Pengelolaan Limbah B3 (1) doc
Pengetahuan Teknis
Pengelolaan Limbah B3
20 Januari 2013 Adya Hebat Tinggalkan komentar
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan pemerintah No 18, Tahun 1999 dijelaskan bahwa limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya
dan beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya atau jumlahnya yang secara labgsung
maupun tidak langsung dapat mencemari lingkungan hidup dan membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.
Kebijakan lingkungan sudah tidak dapat disangkal dan merupakan keharusan yang perlu
ditingkatkan oleh industri. Kepedulian industri terhadap lingkungan haruslah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kebijakan perusahaan. Dengan semakin mengglobalnya
pasar internasional (Era Pasar Global), maka industri harus dapat mengantisipasi globalisasi
pasar internasional tersebut. Salah satu desakan pasar internasional adalah produk yang masuk ke
pasar mereka harus diproduksi dengan proses produksi yang ramah lingkungan (Green Product).
Hal ini berarti mulai dari bahan baku, teknologi proses, produk yang dihasilkan sampai dengan
limbah yang dibuang haruslah ramah terhadap lingkungan, dengan menghasilkan Zero To Waste.
Berbagai jenis limbah industri B3 yang tidak memenuhi baku mutu yang dibuang langsung ke
lingkungan merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari
kerusakan tersebut perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup. Salah satu komponen penting agar program tersebut dapat berjalan adalah dengan
diberlakukannya peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sebagai dasar dalam menjaga
kualitas lingkungan. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut maka hak, kewajiban dan
kewengangan dalam pengelolaan limbah oleh setiap orang, badan usaha maupun organisasi
kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum.
Arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan ekonomi dengan
bertumpukan pada pembangunan industri. Berkembangnya industri disamping akan
menghasilkan produk-produk yang bermanfaat bagi masyarakat juga akan membawa dampak
negatif terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Salah satu dampak tersebut adalah
dihasilkannya limbah buangan. Berbagai jenis limbah buangan yang tidak memenuhi standar
baku mutu limbah merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan yang utama.
Lingkungan yang telah tercemar dan rusak, akan menimbulkan dan meningkatkan biaya
eksternalitas yang harus ditanggung oleh masyarakat. Kondisi demikian rawan sekali terhadap
resiko timbulnya konflik sosial, yang pada akhirnya akan mengancam kelestarian dari industri itu
sendiri.
Untuk menghindari terjadinya kerusakkan lingkungan tersebut perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang
terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi
masa depan. Salah satu komponen penting agar pelaksanaan pembangunan sesuai dengan dasardasar kebijaksanaan dan berwawasan lingkungan adalah dengan diberlakukannya peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup sebagai landasan dalam pelaksanaan operasional di
lapangan. Dengan diberlakukannya peraturan perundang-undangan tersebut akan dapat
memberikan petunjuk operasional dan dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan yang
berseberangan.
1.2. Tujuan
Tujuan utama dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui berbagai macam teknologi
pengolahan Limbah B3 di beberapa jenis industri.
BAB II
ISI
2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Peraturan Undang-Undang Pemerintah
Daerah
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah
berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab
dalam memelihara kelestariannya. Untuk mengantisipasi berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999
tersebut, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal telah merumuskan interpretasi
kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menurut U.U tersebut.
Secara umum, kewenangan pe-ngelolaan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
Kewenangan Pusat
Kewenangan Propinsi
Kewenangan Kabupaten/Kota.
1. Kewenangan Pusat terdiri dari kebijakan, tentang :
Perencanaan nasional dan pengenda-lian pembangunan secara makro
Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola
lingkungan hidup;
Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang
lingkungan hidup
Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;
Teknologi tinggi strategi seperti mene-tapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi
strategi tinggi yang menim-bulkan dampak;
Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan
konservasi antar propinsi dan antar negara;
Standarisasi nasional;
Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan
sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomen-dasi laboratorium
lingkungan dsb.
1. Kewenangan Propinsi terdiri dari :
Kewenangan dalam bidang pemerin-tahan yang bersifat lintas Kabupaten / Kota;
Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan
regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau
lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk
menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi
dan sebagainya.
Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di
luar kewenangan pusat.
1. Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari:
Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup;
Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup;
Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan;
Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi
lahan dsb.
Penegakan hukum lingkungan hidup;
Pengembangan SDM pengelolaan lingkungan hidup.
2.2 Pengurangan Limbah Industri Dengan Penerapan Clean Technology
Selama ini praktek pengelolaan lingkungan di industri fokus pada pengelolaan (treartment) yang
dikenal dengan end of pipe (EOP) dari sisi bisnis pendekatan ini tidak mendatangkan keuntungan
ekonomis karena investasi, operasi, pemeliharaan dan pembuangan (dispocal) yang dikeluarkan
bersifat pusat biaya (Cost Centre). Disamping itu juga menjadi beban karena sulitnya memenuhi
atau memelihara konsistensi pemenuhan regulasi (comply with regulation) yang menjadi
pendekatan ini.
Beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pengurangan limbah industri :
1. Pemilihan jenis teknologi yang digunakan dalam dunia usahan (4R : Reduce, Reuse,
Recycling, Recovery)
2. Mengatasi masalah lingkungan dengan EOP (End Of Pipe) dan CTP (Clean Technology
Process). EOP menangani limbah yang terjadi sebagai akibat kegiatan industri, terutama
ditunjukan kepada industri-industri yang ada. CTP, meminimalkan limbah dalam arti
mulai dari pemilihan dan penanganan bahan baku, Disain pabrik dengan prinsip-prinsip
4R, pemilihan teknologi proses yang bersih dan hemat energi serta pengolahan limbah
sejak awal sudah harus dipikirkan.
Tabel 2.1. Eksternal dan Internal Katalis dalam
Pengurangan Limbah Industri
External
Adanya peraturan perudang-undangan yang
jelas
Biaya pajak dan denda.
Intensitas tekanan lingkungan
Kejadian atau kecelakaan yang ditimbulkan
oleh pabrik.
Internal
Tingkat kualitas dari barang jadi.
Biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan
barang jadi
Biaya penurunan limbah
Kesulitan dalam pembuangan limbah
Biaya bahan baku.
Kesulitan dalam memperoleh bahan baku.
Kejadian dan kecelakaan secara internal.
Sumber : Clean Technology (Misra, 1996)
2.3 Misi, Strategi, Program Dan Prinsip-Prinsip Dalam Pengelolaan Limbah B3
1. Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya
Yang dimaksud dengan limbah B3 disini adalah “setiap limbah yang mengandung bahan
berbahaya dan /atau beracun yang karena sifat dan /atau konsentrasinya dan /atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan /atau mencemarkan lingkungan
hidup dan /atau membahayakan.” Dampak yang ditimbulkan oleh limbah B3 yang dibuang
langsung ke lingkungan sangat besar dan dapat bersifat akumulatif, sehingga dampak tersebut
akan berantai mengikuti proses pengangkutan (sirkulasi) bahan dan jaring-jaring rantai makanan.
Mengingat besarnya resiko yang ditimbulkan tersebut maka pemerintah telah berusaha untuk
mengelola limbah B3 secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan.
1. Misi Pengelolaan Limbah B3
Mengurangi dan mencegah semaksi-mal mungkin ditimbulkannya limbah B3 dan mengolah
limbah B3 dengan tepat sehingga tidak menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan
terganggunya kesehatan manusia.
1. Strategi Pengelolaan Limbah B3
Mempromosikan dan mengembangkan teknik minimisasi limbah melalui teknologi
bersih, penggunaan kembali, perolehan kembali, dan daur ulang.
Meningkatkan kesadaran masyarakat.
Meningkatkan kerjasama antar instansi, baik di pusat, daerah maupun inter-nasional,
dalam pengelolaan limbah B3.
Melaksanakan dan mengembangkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Membangun Pusat-pusat Pengolahan Limbah Industri B3 (PPLI-B3) di wilayah yang
padat industri.
1. Prinsip-prinsip pengelolaan Limbah B3
1. “POLLUTION PREVENTION PRINCIPLE”
(Upaya meminimasi timbulan limbah).
1. “POLLUTER PAYS PRINCIPLE”
(Pencemaran harus membayar semua biaya yang diakibatkannya).
1. “CRADLE TO GRAVE PRINCIPLE”
Pengawasan mulai dari dihasilkan sampai dibuang/ditimbunnya limbah B3 . Pengolahan dan
penimbunan limbah B3 diusahakan dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya.
1. “NON DESCRIMINATORY PRINCIPLE”
Semua limbah B3 harus diberlakukan sama di dalam pengolahan dan penanganannya.
1. “SUSTAINABLE DEVELOPMENT”
(Pembangunan berkelanjutan).
2.4 Pengelolaan Limbah Industri B3 Oleh Pemerintah.
Untuk mencapai sasaran dalam pengelolaan limbah perlu di buat dan diterapkan suatu sistem
pengelolaan yang baik, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat berpotensi
menghasilkan limbah B3. Salah satu sektor kegiatan yang sangat berpotensi menghasilkan
limbah B3 adalah sektor industri. Sampai saat ini sektor industri merupakan salah satu
penyumbang bahan pencemar yang terbesar di kota-kota besar di Indonesia yang mengandalkan
kegiatan perekonomiannya dari industri. Untuk menghindari terjadinya pencemaran yang
ditimbulkan dari sektor industri, maka diperlukan suatu sistem yang baik untuk melakukan
pengawasan dan pengelolaan limbah industri, terutama limbah B3-nya.
Pengawasan limbah B3 adalah suatu upaya yang meliputi pemantauan penataan persyaratan serta
ketentuan teknis dan administrative oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengolah termasuk
penimbun limbah B3. Sedangkan yang dimaksud pemantauan di sini adalah kegiatan pengecekan
persyaratan-persyaratan teknis-administratif oleh penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengolah
termasuk penimbun limbah B3.
Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Kepala
BAPEDAL Nomor KEP-02/BAPEDAL/01/1998 tentang Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah, maka pengawasan dalam pelaksanaan
pengelolaan limbah B3 dapat dikelompokkan kedalam tiga kewenangan, yaitu kewenangan
Pemerintah Daerah Tingkat II, kewenangan Pemerintah Daerah Tingkaat I dan kewenangan
Bapedal.
2.5 Karakteristik Limbah B3
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dapat diidentifikasi melalui beberapa karakteristiknya
2.6 Teknik Pengolahan Limbah B3
Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3
menjadi tidak berbahaya atau tidak beracun dan immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun
memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali[2]. Proses pengolahan secara fisika dan
kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah B3 dan menghilangkan sifat limbah B3
dari berbahaya menjadi tidak berbahaya.
Tabel 2.4. Metode Pengolahan Limbah B3
BPPT menyebutkan, ada beberapa cara teknik pengolahan Limbah B3, diantaranya adalah:
1
Netralisasi.
Netralisasi limbah diperlukan jika kondisi limbah masih diluar range pH baku mutu limbah
(BML) yang diperlukan pH (6-8), sebab limbah diluar kondisi tersebut dapat bersifat racun atau
kosorosif. Dalam beberapa hal netralisasi dapat dilakukan dengan cara mencampur limbah yang
bersifat asam dengan yang bersifat basa. Secara umum reaksi netralisasi dapat dinyatakan dalam
persamaan berikut :
Asam + Basa
2
Garam + Air (Kondisi lebih netral)
Sedimentasi (pengendapan)
Jika konsentrasi logam berat didalam air limbah cukup tinggi, maka logam tersebut dapat
dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan. Pengendapan dapat megubah bentuk logam
yang ada kedalam bentuk hidroksidanya.
3
Koagulasi dan Flokulasi.
Koagulasi dan flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan juka
kecepatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Koagulasi
dilakukan dengan menambahkan bahan kimia koagulan kedalam air limbah.
4
Oksidasi – Reduksi
Oksidasi adalah reaksi kimia yang akan meningkatkan bilangan valensi meteri yang bereaksi
dengan melepaskan elektron. Reaksi oksidasi selalu diikuti dengan reaksi reduksi. Reaksi
Reduksi adalah reaksi bilangan kimia yang akan menurunkan bilangan valensi materi yang akan
bereaksi dengan menerima elektron dari luar. Reaksi kimia yang melibatkan kedua reaksi
tersebut adalah reaksi Redoks.
5
Insenerasi
Insenarasi merupakan sebuah proses pembakaran sampah padat. Alat yang digumakan untuk
melaukukan insenerasi adalah insenerator. Inseneeator sering digunakan untuk mengolah limbah
B3 yang memerlukan persyaratan teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat.
Insenarator harus dioperasikan pada kondisi diatas temperatur destruksi bahan yang dibakar.
6
Stabilisasi/solidifikasi
Pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah sifat fisik dan kimiawi
limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat (aditif) B3 agar pergerakan senyawa B3
ini terhambat atau terbatasi dan membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar
(Massive). Pada proses ini, limbah B3 harus dapat diikat dan distabilkan sehinga sifat racun dan
sifat bahayanya dapat diturunkan sampai ambang batas yang ditentukan.
7
Pengolahan dengan cara penimbunan
Pengolahan dengan cara ini memerlukan lokasi yang luas, jauh dari permukiman penduduk dan
aktivitasnya. Lokasi penimbunanan juga tidak boleh berhubungan dengan faktor-faktor
pendukung kehidupan seperti, tempat sumber air atau lokasi serapan air tanah. Lokasi
penimbunan yang sudah penuh harus ditutup dan tidak dapat digunakan sebagai lokasi
permukiman.
Pengolahan limbah B3.
2.7 Pengelolaan dan Pengolahan Limbah B3 di Bengkel
Limbah B3 juga dapat dihasilkan dari berbagai sumber dengan laju timbulan rendah, seperti
industri dry clener, bengkel, proses cuci cetak film. Jenis penghasil limbah semacam ini yang
memproduksi limbah lebih kecil dari 1 ton/bulan dikategorikan sebagai peghasil limbah B3 skala
kecil. Limbah B3 dari penghasil berskala kecil dapat menyebabkan terjadinya bahaya besar
apabila tidak dikelola dengan benar. Limbah B3 dari penghasil skala kecil biasanya dibuang ke
TPA sampah kota, ke badan air, ke saluran drainase serta ke bukan tempat pengolahan dan
pembuangan khusus limbah B3 (Trihadiningrum, 2000). Menurut Muliartha, dkk (2004), Limbah
yang dihasilkan dari usaha perbengkelan juga dapat menyebabkan pencemaran terhadap air,
tanah maupun udara disekitar apabila tidak dikelola dengan benar. Limbah B3 yang dihasilkan
dari usaha bengkel antara lain : limbah padat dan limbah cair. Limbah B3 padat meliputi limbah
logam yang dihasikan dari kegiatan usaha perbengkelan seperti skrup, potongan logam, lap kain
yang terkontaminasi oleh pelumas bekas maupun pelarut bekas. Sedangkan limbah cair meliputi
oli bekas, pelarut atau pembersih, H2SO4 dari aki bekas.
Dari permasalahan yang diakibatkan dari limbah B3 bengkel tersebut, di paper ini akan dibahas
menganai jumlah timbulan dari masing – masing ktegori bengkel dan juga pengelolaan yang ada
di lapangan mengenai pengelolaan limbah B3 bengkel.
TIMBULAN LIMBAH B3 BENGKEL
Jumlah timbulan digunakan untuk mengetahui seberapa besar volume yang dibutuhkan perhari
untuk menampung limbah B3 yang dihasilkan. Jumlah timbulan rata – rata dikategorikan
berdasarkan jumlah pelanggan dari bengkel tersebut
Tabel. 2.5. Jumlah Timbunan Limbah B3 Bengkel Perhari
Sumber : Ia’Natul Mukhlishoh
Jumlah timbulan limbah oli bekas dan botol bekas oli sebanding dengan kategori bengkel,
dimana semakin ramai bengkel tersebut maka jumlah timbulan yang dihasilkan juga akan
semakin besar, berbeda dengan limbah aki bekas dan onderdil terkontaminasi oli yang
pemakaiannya sangat jarang dan untuk penggantiannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dari limbah B3 bengkel tersebut harus dilakukan pengelolaan yang sesuai agar menghindari
terjadinya bahaya yang ditimbulkan dari limbah B3 bengkel tersebut.
PENGELOLAAN LIMBAH B3 BENGKEL
1. Pewadahan
Pewadahan Pewadahan limbah B3 bengkel yang ada di lapangan masih belum sesuai dengan
Keputusan Kepala Bapedal no.1 tahun 1995. Dimana untuk ketentuan umum kemasan yang
digunakan yaitu harus kuat, tahan lama, tidak bocor dan tidak mudah berkarat. Selain itu
kemasan yang digunakan harus tertutup untuk menghindari terjadinya paparan limbah B3 ke
udara. Untuk penggunaan wadah yang ada di lapangan dapat dilihat pada gambar.1.
Gambar 2.2 Wadah oli, onderdil terkontaminasi dan botol bekas oli.
Keadaan di lapangan untuk pewadahan hanya dilakukan untuk oli bekas, onderdil terkontaminasi
dan botol bekas oli. Sedangkan untuk majun dan aki bekas tidak ada pewadahan khusus. Hal
tersebut sangatlah tidak dianjurkan karena untuk limbah B3 haruslah memiliki wadah khusus
yang berguna untuk mengamankan limbah B3 tersebut dan lingkungan sekitarnya. Selain itu
untuk wadah limbah B3 harus dilengkapi dengan symbol dan label yang sesuai dengan
karakteristik limbah B3 tersebut.
1. Penyimpanan
Untuk penyimpanan limbah B3 yang ada di bengkel masih belum sesuai dengan Kep. Bapedal
no.1 tahun 1995 tentang tata cara dan persyaratan teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah
B3. Untuk penyimpanan limbah B3 yang berada di luar bengkel tidak memiliki bangunan khusus
penyimpanan, namun hanya diletakkan begitu saja di luar bengkel. Sehingga hampir semua drum
oli bekas maupun tandon yang terletak di luar bengkel bercampur dengan air hujan.
1. Pengangkutan
Untuk penyimpanan limbah B3 yang ada di bengkel masih belum sesuai dengan Kep. Bapedal
no.1 tahun 1995 tentang tata cara dan persyaratan teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah
B3. Untuk penyimpanan limbah B3 yang berada di luar bengkel tidak memiliki bangunan khusus
penyimpanan, namun hanya diletakkan begitu saja di luar bengkel. Sehingga hampir semua drum
oli bekas maupun tandon yang terletak di luar bengkel bercampur dengan air hujan.
Analisa Perancangan Pengeloaan Limbah B3 Di Bengkel
Pengelolaan limbah B3 ini berguna untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 bengkel.
1. Reduksi
Reduksi dilakukan untuk mengurangi jumlah timbulan limbah B3 bengkel dan mengurangi sifat
bahaya dari racun yang dapat dilakukan. Usaha reduksi untuk limbah B3 bengkel yaitu :
• Menggunakan kembali onderdil – onderdil bekas yang masih dapat digunakan kembali.
• Menerapkan sistem K3 untuk menghindari terjadinya ceceran pelumas atau bahan bakar
dari motor sehingga mengurangi penggunaan majun yang terkontaminasi.
• Menggunakan kembali majun yang masih belum terlalu kotor.
1. Pewadahan dan Label
Pewadahan yang digunakan untuk limbah B3 bengkel yang sesuai dengan kategori limbah yang
ada di bengkel yaitu mudah terbakar dan korosif adalah wadah yang memenuhi kriteria umum
sebagai berikut :
• limbah yang memiliki karakteristik yang berbeda tidak boleh disimpan dalam satu
kemasan untuk menghindari terjadinya pencampuran dari 2 sifat limbah B3 yang berbeda
yang dapat mengakibatkan reaksi yang tidak diinginkan.
• Kemasan limbah B3 harus terbuat dari bahan yang sesuai dengan karakteristik limbah B3
tersebut, tahan lama, tidak mudah berkarat, dan tidak bocor. Kemasan harus diganti apabila
terdapat kerusakan atau kebocoran pada kemasan.
• Memiliki penutup yang kuat untuk mencegah terjadinya tumpahan pada saat dilakukan
pemindahan atau pengangkutan.
1. Pengangkutan
Pengangkutan ini dilakukan untuk mengirim limbah B3 bengkel ke pihak pengolah atau
pemanfaat. Pada Peraturan Pemerintah no.18 tahun 1999 dijelaskan bahwa pengangkut bisa
dilakukan oleh penghasil limbah, namun untuk limbah B3 bengkel ini sebaiknya dilakukan oleh
pihak pengolah atau pemanfaat limbah B3 bengkel tersebut. Pengangkutan harus disertai dengan
manifest yang dimiliki oleh pihak pengangkut. Kendaraan pengangkut yang digunakan harus
tahan lama, kuat dan mampu melindungi limbah B3 yang akan diangkut. Selanjutnya
pengangkutan ini akan dibawa ke pihak pemanfaat atau pengolah limbah yang akan dibahas pada
sub bab selanjutnya.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengangkutan limbah B3 adalah rute pengangkutan yang
harus memperhatikan peraturan yang berlaku. Apabila peraturan mengenai trayek tidak ada maka
pengangkut limbah B3 sebaiknya memilih jalan arteri yang jauh dari pemukiman guna
menghindari terjadinya bahaya yang tidak diinginkan (Trihadiningrum, 2000).
[1] Dyah Sulistyaningsih R, 2007
[2] Dyah Sulistyaningsih R, 2007
Sumber dapat diunduh pada : https://www.box.com/files/0/f/604132106
Sumber berasal dari
: https://adyapradhana.wordpress.com/2013/01/20/pengelolaan-limbah-b3/
Di unduh pada 17-03-2017 pukul 15:45
Pengelolaan Limbah B3
20 Januari 2013 Adya Hebat Tinggalkan komentar
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan pemerintah No 18, Tahun 1999 dijelaskan bahwa limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya
dan beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya atau jumlahnya yang secara labgsung
maupun tidak langsung dapat mencemari lingkungan hidup dan membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.
Kebijakan lingkungan sudah tidak dapat disangkal dan merupakan keharusan yang perlu
ditingkatkan oleh industri. Kepedulian industri terhadap lingkungan haruslah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kebijakan perusahaan. Dengan semakin mengglobalnya
pasar internasional (Era Pasar Global), maka industri harus dapat mengantisipasi globalisasi
pasar internasional tersebut. Salah satu desakan pasar internasional adalah produk yang masuk ke
pasar mereka harus diproduksi dengan proses produksi yang ramah lingkungan (Green Product).
Hal ini berarti mulai dari bahan baku, teknologi proses, produk yang dihasilkan sampai dengan
limbah yang dibuang haruslah ramah terhadap lingkungan, dengan menghasilkan Zero To Waste.
Berbagai jenis limbah industri B3 yang tidak memenuhi baku mutu yang dibuang langsung ke
lingkungan merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari
kerusakan tersebut perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup. Salah satu komponen penting agar program tersebut dapat berjalan adalah dengan
diberlakukannya peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sebagai dasar dalam menjaga
kualitas lingkungan. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut maka hak, kewajiban dan
kewengangan dalam pengelolaan limbah oleh setiap orang, badan usaha maupun organisasi
kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum.
Arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan ekonomi dengan
bertumpukan pada pembangunan industri. Berkembangnya industri disamping akan
menghasilkan produk-produk yang bermanfaat bagi masyarakat juga akan membawa dampak
negatif terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Salah satu dampak tersebut adalah
dihasilkannya limbah buangan. Berbagai jenis limbah buangan yang tidak memenuhi standar
baku mutu limbah merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan yang utama.
Lingkungan yang telah tercemar dan rusak, akan menimbulkan dan meningkatkan biaya
eksternalitas yang harus ditanggung oleh masyarakat. Kondisi demikian rawan sekali terhadap
resiko timbulnya konflik sosial, yang pada akhirnya akan mengancam kelestarian dari industri itu
sendiri.
Untuk menghindari terjadinya kerusakkan lingkungan tersebut perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang
terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi
masa depan. Salah satu komponen penting agar pelaksanaan pembangunan sesuai dengan dasardasar kebijaksanaan dan berwawasan lingkungan adalah dengan diberlakukannya peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup sebagai landasan dalam pelaksanaan operasional di
lapangan. Dengan diberlakukannya peraturan perundang-undangan tersebut akan dapat
memberikan petunjuk operasional dan dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan yang
berseberangan.
1.2. Tujuan
Tujuan utama dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui berbagai macam teknologi
pengolahan Limbah B3 di beberapa jenis industri.
BAB II
ISI
2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Peraturan Undang-Undang Pemerintah
Daerah
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah
berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab
dalam memelihara kelestariannya. Untuk mengantisipasi berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999
tersebut, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal telah merumuskan interpretasi
kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menurut U.U tersebut.
Secara umum, kewenangan pe-ngelolaan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
Kewenangan Pusat
Kewenangan Propinsi
Kewenangan Kabupaten/Kota.
1. Kewenangan Pusat terdiri dari kebijakan, tentang :
Perencanaan nasional dan pengenda-lian pembangunan secara makro
Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola
lingkungan hidup;
Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang
lingkungan hidup
Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;
Teknologi tinggi strategi seperti mene-tapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi
strategi tinggi yang menim-bulkan dampak;
Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan
konservasi antar propinsi dan antar negara;
Standarisasi nasional;
Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan
sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomen-dasi laboratorium
lingkungan dsb.
1. Kewenangan Propinsi terdiri dari :
Kewenangan dalam bidang pemerin-tahan yang bersifat lintas Kabupaten / Kota;
Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan
regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau
lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk
menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi
dan sebagainya.
Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di
luar kewenangan pusat.
1. Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari:
Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup;
Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup;
Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan;
Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi
lahan dsb.
Penegakan hukum lingkungan hidup;
Pengembangan SDM pengelolaan lingkungan hidup.
2.2 Pengurangan Limbah Industri Dengan Penerapan Clean Technology
Selama ini praktek pengelolaan lingkungan di industri fokus pada pengelolaan (treartment) yang
dikenal dengan end of pipe (EOP) dari sisi bisnis pendekatan ini tidak mendatangkan keuntungan
ekonomis karena investasi, operasi, pemeliharaan dan pembuangan (dispocal) yang dikeluarkan
bersifat pusat biaya (Cost Centre). Disamping itu juga menjadi beban karena sulitnya memenuhi
atau memelihara konsistensi pemenuhan regulasi (comply with regulation) yang menjadi
pendekatan ini.
Beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pengurangan limbah industri :
1. Pemilihan jenis teknologi yang digunakan dalam dunia usahan (4R : Reduce, Reuse,
Recycling, Recovery)
2. Mengatasi masalah lingkungan dengan EOP (End Of Pipe) dan CTP (Clean Technology
Process). EOP menangani limbah yang terjadi sebagai akibat kegiatan industri, terutama
ditunjukan kepada industri-industri yang ada. CTP, meminimalkan limbah dalam arti
mulai dari pemilihan dan penanganan bahan baku, Disain pabrik dengan prinsip-prinsip
4R, pemilihan teknologi proses yang bersih dan hemat energi serta pengolahan limbah
sejak awal sudah harus dipikirkan.
Tabel 2.1. Eksternal dan Internal Katalis dalam
Pengurangan Limbah Industri
External
Adanya peraturan perudang-undangan yang
jelas
Biaya pajak dan denda.
Intensitas tekanan lingkungan
Kejadian atau kecelakaan yang ditimbulkan
oleh pabrik.
Internal
Tingkat kualitas dari barang jadi.
Biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan
barang jadi
Biaya penurunan limbah
Kesulitan dalam pembuangan limbah
Biaya bahan baku.
Kesulitan dalam memperoleh bahan baku.
Kejadian dan kecelakaan secara internal.
Sumber : Clean Technology (Misra, 1996)
2.3 Misi, Strategi, Program Dan Prinsip-Prinsip Dalam Pengelolaan Limbah B3
1. Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya
Yang dimaksud dengan limbah B3 disini adalah “setiap limbah yang mengandung bahan
berbahaya dan /atau beracun yang karena sifat dan /atau konsentrasinya dan /atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan /atau mencemarkan lingkungan
hidup dan /atau membahayakan.” Dampak yang ditimbulkan oleh limbah B3 yang dibuang
langsung ke lingkungan sangat besar dan dapat bersifat akumulatif, sehingga dampak tersebut
akan berantai mengikuti proses pengangkutan (sirkulasi) bahan dan jaring-jaring rantai makanan.
Mengingat besarnya resiko yang ditimbulkan tersebut maka pemerintah telah berusaha untuk
mengelola limbah B3 secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan.
1. Misi Pengelolaan Limbah B3
Mengurangi dan mencegah semaksi-mal mungkin ditimbulkannya limbah B3 dan mengolah
limbah B3 dengan tepat sehingga tidak menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan
terganggunya kesehatan manusia.
1. Strategi Pengelolaan Limbah B3
Mempromosikan dan mengembangkan teknik minimisasi limbah melalui teknologi
bersih, penggunaan kembali, perolehan kembali, dan daur ulang.
Meningkatkan kesadaran masyarakat.
Meningkatkan kerjasama antar instansi, baik di pusat, daerah maupun inter-nasional,
dalam pengelolaan limbah B3.
Melaksanakan dan mengembangkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Membangun Pusat-pusat Pengolahan Limbah Industri B3 (PPLI-B3) di wilayah yang
padat industri.
1. Prinsip-prinsip pengelolaan Limbah B3
1. “POLLUTION PREVENTION PRINCIPLE”
(Upaya meminimasi timbulan limbah).
1. “POLLUTER PAYS PRINCIPLE”
(Pencemaran harus membayar semua biaya yang diakibatkannya).
1. “CRADLE TO GRAVE PRINCIPLE”
Pengawasan mulai dari dihasilkan sampai dibuang/ditimbunnya limbah B3 . Pengolahan dan
penimbunan limbah B3 diusahakan dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya.
1. “NON DESCRIMINATORY PRINCIPLE”
Semua limbah B3 harus diberlakukan sama di dalam pengolahan dan penanganannya.
1. “SUSTAINABLE DEVELOPMENT”
(Pembangunan berkelanjutan).
2.4 Pengelolaan Limbah Industri B3 Oleh Pemerintah.
Untuk mencapai sasaran dalam pengelolaan limbah perlu di buat dan diterapkan suatu sistem
pengelolaan yang baik, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat berpotensi
menghasilkan limbah B3. Salah satu sektor kegiatan yang sangat berpotensi menghasilkan
limbah B3 adalah sektor industri. Sampai saat ini sektor industri merupakan salah satu
penyumbang bahan pencemar yang terbesar di kota-kota besar di Indonesia yang mengandalkan
kegiatan perekonomiannya dari industri. Untuk menghindari terjadinya pencemaran yang
ditimbulkan dari sektor industri, maka diperlukan suatu sistem yang baik untuk melakukan
pengawasan dan pengelolaan limbah industri, terutama limbah B3-nya.
Pengawasan limbah B3 adalah suatu upaya yang meliputi pemantauan penataan persyaratan serta
ketentuan teknis dan administrative oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengolah termasuk
penimbun limbah B3. Sedangkan yang dimaksud pemantauan di sini adalah kegiatan pengecekan
persyaratan-persyaratan teknis-administratif oleh penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengolah
termasuk penimbun limbah B3.
Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Kepala
BAPEDAL Nomor KEP-02/BAPEDAL/01/1998 tentang Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah, maka pengawasan dalam pelaksanaan
pengelolaan limbah B3 dapat dikelompokkan kedalam tiga kewenangan, yaitu kewenangan
Pemerintah Daerah Tingkat II, kewenangan Pemerintah Daerah Tingkaat I dan kewenangan
Bapedal.
2.5 Karakteristik Limbah B3
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dapat diidentifikasi melalui beberapa karakteristiknya
2.6 Teknik Pengolahan Limbah B3
Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3
menjadi tidak berbahaya atau tidak beracun dan immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun
memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali[2]. Proses pengolahan secara fisika dan
kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah B3 dan menghilangkan sifat limbah B3
dari berbahaya menjadi tidak berbahaya.
Tabel 2.4. Metode Pengolahan Limbah B3
BPPT menyebutkan, ada beberapa cara teknik pengolahan Limbah B3, diantaranya adalah:
1
Netralisasi.
Netralisasi limbah diperlukan jika kondisi limbah masih diluar range pH baku mutu limbah
(BML) yang diperlukan pH (6-8), sebab limbah diluar kondisi tersebut dapat bersifat racun atau
kosorosif. Dalam beberapa hal netralisasi dapat dilakukan dengan cara mencampur limbah yang
bersifat asam dengan yang bersifat basa. Secara umum reaksi netralisasi dapat dinyatakan dalam
persamaan berikut :
Asam + Basa
2
Garam + Air (Kondisi lebih netral)
Sedimentasi (pengendapan)
Jika konsentrasi logam berat didalam air limbah cukup tinggi, maka logam tersebut dapat
dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan. Pengendapan dapat megubah bentuk logam
yang ada kedalam bentuk hidroksidanya.
3
Koagulasi dan Flokulasi.
Koagulasi dan flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan juka
kecepatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Koagulasi
dilakukan dengan menambahkan bahan kimia koagulan kedalam air limbah.
4
Oksidasi – Reduksi
Oksidasi adalah reaksi kimia yang akan meningkatkan bilangan valensi meteri yang bereaksi
dengan melepaskan elektron. Reaksi oksidasi selalu diikuti dengan reaksi reduksi. Reaksi
Reduksi adalah reaksi bilangan kimia yang akan menurunkan bilangan valensi materi yang akan
bereaksi dengan menerima elektron dari luar. Reaksi kimia yang melibatkan kedua reaksi
tersebut adalah reaksi Redoks.
5
Insenerasi
Insenarasi merupakan sebuah proses pembakaran sampah padat. Alat yang digumakan untuk
melaukukan insenerasi adalah insenerator. Inseneeator sering digunakan untuk mengolah limbah
B3 yang memerlukan persyaratan teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat.
Insenarator harus dioperasikan pada kondisi diatas temperatur destruksi bahan yang dibakar.
6
Stabilisasi/solidifikasi
Pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah sifat fisik dan kimiawi
limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat (aditif) B3 agar pergerakan senyawa B3
ini terhambat atau terbatasi dan membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar
(Massive). Pada proses ini, limbah B3 harus dapat diikat dan distabilkan sehinga sifat racun dan
sifat bahayanya dapat diturunkan sampai ambang batas yang ditentukan.
7
Pengolahan dengan cara penimbunan
Pengolahan dengan cara ini memerlukan lokasi yang luas, jauh dari permukiman penduduk dan
aktivitasnya. Lokasi penimbunanan juga tidak boleh berhubungan dengan faktor-faktor
pendukung kehidupan seperti, tempat sumber air atau lokasi serapan air tanah. Lokasi
penimbunan yang sudah penuh harus ditutup dan tidak dapat digunakan sebagai lokasi
permukiman.
Pengolahan limbah B3.
2.7 Pengelolaan dan Pengolahan Limbah B3 di Bengkel
Limbah B3 juga dapat dihasilkan dari berbagai sumber dengan laju timbulan rendah, seperti
industri dry clener, bengkel, proses cuci cetak film. Jenis penghasil limbah semacam ini yang
memproduksi limbah lebih kecil dari 1 ton/bulan dikategorikan sebagai peghasil limbah B3 skala
kecil. Limbah B3 dari penghasil berskala kecil dapat menyebabkan terjadinya bahaya besar
apabila tidak dikelola dengan benar. Limbah B3 dari penghasil skala kecil biasanya dibuang ke
TPA sampah kota, ke badan air, ke saluran drainase serta ke bukan tempat pengolahan dan
pembuangan khusus limbah B3 (Trihadiningrum, 2000). Menurut Muliartha, dkk (2004), Limbah
yang dihasilkan dari usaha perbengkelan juga dapat menyebabkan pencemaran terhadap air,
tanah maupun udara disekitar apabila tidak dikelola dengan benar. Limbah B3 yang dihasilkan
dari usaha bengkel antara lain : limbah padat dan limbah cair. Limbah B3 padat meliputi limbah
logam yang dihasikan dari kegiatan usaha perbengkelan seperti skrup, potongan logam, lap kain
yang terkontaminasi oleh pelumas bekas maupun pelarut bekas. Sedangkan limbah cair meliputi
oli bekas, pelarut atau pembersih, H2SO4 dari aki bekas.
Dari permasalahan yang diakibatkan dari limbah B3 bengkel tersebut, di paper ini akan dibahas
menganai jumlah timbulan dari masing – masing ktegori bengkel dan juga pengelolaan yang ada
di lapangan mengenai pengelolaan limbah B3 bengkel.
TIMBULAN LIMBAH B3 BENGKEL
Jumlah timbulan digunakan untuk mengetahui seberapa besar volume yang dibutuhkan perhari
untuk menampung limbah B3 yang dihasilkan. Jumlah timbulan rata – rata dikategorikan
berdasarkan jumlah pelanggan dari bengkel tersebut
Tabel. 2.5. Jumlah Timbunan Limbah B3 Bengkel Perhari
Sumber : Ia’Natul Mukhlishoh
Jumlah timbulan limbah oli bekas dan botol bekas oli sebanding dengan kategori bengkel,
dimana semakin ramai bengkel tersebut maka jumlah timbulan yang dihasilkan juga akan
semakin besar, berbeda dengan limbah aki bekas dan onderdil terkontaminasi oli yang
pemakaiannya sangat jarang dan untuk penggantiannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dari limbah B3 bengkel tersebut harus dilakukan pengelolaan yang sesuai agar menghindari
terjadinya bahaya yang ditimbulkan dari limbah B3 bengkel tersebut.
PENGELOLAAN LIMBAH B3 BENGKEL
1. Pewadahan
Pewadahan Pewadahan limbah B3 bengkel yang ada di lapangan masih belum sesuai dengan
Keputusan Kepala Bapedal no.1 tahun 1995. Dimana untuk ketentuan umum kemasan yang
digunakan yaitu harus kuat, tahan lama, tidak bocor dan tidak mudah berkarat. Selain itu
kemasan yang digunakan harus tertutup untuk menghindari terjadinya paparan limbah B3 ke
udara. Untuk penggunaan wadah yang ada di lapangan dapat dilihat pada gambar.1.
Gambar 2.2 Wadah oli, onderdil terkontaminasi dan botol bekas oli.
Keadaan di lapangan untuk pewadahan hanya dilakukan untuk oli bekas, onderdil terkontaminasi
dan botol bekas oli. Sedangkan untuk majun dan aki bekas tidak ada pewadahan khusus. Hal
tersebut sangatlah tidak dianjurkan karena untuk limbah B3 haruslah memiliki wadah khusus
yang berguna untuk mengamankan limbah B3 tersebut dan lingkungan sekitarnya. Selain itu
untuk wadah limbah B3 harus dilengkapi dengan symbol dan label yang sesuai dengan
karakteristik limbah B3 tersebut.
1. Penyimpanan
Untuk penyimpanan limbah B3 yang ada di bengkel masih belum sesuai dengan Kep. Bapedal
no.1 tahun 1995 tentang tata cara dan persyaratan teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah
B3. Untuk penyimpanan limbah B3 yang berada di luar bengkel tidak memiliki bangunan khusus
penyimpanan, namun hanya diletakkan begitu saja di luar bengkel. Sehingga hampir semua drum
oli bekas maupun tandon yang terletak di luar bengkel bercampur dengan air hujan.
1. Pengangkutan
Untuk penyimpanan limbah B3 yang ada di bengkel masih belum sesuai dengan Kep. Bapedal
no.1 tahun 1995 tentang tata cara dan persyaratan teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah
B3. Untuk penyimpanan limbah B3 yang berada di luar bengkel tidak memiliki bangunan khusus
penyimpanan, namun hanya diletakkan begitu saja di luar bengkel. Sehingga hampir semua drum
oli bekas maupun tandon yang terletak di luar bengkel bercampur dengan air hujan.
Analisa Perancangan Pengeloaan Limbah B3 Di Bengkel
Pengelolaan limbah B3 ini berguna untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 bengkel.
1. Reduksi
Reduksi dilakukan untuk mengurangi jumlah timbulan limbah B3 bengkel dan mengurangi sifat
bahaya dari racun yang dapat dilakukan. Usaha reduksi untuk limbah B3 bengkel yaitu :
• Menggunakan kembali onderdil – onderdil bekas yang masih dapat digunakan kembali.
• Menerapkan sistem K3 untuk menghindari terjadinya ceceran pelumas atau bahan bakar
dari motor sehingga mengurangi penggunaan majun yang terkontaminasi.
• Menggunakan kembali majun yang masih belum terlalu kotor.
1. Pewadahan dan Label
Pewadahan yang digunakan untuk limbah B3 bengkel yang sesuai dengan kategori limbah yang
ada di bengkel yaitu mudah terbakar dan korosif adalah wadah yang memenuhi kriteria umum
sebagai berikut :
• limbah yang memiliki karakteristik yang berbeda tidak boleh disimpan dalam satu
kemasan untuk menghindari terjadinya pencampuran dari 2 sifat limbah B3 yang berbeda
yang dapat mengakibatkan reaksi yang tidak diinginkan.
• Kemasan limbah B3 harus terbuat dari bahan yang sesuai dengan karakteristik limbah B3
tersebut, tahan lama, tidak mudah berkarat, dan tidak bocor. Kemasan harus diganti apabila
terdapat kerusakan atau kebocoran pada kemasan.
• Memiliki penutup yang kuat untuk mencegah terjadinya tumpahan pada saat dilakukan
pemindahan atau pengangkutan.
1. Pengangkutan
Pengangkutan ini dilakukan untuk mengirim limbah B3 bengkel ke pihak pengolah atau
pemanfaat. Pada Peraturan Pemerintah no.18 tahun 1999 dijelaskan bahwa pengangkut bisa
dilakukan oleh penghasil limbah, namun untuk limbah B3 bengkel ini sebaiknya dilakukan oleh
pihak pengolah atau pemanfaat limbah B3 bengkel tersebut. Pengangkutan harus disertai dengan
manifest yang dimiliki oleh pihak pengangkut. Kendaraan pengangkut yang digunakan harus
tahan lama, kuat dan mampu melindungi limbah B3 yang akan diangkut. Selanjutnya
pengangkutan ini akan dibawa ke pihak pemanfaat atau pengolah limbah yang akan dibahas pada
sub bab selanjutnya.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengangkutan limbah B3 adalah rute pengangkutan yang
harus memperhatikan peraturan yang berlaku. Apabila peraturan mengenai trayek tidak ada maka
pengangkut limbah B3 sebaiknya memilih jalan arteri yang jauh dari pemukiman guna
menghindari terjadinya bahaya yang tidak diinginkan (Trihadiningrum, 2000).
[1] Dyah Sulistyaningsih R, 2007
[2] Dyah Sulistyaningsih R, 2007
Sumber dapat diunduh pada : https://www.box.com/files/0/f/604132106
Sumber berasal dari
: https://adyapradhana.wordpress.com/2013/01/20/pengelolaan-limbah-b3/
Di unduh pada 17-03-2017 pukul 15:45