Strategi Koping Pada Siswa Dengan Perilaku Agresif di SMP Negeri 9 Depok Tahun 2013

(1)

TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh:

FIDINIA HASTUTI

109104000041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

TAHUN 1434 H/2013 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi

Nama : Fidinia Hastuti

Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 10 April 1992

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Cipayung Jaya RT.01/RW.01 No. 40, Cipayung,

Depok

Telepon : 08561125519

E-mail : pidiepoo26@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1. SDN Cipayung 01 (1997-2003)

2. SMPN 9 Depok (2003-2006)

3. SMAN 1 Depok (2006-2009)

4. S1 Keperawatan (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) (2009-2013)

Pengalaman Organisasi

1. PMR sebagai Anggota (2003 – 2005)

2. Teater Langit sebagai sekretaris I (2007 – 2008)

3. BEM Jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai Ketua Departemen Kesejahteraan Sosial (2012 – 2013)


(7)

vii

Kesehatan Tulang Jangka Panjang” Tahun 2009

2. Seminar Dokter Muslim “Smooking Cessation For Better Generation Without Tobacco”Tahun 2010

3. Seminar Kesehatan “Perawatan Pasien Hipertensi dan Diabetes di Rumah”

Tahun 2010

4. Pelatihan Nursing Camp “Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan

dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2011

5. Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Meningkatkan Peran dan Mutu

Profesi Keperawatan dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2012 6. Seminar dan Workshop Keperawatan Gawat Darurat “Peran Perawat Dalam


(8)

viii

JAKARTA

Skripsi, Oktober 2013

Fidinia Hastuti, NIM: 109104000041

Strategi Koping Pada Siswa Dengan Perilaku Agresif di SMP Negeri 9 Depok Tahun 2013

xx + 65 halaman + 11 tabel + 2 bagan + 6 lampiran

ABSTRAK

Koping adalah tiap upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan stres agar tidak timbul respon yang maladaptif, seperti kemarahan yang berlebihan, perilaku agresif, depresi, bahkan bunuh diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi koping yang digunakan oleh siswa dengan perilaku agresif di SMPN 9 Depok. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Jumlah sampel sebanyak 46 siswa dengan perilaku agresif di SMPN 9 Depok. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 menggunakan instrumen A-COPE yang dikembangkan oleh Patterson & McCubbin (1987) berisi 54 pernyataan yang biasa dilakukan remaja saat menghadapi masalah. Validitas dan reliabilitas kuesioner ditunjukkan dengan nilai Alpha Cronbach (α) sebesar 0,808. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan problem focused

coping sebesar 58,7% dan emotion focused coping sebesar 41,3 %. Remaja usia 13 dan 14 tahun dan memiliki orang tua yang utuh lebih banyak menggunakan problem focused coping, sedangkan remaja usia 15 tahun dan memiliki orang tua yang bercerai lebih banyak menggunakan emotion focused coping. Berdasarkan jenis kelamin, remaja laki-laki dan perempuan lebih banyak menggunakan problem focused coping. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan penanganan yang tepat pada remaja dengan perilaku agresif. Sekolah dapat melakukan upaya untuk mengurangi perilaku agresif dengan melakukan bimbingan konseling secara berkala pada siswa yang berperilaku agresif, serta menanamkan cara penyelesaian masalah yang konstruktif dan menyalurkan emosi secara konstruktif dengan kegiatan yang positif.

Kata kunci: Strategi koping, Remaja, Perilaku Agresif Daftar Bacaan: 26 (2003-2012)


(9)

ix

JAKARTA

Undergraduate Thesis, October 2013

Fidinia Hastuti, NIM: 109104000041

Coping Strategy of Student with Aggressive Behaviour in SMP Negeri 9 Depok Year 2013

xx + 65 pages + 11 tables + 2 charts + 6 attachments

ABSTRACT

Coping is an effort to coped with stress to prevent maladaptive responses, such as excessive anger, aggressive behavior, depression, and suicide. This study was conducted to determine the coping strategies used by students who aggressive behavior at SMPN 9 Depok. Type of research is descriptive quantitative approach, total sample method among 46 students. The research was conducted in July 2013 using A-COPE instruments developed by Patterson & McCubbin (1987) contains 54 statements to measure teenager’s coping strategy when faced problems. Internal consistency tested by Cronbach alpha value (α) was 0,808. The results showed that teenagers who used problem focused coping was 58,7 % and emotion focused coping was 41,3 %. Teenagers between 13 – 14 years old who have completed parents more likely to use problem focused coping, while 15 year old who have divorced parents more likely to use emotion focused coping. Based on gender, boys and girls more likely to use problem focused coping. The results could be used as a reference for proper treatment in adolescents with aggressive behavior. Schools can make an effort to reduce aggressive behavior by conducting periodic counseling to students who behave aggressively, as well instill a constructive way of solving problems and channeling emotions constructively with positive activities.

Keywords : Coping strategy, Adolescent, Aggressive behavior References: 26 (2003-2012)


(10)

x

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua manusia dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Atas nikmat-Nya dan karunia-Nya Yang Maha Besar sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Strategi Koping Pada Siswa Dengan Perilaku Agresif di SMP Negeri 9 Depok Tahun 2013”.

Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang peneliti jumpai namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(11)

xi

4. Ibu Maulina Handayani, S. Kp, M. Sc selaku pembimbing pertama yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan fikiran selama membimbing peneliti dan banyak sekali memberikan masukan dan bimbingan pada peneliti.

5. Ibu Irma Nurbaeti, S. Kp, M. Kep, Sp. Mat selaku pembimbing kedua yang

telah meluangkan waktu, tenaga, dan fikiran selama membimbing peneliti dan memberikan banyak masukan, pengetahuan, dan bimbingan pada peneliti.

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada peneliti selama duduk pada bangku kuliah serta staf akademik Bapak Azib Rosyidi, S.Psi dan Ibu Syamsiyah yang telah banyak membantu.

7. Kepala sekolah dan guru BK SMP Ganesa Satria Depok dan SMP Negeri 9

Depok yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.

8. Orang tua penulis tercinta yang selalu memberikan kasih sayang tak terhingga kepada anaknya, mendoakan serta memberikan dorongan dan masukan baik materiil maupun non materiil.

9. Seluruh teman-teman angkatan 2009 yang selalu saya sayangi, memberikan

makna kebersamaan, motivasi, dan membantu saya dalam melaksanakan tugas.

10. Serta semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan


(12)

xii

peneliti miliki, karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga peneliti dapat memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca yang mempergunakannya terutama untuk proses kemajuan pendidikan selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciputat, Oktober 2013


(13)

(14)

xiv

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENYATAAN PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA ILMIAH ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR BAGAN ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Pertanyaan Penelitian ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

1. Tujuan Umum ... 9

2. Tujuan Khusus ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 10

1. Bagi Profesi Keperawatan ... 10


(15)

xv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Konsep Remaja ... 12

1. Definisi Remaja ... 12

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 13

3. Tahap Perkembangan Remaja ... 14

B. Konsep Perilaku Agresif ... 19

1. Definisi Perilaku Agresif... 19

2. Rentang Respon Marah ... 20

3. Bentuk Perilaku Agresif ... 20

4. Penyebab Perilaku Agresif ... 22

C. Konsep Koping ... 26

1. Definisi Koping ... 26

2. Mekanisme Koping pada Stres... 27

3. Hasil Koping (Coping Outcome) ... 29

4. Penilaian Koping ... 30

D. Penelitian Terkait ... 31

E. Kerangka Teori... 35

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 36

A. Kerangka Konsep ... 36

B. Definisi Operasional... 37

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 39


(16)

xvi

D. Populasi dan Sampel ... 40

E. Teknik Pengambilan Sampel... 41

F. Instrumen Penelitian... 41

G. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 43

H. Tahapan Pengambilan Data ... 45

I. Teknik Analisis Data ... 46

J. Etika Penelitian yang Digunakan ... 48

BAB V HASIL PENELITIAN ... 50

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 50

B. Karakteristik Responden ... 50

1. Umur ... 51

2. Jenis Kelamin ... 51

3. Status Orang Tua ... 52

C. Strategi Koping ... 52

D. Strategi Koping Berdasarkan Karakteristik Responden ... 53

1. Strategi Koping Berdasarkan Umur ... 53

2. Strategi Koping Berdasarkan Jenis Kelamin... 54

3. Strategi Koping Berdasarkan Status Orang Tua ... 54

BAB VI PEMBAHASAN ... 55

A. Gambaran Karakteristik Responden di SMPN 9 Depok ... 55

B. Gambaran Strategi Koping Siswa dengan Perilaku Agresif di SMPN 9 Depok ... 57


(17)

xvii

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

1. Bagi Sekolah (SMPN 9 Depok) ... 64

2. Bagi institusi dan perawat ... 64

3. Bagi peneliti lain ... 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(18)

xviii

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian ... 37

Tabel 4.1 Blue Print Skala Strategi Koping ... 42

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ... 51

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Orang Tua ... 51

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Strategi Koping ... 52

Tabel 5.5 Strategi Koping Berdasarkan Umur ... 53

Tabel 5.6 Strategi Koping Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54


(19)

xix

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian ... 35 Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 36


(20)

xx

1. Lampiran 1 Lembar Persetujuan Responden

2. Lampiran 2 Kuesioner Penelitian

3. Lampiran 3 Hasil Uji Validitas 4. Lampiran 4 Hasil Penelitian

5. Lampiran 5 Kredit Poin Pelanggaran Siswa SMPN 9 Depok


(21)

1

A. Latar Belakang

Remaja adalah periode perkembangan di mana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, biasanya antara usia 11 sampai 20 tahun. Masa remaja terdiri atas tiga subfase yang jelas, yaitu: masa remaja awal (usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (usia 15 sampai 17 tahun), masa remaja akhir (usia 18 sampai 20 tahun). Remaja berusaha untuk mencari identitas diri agar tidak terjadi kebingungan identitas pada saat dewasa. Beberapa perubahan pada fisik dan maturasi seksual (pubertas) yang terjadi pada masa remaja sejalan dengan perubahan pada konsep diri, yang mengakibatkan remaja menjadi lebih sensitif (Potter & Perry, 2005; Wong, 2008; Stuart & Laraia, 2005). Suasana hati remaja cenderung berubah-ubah (emosi labil), terutama pada remaja awal fluktuasi emosi berlangsung lebih sering, sehingga frekuensi stres meningkat dalam menghadapi situasi dan konflik sehari-hari. Masa remaja sering dinyatakan sebagai masa “badai dan stres” (Santrock, 2007).

Karakteristik remaja lainnya adalah keinginan untuk mencoba segala sesuatu meningkat pada masa remaja (high curiosity). Mereka senang bereksperimen dan bereksplorasi terhadap sesuatu. Hubungan anak dengan orang tua yang mencapai titik terendah dan anak mulai melepaskan diri dari orang tua menyebabkan peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun. Remaja cenderung berkelompok dengan


(22)

teman sebayanya. Teman sebaya dipandang sebagai teman senasib, partner, dan saingan, oleh karena itu mereka mulai menyesuaikan diri dengan standar kelompok, seperti cara berpakaian, jenis musik, minat olahraga sehingga teman sebaya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku (Nasir, 2011).

Penyesuaian dan adaptasi dibutuhkan sebagai mekanisme koping terhadap perubahan simultan tersebut dan usaha untuk membentuk perasaan identitas yang matur (Potter & Perry, 2005). Salah satu strategi adaptasi yang penting dimiliki adalah kemampuan meregulasi dan mengontrol emosi dan perilaku. Kontrol diri yang rendah dapat berubah menjadi masalah-masalah perilaku. Dalam sebuah studi yang dinyatakan Block & Block (1980) dalam Santrock (2007), kontrol diri yang rendah pada anak-anak berkaitan dengan agresi yang lebih besar, kecenderungan mengolok-olok orang lain, reaksi berlebihan terhadap frustasi, rendahnya kooperasi, dan ketidakmampuan menunda kepuasan. Ditambah lagi, apabila remaja berkelompok dengan teman sebaya yang berperilaku agresif, besar kemungkinan remaja tersebut akan berperilaku agresif juga.

Penelitian yang dilakukan pada siswa-siswi kelas 1 reguler SMU Islam PB Sudirman, menunjukkan hasil bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara konformitas kelompok dengan perilaku agresif pada remaja. Semakin tinggi konformitas kelompok subjek, maka semakin tinggi pula perilaku agresifnya. Sebaliknya, semakin rendah konformitas kelompok subjek, maka semakin rendah pula perilaku agresifnya (Priantoro, 2012).


(23)

Perilaku agresif merupakan hasil kemarahan yang tinggi yang ditunjukkan dengan perilaku destruktif tapi terkontrol (Surbakti, 2008). Bentuk dari perilaku agresif di kalangan remaja meliputi perilaku agresi pasif (membolos sekolah, menentang aturan-aturan disiplin keluarga, kabur dari rumah, mencuri kecil-kecilan di toko) sampai perilaku agresi aktif dan kejahatan (vandalisme/merusak tanpa alasan, membakar rumah dengan sengaja, dan penyerangan secara fisik) (Rasalwati, 2010).

Fenomena tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku agresif yang sering terjadi pada remaja. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama Januari sampai September 2012 kasus tawuran yang terjadi di wilayah Jabodetabek sebanyak 103 kasus. Terdapat 48 pelajar mengalami luka ringan, 39 pelajar luka berat dan 17 pelajar meninggal dunia. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu terdapat 12 pelajar yang meninggal dunia. Sedangkan tingkat pendidikan pelaku tawuran terdiri dari, SD 2 kasus, SMP 19 kasus dan tingkat SMU/SMK 28 kasus. Sementara data dari Komnas Perlindungan Anak, tercatat pada tahun 2011, terdapat 339 kasus tawuran pelajar yang menyebabkan 82 pelajar meninggal dunia dan pada tahun 2012 jumlah tawuran pelajar memperlihatkan kenaikan, hingga bulan Juni tercatat terdapat 139 kasus tawuran pelajar di wilayah Jakarta (Zulkarnaen, 2012).

Selain itu, banyaknya geng motor di kalangan remaja juga termasuk ke dalam bentuk perilaku agresif remaja. Salah satunya adalah seperti yang diberitakan oleh Suarakarya online (2007) bahwa Polwiltabes Jawa Barat mencatat 12 kasus kriminal yang dilakukan oleh geng motor. Kasus tersebut


(24)

terdiri dari 6 kasus kekerasan, 5 kasus pengeroyokan, dan satu kasus penembakan senjata api rakitan terhadap masyarakat yang menyebabkan korban. Setidaknya ada lima geng motor di wilayah Jawa Barat, yaitu XTC (Exalt to Coitus), BRIGEZ (Brigade Seven), M2R (MoonRaker), GBR (Grab on the Road), dan Semut Merah (Masunah, 2011). Sementara itu, Lembaga Pengawas Kepolisian Indonesia (IPW) mencatat ada tiga perilaku buruk geng motor yaitu balapan liar, pengeroyokan dan judi berbentuk taruhan. Judi taruhan tersebut berkisar Rp 5-25 juta per sekali balapan liar. IPW juga mencatat aksi brutal yang dilakukan geng motor di Jakarta telah mengakibatkan sekitar 60 orang meninggal dunia setiap tahunnya. Mereka menjadi korban aksi balap liar, perkelahian, maupun korban penyerangan geng motor (Masunah, 2011).

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dampak negatif dari agresivitas remaja adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Remaja mengganggap bahwa perilaku agresif adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia. Hal ini juga dapat menyebabkan prestasi sekolah menurun dan cenderung mendapat catatan buruk di sekolah (http://www.kpai.go.id pada tanggal 10 Oktober 2012).

Menurut Sarwono dkk (2011), penyebab terjadinya agresivitas remaja antara lain faktor sosial (frustasi, provokasi verbal atau fisik, dan penggunaan alcohol), faktor personal (pola tingkah laku berdasarkan


(25)

kepribadian dan perbedaan jenis kelamin), faktor kebudayaan (lingkungan geografis, nilai dan norma dalam masyarakat), faktor situasional, faktor sumber daya, dan faktor media massa. Stres remaja meningkat terutama pada saat menghadapi konflik. Menurut Nasir (2011), stres adalah kondisi yang tidak menyenangkan di mana manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau di luar batasan kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut. Reaksi psikologis dari stres bisa dilihat dari tanda-tanda seperti tidak mau santai pada saat yang tepat, merasa tegang, tidak tahan terhadap suara atau gangguan lain, cepat marah atau mudah tersinggung, ingatan melemah, tidak mampu konsentrasi, daya kemauan berkurang, emosi tidak terkendali, dan reaksi berlebihan terhadap hal-hal kecil.

Menurut Wong (2008), stressor pada masa remaja antara lain, citra tubuh, tekanan dari sekolah, hubungan dengan orang tua, hubungan dengan saudara kandung, hubungan dengan teman sebaya, dan sebagainya. Begitu banyaknya stressor pada remaja dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya perilaku-perilaku menyimpang, seperti perilaku agresif. Ketidakmampuan remaja dalam mengantisipasi konflik dapat menimbulkan stres yang berkepanjangan yang akan mengarah pada frustasi yang kerap menjadi penyebab agresi (Nasir, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada siswa-siswi kelas I dan II SMAN 16 Surabaya yang berjumlah 285 orang pada tahun 2006, menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan (r = 0,141 ; p = 0,017) antara stres dan perilaku agresif pada remaja. Hal ini berarti semakin


(26)

tinggi stres, maka semakin tinggi perilaku agresif; sebaliknya, semakin rendah stres, maka semakin rendah pula perilaku agresif. Sumbangan efektif penelitian sebesar 2%, berarti ada 98% faktor lain yang menyebabkan perilaku agresif (Ridhwan, 2006). Sedangkan, penelitian lain yang dilakukan pada mahasiswa Fakultas Teknik Sipil UMM pada tahun 2002, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stres dengan agresivitas pada remaja (Yusnelly, 2006).

Banyaknya area stres pada remaja tersebut memicu suatu usaha untuk mengatasinya yang disebut koping. Menurut Stuart (2007), koping adalah tiap upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri. Strategi koping terbagi menjadi problem-focused coping dan emotion-focused coping. Kedua strateggi koping ini dapat memunculkan respon yang berbeda. Apabila strategi koping yang digunakan efektif, yaitu koping yang membantu seseorang untuk menoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya, maka respon yang akan muncul adaptif yaitu perilaku asertif. Sebaliknya jika koping yang digunakan tidak efektif, maka respon yang akan muncul maladaptif, seperti kemarahan yang berlebihan, perilaku agresif, depresi, bahkan bunuh diri (Nasir, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada siswa kelas XI SMK

Muhammadiyah 4 Boyolali, menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara koping stres dan persepsi pola asuh otoriter dengan kecenderungan perilaku agresi pada remaja yang dimoderasi oleh konformitas


(27)

teman sebaya. Kontribusi koping stress dan persepsi pola asuh otoriter terhadap kecenderungan perilaku agresi sebesar 15,6% (Anggaraningtyas dkk, 2013). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan pada 40 remaja SMA di Yogyakarta menunjukkan bahwa program manajemen amarah memiliki efek signifikan dalam perubahan agresi remaja (Siddiqah, 2010).

Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, remaja awal (usia 11-14 tahun) berada di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut Santrock (2007), transisi memasuki SMP dari SD dapat menimbulkan stres karena transisi ini terjadi secara simultan dengan banyak perubahan lain, baik di dalam diri individu, di dalam keluarga, dan di dalam sekolah. Ketika para siswa melalui transisi dari SD menuju SMP, mereka mengalami top-dog phenomenon, kondisi perubahan dari siswa yang paling tua, paling besar, dan paling kuat di SD, menjadi siswa yang paling muda, paling kecil, dan paling lemah di SMP. Sebuah studi menjelaskan bahwa di kelas tujuh para siswa kurang puas dengan sekolah, kurang memiliki komitmen terhadap sekolah, dan kurang menyukai guru-gurunya (Hirsch & Rapkin, 1987 dalam Santrock, 2007). Kurangnya minat siswa pada sekolah dapat menurunkan motivasi siswa untuk sekolah. Oleh karena itu, angka kejadian membolos sekolah dan melawan terhadap aturan-aturan sekolah (perilaku agresif) dapat meningkat.

Pemahaman perawat tentang perkembangan remaja merupakan poin penting yang dapat digunakan untuk melakukan prevensi perilaku agresif dan meningkatkan koping pada remaja. Serta dapat meningkatkan antisipasi orang tua terhadap perilaku menyimpang remaja. Seorang perawat, khususnya perawat komunitas dapat bekerja sama dengan Usaha Kesehatan Sekolah


(28)

untuk memberikan pendidikan kesehatan tentang proses perkembangan remaja dan teknik manajemen terhadap stres (koping) remaja, tidak hanya kepada siswa, tetapi juga kepada guru-guru dalam rangka pencegahan perilaku agresif di lingkungan sekolah.

Berdasarkan latar belakang di atas dan belum adanya penelitian yang berkaitan, maka penulis tertarik untuk melakukan studi penelitian mengenai strategi koping yang cenderung digunakan pada remaja dengan perilaku agresif di Sekolah Menengah Pertama dengan mengangkat judul “Strategi

Koping pada Siswa Dengan Perilaku Agresif di SMP Negeri 9 Depok”.

B. Perumusan Masalah

Perilaku agresif pada remaja semakin meningkat, seperti fenomena tawuran dan geng motor. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian, dan nilai-nilai hidup orang lain. Remaja menganggap bahwa perilaku agresif adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka. Proses pembelajaran siswa juga dapat terganggu dikarenakan banyakanya catatan pelanggaran dan menurunnya motivasi belajar.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di SMP Negeri 9 Depok didapatkan bahwa perilaku agresif siswa cenderung meningkat, terutama kejadian membolos sekolah. Berdasarkan buku pelanggaran di sekolah, masalah lain yang muncul selain membolos adalah saling mengejek antar siswa baik langsung maupun melalui media, pemalakan, pengancaman antar siswa (bullying), perkelahian dalam sekolah, pencurian, mencederai diri, dan


(29)

perusakan prasarana sekolah. Insiden tersebut tercatat dalam satu tahun terakhir. Hal tersebut rata-rata dipicu oleh kurangnya motivasi siswa karena kurang bisa mengikuti proses belajar di sekolah. Latar-belakang keluarga juga menjadi salah satu penyebab timbulnya pelangggaran-pelanggaran di sekolah, seperti perceraian orang-tua, masalah ekonomi, dan lain-lain.

Penelitian mengenai strategi koping yang cenderung digunakan oleh remaja dengan perilaku agresif belum ada padahal hal ini dapat dijadikan sebagai dasar menentukan intervensi yang tepat bagi remaja dengan perilaku agresif. Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah bagaimana strategi koping siswa dengan perilaku agresif di SMP Negeri 9 Depok.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik responden (usia, jenis kelamin, kelas, status orang tua, dan dukungan sosial) di SMP Negeri 9 Depok?

2. Bagaimana gambaran strategi koping yang digunakan siswa dengan

perilaku agresif di SMP Negeri 9 Depok?

3. Bagaimana gambaran strategi koping berdasarkan karakteristik

responden?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui strategi koping yang cenderung digunakan oleh siswa dengan perilaku agresif di SMP Negeri 9 Depok.


(30)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik responden (jenis kelamin, usia, kelas, status orang tua, dan dukungan sosial) di SMP Negeri 9 Depok. b. Mengetahui gambaran strategi koping yang digunakan siswa dengan

perilaku agresif di SMP Negeri 9 Depok

c. Mengetahui gambaran strategi koping berdasarkan karakteristik

responden

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu keperawatan terkait proses perkembangan remaja yang berhubungan dengan perilaku agresif.

2. Bagi Pelayanan Kesehatan

Penelitian ini dapat menjadi pedoman dalam upaya strategi promosi kesehatan yang tepat kepada siswa-siswi di sekolah yang memiliki perilaku agresif.

3. Bagi Sekolah

Penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan kepada sekolah dan juga guru Bimbingan Konseling (BK), agar dapat lebih memahami tahap perkembangan siswa-siswi yang berada pada masa remaja yang tentunya akan mempengaruhi sikap dan perilaku remaja tersebut. Selain itu, diharapkan sekolah dapat membuat suatu program untuk para siswanya yang difokuskan kepada kemampuan remaja


(31)

memecahkan masalah, mengatasi amarah, kontrol diri, memahami perasaannya, kemampuan sosial, kemampuan berkomunikasi, dan upaya yang harus dilakukan agar sukses dalam sekolah. Upaya pencegahan dan tindak lanjut yang dapat dilakukan, misalnya melakukan konsultasi dengan orang tua maupun murid yang memiliki kecenderungan perilaku agresif secara berkala.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan dasar bagi pengembangan penelitian selanjutnya terkait dengan strategi koping pada siswa dengan perilaku agresif.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan menggunakan desain penelitian deskriptif yang tujuannya untuk melihat strategi koping yang cenderung digunakan pada siswa dengan perilaku agresif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Subjek yang akan digunakan adalah siswa kelas 7 dan 8 SMP Negeri 9 Depok. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 9 Depok.


(32)

12

A. Konsep Remaja 1. Definisi Remaja

Remaja adalah periode perkembangan di mana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, biasanya antara usia 13 sampai 20 tahun (Perry & Potter, 2005). Menurut Soetjiningsih (2004), masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda.

Masa remaja, yang secara literatur berarti “tumbuh hingga mencapai kematangan”, secara umum berarti proses fisiologis, sosial, dan kematangan yang dimulai dengan perubahan pubertas, Masa remaja terdiri atas tiga subfase yang jelas, yaitu: masa remaja awal (usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (usia 15 sampai 17 tahun),

masa remaja akhir (usia 18 sampai 20 tahun). Masa remaja cenderung mulai dan berakhir lebih awal pada remaja putri daripada remaja putra (Wong, 2008).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah periode perkembangan dimana individu mengalami proses peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, yaitu usia 11


(33)

sampai 20 tahun, yang meliputi proses fisiologis, sosial, dan kematangan baik psikologis maupun seksual (pubertas).

2. Tugas Perkembangan Remaja

Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus diselesaikan. Tugas perkembangan yang muncul pada masa remaja tersebut akan memicu pertahanan diri seseorang, yang akan menstimulasi kemampuan beradaptasi yang baru untuk mengkopingnya atau akan mengarahkan kepada regresi dan respon koping yang maladaptif.

Menurut Havighurst (1972) dalam Stuart & Laraia (2005), tugas perkembangan yang harus diselesaikan selama masa remaja sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan yang baru dan lebih matur baik dengan sesama

jenis maupun lawan jenis;

b. Mencapai peran sosial maskulin atau feminine;

c. Menerima bentuk fisik dan menggunakan tubuh secara efektif; d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan dewasa lain;

e. Mempersiapkan untuk pernikahan dan kehidupan berkeluarga;

f. Mempersiapkan karir;

g. Memperoleh kumpulan nilai-nilai dan sistem etika sebagai panduan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.


(34)

3. Tahap Perkembangan Remaja

Pada masa remaja, seorang individu akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam dirinya, seperti perkembangan biologis, perkembangan psikososial, perkembangan kognitif, perkembangan moral, perkembangan spiritual, dan perkembangan sosial. Beberapa teori yang dirangkum dari Stuart & Laraia (2005), Potter (2005), dan Wong (2008) menggambarkan perkembangan masa remaja sebagai berikut.

a. Perkembangan Biologis

Rangkaian perubahan biologis yang terjadi pada masa adolesens disebut pubertas. Pubertas meliputi kumpulan peristiwa biologis yang menghasilkan perubahan di seluruh tubuh. Perubahan fisik pada pubertas yang paling utama merupakan hasil dari aktivitas hormon yang diatur oleh system saraf pusat, sehingga perubahan tersebut jatuh ke dalam 2 kategori yaitu: perkembangan hormonal dan perkembangan otak (Potter, 2005).

Pada perkembangan hormonal terjadi peningkatan produksi hormon sehingga mengakibatkan perkembangan pada kemampuan reproduksi dan karakteristik seks sekunder lainnya. Perubahan fisik termasuk pertumbuhan rambut pubis, pembesaran payudara, dan menarche pada wanita. Sedangkan pada laki-laki terjadi perkembangan genitalia, pertumbuhan rambut pubis, perubahan suara, dan munculnya rambut di wajah (Stuart & Laraia, 2005).

Pada perkembangan otak terjadi proliferasi pada sel-sel yang menahan dan memberi makan neuron, walaupun jumlah neuron tidak


(35)

bertambah. Pertumbuhan selubung myelin di sekitar sel saraf akson berlanjut sampai dengan remaja, yang memungkinkan proses persarafan lebih cepat. Selain itu, interkoneksi antara neuron yang berdekatan menurun, sehingga kemungkinan hubungan saraf yang berlebihan atau tidak tepat juga hilang (Stuart & Laraia, 2005).

Menurut Stuart & Laraia (2005), perubahan biologis dapat mengganggu keseimbangan antara ego dan id, dan perlu di atasi dengan solusi baru. Perubahan fisik yang terjadi pada remaja berdampak pada perubahan psikologis terutama emosi seperti, tidak percaya diri, malu, marah, tidak sabar, malas, gelisah, serta perubahan keinginan. Perubahan emosi pada remaja pria lebih sering pada remaja putri.

b. Perkembangan Psikososial

Menurut Erikson (1963) dalam Stuart & Laraia (2005), masa remaja digambarkan sebagai usaha untuk membangun suatu identitas dalam lingkungan sosial. Pencarian tersebut merupakan krisis masa remaja yang normal dan disebut sebagai tahap identitas vs kebingungan identitas. Remaja perlu menemukan identitas mereka sebelum masa dewasa awal agar tidak terjadi kebingungan identitas. Pencarian identitas pada masa remaja meliputi:

1) Identitas kelompok

Peran kelompok pada masa remaja sangatlah penting. Remaja cenderung melepaskan diri dari orang tua dan mencari kesenangan dengan bergabung bersama teman sebayanya. Pada


(36)

saat berkelompok, remaja merasa memiliki status dan eksistensi. Menurut Wong (2008), remaja akan berpakaian dan merias wajahnya seperti teman-teman sekelompoknya. Mereka akan mengikuti gaya sesuai dengan minat mereka dan akan mangambil paling tidak satu orang untuk dijadikan role model bagi mereka. Menjadi individu yang berbeda akan membuat mereka tidak diterima dalam kelompok yang nantinya akan menjadi sebuah stressor bagi individu tersebut.

2) Identitas individual

Pencarian identitas individu merupakan bagian dari proses identifikasi yang sedang berlangsung. Orang-orang penting bagi remaja tak luput dari pembentukan identitas remaja. Mereka cenderung akan mengharapkan remaja untuk memiliki perilaku tertentu yang dianggap baik. Selain itu, remaja juga diharapkan memenuhi tuntutan untuk sesuai dengan adat dan norma tertentu

agar tidak menyimpang dari masyarakat. Seringkali

pengharapan dan tuntutan itu terus-menerus ada dan mengharuskan remaja untuk mengambil keputusan terhadap pembentukan identitas mereka. Remaja bisa saja mengikuti tuntutan tersebut, tetapi apabila mereka tidak dapat dan menganggap tuntutan tersebut stressor yang tidak sesuai pada diri mereka, mereka justru akan menyimpang dari harapan dan tuntutan tersebut (Wong, 2008).


(37)

Menurut Wong (2008), proses perkembangan identitas pribadi merupakan proses yang memakan waktu dan penuh dengan periode kebingungan, depresi, dan keputusasaan. Identitas yang positif dapat terbentuk apabila remaja dapat menempatkan diri pada tempat yang sesuai. Kebingungan identitas akan terjadi apabila remaja tersebut tidak dapat memformulasikan kepuasan identitas dari berbagai aspirasi, peran, dan identifikasi.

3) Identitas peran seksual

Pada masa remaja, identitas peran seksual menjadi penting. Mereka diharapkan untuk memiliki peran seksual yang matang untuk membangun keintiman di lingkungan teman sebaya. Hubungan dengan lawan jenis juga menjadi fokus utama pada masa remaja (Stuart & Laraia, 2005).

4) Emosionalitas

Pada masa remaja, terjadi peningkatan kehidupan emosinya di mana remaja sangat peka, perasaan mudah tersinggung. Di saat muncul ketegangan, remaja cenderung akan berespon secara emosional. Jika emosi sudah mereda, maka masalah mungkin bisa terselesaikan. Bila tidak terjadi kematangan emosi, remaja cenderung akan mengalami kecemasan dan perasaan tertekan. Perilaku yang seringkali muncul adalah agresif, mudah marah, keras kepala, sering


(38)

bertengkar, suka berkelahi, mengganggu ketentraman orang lain dan masyarakat (Wong, 2008).

c. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (1968) dalam Stuart & Laraia (2005), masa remaja sebagai tahap lanjut dari fungsi kognitif di mana kemampuan pertimbangan di luar objek konkret menjadi simbol atau abstraksi, atau biasa disebut formal thought (Peemikiran formal). Saat ini, remaja mampu dalam berpikir secara logis, metafora, dan rasional.

d. Perkembangan Moral

Menurut Kohlberg dalam Stuart & Laraia (2005), moralitas remaja berada pada tingkatan kedua yaitu Moralitas Konvensional.

Pada periode ini remaja dituntut untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompok, loyal terhadap norma, dan peraturan yang berlaku dan diyakininya, yang bertujuan untuk memenuhi kepuasan psikologis dari orang lain. Pada masa ini, remaja peka terhadap suatu kejanggalan dan ketidakseimbangan antara kepercayaannya dan kenyataan yang ada di sekitarnya. Perubahan inilah yang mendasari sikap “pemberontak” pada remaja terhadap peraturan atau orientasi yang selama ini diterimanya.

e. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial pada masa remaja memungkinkan remaja mampu untuk memahami orang lain. Selain itu, berkembang pula kecenderungan untuk mengikuti pendapat, kebiasaan, nilai, dan kegemaran teman sebaya. Remaja cenderung “ikut-ikutan” dan


(39)

belum mampu menilai dampaknya bagi mereka. Bila kelompok teman sebaya berperilaku positif, maka remaja akan ikut menampilkan perilaku postif. Sebaliknya, bila kelompok teman sebaya berperilaku negatif, maka kemungkinan besar remaja akan menampilkan perilaku yang negatif juga (Potter, 2005).

B. Konsep Perilaku Agresif 1. Definisi Perilaku Agresif

Perilaku agresi merupakan perilaku melukai dan merusak hak milik seseorang, dapat berupa tindakan fisik maupun tingkah laku verbal, mulai dari pikiran, perkataan hingga perbuatan nyata (Bandura, 1973 dalam Luthfi, 2009). Sedangkan menurut Berkowitz (2001) dalam Sarwono dkk (2011), agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja.

Secara umum, orang yang agresif mengabaikan hak orang lain. Dia menganggap bahwa setiap orang harus berjuang untuk kepentingannya sendiri, dan dia mengharapkan perilaku yang sama dari orang lain. Perilaku yang agresif sering mencakup kurangnya dasar kepercayaan diri (Stuart & Sundeen, 1991). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah perasaan marah yang berlebihan dan berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam satu bentuk tertentu baik langsung maupun tidak langsung pada objek tertentu yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.


(40)

2. Rentang Respon Marah

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk/PK

a. Asertif: mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan.

b. Frustasi: gagal mencapai tujuan kepuasan/saat marah dan tidak dapat menemukan alternative

c. Pasif: merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan meyerah

d. Agresif: mengekspresikan marah secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong orang lain dengan ancaman.

e. Amuk/Perilaku Kekerasan: perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol, disertai amuk, merusak lingkungan.

(Stuart & Laraia, 2005)

3. Bentuk Perilaku Agresif

Bentuk-bentuk agresi yang dirangkum dari pembagian agresi Geen (1998), Olweus (2003), serta Sullivan (2000) membagi agresi ke dalam dua bentuk besar, yaitu:

a. Agresi langsung (direct aggression) yaitu agresivitas yang dilakukan secara terang-terangan, ditujukan secara langsung kepada korban dan dengan jelas berasal dari agresor.


(41)

1) Fisik yaitu memukul, menendang, mendorong, menjambak,

menonjok, mencubit, menjegal/menyengkat, meludahi,

mengunci seseorang, menggigil, merusak/mengambil paksa barang orang lain.

2) Verbal seperti meledek, menghina dengan perkataan,

mengancam dengan perkataan, ancaman kekerasan, pemberian

nama ejekan, menghina/mengganggu dengan sengaja,

mengkritik penampilan di depan orang.

b. Agresi tidak langsung (indirect aggression) yaitu agresivitas yang dilakukan dengan samar-samar tanpa diketahui oleh korban agresi atau orang lain.

1) Merusak reputasi/status sosial: menyebarkan gossip tidak benar, memfitnah, menulis dan menyebarkan catatan jelek tentang orang lain, membuka dan menyebarkan rahasia orang lain. 2) Merusak atau manipulasi hubungan: mengucilkan, menghasut,

merebut teman/sahabat orang lain, acuh tak acuh, mengancam akan memusuhi atau menjauhi.

3) Non verbal seperti ekspresi wajah yang menghina, contohnya mencibirkan bibir, memandang sinis, tersenyum mengejek. Berdasarkan motifnya, menurut Sears dkk (1991) dalam Luthfi (2009), agresi dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu:

a. Hostile aggression (agresi amarah/emosi)

Yaitu agresi yang didasarkan pada motif/dorongan untuk melampiaskan amarah atau emosi. Kemarahan yang tidak dapat


(42)

tersalurkan akhirnya akan terwujud dalam perilaku melukai orang lain. Karakteristik ini menunjukkan bahwa tujuan dari perilaku agresi adalah ekspresi rasa marah atau frustasi yang dialami atau untuk pelampiasan emosi itu sendiri.

b. Instrumental aggression

Yaitu agresi yang ditujukan sebagai alat atau sarana dalam mencapai tujuan yang lain. Agresi yang muncul semata-mata digunakan sebagai media mencapai tujuan tertentu.

4. Penyebab Perilaku Agresif a. Faktor Internal

1) Neurobiologi

Freud manyatakan bahwa manusia berada di bawah pengaruh dua kendali tersebut, yang pertama adalah insting untuk hidup yang dinyatakan melalui seksualitas, yang kedua adalah insting kematian yang diungkapkan melalui agresi (Stuart & Sundeen, 2007). Hasil studi menyatakan bahwa serotonin berperan sebagai inhibitor utama pada perilaku agresif. Dengan demikian, kadar serotonin yang rendah dapat menyebabkan peningkatan perilaku agresif. Selain itu peningkatan aktivitas dopamin dan norepinefrin diotak dikaitkan dengan peningkatan perilaku kekerasan yang impulsif (Baron & Donn, 2005). Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif:


(43)

serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino GABA.

2) Genetik

Kelompok ini menganggap bahwa agresi adalah sesuatau yang terdapat dalam biologis seseorang. Terdapat 2 tokoh yang mengembangkan pandangan ini, yaitu: (1) Moyer beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu proses yang ada di dalam otak dan saraf pusat. Orang-orang yang memiliki kecenderungan agresivitas tinggi memiliki struktur dan komponen otak yang berbeda dengan orang beragresivitas rendah. Selain itu, agresi terkait dengan hormon testosteron yang tinggi; (2) Lagerspetz (1979), berdasar pada teori Mendell, bahwa agresi adalah karakter atau sifat yang diturunkan dari orang tua ke anak dan seterusnya. Orang tua yang agresi, maka anaknya akan agresi pula (Luthfi, 2009).

3) Frustasi

Menurut Frustation-aggresion theory, teori ini

dikembangkan oleh pengikut Freud, yang berawal dari asumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Kondisi


(44)

di mana seseorang merasa jalan yang akan ditempuh untuk meraih tujuan dihambat, dapat menyebabkan individu yang impulsif, mudah frustasi, dan rentan terhadap perilaku agresif (Nasir, 2011).

4) Stres

Menurut Luthfi (2009), stres menunjuk kepada segenap proses, baik yang bersumber pada kondisi-kondisi internal seperti kondisi emosional, pengaruh hormon, dan lain-lain yang bersifat faali, maupun lingkungan eksternal seperti perubahan sosial dan memburuknya kondisi perekonomian. Hal-hal

tersebut dapat memberikan andil bagi meningkatnya

kriminalitas, termasuk didalamnya tindak kekerasan atau agresi, yang menuntut penyesuaian atas organisme.

5) Kepribadian/personality

Individu dengan kepribadian otoriter memiliki

kecenderungan agresi lebih tinggi. Demikian juga halnya dengan orang yang bertemperamen pemarah, memiliki kecenderungan agresi lebih tinggi dibandingkan temperamen bukan pemarah (Luthfi, 2009).


(45)

b. Faktor Eksternal 1) Provokasi

Provokasi adalah perkataan atau tindakan yang dianggap menghina atau mengancam keselamatan individu yang melakukan agresi. Provokasi dianggap sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif. Selain itu, berdasarkan penelitian Green (1968), jika seseorang mendapat provokasi (penghinaan) terhadap harga dirinya maka ia akan cenderung bersikap agresif kepada provokator (Luthfi, 2009).

2) Sosial Budaya

Social-Learning Theory; teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal: seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh ekternal: seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang


(46)

dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka (Yosep, 2007)

Budaya dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekpresikan marah dengan cara yang asertif.

3) Situasional

Alkohol, kondisi cuaca, dan pergantian musim dapat menimbulkan perilaku agresif. Kebanyakan hasil penelitian yang terkait dengan konsumsi alcohol menunjukkan kenaikan agresivitas (Hull dan Bond, dalam Sarwono, 2011). Selain itu, penelitian terkait dengan cuaca dan tingkah laku menyebutkan bahwa ketidaknyamanan akibat panas menyebabkan kerusuhan dan bentuk-bentuk agresi lainnya (Harries K, 1983 dalam Sarwono, 2011).

C. Konsep Koping 1. Definisi Koping

Saat individu mengalami stres diperlukan suatu tindakan untuk menyelesaikannya agar tidak timbul respon yang maladaptif, seperti kemarahan yang berlebihan, perilaku agresif, depresi, bahkan bunuh diri. Usaha penyelesaian tersebut merupakan bagian dari koping. Menurut


(47)

Nasir (2011), koping merupakan suatu tindakan mengubah kognitif secara konstan dan usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Sedangkan menurut Stuart (2007), mekanisme koping adalah tiap upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri.

Koping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun, koping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, koping yang efektif untuk dilakukan adalah koping yang membantu seseorang untuk menoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus dan Folkman, 1984 dalam Nasir, 2011).

2. Strategi Koping Stres

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) dalam Nasir (2011), dalam melakukan koping, ada dua strategi yang bisa digunakan.

a. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.


(48)

1) Confrontative coping: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan risiko.

2) Seeking social support: usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

3) Planful problem solving: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.

b. Emotion Focused Coping

Emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.

1) Self-control: usaha untuk mengatur perasaan ketiika menghadapi situasi yang menekan.

2) Distancing: usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan 3) Positive reappraisal: usaha mencari makna postif dari

permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanaya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religious.

4) Accepting responsibility: usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.


(49)

5) Escape/avoidance: usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain.

3. Hasil Koping (Coping Outcome)

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) dalam Nasir (2011), agar koping efektif, maka strategi koping perlu mengacu pada lima fungsi tugas koping yang disebut coping task, yaitu sebagai berikut.

a. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya.

b. Menoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.

c. Mempertahankan gambaran diri yang positif.

d. Mempertahankan keseimbangan emosional.

e. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.

Menurut Taylor (1991) dalam Nasir (2011), efektifitas koping bergantung pada keberhasilan pemenuhan coping task. Setelah koping dapat memenuhi sebagian atau semua fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping outcome yang dialami tiap individu. Coping outcome merupakan kriteria hasil koping untuk menentukan keberhasilan koping, yaitu sebagai berikut.

a. Ukuran fungsi fisiologis, yaitu apabila koping yang digunakan dapat mengurangi indikator dan membangkitkan (arousal) stres seperti


(50)

menurunnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

b. Individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia mengalami stres dan seberapa cepat ia dapat kembali.

c. Efektifitas dalam mengurangi psychological distres, yaitu apabila koping tersebut dapat mengurangi rasa marah, cemas, dan depresi pada individu.

4. Penilaian Koping

Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai mekanisme koping pada remaja adalah sebagai berikut.

a. Ways of Coping Checklist, dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman (1984), adalah skala yang berisi 67 item dengan 4 poin penilaian berdasarkan skala Likert (0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = sering, 3 = selalu). Faktor analisis terbagi menjadi problem-focused coping (misalnya, problem solving dan menyusun rencana tindakan) dan emotion-focused coping (misalnya, mencari dukungan sosial dan avoidance). Koefisien alpha berkisar dari 0,53 sampai 0,69 saat digunakan kepada laki-laki berusia 19-63 tahun (Folkman, dkk, 1992 dalam Rew, 2005).

b. Adolescent Coping Orientation for Problem Experiences (A-COPE), dikembangkan oleh Patterson & McCubbin (1987), digunakan untuk mengukur perilaku koping pada remaja berusia 11-18 tahun dan berisi 54 item pernyataan dengan 5 poin penilaian menggunakan


(51)

skala Likert (1 = tidak pernah, 2 = jarang, 3 = kadang-kadang, 4 = sering, 5 = selalu). Koefisien alpha untuk 12 subskala berkisar dari 0,50 sampai 0,75 (McCubbin & Thompson, 1991 dalam Rew, 2005). c. Adolescent Coping Scale (ACS), dikembangkan oleh Frydenberg & Lewis (1993), digunakan untuk remaja antara 12-18 tahun. Terdapat 2 versi, yaitu long form (80 item) dan short form (19 item) (Rew, 2005).

D. Penelitian Terkait

Beberapa penelitian terkait yang ditemukan menyangkut hubungan stres dan koping dengan perilaku agresif remaja di sekolah adalah sebagai berikut:

1. Ridhwan (2006); Hubungan Antara Stres dan Perilaku Agresif Pada Remaja

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari siswa-siswi kelas I dan II SMAN 16 Surabaya yang berjumlah 285 orang. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik Cluster Random Sampling, Cluster adalah kelas-kelas I dan II yang ada, dan random dilakukan dengan sistem undian. Instrumen yang digunakan adalah skala pengukuran psikologi yang terdiri dari skala stres dan skala perilaku agresif. Analisa data menggunakan teknik korelasi Product Moment.

Hasil penelitian ini menunjukkan ada korelasi positif yang signifikan (r = 0,141 ; p = 0,017) antara stres dan perilaku agresif pada remaja, dalam arti semakin tinggi stres, maka semakin tinggi perilaku agresif; sebaliknya, semakin rendah stres, maka semakin rendah pula


(52)

perilaku agresif. Sedangkan sumbangan efektif penelitian sebesar 2%, berarti ada 98% faktor lain yang menyebabkan perilaku agresif.

2. Yusnelly (2006); Hubungan Antara Stres dengan Agresivitas pada Remaja

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara stres dengan agresivitas pada remaja. Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Teknik Sipil UMM angkatan 2002. Data diperoleh dengan menyebarkan skala stres dan skala agresivitas. Uji validitas kedua skala menggunakan product moment dari Karl Pearson dan uji reliabilitas menggunakan teknik alpha, sedangkan analisa data yang digunakan Product Moment. Hasil analisa data dalam penelitian ini menunjukan ada hubungan yang signifikan antara stres dengan agresivitas pada remaja (r = 0,717 dan p = 0,001) serta koefisien korelasi variabel stres dengan agresivitas (r 2 – 0,514).

3. Anggaraningtyas, et al (2013); Hubungan antara Koping Stres dan

Persepsi Pola Asuh Otoriter dengan Kecenderungan Perilaku Agresi pada Remaja yang dimoderasi oleh Konformitas Teman Sebaya pada Siswa Kelas XI SMK Muhammadiyah 4 Boyolali

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara koping stres dan persepsi pola asuh otoriter dengan kecenderungan perilaku agresi pada remaja yang dimoderasi oleh konformitas teman sebaya pada siswa kelas XI di SMK Muhammadiyah 4 Boyolali. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMK Muhammadiyah 4 Boyolali. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan empat skala, yaitu


(53)

skala kecenderungan perilaku agresi, skala koping stres, skala persepsi pola asuh otoriter dan skala konformitas teman sebaya. Analisis data menggunakan metode analisis regresi linear berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F = 9,108, p 0,05, dan nilai R = 0,395. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu ada hubungan yang signifikan antara koping stres dan persepsi pola asuh otoriter dengan kecenderungan perilaku agresi pada remaja yang dimoderasi oleh konformitas teman sebaya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nilai F sesudah dimoderasi lebih besar dari nilai F sebelum dimoderasi (9,108 > 8,411). Ini berarti bahwa konformitas teman sebaya sebagai variabel moderasi memperkuat hubungan koping stres dan persepsi pola asuh otoriter dengan kecenderungan perilaku agresi. Kontribusi koping stress, persepsi pola asuh otoriter terhadap kecendrungan perilaku agresi sebesar 15,6%.

4. Siddiqah (2010); Pencegahan dan Penanganan Perilaku Agresif Remaja

Melalui Pengelolaan Amarah (Anger Management)

Studi ini menguji efektifitas program manajemen amarah untuk

mereduksi risiko agresi remaja. Melalui pendekatan

cognitive-behavioural, program dirancang untuk mengolah aspek kognitif, afektif, dan perilaku bersamaan untuk mengatur amarah dan menghadapi situasi provokatif tanpa agresi. 40 partisipan dalam grup eksperimen mengikuti 8 sesi program manajemen amarah dalam 4 minggu, dan 14 partisipan dalam grup kontrol tidak mendapatkan tindakan apapun. Pengukuran


(54)

agresi dilaksanakan sebelum program dimulai dan seminggu setelah program berakhir. Dengan Anova Mixed Design, hasil menunjukkan bahwa program manajemen amarah memiliki efek signifikan dalam perubahan agresi partisipan [F(1,22)=6.300, p<0.05, ŋ2=0.06]. Perubahan agresi pada grup eksperimen membuktikan bahwa program manajemen amarah memiliki arti dan berguna dalam mereduksi agresi pada remaja. Di sisi lain, agresi lebih tinggi pada post-test grup kontrol membuktikan bahwa agresi akan meningkat jika tidak ada perlakuan untuk remaja dengan agresi tingkat tinggi. Studi selanjutnya dengan sampel yang lebih banyak akan mampu mendeteksi kontribusi signifikan program manajemen amarah untuk mereduksi perilaku agresif pada remaja.


(55)

E. Kerangka Teori

Kerangka teori akan disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut.

Input Proses Output

`

Bagan 2.1 Kerangka teori penelitian

Sumber: Wong (2008), Nasir (2011), Stuart & Laraia (2005), Luthfi (2009), Stuart (2007), Videback (2008)

Karakteristik remaja:

1. Masa pencarian identitas 2. Perubahan citra tubuh

3. Perubahan hubungan

dengan orang tua, saudara kandung, dan teman sebaya

4. Konflik individu

5. Tuntutan perilaku sesuai adat dan norma dalam masyarakat

6. Tekanan dari sekolah

Kenakalan Remaja (Perilaku Agresif)

Remaja sulit melakukan fungsi dalam situasi

sosial

Strategi Koping

1. Problem focused coping 2. Emotion focused coping Kurang mampu berespon dalam menghadapi konflik dan kehilangan kemampuan

untuk mengendalikan diri saat tertekan secara


(56)

36

KARAKTERISTIK RESPONDEN

1. Umur

2. Jenis Kelamin

3. Kelas

4. Status Orang Tua

STRATEGI KOPING

1. Problem focused coping 2. Emotion focused coping

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2008). Penelitian ini menggambarkan karakteristik responden dan strategi koping yang digunakan oleh siswa dengan perilaku agresif, yang terbagi menjadi problem focused coping dan emotion focused coping di SMP Negeri 9 Depok.

Bagan 3.1 Kerangka konsep penelitian


(57)

B. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Karakteristik Responden

Karakteristik

responden terdiri dari umur, jenis kelamin, kelas, dan status orang tua.

Menggunakan skala Likert pada masing-masing karakteristik.

Kuesioner data

demografi yang terdiri dari umur, jenis kelamin, kelas, dan status orang tua.

 Umur

 Jenis kelamin

 Kelas

 Status orang tua

Nominal

Strategi koping

Strategi koping adalah

suatu usaha untuk

mengatasi stres yang

terbagi menjadi

problem-focused coping dan emotion-focused coping.

Menghitung skor dari

pernyataan tentang

mekanisme koping

remaja menggunakan

skala Likert Pernyataan positif (1) Tidak pernah (2) Jarang

(3) Kadang-kadang (4) Sering

(5) Selalu

Pernyataan negatif (5) Tidak pernah (4) Jarang

(3) Kadang-kadang (2) Sering

(1) Selalu

Kuesioner mekanisme

koping remaja

menggunakan A-COPE

yang dikembangkan

oleh Patterson &

McCubbin (1987) berisi 54 pernyataan, yang

terdiri dari 27

pernyataan

problem-focused coping dan 27

pernyataan

emotion-focused coping. Skor tertinggi untuk

masing-masing mekanisme

koping adalah 135 dan skor terendah 27.

 Jika skor problem-focused coping > skor emotion-focused coping, maka cenderung problem-focused coping.  Jika skor

problem-focused coping < skor emotion-focused coping, maka cenderung emotion-focused coping.  Jika skor

problem-focused coping = skor emotion-focused coping, maka yang digunakan kedua-duanya.

Nominal


(58)

39

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan desain deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian kuantitatif dengan tujuan untuk mendeskripsi variabel-variabel utama subjek studi misalnya, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status marital, sosial ekonomi, dan lain yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Budiarto, 2004). Pada penelitian ini akan memberikan gambaran strategi koping yang digunakan siswa dengan perilaku agresif.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di SMP Negeri 9 Depok pada siswa-siswi kelas 7 dan 8. Lokasi penelitian dipilih dengan pertimbangan kejadian perilaku agresif siswa meningkat selama setahun terakhir, seperti kejadian membolos siswa, pemalakan, dan perkelahian. Selain itu, beberapa siswa mengatakan kurang bisa mengikuti proses belajar di sekolah dan latar belakang keluarga yang bermasalah sehingga dapat meningkatkan stressor yang mempengaruhi strategi koping yang digunakan.

C. Waktu Penelitian

Penelitian mulai dilaksanakan pada bulan Mei - Juli 2013, mulai dari pengambilan data sampai penyusunan hasil sesuai jadwal yang dilampirkan.


(59)

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Hidayat, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi yang berperilaku agresif di SMP Negeri 9 Depok yang berjumlah 46 siswa. Pemilihan responden disesuaikan dengan sistem kredit poin pelanggaran siswa dengan kriteria sebagai berikut:

a. Siswa laki-laki dan perempuan

b. Siswa adalah rekomendasi dari guru bimbingan konseling (BK) atau wali kelas

c. Pernah tercatat dalam buku pelanggaran sekolah dengan bentuk pelanggaran, seperti membolos (lebih dari 3 kali), bullying,

perkelahian/pemukulan, pemalakan/pengancaman, tawuran dan

perusakan sarana dan prasarana sekolah selama 12 bulan terakhir.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007). Sampel penelitian ini adalah populasi siswa-siswi yang berperilaku agresif di SMP Negeri 9 Depok yang berjumlah 46 siswa.


(60)

E. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. Total Sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Dahlan, 2010). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah jumlah populasi siswa dengan perilaku agresif yang berjumlah 46 siswa, yang terdiri dari siswa kelas VII sebanyak 36 siswa dan siswa kelas VIII sebanyak 10 siswa.

F. Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan untuk pengumpulan data adalah kuesioner yang memuat sejumlah pertanyaan berkaitan dengan variabel penelitian berdasarkan tujuan dan kerangka konsep yang telah dibuat. Instrumen pengumpulan data terdiri dari 2 bagian, yaitu:

1. Data personal responden

Identitas siswa meliputi nama (inisial), umur, jenis kelamin, kelas, status perkawinan orang tua, dan status dukungan sosial.

2. Kuesioner strategi koping remaja

Kuesioner strategi koping remaja bertujuan untuk mengidentifikasi strategi koping yang digunakan siswa-siswi ketika menghadapi tekanan atau stres sehingga dapat menyebabkan perilaku agresif. Kuesioner yang digunakan adalah A-COPE (Adolescent-Coping Orientation for Problem Experiences) yang dikembangkan oleh Patterson & McCubbin (1987) dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh Fairuz (2013).


(61)

Kuesioner ini pernah digunakan sebelumnya dalam penelitian Astutik (2008) dengan judul “Perbedaan Coping Strategy Remaja Ditinjau dari Peran Gender”. A-COPE memiliki koefisien alpha untuk 12 subskala berkisar dari 0,50 sampai 0,75 (McCubbin & Thompson, 1991 dalam Rew, 2005). Kuesioner ini dinilai baik untuk pengukuran koping terhadap stres hidup pada tahap perkembangan spesifik remaja (Schwarzer & Schwarzer, 1996).

Pada kuesioner A-COPE terdapat 54 item pernyataan, yang terdiri 12 subskala perilaku koping, kemudian dipilih oleh peneliti menjadi 27 item pernyataan problem-focused coping dan 27 item pernyataan emotion-focused coping. Kuesioner menggunakan skala Likert, yaitu 1 = tidak pernah, 2 = jarang, 3 = kadang-kadang, 4 = sering, 5 = selalu untuk pernyataan positif. Untuk reverse question (negatif), yaitu 5 = tidak pernah, 4 = jarang, 3 = kadang-kadang, 2 = sering, 1 = selalu untuk pernyataan positif.

Tabel 4.1 Blue Print Skala Strategi Koping

Aspek Nomor item Jumlah

Positif Negatif

Problem-focused coping

1, 4, 6, 10, 12, 13, 15, 18, 25, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 39, 40,

41, 45, 47, 50, 52

19, 26, 28, 49 27

Emotion-focused coping

2, 3, 5, 9, 11, 14, 16, 17, 20, 21, 22, 23, 29, 36, 37, 38, 43, 44,

48, 51, 53, 54

7, 8, 24, 42, 46 27

Jumlah 45 9 54

Skala ukur yang digunakan dalam variabel ini adalah skala interval. Kategorisasi strategi koping ditentukan berdasarkan skor tertinggi yang


(62)

diperoleh pada salah satu dari 2 strategi koping. Apabila skor problem-focused coping > skor emotion-focused coping, maka problem-focused coping. Apabila skor problem-focused coping < skor emotion-focused coping, maka emotion-focused coping. Apabila skor yang diperoleh sama pada kedua jenis koping, maka akan dilakukan analisa lebih lanjut dari frekuensi jawaban selalu yang lebih banyak. Sebagai contoh apabila skor yang diperoleh oleh responden setelah mengisi A-COPE didapatkan skor problem-focused coping adalah 100, sedangkan skor emotion-focused coping adalah 40. Maka strategi koping yang digunakan responden tersebut adalah problem-focused coping.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji validitas

Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2002). Sebuah instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan atau dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Pengujian validitas kuesioner dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiap item pertanyaan dengan skor total tiap kelompok soal dengan

menggunakan uji Pearson Product Moment dengan rumus sebagai

berikut :

√[ ] [ ]

Keterangan :


(63)

= jumlah skor item

= jumlah skor total (item)

= jumlah responden

Hasil penghitungan tiap-tiap item akan dibandingkan dengan tabel nilai product moment. Jika R hitung lebih besar dari table R tabel pada taraf signifikansi 5% maka instrumen yang diujicobakan dinyatakan valid.

Peneliti melakukan uji coba kuesioner pada 23 responden, kemudian hasilnya dianalisa dengan menggunakan rumus teknik korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan SPSS 17.00 for windows. Dari hasil analisa uji coba kuesioner pertama dengan df=23 dan α=5% sehingga didapatkan r tabel 0,34 dan menunjukkan bahwa hanya 27 item kuesioner yang memenuhi nilai r hitung > r tabel yang berarti hanya 27 item yang valid dan 27 item tidak valid. Kemudian peneliti melakukan perbaikan kalimat tanpa mengubah maksud pada 27 item yang tidak valid dan dilakukan uji coba kuesioner kembali. Dari hasil analisa uji coba kuesioner kedua didapatkan nilai r hitung > r tabel pada semua item kuesioner yang berarti semua item valid.

2. Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Hal ini menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih dengan alat ukur yang sama


(64)

(Notoatmodjo, 2002). Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan internal consistency yaitu melakukan uji coba sekali saja. Kemudian hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach.

Rumus :

[ ] [ ]

Keterangan :

= Koefisien reliabilitas yang dicari

k = banyak butir pertanyaan atau banyaknya soal

= jumlah varians butir

= Varian total

Uji reliabilitas dilakukan dengan membandingkan antara r tabel dengan r hasil (nilai Alpha). Instrumen dikatakan reliabel jika r hasil (nilai Alpha) > r tabel.

Dari hasil uji realibilitas yang telah dilakukan oleh peneliti di SMP Ganesa Satria Depok terhadap 23 responden didapat nilai Alpha Cronbach (α) sebesar 0,808 (> 0,7), maka dapat dinyatakan bahwa kuesioner strategi koping reliabel dan dapat digunakan.

H. Tahapan Pengambilan Data

Tahap-tahap prosedur pengumpulan data antara lain:

1. Izin untuk melakukan penelitian dari tempat yang akan diteliti yaitu SMP Negeri 9 Depok dan izin untuk melakukan uji coba kuesioner di SMP Ganesa Satria Depok berdasarkan Surat Rekomendasi Penelitian yang


(65)

dikeluarkan oleh Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Melakukan studi pendahuluan di SMP Negeri 9 Depok.

3. Melakukan uji coba kuesioner di SMP Ganesa Satria Depok.

4. Pemilihan responden sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dibantu oleh guru BK SMP Negeri 9 Depok.

5. Pengumpulan data dilakukan di SMP Negeri 9 Depok dengan melibatkan

guru BK di sekolah, yang sebelumnya telah diberikan penjelasan mengenai tata cara pengisian kuesioner, kriteria responden, item-item dalam kuesioner, dan cara pengumpulan data. Pengumpulan data dilaksanakan selama 2 hari.

6. Pengumpulan kuesioner penelitian dilakukan pada hari kedua, kemudian dilakukan pengecekan kuesioner untuk selanjutnya dilakukan proses pengolahan dan analisis data.

I. Teknik Analisis Data

1. Pengolahan data

Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry data, dan tabulasi data.

a. Editing

Melakukan pemeriksaan jumlah kuesioner dan kelengkapan isinya. Dari 46 kuesioner yang harus terkumpul, kemudian dilakukan pengecekan kelengkapan untuk selanjutnya dilakukan pengolahan.


(66)

Apabila kuesioner lengkap kurang dari 46 kuesioner maka diperlukan pengulangan.

b. Coding

Memberikan kode pada tiap kategori pertanyaan untuk setiap kuesioner sesuai dengan urutan responden, agar memudahkan peneliti untuk pengolahan data.

c. Entry data

Memasukkan data kuesioner sesuai dengan kode pertanyaan dengan teliti dan cermat untuk menghindari kemungkinan data missing atau salah memasukkan data. Setiap kuesioner dilakukan validasi untuk mengantisipasi data terlewat.

d. Tabulasi data

Terakhir adalah tahap pengelompokkan data sesuai kategori untuk selanjutnya disajikan berupa tabel distribusi frekuensi.

2. Analisis data

Tahap analisis data bertujuan untuk mendapatkan hasil yang dapat menjawab pertanyaan penelitian. Analisis dilakukan dalam analisis univariat.

a. Analisis univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan

proporsi/persentase masing-masing variabel yaitu strategi koping remaja, serta variabel lain yang ikut diteliti yaitu usia, kelas, jenis kelamin, status perkawinan orang tua, dan status dukungan sosial.


(67)

J. Etika Penelitian yang Digunakan

Untuk mengantisipasi isu etik dalam penelitian, peneliti perlu memperhatikan beberapa pertimbangan etik selama melakukan penelitian dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Dalam melakukan pengumpulan data, data diperoleh melalui kuesioner. Sebelumnya, responden mengisi lembar informed consent terlebih dahulu untuk memperoleh izin penelitian dan kesediaan untuk mengisi kuesioner secara lengkap.

2. Untuk menjaga kerahasiaan subjek penelitian, responden tidak perlu mencantumkan nama lengkap, melainkan hanya berupa inisial pada lembar kuesioner.

3. Pada saat penyajian hasil penelitian, identitas responden tidak akan disebutkan atau dipublikasikan.

4. Penilaian kelayakan proposal penelitian akan dilakukan oleh Komite Etik Penelitian Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas.

Selain itu, peneliti juga harus memenuhi prinsip-prinsip dalam penelitian. Menurut Dahlan (2010), ada tiga acuan utama etika, yaitu prinsip keadilan, prinsip manfaat, dan prinsip menghormati orang lain.

1. Prinsip keadilan

Peneliti wajib memperlakukan seluruh responden secara adil selama penelitian. Penerapan prinsip adil ini adalah setiap responden wajib


(68)

mendapatkan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, hak-hak responden, keamanan, kenyamanan, dan kerahasiaan responden.

2. Prinsip manfaat

Selama penelitian, mengutamakan hal-hal yang menguntungkan responden dan memberi manfaat seoptiman mungkin untuk responden. Prinsip ini bertujuan untuk mencegah kerugian dan ketidaknyamanan akibat penelitian. Serta menjaga kerahasiaan data responden dan menjamin bahwa informasi responden tidak akan dipublikasikan.

3. Prinsip menghargai orang lain

Peneliti harus menghargai responden dengan cara meminta kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Penerapan prinsip ini dengan cara meminta

responden untuk menandatangani lembar informed consent dan

sebelumnya responden telah mendapat penjelasan secara rinci berkaitan dengan tujuan dan prosedur penelitian. Peneliti juga memberi kebebasan kepada responden jika ingin mengundurkan diri.


(69)

50

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 9 merupakan salah satu Sekolah Standar Nasional (SSN) yang berlokasi di Jalan Raya Cipayung No. 27, kecamatan Cipayung. Sarana dan prasarana yang terdapat dalam SMPN 9

Depok adalah gedung sekolah dengan luas tanah 9760 m2 dan luas bangunan

4380 m2, didalamnya terdapat laboratorium IPA, laboratorium komputer, ruang media, 18 ruang kelas, Unit Kesehatan Sekolah (UKS), perpustakaan, ruang konsultasi BP, mushola, aula, dan kantin. Ekstrakurikuler yang ada di SMPN 9 Depok adalah paskibra, pramuka, PMR, olahraga (bulu tangkis, voli, dan basket), Rohis, dan marawis.

Jumlah siswa di SMPN 9 Depok ini untuk kelas VII (tujuh) sebanyak 389 siswa, kelas VIII (delapan) sebanyak 395 siswa, dan kelas IX (sembilan) sebanyak 369 siswa, dan total keseluruhan jumlah siswa adalah 1153 siswa. Sedangkan populasi dalam penelitian ini merupakan remaja yang berperilaku agresif disekolah yaitu sebanyak 46 siswa.

B. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dibawah ini adalah karakteristik sampel penelitian berdasarkan umur, kelas, jenis kelamin, dan status orang tua. Berikut adalah kategori responden penelitian, antara lain:


(1)

KREDIT POIN PELANGGARAN SISWA SMP NEGERI 9 DEPOK

JENIS PELANGGARAN KODE BOBOT A. KETERLAMBATAN

1. Keterlambatan masuk jam pertama setelah 5 menit bel berbunyi

A1 2

2. Wajib mengikuti tadarus dan saat teduh bagi non Islam A2 2

3. Keterlambatan mengikuti upacara bendera A3 2

4. Terlambat masuk istirahat A4 2

5. Izin keluar ketika KBM berlangsung dan tidak kembali A5 5 B. KEHADIRAN

1. Setiap tidak masuk tanpa keterangan B1 10

2. Tidak masuk dengan membuat keterangan palsu B2 20

3. Setiap membolos jam pelajaran B3 10

4. Setiap tidak mengikuti kegiatan ekskul pilihan tanpa keterangan

B4 2

5. Setiap tidak mengikuti kegiatan ekskul wajib tanpa keterangan

B5 3

C. PAKAIAN

1. Tidak memakai seragam sekolah C1 10

2. Memakai seragam tidak rapih/tidak dimasukkan C2 5 3. Tidak mengenakan topi upacara pada waktu mengikuti

upacara

C3 2

4. Memakai sepatu sandal/sandal atau sepatu dibuat sandal C4 5 5. Memakai pakaian ketat (jangkis dan baggy). C5 20 6. Khusus untuk putri mengenakan baju tangan pendek, kecuali

sedang mengikuti kegiatan ekskul.

C6 20

7. Memakai topi yang bukan topi sekolah di lingkungan sekolah C7 3 8. Memakai celana cutbray/sobek atau terinjak bagian

bawahnya

C8 3

9. Tidak memakai bed OSIS/lokasi/papan nama/seragam sekolah/batik/seragam olah raga

C9 5

10. Tidak memakai kaos kaki putih ¾ betis C10 2

11. Memakai jaket/rompi/sweater/kecuali sakit dengan keterangan dokter atau orang tua

C11 5

12. Memakai ikat pinggang bukan hitam/besar C12 2 13. Tidak mengenakan pakaian seragam muslimah pada hari

Jumat

C13 10

14. Memakai seragam muslimah tidak sesuai dengan ketentuan sekolah

C14 5

15. Memakai seragam olah raga pada waktu mengikuti PBM bukan Penjaskes

C15 3

D. KEPRIBADIAN

1. Berhias berlebihan bagi putri/rambut diurai apabila rambut melewati bahu


(2)

JENIS PELANGGARAN KODE BOBOT 2. Siswa putra memakai gelang, kalung, tindik dll. D2 3 3. Siswa putra rambut menutup kerah kemeja/telinga D3 4 4. Rambut dipotong tapi tidak rapi atau pakai jel D4 2

6. Rambut dicat D6 5

7. Mengeluarkan kata-kata tidak senonoh sesama siswa D7 4 8. Mengeluarkan kata-kata tidak senonoh dihadapan/didengar

orang tua

D8 2

9. Menyakiti perasaan orang lain D9 5

10. Mengancam sesama siswa/guru D10 25

11. Mencuri D11 100

12. Menerima tamu pada saat belajar tanpa seizin piket D12 10 13. Siswa masuk kelas lain tanpa seizin guru di dalam kelas D13 10

14. Berbohong pada orang tua/guru D14 20

15. Berpacaran D15 20

16. Melawan orang tua/guru D16 50

17. Pulang terlambat tanpa pemberitahuan dari sekolah D17 25 18. “Nongkrong” di warung/maal/supermarket/warnet/ game

centre memakai seragam sekolah

D18 50

E. KETERTIBAN

1. Mengotori, mencoret-coret milik sekolah, guru, karyawan, teman dan orang lain

E1 50

2. Membawa tip ex E2 2

3. Merusak benda milik sekolah, guru dan teman E3 50 4. Bermusuhan dengan teman di dalam atau di luar kelas E4 25 5. Membuat kegaduhan di dalam kelas pada saat PBM

berlangsung

E5 10

6. Melompati pagar sekolah untuk keluar/masuk E6 10

7. Tidak melaksanakan tugas K3/Piket Kelas E7 25

8. Membawa HP berkamera, tanpa seizin guru untuk kepentingan pembelajaran yang dibuktikan

dengan suratketerangan.

E8 50

9. Mengaktifkan HP pada saat belajar E9 25

10. Tidak membaca Al Qur’an pada saat kegiatan tadarus (malah bermain-main atau mengerjakan PR saat tadarus)

E10 10

11. Melakukan aktifitas di luar belajar di dalam kelas (misal bermain bola, bermain kartu, melempar-lempar kapur)

E11 10

12. Berada di luar kelas pada saat pelajaran efektif E12 10 13. Tidak tertib pada waktu mengikuti upacara E13 20 14. Keluar kelas pada saat pergantian jam pelajaran, kecuali

seizin guru atau untuk kepentingan pemanggilan guru oleh pengurus kelas

E14 5

F. MEROKOK

1. Membawa rokok ke dalam sekolah F1 10

2. Menghisap rokok di dalam sekolah/sekitar sekolah F2 30 G. PORNOGRAFI


(3)

JENIS PELANGGARAN KODE BOBOT 1 Membawa buku, majalah, stensil, kaset, CD dan foto porno G1 25 2 Menjual belikan buku, majalah, stensil, CD dan foto porno G2 50

3 Melihat foto, kaset dan CD porno G3 25

H. SENJATA TAJAM

1. Membawa senjata tajam/api tanpa izin H1 100

2. Memperjual belikan senjata tajam/api H2 100

3. Menggunakan senjata tajam/api untuk melukai orang lain H3 100 I. NARKOBA DAN MINUMAN KERAS

1. Mabuk di sekolah I1 100

2. Membawa narkoba/minuman keras ke sekolah I2 100 3. Menggunakan narkoba, minuman keras di dalam atau di luar

sekolah

I3 100

J. BERKELAHI/TAWURAN

1. Berkelahi/tawuran dengan siswa sekolah lain J1 100 2. Berkelahi antar siswa/kelas SMPN 9 dan berdampak luas J2 100 3. Berkelahi antar siswa SMPN 9 dan tidak berdampak luas J3 50

4. Menjadi provokator perkelahian J4 50

K. INTIMIDASI/ANCAMAN DENGAN KEKERASAN 1. Mengancam dan mengintimidasi kepala sekolah, guru dan

karyawan

K1 100

2. Menganiaya, mengeroyok kepala sekolah, guru dan karyawan

K2 100

3. Menjadi provokator untuk melawan guru, kepala sekolah dan karyawan

K3 100

4. Mengancam dan mengintimidasi kepada salah seorang siswa atau kelompok siswa SMPN 9 Depok

K4 100

L. IBADAH

1. Mengganggu teman yang sedang menjalankan ibadah L1 15 2. Mengejek atau mengintimidasi teman yang berbeda agama L2 20

Sisa point 51-75 = Peringatan 1 (Pemanggilan siswa)

Sisa point 26-50 = Peringatan 2 (Pemanggilan orang tua dan pemberian skorsing 1 hari atau wajib lapor selama 1 minggu menggunakan buku monitor)

Sisa point 1-25 = Peringatan 3 (Pemanggilan orang tua dan pemberian


(4)

(5)

(6)