BAB II PROSEDUR JUAL BELI TANAH WARISAN MENURUT HUKUM TANAH NASIONAL A. Pengertian dan Sifat Jual Beli Tanah 1. Pengertian Jual Beli Tanah - Analisa Kasus Atas Jual Beli Tanah Warisan (Studi Kasus Putusan MA Nomor 680 K/PDT/2009) Antara Aston Purba Dkk Me

BAB II PROSEDUR JUAL BELI TANAH WARISAN MENURUT HUKUM TANAH NASIONAL A. Pengertian dan Sifat Jual Beli Tanah

1. Pengertian Jual Beli Tanah

  Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA, bahkan sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah.

  Walaupun dalam UUPA tidak ada diartikan mengenai pengertian jual beli, namun secara tersirat dapat dilihat dalam Pasal 26 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyebutkan : a.

  Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah.

  b.

  Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum tanahnya jatuh pada negara dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Menurut Boedi Harsono pengertian jual beli adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama- lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli membayar harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu masuk

   dalam hukum agraria atau hukum tanah.

  Pengertian jual beli tanah menurut UUPA didasarkan pada konsep dan pengertian jual beli menurut hukum adat. Dalam hukum adat tentang jual

  

  beli tanah dikenal tiga macam yaitu:

  a. Adol Plas (Jual Lepas) Pada adol plas (jual lepas), pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk selama-lamanya kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik tanah dengan pihak lain (pembeli).

  b. Adol bedol (Jual Gadai) Pada adol gadai (jual gadai), pemilik tanah pertanian (pembeli gadai) menyerahkan tanahnya untuk digarap kepada pihak lain (pemegang gadai) dengan menerima sejumlah uang dari pihak lain (pemegang gadai) sebagai uang gadai dan tanah dapat kembali kepada pemiliknya apabila pemilik tanah menebus uang gadai.

  c.

  Adol Oyodan (jual Tahunan) Pada adol tahunan (jual tahunan), pemilik tanah pertanian menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam beberapa kali masa panen kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antar pemilik tanah dengan pembeli. Setelah beberapa kali masa panen sesuai kesepakatan kedua belah pihak, tanah pertanian diserahkan kembali oleh pembeli kepada pemilik tanah. Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan ke dalam hukum benda khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum

  

  perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena : a. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut. 42 43 Boedi Harsono 11, Op.cit., hal. 135.

  Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 359-360. Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), hal. 221 b.

  Jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban yang ada, hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tersebut.

  Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem hukum adat yang memindahkan hak milik untuk selama-lamanya disebut dengan jual lepas.

  Dalam KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan

   pihak yang lain untuk pembayaran harga yang telah dijanjikan.

  Dalam hukum perdata jual beli diatur dalam KUHPerdata pada Pasal 1457, Pasal 1458, Pasal 1459 dan Pasal 1457 KUHPerdata yang mendefenisikan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana yang mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lainuntuk membayar harga yang telah dijanjikan.

  Titik persamaan antara hukum adat dengan hukum perdata dalam perihal jual beli ialah bahwa jual beli mengandung tujuan perekonomian yang tertentu yaitu memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari seseorang tertentu kepada orang lain.

  Beberapa sarjana yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma memberikan

  

  pengertian jual beli tanah (jual lepas) sebagai berikut: a. Van Vollenhoven : “Jual lepas dari sebidang tanah atau perairan adalah penyerahan dari benda itu di hadapan petugas-petugas hukum adat dengan 45 46 Lihat Pasal 1457 KUHPerdata.

  Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 120-121 pembayaran sejumlah uang pada saat itu atau kemudian.” b. S.A. Hakim : “Penyerahan sebidang tanah (termasuk air) untuk selama- lamanya dengan penerimaan uang tunai (atau dibayar dahulu untuk sebagian), uang mana disebut uang pembelian.” c. Iman Sudiyat : “Menjual lepas (Indonesia); adol plas, runtumuran, patibogor

  (Jawa); menjual jaja (Kalimantan), yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus kembali; jadi penyerahan itu berlangsung untuk seterusnya/ selamanya”.

  Demikian juga Djaren Saragih menyebutkan “jual lepas adalah penyerahan terang untuk sebidang tanah dengan penerimaan sejumlah uang secara tunai dan selama-lamanya. Jadi pada jual lepas ini teriadi peralihan hak milik”.

2. Sifat Jual Beli Tanah

  Sifat dan bentuk perjanjian jual beli merupakan salah satu bagian dari asas dalam hukum perjanjian yang dikenal dengan asas konsensualisme, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) di

   antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.

  Asas konsensualisme merupakan roh dari suatu perjanjian dalam dari apabila kata sepakat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berada dalam kerangka yang sebenarnya, 47 Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Tarsito, 1980),

  hal. 10 Meriam Darus Badrulzaman II, Op.Cit, hal.108-109 dalam arti terdapat cacat kehendak, maka hal ini akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri. Pada akhirnya pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan kepada kata sepakat saja tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

   Perdata telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah. Sesuai

  dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perdata, perjanjian jual beli itu dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga begitu kedua belah pihak setuju dengan harga barang-barang maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensual dari jual beli tersebut

   ditegaskan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

  Ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata ini menetapkan bahwa kesepakatan antara pihak penjual dan pihak pembeli dalam hal benda yang akan diperjual belikan dan juga harganya merupakan suatu pertanda yang sah secara hukum bahwa perjanjian jual beli tersebut dipandang telah terjadi, meskipun benda yang diperjualbelikan belum diserahkan pihak penjual kepada pihak pembeli dan harga benda tersebut belum dibayar pihak pembeli kepada pihak penjual. Kesepakatan yang dimaksud disini adalah suatu kesepakatan 49 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional dalam Kontrak

  Komersil , (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 122-123 50 Pasal 1457 KUHPerdata berbunyi : “Jual beli dianggap sudah terjadi apabila antara kedua belah pihak seketika mereka mencapai sepakat tentang harga barang-barang, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. yang dinyatakan oleh pihak penjual dan pihak pembeli yang ditentukan baik

   secara lisan maupun secara tulisan.

  Pernyataan sepakat yang diberikan oleh para pihak secara lisan dalam suatu perjanjian jual beli tentunya harus didukung oleh alat bukti yang sah yakni saksi minimal 2 (dua) orang agar pemberian pernyataan kata sepakat tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Apabila pemberian pernyataan kata sepakat tersebut tidak didukung oleh saksi-saksi maka kedudukan hukum pernyataan sepakat yang diberikan secara lisan itu dipandang lemah apabila terjadi perselisihan dikemudian hari. Oleh karena itu perjanjian jual beli sebaiknya dilakukan dalam suatu perjanjian tertulis berupa akta yang didalamnya memuat kesepakatan dalam pelaksanaan jual beli suatu benda dan memuat segala hak dan kewajiban baik penjual maupun pembeli.

  Menurut jiwa / azas Hukum Barat maka perjanjian jual beli mempunyai sifat obligatoir (mengikat , artinya penjual berjanji dan wajib mengoperkan barang yang dijual kepada pembeli dengan tidak dipersoalkan apakah harga barang tersebut dibayar dengan kontan atau tidak), perjanjian jual beli tersebut belum mempunyai Zakelijke Werking (kekuatan/daya kerja kebendaan) berdasarkan Pasal 1457-1458 KUHPerdata dan dalam hal ini masih memerlukan Yuridische Levering (penyeraham yuridis) sesuai Pasal

   1475 KUHPerdata disamping Feitelijke Levering (Penyerahan Nyata). 51 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal 36. 52 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, ( Jakarta :Sinar Grafika ,1993), hal 36 Istilah akta merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu acta, dalam bahasa Prancis disebut dengan acte, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah deed. Akta adalah surat atau tulisan yang berupa suatu dokumen formal.

  Menurut Abdullah Hasan akta adalah “ suatu pernyataan tertulis yang merupakan kehendak para pihak yang dibuat oleh seseorang atau oleh pihak-pihak yang seseorang berkepentingan dengan maksud untuk

  

  dipergunakan sebagai alat bukti dalam pasal hukum.” Dari defenisi yang disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa akta merupakan suatu surat/tulisan yang berisi pernyataan kehendak dari para pihak/orang yang berkepentingan dalam pembenaran tulisan/surat tersebut, pernyataan kehendak yang dibuat secara tertulis tersebut memuat klausul- klausul yang diberikan dengan perbuatan hukum dari orang/para pihak yang membuatnya. Dari segi jenisnya akta dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu Akta dibawah tangan dan Akta otentik.

  Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh orang/para pihak yang berkepentingan dalam perbuatan hukum yang tertulis dalam akta tersebut dan orang/para pihak yang membuat akta tersebut bukan merupakan pejabat yang berwenang membuat atau sesuai peraturan, perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1868 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-

  Abdullah Hasan, Perancangan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal.21 pegawai hukum yang berkuasa/berwenang membuat akta tersebut ditempat dimana akta tersebut dibuatnya. Perjanjian jual beli dapat dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan dan dapat pula dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta otentik Perjanjian jual beli dibuat oleh pejabat publik/umum dalam hal ini adalah seorang Notaris. Akta otentik yang dibuat oleh notaris merupakan suatu alat bukti yang paling sempurna apabila

   terjadi perselisihan (perkara) di depan pengadilan.

  Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjualbelikan tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjual

   belikan dibutuhkan penyerahan.

  Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli. KUH perdata mengenal tiga macam, barang yaitu barang bergerak, barang tetap, dan barang tak bertubuh (piutang, penagihan, atau claim), maka menurut KUH Perdata juga ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing jenis barang tersebut yaitu : a.

  Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 612 KUH Perdata yang berbunyi: “Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan 54 Santia Dewi dan R.M. Fauwas Diradja, Panduan Teori & praktek Notaris,

  (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2011), hal 36 Ahmad Miru, Op.Cit, hal.128. dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya”.

  Dari ketentuan di atas dapat dilihat adanya kemungkinan menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang berada dalam suatu gudang, hal mana suatu penyerahan kekuasaan secara simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada didalam kekuasaan pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu pernyataan saja. Cara yang terakhir ini terkenal dengan nama traditio “brevi manu” yang berarti penyerahan dengan tangan pendek.

  b.

  Untuk barang tetap (tidak bergerak) penyerahan dilakukan dengan perbuatan balik nama (overschrijving) di muka pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620 KUH Perdata.

  Pasal 616 menyatakan bahwa: “Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620”, sedangkan pada pasal 620KUHperdata “Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan barada dan dengan membukukannya dalam register”.

  Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau

  R.Subekti, Op.Cit. hal 54 keputusan itu, agar penyimpan mencatat didalamnya hari pemindahan beserta bagian dan nomor dari register yang bersangkutan.

  c.

  Penyerahan barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata BW yang berbunyi :

  “Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan menyerahkan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen”.

  Dalam konteks hukum adat, berbicara tentang jual beli tanah berarti membicarakan tentang transaksi tanah yang merupakan bagian dari ruang lingkup sistem hukum adat. Maka dalam hal ini meninjau tentang transaksi- transaksi tanah terdiri dari 2 (dua) macam yaitu transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak dan transaksi tanah bersifat perbuatan hukum dua pihak.

  Menurut Hilman, pengertian transaksi tanah yang sepihak dan transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum 2 (dua) pihak yaitu : a.

  Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan pemilikan tanah dengan membuka sebidang tanah untuk didiami dan diusahai oleh kelompok orang atau seorang individu. Perbuatan ini hanya melibatkan satu pihak bukan dua pihak seperti transaksi yang biasa kita kenal misalnya jaul beli. Jadi pihak kedua tidak ada dan kalaupun ada

  Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), hal. 72 pihak ini diam saja maksudnya ia tidak akan menerima prestasi ataupun kontraprestasi atas prestasi yang dilakukan pihak tersebut. Misalnya sekelompok orang atau seseorang membuka tanah hutan yang tidak ada pemiliknya atau seseorang individu atau kelompok orang membuka sebidang tanah yang merupakan suatu hak ulayat masyarakat adat yang ditelantarkan atau diusahai. Apabila seseorang individu warga persekutuan dengan seizin kepala persekutuan membuka tanah di wilayah persekutuan, maka dengan tanah itu terjadilah hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religius magis antara warga tersebut dengan tanah dimaksud. Lazimnya warga yang membuka tanah tersebut kemudian menempatkan tanda-tanda pelarangan pada tanah yang ia kerjakan tersebut. Perbuatan ini berakibat timbulnya hak bagi warga yang membuka tanah tersebut.

  b.

  Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak merupakan suatu perbuatan hukum yang mana ada dua pihak yang berperan dalam transaksi ini, masing-masing melakukan suatu perbuatan tertentu untuk tercapainya maksud dalam transaksi ini, sesuai dengan transaksi tanah yang dimaksud. Inti daripada transaksi ini adalah pengoperan atau pun penyerahan tanah disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga dalam hal ini ada dua pihak yang melakukan transaksi ini yaitu pihak pertama yang melakukan penyerahan tanah (penjual) dan pihak lainnya membayar harga tersebut (pembeli). Di dalam hukum tanah adat perbuatan ini disebut “transaksi jual” di suku Jawa disebut “adol” atau

  sade ”, di suku Batak “manggadis”.

  Sifat jual beli tanah berdasarkan konsep Hukum Adat menurut Effendi Perangin angin, adalah: a.

   Contant atau Tunai Contant atau tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu seluruhnya,

  tetapi bisa juga sebagian. Akan tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang pembeli kepada bekas pemilik tanah (penjual). Hal ini berarti, jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tanah tidak dapat membatalkan jual beli tanah tersebut. Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang.

  b.

   Terang

  Terang, artinya jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan kepala desa (kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi juga dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tanah tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku. Jual beli tanah yang dilakukan di hadapan kepala desa (kepala adat) menjadi “terang” dan bukan perbuatan hukum yang “gelap”. Artinya pembeli mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik tanah yang baru dan mendapatkan perlindungan hukum jika pada kemudian hari ada gugatan 58 Effendi Peranginangin, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum , (Jakarta : Radjawali, 1989), hal. 16. terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tanah tersebut tidak sah.

  Senada dengan Effendi Peranginangin, menurut Maria S. W Sumardjono, sifat jual beli tanah menurut hukum adat, adalah: a.

  Tunai Tunai, artinya penyerahan hak atas tanah oleh pemilik tanah (penjual) dilakukan bersamaan dengan pembayaran harganya oleh pihak lain

  (pembeli).

  Dengan perbuatan hukum jual beli tersebut, maka seketika itu juga terjadi peralihan hak atas tanah. Harga yang dibayarkan pada saat penyerahan hak tidak harus lunar atau penuh dan hal ini tidak mengurangi sifat tunai tadi. Kalau ada selisih/sisa dari harga, maka hal ini dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual yang tunduk pada hukum utang piutang.

  b.

  Riil Riil, artinya kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan yang nyata-nyata menunjukkan tujuan jual beli tersebut, misalnya dengan diterimanya uang oleh penjual, dan dibuatnya perjanjian di hadapan kepala desa.

  c.

  Terang Terang, artinya untuk perbuatan hukum tersebut haruslah lakukan di hadapan kepala desa sebagai tanda bahwa perbuatan itu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku. 59 Maria S. W Sumardjono, 1993, Aspek Teoritis Peralihan Hak Atas Tanah

Menurut UUPA , Majalah Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, No.

18/X/93, Yogyakarta, 1993, hal. 11. Periksa juga Urip Santoro, Op. Cit. hal. 361-362.

  Menurut jiwa/azas hukum adat maka hukum adat tidak mengenal pembagian bahkan pengertian obligatoir seperti pada Hukum barat, karena suatu jual beli pada hakekatnya bukan persetujuan belaka yangberada antara dua pihak (penjual dan pembeli) tetapi suatu penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli dengan tujuan /maksud memindahkan hak milik atas barang/benda diantara kedua belah pihak maka kalau tidak dibayar kontan bukan jual beli tetapi suatu hutang piutang.

B. Subjek, Obyek, dan Syarat-syarat Jual Beli Tanah

1. Subjek Jual Beli Tanah

  Subjek dalam jual beli tanah adalah Warga Negara Indonesia (Pasal 9 UUPA yang merupakan Prinsip Nasionalitas), namun demikian seorang Warga Negara Asing juga dapat menjadi Subjek dalam jual beli tanah disebabkan warisan yang diterimanya dan dalam hal demikian Warga Negara Asing tersebut wajib melepaskan haknya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut jika dalam 1 (satu) tahun tersebut tidak dilepaskan maka hak tersebut batal karena hukum dan jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung (Pasal 21 ayat (3) UUPA).

  Dalam transaksi jual beli, ada pihak –pihak yang menjadi penjual dan ada pihak yang menjadi pembeli. Penjual adalah harus sebagai pemilik tanah baik secara sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam hal pemilik hanya sendiri maka ia berhak untuk menjual secara sendiri, tapi bila pemilik tanah dua orang atau lebih, maka yang berhak menjual tanah tersebut adalah

  

Opcit, John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan hal 37 pemilik secara bersama-sama.

  Pihak pembeli harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak yaitu seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang pokok Agraria bahwa “ Setiap jual beli , penukaran, penghibaan, pemberian wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung meminmdahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termasuk dalam pasal 21 ayat (2) Undang- Undang Pokok Agraria adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemiliknya tidak dapat dituntut kembali”

2. Obyek Dalam Jual Beli Tanah

  Objek jual-beli adalah hak atas tanah yang akan dijual. Dalam praktek disebut jual-beli tanah. Secara hukum yang benar ialah jual-beli hak atas tanah. Hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang benar bahwa tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah. Tetapi yang dibeli (dijual) itu bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.

  Karena yang dijual (dibeli) hak atas tanah, maka kita harus tahu pasti apa macam hak yang jadi objek itu. 61 Harun Al Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, (Jakarta : Ghalia Indonesia,

  1985) hal 50 62 Effendi Perangin angin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada : 1994), hal.3.

  Untuk tanah yang sudah bersertipikat, hal itu dapat dilihat dalam sertipikat itu (di halaman sampul dalam dan ditulis lagi di kolom sebelah kiri di atas dari buku tanah).

  Bagi tanah bekas hak sebelum UUPA berlaku, yang belum bersertipikat dapat kita ketahui dengan mempergunakan ketentuan- ketentuan tentang perubahan hak-hak atas tanah (konversi) yang terdapat dalam UUPA. Tetapi hal itu belum pasti. Sebab kepastian hanya terjadi kalau SKPT (Surat keterangan Pendaftaran Tanah) telah menegaskan konversi hak. Oleh karena itu biasanya disebut dengan "bekas Hak

  

Eigendom" atau "bekas Hak Yasan" atau "bekas Hak Milik Adat" dan lain

sebagainya sesuai dengan bukti-bukti yang ada.

  Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur Obyek Pendaftaran Tanah : 1)

  Obyek pendaftaran tanah meliputi :

  a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai b)

  Tanah hak pengelolaan

  c) Tanah wakaf

  d) Hak milik atas satuan rumah susun

  e) Hak tanggungan

  f) Tanah negara

  2) Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f), pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.

  Pendaftaran tanah yang obyeknya bidang tanah yang berstatus Negara dilakukannya dengan mencatatnya dalam daftar tanah dan tidak diterbitkan sertipikat

   Ibid, hal.9. Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, jelas dinyatakan oleh UUPA dapat dialihkan. Jadi dapat dijual belikan. Tetapi ada peraturan perundangan yang membatasi. Misalnya, Hak Milik yang diberikan kepada transmigran tidak boleh dijual. Begitu juga hukum Islam (yang dalam hal ini dihormati) menegaskan bahwa tanah Hak milik yang diwakafkan tidak boleh dijual.

  Hak Pakai atau Hak Sewa dapat dijual atau tidak, itu tergantung dari isi surat perjanjian pemberiannya (bila diperjanjikan) atau surat keputusan pemberian haknya (kalau diberikan oleh negara). Jadi PPAT harus memeriksa surat dimaksud. Sedangkan Hak Pakai yang pemegang haknya Instansi Pemerintah dan Kedutaan Asing tidak boleh dijual, karena diberikan hanya untuk dipakai sendiri.

  Walaupun objek jual-beli adalah hak atas tanah, tentu saja batas- batas tanah itu harus diketahui, supaya tidak terjadi keragu-raguan. Kalau tanah sudah bersertipikat, maka batas-batas tanah mengenai luas, panjang dan lebarnya sudah ditulis dalam surat ukur atau gambar situasi. Jika tanah belum bersertipikat, maka batas-batas itu harus dijelaskan oleh penjual dan pembeli.

3. Syarat-syarat Jual Beli Tanah

  Peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

  Ibid, hal.10. yang berlaku. Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan tidak terpenuhi maka akan membawa konsekuensi pada legalitas jual beli hak atas tanah tersebut. Disamping itu apabila suatu perbuatan jual beli hak atas tanah tidak memenuhi syarat, juga dapat berkonsekuensi tidak dapat didaftarkannya peralihan hak atas tanah melalui jual beli tersebut. Syarat- syarat jual beli hak atas tanah ada yang merupakan syarat materiil dan syarat formil.

  a.

  Syarat Materil Syarat materil jual beli hak atas tanah adalah tertuju pada subjek dan obyek hak yang akan diperjualbelikan. Pemegang hak atas tanah harus mempunyai hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanah. Disamping itu pembeli juga harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari ak atas tanah yang menjadi objek jual beli. Uraian tentang syarat materiil jual beli hak atas tanah adalah sebagai berikut: 1)

  Syarat Penjual Untuk dapat melakukan transaksi jual beli hak atas tanah, maka penjual harus mempunyai hak dan wewenang untuk menjual hak atas tanah dengan ketentuan sebagai berikut: a)

  Penjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertipikat atau alas bukti lain selain sertipikat. Hal pertama yang harus jelas ialah calon penjual harus berhak menjual tanah itu, yaitu pemilik dari tanah tersebut. Jual-beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi 65 66 Harun Al Rasyid, Op.Cit, hal 53 Berdasarkan hasil wawancara dengan Kaharudin, Ketua administrasi BPN Kota

  Medan pada tangal 1 juni 2013 hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual-beli. Dalam hal demikian kepentingan pembeli sangat dirugikan.

  Sebab ia sudah membayar harga tanah itu kepada penjual, sedangkan haknya atas tanah yang dibelinya tidak pernah beralih.

  b) Penjual harus sudah dewasa menurut ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku, artinya telah berwenang untuk menjual tanah tersebut.

  c) Apabila penjual masih belum dewasa atau masih berada di bawah umur

  (minderjarig) maka untuk melakukan jual beli harus diwakili oleh walinya.

  d) Apabila penjual berada di dalam pengampuan (curatele), maka untuk melakukan transaksi jual beli harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

  e) Apabila penjual diwakili oleh orang lain sebagian penerima kuasa, maka penerima kuasa menunjukkan Surat kuasa notariil atau Surat Kuasa otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Penjual/pembeli mungkin bertindak sendiri atau melalui kuasa. Baik penjual/pembeli bertindak sendiri maupun melalui kuasa, identitasnya harus jelas. Kalau penjual/pembeli adalah orang (manusia), maka identitas itu ialah: nama, umur, kewarganegaraan, pekerjaan, tempat tinggal. Jika ia perernpuan yang bersuami, maka keterangan-keterangan itu mengenai suaminya harus diketahui juga. Semua itu dapat dibaca dalam Kartu Tanda Penduduknya atau Paspornya. Bila penjual/pembeli adalah badan hukum, maka identitasnya ialah: nama, bentuk hukum (perseroan terbatas, yayasan, perusahaan negara, perusahaan jawatan dan lain- lain), kedudukan, pengurus-pengurusnya, Semua itu dapat diketahui dari akte pendirian/anggaran dasar/peraturanperundangan pembentukannya.

  f) Apabila hak atas tanah yang akan dijual merupakan harta bersama dalam perkawinan maka penjual harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami/istri yang dituangkan dalam akta jual beli.

  Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Tetapi bila pemilik sebidang tanah adalah dua orang, maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama, tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.

  Begitu juga kalau pemilik tiga atau lebih orang, maka semua pemilik harus bertindak sebagai penjual. Seorang saja tidak ikut, maka yang lain tidak berhak menjual, sekalipun bagian yang tidak ikut itu lebih sempit dari yang lain.

  2) Syarat Pembeli

  Selaku calon pemegang hak baru, maka pembeli hak atas tanah harus memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah dengan ketentuan sebagai berikut: a)

  Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Milik, maka subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan Warga Negara 67 Berdasarkan hasil wawancara dengan Kaharudin, Ketua administrasi BPN Kota

  Medan pada tanggal 1 juni 2013 68 Berdasarkan hasil wawancara dengan Kaharudin, Ketua Administrasi BPN Kota Medan pada tanggal 1 juni 2013

  Indonesia, Bank Pemerintah, Badan Keagamaan, dan Badan Sosial.

  b) Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Guna Usaha, maka subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara

  Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

  c) Apabila objek jual beli tanah tersebut merupakan tanah Hak Guna

  Bangunan, maka subjek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

  d) Apabila objek jual beli tanah tersebut adalah merupakan Hak Pakai, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah subjek Hak Pakai yang bersifat privat, yaitu perseorangan Warga Negara Indonesia, perseorangan Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

  Sebagai pembeli maka ia harus sebagai penerima hak yang harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya, dan untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut yaitu hak milik, hak pakai, hak guna bangunan yaitu sesuai dengan yang ditetapkan dalam pasal 21 UUPA dan selain yang dikecualikan oleh pemerintah maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah tersebut jatuh pada Negara 3) Tanah yang dijadikan objek jual beli adalah tanah yang tidak dalam sengketa dan tanah-tanah yang boleh diperjual belikan dalam UUPA yaitu Hak Milik

  (pasal 20), Hak Guna Usaha (pasal 28), Hak Guna Bangunan (pasal 35), Hak Pakai (pasal 41).

  b.

  Syarat Formil Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah meliputi formalitas transaksi jual beli tersebut. Formalitas tersebut meliputi akta yuridisnya yang menjadi bukti perjanjian jual beli serta pejabat yang berwenang membuat akta tersebut. Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka syarat formil jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. (PPAT). Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan atau dikualifikasikan sebagai akta otentik.

  Syarat bahwa jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT agar dapat didaftarkan ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.

  

  24 Tahun 1997 yang menyatakan: "Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 69 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Kaharudin, Ketua Administrasi BPN

  Kota Medan tanggal 26 Juni 2013

Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997

  Jual beli yang yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA) sedangkan dalam hukum adat sistem yang dipakai adalah sistem yang konkrit/nyata/riil.

  Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak

  

  untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, berupa: 1) Jika tanahnya sudah bersertipikat maka sertipikat tanahnya yang asli dan bukti pembayaran biaya pendaftaran.

  2) Jika tanahnya belum bersertipikat maka surat keterangan tanah yang belum bersertipikat, dan surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertipikatan tanahnya setelah setelah selesai dilakukan jual beli.

  Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah tidak mutlak harus dibuktikan dengan akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat mendaftar pemindahan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta PPAT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan:

  "Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh menteri Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang tanah Hak Milik, yang dilakukan di antara perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan". 71 Berdasarkan Wawancara dengan Pantun Panggabean, Notaris PPAT di Dolok

  Sanggul Humbahas pada tanggal 14 september 2013

Pasal 37 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997

C. Prosedur Jual Beli Tanah Warisan Menurut Hukum Tanah Nasional.

1. Jual Beli Tanah Warisan Menurut Hukum Adat

  Dasar berlakunya hukum adat di bidang keagrarian adalah Pasal 5

Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa “Hukum Agraria

yang berlaku atas bumi, air, tanah dan ruang angkasa ialah hukum adat

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional yang

berdasarkan atas persatuan bangsa, peraturan yang tercantum dalam

73 Undang-Undang “.

  Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda

berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia.

  

Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun

merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan

susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos), dan kecil

(micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi,

air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di

   alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.

  Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan

masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu

adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada

masyarakat. Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu

73 Abdurrahman, Beberapa Aspek tentang Hukum Agraria, (Bandung: Alumni

  ,1980), hal 65 74 Herman Soesangobeng, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan Permasalahannya di Indonesia ,( Yogyakarta : Pusdiklat Mahkamah Agung, 2003), hal 12-

  14

  

adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi

itu pulalah, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu

masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.

  Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan

gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau

karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak

ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat

dipandang sebagai tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan

bersumber dari tanah bersama tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi

di atas, berarti sesungguhnya hak atas tanah menurut hukum adat terdiri dari

   dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal) dan hak individu.

  Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dalam hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir hak-

hak perorangan (hak individual). Istilah hak ulayat disebut oleh Van Vollen

Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut Hak Pertuan, Teer

Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan, dan masyarakat Minang

  

menyebutnya dengan kosa kata ulayat.

  Menurut Purnadi Purbacaraka, “hak ulayat adalah hak atas tanah

yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara

  75 76 Opcit, John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, hal 278 Ibid Ibid hal 279

  

bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini, masyarakat hukum adat

   yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh” .

  Menurut Boedi Harsono, “hak ulayat adalah hak dari suatu

masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi

wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan

memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum adat tersebut”.

  

Dapat dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat

terhadap tanah di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan

mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah lingkungan

   wilayahnya di bawah kepemimpinan kepala adat .

  Subyek hak ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di

dalamnya ada anggota masyarakat hukum adat dan ada pula ketua dan para

tertua adat. Para anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama

memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut.

  Ter Haar mengatakan bahwa: “anggota masyarakat hukum adat dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin ketua adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari hak ulayat sebagai hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses

   individualisasi hak ulayat.” Kewenangan untuk mempergunakan oleh para anggota masyarakat

hukum adat itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai ‘berlaku ke

dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang

78 Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria,

  (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1983), hal.25-26 79 Boedi Harsono, Hukum Agraria, 1999, Opcit hal.215 ibid

  

asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah

memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang

penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat

terbatas.

   Herman Soesangobeng menandaskan bahwa : “ulayat sebenarnya hanya menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.” Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak

atas tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan

penguasaan nyata, utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai

pemegang hak. Pertumbuhan hak atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan

berdasarkan hak wenang pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi

perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan

tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada tanahnya. Kemudian setelah

pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan tanda-tanda

larangan maka lahirlah hak terdahulu. Hak terdahulu dimiliki oleh pihak

yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Setelah membuka hutan dan

lahannya diolah serta digarap maka lahir hak menikmati. Baru setelah hak

menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara

terus menerus maka ia berubah menjadi hak pakai. Akhirnya, setelah

penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi

pewarisan kepada generasi berikutnya, maka hak pakai pun berubah menjadi

  Herman Soesangobeng, Op.Cit hal 70 hak milik. Proses lahirnya hak atas tanah ini dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-hak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi hak milik dan hak pakai.

   Hak Penguasaan Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas: a.

  

Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat,

yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat atas bagian dari tanah ulayat dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat; b. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri; c.

  Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat), yang terdiri atas: 1) Hak Milik, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh secara turun temurun. 2) Hak Pakai, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh dengan mengolah bagian dari wilayah adat.