BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka - Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Beras Di Desa Pematang Cengal Kabupaten Langkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

  Beras bagi kehidupan Bangsa Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Dari jenis bahan pangan yang dikonsumsi, beras memiliki urutan utama. Hampir seluruh penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pangan utama, beras merupakan nutrisi penting dalam struktur pangan, karena itu peranan beras memiliki peranan strategis dalam kehidupan bangsa Indonesia. Peranan beras dalam pembangunan jangka panjang (PJP) I masih cukup besar. Tahun 1968 peranan beras dalam tanaman pangan = 54,4%, dalam pertanian = 37%, dan dalam PDB = 18,8% , pada tahun 1987 keadaan ini menjadi : 52%, 31,7% dan 8,1% (Tarigan, 1997). Bagi penduduk Indonesia, beras merupakan bahan makanan yang lebih superior daripada bahan pangan lainnya seperti jagung, ubi, sagu dan lainnya. Sehingga bagi masyarakat yang berpendapatan rendah akan berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan pokoknya, terutama pangan beras. Oleh karena itu, konsumsi pangan sangat terkait erat dengan tingkat\ kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan dapat dikatakan makin baik apabila kalori dan protein yang dikonsumsi penduduk semakin meningkat, sampai akhirnya melewati standar kecukupan konsumsi per kapita sehari. Kecukupan gizi yang dianjurkan per kapita per hari adalah penyediaan energi 2.500 kalori dan protein 55 gram (Irawan, 2009).

  Tingkat partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah baik di kota maupun di desa cukup tinggi yaitu sekitar 97-100%. Konsumsi dalam negeri ceenderung meningkat terutama didorong oleh pertumbuhan penduduk. Kebutuhan konsumsi beras per kapita/tahun di Sumatera Utara yaitu 166,28 kg. Cadangan/stok akhir ideal adalah tiga kali kebutuhan per bulan. Tingkat konsumsi beras/kapita/tahun 2004 adalah 133,23% (Gubernur SUMUT, 2004).

  Dari sisi konsumsi, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pola konsumsi dipengaruhi oleh harga dan tingkat pendapatan. Ariani (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa beras tetap menjadi bahan pangan pokok bagi lebih dari 95% penduduk, bahkan rumah tangga yang tadinya dikenal mengkonsumsi bahan pendapatan, pola konsumsi pangan mereka mulai bergeser ke beras. Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar dan pola hidup juga menjadi berubah (Sumardi, 2003).

  Setiap orang atau keluarga mempunyai tingkat kebutuhan konsumsi yang dipengaruhi oleh pendapatan. Kondisi pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat konsumsinya. Makin tinggi pendapatan, makin banyak jumlah barang yang dikonsumsi. Sebaliknya, makin sedikit pendapatan, makin berkurang jumlah barang yang dikonsumsi. Bila konsumsi ingin ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap, terpaksa tabungan digunakan akibatnya tabungan berkurang (Prayudi, 2000).

  Tuntutan kebutuhan beras akibat peningkatan pendapatan masyarakat rendah sampai menengah jauh lebih besar daripada peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena angka elastisitas pendapatan bagi yang berpendapatan rendah sampai menengah (sekitar 40%) jauh lebih besar dari yang berpendapatan tinggi (sekitar 10-20%). Dikaitkan dengan komposisi penduduk yang 80% tergolong berpendapatan rendah sampai menengah, maka permintaan terhadap beras setiap tahun meningkat. Itulah sebabnya dalam neraca bahan makanan yang diterbitkan oleh BPS angka konsumsi per kapita rata-rata selalu meningkat (Amang, 1995). Banyak alasan yang menyebabkan analisis makro ekonomi perlu memperhatikan rumah tangga memberikan pemasukan kepada pendapatan nasional. Di kebanyakaan negara pengeluaran konsumsi sekitar 60-75 persen dari pendapatan nasional. Alasan yang kedua, konsumsi rumah tangga mempunyai dampak dalam menentukan fluktuasi kegiataan ekonomi dari satu waktu ke waktu lainnya. Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya (Sukirno, 2008). Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin besar pula pengeluaran konsumsi. Perbandingan besarnya pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan adalah hasrat marjinal untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to

  

Consume, MPC) . Sedangkan besarnya tambahan pendapatan dinamakan hasrat

  marjinal untuk menabung (Marginal to Save, MPS). Pada pengeluaran konsumsi rumah tangga terdapat konsumsi minimum bagi rumah tangga tersebut, yaitu besarnya pengeluaran konsumsi yang harus dilakukan, walaupun tidak ada pendapatan. Pengeluaran konsumsi rumah tangga ini disebut pengeluaran konsumsi otonom (outonomous consumtion) ( Nisjar dan Winardi, 1997 ).

  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau. Pembangunan pangan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Konsumsi pangan penduduk Indonesia masih belum memenuhi kecukupan gizi. Kuantitas, kualitas, dan keragaman pangan belum memenuhi kaedah berimbang, karena masih didominasi kacangan-kacangan, pangan hewani, sayur-sayuran dan buah-buahan masih sangat kurang. Ketergantungan terhadap beras dapat diperlonggar dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pangan pokok berbasis umbi-umbian yang diperkaya nutrisinya oleh kacang-kacangan.

  Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan pangan nasional (beras dan sumber bahan pangan lain), agar dapat dipenuhi dan diproduksi domestik sehingga mampu mengurangi ketergantungan akan impor. Sumatera Utara sebagai daerah agraris yang memprioritaskan pertanian sebagai sektor andalan pembangunan daerahnya, juga mengalami permasalahan kekurangan pangan khususnya beras setiap tahunnya.

  Ketergantungan terhadap beras sebenarnya dapat dikurangi dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pokok selain beras, sedangkan perbaikan gizi sepenuhnya tergantung pada peningkatan pendapatan.

  Umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat non beras dan kacang-kacangan yang dikenal sebagai sumber protein nabati, vitamin dan mineral belum optimal pemberdayaannya. Peningkatan kontribusi kacang dan ubi sebagai sumber pangan alternatif dalam pemenuhan kebutuhan pangan berkualitas dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan dan kualitas sumberdaya masyarakat berpenghasilan rendah.

  Besar kecilnya konsumsi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :

  1. Tingkat pendapatan dan kekayaan. Sangat lazim apabila tinggi rendahnya daya konsumsi seseorang atau masyarakat berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat pendapatan, karena perilaku konsumsi secara psikologis memang konsumsinya semakin tinggi (baik dalam jumlah maupun dalam nilai) karena ini berhubungan dengan pemenuhan kepuasan yang tak terbatas itu. Apabila pendapatan rendah maka konsumsinya juga relatif rendah karena berhubungan dengan keinginan bertahan hidup, jadi konsumsi untuk bertahan hidup dan pemenuhan kepuasan yang tinggi semuanya karena faktor pendapatan. Selain pendapatan maka kekayaan juga sangat berpengaruh. Kekayaan bisa saja sebagai akibat dari tingkat tabungan dari masa lalu atau karena warisan dan lain sebagainya.

  2. Tingkat suku bunga dan spekulasi. Bagi masyarakat tentu adakalanya mau mengorbankan konsumsi untuk mendapatkan perolehan yang lebih besar dari suku bunga yang berlaku dari uang yang ditabung, sehingga manakala suku bunga tinggi konsumsi masyarakat berkurang meskipun pendapatan tetap.

  Akan tetapi manakala suku bunga demikian rendahnya maka masyarakat akan lebih condong untuk menggunakan semua uangnya untuk konsumsi, sehingga hampir tidak ada yang ditabung. Selain suku bunga, tingkat spekulasi masyarakat juga mempengaruhi tingkat konsumsi, masyarakat bisa saja mengurangi konsumsinya karena berharap pada hasil yang besar dari uang yang dikeluarkan untuk main dipasar saham atau obligasi (menunda konsumsi tinggi dengan harapan tentunya akan bisa melakukan konsumsi yang lebih besar apabila dalam kegiatan spekulasi itumendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.

  3. Sikap berhemat. Memang terjadi paradoks antara sikap berhemat dengan peningkata kapasitas produksi nasional. Di satu sisi untuk memperbesar tetapi disisi lain untuk meningkatkan pendanaan dalam negeri agar investasi dapat berjalan dengan mudah dan relatif murah serta aman maka tabungan masyarakat perlu ditingkatkan. Akan tetapi manakala tingkat perekonomian sudah mencapai kondisi ideal biasanya masyarakatnya akan cenderung hidup berhemat sehingga akan memperbesar proporsi tabungan dari pada proporsi konsumsi dari pendapatannya.

  4. Budaya, Gaya hidup (pamer, gengsi dan ikut arus) dan demonstration effect.

  Gaya hidup masyarakat yang cenderung mencontoh konsumsi baik itu konsumsi dari tetangganya, masyarakat sekitarnya dan atau dari masyarakat yang pernah di bacanya di mass media menjadikan konsumsi masyarakat terpengaruh. Konsumsi untuk produk-produk yang belum saat ini dibutuhkan dan dibeli hanya demi gengsi, ikut arus membuat tingkat tabungan masyarakat menjadi rendah. Demikian juga halnya dengan dampak demonstration effect yang menjadikan pola konsumsi masyarakat yang terlalu konsumtif sehingga akan mengurangi tingkat tabungan.

  5. Keadaan perekonomian. Pada saat perekonomian dalam kondisi stabil maka konsumsi masyarakat juga akan stabil, akan tetapi manakala perekonomian mengalami krisis maka biasanya tabungan masyarakat akan menjadi rendah dan konsumsi akan menjadi tinggi karena kurangnya kepercayaan pada lembaga perbankan dan semakin mahalnya dan langkahnya barang-barang kebutuhan. (Putong, 2010)

  Marsidin, R (2002) meneliti tentang determinan pengeluaran konsumsi rumah tangga berstatus buruh/karyawan di Indonesia: analisis data SUSENAS 2000. konsumsi dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu variabel ekonomi (gaji/upah) dan variabel non ekonomi (karakteristik demografi, pendidikan dan kesehatan).

  Dari hasil penelitian diketahui bahwa elastisitas pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi tergantung dari pendidikan, usia dan daerah tempat tinggal.

  Studi lain yang melakukan analisis ekonomi rumahtangga secara parsial dilakukan oleh Syahruddin (2001). Ia melakukan studi dengan tujuan untuk mengetahui tingkah laku konsumen (rumahtangga) dalam membelanjakan pendapatannya di Sumatera Barat. Studi dengan menggunakan persamaan tunggal ini (ordinary

  

least squares ) memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi suatu

  rumahtangga dalam mengambil keputusan mengenai jumlah pengeluaran untuk konsumsi. Faktor-faktor tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu faktor pendapatan dan variabel lainnya. Sementara itu, variabel lain yang mempengaruhi tingkat pengeluaran konsumsi dibagi atas tiga kelompok, meliputi: (1) karakteristik sosial ekonomi seperti usia dan siklus hidup, pendidikan, ukuran keluarga dan kepemilikan rumah, (2) faktor-faktor keuangan seperti perubahan pendapatan dan kekayaan, dan (3) ekspektasi dan intensitas untuk membeli. Hasil studi menyimpulkan bahwa konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti jumlah penduduk, harta lancar dan harta tidak lancar.

2.2 Landasan Teori

  Konsep konsumsi merupakan konsep yang di Indonesiakan dari bahasa inggris ”Consumtion”. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang di produksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 1996).

  Seorang ahli ekonomi yang bernama Christian Lorent Ersnt Engel mengemukakan sebuah ”Hukum Konsumsi”. Hukum ini berdasarkan pada hasil penelitiannya yang dilakukan pada abad ke 19 di Eropa. Menuru Engel, semakin miskin suatu keluarga atau bangsa, akan semakin besar pula persentase pengeluaran yang digunakan untuk barang pangan (Sudarman, 2004). Tingkat konsumsi juga dipengaruhi oleh faktor demografi seperti jumlah dan komposisi penduduk.

1. Jumlah Penduduk

  Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absolut tingkat pengeluaran konsumsi Indonesia lebih besar daripada Singapura. Sebab jumlah penduduk Indonesia lima puluh satu kali lipat penduduk Singapura. Tingkat konsumsi rumah tangga akan besar. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan perkapita sangat tinggi. Komposisi penduduk suatu negara dapat dilihat dari beberapa klasifikasi, diantaranya: usia (produktif dan tidak produktif), pendidikan (rendah, menengah, tinggi), dan wilayah tinggal (perkotaan dan pedesaan). Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi dijabarkan sederhana seperti di bawah ini.

  a.

  Makin banyak penduduk yang berusia kerja atau usia produktif (15-64 tahun), makin besar tingkat konsumsi, terutama bila sebagian besar dari mereka mendapat kesempatan kerja yang tinggi, dengan upah yang wajar atau baik, sebab makin banyak penduduk yang bekerja, penghasilan juga makin besar.

  b.

  Makin besar tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsi juga makin tinggi. Sebab pada saat seseorang suatu keluarga makin berpendidikan tinggi, kebutuhan hidupnya makin banyak. Yang harus mereka penuhi bukan lagi sekedar kebutuhan untuk makan dan minum, melainkan juga kebutuhan informasi, pergaulan masyarakat yang lebih baik serta kebutuhan akan pengakuan orang lain terhadap keberdayaanya. Seringkali biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan ini jauh lebih besar daripada biaya pemenuhan kebutuhan untuk makan dan minum.

  c.

  Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban), pengeluaran konsumsi juga makin tinggi. Sebab umumnya pola hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif dibanding masyarakat pedesaan 3. Faktor lain a.

  Kebiasaan Adat Sosial Budaya Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar dalam konsumsi (Godam, 2007).

  Konsumsi

  Teori Konsumsi keynes di dasarkan pada 3 postulat :

  1. Menurut hukum psikologis fundamental (katakanlah ia sebagai hukum Keynes), bahwa konsumsi akan meningkat apabila pendapatan meningkat, akan tetapi besarnya peningkatan konsumsi tidak akan sebesar peningkatan pendapatan, oleh karena nya adanya batasan dari Keynes sendiri yaitu bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal =MPC= C / Y (Marginal Propensity

  

to consume ) adalah antara nol dan satu, dan pula besarnya perubahan konsumsi

selalu di atas 50% akan tetapi tetap tidak sampai 100% (0,5>MPC<1).

  2. Rata-rata kecenderungan mengkonsumsi =APC= C / Y (Average Propensity to

  

consume) akan turun apabila pendapatan naik, alasannya sederhana saja,

  karena peningkatan pendapatan selalu lebih besar dari peningkatan konsumsi, sehingga pada setiap naiknya pendapatan pastilah akan memperbesar tabungan.

  Dengan demikian dapat dibuatkan satu pernyataan lagi bahwa setiap terjadi peningkatan pendapatan maka pastilah rata-rata kecenderungan menabung akan semakin tinggi.

  3. Bahwa pendapatan adalah merupakan determinan (faktor penentu utama) dari konsumsi. Faktor-faktor lain dianggap tidak berarti. (Putong, 2010) Secara teori, konsumsi beras sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan. Dan dengan angka di atas rata-rata, maka tingkat konsumsi terhadap beras akan semakin menurun dan menu makanannya akan semakin terdiversifikasi (Sihombing, 2010).

  Dalam hukum Engel dikemukakan tentang kaitan antara tingkat pendapatan dengan konsumsi. Hukum ini menyatakan bahwa rumahtangga berpendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli konsumsi pokok. Sebaliknya, rumahtangga yang berpendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian kecil saja dari total pengeluaran untuk kebutuhan pokok. Penelitian Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan hukum Engel. Ke empat butir kesimpulannya yang dirumuskan tersebut adalah : a.

  Jika Pendapatan meningkat, maka persentasi pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil. b.

  Persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.

  c.

  Persentase pengeluaran konsumsi untuk pengeluaran rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.

  d.

  Jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah, dan tabungan semakin meningkat.

3.3 Kerangka Pemikiran

  Sampel yang diteliti di dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Pematang Cengal Kabupaten Langkat. Sampel tersebut dikelompokkan berdasarkan suku, tingkat pendidikan dan umur. Berdasarkan kelompok tersebut maka dilihat faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi konsumsi beras di daerah penelitian tersebut, sehingga dapat diketahui faktor apa yang paling berpengaruh terhadap konsumsi beras masyarakat Desa Pematang Cengal Kabupaten Langkat. Kemudian dihitung rata-rata konsumsi beras masing-masing kelompok berdasarkan suku, tingkat pendidikan dan umur.

  Masyarakat Desa Pematang Cengal

  Kabupaten Langkat Rata-rata Konsumsi Beras

  Faktor – faktor yang Berdasarkan mempengaruhi konsumsi beras :

  Suku Pendapatan

  • Jumlah anggota
  • keluarga

  Pendidikan

  • umur
  • Rata – rata konsumsi perkapita/tahun

  Keterangan : Hubungan Pengaruh

  Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

3.4 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut : 1.

  Teori Engel menyatakan bahwa rumahtangga berpendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok.

  Sebaliknya, rumahtangga yang berpendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian kecil saja dari total pengeluaran untuk kebutuhan pokok. Artinya bahwa pendapatan mempengaruhi besar kecilnya tingkat konsumsi masyarakat. Selain itu, dari segi umur semakin banyak penduduk yang berusia kerja atau usia produktif, makin besar tingkat konsumsi, terutama bila sebagian besar dari mereka mendapat kesempatan kerja yang tinggi, bekerja, penghasilan juga makin besar. Dari segi pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang umumnya akan semakin tinggi pula tingkat konsumsi orang tersebut. Dari segi jumlah anggota keluarga, semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi beras keluarga tersebut. Sedangkan dari segi suku, kebiasaan suatu suku di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar dalam konsumsi. Berdasarkan teori tersebut diduga bahwa pendapatan, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan umur merupakan faktor - faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi beras di daerah penelitian.

  2. Teori Engel menyatakan bahwa semakin sejahtera seseorang maka semakin kecil persentase pendapatannya untuk membeli makanan. Rumahtangga berpendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok. Sebaliknya, rumahtangga yang berpendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian kecil saja dari total pengeluaran untuk kebutuhan pokok. Artinya bahwa besarnya tingkat pendapatan sangat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Dari teori tersebut diduga bahwa pendapatan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap konsumsi beras di daerah penelitian.

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Beras Di Desa Pematang Cengal Kabupaten Langkat

13 101 66

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Kacang Kedelai

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Pola Konsumsi Pangan Non Beras Sumber Karbohidrat Di Kecamatan Medan Tuntungan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Finansial Dan Pemasaran Stroberi Di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo

0 0 18

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Pencapaian Swasembada Pangan Beras dan Upaya-Upaya yang Dilakukan Di Kabupaten Samosir

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka - Analisis Value Added Tingkat Pendapatan dan Kesempatan Kerja Usaha Pengupasan Bawang Merah di Kota Medan

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Strategi Pengembangan Kud Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Ubi Kayu ( Manihot esculanta )

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Tataniaga Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Kopi Arabika Di Sumatera Utara

0 1 18