POLITIK HUKUM PROGRAM LEGISLASI UNDANG U

1

POLITIK HUKUM PROGRAM LEGISLASI
UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Politik Hukum
Dosen :
Prof. Dr. H Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.
Dr. Hernadi Affandi, S.H., L.L.M

Disusun Oleh :
Silvia Handriyanti
110620170045

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2017


2

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian.. ...................................................................................... 3
B. Identifikasi Masalah ................................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan............................................................. 7
B. Perkembangan Perkawinan di Indonesia ........................................................... 9
C. Politik Hukum di Indonesia ............................................................................... 13
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengaruh Politik Hukum Dalam Program legislasi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ........ 16
Penyelesaian Masalah Berdasarkan Undang Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangg ........... 21
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 24
B. Saran...................................................................................................................... 24

Daftar Pustaka ............................................................................................................. 26

3

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal budi yang merupakan
subjek hukum. manusia dikatakan subjek hukum karena pada dasarnya, subjek
hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk
melakukan perbuatan hukum atau sesuatu yang mempunyai hak dan cakap serta
mampu bertanggung jawab untuk bertindak dalam hukum. 1 Dalam hal ini hak
yang dimiliki setiap manusia harus diimbangi dengan kewajibannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia:
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”2

Hak asasi yang dimiliki manusia dimulai dari hak untuk hidup yang layak,
hak untuk memilih agamanya masing-masing, hak untuk memilih keyakinan
politiknya, hak atas rasa aman sampai hak untuk memperoleh rumah tangga
atau biasa disebut juga keluarga. Suatu keluaga diperoleh dari adanya
perkawinan di indonesia. Definisi dari keluarga di kemukakan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menyatakan bawa
keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad
tertentu atau hubungan perkawinan. 3

1

R.Soeroso, PengantarIlmuHukum, Jakarta, SinarGrafika, 2008, hlm 227-228.
Pasal 1 angka 1 Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 tentangHakAsasiManusia.
3
Pasal 1 Angka 30 Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara
2

4


Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha
Esa. Dari pengertian tersebut maka, tujuan dari dibentuknya sebuah perkawinan
adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu
saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 4
Di indonesia mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Seperti layaknya sebuah perjanjian, maka
dalam suatu perkawinan juga menimbulkan hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh para pihaknya. Dalam garis besar masing-masing suami dan istri
berkewajiban untuk saling menghormati dan saling memberi bantuan lahir
batin. Selain itu kewajiban suami itu sendi adalah melindungi dan memberikan
segala keperluan hidup kepada istri sesuai dengan kemampuannya. 5 Sedangkan
istri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga. 6
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dibentuk untuk memberi perlindungan yang selayaknya pada keselamatan
perkawinan, karena tujuan dari perkawinan adalah untuk memnentuk keluarga
yang bahagia dan kekal maka dalam undang-undang ini mengganut prinsip

mempersukar tejadinya percraian.
Perkawinan identik dengan keluarga, Aristoteles mengemukakan bahwa
posisi keluarga atas rumah tangga sangat central, yakni sebagai pembinaan
negara. Dalam keluarga, seseorang dalam hal ini diharapkan mendapatkan
kesempatan menghayati penemuan-penemuan dengan sesama manusia

Pidana.
4
Soerjono Soekanto, Intissari Hukum Keluarga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992, Hlm 5.
5
Pasal 32 Ayat (1) Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan.
6
Pasal 32 Ayat (2) Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan.

5

termasuk dalam memperoleh perlindungan pertama.

7


Tetapi pada

kenyataanya, dalam sebuah keluarga kerap terjadi kekerasan-kekerasan ringan
yang kadang dianggaap sebagai hal yang biasa karena hal tersebut dianggap
sebuah pembinaan dalam rumah tangga.
Dengan adanya anggapan maka setiap orang yang mengalami hal tersebut
menjadi terabaikan, hingga akhirnya dalam kekerasan kecil dapat menimbulkan
kekerasan yang menyangkut nyawa seseorang. Jika ditinjau lebih jauh, jumlah
kekerasan yang dialami korban meliputi kekerasan emosional, kekerasan
ekonomi, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. 8Sama dengan halnya tindakan
pidana, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga juga dapat menimpa siapa
sajabaik laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak maupun orang dewasa.
Pada kehidupan nyata biasanya kekerasan rumah tangga lebih banyak terjadi
pada perempuan dan anak-anak karena wanita dan anak-anak cukup lemah.
Tindakan kekerasan dalam masyarakat sebenarnya sering dilakukan
bersamaan dengan tindakan pidana sebagaimana diatur dalam kitab undangundang Hukum Pidana (KUHP) misalnya penganiayaan. Dan kekerasan pada
umumnya dapat menimpa siapa saja tanpa direncanakan terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pun pada dasarnya tidak cukup melindungi adanya kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga karena sistem hukum sosial yang ada tidak

memberikan perlindungan dan pelayanan yang cukup bagi para korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya
hanya mengatur mengenai berkehidupan dalam rumah tangga seperti
pewarisan, kematian, kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan

7

Moerti Hadiati Soeroso, kekerasan Dalam Rumah Tangga dala m Prespektif Yuridis-Viktimologis,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm vii.
8
Pipih Sopiah, Mengapa Ada Kekerasan Dalam Rumah Tangga?, Bandung: CV. Indah Mustika,
2012, Hlm 124.

6

dan tidak mengatur mengenai perlindungan hukum dalam pelaksanaan
perkawinan. Sehingga terkesan bahwa sistem hukum di indonesia belum
menjamin kepastian hukum terhadap para korban. Dengan banyaknya korban
kekerasan dalam rumah tangga ini maka dibentuknya Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dari masalah tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang topik
tersebut mengenai “Politik Hukum Program Legislasi Undang Undang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga”
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaima pengaruh politik hukum terhadap pembentukan Undang UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga?
2. Apakah Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah dapat menyelesaikan
masalah dalam masyarakat indonesia?

BAB II
Tinjauan Teoritis

7

A. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan
Keluarga dibentuk dalam sebuah perkawinan yang sah menurut hukum.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha
Esa. Dan perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamnya dan kepercayaannya itu”
Sedangkan beradasakan pasal 26 Kitab Undang-undnag Hukum Perdata:
“suatu perkawinan dalam hubungan perdatanya masing-masing.”
Dari pengertian-pengertian tersebut maka definisi dari perkawinan sendiri
itu beraneka ragam. Dalam Undang-Undang Perkawinan sebuah perkawinan
dikatakan sah apabila dilangsungkan dengan agamanya masing-masing,
sedangkan menurut Kitab Undnag-undangn Hukum Perdata, suatu perkawinan
merupakan suatu perikatan atau perjanjian.
Dalam perjanjian biasa, para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian
yang dibuat oleh mereka yang bersangkutan sendiri dengan catatan tidak
bertentangan dengan perundang- undangan, kesusilaan baik dan ketertiban
umum, hal demikian berlaku terhdap setiap perjanjian yang dibuat oleh mereka
yang bersangkutan dan perjanjian tersebuit berfungsi sebagai undang-undang
yang mengikat bagi mereka yang membuatnya. Tetapi berbeda dengan

perjanjian perkawinan, dalam perjanjian perkawinan para pihak tidak bisa
menyimpang dari ketentuan dan akibat-akibat yang timbul dari suatu
perjanjian. Dalam hal ini para pihak harus menaati peraturan peraturan-

8

oeraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
masing-masing para pihak. 9
Perkawinan dapat menimbulkan sebuah akibat hukum, salah satu akibat
dari perkawinan antara lain berpengaruh terhadap keadaan hukum wanita
sebagai akibat dari apa yang disebut kekuasaan marital suami ( Maritale
match) 10 . Maksud dari kekuasaan marital suami yaitu, wanira yang telah

menikah tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri sebab suami selaku
kepala perhubungan suami istri.
Dalam pelaksanaanya perkawinan di indonesia menganut sistem monogami
yaitu suatu asas yang mengizinkan seseorang boleh beristri lebih dari seorang
dengan syarat-syarat tertentu salah satunya adalah dikehendaki oleh para pihak
yang bersangkutan. Menurut Soedaryo alasan seorang suami melakukan
pernikahan lagi karena;

1. Bahwa istri tidak dapat menjalankan keawajibannya sebagai istri;
2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
3. Bahwa istri tidak dapat memberikan keturunan. 11
Dalam sebuah perkawinan menimbulkan sebuah kewajiban yang harus di
penuhi suami dan istri serta hak yang harus diperloleh suami dan istri. Dalam
hal ini suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya, jika istrinya
mempunyai hasil yang cukup karena bekerja atau karena atau karena suatu hal
yang sah maka istri diwajibkan untuk menanggung biaya/ pengeluaran rumah
tangga bersama. Apabila suami tidak memberikan segala apa yang diperlukan
oleh istrinya maka dapat digugat di muka pengadilan. Kewajiban seorang istri
adalah tidak meninggalkan suaminya tanpa alasan yang sah. Sedangkan

9

Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 1992, hlm 5.
Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUH Perdata, Bandung: Taristo, 1990.
11
Soedaryo, Op.Cit, Hlm 8.

10

9

kewajiban suami dan istri satu sama lain adalah memberikan pemeliharaan dan
penididikan anak, saling menghormati dan memberi bantuan lahir dan batin.
B. Perkembangan Perkawinan di Indonesia
Dari pengertian perekawinan berdasarkan undang-undang perkawainan,
tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan yang kekal dan hal ini juga berarti dalam perkawinan diaharapkan menjadi
tempat yang dapat memberikan rsa aman bagi anggotanya karena keluarga
dibangun oleh suami dan istri atas dasar ikatan lahir batin antara keduanya. 12
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan:
“antara suami istri mempunyai kewajiban untuk saling dinta mencintai,
hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada
yang lain.”
Bahkan, suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang
dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup di dalam masyarakat
serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 13
Tetapi pada perkembangannya dalam perkawinan seringkali di temukan
kekerasan, pelecehan seksual, penganiayaan dan kekerasan lainnya yang
bertentangan dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Kekerasan dalam
rumah tangga berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

12

Pipih Sopiah, Op.Cit.hlm 2
Ibid

13

10

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga”
Pengertian kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri
memiliki unsur:
1. Perihal (yang bersifat, berciri) Keras;
2. Perbuatan seseorang atau kelompok ornag yang menyebabkan cedera
atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain;
3. Paksaan.
Berdasarkan data dari Rifka Annisa Women’s Crisis Centerepada tahun
1994-2003, kekerasan rumah tangga hampir mancapa 1511 kasus yang hampir
setiap tahun mengalami peningkatan. 14 Kekerasan yang ada dalam rumah
tangga biasanya dimulai dari penganiyayaan hingga menyebabkan hilangnya
nyawa seseorang. Penganiyayan adalahh suatu kesengajaan yang menimbulkan
rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Untuk menyebut
seseorang telah melakukan penganiayayan terhadap orang lain, maka orang
tersebut harus mempunya opzetatau suatu kesengajaan untuk:
1. Menimbulkan sakit pada orang lain,
2. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain,
3. Merugikan kesehatan orang lain. Dengan kata lain, orang itu harus
mempunyai opzet yang ditunjukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa
sakit pada orang lain untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain ataupun
untuk metugikan kesehatan orang lain. 15
Penganiyaan merupakan slaah satu tindak pidana yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP penganiayaan
dibagi atas:
14

Ibid
Lamintang dan theo Laminang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan
Kesehatan, Jakarta; Sinar Grafika, 2010, hlm 132.

15

11

1. Tindak Pidana Penganiayaan ringan
Berdasarkan Pasal 356 KUHP penganiayaan yang tidak menyebabkan
sakit atau hambatan dalam pelaksanaan tugaws-tugas jabatan atau kegiatankegiatan pekerjaan. Tindak pidana penganiayaan ringan dalam hal ini harus
memenuhi syarat-syarat:
a. Bukan merupakan tindak pidana penganiyaan dengan direncanakan
lebih dahulu
b. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan:
1) terhadap ayah ibunya yang sah, suami, istri atau terhadap anaknya
sendiri.
2) Atau terhadap seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan
tugas dan jabatannya secara sah.
3) Dan bukan merupakan tindakan yang memberikan bahan-bahan
yang sifatnya berbahaya untuk nyawa dan kesehatan manusia
c. Tidak menyebabkan orang yang dianiaya menjadi sakit atau terhalang
dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya dalam melakanakan
kegiatan-kegiatan pekerjaannya. 16
2. Tindak pidana penganiayaan berat
Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja menyebabkan orang lain
mendapat luka berat pada tubuhnya dan menyebabkan meninggalnya
seseorang. Dalam hal ini seseorang dikatakan melakukan tindakan pidan
penganiayaan berat apabila dilakukan dengan sengaja, menimbulkan luka
berat pada orang lain.
Penganiayaan baik yang ringan maupun yang berat dapat menimbulkan
akibat. Dampak tindakan kekerasan terebut ditinjau dari beberapa
prespektif adalah:
1. Tinjauan psikologis, dapat menimbulkan:

16

Idem,Hlm 143

12

a. Perasaan tidak berdaya
b.Selalu menyalahkan diri sendiri
c. Memiliki harga diri rendah
d.Tidak realistis dan memiliki sikap pasrah
2. Tinjauan medis, menurut Departemen Keshatan Republik Indonesiia,
dampak kekerasan pada korban akan berakibat antara lain:
a. Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan dan bunuh diri;
b. Trauma fisik berat, yaitu memar, patah tulang, hingga cacat;
c. Trauma fisik kehamilan yang beresiko pada ibu dan janin (abortus,
infeksi, anemia dan lain-lain.
d. Kehamilan yang tidak diinginkan, akibat pemerkosaan dan kelahiran
prematur;
e. Luka pada anak sebagai korban kejadian kekerasan;
f.

Meningkatnya risiko terhadap kesakitan seperti gangguan pencernaan.

g. Gangguan mental seperti depresi, steres, ketakutan, rendah diri,
kelelahan kronis, putus asa, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual,
gangguan makan, kecanduan alkohol, mengisolasi dan menarik diri dari
lingkungan.
h. Pengaruh psikologis yang dialami oleh anak akibat seing melihat
tindakan kekeraasan yang sering dialami ibunya.
3. Tinjauan waktu, secara umum kasus kekerasan terhadap perempuan,
korban akan mengalami akibat yang berdampak jangka pendek dan
panjang:
a. Dampak jangka pendek, biasanya sesaat hingga beberapa hari setelah
kejadian. Pada umumnya berupa cedera fisik dan luka. Dari segi
psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkelm merasa
bersalah, malu dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan
kesulitan tidur dan kehilangan nafsu makan

13

b. Dampak jangka panjang, dapat terjadi apabila korban kekerasan tidak
mendapat penanganan dan bantuan yang memadai. Dampak tersebut
dapat berupa sikap ayai presepsi yang negatif terhadap laki-laki, serta
pula dapat mengakibatkan stres pascatrauma yang biasanya ditandi
dengan gejala-gejala khas seperti mimpi buruk, atau ingatan-ingatan
kejadian yang muncul secara tiba-tiba yang berkepanjangan.
C. Politik Hukum di Indonesia
Secara epistemologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa
indonesia dari istilah hukum Belanda yaitu rechtspolitiek, yang merupakan
bentukan dari 2 kata recht dan politiek.17Dalam bahasa indonesia kata recht
diartikan sebagaihukum dan Politiek diartikan sebagai kebijakan. Menurut
Lamire, politik hukum termasuk kajian hukum yang terkait ilmu pengetahuan
hukum positif yang merupakan bagian dari kebijakan legislatif. Politik hukum
mengkaji bagaimana penetapan hukum yang seharusnya. Kajian hukum positid
selalu menimbulkan pertanyaan tentang hukum yang seharusnya, atau hukum
yang diharapkan.

18

Politik hukum pada hakikatnya senantiasa berusaha

membuat kaidah-kaidah yang menentukan bagaimana manusia itu bertindak,
Politik Hukum berusaha untuk menyelidiki perubahan-perubahan apa yang
harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku sesuai dengan kenyataan
sosial.19
Menurut pandangan beberapa ahli hukum, rumusan mengenai politik
hukum didefinisikan sebagai:
1. Menurut Surojo Wignyodiputra, Politik hukum mennyelidiki perubahanperubahan apa yang harus diadakan dalam hukum sekarang supaya menjadi
lebih sesuai degnan perasaan hukum yang ada pada masyarakat. 20
17

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2012, Hlm 18.
18
Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 7.
19
Abdul Latif dan Hasbi, Op. Cit, Hlm 20.
20
Surojo Wignyodiputro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Gunung Agung, 1982, Hlm 24-25.

14

2. Soerjono Didjosisworo, masyarakat yang teratur senantiasa memiliki tujuan
untuk mensejahterakan warganya sebagai misal, politik hakikatnya adalah
sarana untuk mencapai tujuan tersebut untuk itu dilalui proses pemilihan
tujuan. Karenanya politik adalah juga aktivitas memilih tujuan tertentu.
Dalam hukum dijumpai keadaan yang sama. Hukum yang berusaha
memilih tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut adalah termasuk bidang
politik hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan di citacitakannya oleh masyarakat tertentu. 21
3. Padmo Wahjono, Kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun
isi dari hukum yang dibentuk. 22
Politik hukum pada dasarnya menyelidiki perubahan-perubahan apa yang
harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai
dengan kenyataan sosial. Akan tetapi, kadang juga: untuk menjauhkan
tatahukum dari kenyataan sosial yaitu dalam hal politik hukum menjadi alat
dalam tangan suatu rulling class yang hendak menjajah tanpe memperhatikan
kenyataan sosial itu. 23
Secara substansial, politik hukum diarahkan pada hukum yang seharusnya
berlaku (Ius Constituendum).

Beberapa pertanyaan mendasar yang

dipersoalkan dalam studi politik hukum dalah:
1. Tujuan yang hendak dicapai dalam sistem hukum yang ada;
2. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut;
3. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui carcara
bagaimanakahperubahan itu sebaiknya dilakukan;

21

Soedjono Didjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali, 1984, Hlm 48.
PadmoWahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum. Cet II. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986,
Hlm 160.
23
Jazim Hamini, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Total Media, 2009, Hlm 232.

22

15

4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan yang bisa memutuskan
proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan; 24
Dari hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa objek dari politik hukum itu
sendiri salah satunya adalah peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan berbagai pemikiran
dan kebijaksanaan politik yang paling berpengaruh, biasanya bersumber pada
ideologi tertentu. Politik perundang-undangan merupakan subsistem hukum.
Oleh karena itu, politik perundang-undangn tidak dapat dipisahkan dari politik
hukum. Seperti yang diuraikan diatas politik hukum merupakan kebijakan yang
dibuat untuk membentuk arah dari hukum itu sendiri. Politik hukum pada
perundang-undangan berfungsi untuk menyelenggarakan kebijakan pemerintah
dibidang hukum itu sendiri. Secara internal ruang lingkup politik hukum dibagi
atas:
1. Politik pembentukan hukum
dalam politik pembentukan hukum berisikan mengenai tatacara maupun
isi dari perundang-undangan. Hal ini merupakan kebijaksanaan yang terkait
dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan hukum yang
mencangkup:
a. Kebijaksaan (pembentukan) perundang-undangan;
b. Kebijaksanaan (Pembentukan) hukum yurisprudensi;
c. Kebijaksanaan terhadap yurisprudensi.
2. Politik penerapan dan penegakan hukum
Merupakan kebijaksanaan yang bersangkut paut dengan:
a. Kebijaksanaan di bidang peradilan dan cara-cara penyelesaiian hukum
diluar proses peradilan (arbitrase, negosiai dan rekonsiliasi);
b. Kebijaksanaan di bidang

24

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, Hlm 352.

16

BAB III
Pembahasan
A. Pengaruh Politik Hukum Dalam Program legislasi Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Pada dasarnya segala hal yang berkaitan dengan perkawinan di
indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Sebenarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
(selanjutnya disebut UUP) tentang Perkawinan merupakan salah satu
unsaha unifikasi hukum di bidang hukum keluarga karena dalam undangudang ini tidak hanya diatur mengenai pekawinan saja, melainkan juga
tentang hukum keluarga meskipun pengaturannya secara garis besar saja
yaitu anatara lain pengaturan mengenai kedudukan anak, hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak,perwalian yang kesemuanya ini merupakan
bagian dari hukum keluarga. 25 Pada awalnya UUP dibentuk dan merupakan
hasil legislatif pertama pertama yang memberikan gambaran mengenai
kebenaran adanya bhineka tunggal ika. Dalam UUP ini diharapkan dapat
menlengkapi dan mengatur apa yang belum diatur dalam agama atau
kepercayaan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya tidak hanya mengatur hukum subtantif dari
perkawinan, akan tetapi mencangkup hukum ajektifya. Dalam hukum
ajektifnya tersebut dapat dikonsentrasikan betapa besarnya peran yang

25

Djuaendah Hasan, Hukum Keluarga, Bandung: Armico, 1988, Hlm 18.

17

diharapkan badan-badan peradilan. Pembentukan undang-undang terutama
mengharapkan peranan badan-badan peradilan untuk menangani masalahmasalah seperti dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan
perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri,
putusnya perkawinan berserta akibatnya, kedudukan anak, hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan juga mengenai
perkawinan campur.26
Tetapi, pada praktiknya tidak setiap perkawinan berjalan tanpa diikuti
adanya masalah. Masalah-masalah yang timbul dalam rumah tangga dalam
hal ini pada umumnya terjadi karena ulah dari para anggota keluarga itu
sendiri, hal ini menyebabkan kemungkinan timbulnya sebuah kekerasan
dalam rumah tangga. Beberapa faktor yang mendorong tejadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga adalah;
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki, dalam hal ini laki-laki
mengaggap dirinya mampu mengatur dan mengenadlikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, pembatasan
kesempatan

bagi

wanita

untuk

bekerja

mengakibatkan

ketergantungan terhadap suami, jadi ketika suami kehilangan
pekerjaannya maka istri dapat menjadi sasaran kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak, kewajiban istri dalam hal ini adalah
mengurus anaknya sehingga apabila istri lalai dalam menjalankan
kewajibannya maka, suami akan menyalahkan istri dan terjadi
kekerasan.
4. Wanita sebagai anak-anak, dalam hal ini laki-laki merasa punya hak
untuk mengendalikan segala hak dan kewajiban dari wanita. Sama
halnya seperti melakukan kekerasan terhadap anak untuk
mendidiknya.

26

Sorerjono soekanto, Op.Cit, hlm 6.

18

Sebelum adanya undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam hal ini korban dari
tindak kekerasan tidak banyak melakukan pelaporan kepada pihak polisi
disebabkan oleh faktor psikologis yaitu karena korban merasa tidak
mendapat dukungan dari masyarakat akan masalah yang dihadapi, merasa
yakin bahwa pelaku kekerasan dalam rumah tangga akan berubah, korban
merasa khawatir tidak mampu mengurus keluarganya sendiri, korban
khawatir bahwa proses hukum yang tidak berpihak pada korban, ketidak
tahuan korban akan perilaku kekerasan rumah tangga yang dialaminya.
Dapat disebabkan juga oleh faktor ekonomi karena korban bergantung/
menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada pelaku kekerasan dalam
rumah tangga,
Selain faktor psikologis dan faktor ekonomi, keengganan korban untuk
melaporkan perilaku kekerasan dalam rumah tangga karena korban
menerima kekerasan rumah tangga tersebut sebagai bentuk dari
pelanggaran hukum hingga peyelesaiaan masalahnya seringkali di tutup dan
/ atau ditunda. Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sering
dialami juga tidak di dukung oleh para penegak hukum itu sendiri,
maksudnya para penegak hukum dalam hal ini seringkali mengemukakan
alasan yang lazim yaitu karena adanya legitimasi hukum bagi pelaku untuk
melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni
keluarga. hal ini lah yang menjadikan pelaku kekerasan dalam rumah
tangga berlaku semakin seenaknya pada korban. Dalam UUP tidak
mengatur mengenai masalah yang terjadi dalam perkawinan.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang paling
banyak masuk ke LBH APIK Jakarta, yakni berjumlah 325 kasus 27 .

27 Mohammad

Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014, hlm 213.

19

Sebelumnya, mengenai kekerasan dalam rumah tangga dibahas dalam
seminar yang diselenggarakan oleh pusat pelayanan dan pengabdian hukum
Universita Indonesia 1991. Dalam seminar ini dibahas mengenai ususlan
dalam menanggulangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang sudah
banyak terjadi. Dengan usulan tersebut maka terjadi pro dan kontra terhadap
usulan tersebut. Adanya yang setuju untuk dibentuknya undang-undang
khusus dengan alasan walaupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana telah dibahas mengenai tindakan kekerasan, tetapi belum dibahas
secara khusus mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Adan
juga yang menyatakan bahwa undang-undang pidana sudah cukup
mengatur menenai hal tersebut.
Tetapi, perjuangan dari kaum perempuan dan sebagian kaum pria mulai
menunjukan perjuangannnya untuk mendorong pembentukan undangundang tersebut, sampai akhirnya sejak tahun 1998-2004 banyak pihak dari
berbagai wilayah indonnesia ikut telibat untuk mendukung pembentukan
undang-undang

ini.

Kemudian

sejumlah

LSM/Ormas

perempuan

mempelopori lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggadan LBH-APIK Jakarta
sebagai penggagas dan pembuat draft sejak tahun 1997. Gagasan mengenai
pentingnya sebuah undang-undang KDRT ini didasarkan oleh pengalaman
para perempuan korban KDRT yang terjadi di ranah domestik.

28

Hubungannya dengan politik hukum adalah dalam hal ini politik hukum
dikatakan sebagai kebijaksanaan. Karena peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu aspek dari hukum, maka pengkajian peraturan
perundang-udnangan merupakan bagian dari subsistem dari kajian politik
hukum. Dengan adanya Program Legislasi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

28

Moerti Hadiati Soeroso, Op.Cit, Hlm 64.

20

merupakan salah satu bentuk penegakan Hak Asasi Manusia khususnya
bagi perempuan dan anak-anak.

Intervensi dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat ini memberikan
hasil yang baik yaitu terbentuknya Undang-Undnag Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hal tersebut
ditujukan utnuk memberikan keadilan bagi korban kekerasan dalam rumah
tanggaserta memberikan perlindungan dan pelayanan yang cukup pada
korban.
Adapun pelaksanaan dari dibentuknya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
tercantum dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa penghapusan KDRT
disebabkan :
a. Untuk menghormati hak asasi setiap manusia
b. Untuk keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban.
Dari hal tersebut dikatakan bahwa UUP dalam hal ini belum menjamin
adanya perlindungan hukum bagi para korban KDRT. Terkait pembentukan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga disini peran dari politik hukum itu sendiri adalah
berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan yang harus diadakan
dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan
kenyataan sosial. Karena dalam kenyataanya korban KDRT membutuhkan
perlindungan hukum dan hal tersebut belum begitu terlihat dalam sistem
hukum di indonesia. Sehingga lembaga legislatif dalam hal ini mengkaji
bagaimana penetapan hukum yang seharusnya agar menjadi hukum yang
diharapkan bagi masarakat khususnya terhadap korban dari KDRT.

21

Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengarahkan kepada
produk hukum yang dibutuhkan pemerintah untuk mendukung tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan nasional, karena dengan perlindungan dari
pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat atau pihak lainnya yang
didapat para koban. Dan juga terhindarnya korban dari tindakan kekerasan
atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat kemanusiaan. Dalam hal ini dapat mendukung
pembangunan nasional yang di harapkan oleh negara yaitu meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata tanpa adanya
diskriminasi.
Karena setiap orang behak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah pancasila dan UUD 1945
dalam hal ini program legislasi mengenai Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
merupakan program yang juga ditujukan untuk menunjang pembangunan
nasional yang mencakup peraturan di bidang kesejahteraan umum. Program
Legislasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga disusun secara sistematis mengingat
banyaknya kekerasan dalam rumah tangga. Program ini dibuat oleh yang
berwenang dengan tujuan untuk memenuhi hak-hak dari para korban
KDRT. Karena penyebab lahirnya Program legislasi nasional dalam hal ini
salah satunya karena peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
pemerintahan pada masa lalu yidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan
kebutuhan pembangunan yang bersendikan hukum agama dan hukum
adat.29

29

Hernadi Affandi, dkk, Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional,
Bandung: Mujahid Press, 2017, hlm 9.

22

B. Penyelesaian Masalah Berdasarkan Undang Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tujuan dari dibentuknya Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang Penghapusan Kekerasan adalah untuk menjamin perlindungan hukum
terhadap korban KDRT dan untuk menunjukan bahwa setiap orang memiliki
hak asasi yang harus dihormati, sehingga Undang-undang ini ditujukan untuk
mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban
kekerasan dalam rumah tanngga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga dan memelihara keutuhan rumah tagga yang harmonis dan sejahtera hal
ini tercantum dalam Pasal 4 .
Undang-undang ini dengan tegas melarang setiap orang untuk melakukan
kekerasan mengingat banyaknya korban kekerasan rumah tangga yang
membuat korban cacat fisik, mental maupun meninggal dunia.
Dalam udang-undang ini tercantum mengenai hak-hak untuk para korban
yaitu:
1. untuk mendapat perindungan hukum,jaminnan perlindungan sangat penting
untuk memastikan bahwa korban tersebut diperlakukan dengan simpatik
dan hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin, sehingga
kesaksian yang diberikan dipastikan akan diperoleh untuk menghukum
pelaku KDRT.
2. Mendapat pelayanan kesehatan ditujukan agar korban mendapat pemulihan
medis, yaitu pemulihan luka fisik uanag diderita korabn dengan
memberikan rujukan ke rumah sakit uang menyediakan pelayanan terpadu
bagi korban KDRT psikis, hukum dan sosial, terutama untuk
mengembalikan kepercayaan dirinya, serta untuk mengembalikan
kecpercayaan dirinya.
3. Penanganan khusus terhadap kerahasiaan korban, hak korban untuk
memperoleh ganti kerugian atas kerugian yanag di deritanya baik dari

23

pemerintahan

sebagai

organisasi

yang

berkewaiaban

memberi,

perlindungan pada dirinya maupun pada pelaku KDRT.
4. Pelayanan bimbingan rohani, penguatan iman dan taqwa sesua dengan
agama yang dianutnya masing-masing.
Hak-hak terhadap korban tersebut dibentuk untuk merehabilitasi jiwa ,
pikiran, perasan dan mental terhadap korban KDRT. Dengan dibentuknya
undang-undang ini memungkinkan adanya perlindungan terhadap perempuan
dan anak-anak terhadap tindakan KDRT. Tetapi pada penerapannya seteleh 2
tahun diberlakukannya Undang-undang ini, dan dibukanya layanan khusus bagi
perempuan korban sepanjang tahun 2006 LBH-APIK Jakarta telah menerima
pengaduan sebanyak 867 Kasus. Jumlah ini merupakan penurunan sebesar 20%
dari tahun-tahun sebelumnya.
Dari data tersebut maka penerapan undang-undang ini sebenarnya bisa
menjadi indikator yang digunakan untuk menyikapi kekersasan-kekerasan
dalam rumah tangga, walaupun masih ada sekitar 867 kasus mengenai KDRT
tetapi ada penurunan yang membuktikan bahwa program legalisasi undangundang kekerasan dalam rumah tangga ini cukup berhasil diterapkan, karena
keberhasilan sebuah undnag-undang di tentukan dari penerapannya dalam
masyarakat.

24

BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga merupakan salah satu bentuk kebijakan
pemerintahyang bertujuan untuk penegakan Hak Asasi Manusia khususnya
bagi perempuan dan anak-anakKarena setiap orang behak untuk
mendapatkan rasa aman. Undang-undang ini merupakan salah satu produk
politik hukum yang timbul dari intervensi-intervensi kelompok lembagalembaga Swadaya Masyarakat yang menginginkan perlindungan bagi kaum
wanita dan anak-anak. Program legalisasi Undang-undnag ini walaupun
pada dasarnya di buat karena intervensi, tetapi dibutuhkan oleh pemerintah
untuk mendukung tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan nasional
yang menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera secara adil dan
merata mengingat banyaknya diskriminasi terhadap pihak wanita dan anakanak.
2. Program legislasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sejauh ini bekerja dengan
baik meskipun belum banyak membantu dalam praktikanya tetapi sudah
membuat penurunan korban-korban kekerasan dalam rumah tangga.
B. Saran
1. Undnag-undang merupakan suatu hal yang dapat mengatur masyarakatnya
sehingga untuk menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera
diperlukan undang-undang

yang dapat mengakomodir kebutuhan

masyarakatnya, sehingga dengan banyanya kasus KDRT di indonesia, para

25

penyusun undang-undang seharunya melihat kebutuhan masyarakatnya
dalam menyusun undang-undang sehingga penyusunan undang-undang
tidak terbentuk karena intervensi dari pihak manapun.
2. Seharusnya dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggamasyarakat dapat
ikut berkontribusi sehingga mengurangi tingkat kekerasan dalam rumah
tangga lebih banyak untuk membantu pemerintah dalam pembangunan
nasional.

26

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Djuaendah Hasan, Hukum Keluarga, Bandung: Armico, 1988
Hernadi Affandi, dkk, Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum
Nasional, Bandung: Mujahid Press, 2017
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2012
Jazim Hamini, Teori dan Politik Hukum Tata Negar a, Yogyakarta: Total Media,
2009
Lamintang dan theo Laminang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa,
Tubuh dan Kesehatan, Jakarta; Sinar Grafika, 2010
Moerti Hadiati Soeroso, kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Prespektif
Yuridis-Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Mohammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014
Pipih Sopiah, Mengapa Ada Kekerasan Dalam Rumah Tangga?, Bandung: CV.
Indah Mustika, 2012
PadmoWahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum. Cet II. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986
R.Soeroso, PengantarIlmuHukum, Jakarta, SinarGrafika, 2008.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 1992
Soedjono Didjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali, 1984

27

Soerjono Soekanto, Intissari Hukum Keluarga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1992
Surojo Wignyodiputro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Gunung Agung, 1982
Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUH Perdata, Bandung: Taristo, 1990
Undang-Undang:
Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan
Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 tentangHakAsasiManusia