Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktor, Proses, dan DampakReformasi Birokrasi: studi kasus di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga T2 092012014 BAB II

BAB II
MEMAHAMI REFORMASI BIROKRASI
Pandangan-Pandangan Tentang Birokrasi
Birokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Perancis bureau
yang berarti meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat dan cracy
turunan kata dari kratein yang berarti mengatur (Albrow, 2004).
Rumusan birokrasi umumnya mengacu pada apa yang dicirikan oleh
Weber, dimana birokrasi dipandang sebagai kekuasaan alat bagi yang
menguasainya. Sedarmayanti (2007) menyebutkan bahwa birokrasi
adalah struktur organisasi digambarkan dengan hirarki yang pejabatnya
diangkat atau ditunjuk, garis tanggung jawab dan kewenangannya
diatur oleh peraturan yang diketahui dan justifikasi setiap keputusan
membutuhkan referensi untuk mengetahui kebijakan yang
pengesahannya ditentukan oleh pemberi mandat. Birokrasi adalah
organisasi yang memiliki jenjang, setiap jenjang diduduki oleh pejabat
yang ditunjuk atau diangkat, disertai aturan kewenangan dan tanggung
jawabnya, dan setiap kebijakan yang dibuat harus diketahui oleh
pemberi mandat.
Zauhar (2002) mengelompokkan birokrasi ke dalam tiga pola.
Pola Weberian yang memandang birokrasi sebagai proses rasionalisasi
prosedur pemerintah dan aparat. Pola Parkinsonisasi yang melihat

birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya pegawai. Pola
Orwelian yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas
kekuasaan pemerintah dengan mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial
masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu dengan memberikan
paksaan.
Birokrasi sebagai institusi menurut Hegel (Suryono, 2012),
menduduki posisi organik yang netral dan tidak berpihak dalam
struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang
mewujudkan dirinya sebagai kepentingan umum, masyarakat sipil,
yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat. Sedang Marx
(Suryono, 2012) mengatakan bahwa birokrasi bersifat parasitik dan

7

eksploitatif, birokrasi merupakan instrumen kelas yang berkuasa untuk
mengeksploitasi kelas sosial yang lain. Birokrasi berfungsi
mempertahankan previlege atau keistimewaan dan status quo bagi
kepentingan kelas kapitalis, oleh karenanya birokrasi akan mengalami
proses pemudaran (wihering away) kalau revolusi sosial telah
terwujud.

Birokrasi yang legal rasional menurut Weber (Muhaimin,
1990) dimaksud untuk mencapai dan menerapkan nilai yang dianggap
baik yang memiliki hirarki kewenangan yang jelas, pembagian kerja
atas spesialiasi fungsional, sistem pengaturan hak dan kewajiban pada
pejabat, hubungan pribadi yang bersifat impersonal, dan seleksi
pegawai atas dasar kompetensi teknis.
Semakin maju masyarakat dan semakin banyak kegiatan suatu
masyarakat maka organisasi birokrasi semakin diperlukan. Albrow
(2004) menyebut birokrasi sebagai perkembangan lanjutan dari gagasan
demokrasi. Meskipun birokrasi merupakan perkembangan lebih lanjut
dari gagasan demokrasi seringkali dikatakan bahwa birokrasi itu sendiri
merupakan penghambat gagasan birokrasi. Ini karena birokrasi
diragukan untuk tetap dapat bersifat netral tanpa terpengaruh
kekuatan politik. Birokrasi seharusnya hanya menjadi piranti dan
bukan menjadi kekuatan politik, birokrasi merupakan agen, disini
birokrasi menjadi strategis, peka dan labil terhadap kepentingan politik
kelompok dominan.

Masalah Reformasi Birokrasi dan Urgensi Reformasi Birokrasi
Untuk mencapai tujuan reformasi birokrasi diperlukan agenda

yang terstruktur dan bertahap sehingga mampu membentuk sebuah
lintasan reformasi. Faktor organisasi dan manajemen secara umum, ini
dibagi menjadi empat faktor yaitu struktur, proses, kepegawaian, dan
hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Organisasi pemerintah
seringkali tidak memiliki keseimbangan antara tugas, wewenang dan
tanggung jawab bagi anggota organisasi. Struktur organisasi pelayanan
publik masih bersifat hirarkis sentralistis sehingga tanggung jawab

8

belum terdistribusi kepada individu. Ini menimbulkan kecenderungan
untuk memonopoli jabatan dan tanggung jawab serta tidak memiliki
inisiatif dan kreatifitas. Ini diperparah dengan kepemimpinan yang
tidak kredibel dan tidak ada integritas pribadi serta lemahnya visi.
Namun perbaikan pelayanan publik di Indonesia masih tergantung
dengan peran pemimpin instansi pemerintahan (top down approach).
Masalah kepegawaian disebabkan oleh rendahnya kompetensi
aparat birokrasi. Ini ditandai dengan berbagai pelayanan publik yang
tidak responsif, tidak berempati, tidak reliabel, dan tidak memiliki
jaminan kepastian. Isu lain yang muncul adalah masyarakat belum

dianggap sebagai partner pemerintah sehingga birokrasi cenderung
tumbuh untuk mengontrol perilaku masyarakat dan mencari
keuntungan ekonomis (Prasojo, 2012).
Faktor individu sangat tergantung pada mentalitas dan
moralitas yang diyakini sebagai suatu kebenaran, kejujuran, dan
keadilan. Jika ini tidak terintegrasikan dalam karakter individu maka
yang terjadi adalah munculnya sifat oportunistik yang tumbuh dalam
sistem yang korup. Faktor politik adalah tidak setaranya relasi antara
birokrasi terhadap politik. Ini menumbuhkan gangguan kinerja yang
disebabkan politik terlalu dominan dalam pertimbangan pengisian
jabatan daripada ukuran kinerja dan kompetensi.
Pelayanan publik merupakan perwujudan fungsi aparatur
negara sebagai abdi masyarakat. Era otonomi daerah menjadikan fungsi
pelayanan publik menjadi salah satu prioritas peningkatan kinerja
instansi pemerintah daerah. Ini memberi konsekuensi berbagai fasilitas
pelayanan publik harus lebih didekatkan pada masyarakat sehingga
memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mengakses
berbagai fasilitas pelayanan publik.
Sejumlah kebijakan yang dibuat tidak serta merta
menyelesaikan permasalahan pelayanan publik oleh instansi

pemerintah yang selama ini bercitra buruk, tidak transparan, berbelitbelit, lamban, dan berbiaya mahal. Hal tersebut berkaitan dengan
persoalan seberapa jauh berbagai peraturan pemerintah tersebut

9

disosialisasikan di kalangan aparatur pemerintah dan masyarakat, serta
infrastruktur pemerintahan, dana, sarana teknologi, kompetensi
sumber daya manusia, budaya kerja organisasi disiapkan untuk
menopang pelaksanaan berbagai peraturan tersebut, sehingga kinerja
pelayanan publik menjadi terukur dan dapat dievaluasi
keberhasilannya1.
Masalah lain yang timbul dalam pengelolaan pelayanan yang
disediakan pemerintah antara lain muncul karena kelemahan yang
berasal dari sulitnya menentukan output maupun kualitas pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah, pelayanan yang diberikan pemerintah
memiliki ketidakpastian tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga
hubungan antara output dan input tidak dapat ditentukan dengan jelas,
pelayanan pemerintah tidak mengenal bottom line, artinya seburuk
apapun pelayanan kinerjanya pelayanan pemerintah tidak akan
bangkrut. Dan yang terakhir, organisasi pelayanan pemerintah

menghadapi masalah berupa internalities yaitu sulitnya mencegah
pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan
umum masyarakat yang harus dilayaninya.2
Reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai
kemajuan suatu negara dan salah satu cara untuk membangun
kepercayaan rakyat. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan
upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar
terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut
aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
process) dan sumber daya manusia aparatur. Menurut Tamin (2004: 74)
dalam bukunya Reformasi Birokrasi : Analisis Pendayagunaan Aparatur
Negara menyatakan bahwa reformasi birokrasi adalah adanya
pembaharuan dan penyesuaian untuk membentuk kembali pada
maksud semula diadakannya birokrasi pemerintah, didefinisikan
berbagai kalangan melalui bermacam-macam angle, berkonotasi
mencapai kebijakan birokrasi pemerintah di negara demokratis yang
Tjipto Amoko, Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Akuntabilitas Kinerja
Pemerintah, diunduh dari http://edokumen.kemenag.go.id/files/BX32jRZz1284857253.pdf
2 Standar Pelayanan Publik di Daerah, Yogi S dan M Ikhsan, PKKOD-LAN, 2006, hal 7
1


10

betul-betul bekerja sesempurna-sempurnanya, berorientasi kepada
kepentingan publik dengan menerapkan manajemen yang semakin
modern.

Perubahan Kelembagaan dan Pekerjaan Kelembagaan
Kelembagaan atau institusi umumnya lebih diarahkan kepada
organisasi, wadah atau pranata. Organisasi berfungsi sebagai wadah
atau tempat, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga pada
aturan main, etika dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi
atau suatu sistem. Kelembagaan berasal dari lembaga, yang berarti
aturan dalam organisasi atau kelompok masyarakat untuk membantu
anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan yang lain untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, dapat juga diartikan sebagai aturan
dalam sebuah kelompok sosial yang dipengaruhi oleh faktor sosial,
politik dan ekonomi.3
Lembaga dapat dibedakan menjadi lembaga formal dan non
formal.4 Lembaga formal adalah kumpulan dua orang atau lebih yang

memiliki hubungan kerja rasional dan mempunyai tujuan bersama,
biasanya mempunyai struktur organisasi yang jelas. Lembaga non
formal adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai tujuan
bersama dan biasanya hanya memiliki ketua saja. Lembaga formal
memiliki struktur yang menjelaskan hubungan otoritas, kekuasaan,
akuntabilitas dan tanggung jawab serta bagaimana bentuk saluran
komunikasi berlangsung dengan tugas-tugas bagi masing-masing
anggotanya. Lembaga formal bersifat terencana dan tahan lama karena
ditekankan pada aturan sehingga tidak fleksibel. Sedang lembaga non
formal biasanya sulit menentukan waktu nyata bagi seseorang menjadi
anggota organisasi, bahkan tujuan dari organisasi tidak terspesifikasi
dengan jelas.

3

Tony, dkk., Kelembagaan dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestri. (World
Forestry
Center : 2003).
4
Rutan dan Hayami, Toward a theory of induced institutional innovation. Diunduh tanggal

17 Oktober 2013 dari www.econ.umn.edu/library/mnpapers/1984-200.pdf.

11

Kelembagaan (ICRAF, 2003)5 adalah suatu pola hubungan dan
tatanan antar anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat,
diwadahi dalam suatu jaringan atau organisasi, yang dapat menentukan
bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi dengan
ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma,
kode etik aturan formal dan non formal untuk bekerja sama demi
mencapai tujuan yang diinginkan. Kelembagaan berarti juga
seperangkat aturan yang mengatur tingkah laku masyarakat untuk
mendapatkan tujuan hidup mereka (Bulkis, 2010). Kelembagaan lebih
ditekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif
(collective action) untuk mewujudkan kepentingan bersama.
Dalam prespektif Paul Pierson (2000) di kalangan akademisi
sosial, terdapat dua pendekatan berkaitan dengan analisis kelembagaan,
yaitu kalangan fungsional dan non fungsional. Analisis kelembagaan
dengan pendekatan fungsional menjadi arus utama dalam melihat suatu
lembaga. Pendekatan fungsional ini menekankan pada rasionalisme

yang cenderung kaku dan melihat bahwa perubahan suatu institusi
dipengaruhi secara dominan oleh institusi itu sendiri. Pendekatan non
fungsional lebih melihat bahwa seorang “aktor” tidak selalu rasional
dalam arti sebagai cost and benefit atau transaksi yang berorientasi
keuntungan dan lebih berorientasi purposive diartikan seorang aktor
pasti mempunyai maksud, tujuan dan cita-cita tertentu yang bisa
membentuk suatu institusi dan pada saatnya akan mengubahnya pula.
Aktor mempunyai pengaruh yang kuat dalam melembagakan
suatu organisasi, aktor dapat berupa orang, kelompok, organisasi atau
jalinan yang mampu mengambil keputusan dan bertindak dengan cara
yang sedikit banyak terkoordinasi. Para aktor dapat berupa individu,
kelompok, partai, pemerintah dan sebagainya. Kelompok-kelompok
yang terorganisasi mempunyai tujuan dan sasaran dalam situasi
interaksi dan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tindakan
kolektif. Sudah barang tentu terdapat proses-proses sosial di dalam
kelompok. Setiap aktor mempunyai serangkaian tertentu kesempatan
5

www.kemitraan.or.id/uploads_file/20120521054213.kelembagaan.pdf diunduh tanggal
15 Oktober 2013


12

bertindak untuk dipilihnya. Setiap tindakan yang dipilihnya akan
memberikan dampak dan aksi (Burns, 1987 dalam Novi Yani 2013).
Pierson (2000) juga melihat bahwa perubahan yang terjadi pada
suatu institusi dipengaruhi oleh proses dan bukan oleh aktor rasional
transaksional, jadi sangat mungkin sebuah organisasi pada prosesnya
maupun pada akhirnya akan menyimpang dan berubah haluan, yang
berarti tidak seperti cita-cita dan visi ketika organisasi itu dibentuk.
Dalam menganalisa perubahan organisasi juga dikenal istilah path of
dependence, istilah tersebut digunakan bahwa sebuah institusi
memerlukan penyesuaian
terhadap
lingkungannya.
Pierson
mengandaikan sebuah institusi itu seperti garis lurus linear
(transformative) dimana garis tersebut menghubungkan satu titik yang
merupakan awal terbentuknya suatu institusi sedangkan titik lain
merupakan akhir terbentuknya institusi. Perubahan pada sebuah
institusi merupakan hal lazim. Perubahan tersebut bisa disebabkan
karena “perkawinan” antar lembaga, artinya saling mengambil “nilainilai kelembagaan” dari institusi lain yang dirasa berguna.
Sebuah lembaga seharusnya memiliki kepribadian sendiri dan
bukan merupakan hasil dari agresi aktor. Sehingga dalam mempelajari
sebuah proses kelembagaan (institusionalisasi) harus memiliki frame
yang jelas dilihat dari dasar-dasar kesamaan organisasi dan turunannya,
hubungan antara struktur dan perilaku, peran simbol dalam kehidupan
sosial, hubungan antara gagasan dan kepentingan, serta ketegangan
antara kebebasan dan ketertiban. Di Maggio dan Powel (1983)
menggunakan
pendekatan
institusionalisme
tersebut
untuk
menjelaskan homogenitas institusi dan juga menjelaskan bagaimana
institusi dapat berubah dari waktu ke waktu dalam hal karakter dan
potensi.
Di Maggio dan Powel (1983) berpendapat bahwa “ruh
penggerak” rasionalisasi dan birokratisasi telah bergerak dari ranah
pasar menuju ranah negara dan profesi. Organisasi muncul sebagai field
(unit atau level analisis dalam organisasi) yang memunculkan paradoks
: aktor-aktor rasional membuat organisasi mereka cenderung memiliki
kemiripan walaupun pada saat yang sama mereka ingin mengubahnya.

13

Lembaga akan mempertahankan eksistensinya terhadap tekanantekanan dari luar dimana bentuk pertahanan yang dilakukan adalah
adanya penyesuaian diri. Proses pertahanan, penyesuaian, dan
perubahan pada sebuah lembaga dapat dianalisis dengan proses
isomorfik (isomorphic), yaitu pemaksaan (coercive), peniruan
(mimetic) serta berdasarkan norma (normative).

14

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pengelolaan Arsip Dinamis Inaktif di Kantor Perpustakaan dan Dokumentasi Daerah Kota Temnggung

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pengelolaan Arsip Dinamis Inaktif di Kantor Perpustakaan dan Dokumentasi Daerah Kota Temnggung T1 162010013 BAB II

0 2 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pengelolaan Arsip Dinamis Inaktif di Kantor Perpustakaan dan Dokumentasi Daerah Kota Temnggung

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Sistem Reservasi Kunjungan Perpustakaan Berbasis Android: studi kasus Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktor, Proses, dan DampakReformasi Birokrasi: studi kasus di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga T2 092012014 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktor, Proses, dan DampakReformasi Birokrasi: studi kasus di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga T2 092012014 BAB IV

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktor, Proses, dan DampakReformasi Birokrasi: studi kasus di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga T2 092012014 BAB V

0 1 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktor, Proses, dan DampakReformasi Birokrasi: studi kasus di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Media Informasi Perpustakaan dan Arsip Daerah Salatiga Berbasis Video Infografis

1 1 9

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Standar Perpustakaan di SD Kristen 04 Eben Haezer Salatiga T2 BAB II

0 3 42