Merintis Pengajaran Bahasa Indonesia di

Home > Publika > Wacana

Merintis Pengajaran Bahasa Indonesia di Inggris
Minggu, 10 Juni 2012, 22:18 WIB
Guardian

Universitas Oxford

Berita Terkait
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syahrul Hidayat*
Tidak mudah menjadi orang Indonesia bermukim di Inggris. Sering kami mendengar
sapaan dari orang Inggris maupun sesama imigran salah menebak asal negara.
“Are you Malaysian?” atau “Are you Philippines?” adalah sangkaan yang sering
diungkapkan kepada warga Indonesia. Tak bisa disalahkan, karena Malaysia dan
Filipina lebih populer di negara Ratu Elizabeth II yang baru saja merayakan ulang tahun
takhtanya yang ke-60 itu.
Malaysia adalah negara Commonwealth atau persemakmuran dengan mahasiswa yang
bersekolah di Inggris mencapai 11 ribu orang lebih setiap tahunnya. Sementara pelajar
Indonesia hanya 1.275 pelajar tahun ini. Sementara warga Filipina, dapat dijumpai di
berbagai pelosok negara hingga ke kota-kota kecil untuk bekerja sebagai perawat.
Keadaan ini membuat sebagian dari kami gemas karena Indonesia merupakan negara

terbesar di Asia Tenggara. Sebenarnya, ada sebagian warga Inggris mengenali
Indonesia secara spontan. Sayangnya, spontanitas yang muncul pertama kali itu sering
kali berkaitan dengan kekerasan, seperti Bom Bali.
Chatham House, lembaga tanki pemikir (think-thank) terkenal di London, pernah
membahas kasus kekerasan dalam satu serial diskusi tentang Indonesia pada April

2012. Maimon Herawati, pengajar Universitas Padjadjaran yang sedang studi S3 di
Newcastle menjadi pembicara di dalam diskusi tersebut, harus bersusah payah
meyakinkan pembicara dan peserta diskusi bahwa keadaan sehari-hari di Indonesia
tidaklah demikian.
Rendahnya tingkat pengenalan dan anggapan negatif menjadikan ide memperkenalkan
Bahasa Indonesia di Inggris menjadi sulit dilakukan. Tidak mengherankan jika
ungkapan pesimisme berulang kali diutarakan sebagian peserta pelatihan calon
pengajar Bahasa Indonesia yang diselenggarakan atas inisiatif Atase Pendidikan KBRI
London, T. A. Fauzi Soelaiman pada tanggal 26 dan 27 Mei 2012.
Basoeki Koesasi, pengajar Bahasa Indonesia di Australia membesarkan hati para
peserta dengan menjelaskan perbandingan pengajaran bahasa di Australia dan Inggris.
Di Australia tentu lebih mudah menarik minat untuk belajar banyak hal mengenai
Indonesia karena secara geografis Indonesia dan Australia berdekatan.
Namun, Pak Bas, demikian beliau biasa dipanggil, mengatakan bahwa ada gejala

penurunan minat siswa dan warga Australia yang belajar Bahasa Indonesia. Gejala ini
juga merata di negara-negara yang secara tradisional memiliki pusat-pusat kajian
Indonesia seperti Amerika Serikat dan Belanda.
Pada saat bersamaan, penerima Bintang Jasa Pratama atas jasanya mengembangkan
pengajaran Bahasa Indonesia di Australia itu menjelaskan bahwa negara Inggris akan
meningkatkan perhatiannya ke Indonesia terkait dengan besarnya potensi ekonomi
Indonesia. Dia mencontohkan kunjungan PM David Cameron ke Jakarta April lalu yang
disusul dengan serangkaian kunjungan pejabat setingkat menteri dan anggota
parlemen dari Inggris sebagai bukti adanya peningkatan perhatian tersebut.
Saat ini, pihak di Australia gelisah dengan tumbuhnya minat Inggris. Apalagi setelah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh, berkunjung ke Inggris penandatanganan
nota kesepahaman dengan pemerintah Inggris di bidang pendidikan dan membuka
program kajian Indonesia di University of Exeter. “Karena itu pelatihan semacam ini
menjadi inisiatif yang strategis di tahun mendatang,” tegas Pak Bas.
Para peserta pelatihan memiliki latar belakang yang beragam, tetapi secara umum
didominasi oleh pelajar dan ibu rumah tangga. Atase Pendidikan memang tidak
menargetkan para peserta pelatihan untuk membangun lembaga profesional tersendiri.
Pada tahap awal diharapkan mereka akan menjadi tenaga pengajar privat di kota
masing-masing.
Kebutuhan belajar bahasa secara serius hingga saat ini terbatas pada mereka yang

akan bekerja di Indonesia. Seorang pengajar bahasa profesional di London
mengatakan bahwa sebagian besar murid adalah diplomat yang akan ditempatkan di
Indonesia dan pesertanya hanya satu atau dua saja. Hal yang sama dilakukan seorang
teman yang pernah memberikan pengajaran intensif selama tiga bulan di sela kuliahnya

untuk calon manajer perusahaan Inggris yang akan ditempatkan di Jakarta.
Ben Murtagh, dosen kajian Indonesia di SOAS London, mengatakan jumlah peminat
Bahasa Indonesia tidak begitu signifikan. Jumlah mahasiswa yang belajar bahasa di
universitas tersebut mencapai sekitar 30 orang setiap tahun dengan setengahnya
belajar sebagai pemula. Selain itu, SOAS juga menawarkan kursus bagi masyarakat
luas. Jumlah tertinggi, 29 orang, dalam setahun yang dicapai pada 2008-2009 dan
terendah 11 orang pada tahun berikutnya. Pada tahun akademik saat ini kelas kursus
bahasa baru menjaring 22 peminat.
Melihat hal ini, Pak Bas meyakinkan, bahwa minat itu akan tumbuh perlahan-lahan
seiring dengan meningkatnya peran Indonesia secara global dalam politik dan ekonomi.
Indikasi ini beralasan, seperti halnya minat universitas-universitas di Inggris terhadap
kajian Indonesia.
Kajian Indonesia di Oxford dan Exeter
Hingga kini, telah ada tiga lembaga yang mengajukan proposal untuk membuka kajian
Indonesia, dua dari Oxford University dan satu di University of Exeter. Dari Oxford,

OCIS (Oxford Centre for Islamic Studies) dan Green Templeton College secara resmi
telah menyatakan keinginan membuka kajian Indonesia atau minimal mengangkat
seorang dosen yang memiliki spesialisasi di bidang kajian Indonesia. Sementara itu
University of Exeter telah bersepakat dengan Kemdikbud RI untuk untuk mendukung
dibuka kajian Indonesia dalam kerangka kajian Islam di bawah IAIS (Institute of Arab
and Islamic Studies).
Sejatinya belum ada studi mengenai korelasi antara minat lembaga-lembaga
pendidikan tersebut dengan minat di kalangan masyarakat Inggris. Tetapi Jonathan
Githenz-Mazer, dosen senior di IAIS, mengatakan, tidak ingin terjebak dalam keraguan
apakah ada peminat atau tidak. Sebagai penyelenggara kajian beserta kelas-kelas
bahasa dari berbagai negara di Timur Tengah ia meyakini adanya potensi itu untuk
kasus Indonesia.
Karena itu, ia berpikir lebih baik segera memulai dengan menawarkan kelas Bahasa
Indonesia terlebih dahulu tanpa diganggu oleh perdebatan soal ada atau tidaknya
peminat. “Let us test the water,” tandasnya.
* Penulis adalah Alumnus University of Exeter, Inggris dan Penerima Beasiswa
Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/06/10/m5eqix-merintispengajaran-bahasa-indonesia-di-inggris
Redaktur: Heri Ruslan
5.586 reads