Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012

(1)

AGRESIF DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

NEGERI 129 JAKARTA TAHUN 2012

Skripsi Diajukan Sebagai Tugas Akhir Strata-1 (S-1) pada

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh:

Sri Kuspartianingsih

108104000016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433 H/2012 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sri Kuspartianingsih

Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 10 September 1989

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Kp. Lanji No.244 RT 05/06, Papanggo, Tanjung Priuk, Jakarta Utara, DKI Jakarta

Telepon : 085780087807

E-mail : ningzmbuy@gmail.com / nsndr@ymail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Latihan Negeri Papanggo (1994-1995)

2. SDN Papanggo 01 (1995-2001)

3. SLTPN 129 Jakarta (2001-2004)

4. SMAN 80 Jakarta (2004-2007)

5. S1 Keperawatan (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) (2008-2012)

Pengalaman Organisasi:

1. Rohani Islam (ROHIS) sebagai Pengurus Harian Besar Islam (2005 – 2006) 2. Tabloid Bismillah sebagai anggota redaksi tabloid (2006 – 2007)


(7)

vii

3. BEM Jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai anggota Departemen Kajian dan Stategi (2008 – 2010)

4. BEM Jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai anggota Departemen Kemahasiswaan (2010 – 2012)

Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop:

1. Pelatihan “Eksplorasi Potensi Diri Islami” Tahun 2008

2. Pelatihan Sirkumsisi “Menumbuhkan Insan Cita yang Terampil dan Peduli Masyarakat” Tahun 2009

3. Pelatihan “Basic Wound Closure Course” Tahun 2009 4. Seminar Kesehatan “The Power of Herbal” Tahun 2009

5. Dialog Interaktif “Polemik Imunisasi di Indonesia” Tahun 2009

6. Seminar Keperawatan ““Cultural Approach in Holistic Nursing Care in

Globalization Era” Tahun 2009

7. Seminar Kesehatan “Perawatan Pasien Hipertensi dan Diabetes di Rumah” Tahun 2010

8. Seminar Profesi ”Keperawatan Islami, Penerapan dalam Praktek dan

Kurikulum Pendidikan Perawat di Indonesia” Tahun 2010

9. Sertifikat Simposium Nasional “Perspektif Islam dalam Membangun Karakter

Bangsa pada Era Milenium Kesehatan” Tahun 2010

10. Pelatihan Kepemimpinan dan Manajerial Mahasiswa Nasional V ILMIKI

“The Leader of Ability, Revolusionist, Excellent, Morality, and Authority to be Great Organization” Tahun 2010

11. Seminar Nasional Keperawatan “Geriatric Care sebagai Upaya Optimalisasi

Kebutuhan Lansia di Indonesia” Tahun 2010

12. Pelatihan Nursing Camp “Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan

dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2011

13. Workshop Nasional dan Peringatan Hari Perawat Sedunia Tahun 2011

14. Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Meningkatkan Peran dan Mutu Profesi Keperawatan dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2012


(8)

viii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, Oktober 2012

Sri Kuspartianingsih, NIM: 108104000016

Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012

xix + 80 halaman + 7 tabel + 2 bagan + 8 lampiran

ABSTRAK

Verbal abuse merupakan kekerasan berupa kata-kata kasar tanpa menyentuh fisik, seperti kata-kata yang memfitnah, mengancam, menakutkan, dan menghina. Verbal abuse yang dilakukan orang tua dapat menimbulkan masalah perilaku pada remaja termasuk perilaku agresif bahkan cenderung berkembang hingga dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif pada remaja di SMPN 129 Jakarta. Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada 43 orang remaja dengan usia 12-14 tahun di SMPN 129 Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Juni 2012. Instrumen penelitian ini berupa self report questionnaire yang terdiri dari kuesioner perilaku verbal abuse orang tua dan kuesioner perilaku agresif remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk perilaku agresif didapatkan data 100% responden berperilaku agresif dari ringan hingga berat dan 79,1% menerima verbal abuse dari orang tuanya. Hasil uji statistik menggunakan uji chi square dengan α=0,05 diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua dengan perilaku agresif remaja di SMPN 129 Jakarta (p value=0,024). Hasil dari penelitian ini memperkuat konsep tentang dampak verbal abuse yang dilakukan orang tua terhadap faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif pada remaja. Sehingga diperlukan upaya dari sekolah untuk mengatasi perilaku agresif pada siswa khususnya yang mempunyai pengalaman verbal abuse dari orang tuanya seperti melakukan pendekatan konseling atau meningkatkan kerja sama antara guru BP dengan siswa dan pendekatan langsung kepada orang tua mereka.

Kata kunci: Verbal Abuse, Perilaku Agresif, Remaja Daftar Bacaan: 49 (1997 – 2012)


(9)

ix

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE SCHOOL OF NURSING

ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Undergraduates Thesis, October 2012

Sri Kuspartianingsih, NIM: 108104000016

Relationship between Verbal Abuse by Parents with Aggressive Behavior of Aggressive Adolescents in Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Year 2012

xix + 80 pages + 7 tables + 2 charts + 8 attachments

ABSTRACT

Verbal abuse is a form of violence rant without physical contact, as words are slandering, threatening, intimidating, and insulting. Verbal abuse from the parents can cause behavioral problems in adolescents, including aggressive behavior and even tend to grow into adulthood. The aim of this research was to know the relation between verbal abuse by parents with aggressive behavior in adolescents in SMPN 129 Jakarta. This type of research is a quantitative approach with cross-sectional taken in 43 adolescents aged 12-14 years at SMP 129 Jakarta, that was conducted in June 2012. This research instrument is self-report questionnaire consisting of parental verbal abuse questionnaires and adolescent aggressive behavior questionnaires. The results showed that for the aggressive behavior of the data obtained 100% of respondents aggressive behavior from mild to severe, and 79.1% received verbal abuse from parents. Result of statistical test using chi square with and α=0,05 obtained that there were significant relationship between verbal abuse by parents with adolescent aggressive behavior in SMPN 129 Jakarta (p value = 0.024). The results of this study reinforce the concept of the impact of verbal abuse from the parents as the predisposition factors of aggressive behavior in adolescents. So that the necessary efforts of the school to overcome students' with aggressive behavior in especially who have experience of verbal abuse from his parents as counseling approach or improve cooperation between the student and the counselor direct approach to their parents.

Key Words: Verbal Abuse, Aggressive Behavior, Adolescents References: 49 (1997 – 2012)


(10)

x

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012.

Skripsi ini tentunya tidak akan selesai, tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. (hc). M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembimbing akademik yang selalu memberikan masukan, pengarahan, perhatian, dan semangat kepada penyusun.

3. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen pembimbing I, yang telah memberikan pengarahan, perhatian, bimbingan, dan semangat kepada penyusun, serta kesabarannya dalam membimbing.

4. Ibu Yuli Amran, S.KM, M.KM selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan pengarahan, perhatian, bimbingan dan semangat kepada penyusun, serta kesabarannya dalam membimbing.


(11)

xi

5. Bapak dan Mama tercinta yang selalu memberikan kasih sayang yang tiada henti, doa disetiap langkah anaknya, dan pengorbanan yang luar biasa serta tulus sehingga semua terasa lebih ringan.

6. Adik-adikku tercinta Nur Dwi Lestari dan Alwi Muhammad Tegar yang selalu membantu dalam proses penelitian, teman setia, dan doa yang tiada pernah berhenti.

7. Sahabat-sahabat tercinta d’9 (Kiki, Ovi, Piah, Selly, Sri, Ifat, Ika, Ecil), Shela, Rini, Kiki, dan Desi atas kasih sayang, semangat, motivasi, dan selalu menemani dalam setiap langkah untuk meraih gelar S.Kep ini.

8. Teman spesial ku Ns. Ady Irawan AM, S.Kep yang selalu memberikan semangat dan masukannya disetiap saat sehingga membuat kisah tersendiri dalam hidup.

9. Seluruh staf pengajar dan karyawan Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bantuannya kepada penyusun.

10. Teman-teman PSIK 2008 yang telah memberikan masukan dan semangat kepada penyusun.

11. Teman-teman, adik-adik, dan kakak-kakak BEMJ Ilmu Keperawatan yang memberi pelajaran yang tidak didapatkan di bangku akademik yang telah menjadikan pribadi penyusun menjadi pribadi yang lebih baik.

12. Semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan laporan penelitian ini.


(12)

xii

Penyusun menyadari dalam pembuatan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan penyusun khususnya.

Wasalamu’alaikum wr.wb

Ciputat, 9 Oktober 2012

Penyusun


(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Lembar Pernyataan ... v

Riwayat Hidup ... vi

Abstrak ... viii

Abstract ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xiii

Daftar Tabel ... xvii

Daftar Gambar dan Bagan ... xviii

Daftar Lampiran ...xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Pertanyaan Penelitian ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan Umum ... 7

2. Tujuan Khusus ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 8


(14)

xiv

A. Remaja ... 9

1. Definisi remaja ... 9

2. Klasifikasi remaja ... 9

3. Ciri-ciri remaja ... 10

4. Tugas perkembangan remaja ... 13

5. Masalah pada remaja ... 14

B. Perilaku Agresif ... 19

1. Definisi perilaku agresif ... 19

2. Penyebab perilaku agresif ... 19

3. Dampak perilaku agresif ... 27

4. Bentuk perilaku agresif ... 28

C. Verbal Abuse ... 31

1. Definisi verbal abuse ... 31

2. Karakteristik verbal abuse ... 32

3. Bentuk verbal abuse ... 33

4. Akibat verbal abuse ... 34

5. Faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan verbal abuse ... 37

D. Penelitian Terkait ... 40

E. Kerangka Teori ... 41

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 42

A. Kerangka Konsep ... 42

B. Hipotesis ... 43


(15)

xv

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. Desain Penelitian ... 46

B. Lokasi penelitian ... 46

1. Tempat ... 46

2. Waktu ... 46

C. Populasi dan Sampel ... 47

1. Populasi ... 47

2. Sampel ... 47

D. Instrumen Penelitian ... 48

E. Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 52

1. Uji validitas... 52

2. Uji reliabilitas ... 53

F. Pengolahan Data... 54

G. Analisis Data ... 55

H. Etika Penelitian ... 57

BAB V HASIL PENELITIAN ... 58

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 58

B. Karakteristik Responden ... 59

1. Umur ... 59

2. Jenis Kelamin ... 60

3. Kelas ... 60

C. Analisa Univariat ... 61

1. Verbal abuse orang tua... 61


(16)

xvi

D. Analisa Bivariat ... 62

BAB VI PEMBAHASAN ... 65

A. Analisa Univariat ... 65

1. Gambaran karakteristik responden di SMPN 129 Jakarta ... 65

2. Gambaran verbal abuse orang tua di SMPN 129 Jakarta ... 66

3. Gambaran perilaku agresif remaja di SMPN 129 Jakarta ... 70

B. Analisa Bivariat ... 74

C. Keterbatasan Peneliti ... 76

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

1. Perilaku verbal abuse orang tua ... 78

2. Perilaku agresif remaja ... 78

3. Hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif pada remaja ... 79

B. Saran ... 79

1. Bagi sekolah ( SMPN 129 Jakarta) ... 79

2. Bagi institusi perawat ... 80

3. Bagi peneliti lain ... 80 DAFTAR PUSTAKA


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

1. Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 44

2. Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ... 59

3. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

4. Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelas ... 60

5. Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Verbal Abuse Orang Tua Siswa SMPN 129 Jakarta Tahun 2012 ... 61

6. Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Lansia Berdasarkan Status Pendidikan Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Agresif Remaja di SMPN 129 Jakarta Tahun 2012 ... 62

7. Tabel 5.6 Hubungan Antara Verbal Abuse Orang Tua Dengan Perilaku Agresif Pada Remaja di SMPN 129 Jakarta Tahun 2012 ... 63


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN

1. Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 41 2. Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 42


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1 Lembar Persetujuan Responden dan Kuesioner Penelitian 2. Lampiran 2 R Tabel, Hasil Uji Validitas dan Reabilitas

3. Lampiran 3 Hasil Penelitian

4. Lampiran 4 Surat Ijin Studi Pendahuluan 5. Lampiran 5 Surat Ijin Uji Validitas 6. Lampiran 6 Surat Ijin Penelitian


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena yang terjadi belakangan ini sering sekali memprihatinkan terutama masalah tindak kekerasan yang sering dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Hal ini dibuktikan pada data dari pengaduan langsung ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2008 ada 580 kasus dan pada tahun 2009 ada 595 kasus, sekitar 2,59% peningkatan yang terjadi, dan hal itu belum termasuk laporan melalui e-mail dan telepon (KPAI, 2010). Ditambah lagi laporan melalui hotline service Komisi Nasional Perlindung Anak (Komnaspa) yang berupa pengaduan langsung, telepon, surat-menyurat maupun email, mengalami peningkatan sebesar 98% dari tahun 2010 yang hanya 1.234 kasus meningkat hingga 2.386 kasus pada tahun 2011 (Komnaspa, 2011).

Kekerasan pada anak yang disebut juga child abuse merupakan bentuk perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Segala jenis tindak kekerasan pada anak merupakan tindakan yang merenggut semua hak anak (Hamid, 2008). Lawson (2006 dalam Rakhmat, 2007), mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi empat, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Apabila seorang anak mendapatkan salah satu saja dari keempat kekerasan itu yang dilakukan secara terus-menerus maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan menyebabkan gangguan psikologis dan tidak dapat


(21)

dibayangkan apabila anak tersebut mendapatkan keempat dari jenis kekerasan itu (Rakhmat, 2007).

Tindak kekerasan kepada anak-anak akan direkam di bawah alam sadar mereka, sehingga dapat terbawa hingga dewasa kelak (Sirotnak & Krugman, 2002). Hal ini diperkuat oleh penelitian Arsih (2010) tentang “studi fenomenologis: verbal abuse” pada remaja dengan subjek empat orang remaja SMP dengan usia 13-15 tahun yang pernah mendapatkan verbal abuse. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa saat mereka mendapatkan kekerasan verbal timbul perasaan sedih pada mereka, dendam dan ingin membalas. Hal itu mengakibatkan respon ingin menghiraukan orang yang melakukan verbal abuse dan ingin membantah. Ditambah lagi dampak psikis yang timbul yaitu perasaan kecewa dan sakit hati. Dampak tersebut dapat terus terbawa hingga mereka dewasa kelak.

Berdasarkan beberapa penelitian psikiatri menunjukkan bahwa verbal abuse dapat menyebabkan kerusakkan psikis dan emosional yang lebih berat (Wicaksana, 2008). Hal ini terjadi karena verbal abuse menimbulkan dampak psikis berupa rasa ketakutan yang terus membayangi. Padahal masa remaja merupakan periode yang penting, karena dalam perkembangan fisik yang cepat dan harus disertai dengan perkembangan mental yang baik pula. Apabila rasa ketakutan yang ditimbulkan akibat verbal abuse terjadi pada remaja, maka penyesuaian perkembangan mental akan terganggu sehingga dalam pembentukkan sikap, nilai, dan minat baru pun ikut terganggu (Hurlock, 1999). Berbeda dengan kekerasan fisik yang menimbulkan luka yang jelas


(22)

3

dapat diobati, namun pada verbal abuse yang timbul adalah masalah psikis yang menimbulkan trauma yang sulit untuk dihilangkan (Pratiwi, 2006).

Demikian pula dengan akibat dari verbal abuse yang dapat menimbulkan problem perilaku yang terjadi pada remaja berupa kecemasan, depresi, menarik diri dan keluhan somatik, masalah kemampuan memperhatikan, perilaku agresif dan melawan hukum, dan pada remaja pun lebih potensial berperilaku merusak diri (Rusmil, 2007). Kekerasan yang terjadi pada anak di masa kecil memiliki dampak yang lebih kuat dalam menimbulkan perilaku agresif, terlebih bila orang tua yang melakukannya. Anak yang menjadi korban kekerasan orang tuanya maka secara otomatis akan berperilaku agresif juga. Bahkan cenderung mengembangkan perilaku kekerasan yang dialaminya sampai ia kelak dewasa (Anantasari, 2006).

Demikian juga dengan penelitian Suryaningsih dan Anggraini (2004) tentang hubungan kekerasan orang tua terhadap anak dengan perilaku agresif dengan subjek siswa SMP Negeri 2 Ungaran. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa semakin tinggi kekerasan orang tua terhadap anak maka semakin tinggi pula perilaku agresif anak.

Menurut DSM-IV American Psychiatric Association membagi perilaku agresif terhadap orang lain menjadi enam, yaitu sering mengganggu, mengancam, atau mengintimidasi orang lain, sering memulai perkelahian fisik, menggunakan senjata yang dapat membahayakan fisik orang lain, mengancam orang lain secara fisik, mencuri yang menimbulkan korban, memaksa orang lain untuk melakukan aktifitas seksual dengannya (Windiani dan Soetjiningsih, 2007).


(23)

Banyak remaja membenarkan perbuatan-perbuatan yang mereka ketahui sebagai perbuatan yang salah termasuk perilaku agresif. Hal ini berkaitan dengan beratnya tugas perkembangan remaja yang menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak. Dilain hal, beberapa remaja yang ingin mandiri, juga ingin dan membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari ketergantungan emosi pada orang tua (Hurlock, 1999).

Pada remaja terjadi proses pembentukkan identitas diri, yang merupakan proses kompleks, yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu, sekarang, dan yang akan datang dari kehidupan individu, hal inilah yang akan membentuk kerangka berpikir untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan perilaku ke dalam berbagai bidang kehidupan (Marheni, 2007).

Penting bagi seorang perawat untuk memahami landasan teoritis dari suatu fenomena yang menjadi bidang kajiannya misalnya fenomena penganiayaan pada anak. Landasan teoritis tersebut digunakan sebagai kerangka kerja keperawatan tentang anak teraniaya dan terlantar yang merupakan fenomena multifaktor yang melibatkan orang tua, keluarga, budaya, anak, dan stress dalam rentang mulai dari yang berperilaku normal hingga tindak penganiayaan (Milor, 2001 dalam Hamid, 2008).

Dalam penelitian ini peneliti mengambil area penelitian di SMPN 129 Jakarta di Tanjung Priok, karena berdasarkan pengamatan awal oleh peneliti, menunjukkan walaupun terdapat penurunan angka pelanggaran peraturan tata tertib sekolah sebanyak 23,49 % dari tahun 2010 hingga 2011, namun jenis tata tertib yang dilanggar pada tahun 2011 mengalami peningkatan yang merupakan jenis pelanggaran berat seperti kasus pelecehan, pemalakan,


(24)

5

pemukulan antar teman, bahkan tawuran yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh siswa SMP tersebut. Jenis- jenis pelanggaran yang berat itulah yang merupakan perilaku agresif pada siswa SMP yang tergolong masih remaja. Selain itu dari hasil wawancara awal terhadap sepuluh orang siswa yang melanggar peraturan dari jenis yang paling ringan seperti terlambat sekolah hingga yang paling berat yaitu pernah mengikuti tawuran, didapatkan hasil tujuh orang dari sepuluh orang atau sekitar 70% mengaku pernah mendapatkan tindakan verbal abuse dari orang tua mereka berupa mencela anak, mengecilkan anak, dan intimidasi. Bahkan mereka merasakan sakit hati yang mendalam dan ada beberapa yang sampai ingin membantah, saat mendapatkan perilaku verbal abuse dari orang tuanya, namun mereka tidak bisa melakukannya.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang didapatkan oleh peneliti dan ditambah dengan penelitian sebelumnya yang hanya mampu mengungkapkan hubungan antara verbal abuse terhadap perkembangan psikis seperti penelitian Arsih (2010) dan pada penelitian Suryaningsih dan Anggraini (2004) yang hanya mengungkapkan hubungan antara kekerasan orang tua dengan perilaku agresif. Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan antara verbal abuse dengan perilaku agresif pada remaja di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah yang telah dijelaskan pada latar belakang, yaitu:

1. Menurut Rakhmat (2007) apabila seorang anak mendapatkan salah satu dari tindak kekerasan orang tua seperti verbal abuse yang dilakukan


(25)

secara terus-menerus maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan mengalami gangguan psikologis.

2. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arsih (2010) pada remaja usia 13 – 14 tahun menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan verbal abuse timbul perasaan kecewa dan sakit hati. Hal itu menimbulkan respon ingin menghiraukan dan ingin membantah. Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Suryaningsih dan Anggarini (2004) pada siswa SMP Negeri 2 Ungaran menunjukkan bahwa semakin tinggi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua maka semakin tinggi pula perilaku agresif anak tersebut.

3. Menurut Rusmil (2007) akibat dari verbal abuse dapat menimbulkan problem perilaku berupa kecemasan, depresi, menarik diri dan keluhan somatik, masalah kemampuan memperhatikan, perilaku agresif dan melawan hukum.

4. Menurut Hurlock (1999) masa remaja merupakan periode yang penting karena dalam perkembangan fisik yang cepat harus disertai dengan perkembangan mental yang baik pula sehingga jika ada rasa ketakutan yang ditimbulkan akibat verbal abuse maka penyesuaian perkembangan seorang remaja akan terganggu.

5. Pada studi pendahuluan yang telah dijelaskan di latar belakang, didapatkan hasil bahwa walaupun terdapat penurunan angka pelanggaran peraturan tata tertib sekolah sebanyak 23,49% namun jenis tata tertib yang dilanggar oleh siswa SMP Negeri 129 Jakarta sepanjang tahun 2010 hingga 2011 mengalami peningkatan seperti kasus pelecehan, pemalakan, pemukulan


(26)

7

antar teman, bahkan tawuran. Selain itu dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap sepuluh orang siswa yang melanggar peraturan, didapatkan hasil tujuh orang dari sepuluh orang atau sekitar 70% mengaku pernah mendapatkan tindakan verbal abuse dari orang tua mereka seperti mencela anak, mengecilkan anak, dan intimidasi.

Dari uraian diatas memperkuat dugaan peneliti bahwa ada hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif siswa yang tergolong remaja tersebut. Sehingga peneliti tertarik untuk membuktikan secara signifikan bahwa ada hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif remaja di SMPN129 Jakarta.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran bentuk perilaku agresif yang dilakukan oleh remaja? 2. Bagaimana gambaran bentuk verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua? 3. Apakah ada hubungan antara verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua

dengan perilaku agresif pada anak usia remaja ? D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif pada remaja.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi bentuk perilaku agresif yang dilakukan remaja. b. Mengidentifikasi bentuk verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua. c. Mengidentifikasi hubungan antara verbal abuse orang tua dengan


(27)

E. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk penelitian lebih lanjut yang terkait dengan verbal abuse orang tua dan perilaku agresif pada remaja pada penelitian berikutnya.

2. Bagi institusi keperawatan

Memberikan informasi dalam mengembangkan terapi modalitas dalam penanganan perilaku agresif pada remaja.

3. Bagi Sekolah (SMPN129 Jakarta)

Memberikan informasi bagi sekolah yang bersangkutan bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan perilaku agresif pada remaja sehingga sekolah mampu melakukan pendekatan konseling yang tepat.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengenai hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif pada remaja. Dalam penelitian ini pembatasannya mencakup usia, dan remaja yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 129 Jakarta. Metode penelitian ini kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan data primer yang berupa kuesioner.


(28)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi remaja

Menurut Santrock (2003) Remaja adalah masa transisi dari masa anak ke masa dewasa dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai bagian dari perkembangan identitas. Menurut Wong (2009) remaja merupakan masa transisi dari anak ke dewasa dimana terjadi perubahan-perubahan biologi, psikologi, intelektual, dan ekonomi.

Sedangkan menurut Widayatun (2009), masa remaja sering disebut storm and drunk yaitu masa bergelombang, masa perpindahan dari masa anak ke masa remaja. Adapun tanda-tanda psikologi dari perkembangan remaja yaitu, sering merasa gelisah, resah, ada konflik batin dengan orang tua, minat meluas, tidak menetap, pergaulan, mulai berkelompok tapi sering ada perasaan asing, mulai mengenal lawan jenis atau pacaran, dan prestasi/pelajaran sekolah mulai tidak stabil.

2. Klasifikasi remaja

Masa remaja menurut Wong dan Hockenberry (2003) dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Fase remaja awal (Early adolescent) pada usia 11 – 14 tahun. Remaja dikarakteristikan sebagai awal perubahan pada pubertas dan perubahan respon atau perilaku.


(29)

2) Fase remaja pertengahan (Middle adolescent) pada usia 15 – 17 tahun. Remaja dikarakteristikan dengan transisi atau peralihan yang berorientasi atau lebih dominan terhadap kawan atau pekerjaan rumah seperti bermusik, cara berpakaian, penampilan, berbahasa, dan perilaku.

3) Fase remaja akhir (Late adolescent) pada usia 18 – 20 tahun. Remaja dikarakteristikan dengan perubahan atau transisi menuju kedewasaan untuk dapat peran, mulai bekerja, dan perkembangan hubungan seperti orang dewasa.

3. Ciri-ciri remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya, diantaranya yaitu (Hurlock, 1999):

1) Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada masa remaja terdapat dua perubahan yaitu perubahan fisik dan psikologis. Kedua perkembang tersebut harus sinergi karena pada masa awal remaja perkembangan fisik dan perkembang mental terjadi dengan cepat. Hal-hal itulah yang menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

2) Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan bagi remaja adalah apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Namun perlu disadari bahwa apa yang telah terjadi akan


(30)

11

meninggalkan bekas dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru. Struktur psikis pada remaja berasal dari masa kanak-kanak, dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak. Namun status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan

Terdapat empat perubahan yang hampir bersifat universal, pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesankan, menimbulkan masalah baru. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan kebebasan dan menuntut mendapatkannya, tetapi mereka ketakutan untuk bertanggung jawab dan meragukan kemampuan untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

4) Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode pasti mempunyai masalahnya sendiri, namun pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini membuat banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.


(31)

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Menurut teori psikososial Erikson (1968) identitas versus kekacauan identitas merupakan tahap perkembangan kelima yang dialami oleh remaja. Pada saat ini individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana mereka menuju dalam hidupnya (Santrock, 2003). Dalam usaha pencarian identitas diri inilah yang dapat mempengaruhi perilaku remaja.

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan streotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak. Streotip ini mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri. Menerima streotip ini dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit. Hal ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua dan antara orang tua dengan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk mengatasi berbagai masalahnya.

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Hal ini menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain


(32)

13

mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

4. Tugas perkembangan remaja

Remaja menurut Soetjiningsih (2007) mempunyai dua tugas utama, yaitu:

1) Mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orang tua

Pada masa remaja sering terjadi adanya kesenjangan dan konflik antara remaja dengan orang tuanya. Pada masa inilah ikatan emosional menjadi berkurang dan remaja sangat membutuhkan kebebasan emosional dari orang tua. Sementara orang tua masih ingin mengawasi dan melindungi anaknya.

Pada awal usia remaja, perjuangan kemandiriannya ditandai dengan perubahan dari sifat tergantung kepada orang tua menjadi tidak tergantung. Salah satu contohnya adalah remaja mulai tidak mau mendengar nasehat dan kritik dari orang tua.


(33)

2) Membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan kematangan pribadi

Proses pembentukkan identitas diri adalah proses yang panjang dan kompleks, yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu, sekarang, dan yang akan datang dari kehidupan individu.

Erickson mengatakan bahwa pada saat remaja timbul sebuah

pertanyaan penting yaitu “Siapakah Aku?”. Hal inilah yang

membuat remaja berusaha melepaskan diri dari lingkungan dan ikatan dari orang tua karena mereka ingin mencari identitas.

5. Masalah pada remaja

Salah satu ciri dari remaja menurut Hurlock (1999) merupakan usia yang bermasalah. Hal ini karena begitu beratnya pertumbuhan dan perkembangan seksual normalnya sehingga dalam mengatasi masalah terkadang remaja mengalami kegagalan. Masalah yang timbul pun bervariasi dalam hal tingkat keparahannya dan tingkat perkembangan remaja (Santrock, 2003). Beberapa masalah remaja menurut Santrock berlangsung dalam jangka waktu yang singkat namun ada beberapa masalah lainnya yang dapat bertahan selama bertahun-tahun.

Sedangkan menurut Pedoman Kesehatan Jiwa Remaja (2008) adanya hambatan dalam tahap perkembangan dapat menimbulkan masalah kesehatan jiwa bila tidak terselesaikan dengan baik. Beberapa masalah yang dapat timbul pada remaja diantaranya, yaitu:


(34)

15

1) Alkohol dan obat-obatan terlarang

Beberapa remaja sudah mulai menggunakan alkohol dan mengonsumsi obat-obatan terlarang dengan alasan dapat mengurangi ketegangan dan frustasi, menghilangkan kebosanan dan rasa lelah sehingga dapat membantu remaja dalam melarikan diri dari kenyataan hidup yang keras (Santrock, 2003).

Lebih lanjut Santrock menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi. Berikut merupakan penyebab remaja mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang:

a. Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol, dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian, dan perpisahan orang tua.

b. Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis.

c. Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, dan kemampuan koping yang buruk.

d. Cinta dan hubungan heteroseksual e. Permasalahan seksual


(35)

f. Permasalahan moral, nilai, dan agama 2) Kenakalan remaja

Ketika masa remaja, kemampuan mengontrol diri sangat diperlukan karena dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu keinginannya semakin bergejolak terutama dorongan seksual dan dorongan agresif. Jika seorang remaja tidak mempunyai kontrol diri yang baik, dia akan dikuasai oleh dorongan-dorongan ini sehingga timbulah bentuk kenakalan remaja (Sukmono, 2011). Menurut Windiani dan Soetjiningsih (2007) batasan kenakalan remaja dan gangguan tingkah laku keduanya sama yaitu meliputi berbagai masalah neuropsikiatri. Menurut DSM-IV American Psychiatric Association, diagnosis gangguan tingkah laku dapat ditegakkan sesuai kriteria sebagai berikut (Soetjiningsih, 2007):

a. Pola perilaku berulang dan menetap, dimana terdapat tiga atau lebih perilaku dibawah ini dan paling tidak terjadi selama dua belas bulan terakhir atau minimal terdapat satu kriteria perilaku didalam enam bulan terakhir.

a) Perilaku agresif terhadap orang lain dan binatang b) Merusak hak milik orang lain

c) Berbohong atau mencuri

d) Pelanggaran serius terhadap peraturan

b. Gangguan perilaku ini menyebabkan terjadinya gangguan sosial, akademik, atau fungsi pekerjaannya secara signifikan.


(36)

17

c. Jika individu berumur 18 tahun atau lebih, tidak memenuhi kriteria gangguan kepribadian antisosial.

Penyebab dari kenakalan remaja menurut Pedoman Kesehatan Jiwa Remaja (2008) yaitu terganggunya daya penyesuaian sosial remaja, yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, diantaranya:

a. Faktor genetik/biologik/konstitusional misalnya:

a) Gangguan tingkah laku tak berkelompok yang sudah mulai terlihat pada masa kanak, dan semakin parah dengan bertambah nya usia yang antara lain terlihat pada sikap kejam terhadap binatang, dan suka main api.

b) Kepribadian organik berupa perilaku impulsif, mudah marah, dan tak berfikir panjang, hal tersebut terjadi sesudah adanya kerusakan permanen pada otak.

c) Gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas, yaitu gangguan yang diakibatkan kerusakan minimal pada otak. b. Faktor pola asuh orang-tua yang tidak sesuai dengan kebutuhan

perkembangan anak, misalnya: orang tua yang permisif, otoriter dan masa bodoh, orang tua yang melakukan kekerasan pada anak seperti verbal abuse.

c. Faktor psikososial misalnya :

a) Rasa rendah diri, rasa tidak aman, rasa takut yang dikompensasi dengan berperilaku risiko tinggi.


(37)

b) Pembentukan identitas diri yang kurang mantap dan keinginan mencoba batas kemampuannya, menyebabkan remaja berani/nekat

c) Proses identifikasi remaja terhadap tindak kekerasan

d) Penanaman nilai yang salah, yaitu orang atau kelompok yang berbeda misalnya seragam sekolah, etnik, agama dianggap

“musuh”

e) Pengaruh media masa (majalah, film, televisi) dapat memberi contoh yang tidak baik bagi remaja

3) Depresi dan bunuh diri

Kehidupan yang penuh stres pada saat ini seperti adanya nilai standar ujian nasional yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, bencana yang terjadi dimana-mana, dan berbagai peristiwa hidup yang menyedihkan dapat menyebabkan remaja mengalami depresi (Susilowati, 2008). Menurut Isselbacher dkk (2000) depresi merupakan gambaran yang paling sering ditemukan diantara pasien yang mencoba bunuh diri. Meskipun depresi yang diderita tidak parah namun risiko untuk bunuh diri tetap ada (Hinto, 1989 dalam Susilowati, 2008).

Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian ketiga selama masa remaja (Wong, 2002). Faktor yang lazim dijumpai diantara remaja yang bunuh diri mencakup riwayat bunuh diri anggota keluarga, penyalahgunaan alkohol serta zat, gangguan perilaku, gangguan depresi, keadaan ansietas, dan pernah mengenal seseorang


(38)

19

yang berhasil melakukan bunuh diri atau baru mencoba melakukannya (Isselbacher dkk, 2000).

B. Perilaku Agresif

1. Definisi perilaku agresif

Perilaku agresif selalu dipersepsikan sebagai kekerasan terhadap pihak yang dikenai perilaku tersebut baik verbal ataupun nonverbal yang dengan sengaja ditujukan untuk melukai orang lain baik fisik ataupun nonfisik (Anantasari, 2006).

Menurut Videbeck (2008) perilaku agresif sama dengan permusuhan, yang dibedakan menjadi dua yaitu agresif verbal dan agresif fisik. Agresif verbal adalah emosi yang diungkapkan melalui kata-kata yang melecehkan, tidak adanya kerjasama, pelanggaran aturan atau norma, atau perilaku mengancam (Schultz & Videbeck, 1998). Berbeda dengan agresif verbal, agresif fisik merupakan perilaku menyerang atau melukai orang lain atau mencakup perusakan properti. Secara keseluruhan Videbeck beranggapan perilaku agresif itu ditujukan untuk menyakiti atau menghukum orang lain atau memaksa seseorang untuk patuh.

2. Penyebab perilaku agresif

Perilaku agresif banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang menstimulus kejadiannya, antara lain:

1) Faktor biologis

Davidoff (1991 dalam Mutadin, 2002) menyatakan bahwa ada beberapa faktor biologis yang dapat mempengaruhi perilaku agresif individu, diantaranya adalah gen, sistem otak, dan kimia darah.


(39)

Berbagai penelitian telah mencoba menelaah tentang keberadaan gen dalam pengaruhnya terhadap perilaku agresif. Dalam kenyataannya, banyak hal yang membuktikan bahwa gen memiliki pengaruh terhadap pembentukkan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresif (Davidoff). Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya didapatkan hasil bahwa faktor keturunan menunjukkan hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibanding betinanya (Krahe, 2005).

Selain itu berbagai ahli penelitian berpendapat bahwa kecenderungan berperilaku agresif merupakan bagian sifat bawaan genetika individu. Hal ini dinyatakan bahwa individu-individu yang berhubungan secara genetika memiliki kecenderungan agresif yang satu sama lain lebih serupa dibanding individu-individu yang tidak berhubungan secara genetis (Krahe, 2005).

Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresif menunjukkan dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresif. Pada hewan sederhana, marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman (Mutadin, 2002)

Presscot (1991 dalam Mutadin) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresif sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan,


(40)

21

kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresif). Presscot menyakini bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak akibat kurang

rangsangan sewaktu bayi (Mu’tadin).

Selain itu Videbeck (2008) juga beranggapan bahwa serotonin merupakan inhibitor utama pada perilaku agresif. Jadi, apabila kadar serotonin didalam tubuh rendah maka akan menyebabkan peningkatan perilaku agresif. Selain itu, peningkatan aktivitas dopamine dan norepinefrin di otak dikaitkan dengan peningkatan perilaku yang impulsive (Kavoussi et al., 1997 dalam Videbeck). Lalu kerusakkan terjadi pada sistem limbik, lobus frontal, dan lobus temporal otak dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi agresi sehingga timbul perilaku agresif.

Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresif. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan), maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Kenyataan mencoba mengungkap bahwa pada anak banteng jantan yang sudah dikebiri akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang tengah mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa


(41)

perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan (Mutadin, 2002).

2) Faktor psikologis

Setiap manusia akan mengekspresikan diri sesuai dengan usia perkembangannya. Contohnya seperti bayi dan toddler yang mengekspresikan dirinya dengan suara keras dan intens. Ketika anak tumbuh dewasa diharapkan dapat mengembangkan kontrol implusnya (kemampuan untuk menunda terpenuhinya keinginan) dan perilaku yang tepat secara sosial. Kegagalan dalam mengembangkan kualitas tersebut dapat menyebabkan individu yang impulsive, mudah frustasi, dan rentan terhadap perilaku agresif (Videbeck, 2008).

Psikologis individu dalam kenyataan juga memiliki peranan untuk memunculkan perilaku agresif. Hal ini remaja dalam fasenya, mereka seringkali mengalami gangguan psikis (misalnya tersinggung) sehubungan dengan perkembangan pribadi yang semakin pesat, karena menghadapi berbagai hal yang dapat menjadikan hambatan baginya. Akibatnya, ini akan menjadi salah satu penyebab yang mendukung terjadinya perilaku agresif. Kondisi ini diantaranya adalah frustasi dan marah (Mutadin, 2002).

Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Akibat frustasi, individu cenderung akan menyalurkan melalui tindakan-tindakan negatif. Mereka cenderung


(42)

23

lebih sensitif, menjadi mudah marah, dan berperilaku agresif (Mutadin).

Marah menurut Davidoff (1991 dalam Mutadin) merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan karena adanya kesalahan, yang ternyata salah atau juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresif (Mutadin)

3) Faktor situasional

Faktor situasional merupakan stimulus yang muncul pada situasi tertentu yang mengarahkan perhatian individu kearah agresi sebagai respon potensial. Faktor-faktor ini diantaranya adalah alkohol dan temperatur/suhu (Krahe, 2005).

Alkohol memberikan pengaruh perilaku agresif untuk situasi-situasi tertentu pada individu. Ada berbagai temuan yang menyatakan bahwa alkohol memperlihatkan memainkan peranan penting dalam praktik kriminalitas dengan kekerasan, termasuk pembunuhan. Alkohol juga telah ditengarai sebagai faktor sentral dalam berbagai macam agresif kelompok (kolektif), seperti agresif huru-hara maupun agresif geng (vandalisne) (Krahe).

Suhu (temperatur) adalah keadaan cuaca di suatu wilayah tertentu. Berbagai pandangan menyatakan bahwa suhu suatu


(43)

lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial, berupa peningkatan agresifitas (Mutadin).

Anderson et al (1997) menyatakan bahwa temperature tinggi yang tidak nyaman meningkatkan motif maupun perilaku agresif (Krahe). Hal ini sesuai dengan laporan dari US Riot Comission pada tahun 1968 bahwa dalam musim panas rangkaian kerusuhan dan agresifitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibanding dengan musim-musim lainnya (Fisher et al , 1992 dalam Mutadin). 4) Faktor sosial

Berbagai kondisi sosial yang merugikan ditelaah sebagai penyebab potensial timbulnya tingkah laku agresif pada individu (Krahe, 2005). Termasuk faktor sosial sebagai berikut:

a. Keluarga

Keluarga yang mendasari segala segi perkembangan pribadi seorang anak. Pengaruh-pengaruh orang yang tinggal di sekeliling sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja, apakah hal itu memberi pengaruh baik ataupun buruk (Tambunan, 1997). Diantaranya pengaruh-pengaruh tersebut adalah kondisi-kondisi, seperti (Monks et al, 2004):

a) Kemiskinan dan jumlah anggota keluarga yang lebih besar. b) Kenakalan yang terdapat di lingkungan rumah tangga diantara


(44)

25

c) Rumah tangga yang berantakan karena kematian salah seorang dari orang tua, perpisahan ibu dan ayah, perceraian atau karena melarikan diri dari rumah.

d) Kurangnya keamanan jiwa disebabkan orang tua yang terus bertengkar dan kurangnya stabilitas emosi.

e) Tidak terdapatnya penyesuaian pendidikan, disiplin, dan tujuan hidup yang dicita-citakan oleh orang tua untuk anaknya.

f) Orang tua yang tidak menaruh perhatian terhadap anak, tidak sempat menanamkan kasih sayang dan tidak pula dapat menyatakan penghargaan atas prestasi yang diperoleh anak di sekolah yang merupakan salah satu bentuk dari verbal abuse.

Dalam teori sosial Behrman et al (2000) menyatakan bahwa salah satu yang mengakibatkan peningkatan agresif pada anak dan remaja adalah hilangnya pola keluarga tradisional dalam pemeliharaan anak dalam sistem kekeluargaan. Adanya persepsi tentang perbedaan atau jurang pemisah (generation gap) antara anak dengan orang tuanya memang tidak dapat dipungkiri masih banyak melekat dibenak orang tua yang merasa bahwa segala aturan yang mereka tetapkan meski dipatuhi dan ditaati anak-anaknya dan demi kebaikan anak-anak-anaknya kelak di kemudian hari (Mutadin, 2002).

Hal ini pun karena kekurangsesuaian antara keinginan anak dan orang tua seringkali berakibat terhadap bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal disebabkan banyak tidak


(45)

menyambungnya atau bahkan tidak jarang malah menimbulkan pertengkaran dari kedua pihak. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresif pada anak (Gunarsa, 2003).

b. Masyarakat

Setiap orang sangat akrab dengan lingkungan masyarakat dimana ia bertempat tinggal. Anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh masyarakat dan lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh dominan adalah perubahan sosial kehidupan masyarakat yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang sering menimbulkan ketegangan, seperti revolusi, ketidakpuasan pekerjaan, persaingan dalam perekonomian, terjadinya diskriminasi, korupsi, pengangguran, mass media (missal pornografi, pornoaksi), fasilitas rekreasi (seperti play station), dan penyelenggaraan klub-klub malam, seperti diskotik (Krahe, 2005 dan Videbeck, 2008).

Dalam teori sosialnya, Behrman et all (2000) menyatakan bahwa pergaulan modern, rusaknya nilai kegotongroyongan secara umum, dan kelainan sosial baik pada individu maupun kelompok besar dapat mengakibatkan peningkatan agresif pada anak dan remaja.

Menurut Anantasari (2006) perilaku agresif tidak hanya timbul karena menonton tindak kekerasan di televisi atau melihat perkelahian di


(46)

27

lingkungan rumahnya, tetapi juga karena seseorang menjadi korban kekerasan dari salah satu atau bahkan kedua orang tuanya. Beliau juga menjelaskan proses dari perilaku agresif, yaitu:

1) Anak meniru perilaku agresif yang dilihatnya, atau adanya imitasi. Hal ini terjadi karena seorang anak memiliki kecenderungan yang besar sekali untuk meniru.

2) Pembentukkan kerangka pikir anak bahwa perilaku agresif adalah hal yang lumrah bahkan perlu dilakukan. Hal ini terjadi ketika orang tua sering memaki, sehingga anak cenderung menganggap makian sebagai hal yang lumrah dan melakukan hal yang sama kepada orang lain. 3) Kekerasan yang dilihat atau dialami anak secara terus-menerus akan

membentuk pola pikir pada anak bahwa lingkungan sekitarnya bukanlah tempat yang aman baginya. Sehingga anak ini akan cenderung curiga dan menyebabkan timbulnya perilaku agresif.

4) Anak yang mengalami kekerasan terus-menerus cenderung memiliki harga diri rendah. Harga diri rendah menimbulkan sikap negatif dan mengurangi koping saat frustasi. Hal ini yang akan meningkatkan kecenderungan berperilaku agresif pada anak.

3. Dampak perilaku agresif

Dampak utama dari perilaku agresif adalah anak tidak mampu berteman dengan teman sebaya atau lingkungan. Padahal dengan hal ini, perilaku agresif akan semakin ditampilkan karena mereka tidak dapat diterima oleh teman-temannya (Saefi, 2010). Menurut Handayani (2004,


(47)

dalam Maryanti, 2012) perilaku agresif akan berpengaruh terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain, seperti:

1) Dampak bagi dirinya sendiri yaitu akan dijauhi oleh teman-temannya dan memiliki konsep diri yang buruk, anak akan dicap sebagai anak yang nakal sehingga membuatnya merasa kurang aman dan kurang bahagia.

2) Dampak bagi orang lain (lingkungan), yaitu dapat menimbulkan ketakutan bagi anak-anak lain dan akan tercipta hubungan sosial yang kurang sehat dengan teman-teman sebayanya. Selain itu, dapat mengganggu ketenangan lingkungan karena biasanya anak yang berperilaku agresif memiliki kecenderungan untuk merusak sesuatu yang disekitarnya.

4. Bentuk perilaku agresif

Beberapa bentuk perilaku agresif dalam hal ini, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Agresif di ruang publik a. Bullying

Bullying merupakan suatu tindakan yang melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya. Tindakan ini bisa berupa mengganggu, melecehkan, merendahkan, mengintimidasi, dan menganiaya (Krahe, 2005)


(48)

29

Olweus (1994 dalam Krahe) berpendapat bahwa seseorang dianggap menjadi korban bullying, bila ia dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan selama jangka waktu cukup lama, sehingga korbanya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi.

Bullying dapat berbentuk tindakan langsung maupun tidak langsung. Bullying langsung mencakup pelecehan fisik terhadap korbannya, sementara bullying tidak langsung terdiri atas berbagai strategi yang menyebabkan targetnya terasing dan terkucil secara sosial (Krahe, 2005).

b. Agresif kolektif

Agresif kolektif merupakan tindakan yang mencakup berbagai macam bentuk perilaku agresif yang dilakukan kelompok atau individu sebagi bagian kelompok. Agresif kolektif seringkali diarahkan pada kelompok lain dan bukan pada sasaran individual. Bentuk-bentuk agresif kolektif diantaranya adalah aksi huru-hara dan kekerasan geng (Krahe).

Aksi huru-hara (rioting) didefinisikan sebagai tindakan kolektif bermusuhan yang dilakukan kelompok yang terdiri atas 50 orang atau lebih, yang menyerang orang secara fisik atau memaksa seseorang untuk melakukan suatu tindakan (Krahe).


(49)

Geng adalah sebuah kelompok sebaya dengan rerata umur sama, yang memamerkan permanentasi tertentu, terlibat dalam kegiatan kriminal dan memiliki representasi keanggotaan simbolis tertentu. Kekerasan geng ini biasa diwujudkan dengan membuat keonaran-keonaran yang dapat mengganggu keadaan sekitar seperti pemukulan terhadap seseorang tanpa suatu alasan yang jelas dan biasanya terjadi secara tiba-tiba, pemerasan, perusakan fasilitas baik itu milik umum maupun perseorang/individual dan berbagai keonaran lainnya (Krahe, 2005).

c. Pembunuhan

Pembunuhan adalah tindakan agresif hingga merenggut nyawa orang lain atau menyebabkan kematian si korban. Tindakan ini tergolong paling ekstrim dibanding bentuk-bentuk agresif lain. Perbuatan ini misalnya dengan menembak, memanah atau menusuk dan motif lainnya hingga menyebabkan terbunuhnya si korban (Sudarsono, 2004)

2) Agresif seksual

Agresif seksual merupakan suatu tindakan meliputi berbagai kegiatan seksual yang dipaksakan, termasuk hubungan seksual, seks oral, mencium, petting dan penggunaan berbagai strategi koersif, seperti ancaman atau penggunaan berbagai strategi koersif, seperti ancaman atau penggunaan kekuatan fisik, mengeksploitasi ketidakmampuan korban untuk menolak atau menekan secara verbal (Krahe).


(50)

31

Belknap et al (1999 dalam Krahe) menyatakan bahwa agresif seksual berarti juga memasukkan perhatian yang tidak dikehendaki, misalnya dalam bentuk pelecehan seksual, stalking (memperlihatkan penis yang ereksi) ataupun telepon cabul (Krahe).

C. Verbal Abuse

1. Definisi verbal abuse

Verbal abuse atau lebih dikenal dengan kekerasan verbal merupakan

“kekerasan terhadap perasaan”. Memuntahkan kata-kata kasar tanpa menyentuh fisik, kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang mengancam, menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan orang lain merupakan kekerasan verbal (Sutikno, 2010).

Kekerasan verbal biasanya terjadi ketika ibu sedang sibuk dan anaknya meminta perhatian namun si ibu malah menyuruh anaknya untuk

“diam” atau “jangan menangis” bahkan dapat mengeluarkan kata-kata

“kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan”, atau yang lainnya. Kata-kata seperti itulah yang dapat diingat oleh sang anak, bila dilakukan secara berlangsung oleh ibu (Rakhmat, 2007). Tidak hanya seorang ibu yang bisa melakukan verbal abuse, seorang ayah pun bisa melakukan verbal abuse ketika ia merasa

kesal. “Anak jadah, pakai kuping mu untuk mendengarkan nasihat orang

tua. Muak aku melihat perangai mu itu…” adalah contoh verbal abuse ketika seorang ayah merasa kesal karena nasihatnya tidak didengarkan oleh anaknya (Sutikno, 2010).


(51)

2. Karakteristik verbal abuse

Anderson (2011) membagi karakteristik dari verbal abuse menjadi tujuh, yaitu:

1) Verbal abuse sangat menyakitkan dan selalu mencela sifat dan kemampuan.

2) Verbal abuse dapat bersifat terbuka seperti luapan kemarahan atau memanggil nama dengan sebutan tidak baik dan tertutup seperti ungkapan atau komentar tajam yang menyakiti hati korban.

3) Verbal abuse merupakan manipulasi dan mengontrol. Komentar yang merendahkan mungkin terdengar sangat jujur dan mengenai sasaran. Tetapi tujuannya adalah untuk memanipulasi dan mengontrol.

4) Verbal abuse merupakan perlakuan jahat secara diam-diam. Verbal abuse menyusutkan rasa percaya diri seseorang.

5) Verbal abuse tidak dapat diprediksikan. Pada kenyataannya, tidak dapat diprediksikan merupakan satu dari beberapa karakteristik verbal abuse yang sangat signifikan. Hal ini dapat melalui mencaci maki, merendahkan, dan komentar yang menyakitkan.

6) Verbal abuse mengekspresikan pesan ganda. Tidak ada kesesuaian antara tujuan dari ucapan kasar dan bagaimana perasaannya. Sebagai contoh, mungkin terdengar sangat jujur dan baik ketika mengucapkan apa yang salah dengan seseorang.

7) Verbal abuse selalu meningkat sedikit demi sedikit, meningkat dalam intensitasnya, frekuensi, dan jenisnya. Verbal abuse mungkin dimulai dengan merendahkan dengan tersembunyi seperti bercanda.


(52)

33

3. Bentuk verbal abuse

Sutikno (2010) menjelaskan bahwa bentuk dari verbal abuse itu merupakan kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang mengancam, menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan orang lain. Bahkan Rahmat (2007) menambahkan bahwa ancaman atau intimidasi, merusak hak dan perlindungan korban, menjatuhkan mental korban, perkataan yang menyakitkan dan melecehkan, atau memaki-maki dan berteriak-teriak keras juga sudah dikategorikan sebagai bentuk kekerasan yang bersifat verbal.

Christianti (2008) lebih memerinci bentuk dari verbal abuse adalah sebagai berikut:

1) Tidak sayang dan dingin

Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya: menunjukan sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak (seperti pelukan), dan kata-kata sayang.

2) Intimidasi

Tindakan intimidasi bisa berupa : berteriak, menjerit, mengancam anak, dan menggertak anak.

3) Mengecilkan atau mempermalukan anak

Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa seperti: merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek atau sesuatu yang didapat dari kesalahan.


(53)

4) Kebiasaan mencela anak

Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak.

5) Tidak mengindahkan atau menolak anak

Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa: tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli dengan anak.

6) Hukuman ekstrim

Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di kursi untuk waktu lama dan meneror.

4. Akibat verbal abuse

Soetjiningsih (2007) beranggapan bahwa kekerasan yang dialami oleh anak secara umum dapat berdampak pada fisik dan psikologis dengan berbagai intensitas berat dan ringannya. Lebih spesifik lagi Wicaksana (2008) mempertegas bahwa akibat dari tindakan verbal abuse yaitu terhadap perkembangan psikis dan emosional lebih berat. Verbal abuse sangat berpengaruh pada anak terutama perkembangan psikologisnya, berikut merupakan dampak-dampak psikologis akibat kekerasan verbal menurut Soetjiningsih (1999 dan 2007), diantaranya yaitu:

1) Gangguan emosi

Terdapat beberapa gangguan emosi pada korban kekerasan orang tua, seperti terhambatnya perkembangan konsep diri yang positif, lambat dalam mengatasi sifat agresif, ganggguan perkembangan hubungan


(54)

35

sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri. Dapat pula terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum, dan sebagainya.

2) Konsep diri rendah

Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, dan tidak mampu menyenangi aktifitas.

3) Agresif

Anak yang mendapat perlakuan salah lebih agresif terhadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri. Hal serupa dinyatakan pula oleh Anantasari (2006) kekerasan yang dialami oleh anak, baik secara langsung maupun tidak, cenderung mendorong munculnya kekerasan atau perilaku agresif oleh anak.

4) Hubungan sosial

Pada anak-anak dengan gangguan hubungan sosial sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang-orang dewasa. Mereka mempunyai teman sedikit dan suka menganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau perbuatan-perbuatan kriminal


(55)

lainnnya. Menurut Rakhmat (2007) dapat pula timbul kepribadian sociopath atau antisocial personality disorder.

Penyebab utama dari kepribadian ini adalah emotional child abuse yang dalam bentuk umumnya sering disebut juga dengan verbal abuse. Perilaku ini dapat terlihat dengan sering bolos, mencuri, bohong, bergaul dengan orang jahat, kejam pada binatang, dan prestasi sekolah yang buruk.

5) Bunuh diri

Menurut Soetjiningsih (2007) tindak kekerasan pada anak akan menyebabkan stres mental yang dialami oleh remaja. Stres mental ini apabila tidak tertangani maka akan berkembang menjadi percobaan bunuh diri sehingga akan menyebabkan perilaku bunuh diri oleh remaja.

6) Akibat lain

Akibat lain dari perlakuan salah menurut Soetjiningsih, anak akan melakukan hal sama dikemudian hari terhadap anak-anaknya kelak. Hal ini dipertegas oleh Rakmat (2007) bahwa semua tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar dan akan di bawa hingga dewasa dan cenderung akan menjadi agresif. Bahkan setelah mereka menjadi orang tua sifat tersebut masih melekat dan mereka melakukan hal yang sama kepada anak mereka sehingga terlahir pula anak yang bersifat agresif.


(56)

37

5. Faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan verbal abuse

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan verbal abuse, diantaranya:

1) Faktor Interna

a. Faktor pengetahuan orang tua

Kebanyakan orang tua tidak begitu mengetahui atau mengenal informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua anak dipaksa melakukan dan ketika memang belum bisa dilakukan, orang tua menjadi marah, membentak, dan mencaci anak. Orang tua yang mempunyai harapan-harapan yang tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan anak dan minimnya pengetahuan agama orang tua melatarbelakangi kekerasan pada anak karena orang tua kurang berpendidikan (Arimurti, 2005).

b. Faktor pengalaman orang tua

Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakuan salah merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan pada anak (Soetjiningsih, 1999). Semua tindakan kepada anak akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai pada masa dewasa. Anak yang mendapat perilaku kejam dari orang tuanya akan menjadi agresif dan setelah menjadi orang tua, ia akan


(57)

berlaku kejam pula pada anaknya. Orang tua yang agresif akan melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif pula. Gangguan mental (mental disorder) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil (Rahmat, 2007).

2) Faktor Ekstern a. Faktor ekonomi

Sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu faktor kemiskinan, dan tekanan hidup atau ekonomi (Sirotnak & Krugman, 2002). Pengangguran, PHK, dan beban hidup lain kian memperparah kondisi itu. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang selalu meningkat, disertai dengan kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah sekali melimpahkan emosi kepada orang sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sepenuhnya milik orang tua, sehingga menjadikan anak paling mudah menjadi sasaran dalam meluapkan kemarahannya. Kemiskinan sangat berhubungan dengan penyebab kekerasan pada anak karena bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya dan disebabkan mereka mempunyai jalan yang terbatas dalam mencari sumber ekonomi untuk mendukung saat stres (Charles dalam Behrman et al 2000). Hal-hal seperti diatas itulah yang dapat menyebabkan terjadinya verbal abuse terhadap anak.


(58)

39

b. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan juga mempengaruhi tindakan kekerasan pada anak (Anderson, 2011). Munculnya masalah lingkungan yang mendadak juga turut berperan untuk timbulnya kekerasan verbal (Soetjiningsih,1999). Orang tua menjadi memiliki masalah berat dalam hubungannya dengan anak-anak mereka. Orang tua menjadi memiliki konsep-konsep yang kuat dan kaku mengenai apa yang benar dan apa yang salah bagi anak-anak mereka. Semakin yakin orang tua atas kebenaran dan nilai-nilai keyakinannya, semakin cenderung orang tua memaksakan kepada anaknya (Stuart dan Sundeen, 2006).

c. Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya ini meliputi nilai/norma yang ada dimasyarakat, hubungan antar manusia, kemajuan zaman yaitu pendidikan, hiburan, olah raga, kesehatan, dan hukum (Soetjiningsih, 1999). Norma sosial mempengaruhi tindakan orang tua melakukan verbal abuse karena pada masyarakat tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan anak-anak. Sedang nilai-nilai sosial disini adalah dalam artian hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hierarki sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Orang tua tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hierarki seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun. Orang dewasa


(59)

dapat berlaku apa pun kepada anak-anak termasuk verbal abuse (Rakhmat, 2007).

D. Penelitian Terkait

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu Arsih (2010) pada remaja SMP dengan usia 13 – 15 tahun yang pernah mendapatkan verbal abuse menunjukkan bahwa saat mereka mendapatkan verbal abuse timbul perasaan sedih, dendam dan ingin membalas. Hal itu mengakibatkan respon ingin menghiraukan orang yang melakukan verbal abuse dan ingin membantah. Adapun dampak psikis yang timbul yaitu perasaan kecewa dan sakit hati. Dampak tersebut dapat terus terbawa hingga mereka dewasa kelak.

Penelitian Suryaningsih dan Anggaraini (2004) pada siswa SMP Negeri 2 Ungaran menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi kekerasan orang tua terhadap anak maka semakin tinggi pula perilaku agresif siswa.

Penelitian Manalu (2011) pada 50 remaja dengan usia 15 – 18 tahun tentang pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan menunjukkan bahwa 86,0% tindakan otoriter yang paling banyak disebabkan oleh orang tua karena tidak pernah bersikap sabar dan ramah pada anaknya dan 100% anak berperilaku agresif.

Penelitian Vissing et al. (1991) pada 3.346 orang tua yang memiliki anak di bawah usia 18 tahun yang tinggal satu rumah menemukan 63% pernah melakukan verbal abuse yang mengakibatkan agresif pada anak dan masalah interpersonal.


(60)

41

E. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Modifikasi dari teori: Santrock (2003), Sukmono (2011), Pedoman Kesehatan Jiwa Remaja (2008), Susilowati (2008), Isselbacher dkk (2000), Wong (2002),

Krahe (2005), Sudarsono (2004), Mutadin (2002), Davidoff (1991 dalam Mutadin, 2002), Videveck (2008), Anderson et al. (1997), Tambunan (1997),

Monks et al (2004), Behrman et al (2000), Gunarsa (2003), Cristianti (2008) Masalah pada remaja:

1. Alkohol dan obat-obatan terlarang

2. Kenakalan remaja (perilaku agresif) 3. Depresi dan bunuh diri

Bentuk-bentuk perilaku agresif:

1. Agresif di ruang publik a. Bullying

b. Agresif kolektif c. Pembunuhan 2. Agresif seksual

Penyebab perilaku agresif: 1. Faktor biologis

2. Faktor Psikologis 3. Faktor situasional 4. Faktor sosial

a. Keluarga (verbal abuse)

b. Masyarakat Bentuk-bentuk verbal abuse:

1. Tidak sayang dan dingin 2. Intimidasi

3. Mengecilkan atau mempermalukan anak 4. Mencela anak

5. Menolak anak 6. Hukuman ekstrim


(61)

42

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori yang telah dibuat dalam bab sebelumnya, bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku agresif pada remaja adalah verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua. Cristianti (2008) menyebutkan bahwa bentuk-bentuk dari verbal abuse adalah tidak sayang dan dingin, intimidasi, mengecilkan atau mempermalukan anak, mencela anak, menolak anak, dan hukuman ekstrim. Berdasarkan hal tersebut, maka variabel yang ingin diteliti adalah verbal abuse orang tua sebagai variabel independen dan perilaku agresif remaja sebagai variabel dependen. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 3.1 Kerangka konsep Verbal abuse orang tua

yang terdiri dari: 1. Tidak sayang dan

dingin 2. Intimidasi

3. Mengecilkan atau mempermalukan anak

4. Mencela anak 5. Menolak anak

Perilaku agresif remaja yang terdiri dari: 1. Agresif di ruang

publik a. Bullying

b. Agresif kolektif 2. Agresif seksual Variabel independen Variabel dependen


(62)

43

B. Hipotesis

Dari uraian kerangka konsep yang telah dijabarkan oleh peneliti maka

didapatkan suatau hipotesis penelitian yaitu “Ada hubungan antara perilaku verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua dengan perilaku agresif pada remaja di SMP Negeri 129 Jakarta”


(63)

C. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Kategori Skala Ukur Perilaku verbal

abuse

Perilaku verbal abuse adalah tindakan atau perbuatan yang dapat menyakiti anak secara psikis yang berupa kekerasan dalam bentuk ucapan atau lisan yang berbentuk tidak sayang dan dingin, intimidasi, mengecilkan atau mempermalukan anak, mencela anak, dan menolak anak, yang dilakukan oleh orang tua.

Menghitung skor dari pertanyaan tentang perilaku verbal abuse orang tua menggunakan skala Guttman (1) Ya

(0) Tidak pernah

Kuesioner perilaku verbal abuse orang tua berisi 11 pertanyaan dengan skor tertinggi 11 dan skor tertendah 0.

0: Tidak ada tindak verbal abuse

1 ≥: Ada tindak Verbal abuse


(64)

45

Perilaku agresif Perilaku agresif segala bentuk perilaku baik verbal ataupun nonverbal yang dengan sengaja ditujukan untuk melukai orang lain baik fisik ataupun nonfisik yang berupa agresif di ruang publik (bullying dan agresif kolektif) dan agresif seksual.

Menghitung skor dari pertanyaan tentang perilaku agresif pada remaja

menggunakan skala Guttman (1) Ya

(0) Tidak

Kuesioner perilaku agresif pada remaja berisi 8 pertanyaan dengan skor tertinggi 8 dan skor tertendah 0.

Perilaku agresif ringan : 0 – 3

Perilaku agresif berat : 4 – 8


(65)

46

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang menekankan analisisnya berdasarkan data-data numerial (angka) yang diolah dengan metode statistika (Nursalam, 2001). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Rancangan cross sectional merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) antara variabel independen dan dependen. Pada jenis ini variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada follow up (Hidayat, 2007; Nursalam, 2003). Alasan digunakan desain ini adalah karena penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antara perilaku verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua (variabel independen) dengan perilaku agresif pada anak usia remaja (variabel dependen).

B. Lokasi Penelitian 1. Tempat

Penelitian dilaksanakan pada SMPN 129 Jakarta di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

2. Waktu

Penelitian mulai dilaksanakan pada bulan Juni 2012, mulai dari pengambilan data sampai penyusunan hasil sesuai jadwal yang dilampirkan.


(66)

47

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004 dalam Hidayat, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dan kelas VIII yang berusia 12-14 tahun SMPN 129 Jakarta yang berperilaku agresif di sekolah sepanjang tahun 2011 hingga 2012 sebanyak 48 remaja.

2. Sampel

Sampel yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode nonprobability sampling, dengan teknik purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa kelas VII dan kelas VIII yang berusia 12-14 tahun SMPN 129 Jakarta yang berperilaku agresif di sekolah sepanjang tahun 2011 hingga 2012. Dimana jumlah sampel ini nantinya akan berasal dari pemilihan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut:

1) Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Nursalam, 2003). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :


(67)

a. Remaja yang berusia antara 12 tahun – 14 tahun.

b. Remaja yang mempunyai gangguan tingkah laku setidaknya selama 12 bulan terakhir baik tercatat atau tidak didalam buku kasus sekolah.

c. Remaja merupakan rekomendasi dari guru badan penyuluhan (BP) atau wali kelas.

d. Remaja yang masih mempunyai kedua orang tua.

e. Remaja yang tinggal bersama dengan orang tua dan/atau masih berkomunikasi lancar dengan orang tua mereka.

f. Remaja yang bersedia dan menandatangani surat persetujuan menjadi responden.

2) Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2007). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah subjek penelitian yang menolak berpartisipasi.

3) Besar sampel

Besar sampel adalah banyaknya anggota yang dijadikan sampel (Nursalam, 2001). Besar sampel yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 43 sampel.

D. Instrumen Penelitian

Dalam pengumpulan data, terdapat dua sumber data yang diperoleh yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder adalah laporan dan catatan resmi yang ada baik data dari instansi yang terkait, internet, maupun literatur


(68)

49

yang relevan dan sumber lain yang dapat mendukung. Sedangkan data primer adalah data dengan pengisian kuesioner oleh siswa SMPN 129 Jakarta dengan perilaku agresif untuk mendapatkan jawaban yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.

Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti mengajukan izin terlebih dahulu kepada guru bagian kesiswaan SMPN 129 Jakarta untuk diproses ke kepala sekolah kemudian diserahkan tanggung jawab kepada guru badan penyuluhan (BP). Setelah itu peneliti meminta data remaja yang melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Kemudian dari data tersebut peneliti memilih remaja yang berperilaku agresif. Selain itu peneliti juga melakukan pendekatan kepada guru BP dan wali kelas di sekolahan tersebut untuk mencari data tambahan yang diperlukan oleh peneliti.

Setelah mendapatkan responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, peneliti mengumpulkan calon responden dalam satu ruangan untuk menjelaskan tujuan, manfaat, dan peran serta selama penelitian, agar selama penelitian dan proses pengambilan data dapat dengan mudah dilaksanakan. Peneliti juga menjelaskan bahwa peneliti menjamin kerahasiaan responden dan responden berhak untuk menolak berpartisipasi dalam penelitian ini. Bila responden menyetujui maka peneliti meminta responden untuk manandatangani lembar persetujuan menjadi responden.

Kemudian responden diberi kuesioner untuk diisi sendiri. Peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner dan menginformasikan agar kuesioner diisi semua. Setelah terisi, kuesioner dikumpulkan kembali oleh peneliti dan


(69)

diperiksa kembali kelengkapannya. Bila ada yang kurang lengkap diselesaikan saat itu.

Pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah kuesioner atau angket yang disesuaikan dengan tujuan penelitian dan mengacu pada kerangka konsep yang telah dibuat. Instrumen pengumpulan data terdiri dari 3 bagian, yaitu:

a. Data personal responden

Identitas siswa meliputi nama (inisial), umur, jenis kelamin, kelas, alamat, dan pekerjaan orang tua.

b. Kuesioner perilaku verbal abuse orang tua

Kuesioner perilaku verbal abuse orang tua bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman perilaku verbal abuse yang pernah dilakukan oleh orang tua remaja sehingga dapat menyebabkan perilaku agresif dan kusioner ini pernah digunakan sebelumnya dalam penelitian Munawati

(2011) dengan judul “Hubungan Verbal Abuse Dengan Perkembangan Kognitif Pada Anak Usia Prasekolah Di RW 04 Kelurahan Rangkapan

Jaya Baru Depok Tahun 2011”. Pada kuesioner perilaku verbal abuse orang tua menggunakan Skala Guttman dengan sebelas pertanyaan dengan pilihan ya yang bernilai satu, dan tidak yang bernilai nol. Nilai tertinggi yang diperoleh dari pertanyaan tersebut adalah sebelas dan nilai terendah adalah nol.


(70)

51

Skala ukur yang digunakan dalam variabel ini adalah skala ordinal, dengan interval perilaku verbal abuse orang tua adalah sebagai berikut:

0 : Tidak ada tindak verbal abuse 1 ≥ : Ada tindak verbal abuse

c. Kuesioner perilaku agresif yang dilakukan oleh remaja

Kuesioner perilaku agresif remaja bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk perilaku agresif yang dilakukan oleh remaja dan kuesioner ini pernah digunakan sebelumnya dalam penelitian Wibawanti (2006) dengan

judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Perilaku Agresif Remaja

Pada Pelajar Di SMK Brawijaya Ponorogo Jawa Timur”. Pada kuesioner

perilaku agresif pada remaja menggunakan Skala Guttman dengan delapan pertanyaan dan pilihan ya (1) yang bernilai satu dan tidak (0) yang bernilai nol. Nilai tertinggi yang dapat diperoleh adalah delapan dan nilai terendah adalah nol.

Skala ukur yang digunakan dalam variabel ini adalah skala ordinal, dimana nilai panjang/lebar kelas interval antar kategori didapatkan dengan menggunakan rumus statistik (Aritonang, dkk., 2005):

Keterangan:

P : Panjang kelas

Rentang kelas : Selisih nilai tertinggi dan nilai terendah Banyak kelas : Banyaknya kategori dalam kuesioner


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

KEMENTERIAN AGAMA

TTNWERSTTAS

rSLAM

NEGERT

(

rrIN

)

SYARIF

HIDAYATULLAII

JAKARTA

FAKTJLTAS

KEDOKTERAN DAN

ILMU

KESEHATAN

Jl. Kertamukti No. 5 pisangan Cip utat

15419

Telp'

: (62-21) 74716718 Fax: (62-21) 7404985

Website : www.uinjkt.ac.id; E-mail : fl<ik@uinjkt.ac.id

Nomor

:

Un.OllFl

0/I<N1.01,2/ I 23

2/2012

Lampiran

:

-Hal

:

Permohonan

Izin

Penelitian

Jakart4

f,

Juntz}1.2

Kepada Yang Terhormat,

Kepala Sekolah SMPN 129

Jl. Warakas

VI

Papanggo

Tg.Priuh

di

Jakafia Utara

Assalamu'alaikum

\ilr.

Wb.

Dalam

rangka

penyelesaian

tugas akhfu perkuliahan

mahasiswa

diperlukan

penyusunan

Skripsi yang berjudul

'

Hubungan

Antara

verbal

Abuse

o.ugg

Tua Dengan Perilaku

Agresif

pada Remaja Sekolah Menengah

Pertama N

i:gei

129 J akarta" .

sehubungan dengan

itu

kami mohon diberikan

izin

melaksanakan

penelitian atas nama :

Nama

NIM

Semester

Program Studi

Fakultas

Wassalamu'alaikum

Wr. Wb.

A

Sri Kuspartianingsih

108104000016

VM

Ilmu

Keperawatan

Kedokteran dan Ilrnu Kesehatan

UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Demikian

atas perhatian

dan

bantuan saudara

kami

ucapkan terima

kasih.

Tembusan:


(6)