Strategi Perlindungan Hak Kekayaan Intel

STRATEGI PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
KOMUNAL (GRTKF) DI INDONESIA

Tugas Kuliah Umum
Teknik Penyusunan Perjanjian Internasional

Oleh:
Muh. Miftachun Niam (08430008)

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI
SURAKARTA
2011

Daftar Isi
Halaman Judul...................................................................................................

1

Daftar Isi............................................................................................................


2

Pengantar...........................................................................................................

3

Mengenal Rezim GRTKF..................................................................................

4

Rezim GRTKF di Indonesia...............................................................................

5

Dari Hukum Nasional Menjadi Hukum Internasional......................................

6

Pasal 10 UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002....................................................


7

Langkah Indonesia dalam Mengembangkan Hukum GRTKF .........................

8

Strategi Akhir Perlindungan GRTKF di Indonesia...........................................

9

Penutup..............................................................................................................

10

Pengantar
Di tengah gencarnya arus globalisasi yang terjadi dewasa ini, hampir
semua negara berlomba untuk saling membuka diri dan menawarkan segala
potensi yang dimiliki. Era globalisasi ini membuat paham liberalisme semakin
meningkat, hampir semua sektor diarahkan menuju kepentingan ekonomis.

Potensi sekecil apapun, jika memang berpotensi untuk menghasilkan keuntungan
komersial, maka akan terus digali dan dikembangkan semaksimal mungkin.
Semua negara terus menggali potensinya dan tak jarang saling berebut
potensi dengan negara lain demi alasan ekonomi. Masalah budaya, kesenian
daerah, hingga berbagai hal terkait pariwisata menjadi sektor yang paling
diperebutkan oleh berbagai negara. Padahal, beberapa dekade sebelum era
globalisasi ini hadir, sektor tersebut menjadi sektor yang paling diabaikan karena
dianggap kurang dapat menghadirkan keuntungan secara nyata.
Adegan saling berebut ini memunculkan isu saling klaim terhadap suatu
budaya. Hal ini terjadi karena ada beberapa negara yang memiliki kesamaan
budaya bernilai ekonomis. Beberapa negara tersebut saling berusaha untuk
mengklaim sebagai pemilik budaya yang sebenarnya, bahkan tak jarang ada
beberapa negara yang berusaha untuk mematenkan budayanya agar tidak diklaim
oleh negara lain. Masalahnya, budaya adalah milik bersama, tidak bisa diakui
secara perseorangan sehingga budaya tidak dapat dipatenkan.
Kegagalan dalam paten budaya ini membuat dunia hubungan internasional
menjadi sedikit anarki. Tidak ada aturan internasional yang mengatur terkait
penggunaan budaya antar negara. Akibatnya, negara satu bebas menggunakan
budaya negara lain dengan tujuan komersial tanpa adanya rasa bersalah dan takut
adanya hukuman. Kondisi ini kontan saja membuat banyak negara berkembang

dan negara budaya yang menjadi resah akan aksi klaim ini.
Protes yang dilakukan oleh berbagai negara berkembang dan negara
budaya telah berhasil memaksa dunia internasional untuk memunculkan sebuah
rezim baru yang bernama GRTKF atau singkatan dari Genetic Resources,
Taditional Knowledge, dan Folklore. Sebuah rezim yang mengatur masalah hak
kekayaan intelektual yang dimiliki oleh komunal/masyarakat.

Mengenal Rezim GRTKF
Jika diterjemahkan secara bebas, GRTKF dapat di’Indonesia’kan menjadi
SDGPTEBT, Sumber Budaya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional. Rezim ini mengatur tentang masalah hak intelektual yang
berasal dari komunal. Hal inilah yang membedakan dengan hak kekayaan
intelektual biasa. Peraturan yang dimiliki oleh GRTKF pun cukup berbeda jauh
dengan peraturan hak kekayaan intelektual biasa.
Sebagai perbandingan, dalam peraturan hak kekayaan intelektual di
Indonesia, hak cipta diberikan dalam jangka waktu perlindungan selama hidup
pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta
meninggal dunia.1 Jika pencipta berjumlah dua orang atau lebih, perlindungan hak
cipta diberikan selama pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan
berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.2 Selama jangka waktu

perlindungan, pencipta memiliki hak eksklusif terhadap karyanya tersebut.3
Namun hak eksklusif tersebut tidak bersifat mutlak karena ada toleransi terhadap
penggunaan secara wajar (fair dealing) untuk kegiatan penelitian dan sejenisnya.4
Peraturan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan karena selama ini
banyak muncul kasus karya-karya yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat
tanpa diketahui siapa penciptanya. Karya tersebut memiliki nilai ekonomis yang
dikomersialisasikan oleh sekelompok masyarakat lain sehingga menimbulkan
kerugian di pihak masyarakat pemilik asli. Hal tersebut membuat dunia
internasional merasa berkepentingan untuk mengatur hak kekayaan intelektual
komunal tersebut kedalam sebuah rezim bernama GRTKF.
Namun sayangnya rezim GRTKF ini belum dapat menjelma menjadi
sebuah produk hukum yang nyata. Hingga saat ini belum ada suatu konvensi atau
sejenisnya yang membahas masalah ini. Hal ini disebabkan karena adanya
perbedaan kepentingan antara negara berkembang dan negara maju.

1

Pasal 29 Ayat 1 UU Hak Cipta 2002.
Pasal 29 Ayat 2 UU Hak Cipta 2002.
3

Pasal 2 Ayat 1 UU Hak Cipta 2002.
4
Pasal 15 UU Hak Cipta 2002.
2

Negara berkembang yang terbiasa hidup dalam secara sosial komunitas
tidak terbiasa dengan produk hukum hak kekayaan intelektual yang bersifat
individual. Di berbagai negara berkembang, suatu karya biasanya diciptakan oleh
masyarakat dan ditularkan secara turun temurun. Berbeda dengan negara maju
yang cenderung individual dan mengeksklusifkan diri terhadap suatu karya
sehingga negara maju cenderung menolak GRTKF ini karena dianggap tidak
memiliki batasan yang jelas dalam hal perlindungan.5
Rezim GRTKF di Indonesia
Rezim GRTKF mulai banyak dikenal oleh masayarakat Indonesia sejak
adanya isu klaim beberapa produk budaya Indonesia oleh Malaysia. Masyarakat
Indonesia banyak yang mengecam Malaysia karena dianggap telah memanfaatkan
produk budaya kita untuk kepentingan komersial pariwisata mereka. Isu ini
menjurus ke arah hak paten, dari mulai pejabat hingga masyarakat awam
berlomba-lomba untuk mematenkan produk budaya masing-masing. Mereka
menganggap bahwa produk budaya sama seperti kekayaan intelektual pada

umumnya yang bisa untuk dimasukkan kedalam hak cipta.
Banyak terjadi distorsi pemahaman di kalangan publik terkait hak paten.
Masih ada kesalahpahaman terkait masalah hak kekayaan intelektual biasa dengan
hak kekayaan intelektual komunal. Hal ini menjadi semakin parah karena media
dan pejabat ikut bicara dan semakin menambah kerancuan. Masyarakat yang
awalnya tidak tahu menjadi semakin bingung. Pembingungan masal ini berujung
pada kebingungan dalam berbagai hal.
Masyarakat sangat aktif dalam usaha pematenan produk budaya namun
mereka belum sadar tentang apa yang harus dipatenkan, kemana harus
mematenkan dan bagaimana caranya. Satu-satunya langkah yang dapat mereka
lakukan adalah dengan menyalahkan pemerintah karena dianggap tidak pro aktif
dalam memberikan perlindungan terhadap produk budaya di negeri sendiri.
Kita tidak dapat menyalahkan siapapun dalam hal ini. Masyarakat tidak
bisa disalahkan karena mereka memang belum tahun tentang rezim ini mengingat
5

Dalam tatanan ini masyarakat tradisional terkadang dalam membuat karya intelektual senantiasa
tidak didasarkan pada tujuan komersial saka, tetapi biasanya lebih diwarnai oleh dimensi budaya
dan spiritual.


keterbatasan informasi yang disampaikan oleh pemerintah tentang masalah hak
kekayaan intelektual komunal, selain itu didalam negeri juga belum ada peraturan
yang mengatur masalah tersebut. Pemerintah juga tidak dapat disalahkan karena
hingga saat ini rezim GRTKF belum terwujud dalam produk hukum yang nyata.
Apalagi di kalangan internasonal masih banyak terdapat perdebatan mengenai
batasan rezim GRTKF. Padahal biasanya produk hukum dan undang-undang kita
selalu mengacu pada peraturan hukum internasional. Lantas, apa yang dapat
dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Dari Hukum Nasional Menjadi Hukum Internasional
Salah satu penyebab berlarut-larutnya perundingan dalam menentukan
hukum tentang GRTKF adalah kurangnya persiapan dari negara berkembang
dalam mengajukan peraturan GRTKF tersebut. Belum ada peraturan pegangan
atau setidaknya contoh peraturan yang dapat dijadikan sebagai acuan penggunaan
dan penyelenggaraan hukum GRTKF.
Selama ini peraturan yang diajukan terlalu banyak mengekor pada hak
kekayaan intelektual biasa sehingga dengan mudah dimentahkan oleh negara maju
yang sudah mapan dalam menyelenggarakan hukum tersebut. GRTKF atau dalam
hal ini disebut sebagai hak atas kekayaan intelektual komunal (HAKIK)6 masih
menjadi produk asing di kalangan internasional. Belum ada hukum kebiasaan
internasional yang membahas permasalahan tersebut.

Negara berkembang, termasuk Indonesia seharusnya sudah memiliki
hukum nasional yang mengatur GRTKF sebelum mengajukan usulan tersebut ke
tingkat internasional. Dengan demikian, saat usulan tersebut dilemparkan ke
forum, masyarakat internasional yang masih buta tentang masalah GRTKF dan
tidak mengetahui tingkat kefektifannya dapat langsung melihat negara
berkembang yang telah berhasil menerapkannya menjadi hukum nasional.
Memang hal ini bukanlah hal yang mudah karena harus ada beberapa
negara yang bersedia untuk menjadi “laboratorium GRTKF”. Semakin banyak
negara yang bersedia menjadi “laboratorium GRTKF”, semakin baik pula
6

Istilah HAKIK ini sengaja saya gunakan untuk mempermudah penyebutan istilah GRTKF yang
dirasa sulit bagi masyarakat Indonesia. Memang ada terjemahan bebasnya berupa SDGPTEBT,
namun singkatan tersebut justru lebih panjang dan lebih sulit untuk dihapalkan.

hasilnya. Setiap negara akan mengalami pengalaman dan kegagalan dengan
tingkat yang berbeda-beda. Pengalaman dan kegagalan yang dialami oleh setiap
negara ini dapat menjadi pelajaran dan mempermudah pembentukan konvensi
atau perjanjian internasional lainnya di bidang GRTKF.
Kita tidak bisa selamanya berpangku tangan seraya berharap bahwa

negosiasi GRTKF ini dapat selesai dengan begitu saja. Harus ada yang berusaha
untuk mewujudkannya dengan menjadi negara GRTKF. Peluang inilah yang
seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia. Tidak ada salahnya jika kita
mencoba untuk membuat regulasi GRTKF tanpa harus terpaku pada peraturan
internasional. Regulasi GRTKF dibentuk dengan menyesuaikan kondisi
Indonesia. Keberhasilan regulasi tersebut akan memiliki dampak yang sangat
besar bagi Indonesia karena negara lain juga akan ikut memandang keberhasilan
GRTKF di Indonesia dan bersedia menerapkannya dalam aturan internasional.
Inilah yang kemudian disebut sebagai dari hukum nasional menjadi hukum
internasional’. Langkah ini tentu saja membutuhkan waktu yang sangat lama
karena membutuhkan banyak penyesuaian baik penyesuaian regulasi maupun
penyesuaian kondisi politik dalam negeri. Namun ini bukanlah hal yang mustahil
untuk dijalankan. Kita tentu ingat dengan UNCLOS, sebuah hukum laut
internasional yang sebenarnya berasal dari Indonesia. Hukum laut itulah yang
menjadikan Indonesia resmi dianggap sebagai negara kepulauan oleh dunia. Lalu
bagaimana dengan GRTKF ini? Tentu saja, tidak ada salahnya jika kita coba.
Pasal 10 UU No. 19 Tentang Hak Cipta Tahun 2002
Dalam tataran normatif, sebenarnya Indonesia telah memiliki perangkat
hukum yang mengatur tentang permasalahan GRTKF di Indonesia. Produk
tersebut tertuang pada Pasal 10 UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Dalam pasal

tersebut dinyatakan bahwa:
1. Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan
benda nasional lainnya.
2. Negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang
menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu,
kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya

3. Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat 2,
orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat
izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
4. Keterangan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur dengan peraturan pemerintah.
Peraturan diatas sebenarnya sudah mencakup berbagai hal terkait GRTKF,
hanya saja dalam implementasinya di lapangan masih memiliki banyak
kekurangan dan kendala meliputi:7 kedudukan pasal yang belum jelas dan
kurangnya peran masyarakat tradisional dalam peraturan tersebut sehingga rawan
menimbulkan sengketa antara negara dan masyarakat tradisional.
Langkah Indonesia dalam Mengembangkan Hukum GRTKF
Banyaknya ragam budaya dan adat istiadat serta kekayaan hayati di
Indonesia membuat negara ini layak untuk membuat dan mengembangkan hukum
GRTKF skala nasional. Aktor-aktor yang dapat dilibatkan kedalam program
hukum ini mencakup semua daerah di Indonesia yang memiliki berbagai
keragaman jenis budaya dan kekayaan hayati.
Negara perlu membuat semacam undang-undang terkait masalah hak
kekayaan intelektual komunal yang didalamnya berisi tentang pokok inti GRTKF.
Setiap daerah dan komunitas yang memiliki produk budaya dan kekayaan hayati
unik harus tunduk pada undang-undang tersebut agar produk mereka dapat
dilindungi oleh negara sehingga mencegah terjadinya klaim dari pihak luar
sebagaimana yang selama ini banyak dikhawatirkan. Dapat dikatakan bahwa
undang-undang tersebut merupakan pengayaan, penegasan dan penyempurnaan
dari UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 yang telah ada saat ini.
Produk hukum tersebut juga seyogyanya mengatur tentang tata cara
penggunaan produk budaya oleh kelompok masyarakat atau daerah yang masih
terikat dalam satu negara, misalnya produk budaya Solo digunakan oleh
masyarakat Semarang dalam rangka mengundang wisatawan. Apa yang
diperbolehkan dan apa yang dilarang serta bagaimana mekanismenya. Jangan

7

Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Alumni, 2002,
hlm.267.

sampai peraturan GRTKF ini justru mengakibatkan perpecahan antar daerah dan
kelompok masyarakat gara-gara masalah klaim budaya.
Perlu diatur pula tata cara penggunaan produk budaya kita oleh pihak
asing sehingga kita dapat mengetahui mana penggunaan yang bersifat pembajakan
dan mana penggunaan secara fair (usage fair). Contoh paling sederhana adalah
saat terjadi sister city di bidang budaya, apakah daerah diperbolehkan melakukan
pertukaran kebudayaan dan bagaimana mekanismenya.
Kita perlu realistis dan menyadari bahwa produk hukum ini tidak akan
berhasil hanya dalam satu malam. Masih banyak proses yang harus ditempuh dan
gejolak yang harus dihadapi agar produk hukum ini dapat lebih stabil dan mapan
saat diterapkan di lapangan. Diperlukan ketelitian dan begitu banyak revisi agar
produk hukum tersebut dapat menjadi sangat kuat.
Barulah, jika produk hukum yang kita ciptakan tersebut sudah dapat stabil
di lapangan dan diterima oleh semua kalangan, produk hukum tersebut dapat
diajukan di forum internasional untuk dijadikan sebagai pertimbangan
pembentukan hukum GRTKF di tingkat internasional. Akan tetapi, kekuatan dan
persatuan bangsa tetap menjadi syarat mutlak agar mendukung proses diplomasi
yang tengah dilaksanakan. Tanpa adanya kekuatan dari dalam negeri, produk
hukum yang kita ajukan di forum internasional akan menjadi sa-sia.
Strategi Akhir Perlindungan GRTKF di Indonesia
Mungkin jika kita melihat kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia saat
ini, rasanya sulit untuk bisa membentuk sebuah hukum nasional yang mengatur
tentang masalah GRTKF. Tarik menarik kepentingan politik yang terjadi di
Indonesia saat ini masih terlalu ketat. Permainan politik di Indonesia pun
sedemikian dahsyatnya hingga cukup untuk membuat kita apatis dalam
mengharapkan terwujudnya hukum nasional semacam itu.
Namun hal ini tidak berarti bahwa kita tidak dapat berbuat apapun. Salah
satu tindakan yang dapat kita lakukan adalah dengan menerapkan prinsip prior
informed concern (informasi terlebih dahulu).8 Dalam prinsip ini, kita bertugas

8
Achmad Zen Umar Purba, Traditional Knowledge: Subject Matter For Which Intellectual
Property Protection Is Sought, artikel dalam WIPO Asia Pasific Regional Symposium on

untuk melindungi berbagai produk budaya dengan cara mengumpulkan berbagai
data dan informasi yang menyangkut masalah produk budaya tersebut. Segala
macam informasi tersebut dikumpulkan dan di data sesuai dengan standar
internasional, sehingga saat terjadi permasalahan yang menyangkut produk
budaya tersebut, kita dapat mengajukan bukti informasi tersebut.
Langkah ini sudah ditempuh oleh pemerintah kita melalui sebuah program
database yang berisi tentang berbagai macam data kepemilikan budaya di
Indonesia. Database ini disusun dengan tujuan sebagai program perlindungan
sementara dari klaim oleh negara lain. Kita perlu mengapresiasi peran pemerintah
tersebut dan mendukung agar program tersebut dapat semakin berkembang dan
disempurnakan hingga mencakup berbagai aspek.
Penutup
Langkah-langkah tersebut diatas hanyalah solusi sederhana yang dapat
digunakan untuk menciptakan perlindungan GRTKF di Indonesia. Tentunya
masih banyak cara lain yang masih dapat digunakan secara efektif dan efisien
untuk melindungi GRTKF di Indonesia.
Namun apa saja solusi dan langkah yang diberikan tidak akan berhasil
tanpa adanya dukungan dari segala pihak dalam hal pelestarian budaya. Kendala
yang terjadi selama ini adalah masyarakat kita hanya dapat melakukan aksi protes
saat kebudayaan kita ditiru oleh bangsa lain namun tidak bersedia untuk
melestarikan kebudayaan itu sendiri.
Pelestarian merupakan kata kunci dalam mendukung keberhasilan
perlindungan GRTKF di Indonesia. Jika kita sudah tidak bangga dalam
melestarikan, maka untuk apa kita bersusah payah memberikan perlindungan?
Jangan sampai produk budaya justru menjadi anak tiri di negeri sendiri.

Intellectual Property Rights, Traditional Knowledge and Related Issues, Yogyakarta, 17-19
Oktober 2001, hlm. 33.