akan mampu melihat kenyataan apa adanya. Saat perawat merasa marah, sedih, atau kecewa saat menghadapi masalahnya, mereka dapat mengolah emosi negatif dalam dirinya sehingga mereka merasa lebih mampu untuk menyelesaikan masalahnya. Sedangkan, jika perawat membesar-besarkan masalah, perasaan sedih, kecewa, atau marah tersebut dikatakan perawat mengalami over-identification. Mereka juga akan menghabiskan banyak energi untuk mengatasi dampak negatif dari perasaan mereka.

Perawat yang memiliki self-compassion dengan derajat tinggi mampu menghibur diri dan peduli ketika dirinya mengalami penderitaan, kegagalan, atau menyadari ketidaksempurnaan diri daripada mengkritik diri dengan keras, melihat pengalaman menyulitkan sebagai pengalaman dari setiap pengalaman manusia secara umum daripada sesuatu yang mengisolasi diri sendiri, dan tidak terpaku pada kegagalan yang dialami (Neff, 2003). Sedangkan perawat dengan derajat

self-compassion yang rendah tidak peduli pada dirinya sendiri pada saat terjadi

kegagalan melainkan mengkritik dan menganggap diri buruk, merasa bahwa dirinya yang paling menderita diantara rekan kerjanya, sehingga ia terpaku pada kegagalan yang dialami.

Self-Compassion pada perawat panti jompo dapat dipengaruhi oleh faktor

internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jenis kelamin dan personality. Penelitian menunjukkan bahwa wanita cenderung memiliki derajat


(24)

self-14

Universitas Kristen Maranatha

compassion lebih rendah daripada pria, sebagian besar karena wanita cenderung

lebih sering menilai diri dan mengkritik diri. Hal ini dapat menjelaskan mengapa wanita lebih mudah mengalami depresi dan gangguan kecemasan dua kali lipat dibandingkan dengan pria. Wanita dituntut untuk memperhatikan dan peka pada orang lain, namun tidak untuk diri mereka sendiri (Neff, 2011)

Hasil penelitian juga menunjukan derajat self-compassion memiliki asosiasi paling kuat dengan neuroticism dari The Big Five Personality. Semakin tinggi neurotism, semakin rendah self-compassion seseorang, begitu pula sebaliknya karena mengkritik diri dan perasaan terasing yang menyebabkan rendahnya self-compassion memiliki kesamaan dengan neuroticism. Sementara itu, semakin tinggi agreeableness, extraversion, dan conscientiousness, semakin tinggi self-compassion. Perawat yang tinggi dalam agreeableness dan

extraversion berorientasi pada sifat sosial sehingga hal itu dapat membantu

mereka untuk bersikap baik kepada diri sendiri dan melihat pengalaman yang negatif sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (penelitian sebelumnya membuktikan self-compassion berhubungan dengan hubungan sosial; Neff,2003). Sama halnya dengan conscientiousness yang membantu perawat untuk lebih memperhatikan kebutuhan mereka dan untuk merespon situasi yang sulit dengan sikap yang lebih bertanggung jawab. Tidak ada kaitan yang ditemukan antara

self-compassion dengan openess to experience (Neff, Rude et al, 2007) karena trait itu

mengukur karakteristik perawat yang memiliki imajinasi yang aktif, kepekaan secara aesthetic, dan memiliki pilihan yang bervariasi untuk dapat membuka pikiran mereka.


(25)

15

Universitas Kristen Maranatha Selain itu, faktor eksternal yang dapat memengaruhi self-compassion yaitu

the role of parent. Peran orang tua ini dapat dilihat dari tiga hal, yaitu maternal criticism, modeling parent, dan attachment style. Penelitian menemukan bahwa

perawat dengan maternal criticism atau tumbuh dalam keluarga yang disfungsional akan bertumbuh menjadi seperti orangtuanya yang suka mengkritik. Jika perawat berasumsi bahwa kritikan itu berguna dan merupakan alat yang dibutuhkan untuk memotivasi diri,mereka menanamkan kritikan orangtua secara mendalam, artinya komentar merendahkan yang mereka dengar di kepala mereka, merupakan cerminan dari apa yang dikatakan orangtua mereka. Perawat melakukan modeling parent sehingga terkadang sikap mengkritik tersebut diturunkan dan diikuti oleh generasi selanjutnya (Neff & McGeehee, 2010). Perawat yang berasal dari keluarga seperti itu terbiasa untuk mengembangkan

self-criticism yang berdampak pada rendahnya derajat self-compassion mereka.

Bartholomew dan Harowitz (dalam Neff & McGeehee, 2010) mengaitkan

self-compassion dengan empat attachment style. Perawat yang mengembangkan secure attachment, yaitu dikarakteristikan dengan rasa percaya, keintiman dengan

orang tua mereka cenderung memiliki self-compassion yang tinggi. Hal tersebut memungkinkan perawat untuk dapat mengambil keputusan tanpa menyalahkan diri mereka sendiri saat terjadi kesalahan. Perawat yang memiliki preoccupied

attachment, yaitu yang dikarakteristikan dengan rasa ketergantungan, memiliki

derajat self-compassion yang lebih rendah. Hal tersebut kemungkinan dapat menyebabkan perasaan bersalah yang berlebihan dalam diri perawat saat terjadi kesalahan dalam melakukan perawatan pada lansia. Perawat dengan fearful


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha

attachment, yaitu dikarakteristikan dengan perasaan tidak percaya, ketidakmampuan diri, cenderung memiliki derajat self-compassion yang lebih rendah. Hal tersebut kemungkinan dapat menyebabkan perawat merasa tidak dapat merawat lansia dengan baik sehingga bersikap keras pada diri mereka.


(27)

17

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Perawat di panti

jompo Self-Compassion

Faktor Internal : Jenis Kelamin Personality

Komponen :

Self-Kindness vs Self Judgement Common Humanity vs Isolation

Mindfulness vs Over Identification

Tinggi

Rendah Faktor Eksternal :

The Role of Parent Attachment


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha 1.6. Asumsi

1. Perawat panti jompo “X” Cimahi memerlukan derajat self-compassion

yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, seperti membantu lansia menyediakan makanan dan obat-obatan, memandikan, membersihkan sisa-sisa makanan lansia, dan membersihkan kotoran lansia.

2. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi tinggi rendahnya derajat

self-compassion adalah jenis kelamin, personality, role of parents, attachment, dan role of culture.

3. Perawat panti jompo “X” Cimahi sebagian besar memiliki derajat self-compassion yang rendah.


(29)

72 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion pada 19 perawat panti jompo “X” Cimahi, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Perawat panti jompo “X” Cimahi sebagian besar memiliki derajat self-compassion yang rendah dengan salah satu atau lebih komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang rendah.

2. Faktor maternal support dan secure attachment, maupun modeling parent tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan tinggi rendahnya

self-compassion sehingga membuat derajat self-compassion perawat panti

jompo “X” Cimahi rendah.

3. Faktor personality, budaya collectivism, maupun jenis kelamin juga tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan tinggi rendahnya

self-compassion.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoretis

1. Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai

self-compassion pada perawat panti jompo, disarankan untuk melakukan


(30)

73

Universitas Kristen Maranatha 2. Peneliti lain juga dapat memperbesar ukuran sampel dan memberikan

pertanyaan dalam bentuk open question tentang faktor-faktor yang memengaruhi sehingga memperoleh data yang lebih mendalam.

5.2.2. Saran Praktis

1. Bagi perawat panti jompo dengan derajat self-compassion rendah disarankan untuk dapat lebih mengasihi diri sendiri dengan tidak menganggap diri tidak mampu merawat lansia dengan baik sehingga perawat dapat terus belajar dan berusaha untuk memberikan perawatan yang terbaik dengan tidak menghindari pekerjaan yang harus dilakukan karena telah melakukan kesalahan sebelumnya atau karena merasa diri tidak mampu.

2. Perawat dengan masa kerja yang lama dapat menceritakan pengalaman mereka saat melakukan perawatan pada lansia berserta saran mengenai apa yang mereka lakukan saat merawat lansia sehingga perawat lain dengan

self-compassion rendah dapat melihat bahwa pada umumnya setiap

perawat pernah melakukan kesalahan dalam merawat lansia dan mereka dapat lebih mengasihi dirinya sendiri.


(31)

74

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Laura K dan John F, Curry. 2011. Self-Compassion: Conceptualization,

Correlates, & Interventions. American Psychological Assosiation.

Heffernan, Mary et.al. 2010. Self Compassion and Emotional Intelligence in Nurses, 366-373. International Journal of Nursing Practice.

Kumar, Ranjit. 1996. Research Metodology. New York: Sage Publication

Neff; Kristin. 2011. Self-Compassion Stop Beating Yourself Up and Leave

Insecurity Behind. New York: HarperCollins Publishers.

Neff, Kristin et al. 2007. An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality trait. Journal of

research in personality, 41: 908-916

Neff, K., McGehee, P. 2009. Self Compassion and Psychological Among Adolescents and Young Adults. Journal of Self and Identity, 9:3, 225-240. dol: 10.1080/15298860902979307

Rammstedt et.al. 2006. Measuring Personality in One Minute or Less: a 10 item

Short Version of the Big Five Inventory in English and German. Journal

of Research in Personality.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito

Tim Penyusunn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996.

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2 cetakan ketujuh. Jakarta: Balai


(32)

75

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Anonim, 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Januarani, Dela. 2013. Studi Deskriptif mengenai derajat Self-Compassion pada

mahasiswa akademi keperawatan “X” semester 4 dan 6 program

diploma III Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi Maranatha

Kusuma, Shinta. 2012. Panti Werdha, Pilihan Merawat Orang Tua. (http://m. pesona.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=0081&smc=001&ar=11, diakses 8 November 2013)

Neff, Kristin. 2009a. Self Compassion Scale for Research. (http://www.self-compassion.org, diakses 14 Maret 2013)

____________. 2009b. Test How Self Compassionate You Are (http;//www.self-compassion.org, diakses 14 Maret 2013)

Vetriana, Hana. 2013. Studi Deskriptif mengenai derajat self-compassion pada

siswa/i SMA etnis Tionghoa yang berada pada tahap late adolescence di SMA “X” Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Maranatha.


(1)

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Perawat di panti

jompo Self-Compassion

Faktor Internal : Jenis Kelamin Personality

Komponen :

Self-Kindness vs Self Judgement Common Humanity vs Isolation

Mindfulness vs Over Identification

Tinggi

Rendah Faktor Eksternal :

The Role of Parent Attachment


(2)

18

Universitas Kristen Maranatha

1.6. Asumsi

1. Perawat panti jompo “X” Cimahi memerlukan derajat self-compassion

yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, seperti membantu lansia menyediakan makanan dan obat-obatan, memandikan, membersihkan sisa-sisa makanan lansia, dan membersihkan kotoran lansia.

2. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi tinggi rendahnya derajat self-compassion adalah jenis kelamin, personality, role of parents, attachment, dan role of culture.

3. Perawat panti jompo “X” Cimahi sebagian besar memiliki derajat


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion pada 19 perawat panti jompo “X” Cimahi, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Perawat panti jompo “X” Cimahi sebagian besar memiliki derajat self-compassion yang rendah dengan salah satu atau lebih komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang rendah.

2. Faktor maternal support dan secure attachment, maupun modeling parent tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan tinggi rendahnya self-compassion sehingga membuat derajat self-compassion perawat panti jompo “X” Cimahi rendah.

3. Faktor personality, budaya collectivism, maupun jenis kelamin juga tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan tinggi rendahnya self-compassion.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoretis

1. Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion pada perawat panti jompo, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion.


(4)

73

Universitas Kristen Maranatha

2. Peneliti lain juga dapat memperbesar ukuran sampel dan memberikan pertanyaan dalam bentuk open question tentang faktor-faktor yang memengaruhi sehingga memperoleh data yang lebih mendalam.

5.2.2. Saran Praktis

1. Bagi perawat panti jompo dengan derajat self-compassion rendah disarankan untuk dapat lebih mengasihi diri sendiri dengan tidak menganggap diri tidak mampu merawat lansia dengan baik sehingga perawat dapat terus belajar dan berusaha untuk memberikan perawatan yang terbaik dengan tidak menghindari pekerjaan yang harus dilakukan karena telah melakukan kesalahan sebelumnya atau karena merasa diri tidak mampu.

2. Perawat dengan masa kerja yang lama dapat menceritakan pengalaman mereka saat melakukan perawatan pada lansia berserta saran mengenai apa yang mereka lakukan saat merawat lansia sehingga perawat lain dengan self-compassion rendah dapat melihat bahwa pada umumnya setiap perawat pernah melakukan kesalahan dalam merawat lansia dan mereka dapat lebih mengasihi dirinya sendiri.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Laura K dan John F, Curry. 2011. Self-Compassion: Conceptualization, Correlates, & Interventions. American Psychological Assosiation.

Heffernan, Mary et.al. 2010. Self Compassion and Emotional Intelligence in Nurses, 366-373. International Journal of Nursing Practice.

Kumar, Ranjit. 1996. Research Metodology. New York: Sage Publication

Neff; Kristin. 2011. Self-Compassion Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: HarperCollins Publishers.

Neff, Kristin et al. 2007. An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality trait. Journal of research in personality, 41: 908-916

Neff, K., McGehee, P. 2009. Self Compassion and Psychological Among Adolescents and Young Adults. Journal of Self and Identity, 9:3, 225-240. dol: 10.1080/15298860902979307

Rammstedt et.al. 2006. Measuring Personality in One Minute or Less: a 10 item Short Version of the Big Five Inventory in English and German. Journal of Research in Personality.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito

Tim Penyusunn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2 cetakan ketujuh. Jakarta: Balai Pustaka


(6)

75

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Anonim, 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Januarani, Dela. 2013. Studi Deskriptif mengenai derajat Self-Compassion pada

mahasiswa akademi keperawatan “X” semester 4 dan 6 program

diploma III Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi Maranatha

Kusuma, Shinta. 2012. Panti Werdha, Pilihan Merawat Orang Tua. (http://m. pesona.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=0081&smc=001&ar=11, diakses 8 November 2013)

Neff, Kristin. 2009a. Self Compassion Scale for Research. (http://www.self-compassion.org, diakses 14 Maret 2013)

____________. 2009b. Test How Self Compassionate You Are (http;//www.self-compassion.org, diakses 14 Maret 2013)

Vetriana, Hana. 2013. Studi Deskriptif mengenai derajat self-compassion pada siswa/i SMA etnis Tionghoa yang berada pada tahap late adolescence di SMA “X” Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Maranatha.