Pemanfaatan Roti Afkir Dalam Ransum Terhadap Performans Itik Peking Umur 1-8 Minggu

  

TINJAUAN PUSTAKA

Roti Afkir

  Roti merupakan makanan manusia yang praktis, yang memberikan kebutuhan untuk pertumbuhan badan yang sehat. Bahan pokok dalam pembuatan roti terdiri dari tepung terigu, ragi dan air. Tepung terigu dibuat dari gandum, karena itu kandungan karbohidratnya cukup tinggi berkisar 70-73%, yang terdiri dari amilosa dan amilopektin dalam jumlah yang sama (1 : 1). Sedangkan kadar proteinnya secara umum terdiri dari glutenin dan gliadin (Astawan, 2007).

  Roti afkir adalah roti yang sudah tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia dikarenakan sudah melewati batas ketahanan roti tersebut. Roti afkir sudah tidak memiliki nutrisi yang sama seperti roti yang belum afkir, dikarenakan roti afkir sudah mengalami perubahan tekstur, aroma dan rasa. Oleh karena itu, roti afkir dijual dengan harga yang murah berkisar Rp 1700 sampai Rp 2000 / kg nya. Roti afkir tidak langsung dibuang karena dapat menjadi pakan alternatif bagi hewan unggas ataupun hewan lainnya (Daghir, 1995).

  Roti yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia mengandung energi sebesar 215 kilokalori, protein 5,29 g, karbohidrat 44,95 g, lemak 1,9 g, kalsium 15 miligram, fosfor 94 miligram, dan zat besi 1,24 miligram. Selain itu di dalam roti coklat juga terkandung vitamin A sebanyak 2 IU, vitamin B1 0,06 miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 g roti. Kandungan nitrisi yang terkandung pada roti afkir tidak jauh berbeda dengan roti yang belum afkir. Berikut adalah kandungan nilai gizi dari roti afkir : Tabel 1. Komposisi nutrisi roti afkir Jenis Nutrisi Kandungan

  u

  Energi metabolis (Kkal/kg) 2952

  a

  Protein kasar (%) 6,47

  a

  Lemak kasar (%) 24,34

  a

  Serat kasar (%) 0,85

  a

  Abu (%) u 1,90

  Sumber : Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas a Peternakan UNPAD ( 2007 ).

  Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak Prodi Peternakan Fakultas Pertanian USU ( 2013).

  Industri roti yang banyak berproduksi di Indonesia diperkirakan 25% produksinya terbuang (tidak terjual) yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak.

  Selain untuk mengurangi sampah industri, hal ini juga dapat menekan biaya pakan karena harganya murah dan roti sisa ini selalu tersedia tanpa dipengaruhi oleh musim. Kandungan protein dalam roti cukup baik, amonia selanjutnya digunakan untuk menyusun protein mikroba. Untuk keperluan tersebut maka mikroba membutuhkan sumber energi, terutama yang berupa karbohidrat yang mudah dicerna yaitu pati atau gula. Apabila perombakan amonia menjadi urea kalah cepat, maka kadar amonia di dalam darah menjadi naik dan mengakibatkan keracunan pada ternak yang akhirnya dapat mendatangkan kematian. Roti sisa pasar mengandung energi yang tinggi sehingga diduga efisiensi pembentukan protein mikroba lebih baik.

  Roti sisa pasar atau dikenal dengan roti afkir dengan kandungan nutrisi seperti tersebut di atas sudah termasuk baik bila dibandingkan dengan jenis-jenis pakan ternak yang ada di pasaran atau bahan pakan konvensional. Kelebihan roti sisa pasar yang lain adalah harganya murah, sehingga diharapkan dapat menekan biaya pakan. Selain untuk menghemat biaya pakan, pemanfaatan roti sisa pasar dapat untuk mengatasi masalah lingkungan yang ditimbulkannya.

  Itik Peking

  Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara di lingkungan sub tropis maupun tropis. Itik peking mudah beradaptasi dan keinginan untuk terbang kecil sekali. Umumnya di pelihara secara intensif dengan dilengkapi kolam yang dangkal (Murtidjo, 1996).

  Menurut Ismail (1996), terdapat beberapa bangsa itik yang termasuk dalam kategori itik pedaging sedangkan beberapa bangsa lainnya termasuk dalam golongan itik dwiguna. Bangsa itik pedaging yang paling terkenal dan paling umum dipelihara adalah itik peking, itik Aylesbury, itik Muskovi dikenal dengan nama itik Manila.

  Itik peking merupakan tipe pedaging yang popular disebut green duck. Itik ini mempunyai kepala besar juga bundar, paruhnya lebar dan pendek, paruhnya berwarna kuning akan tetapi ada yang berwarna putih. Leher gemuk pendek dan tegak. Dada besar, bundar membusung. Kaki pendek berwarna kekuning- kuningan. Sayap pendek dan kuat, warna bulunya putih (Samosir, 1994).

  Dari golongan itik pedaging, itik peking mulai popular di Indonesia. Produksi dagingnya dapat mencapai 3 sampai 3,5 kg pada umur 7-8 minggu. Namun meskipun itik peking adalah itik pedaging, pemeliharaannya belum luas, kemungkinan karena masalah harga saat itik dipasarkan (Anggorodi, 1995).

  Itik peking bukanlah suatu jenis itik yang cocok untuk petelur, tetapi lebih cocok jika itik ditertnakan untuk diambil dagingnya. Sebagai unggas pedaging beberapa kelebihan itik peking menurut Murtidjo (2002) adalah sebagai berikut:

  • Pertumbuhannya cepat
  • Mudah dalam pemeliharaannya
  • Hemat biaya
  • Tahan terhadap penyakit

  Kebutuhan Nutrisi dan Ransum Itik

  Bahan makanan pada dasarnya mengandung zat-zat yang diperlukan tubuh untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi. Berdasarkan unsur – unsur yang dikandung oleh bahan makanan perlu disediakan zat-zat nutrisi yang diperlukan oleh ternak (Murtidjo, 1990).

  Rasyaf (1992) menyatakan bahan – bahan makanan yang biasa dipakai sebagai campuran ransum itik adalah jagung kuning, dedak, bungkil-bungkilan, tepung ikan, daun petai cina, garam dapur, minyak, tepung darah dan lainnya.

  Itik pada fase pertumbuhan membutuhkan banyak unsur gizi bagi pertumbuhannya, sehingga susunan ransum yang digunakan harus dengan kadar protein yang tinggi, energi metabolis, vitamin dan mineral yang tinggi. Setelah masuk kedalam tubuh, unsur gizi digunakan terlebih dahulu untuk kebutuhan hidup pokok. Jika unsur gizi yang ada ternyata melebihi kebutuhan hidup pokok maka akan digunakan untuk pertumbuhan, produksi dan disimpan. Kelebihan energi akan disimpan dalam bentuk lemak tubuh (Rasyaf, 1988).

  Lebih lanjut dikemukakan bahwa selain pengaruh umur, kebutuhan akan protein bervariasi menurut tahap pertumbuhan, tipe dan jenis ternak serta iklim di daerah tersebut. Itik yang masih muda atau itik anakan membutuhkan protein yang lebih tinggi karena tubuhnya membentuk sel-sel tubuh baru untuk menjadi itik dewasa sehingga dibutuhkan protein yang lebih banyak di dalam pertumbuhannya dibandingkan itik yang telah dewasa. Protein tersebut dapat diperoleh dari beberapa jenis pakan ternak utama ataupun pakan ternak alternatif lainnya.

  Adapun kebutuhan ransum yaitu makanan dan air minum untuk anak itik atau itik yang masih muda dan dalam pertumbuhan sel- sel baru dapat dilihat di bawah ini : Tabel 2. Kebutuhan makanan dan air minum untuk 100 ekor anak itik/hari

  Umur Jumlah Makanan Jumlah Air Minum (hari) (Kg) (Liter) 01 – 07 1,50 3,20

  08 – 14 3,10 7,20 15 – 21 4,00 10,40 22 – 28 6,10 13,60 29 – 35 6,50 16,00 36 – 42 6,80 17,60 43 – 49 7,10 21,60

  Sumber : Murtidjo, 1996

  Kebutuhan gizi untuk itik jenis itik peking ditunjukkan pada tabel 3 di bawah ini : Tabel 3. Kebutuhan gizi itik pedaging

  Zat Unit 0-4 Minggu 4-6 Minggu Protein % 20-21 19-20 Energi Kkal/Kg 2800-2900 2900-3000 Sumber: Supriyadi ( 2009 ).

  Pada umumnya sumber utama zat- zat makanan dalam ransum unggas adalah butir-butiran, bungkil – bungkilan, tepung ikan dan hasil ikutan jagung, gandum dan beras. Sebagai tambahan terhadap bahan-bahan makanan tersebut, sudah tentu hasil – hasil lain dalam jumlah yang lebih sedikit adalah berguna (Anggorodi, 1985).

  Dedak Padi

  Dedak padi adalah bahan ransum yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil ikutan dari penumbukan padi. Hal ini mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak (Parakkasi, 1990).

  Tabel 4. Komposisi nutrisi dedak padi Nutrisi Kandungan

  a

  Energy metabolis (Kkal/kg) 1630

  a

  Protein kasar (%)

  13

  a

  Lemak kasar (%)

  13

  a

  Serat kasar (%)

  13

  b

  Abu (%) a b 11,7

  Sumber : Siregar (2009) dan Hartadi ( 2005 ) Jagung

  Jagung sampai saat ini merupakan butiran yang paling banyak digunakan dalam ransum unggas di Indonesia. Jagung merupakan salah satu bahan makanan terbaik bagi unggas yang digemukkan karena jagung memiliki energi netto yang tinggi (Anggorodi, 1995). Berikut komposisi nutrisi jagung di bawah ini : Tabel 5. Komposisi nutrisi jagung

  Nutrisi Kandungan

  a

  Energy metabolis (Kkal/kg) 3370

  a

  Protein kasar (%) 8,6

  a

  Lemak kasar (%) 3,9

  a

  Serat kasar (%)

  2

  b

  Abu (%) a b 11,7

  Sumber : Siregar (2009) dan Hartadi (2005) Bungkil Inti Sawit

  Bungkil inti sawit adalah hasil ikutan proses ekstraksi inti sawit. Bahan ini dapat diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik (Davendra,1997).

  Komposisi nutrisi bungkil inti sawit dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini :

  Tabel 6. Komposisi nutrisi bungkil inti sawit Nutrisi Kandungan

  a

  Energy metabolis (Kkal/kg) 2810

  a

  Protein kasar (%) 15,40

  a

  Lemak kasar (%) 6,49

  a

  Serat kasar (%)

  9

  a

  Abu (%) 5,18

  Sumber: a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak program studi Peternakan Fakultas Pertanian USU ( 2000 ).

  Bungkil Kelapa

  Bungkil kelapa merupakan salah satu sumber protein yang penting di Indonesia. Bungkil kelapa dapat memperbaiki defisiensi methionin dan lisin sehingga bungkil kelapa merupakan bahan makanan yang potensial bagi unggas (Anggorodi,1979). Komposisi nutrisi bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi nutrisi bungkil kelapa

  Nutrisi Kandungan

  a

  Energy metabolis (Kkal/kg) 1540

  a

  Protein kasar (%) 18,56

  a

  Lemak kasar (%) 1,8

  a

  Serat kasar (%)

  15

  b

  Abu (%) a b 11,7

  Sumber : Siregar (2009) dan Hartadi (2005) Bungkil Kacang Kedelai

  Sebagai bahan makanan sumber protein asal tumbuhan, hingga kini penggunaannya belum dapat digantikan oleh bahan sejenis lainnya. Bungkil kacang kedelai ini produksinya di Indonesia boleh dikatakan minim. Bungkil kacang kedelai merupakan limbah dari produksi minyak kedelai dan inilah yang digunakan, jadi bukan kacang kedelai mentah biasa. Bungkil kacang kedelai ini mempunyai kandungan protein yang berbeda sesuai kualitas kacang kedelainya.

  Komposisi nutrisi bungkil kacang kedelai dapat di lihat pada Tabel 8.

  Tabel 8. Komposisi nutrisi bungkil kacang kedelai Nutrisi Kandungan

  a

  Energi metabolis (Kkal/kg) 2290

  a

  Protein kasar (%) 40,10

  a

  Lemak kasar (%) 5,43

  b

  Serat kasar (%) 4,32

  Abu (%) a b

  Sumber : Siregar (2009) dan Hartadi (2005) Tepung Ikan

  Tepung ikan merupakan sumber protein utama bagi unggas, karena bahan ransum tersebut mengandung semua asam-asam amino yang dibutuhkan dalam jumlah cukup dan teristimewa merupakan sumber lisin dan methionin yang baik. Penggunaan harus dibatasi mencegah bau ikan (Anggorodi, 1985). Komposisi nutrisi tepung ikan dapat di lihat pada Tabel 9.

  Tabel 9. Komposisi nutrisi tepung ikan Nutrisi Kandungan

  a

  Energy metabolis (Kkal/kg) 2565

  a

  Protein kasar (%)

  55

  a

  Lemak kasar (%)

  8

  a

  Serat kasar (%)

  1

  b

  Abu (%) a b 11,7

  Sumber : Siregar (2009) dan Hartadi (2005) Minyak

  Sumber energi paling tinggi untuk digunakan dalam ransum unggas adalah lemak dan minyak yang diperoleh dari industri pengolahan daging, hasil ikutan pembuatan sabun, pemurnian minyak nabati atau minyak nabati itu sendiri. Minyak nabati memiliki nilai energi metabolis yang lebih tinggi dibandingkan dengan lemak hewan dan lebih mudah dicerna (Djanah, 1981).

  Konsumsi Ransum

  Pertumbuhan ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang dikonsumsinya, dimana dikemukakan oleh Wahyu (1992), bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, kesehatan, bentuk makanan, stress, besar badan dan produksi.

  Ransum disebut seimbang bila mengandung zat – zat nutrisi yang berkualitas dan kuantitas yang cukup untuk kesehatan ternak, pertumbuhan dan untuk produksi. Tingkat energi dalam ransum akan menentukan banyaknya makanan yang dikonsumsinya (Anggorodi, 1985). Tinggi rendahnya konsumsi ransum tergantung oleh beberapa faktor yaitu besar tubuh ternak, aktifitas ternak, suhu didalam dan di sekitar kandang, kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan serta pengolahannya (Siregar, 2009). Gellespie (1987) disitasi Sinaga (1998) menambahkan temperatur lingkungan merupakan pengaruh yang besar terhadap konsumsi harian. Konsumsi rendah bila temperature tinggi dan meningkat bila temperatur rendah.

  Tingkat konsumsi ransum banyak dipengaruhi oleh palatabilitas ransum, sistem tempat pakan dan pengisian tempat pakan, kepadatan ternak perkandang.

  Tingkat konsumsi dilain pihak juga dipengaruhi oleh nafsu makan dari ternak dan juga kesehatan ternak (Wahyu,1992).

  Pertambahan Bobot Badan

  Kemampuan ternak untuk zat – zat makanan yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan dari ternak tersebut. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam mengukur pertumbuhan (Ketaren, 2000).

  Pertumbuhan adalah suatu proses yang sangat kompleks, meliputi pertumbuhan bobot badan dan semua bagian tubuh secara serentak dan merata (Maynard et al, 1979), sedangkan menurut Ketaren (2002) pertumbuhan merupakan pertambahan bentuk dan bobot jaringan tubuh.

  Laju pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertambahan bobot badan per satu satuan waktu, dimana laju pertumbuhan ini akan meningkat sejak menetas hingga mencapai umur dewasa kelamin dan kemudian laju pertumbuhan itu akan menurun. Pada awal kehidupan, ternak mengalami pertambahan bobot badan yang lambat diikuti suatu periode pertumbuhan yang cepat dan akhirnya menurun kembali, sehingga pola umum laju pertumbuhan dengan menghubungkan parameter satuan bobot badan dan umur mengikuti kurva sigmoid (Ketaren, 2001).

  Konversi Ransum

  Konversi ransum adalah perbandingan jumlah konsumsi ransum dalam satu minggu dengan pertambahan berat badan yang dicapai pada minggu itu. Bila ratio kecil berarti pertambahan berat badan memuasakan atau ternak makan dengan efesien (Rasyaf, 1996).

  Sedangkan menurut Bharoto (2001) konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada satu satuan waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau jumlah telur) dalam kurun waktu yang sama. Konversi ransum adalah suatu indikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efesiensi penggunaan ransum. Semakin rendah angka konversi ransum berarti semakin baik.

  Angka konversi ransum akan baik bila hubungan antara energi dan protein dalam ransum telah disesuaikan. Perbandingan tersebut bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti: umur, bangsa, kadar energi protein ransum,temperatur dan kesehatan unggas (Leeson, 1991).

  Angka konversi ransum menunjukan tingkat efesiensi penggunaan ransum, jika angka konversi ransum semakin besar maka penggunaan ransum kurang ekonomis ( Antoni, 1996 ).