PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA.

(1)

PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP PERILAKU

AGRESIF SISWA

(Studi Deskriptif terhadap Siswa SMK di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi

Oleh:

Nadiya Nurfitriani Putri Sudarwati NIM 1100266

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015


(2)

PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA (Studi Deskriptif terhadap Siswa SMK di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi)

Oleh

Nadiya Nurfitriani Putri Sudarwati 1100266

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Nadiya Nurfitriani Putri Sudarwati 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Oktober 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

(4)

Nadiya Nurfitriani Putri Sudarwati NIM. 1100266

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh realitas semakin maraknya fenomena perilaku agresif siswa sekolah menengah kejuruan sebagai dampak budaya sekolah yang kurang kondusif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran budaya sekolah dan perilaku agresif siswa SMK di Kecamatan Cibadak Kabupaten

Sukabumi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan

menggunakan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, studi dokumentasi, dan studi literatur. Temuan penelitian ini adalah: (1) Bentuk perilaku agresif yang dilakukan oleh siswa SMK di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi adalah saling pukul, menikam, menyerang lawan dengan senjata, melakukan pelemparan dengan batu kepada angkot yang dinaiki pelajar dari sekolah lain, merusak fasilitas umum dan pribadi milik warga, serta saling ejek antar sekolah. (2) Budaya sekolah yang positif mampu mengurangi tingkat agresivitas siswanya. Iklim sekolah yang kondusif serta ketegasan pihak sekolah dalam membina para siswanya seperti di SMK Negeri, mampu mengurangi intensitas perilaku agresif siswa. (3) Budaya sekolah yang negatif dapat memicu siswanya untuk melakukan tindakan agresi. Iklim sekolah yang kurang kondusif untuk proses pembelajaran dan perkembangan siswa serta tidak adanya ketegasan pihak sekolah dalam penanganan anak yang bermasalah seperti di SMK swasta, memicu siswanya untuk melakukan tindakan agresi. (4) Upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi perilaku agresif siswa sekolah menengah kejuruan di Kecamatan Cibadak adalah melalui pembinaan para pelajar, patroli rutin, silang pelajar, diadakan kegiatan pramuka, olahraga, dan pengajian yang dilakukan bersama, pembentukan Tim Satgas PGS (Perlindungan Guru dan Siswa) PGRI Kecamatan Cibadak, kerjasama antara pihak sekolah dengan UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak, PGRI Cabang Cibadak, Muspika Kecamatan Cibadak, Disdik Kabupaten Sukabumi, Polsek, dan Koramil.


(5)

Nadiya Nurfitriani Putri Sudarwati NIM. 1100266

ABSTRAK

Research is motivated by the reality of the increasingly widespread phenomenon of aggressive behavior of vocational secondary school students as a result of unfavorable school culture. This research aims to describe the culture of the school and aggressive behavior of vocational secondary school students in Cibadak sub-district Sukabumi regency. This research used a qualitative approach with descriptive method. The technique of collecting data and information, conducted through depth interview, observation, the study of documentation, and the study of literature. The findings of this research are: (1) Forms of aggressive behavior committed by vocational secondary school students in Cibadak sub-district Sukabumi regency are hitting each other, stabbing, attacking the opponent with a weapon, throwing stones at the public transportation ride of students from other schools, vandalizing public property and private property of citizens, and taunted each other between schools (2) Positive school culture is able to reduce the level of students aggressiveness. School climate that is conducive and firmness of the school in fostering students as in the public vocational secondary

school, capable of reducing the intensity of student’s aggressive behavior. (3)

Negative school culture can lead students to carry out acts of aggression. School climate that is not conducive to the learning process and the development of students and the firmness lacks of the school in handling children with problems as in the private vocational secondary school, triggering the students to carry out acts of aggression. (4) Efforts that have been made to cope with the aggressive behavior of vocational secondary school students in Cibadak sub-district are through the students development program, routine patrols, students exchange, held scouts, sports, and Koran recitation conducted jointly, the establishment of Tim Satgas PGS (Perlindungan Guru dan Siswa) from PGRI branches Cibadak, cooperation between the school and the Sub-district Education Offices of Cibadak, PGRI branches Cibadak, the Government of Cibadak sub-district, the District Education Offices of Sukabumi, the Police, and the Military Sub-district Command of Cibadak.

Keywords: School Culture, Aggressive Behavior, Student


(6)

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Struktur Organisasi Skripsi ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10

1. Budaya Sekolah ... 10

1.1 Pendidikan dan Lingkungan Sosial ... 10

1.2 Pendidikan dan Kebudayaan ... 13

1.3 Budaya Sekolah (School Culture) ... 14

1.4 Nilai-Nilai yang Dianut di Sekolah... 19

1.5 Norma-Norma Sosial dalam Situasi Belajar ... 23

1.6 Latar Belakang Guru ... 27

2. Perilaku Agresif ... 29

2.1 Definisi Perilaku Agresif ... 29

2.2 Teori tentang Terbentuknya Perilaku Agresif ... 31

2.3 Sumber Agresi ... 33

2.4 Bentuk Agresi ... 35

3. Kerangka Teori ... 38


(7)

3.2 Prosedur Penelitian ... 43

3.3 Tempat Penelitian dan Partisipan ... 49

3.3.1 Tempat Penelitian ... 49

3.3.2 Partisipan Penelitian... 50

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 51

3.5 Instrumen Penelitian ... 54

3.5.1 Penyusunan Kisi-Kisi Penelitian ... 55

3.5.2 Penyusunan Alat Pengumpul Data ... 55

3.5.3 Penyusunan Pedoman Observasi ... 55

3.5.4 Penyusunan Pedoman Wawancara ... 56

3.6 Analisis Data ... 56

3.6.1 Analisis Data Kualitatif ... 56

3.6.2 Interpretasi Data atau Keabsahan Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1 Deskripsi Umum Sekolah ... 59

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 61

4.2.1 Gambaran Perilaku Agresif Siswa yang Terjadi di Kecamaan Cibadak Kabupaten Sukabumi ... 62

4.2.2 Gambaran Budaya Sekolah pada SMK yang ada di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi ... 70

4.2.3 Peranan Budaya Sekolah dalam Mempengaruhi Perilaku Agresif Siswa ... 85

4.2.4 Solusi dalam Menanggulangi Perilaku Agresif Siswa SMK di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi ... 90

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 98

4.3.1 Gambaran Perilaku Agresif Siswa yang Terjadi di Kecamaan Cibadak Kabupaten Sukabumi ... 98

4.3.2 Gambaran Budaya Sekolah pada SMK yang ada di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi ... 103


(8)

4.3.4 Solusi dalam Menanggulangi Perilaku Agresif Siswa SMK di

Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi ... 115

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ... 121

5.1 Simpulan ... 121

5.2 Implikasi ... 126

5.3 Rekomendasi ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 128

LAMPIRAN ... 131

RIWAYAT HIDUP ... 205


(9)

2.1 Nama Skema Bentuk Penyimpangan (Robert K Merton) ... 39

4.1 Data Ekonomi Orang Tua Siswa SMKN 1 Cibadak ... 73

4.2 Data Ekonomi Orang Tua Siswa SMK Tamansiswa Cibadak ... 73


(10)

Lampiran 1 SK Pembimbing Skripsi ...131

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian ...136

Lampiran 3 Laporan Kemajuan Skripsi ...140

Lampiran 4 Kisi-Kisi dan Instrumen Penelitian ...142

Lampiran 5 Profil Sekolah SMK ...156

Lampiran 6 Hasil Observasi dan Wawancara ...166

Lampiran 7 Tabel Kualitatif ...191


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Masa remaja adalah masa transisi antara kanak-kanak dan dewasa. Mereka relatif belum mencapai tahap kematangan mental serta sosial sehingga harus menghadapi tekanan emosi, psikologi, dan sosial yang saling bertentangan. Kondisi inilah yang seringkali membuat remaja berperilaku agresif, terutama melakukan tindak kekerasan. Padahal perilaku di masa remaja tidak saja menentukan kehidupan masa dewasa, tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya, sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.

Menurut Soekanto (2009, hlm. 148), sebab-sebab suatu kelompok sosial menjadi agresif antara lain dikarenakan adanya frustrasi dalam jangka waktu yang lama, tersinggung, merasa dirugikan, ada ancaman dari luar, diperlakukan tidak adil, dan merasa terhina pada hal-hal yang sensitif. Selain itu, menurut Fakhruddin (dalam Maftuh, 2008, hlm. 12) k onflik bisa dimulai dari saling mengejek, membela teman yang mempunyai masalah pribadi dengan siswa di sekolah lain, tradisi permusuhan turun-temurun, dan pemalakan.

Saat ini pelaku dan korban kekerasan mulai dari orang dewasa, remaja, sampai anak-anak. Yang sangat memprihatinkan adalah anak-anak dan remaja pun sekarang sudah berperilaku agresif. Mereka tidak segan menganiaya bahkan menghilangkan nyawa teman sendiri. Beberapa waktu yang lalu di Bekasi, gara-gara utang piutang seorang anak tewas karena dikeroyok teman-temannya.

Kemudian awal bulan Maret 2015, siswa SMA di Palembang menusuk teman sekelasnya hanya karena rebutan tempat duduk. Peristiwa ini bahkan terjadi di dalam kelas dan disaksikan oleh guru sejarah, karena pada saat berlangsungnya pembelajaran. Padahal pelaku masih dibawah umur, yakni berusia 15 tahun. Hal ini memunculkan pertanyaan, ada apa dengan kepribadian anak-anak saat ini? Apa faktor pemicu mereka menjadi semakin agresif dan semakin mudah tersulut emosi? Dan mengapa pendidikan belum mampu (untuk tidak dikatakan gagal) mewujudkan sosok manusia yang memiliki budi pekerti luhur?


(12)

Untuk menjawab masalah ini tentunya dibutuhkan sebuah analisis yang mendalam dan komprehensif dari berbagai sudut pandang. Intinya, perilaku agresif pada remaja saat ini semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil beberapa kajian dan penelitian disimpulkan bahwa perilaku agresif pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain, pengaruh pola asuh orang tua, trauma kekerasan yang diterima waktu kecil, pengaruh tayangan kekerasan di TV dan game, pengaruh teman atau lingkungan bermain termasuk di lingkungan sekolah.

Sekolah seyogyanya mengembangkan potensi peserta didik secara komprehensif, yang meliputi kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, serta keterampilan seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Akan tetapi, kurikulum sekolah masih menekankan pada pengembangan aspek kognitif.

Kurangnya perhatian terhadap aspek lain selain kognitif menjadikan dunia pendidikan di Indonesia dilanda dekadensi moral yang sangat nyata. Hal tersebut dapat terlihat dari peserta didik yang menjadi lebih beringas, lebih suka bergerombol, dan lebih senang untuk melakukan kekerasan dalam melaksanakan aktivitas. Selain itu, dalam setiap penyelesaian masalah, mereka melakukannya dengan bentuk-bentuk agresi seperti penyerangan, bentrokan, tawuran, bahkan yang sudah mengarah pada tindak kriminalitas.

Sebagai makhluk sosial, manusia sangatlah bergantung dengan orang lain. Oleh karena itu kemampuan adaptasi remaja dalam menginternalisasi nilai-nilai yang didapatnya dari lingkungan sosial dan lingkungan keluarga sangat diperlukan untuk dapat diterima dalam masyarakat. Namun pada kenyataannya, banyak remaja yang justru melakukan kenakalan dan tindak kriminalitas dimana hal tersebut melanggar norma sosial dan norma hukum yang berlaku. Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya angka kasus kriminalitas oleh remaja tiap tahunnya menurut data badan pusat statistik Indonesia. Data tersebut menunjukkan peningkatan dari segi kuantitas dari tahun 2007 yang tercatat sekitar 3.100 orang remaja yang berusia 18 tahun atau kurang terlibat dalam kasus kriminalitas, serta pada tahun 2008 dan 2009 yang meningkat menjadi 3.300 dan


(13)

4.200 remaja (Badan Pusat Statistik, 2010). Tidak hanya dari segi kuantitas, laporan Badan Pusat Statistik juga menjelaskan bahwa tindak kriminalitas yang dilakukan oleh remaja juga meningkat secara kualitas. Dimana kenakalan yang dilakukan remaja pada awalnya hanya berupa perilaku tawuran atau perkelahian antar teman, dan sekarang berkembang sebagai tindak kriminalitas seperti pencurian, pemerkosaan, penggunaan narkoba hingga pembunuhan.

Hasil analisis data yang bersumber dari berkas laporan penelitian kemasyarakatan, balai pemasyarakatan tahun 2010 mengungkapkan bahwa sebelum para remaja nakal ini melakukan perbuatan tindak pidana, mayoritas atau sebesar 60,0% adalah remaja putus sekolah dan mereka pada umumnya atau sebesar 67,5% masih berusia 16 dan 17 tahun (Febrianti, 2015).

Angka-angka di atas cukup mencengangkan, bagaimana mungkin anak remaja yang masih muda, polos, energik, potensial yang menjadi harapan orangtua, masyarakat, dan bangsanya dapat terjerumus dalam tindak kriminalitas. Bahkan, angka-angka tersebut diprediksikan akan terus menanjak, seperti fenomena gunung es, tidak tampak di permukaan namun jika ditelusuri lebih dalam ternyata banyak ditemukan kasus-kasus yang cukup mengejutkan.

Fenomena perilaku agresif siswa yang marak akhir-akhir ini adalah dalam bentuk kekerasan fisik, misalnya tawuran dan pengeroyokan yang sudah sangat

meresahkan masyarakat. Sepanjang 1 Januari – 15 November 2014, tercatat 769

kasus tawuran siswa di Jakarta dan menewaskan 13 orang siswa. Bila dirata-rata, setiap hari terjadi dua kali kasus tawuran (Jawa Pos/JPNN.com, 2014).

Peristiwa serupa juga terjadi di Sukabumi. Pada periode awal-pertengahan bulan Desember 2014, terdapat lima kasus perilaku agresif yang dilakukan oleh para siswa SMK yang terdiri dari empat kasus tawuran dan satu kasus

pemerkosaan (Rayadie, 2014). Bahkan yang sangat disayangkan, 3 dari 5 kasus

justru dilakukan saat hari pertama dan hari terakhir Ujian Akhir Semester.

Menurut Kapolres Sukabumi Kota, AKBP Diki Budiman, di wilayah hukumnya memang rawan terjadi tawuran antarsiswa yang pemicunya hanya hal sepele seperti saling ejek di kendaraan umum maupun saling coret nama sekolah di tembok (Zahroni, 2014). Menurut Kapolsek Cibadak, Kompol Undang Dedy, tindakan para siswa ini bukan lagi sebagai perilaku agresif yang mengarah kepada


(14)

kenakalan remaja, tetapi lebih mengarah ke tindak kriminal, yakni berupa tindak penganiayaan. Korbannya sudah ada dan mengalami luka-luka, dengan demikian perbuatan para siswa ini merupakan tindak kriminal (Kamajaya, 2014).

Mengacu pada studi sebelumnya yang dilakukan oleh Center Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM di 4 kota besar, yaitu Solo, Semarang, Surabaya dan Malang untuk siswa SMA, SMK, dan MA ditemukan bahwa sekitar 21,30% perilaku agresif dilakukan oleh siswa laki-laki dan hal yang lebih mengejutkan, ada 8,60% siswa yang secara langsung menyaksikan gurunya melakukan kekerasan kepada siswa di sekolah. Ditemukan pula bahwa sekitar 41,50% siswa memiliki emosi negatif di lingkungan sekolah (Natalia, 2012).

Kondisi tersebut membuat berbagai pihak khawatir. Sebagaimana penjelasan yang diungkapkan oleh Maftuh (2008, hlm. 9), “apapun bentuknya, jika konflik hadir maka konflik tersebut setidaknya akan mengganggu proses belajar dan kemudian akan memperlemah proses dan prestasi belajar”. Dengan demikian, apabila perilaku agresif siswa tidak dapat dihentikan, generasi penerus bangsa akan terlena dengan kekerasan dan tidak akan lagi berpikir akan prestasi yang dapat memajukan bangsa.

Penelitian sosiologis yang dikemukan oleh Herbert, Rigby dan Slee, serta Morita (dalam Yoneyama dan Naito, 2003, hlm. 316) mengatakan bahwa

“perilaku agresif di kalangan siswa merupakan sesuatu yang terjadi secara merata

di sekolah”. Perilaku agresif di kalangan siswa tidak hanya berkenaan dengan

peer group siswa, tetapi juga berkenaan dengan bagaimana norma sekolah menimbulkan hal tersebut terjadi. Dalam institusi pendidikan sekalipun, perilaku agresif tidak dapat dihindarkan. Perilaku agresif yang terjadi di kalangan siswa belum mencerminkan safety climate dalam sekolah. Perilaku agresif yang terjadi di sekolah cenderung untuk memperlihatkan kontestasi kekuasaan di kalangan siswa.

Namun, hal itu dapat menjadikan institusi sekolah sebagai tempat yang mengancam bagi siswa dalam menuntut ilmu. Padahal, sekolah merupakan agen sosialisasi penting dalam mentransfer kebudayaan, mengadakan kumpulan sosial, dan memperkenalkan anak dengan tokoh teladan (Idi, 2011, hlm. 47). Sekolah


(15)

seharusnya memberikan budaya positif kepada peserta didik dan suasana yang kondusif.

Budaya yang positif untuk perilaku siswa yang positif pula tidak terlepas dari nilai, norma, tradisi, dan interaksi yang dijalankan oleh sekolah. Perilaku agresif yang terjadi di kalangan siswa secara tidak langsung memunculkan budaya sekolah yang negatif dimana kegiatan seperti tawuran atau berkelahi merupakan kegiatan yang tidak mendukung pada peningkatan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, norma yang memaksa dan sikap mempertahankan tradisi memicu individu untuk bertindak agresi.

Sehubungan dengan hal tersebut, budaya sekolah merupakan kunci utama dalam menciptakan safety climate dalam sekolah. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan penulis dengan Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak, Bapak Jajat Sudarjat, budaya sekolah turut berperan dalam mempengaruhi perilaku agresif siswa. Hasil investigasi menunjukkan bahwa budaya sekolah yang negatif menjadi penyebab utama terhadap tindak kekerasan di kalangan pelajar. Mulai dari jam masuk dan pulang sekolah, daya tampung ruang belajar dan tenaga pendidik yang tidak memadai, minimnya keterlibatan orang tua murid dan komite sekolah, serta tidak adanya figur yang disegani di lingkungan sekolah.

Ketidaksesuaian daya tampung ruang belajar dan jumlah tenaga pendidik dengan jumlah siswa di SMK swasta, mengakibatkan adanya pembagian dan perbedaan jam efektif belajar. Hal ini menyebabkan banyak siswa mulai dari pagi hari sudah bergerombol di tempat tongkrongan dengan alasan menunggu jam masuk sekolah, tetapi saat pulang sekolah pun mereka kembali nongkrong di tempat yang sama. Bahkan tidak jarang karena sudah keasyikan nongkrong, mereka memilih untuk bolos sekolah. Minimnya keterlibatan orang tua murid / komite sekolah membuat kurangnya pengawasan terhadap sekolah. Siswa pun menjadi semakin merasa bebas ketika di lingkungan sekolahnya tidak ada figur yang bisa disegani sehingga tidak ada yang bisa memaksa mereka membiasakan diri untuk bersikap disiplin. Padahal, iklim sekolah dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi mampu mencegah siswa untuk berperilaku agresif.


(16)

Selama ini, kebanyakan penelitian secara psikologis, perilaku agresif siswa dipicu dari frustasi dan kemarahan. Padahal, saat ini perilaku agresif di kalangan pelajar bukanlah bersifat kemarahan semata, melainkan relasi di dalam sekolah membentuk individu untuk agresif. Dalam beberapa penelitian, budaya sekolah mempengaruhi tingkat prestasi siswa dan kinerja guru. Budaya sekolah (school culture) sangat mempengaruhi prestasi dan perilaku peserta didik dari sekolah tersebut (Zamroni, 2003, hlm. 297). UNICEF (2001) melihat bahwa budaya sekolah dapat membuka ruang bagi terciptanya kekerasan.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara substansi, penelitian yang akan dilakukan ini melihat bahwa situasi dalam institusi pendidikan dapat memunculkan kecenderungan siswa untuk berperilaku agresif. Namun, dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis melihat secara khusus perilaku agresif berkenaan dengan peranan budaya sekolah yang dibentuk.

Penelitian sebelumnya melihat bahwa lingkungan sekolah dan jenis institusi sekolah berhubungan dengan perilaku agresif, tetapi tidak menjelaskan unsur dari sekolah seperti norma dan nilai di sekolah mengakibatkan kecenderungan individu berperilaku agresif. Selanjutnya, kontribusi yang diberikan untuk memaparkan jenis perilaku agresif seperti apa yang terjadi di kalangan pelajar. Kemudian, secara khusus penelitian ini berkontribusi dalam menjelaskan

terjadinya perilaku agresif siswa disebabkan oleh “relasi” dan “kondisi stuktural”,

bukan karena kemarahan atau pengaruh emosional individu.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah pokok penelitian ini, yaitu: “Bagaimanakah peranan budaya sekolah dalam mempengaruhi perilaku agresif siswa?”

Agar penelitian ini lebih terarah dan terfokus pada pokok permasalahan, maka masalah pokok tersebut penulis jabarkan dalam beberapa sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gambaran perilaku agresif siswa yang terjadi di Kecamatan


(17)

2. Bagaimanakah gambaran budaya sekolah pada Sekolah Menengah Kejuruan yang ada di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi?

3. Bagaimanakah peranan budaya sekolah dalam mempengaruhi perilaku

agresif siswa?

4. Bagaimanakah solusi dalam menanggulangi perilaku agresif siswa SMK di

Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui peranan budaya sekolah dalam mempengaruhi perilaku agresif siswa.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan umum tersebut dijabarkan dalam beberapa tujuan khusus adalah sebagai berikut :

a. Mendeskripsikan perilaku agresif siswa yang terjadi di Kecamatan

Cibadak Kabupaten Sukabumi.

b. Mendeskripsikan budaya sekolah pada Sekolah Menengah Kejuruan

yang ada di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi.

c. Megidentifikasi peranan budaya sekolah dalam mempengaruhi

perilaku agresif siswa.

d. Mendeskripsikan solusi dalam menanggulangi perilaku agresif siswa

SMK di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah gambaran data empiris mengenai perilaku agresif siswa di Kabupaten Sukabumi. Selanjutnya, hasil penelitian ini memberi kontribusi pengetahuan bagi sosiologi pendidikan mengenai analisa agresifitas siswa dari faktor budaya sekolah. Lebih lanjut, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang peran institusi sekolah beserta stakeholder-nya untuk mencegah


(18)

dan menangani perilaku agresif siswa. Terakhir, hasil penelitian ini dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, diharapkan dapat memperoleh ilmu pengetahuan,

wawasan, dan pengalaman serta sebagai bahan perbandingan pengetahuan yang didapat selama berada dibangku perkuliahan dengan keadaan dilapangan.

b. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

evaluasi bagi aturan atau kebijakan sekolah (visi-misi sekolah) yang merupakan bagian dari budaya sekolah untuk mewujudkan iklim

sekolah yang integratif dan bersinergis antarsiswa sehingga mampu

menciptakan budaya sekolah yang baik. Selain itu, dapat meningkatkan kualitas sekolah dalam hal pembentukan karakter siswa.

c. Bagi guru, penelitian ini dapat berguna dalam melakukan tindakan

preventif dan kuratif yang tepat untuk menangani perilaku agresif siswa dan dapat menjadi referensi untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan moral dalam upaya mencegah perilaku agresif siswa.

d. Bagi peserta didik, penelitian ini dapat berguna sebagai media

informasi agar mereka mampu menyadari dan menyelesaikan masalah sendiri, serta tidak lagi melakukan tindakan agresif yang akan merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

e. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan yang disertai data dan fakta kepada stakeholder agar mampu mengambil kebijakan strategis dalam meminimalisasi terjadinya perilaku agresif siswa di Kabupaten Sukabumi.

f. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan informasi bagi

masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan perilaku agresif yang dilakukan oleh para pelajar yang terjadi di lingkungan sekitarnya.


(19)

1.5 Struktur Organisasi Skripsi

Struktur organisasi dalam skripsi ini, didahului dengan Bab I yang membahas mengenai latar belakang masalah perilaku agresif siswa yang terjadi di Kabupaten Sukabumi, dijelaskan ke dalam beberapa identifikasi masalah yang terjadi di lapangan mengenai budaya sekolah dan perilaku agresif siswa, serta dirumuskan ke dalam pertanyaan pokok dan beberapa pertanyaan penelitian. Selanjutnya berisi penjelasan mengenai tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian yang dilakukan sehingga dapat terlihat manfaat baik itu manfaat secara teoretis terhadap disiplin sosiologi maupun manfaat praktis terhadap pihak-pihak yang terkait dari hasil penelitian.

Bab II membahas mengenai teori-teori dan konsep-konsep yang menunjang dalam penelitian ini yaitu mengenai pendidikan dan lingkungan sosial, pendidikan dan kebudayaan, budaya sekolah, perilaku agresif, serta teori anomie. Dari teori dan konsep yang dijabarkan kemudian disusun asumsi dasar. Bab III membahas metode yang digunakan dalam penelitian dari mulai desain pendekatan kualitatif, metode deskriptif, lokasi di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi, subjek utama yaitu pelajar dari tiga sekolah SMK dan beberapa subjek pelengkap lainnya. Instrumen atau alat yang digunakan dalam penelitian yaitu peneliti sendiri, teknik pengumpulan data, analisis data hingga uji keabsahan data yang dilakukan selama penelitian.

Bab IV membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang disusun berdasarkan rumusan pertanyaan penelitian, meliputi gambaran perilaku agresif siswa, gambaran budaya sekolah SMK, peranan budaya sekolah dalam mempengaruhi tingkat agresivitas siswa, serta sejauhmana nilai, norma, tradisi, dan interaksi yang dibentuk di sekolah mempengaruhi perilaku agresif siswa. Bab V sebagai bab penutup berisi simpulan penelitian yang dirumuskan dari pembahasan penelitian dan rekomendasi sebagai tindakan preventif yang harus dilakukan stakeholder yang terkait dengan perilaku agresif siswa.


(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Alasan penulis menggunakan pendekatan kualitatif ialah sebagaimana yang dikatakan Merriam dalam Creswell (1994, hlm. 145), yaitu:

a. Peneliti kualitatif lebih memiliki perhatian pada proses daripada hasil

atau produk;

b. Peneliti kualitatif tertarik pada makna, yaitu bagaimana orang berusaha

memahami kehidupan, pengalaman, dan struktur lingkungan mereka;

c. Peneliti kualitatif merupakan instrumen utama dalam pengumpulan dan

analisis data. Data diperoleh melalui instrumen manusia daripada melalui inventarisasi, kuesioner, ataupun melalui mesin;

d. Penelitian kualitatif sangat berkaitan dengan fieldwork. Artinya, penulis

secara fisik terlibat langsung dengan orang, latar (setting), tempat, atau institusi untuk mengamati atau mencatat perilaku dalam latar alamiahnya;

e. Penelitian kualitatif bersifat induktif dalam arti penulis membangun

abstraksi, konsep, hipotesis, dan teori.

Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada alasan bahwa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu pengaruh budaya sekolah terhadap perilaku agresif siswa. Dalam penelitian ini dibutuhkan sejumlah data lapangan yang sifatnya aktual dan konseptual.

Untuk mendapatkan data guna menjawab permasalahan seperti yang dikemukakan di atas, penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang situasi-situasi sosial. Selain itu, metode deskriptif lebih spesifik dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek tertentu dan sering menunjukkan hubungan antara berbagai variabel.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dinyatakan bahwa alasan penulis menggunakan metode deskriptif yakni sebagai metode yang mampu menggambarkan situasi atau kejadian yang ada pada masa sekarang. Dengan menggunakan metode ini, maka akan dapat diperoleh informasi secara lengkap berkenaan dengan masalah yang hendak diteliti dengan menggunakan


(21)

langkah-3.2 Prosedur Penelitian

Moleong (2007, hlm. 127) menjelaskan bahwa tahap-tahap penelitian terdiri atas tahap pra-lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap pengolahan data. Berikut ini akan dijelaskan tahap-tahap penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

1. Tahap Pra-Penelitian

Pada tahap pra-penelitian yang dilakukan oleh peneliti melingkupi beberapa kegiatan yaitu diawali dengan menyusun rancangan penelitian. Hal tersebut dilakukan agar penelitian berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Peneliti terlebih dahulu menyusun rancangan yang matang mengenai penelitian yang akan dilakukan. Setelah menyusun rancangan penelitian, langkah berikutnya yaitu memilih lokasi penelitian.

Pada tahap ini dibutuhkan pendalaman yang khusus karena berkaitan dengan pemilihan lokasi. Di lokasi tersebut harus benar-benar terdapat masalah mengenai perilaku agresif siswa, sehingga lokasi dapat disesuaikan dengan rumusan masalah yang ada. Selain itu, agar tidak terjadi ketidaksesuaian antara lokasi penelitian dan masalah yang akan diteliti.

Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti akan meneliti mengenai pengaruh budaya sekolah terhadap perilaku agresif siswa. Setelah diamati beberapa daerah di Sukabumi, peneliti memilih wilayah Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi untuk dijadikan lokasi dalam penelitian ini dengan mengambil 3 sekolah sebagai sampel, yaitu SMKN 1 Cibadak, SMK Lodaya, dan SMK Taman Siswa. Setelah lokasi penelitian ditetapkan, selanjtnya peneliti mengupayakan perizinan dari instansi/lembaga dan pihak yang terkait.

Pertama-tama peneliti mendatangi UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi untuk meminta izin melakukan penelitian di sekolah-sekolah SMK yang berada di wilayah Kecamatan Cibadak dan meminta rekomendasi SMK mana saja yang siswanya sering melakukan tindakan agresi. Walaupun peneliti sendiri sudah memiliki catatan sekolah-sekolah yang akan dijadikan sebagai lokasi dan subjek penelitian, akan tetapi agar penelitian ini bersifat objektif maka diperlukan catatan sekolah-sekolah dari pihak Dinas. Setelah melakukan wawancara dengan Kepala


(22)

UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi, maka diperoleh informasi tentang sekolah-sekolah yang siswanya terindikasi sering melakukan tindakan agresi dan hasilnya sama dengan catatan yang dimiliki peneliti, yaitu SMKN 1 Cibadak, SMK Tamansiswa Cibadak, dan SMK Lodaya.

Setelah mendatangi UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak, selanjutnya peneliti mendatangi sekolah SMKN 1 Cibadak, SMK Tamansiswa Cibadak, dan SMK Lodaya pada hari yang berbeda-beda untuk meminta izin dan melakukan pendekatan secara personal kepada seluruh warga sekolah agar penelitian yang berlangsung dapat berjalan dengan lancar, serta memudahkan peneliti untuk memperoleh informasi dari semua sumber yang ada.

Peneliti melakukan penjajakan atau pendekatan dan penilaian lapangan agar memudahkan peneliti untuk tahap selanjutnya. Dalam tahap ini peneliti terus melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan keadaan lingkungan tempat penelitian. Seperti yang diungkapkan oleh Moleong (2007, hlm. 130)

bahwa, “Pengenalan lapangan dimaksudkan pula untuk menilai keadaan,

situasi latar dan konteksnya, apakah terdapat kesesuaian dengan masalah, hipotesis kerja teori substantif seperti yang digambarkan dan dipikirkan

sebelumnya oleh peneliti”.

Setelah peneliti mulai memahami kondisi lapangan dan mulai mengenal dengan warga sekolah. Selanjutnya peneliti mencari data pendukung yang diperoleh dari sekolah. Data yang diperoleh dari sekolah tersebut memudahkan peneliti untuk memilih siapa saja warga sekolah yang akan dijadikan informan. Setelah semua langkah dalam tahap pra-penelitian dilakukan, peneliti mulai menyiapkan perlengkapan penelitian atau semua alat pendukung yang dibutuhkan dalam proses penelitian.

Langkah-langkah tersebut diawali dengan pembuatan penyusunan pedoman wawancara dan pedoman observasi. Selanjutnya, peneliti lebih menyiapkan tenaga dan mental karena yang dihadapi peneliti merupakan masalah yang cukup sensitif untuk diungkap. Selain itu, peneliti harus berhadapan dengan pelajar SMK yang memiliki karakteristik yang unik.


(23)

Juga harus berhadapan dengan para pelajar, guru, kepala sekolah, dan para alumni dari ketiga tempat dengan kebiasaan dan karakteristik yang berbeda-beda.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Setelah semua langkah dalam tahap pra-penelitian dilakukan dan persiapan-persiapan yang menunjang telah lengkap, maka peneliti terjun ke lapangan untuk pelaksanaan penelitian. Dalam melaksanakan penelitian, peneliti menekankan bahwa instrumen yang utama adalah peneliti sendiri (key instrument). Peneliti sebagai instrumen utama dibantu oleh pedoman observasi dan pedoman wawancara antara peneliti dengan informan.

Peneliti memulai dengan mendatangi sekolah-sekolah, yang pertama didatangi adalah SMK Tamansiswa Cibadak. Pertama-tama yang dilakukan adalah mengurus perizinan ke pihak sekolah, dan yang menerima pertama kali adalah Wakil Kepala Sekolah. Kemudian penulis menemui Kepala Sekolah untuk meminta izin melakukan penelitian. Setelah mendapat izin, kemudian penulis mewawancarai Wakasek Kesiswaan sesuai dengan instrumen penelitian yang telah dibuat sebelumnya oleh penulis. Wawancara berjalan lancar, walaupun untuk beberapa pertanyaan pada awalnya beliau masih terkesan tidak sepenuhnya berterus terang, namun setelah penulis menambahkan pertanyaan-pertanyaan tambahan untuk memancing jawaban yang lebih jelas dan terbuka, akhirnya jawaban yang diberikan beliau sesuai dengan yang penulis harapkan.

Setelah selesai melakukan wawancara, penulis mulai melihat-lihat kondisi sekolah, lingkungan sekitar, dan juga interaksi yang berlangsung. Karena gedung sekolah satu atap dengan SMP Tamansiswa Cibadak, maka jam masuk untuk siswa SMK adalah pukul 13.00 WIB. Namun meskipun bagian siang, tetap saja ditemukan beberapa siswa yang terlambat. Karena ada beberapa guru yang berhalangan masuk, menyebabkan guru piket memberikan tugas kepada beberapa kelas. Kondisi di sekolah yang penulis amati sama halnya dengan kondisi sekolah pada umumnya. Ada satu kelas yang sedang berolahraga. Pada saat jam pelajaran, semua anak berada di dalam kelas mengikuti pelajaran, hanya ada satu atau dua anak yang


(24)

mondar-mandir pergi ke toilet atau ke kantor untuk satu dan lain hal. Pada saat jam istirahat, penulis juga menyempatkan untuk berbaur dengan para siswa dan mengajaknya mengobrol sambil menggali beberapa informasi.

Selanjutnya, penulis menuju ruang BK untuk mewawancarai Guru BK. Penulis juga mencoba meminta izin untuk melihat beberapa data kondisi awal siswa nakal seperti kondisi ekonomi, sosial, dan budaya di lingkungan tempat tinggalnya. Dikarenakan belum ada rekap dari arsip latar belakang siswa, maka akhirnya penulis merekap sendiri dari data yang ada. Penulis juga meminta bantuan kepada guru BK untuk menunjuk beberapa siswa yang memenuhi syarat untuk dijadikan informan.

Dua hari kemudian, penulis menunggu jam pulang sekolah untuk mewawancarai informan. Sambil menunggu, penulis mengamati kembali kondisi sekolah saat sore hari. Terjadi ketidakjelasan, walaupun jam pulang itu adalah pukul 17.00 WIB tetapi ada beberapa siswa yang bisa keluar sekolah untuk nongkrong di warung terdekat, ada yang bermain sepak bola, latihan upacara bendera, dan ada juga beberapa siswa yang disuruh membersihkan ruangan kelas oleh gurunya. Setelah dibubarkan oleh guru-guru, para pelajar mulai meninggalkan sekolah. Namun dari temuan penulis, terlihat beberapa orang pelajar yang tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan nongkrong secara berkelompok di sekitar pertigaan.

Penulis melakukan adaptasi sebelum melakukan wawancara dengan beberapa pelajar. Walaupun pada awal pembicaraan terkesan malu-malu karena baru berkenalan, tetapi setelah penulis menyelingi beberapa pertanyaan dengan candaan akhirnya lama kelamaan mereka mulai terbuka dan suasana pun mencair.

Selanjutnya, peneliti mendatangi SMKN 1 Cibadak dan SMK Lodaya secara bergiliran dan memulai berkenalan dan membaur dengan para guru dan pelajar dari kedua SMK tersebut.

Peneliti berusaha menyesuaikan dengan kondisi sekolah dan karakteristik para pelajar juga kebiasaan sekolah. Peneliti berusaha membaur dengan beberapa pelajar khususnya berusaha membaur dengan pelajar yang membutuhkan pembinaan. Kelompok pelajar yang terindikasi


(25)

pada kelompok-kelompok tawuran oleh pihak sekolah biasanya menyebut para pelajar tersebut dengan pelajar yang membutuhkan pembinaan. Peneliti berusaha bersikap netral, bersifat objektif dan tidak memojokan para pelajar yang membutuhkan pembinaan tersebut.

Selain itu, peneliti menampilkan memihak salah satu sekolah ketika berada di sekolah yang bersangkutan karena sekolah yang menjadi lokasi dan subjek penelitian berjumlah tiga sekolah itulah yang membuat peneliti harus bersikap memihak selain itu peneliti harus berubah-ubah sikap menyesuaikan dengan karakter sekolah yang berbeda-beda.

Setelah peneliti mulai mengetahui ritme dinamika pada tiap sekolah, mulailah dengan pengumpulan informasi data dan fakta yang sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Peneliti memulai dengan melakukan wawancara dengan wakasek kesiswaan, guru BK, dan beberapa peserta didik. Khusus untuk para pelajar walaupun peneliti sudah mendapatkan rekomendasi dari guru untuk para pelajar yang membutuhkan pembinaan. Akan tetapi, peneliti berusaha agar para pelajar yang membutuhkan pembinaan tersebut tidak terpojokan atau merasa sebagai tersangka yang sedang diintrogasi sehingga peneliti memulai wawancara dengan peserta didik yang aktif di organisasi siswa yakni OSIS.

Selanjutnya, semakin waktu bergulir seiring dengan informasi yang peneliti dapatkan dari wawancara yang dilakukan terhadap beberapa peserta didik. Akhirnya ada beberapa nama yang muncul. Walaupun sangat sulit karena mereka menutup-nutupi nama temannya yang suka terlibat tawuran oleh karena itu peneliti sangat sulit. Pihak sekolah pun sama menutup-nutupi nama peserta didik tersebut.

Secara bergiliran peneliti melakukan penelitian dari mulai wawancara ke pihak sekolah khususnya para pelajar, ke pihak kepolisian meliputi tiga Polsek, dan alumni. Pada saat pores penelitian berlangsung ada beberapa peristiwa tawuran yag sangat besar walaupun peneliti tidak melihat langsung peristiwa tersebut tetapi peneliti banyak memperoleh informasi mengenai peristiwa-peristiwa tawuran yang terjadi pada rentang waktu penelitian yang dilakukan oleh peneliti.


(26)

Peristiwa tawuran yang terjadi tersebut membuat peneliti terhambat untuk memperoleh informasi karena sekolah-sekolah yang menjadi lokasi penelitian diliburkan, pihak Dinas dan Kepolisian pun sedang sibuk. Sehingga mereka sulit untuk diwawancarai dan beberapa pelajar menghilang dan menutup mulut karena takut informasinya menyebar dan sampai kepihak Kepolisian. Terdapat beberapa informan yang terlibat dalam tawuran tersebut dan sedang diproses di Kepolisian.

Walaupun peneliti terhambat untuk penelitian ke lokasi penelitian tetapi seiring dengan berjalannya waktu kondisi di lokasi penelitian sudah menjadi normal kembali dan banyak perubahan terjadi. Dari wawancara dan observasi yang dilakukan informasi semakin banyak yang terkumpul dan mulai menjawab satu per satu rumusan masalah yang telah disusun peneliti. Secara berulang peneliti mendatangi ketiga sekolah, para pelajar, UPTD Pendidikan, alumni, dan subjek pelengkap lain agar informasi yang diperoleh tidak hanya muncul dari satu sumber saja. Peniliti melakukan kroscek ke berbagai pihak agar informasi yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan tidak hanya di ketiga sekolah tersebut, tetapi juga di warung-warung sekitar sekolah dan di tempat-tempat umum. Selain itu, peneliti juga melakukan studi literatur mengenai pemberitaan seputar perilaku agresif siswa yang terjadi di Kecamatan Cibadak.

3. Tahap Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui proses menyusun, mengkategorikan data, mencari keterkaitan isi dari berbagai data yang diperoleh dengan maksud untuk mendapatkan maknanya. Data yang diperoleh dan dikumpulkan dari informan melalui hasil wawancara, observasi, studi literatur, dan studi dokumentasi di lapangan selanjutnya dideskripsikan dalam bentuk laporan. Setiap kali setelah melakukan penelitian dan wawancara, peneliti selalu membuat catatan lapangan agar memudahkan peneliti dalam proses memetakan gambaran lapangan dan dalam penyusunan laporan.


(27)

Data mengenai budaya sekolah dan perilaku agresif siswa yang telah diperoleh peneliti dari mulai observasi, wawancara mendalam, studi literatur, dan studi dokumentasi selama penelitian berlangsung dipilih dan dipilah mana yang penting dan diperlukan untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, sehingga data yang penting tidak akan terabaikan dan menumpuk tanpa ada pemisahan yang jelas.

Data-data yang sesuai dengan rumusan dan pertanyaan-pertanyaan penelitian kemudian disortir, diklasifikasi, dipelajari, dimengerti, dan dipahami oleh peneliti. Penyajian data adalah menyajikan data secara terperinci dan menyeluruh dengan mencari pola hubungannya. Setelah alur dari data-data tersebut dapat dipahami oleh peneliti, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti yaitu membuat tabel kualitatif agar data-data tersebut menjadi lebih mudah dipahami dan dapat diidentifikasi dengan jelas. Setelah data-data tersebut mudah dipahami dalam bentuk tabel, tahap selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan. Dari data-data tersebut dapat terlihat pengaruh budaya sekolah terhadap agresivitas siswa, dan sejauhmana nilai, norma, tradisi, dan interaksi yang dibentuk di sekolah dapat mempengaruhi perilaku agresif siswa.

3.3 Tempat Penelitian dan Partisipan 3.3.1 Tempat Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena sekolah-sekolah SMK di Kecamatan Cibadak, siswa-siswanya sering terlibat tawuran. Beberapa SMK tidak melaksanakan KBM secara penuh, kurangnya penerapan disiplin dan akhlak mulia, daya tampung ruang belajar dan tenaga pendidik yang tidak memadai, serta minimnya keterlibatan orang tua murid dan komite sekolah.

Budaya sekolah turut berperan dalam mempengaruhi perilaku agresif siswa. Budaya sekolah yang positif, cenderung mampu mengurangi perilaku agresif yang dilakukan oleh siswanya. Berdasarkan pengamatan penulis,


(28)

contohnya dapat dilihat dari salah satu sekolah, yaitu SMK Negeri 1 Sukabumi. Dengan pelaksanaan KBM secara penuh, penerapan disiplin dan akhlak mulia, sarana dan prasarana yang sangat memadai mampu mengakomodasi semua potensi yang dimiliki siswanya sehingga mereka mampu mengaktualisasikan diri dengan baik sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing, sehingga pelampiasannya terhadap tawuran dapat dialihkan ke hal-hal yang lebih positif. Sebaliknya, budaya sekolah yang negatif, cenderung meningkatkan perilaku agresif yang dilakukan oleh siswanya. Gejala-gejalanya dapat penulis amati di beberapa SMK yang ada di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Terdapat 6 SMK di Kecamatan Cibadak, yaitu SMKN 1 Cibadak, SMK Lodaya, SMK Taman Siswa, SMK Kesehatan, SMK Pembangunan, dan SMK Muhammadiyah 2 Cibadak. Penulis mengambil 3 sekolah yang akan dijadikan lokasi penelitian, yaitu SMKN 1 Cibadak, SMK Lodaya, dan SMK Taman Siswa. Karena ketersediaan data yang penulis perlukan sesuai dengan masalah pokok penelitian ada di lokasi tersebut. Selain itu, pengambilan ketiga sekolah tersebut dianggap dapat menjadi representasi SMK lain yang ada di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi.

3.3.2 Partisipan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, yang menjadi informan kunci penelitian adalah siswa SMK yang pernah terlibat aksi perkelahian dengan teman sebaya maupun siswa yang tidak pernah terlibat, dan beberapa informan pelengkap seperti wakasek kesiswaan, guru BK, Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak, serta subjek pelengkap lainnya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sampel bertujuan (purposive sampling) yaitu teknik pengambilan sampel sebagai sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini karena orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan oleh penulis sehingga besarnya sampel ditentukan oleh adanya pertimbangan informasi. Karena dalam penelitian kualitatif, yang menjadi sumber informasi dipilih secara purposive. Hal ini didasarkan pada pendapat Nasution (1996, hlm. 32)


(29)

bahwa “Dalam penelitian kualitatif, yang dijadikan sampel hanyalah sumber

yang dapat memberikan informasi yang dipilih secara purposive sampling

bertalian dengan tujuan penelitian”. Adapun yang akan dijadikan informan dalam penelitian adalah siswa SMK yang pernah terlibat aksi perkelahian dengan teman sebaya maupun siswa yang tidak pernah terlibat, wakasek kesiswaan, guru BK, dan Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak.

Jadi dalam pengumpulan data dari informan didasarkan pada ketentuan data dan informasi yang diberikan. Jika beberapa informan yang dimintai keterangan diperoleh hasil yang sama, maka sudah dianggap cukup untuk proses pengambilan data yang diperlukan, sehingga tidak perlu lagi meminta keterangan dari informan berikutnya. Penentuan sampel dianggap telah memadai apabila telah sampai pada titik jenuh.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan merupakan berbagai cara yang dilakukan oleh penulis untuk mengumpulkan data yang dapat membantu menjawab atau memecahkan masalah penelitian. Terdapat beberapa teknik yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data. Teknik-teknik tersebut memiliki fungsi berbeda dan digunakan sesuai dengan tujuan penelitian

3.4.1 Wawancara mendalam

Menurut Moleong (2007, hlm. 150) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam dalam penelitian ini dikarenakan ingin mengetahui betul duduk permasalahan yang peneliti jadikan sebagai rumusan masalah. Secara khusus, penulis melakukan wawancara dengan siswa yang pernah terlibat aksi perkelahian dengan teman sebaya maupun siswa yang tidak pernah terlibat, Wakasek Kesiswaan, guru BK, dan Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak.

Dengan menggunakan pedoman wawancara yang sudah peneliti susun sebelumnya, tetapi saat melakukan wawancara semua pertanyaan-pertanyaan itu seolah-olah muncul secara spontan. Karena peneliti tidak


(30)

membawa kertas apapun, sehingga mereka tidak merasa canggung atau formal bahkan merasa tidak merasa sedang diwawancarai.

Peneliti banyak memperolah informasi dari wawancara mendalam yang dilakukan. Walaupun tidak semua informasi yang diungkapkan oleh informan berkaitan dengan permasalahan yang ingin diketahui peneliti. Karena pada saat melakukan wawancara, peneliti melontarkan banyak pertanyaan yang beberapa diantaranya hanya sebagai pelengkap atau pertanyaan tambahan agar para informan merasa nyaman dengan keberlangsungan wawancara. Selain itu, agar informan nyaman saat melakukan wawancara, peneliti mengajaknya ke tempat umum seperti tempat makan agar suasananya lebih rileks dan informan merasa nyaman dan terbuka.

Wawancara ini tidak terbatas waktu dan jumlah pertanyaan. Sesering mungkin wawancara dilakukan dan sebanyak mungkin pertanyaan yang diajukan akan semakin banyak pula informasi yang dapat diperoleh peneliti. Meskipun tidak semua jawaban yang dilontarkan diperlukan dalam menjawab rumusan masalah dalam penelitian.

Wawancara yang dilakukan tidak selalu bersifat formal dan berpatokan pada pedoman wawancara, apalagi saat mewawancarai para pelajar. Peneliti benar-benar harus dapat beradaptasi dan membaur dengan lingkungan dan subjek-subjek penelitian, agar peneliti dapat memahami mereka. Selama wawancara, terkadang peneliti sangat kesulitan untuk mengontrol keberlangsungan wawancara karena subjek dalam penelitian ini merupakan pelajar SMK yang mayoritas peserta didiknya adalah laki-laki yang memiliki karakteristik sangat unik. Keunikannya bertambah karena yang beberapa informan yang diwawancarai adalah peserta didik yang memang membutuhkan pembinaan sehingga cukup membuat peneliti kesulitan.

Setiap kali peneliti melakukan penelitian, peneliti harus benar-benar menyiapkan tenaga dan mental. Apalagi ketika mereka berada di sekolah dan warung-warung sekitar sekolah karena para pelajar tersebut menjadi


(31)

bergerombol. Ketika para pelajar tersebut bergerombol, karakteristik para pelajar tersebut menjadi berubah dan semakin berani.

3.4.2 Observasi

Salah satu teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah observasi. Penulis datang dan mengamati secara langsung kondisi lapangan untuk mendapatkan data sesuai dengan yang diharapkan. Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi di sekolah dan tempat-tempat informan biasanya berkumpul.

Peneliti melakukan pengamatan di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi ke beberapa sekolah yaitu SMKN 1 Cibadak, SMK Tamansiswa Cibadak, dan SMK Lodaya. Diawali dengan mendatangi tempat beberapa pihak yang terkait untuk mengetahui kondisi awal atau kondisi objektif Kecamatan Cibadak pada umumnya. Setelah memperoleh beberapa informasi mengenai pelajar dari sekolah, peneliti langsung melakukan pengamatan ke beberapa pelajar yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian. Di dalam proses observasi ini juga peneliti mulai menentukan siapa saja yang akan dijadikan informan kunci, juga siapa saja yang akan dijadikan informan pelengkap.

Observasi terus berlanjut sampai informasi yang dibutuhkan terpenuhi serta tujuan yang diinginkan peneliti tercapai. Peneliti mengamati pelajar tersebut, beradaptasi dengan para pelajar, melakukan aktivitas bersama, sehingga peneliti mampu memahami para pelajar dalam kelompok-kelompok tersebut.

Peneliti juga melakukan pengamatan terhadap lingkungan fisik dan budaya sekolah, karakteristik para pelajar, suasana sekolah saat pembelajaran berlangsung, suasana sekolah setelah pembelajaran, suasana sekolah saat jam pulang, hubungan pelajar dengan warga sekolah lain, suasana jalan raya saat jam pulang sekolah, aktivitas para pelajar setelah pulang sekolah, kondisi tempat-tempat pelajar berkumpul, rutinitas yang dilakukan kelompok pelajar, dan hubungan antar kelompok pelajar.


(32)

3.4.3 Studi Dokumentasi

Dalam penelitian ini, penulis melakukan dokumentasi terhadap subjek penelitian berkaitan dengan masalah yang dimaksud untuk mendapatkan data pendukung penelitian. Dokumen didapatkan dengan cara berkomunikasi langsung dan meminta dokumen yang dibutuhkan untuk keperluan penelitian. Dokumen yang dijadikan dasar acuan peneliti diantaranya dokumen pribadi, surat, dokumen resmi, serta fotografi.

3.4.4 Studi Literatur

Studi literatur yaitu mempelajari buku-buku referensi. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi tambahan yang dapat menunjang masalah yang dikaji atau diteliti. Literatur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan literatur yang berkaitan erat dengan objek yang sedang dikaji oleh penulis yakni literatur yang berhubungan dengan pengaruh budaya sekolah terhadap perilaku agresif siswa.

Langkah pertama, peneliti mencari buku-buku mengenai budaya sekolah, perilaku agresif siswa, dan tawuran pelajar. Selain mencari buku mengenai konten isi, peneliti juga mencari buku mengenai metode penelitian agar metode atau langkah yang dilakukan saat penelitian tepat. Peneliti juga mencari beberapa artikel jurnal. Karena yang dihadapi adalah manusia yang sangat dinamis menuntut peneliti untuk mengetahui banyak hal sehingga dalam proses penelitian khususnya dalam adaptasi tidak terlalu mengalami kesulitan. Oleh karena itu, studi literatur sangat mendukung. Mencari tulisan-tulisan yang mendukung penelitian ini baik yang berbentuk buku sampai artikel dan berita dari internet agar peneliti memahami penelitian ini sebelum ke lapangan dan selama penelitian berlangsung.

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2008, hlm. 59-60)

bahwa, “Instrumen yang paling utama adalah peneliti sendiri. Dalam penelitian


(33)

penelitiannya, ataupun dari hasil yang diharapkan”. Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa segala sesuatu belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan bisa berkembang setelah melakukan penelitian di lapangan.

3.5.1 Penyusunan Kisi-Kisi Penelitian

Dalam mempermudah pelaksanaan penelitian, maka peneliti menyusun kisi-kisi penelitian. Penyusunan kisi-kisi penelitian ini dijabarkan dalam bentuk pertanyaan agar memudahkan dalam alat pengumpulan data..

3.5.2 Penyusunan Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu berupa pedoman observasi dan wawancara kepada pihak yang dibutuhkan datanya yang berada di wilayah Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Dalam hal ini diantaranya siswa SMK yang pernah terlibat aksi perkelahian dengan teman sebaya, wakasek kesiswaan, guru BK, Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak, serta subjek pelengkap lainnya.

3.5.3 Penyusunan Pedoman Observasi

Pedoman observasi perlu disusun sebelum peneliti melakukan pengamatan. Hal ini dilakukan agar kedatangan peneliti di SMK Negeri 1 Cibadak, SMK Lodaya, dan SMK Taman Siswa sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Beberapa aspek yang diamati dalam observasi ini diantaranya adalah lingkungan fisik dan budaya sekolah, karakteristik para pelajar, dan rutinitas para pelajar. Karena observasi dilakukan di lingkungan sekolah, maka peneliti menjadikan pelajar, Wakasek Bidang Kesiswaan, dan guru BK sebagai informan.


(34)

3.5.4 Penyusunan Pedoman Wawancara

Sebelum melakukan wawancara, perlu disusun pedoman wawancara yang bertujuan untuk mempermudah peneliti melakukan wawancara dengan adanya patokan pertanyaan yang pada pelaksanaannya bisa bertambah, sehingga wawancara yang dilakukan terarah. Adapun pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan mengenai penelitian yang akan dilakukan. Beberapa pihak yang diwawancarai adalah Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Cibadak, Wakasek Bidang Kesiswaan, guru BK, dan pelajar dari ketiga sekolah yang dijadikan informan.

3.6 Analisis Data

3.6.1 Analisis Data Kualitatif

Analisis data kualitatif terdiri dari tiga aktivitas, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing verification (Miles dan Huberman, 2007, hlm. 23). Ketiga rangkaian aktivitas teknik analisis data tersebut penulis terapkan dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data bertujuan untuk memperoleh pemahaman-pemahaman terhadap data yang telah terkumpul dari hasil catatan lapangan dengan cara merangkum dan mengklasifikasikan sesuai masalah dan aspek-aspek permasalahan yang diteliti.

Data mengenai budaya sekolah dan perilaku agresif siswa yang telah diperoleh peneliti dari mulai observasi, wawancara mendalam, studi literatur, dan studi dokumentasi selama penelitian berlangsung dipilih dan dipilah mana yang penting dan diperlukan untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, sehingga data yang penting tidak akan terabaikan dan menumpuk tanpa ada pemisahan yang jelas. Data-data yang sesuai dengan rumusan dan pertanyaan-pertanyaan penelitian kemudian disortir, dipelajari, dimengerti, dan dipahami oleh peneliti.


(35)

b. Data Display (Penyajian Data)

Penyajian data adalah menyajikan data secara terperinci dan menyeluruh dengan mencari pola hubungannya. Setelah alur dari data-data tersebut dapat dipahami oleh peneliti, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti yaitu membuat tabel kualitatif agar data-data tersebut menjadi lebih mudah dipahami dan dapat diidentifikasi dengan jelas.

c. Conclusion Drawing Verification (Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi) Setelah data-data tersebut mudah dipahami dalam bentuk tabel, tahap selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan. Dari data-data tersebut dapat terlihat pengaruh budaya sekolah terhadap agresifitas siswa, dan sejauhmana nilai, norma, tradisi, dan interaksi yang dibentuk di sekolah dapat mempengaruhi perilaku agresif siswa.

Hasil kesimpulan tersebut merupakan hasil pemaknaan dari semua temuan-temuan yang diperoleh selama penelitian dilakukan dan hasil dari proses analisis yang dilakukan peneliti.

3.6.2 Interpretasi Data atau Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif, karena data yang dicari umumnya berupa kata-kata dari sumber yang sudah penulistemukan, maka tidak mustahil terdapat kekeliruan kata atau maksud yang tidak sesuai antara yang dibicarakan dengan kenyataan di lapangan, kekeliruan tersebut dapat disebabkan oleh kredibilitas informannya, waktu pengungkapannya, kondisi yang dialaminya, dan sebagainya. Peneliti mengambil beberapa teknik pemeriksaan keabsahan data dengan cara triangulasi dan member check. Adapun penjelasan dari kedua teknik yang digunakan yaitu sebagai berikut:

Menurut Moleong (2007, hlm. 330), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Adapun triangulasi yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

a. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber yang peneliti lakukan yaitu dengan membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain yang berasal dari berbagai pihak. Seperti dari


(36)

b. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Teknik yang dilakukan adalah observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.

c. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang, sampai ditemukan kepastian datanya.

Selanjutnya, yaitu dengan teknik member check. Menurut Sugiyono (2008, hlm. 129), member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check agar data atau informasi yang didapat sesuai dengan apa yang dimaksud oleh sumber data atau informan. Member check yang dimaksudkan dalam penelitian ini nantinya peneliti mencek ulang atau verifikasi data yang sudah diperoleh peneliti kepada subjek atau informan baik informan kunci maupun pelengkap agar tidak terjadi kesalahpahaman yang nantinya akan berpengaruh terhadap penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh peneliti.

Teknik ini dilakukan peneliti dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang ada di pedoman wawancara. Agar informasi yang diperoleh benar-benar jelas dan peneliti pun mengerti apa yang dimaksud oleh informan.

Salah satu cara yang sangat penting ialah melakukan member check pada akhir wawancara dengan menyebutkan garis besarnya dengan maksud agar informan memperbaiki bila ada kekeliruan, atau menambahkan apa yang masih kurang.


(37)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di dalam bab IV dan berdasarkan pada data dan fakta yang telah diteliti, maka pada bab V ini akan dirumuskan simpulan, implikasi, dan rekomendasi. Simpulan, implikasi, dan rekomendasi diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan masukan kepada pihak yang berkaitan dalam penelitian ini. Adapun simpulan, implikasi, dan rekomendasi dari penelitian yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut.

5.1 Simpulan

Merujuk pada hasil temuan dan pembahasan penelitian yang telah dijelaskan pada Bab IV, dapat dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut:

Pertama, bentuk perilaku agresif yang dilakukan oleh siswa SMK di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi adalah saling pukul, menikam, menyerang lawan dengan senjata, melakukan pelemparan dengan batu kepada angkot yang dinaiki pelajar dari sekolah lain, merusak fasilitas umum dan pribadi milik warga, serta saling ejek antar sekolah. Faktor penyebabnya adalah mereka merasa frustasi dengan keadaan yang mereka alami mulai dari masalah ekonomi, keluarga, ketidaknyamanan di sekolah, tekanan dari guru, tekanan dari sekolah lain, dan berada di lingkungan pertemanan yang kurang tepat sehingga semua perasaan itu terakumulasi ke dalam sebuah perilaku agresif dalam bentuk perkelahian atau bentrokan dengan pelajar lain.

Dampak dari adanya perilaku agresif yang dilakukan oleh siswa lebih mengarah kepada dampak yang negatif dan dampak yang merugikan, baik merugikan dirinya sendiri maupun orang lain seperti mencemarkan nama baik sekolah, rusaknya beberapa fasilitas umum dan pribadi, hingga jatuhnya korban baik dari siswa itu sendiri maupun masyarakat sekitar. Dari sisi kenyamanan, dampak dari perilaku agresif yang tidak terkendali dapat meresahkan masyarakat bahkan juga mengganggu stabilitas keamanan di wilayah Kecamatan Cibadak.

Kedua, budaya sekolah dari ketiga sekolah yang diteliti memiliki persamaan dan perbedaan. SMKN 1 Cibadak memiliki sarana dan prasarana yang lengkap


(38)

dan memadai untuk keberlangsungan proses pembelajaran di sekolah. SMK Tamansiswa dan SMK Lodaya memiliki sarana sekolah yang cukup tetapi ada beberapa ruangan yang belum layak. Sarana pengembangan potensi peserta didik belum memadai untuk seluruh peserta didik yang dimiliki.

Karakteristik pelajar dari ketiga sekolah tersebut memiliki perbedaan, karena setiap sekolah memiliki keunikan tersendiri. Secara umum, para pelajar dari SMKN 1 Cibadak berpenampilan rapi karena rata-rata pelajarnya memiliki karakter yang baik, tidak terlalu bersikap urakan, dan lebih terlihat pendiam. Lain halnya dengan SMK Tamansiswa dan SMK Lodaya. Kedua sekolah tersebut memiliki karakteristik yang lebih unik. Para pelajarnya terkesan berpenampilan seenaknya, menggunakan seragam yang disesuaikan dengan trend, dan dilihat dari sikapnya, para pelajar dari kedua sekolah tersebut dapat dikatakan sangat ekspresif.

Dengan mayoritas siswa beragama Islam, beberapa kegiatan keagamaan sering dilakukan terutama dalam memperingati hari besar Islam. Setiap sekolah memberikan kesempatan kepada siswanya untuk melaksanakan shalat. Di SMKN 1 Cibadak, pihak sekolah menganjurkan siswa yang datang terlambat untuk shalat duha di mushola selain memberikan sanksi/hukuman. Di SMK Tamansiswa,

pihak sekolah mewajibkan siswanya untuk hafal juz 30 Al-Qur’an dengan sistem

setor hafalan surat setiap pagi sebelum KBM dimulai setelah kultum dari guru. Sedangkan di SMK Lodaya, sangat minim kegiatan keagamaannya.

Walaupun jumlahnya sangat sedikit, siswa non-muslim sebagai minoritas memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hanya yang membedakan adalah bagi siswa perempuan non-muslim tidak diwajibkan memakai kerudung untuk di SMK negeri. Tidak ada paksaan untuk mengikuti mata pelajaran pendidikan Islam, pihak sekolah mempersilahkan jika siswa yang bersangkutan mau mengikuti pelajaran atau menunggu di luar. Setiap sekolah menuntut siswanya bertanggung jawab untuk menuntaskan semua mata pelajaran, menyelesaikan PKL, mengerjakan tugas, dan mengumpulkannya tepat waktu. Di SMK Tamansiswa, pihak sekolah menanamkan nilai tanggung jawab dengan pembagian tugas piket mingguan kepada semua kelas.


(39)

Demi terwujudnya budaya sekolah yang kondusif, diperlukan kerjasama antara siswa, guru, kepala sekolah, dan staf sekolah lainnya. Di SMKN 1 Cibadak dan SMK Tamansiswa terlihat kerjasama antar pihaknya sangat baik. Namun di SMK Lodaya, terkesan masing-masing dalam menjalankan tugasnya. Hal yang paling mencolok dalam pelaksanaan disiplin di setiap sekolah yaitu disiplin waktu dan kerapihan pakaian atau penampilan.

Pelaksanaan norma atau tata tertib yang ada di sekolah tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Masih terlihat beberapa pelanggaran aturan yang ringan maupun berat. Razia sering dilakukan oleh guru untuk mencegah terjadinya aksi tawuran dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Barang yang biasanya terjaring razia adalah rokok, korek, senjata tajam, hp yang di dalamnya ada gambar/video asusila dan video tawuran, dan jaket atau barang lain yang menjadi atribut atau ciri khas basis.

Di SMKN 1 Cibadak, ada tradisi turun temurun dilakukan oleh siswa laki-laki yang menarik, yaitu tradisi bersalaman jika bertemu dengan teman satu sekolah (terutama adik kelas kepada kakak kelas). Tradisi ini sudah wajib dilakukan mulai dari siswa baru. Cara bersalamannya khas dan adik kelas menunjukkan rasa hormatnya kepada kakak kelas. Walau demikian, bukan berarti terjadi senioritas yang tidak sehat. Justru tujuannya adalah agar saling mengenal dan terbentuk suatu solidaritas sesama teman satu sekolah. Terbukti dengan di sekolah tersebut tidak pernah terjadi gesekan antar teman ataupun antara kakak kelas dan adik kelas, di dalam maupun di luar sekolah.

Dari ketiga sekolah, kebanyakan siswa mengaku hanya mengetahui nama guru yang mengajar mereka saja. Adapun untuk staf sekolah mereka tidak mengenal dengan baik, karena kebanyakan hanya bertemu saat membayar iuran sekolah ataupun kepentingan lainnya. Untuk hubungan antarsiswa, di SMKN 1 Cibadak dan SMK Lodaya diantara siswanya terjalin solidaritas yang sangat tinggi. Sedangkan di SMK Tamansiswa, hubungan antar siswanya malah lebih sering berselisih paham bahkan sampai berkelahi dengan teman satu kelas atau satu sekolahnya sendiri.

Dalam hal hubungan antara guru dan pimpinan sekolah di SMKN 1 Cibadak dan SMK Tamansiswa, interaksi antara pimpinan sekolah dengan guru berjalan


(40)

dengan baik, para guru menghormati dan tidak sungkan berbincang dengan kepala sekolahnya tersebut. Hubungan antara para guru dengan pimpinan sekolah selalu saling menghargai satu sama lain. Sedangkan di SMK Lodaya terkesan ada jarak diantara keduanya. Pimpinan sekolah lebih sering berinteraksi dengan pihak yayasan. Proses interaksi secara langsung biasanya terjadi hanya pada saat rapat sekolah.

Ketiga, SMK negeri memiliki budaya sekolah yang baik dan perilaku agresif siswanya rendah. SMK swasta memiliki budaya sekolah yang kurang baik dan perilaku agresif siswanya tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika budaya sekolahnya cukup kondusif, maka agresifitas siswanya tidak terlalu tinggi. Sedangkan jika budaya sekolahnya kurang kondusif, maka siswanya cenderung agresif.

Budaya sekolah berperan dalam menciptakan suasana yang positif atau negatif, ataupun kondisi yang dapat memicu ataupun mengurangi perilaku agresi di kalangan pelajar. Budaya sekolah yang positif mampu mengurangi tingkat agresifitas siswanya. Iklim sekolah yang kondusif serta ketegasan pihak sekolah dalam membina para siswanya dapat mengurangi intensitas perilaku agresif siswa.

Budaya sekolah yang positif untuk perilaku siswa yang positif pula tidak terlepas dari nilai, norma, tradisi, dan interaksi yang dijalankan oleh sekolah. Perubahan positif di sekolah hanya akan terjadi jika seluruh subjek sekolah memahami sifat budaya sekolahnya sendiri dengan baik, baik yang tampak maupun yang tidak tampak atau yang formal maupun informal. Jika tidak memahaminya dengan baik, subjek termasuk siswa akan terjebak dan terombang-ambing dalam ketidakpastian, ketidakjelasan arah, pesimis, tidak peduli, bekerja semaunya, dan hal lain yang sifatnya negatif. Hal tersebut akan berdampak buruk pada prestasi dan perilaku peserta didik dari sekolah tersebut.

Budaya sekolah yang negatif dapat memicu siswanya untuk melakukan tindakan agresi. Iklim sekolah yang kurang kondusif untuk proses pembelajaran dan perkembangan siswa membuat siswa lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sekolah. Tidak adanya ketegasan dalam penanganan anak yang bermasalah membuat tindakan agresi yang mereka lakukan tidak hanya terjadi di luar sekolah


(41)

dengan sekolah lain, tetapi juga terjadi di dalam sekolah dengan teman satu sekolahnya sendiri.

Ketidaksesuaian daya tampung ruang belajar dan jumlah tenaga pendidik dengan jumlah siswa di SMK swasta, mengakibatkan adanya pembagian dan perbedaan jam efektif belajar. Hal ini menyebabkan banyak siswa mulai dari pagi hari sudah bergerombol di tempat tongkrongan dengan alasan menunggu jam masuk sekolah, tetapi saat pulang sekolah pun mereka kembali nongkrong di tempat yang sama. Bahkan tidak jarang karena sudah keasyikan nongkrong, mereka memilih untuk bolos sekolah. Minimnya keterlibatan orang tua murid / komite sekolah membuat kurangnya pengawasan terhadap sekolah. Siswa pun menjadi semakin merasa bebas ketika di lingkungan sekolahnya tidak ada figur yang bisa disegani sehingga tidak ada yang bisa memaksa mereka membiasakan diri untuk bersikap disiplin. Padahal, iklim sekolah dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi mampu mencegah siswa untuk berperilaku agresif.

Keempat, upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi perilaku agresif siswa sekolah menengah kejuruan di Kecamatan Cibadak adalah melalui pembinaan para pelajar, patroli rutin, silang pelajar, diadakan kegiatan pramuka, olahraga, dan pengajian yang dilakukan bersama, pembentukan Tim Satgas PGS (Perlindungan Guru dan Siswa) PGRI Kecamatan Cibadak, kerjasama antara pihak sekolah dengan UPTD Pendidikan Kec. Cibadak, PGRI Cabang Cibadak, Muspika Kec. Cibadak, Disdik Kab. Sukabumi, Polsek, dan Koramil.

Selain itu juga dilaksanakan melalui Program Siswa Binaan Keluarga Besar PGRI. Hasil dari pembinaan ini adalah mampu mengeliminasi terjadinya perilaku agresif siswa baik dalam bentuk tawuran antar sekolah maupun dalam bentuk tindakan agresi lainnya dan adanya perubahan setelah diadakannya pembinaan terhadap siswa dan orang tua yang terlihat dari perubahan sikap dan perilaku siswa ke arah yang lebih baik serta perubahan pandangan orang tua siswa terhadap dunia pendidikan yang lebih terbuka dan mampu memotivasi anaknya setelah mengikuti kegiatan pembinaan tersebut.


(42)

5.2 Implikasi

Sehubungan dengan pengaruh budaya sekolah terhadap perilaku agresif siswa SMK di Kecamatan Cibadak, maka perlu adanya upaya yang dilakukan secara kontinu dan konsisten dari semua pihak untuk membangun budaya sekolah yang positif di sekolah menengah kejuruan yang ada di Kecamatan Cibadak agar dapat mengurangi tingkat agresifitas siswa. Adapun dampak yang ditimbulkan dari permasalahan perilaku agresif siswa SMK diharapkan mampu menumbuhkan rasa peduli dan perhatian masyarakat sekitar untuk mengambil bagian dalam proses pengawasan sosial.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memahami implementasi teori-teori sosiologi pendidikan dan pendidikan resolusi konflik di masyarakat. Selain itu, dapat menambah khasanah pengetahuan pengalaman penelitian di bidang pendidikan khususnya penanganan masalah tawuran antar pelajar yang terus berlangsung.

5.3 Rekomendasi

Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal yang berkaitan dengan pengaruh budaya sekolah terhadap perilaku agresif siswa, antara lain sebagai berikut:

Pertama, harus ada fasilitas atau wadah seperti klub olahraga atau klub beladiri yang mampu mengakomodasi semua potensi yang dimiliki para pelajar SMK agar para pelajar mampu mengaktualisasikan diri dengan baik sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing, sehingga pelampiasannya terhadap tindakan agresi dapat dialihkan ke hal-hal yang lebih positif.

Kedua, sekolah dan keluarga harus memberikan pemahaman yang benar mengenai solidaritas dan rasa kecintaan terhadap sekolah agar para pelajar tidak lagi berada dalam fanatisme yang sempit. Misalnya dengan seringnya mengadakan kegiatan persahabatan dengan sekolah lain. Dengan catatan, sekolah harus mengirimkan para pelajar yang bermasalah atau yang perlu dibina, bukan hanya pelajar yang baik atau perwakilan OSIS. Para guru dan masyarakat harus memberikan kepercayaan yang lebih terhadap para pelajar yang sering melakukan tindakan agresi tanpa terlebih dahulu memberikan stereotip buruk. Memberikan


(1)

dengan sekolah lain, tetapi juga terjadi di dalam sekolah dengan teman satu sekolahnya sendiri.

Ketidaksesuaian daya tampung ruang belajar dan jumlah tenaga pendidik dengan jumlah siswa di SMK swasta, mengakibatkan adanya pembagian dan perbedaan jam efektif belajar. Hal ini menyebabkan banyak siswa mulai dari pagi hari sudah bergerombol di tempat tongkrongan dengan alasan menunggu jam masuk sekolah, tetapi saat pulang sekolah pun mereka kembali nongkrong di tempat yang sama. Bahkan tidak jarang karena sudah keasyikan nongkrong, mereka memilih untuk bolos sekolah. Minimnya keterlibatan orang tua murid / komite sekolah membuat kurangnya pengawasan terhadap sekolah. Siswa pun menjadi semakin merasa bebas ketika di lingkungan sekolahnya tidak ada figur yang bisa disegani sehingga tidak ada yang bisa memaksa mereka membiasakan diri untuk bersikap disiplin. Padahal, iklim sekolah dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi mampu mencegah siswa untuk berperilaku agresif.

Keempat, upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi perilaku agresif siswa sekolah menengah kejuruan di Kecamatan Cibadak adalah melalui pembinaan para pelajar, patroli rutin, silang pelajar, diadakan kegiatan pramuka, olahraga, dan pengajian yang dilakukan bersama, pembentukan Tim Satgas PGS (Perlindungan Guru dan Siswa) PGRI Kecamatan Cibadak, kerjasama antara pihak sekolah dengan UPTD Pendidikan Kec. Cibadak, PGRI Cabang Cibadak, Muspika Kec. Cibadak, Disdik Kab. Sukabumi, Polsek, dan Koramil.

Selain itu juga dilaksanakan melalui Program Siswa Binaan Keluarga Besar PGRI. Hasil dari pembinaan ini adalah mampu mengeliminasi terjadinya perilaku agresif siswa baik dalam bentuk tawuran antar sekolah maupun dalam bentuk tindakan agresi lainnya dan adanya perubahan setelah diadakannya pembinaan terhadap siswa dan orang tua yang terlihat dari perubahan sikap dan perilaku siswa ke arah yang lebih baik serta perubahan pandangan orang tua siswa terhadap dunia pendidikan yang lebih terbuka dan mampu memotivasi anaknya setelah mengikuti kegiatan pembinaan tersebut.


(2)

5.2 Implikasi

Sehubungan dengan pengaruh budaya sekolah terhadap perilaku agresif siswa SMK di Kecamatan Cibadak, maka perlu adanya upaya yang dilakukan secara kontinu dan konsisten dari semua pihak untuk membangun budaya sekolah yang positif di sekolah menengah kejuruan yang ada di Kecamatan Cibadak agar dapat mengurangi tingkat agresifitas siswa. Adapun dampak yang ditimbulkan dari permasalahan perilaku agresif siswa SMK diharapkan mampu menumbuhkan rasa peduli dan perhatian masyarakat sekitar untuk mengambil bagian dalam proses pengawasan sosial.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memahami implementasi teori-teori sosiologi pendidikan dan pendidikan resolusi konflik di masyarakat. Selain itu, dapat menambah khasanah pengetahuan pengalaman penelitian di bidang pendidikan khususnya penanganan masalah tawuran antar pelajar yang terus berlangsung.

5.3 Rekomendasi

Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal yang berkaitan dengan pengaruh budaya sekolah terhadap perilaku agresif siswa, antara lain sebagai berikut:

Pertama, harus ada fasilitas atau wadah seperti klub olahraga atau klub beladiri yang mampu mengakomodasi semua potensi yang dimiliki para pelajar SMK agar para pelajar mampu mengaktualisasikan diri dengan baik sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing, sehingga pelampiasannya terhadap tindakan agresi dapat dialihkan ke hal-hal yang lebih positif.

Kedua, sekolah dan keluarga harus memberikan pemahaman yang benar mengenai solidaritas dan rasa kecintaan terhadap sekolah agar para pelajar tidak lagi berada dalam fanatisme yang sempit. Misalnya dengan seringnya mengadakan kegiatan persahabatan dengan sekolah lain. Dengan catatan, sekolah harus mengirimkan para pelajar yang bermasalah atau yang perlu dibina, bukan hanya pelajar yang baik atau perwakilan OSIS. Para guru dan masyarakat harus memberikan kepercayaan yang lebih terhadap para pelajar yang sering melakukan tindakan agresi tanpa terlebih dahulu memberikan stereotip buruk. Memberikan


(3)

kesempatan kepada pelajar tersebut untuk mampu membuktikan dan mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.

Ketiga, pengintegrasian pendidikan resolusi konflik dengan mata pelajaran yang ada ataupun satu pelajaran terpisah juga penting untuk dijadikan salah satu alternatif. Sehingga konflik dapat dikelola dengan baik dan tidak menyebabkan terjadinya tawuran dan tindakan agresi lainnya. Dengan demikian para pelajar mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan damai. Dinas Pendidikan dan sekolah pun harus merangkul para alumni agar semua pihak bersinergi dengan sering melakukan kelompok diskusi untuk membicarakan konflik yang terdapat diantara sekolah-sekolah dan mencari jalan tengah serta kesepakatan bersama dengan melibatkan pelajar dan para alumni tersebut.

Keempat, diharapkan di masa yang akan datang hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber data untuk penelitian selanjutnya dan dilakukan penelitian lebih lanjut berdasarkan faktor lainnya, variabel yang berbeda, jumlah sampel yang lebih banyak, dan tempat yang berbeda, yang nantinya akan menambah keakuratan data dan fakta mengenai pengaruh budaya sekolah terhadap perilaku agresif siswa.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. (2012). Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.

Abercrombie, N., Hill, S., & Turner, B.S. (2010). Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, A.R. & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Creswell, John. (1994). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Siswa.

Deal, Terrence E., & Peterson, Kent D. (2009). Shapping Culture Field Books (2th.ed), San Francisco: Josswy-Bass. Diunduh dari www.ebooksclub.org. Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Depdiknas. (2002). Pedoman

Pengembangan Kultur Sekolah. Jakarta: Ditdikmenum, Ditjen Mandikdasmen.

Horton, Paul B., & Hunt, Chester L. (1984). Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Idi, Abdullah. (2011). Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Krahe, Barbara. (2005). Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Siswa.

Kurnia, Adi & Qomaruzzaman, Bambang. (2012). Membangun Budaya Sekolah. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Lickona, Thomas. (2012). Mendidik untuk Membentuk Karakter. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Maftuh, B. (2008). Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI.

Moleong, Lexy. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nasution. (1996). Metode Penelitian Kualitatif Naturalistik. Jakarta: Sinar Grafika.

Nasution, S. (1999). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Rakhmat, Jalaludin. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda.


(5)

Ritzer, George & Goodman, D. J. (2010). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Riyanti, Dwi & Prabowo. (1998). Seri Diktat Kuliah Psikologi Umum 2. Jakarta: Gunadarma.

Sarwono. (1999). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Sears, David O. (1991). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Setiadi, E. M., & Kolip, Usman. (2011). Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana.

Sobur, Alex. (2006). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Soekanto, Soerjono. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafinda Persada.

Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. Vembriarto, S. (1993). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Willis, Sofyan S. (2010). Remaja dan Masalahnya. Bandung:Penerbit Alfabeta. Zamroni. (2003). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Jakarta: Bigraf Publishing.

Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal:

Andari, Lis. (2013). Pengaruh Budaya Sekolah terhadap Karakter Siswa (Studi di SDN Jumeneng Lor Mlati Sleman Yogyakarta). Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga: Tidak diterbitkan.

Fitriani. (2010). Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar. Jurnal FISIP UI Online, Vol. 14 No. 07, hlm. 1-44.

Oesman, Angga Tamimi. (2010). Fenomena Tawuran sebagai Bentuk Agresivitas Remaja (Kasus Dua SMA Negeri di Kawasan Jakarta Selatan). Skripsi Fakultas Ekologi Manusia IPB: Tidak diterbitkan.

Rahmawati, Rizky Amalia. (2014). Solidaritas pada Kelompok Siswa dalam Mempengaruhi Perilaku Tawuran (Studi Kasus pada Tawuran antar Siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten Sukabumi Wilayah Utara). Skripsi FPIPS UPI: Tidak diterbitkan.

Yoneyama, Shoko dan Naito, Asao. (2003). “Problem With The Paradigm: The School As A Factor In Understanding Bullying (with special reference to


(6)

Undang-Undang dan Dokumen:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud.

Internet:

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2010). Profil Kriminalitas Remaja 2010. [Online]. Tersedia:

http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/4401003/files/search/ searchtext.xml [11 Maret 2015]

Febrianti, Hikmania Ayu. (2015). Ada Apa di Balik Kriminalitas Remaja

Indonesia? [Online]. Tersedia:

http://psikologiforensik.com/2015/01/30/ada-apa-di-balik-kriminalitas-remaja-indonesia/ [10 Maret 2015]

Jawa Pos. (2014). Kekerasan Siswa Sudah Darurat. [Online]. Tersedia: http://radarsukabumi.com/?p=128239 [9 Maret 2015]

Kamajaya, Toni. (2014). Tawuran Siswa di Sukabumi, 3 Orang Luka Parah. [Online]. Tersedia: http://daerah.sindonews.com/read/932432/21/tawuran-siswa-di-sukabumi-3-orang-luka-parah-1417592896 [9 Maret 2015] Natalia, Dyah Mediani. (2012). Waduh, Siswa Sekolah Menengah Rentan Alami

Kekerasan Verbal dan Nonverbal!. [Online]. Tersedia:

http://gaul.solopos.com/waduh-siswa-sekolah-menengah-rentan-alami-kekerasan-verbal-dan-nonverbal-342624.html [11 Maret 2015]

Rayadie, Ahmad. (2014). Tawuran pada Hari pertama Ujian Akhir Semester. [Online]. Tersedia: http://www.pikiran-rakyat.com/node/307632 [9 Maret 2015]

Setiawan, Atang. (2010). Makalah Anak Agresif. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/direktori/fip/jur._pend._luar_biasa/195604121983011-atang_setiawan/pendidikan_atl/makalah_anak_agresif.pdf [9 Maret 2015] UNICEF. (2001). Discipline and Violence. [Online]. Tersedia:

http://www.unicef.org/teachers/protection [11 Maret 2015]

Zahroni. (2014). Tawuran Usai Ujian, 32 Pelajar di Sukabumi Diamankan Polisi. [Online]. Tersedia: http://www.harianterbit.com/read/2014/12/11/13604/20/ 20/Tawuran-Usai-Ujian-32-Pelajar-di-Sukabumi-Diamankan-Polisi